Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke adalah penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa penyebab
terjadinya penyakit ini diantaranya faktor genetik, faktor lingkungan dengan
tinggi polutan, kerentana host, faktor idiopatik seperti hipertensi dan diabetes
melitus dan faktor pola hidup yang tidak sehat seperti makanan tinggi lemak jenuh
dan kalori serta kurang serat, kurang aktivitas, stress yang tinggi. Stroke memiliki
manifestasi klinis dari ringan sampai berat sehingga menjadi penyebab utama
kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang. Angka kejadian stroke
khususnya stroke hemoragik makin meningkat dari tahun ke tahun (Minino et al,
2010; Jauch et al, 2013).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), setiap tahun terdapat 15
juta orang diseluruh dunia menderita stroke. Menurut American Heart Association
(AHA), di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 3 juta penderita stroke pertahun
dengan 500.000 kasus baru (Minino et al, 2010; Jauch et al, 2013). Insiden stroke
di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013 menunjukkan insiden stroke meningkat
dari 8,3 per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi 12,1 per 1000 penduduk
pada tahun 2013. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah
Nanggroe Aceh Darusallam yaitu 16,6 per 1000 penduduk dan yang terendah
adalah Papua yaitu 3,8% per 1000 penduduk (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2013).
Stroke membutuhkan biaya perawatan yang cukup besar. Sebuah studi oleh
Russel et al. (2010) pada 13.000 penderita stroke perdarahan di seluruh dunia,
lama rawat rata-rata 9,6 hari dengan biaya rawat 17.442 dolar. Menurut Misbach
dan Ali (2010), diindonesia biaya perawatan penderita stroke lebih dari 25 juta
rupiah tiap tahun. Pasca stroke kira-kira 30% penderita akan mengalami gangguan
fungsi kognitif dalam 3 bulan khususnya fungsi eksekutif, juga dilaporkan
perubahan personalitas atau gangguan psikiatri seperti depresi sebesar 30%.
1

Angka kematian penderita stroke di Amerika Serikat masih cukup tinggi yaitu
50-100 per 100.000 penderita pertahun. Berdasarkan data National Center Of
Health Statistic (NHCS), stroke merupakan penyebab kematian tertinggi keempat
di

Amerika Serikat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit saluran

pernapasan bahwa sejak tahun 2008 (Minino et al, 2010; Jauch et al, 2013).
Secara garis besar stroke dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke hemoragik spontan mencakup 10% dari semua stroke dinegara maju dan
20% dinegara berkembang dengan tingkat mortalitas dalam satu bulan mencapai
masing-masing 25-35% dan 30-40% (Mohr et al, 2010).
Prognosis stroke hemoragik ddipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya
adalah leukositosis. Leukositosis

dikaitkan dengan

peningkatkan

resiko

morbiditas dan mortalitas penderita stroke. Akan tetapi, hubungan antara


leukositosis dan mortalitas hingga kini masih belum jelas. Oleh karena angka
morbiditas dan mortalitas serta beban biaya dari stroke khususnya perdarahan
cukup tinggi maka diperlukan prediktor-prediktor untuk menentukan luaran
penyakit Salah satu prediktor yang dapat digunakan untuk menilai luaran stroke
adalah jumlah leukosit (Liera et al, 2010). Di Napoli et al, (2011) dan Agnihotri et
al (2011) menemukan ubungan signifikan antara peningkatan jumlah leukosit
darah perifer dengan prognosis dan peningkatan morbiditas serta mortalitas
pederita stroke hemoragik, tetapi hingga sampai saat ini masih belum jelas apakan
penurunan

jumlah leukosit serta terjadinya leukositosis dapat memprediksi

prognosis penderita stroke hemoragik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Stroke adalah sindrom klinis yang timbul mendadak, progersif cepat,
berupa defisit neurologi fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih
atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000). Definisi stroke
menurut WHO yaitu suatu sindrom klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang
jelas selain vaskuler (Israr, 2010).
Stroke hemoragik terdapat dua jenis yaitu perdarahan intraserebral dan
perdarahan subaraknoid. Perdarahan intraserebral menurut (Rincon dan Mayer,
2012) merupakan perdarahan otak yang spontan atau non traumatik yaitu
ekstravasasi akut darah ke jaringan otak, sering meluas ke ventrikel dan jarang ke
subaraknoid. Sedangkan menurut (Sacco et al, 2013), perdarahan intraserebral
adalah kumpulan darah fokal dalam parenkim atau intravenntrokuler, dimana
tidak disebabkan oleh trauma, termasuk perdarahan dalam parenkim setelah infark
serebri. Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan dalam spasium subaraknoid,
yaitu ruangan antara membran araknoid dan piamater dari otak dan medulla
spinalis.
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya terdapat 15 juta orang diseluruh
dunia menderita stroke. Berdasarkan data NHCS, stroke merupakan penyebab
kematian tertinggi keempat di Amerika Serikat stelah penyakit jantung, kanker
dan penyakit saluran pernafasan bawah sejak tahun 2008 ( Minino et al, 2010;
Jauch et al, 2013). Menurut AHA, diperkirakan terjadi 3 juta penderita stoke
pertahun dan 500.000 penderita stroke baru yang terjadi pertahun, sedangkan

angka kematian penderita stroke di Amerika Serikat adalah 50-100 per 100.000
penderita pertahun. Angka kematian tersebut mulai menurun sejak awal tahun
1900, dimana angka kematian sesudah tahun 1969 menurun hingga 5% pertahun
(Japardi, 2010). Di Indonesia prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000
penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe
Aceh Darusallam yaitu 16,6 per 1.000 penduduk dan yang terendah adalah papua
yaitu 3,8 per 1.000 penduduk ( Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Insiden stroke mencapai 0,5 per 1000 pada usia 40 tahun, dan meningkat menjadi
70 per 1000 pada usia 70 tahun. Angka kematian stoke mencapai 20% pada 3 hari
pertama dan 25% pada tahun pertama. Secara umum, stroke diklasifikasikan
menjadi stroke iskemik (80% kasus stroke) yang terdiri dari emboli intrakranial
(25%) dan trombosis intrakranial (75%), serta stroke hemoragik (20% kasus
stroke) yang terdiri dari perdrahan intraserebral dan pperdaraha subaraknoid
(Misbach dan Soertidewi, 2011).
Stroke hemoragik spontan terjadi pada 15-20% kasus semua stroke dan
mengenai lebih dari 2 juta orang diseluruh dunia tiap tahun (Qureshi, 2012).
Benua Asia memiliki angka kejadian stroke hemoragik terbesar diseluruh dunia.
Angka kejadian stroke hemoragik bervariasi pada rentang 18-95 tahun (Misbach
dan Ali, 2011). Paling banyak berjenis kelamin laki-laki dan usia lebih dari 55
tahun dengan peningkatan angka kejadian dua kali lipat seiring dengan
peningkatan dekade sehingga usia 80 tahun. Stroke hemoragik lobaris pada usia
ini sering disebabkan malformasi arteri vena. Stroke hemoragik paling sering
disebabkan oleh hipertensi. Ras Afrika dan Amerika memiliki angka kejadian
hipertensi paling besar (Liebeskind, 2013). Stoke hemoragik merupakan salah
satu penyebab mortilitas, morbiditas dan disabilitas berat akibat stroke hemoragik
spontan setiap tahun. Sekitar 10-30% dari kasus stroke yang dirawat inap
merupakan stoke hemoragik. Setiap tahun stroke hemoragik mempunyai angka
kejadian 12-15 per 100.000 penduduk Amerika. American Heart Assocation
mengestimasi terdapat 610.000 kasus stroke baru di Amerika serikat dan 185.000
kasus stroke rekuren. Banyak kasus stroke hemoragik membutuhkan perawatan
jangka panjang, hanya 20% penderita yang dapat hidup secara independen,

sedangkan 40% kasus meninggal dalam 30 hari dan sekitar separuhnya akan
meninggal dalam 48 jam. Sebanyak pembuluh darah arteri akibat hipertensi kronis
atau angiopati amiloid (Haynes et al, 2012; Rincon dan Mayer, 2013).
2.3 Penyebab
Kebanyakan kasus dari stoke hemoragik spontan atau non traumatik
disebakan oleh arterosklerosis dan hipertensi primer yang meruak dinding
pembuluh darah dan proses angiopti seperti angiopati amyloid serebri dan
penyakit Moyamoya (Wang, 2010; Rincon dan Mayer, 2012). Selain itu, stroke
hemoragik spontan ini juga disebabkan oleh disungsi autoregulasi dengan aliran
darah otak yang belebihan (reperfusion injury) dan transformasi hemoragik, ruptur
aneurisma atau arteriovenosus malformation (AVM), perubahan hemostasis
(penggunaan trombolosis, anti agregasi platelet, antikoagulan, bleeding diathesis),
nekrosis hemoragik (tumor, infeksi) dan obstruksi aliran vena seperti pada
trombosi vena serebri (Liebeskind, 2013).
Stroke

hemoragik

paling

banyak

disebabkan

oleh

pecahnya

mikroaneurisma akibat hipertensi kronik yang tidak terkontrol. Hipertensi kronik


menyebakan arteriola dalam otak mengalami perubahan patologis berupa
lipohialinos, nekrosis fibrinoid dan terbentukmya mikroaneurisma tipe Bouchard.
Peningkatan tekana dan aliran darah secara tiba-tiba menyebakan pecahnya
arteriola walaupun tanpa adanya hipertensi kronik. Lokasi tersering terjadi stroke
hemoragik adalah pada subkortikal, batang otak, dan serebelum. Selain hpertensi,
faktor resiko lainnya seperti penggunaan alkohl dan kadar kolesterol serum
kurang dari 4,1 mmol per liter, penggunaan antiagregasi platelet atau
antikoagulan, anemenia alpastik, angiopati amyloid serebral dan faktor genetik
seperti mutasi gen yang mengkode subunit dari faktor XII juga telah dilaporkan
(Morh et al, 2010).
Stroke hemoragik sering menyebabkan kematian dan disabilitas mayor
dibandingkan dengan stroke iskemik walapun insidennya lebih rendah dibanding
stroke iskemik. Hal ini mungkin disebabkan oelh efek massa dan edema otak yang
menyertai dapat menekan jaringan otak disekitarnya sehingga terjadi difungsi otak

yang berat dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga menimbulkan herniasi


otak yang berakibat fatal ( Ropper dan Brown, 2010).
2.4 Faktor Resiko
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hipertensi, usia tua, jenis kelamin
laki-laki, ras atau etnis Asia atau kulit hitam, hiperkololesterolemia, konsumsi
alkohol tinggi

dan penggunaan kokain merupakan faktor resiko stroke

hemoragik. Penggunaan aspirin terkait dengan faktor risiko stroke hemoragik


masih diperdebatkan hingga saat ini. Hal ini mungkin terkait dengan penggunaan
aspirin dosis tinggi yaitu 1.225 mg per hari terutama pada usiadan berhubungan
dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan episode epistaksis. Dan studi kasus
kontrol meneliti tentang penggunaan non steroid anti-inflammatory drugs
(NSAID) dengan resiko terjadinya stroke hemoragik (Rincon dan Mayer, 2012).
Faktor resiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
lebih rentan atau mudah terkena stroke, antara lain:
a. Usia
Usia merupakan faktor resiko yang paling penting bagi semua
stroke. Insiden stroke meningkat secara eskponsial dengan bertambahnya
usia, Setelah umur 55 tahun resiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat
setiap 10 tahun (resiko relatif). Di Oxfordshire, selama tahun 1981-1986,
tingkat insiden stroke pada kelompok usia 45-54 tahun ialah 57 kasus per
100.000 penduduk dan pada kelompok usia 85 tahun keaatas terdapat
1.987 kasus per 100.000 penduduk ( SM, 2011).
b. Jenis Kelamin
Pada pria memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan wanita, dengan perbandinga 2:1. Walaupun para pria
lebih rawan daripada wanita pada usia yang lebih muda, tetapi wanita akan
menyusul setelah usia mereka mencapai menopause. Hasil-hasil penelitian
menyatakan bahwa hormon berperan dala hal ini, yang melindungi para
wanita sampai mereka melewati masa-masa melahirkan anak. Pria berusia
kurang dari 65 tahun memiliki resiko terkena stroke

iskemik atau

perdarahan intraserebral lebih tinggi sekitar 20% dari pada wanita.


Namun, wanita usia berapa pun memilki resiko perdarahan subaraknoid
sekitar 50% lebih besar.
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia pada tahun 2000,
ternyata bahwa kaum pria lebih banyak menderita stroke dibanding kaum
wanita. Resiko relati stroke 1,25 kali besar pada pria dibanding wanita
(SM, 2011).
c. Ras/ Suku Bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke daripada orang
kulit putih. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup.
Pada tahun 2004 di Amerika terdapat penderita stroke pada laki-laki yang
berkulit sebesar 37,1% dn yang berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan
wanita yang berkulit putih sebesar 41,3% dan yang berkulit hitam sebesar
58,7% (SM,2011).
d. Riwayat Keluarga dan genetika
Kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab langsun stroke.
Namun, gen memang berperan besar dalam beberapa faktor resiko stroke,
misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan kelainan pembuluh
darah. Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih
anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun.
Anggota keluarga dekat dari orang yang pernah mengalami PSA memiliki
peningkatan resiko 2-5% terkena PSA (Felgin, 2010).
e. Riwayat Stroke
Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini meningkatkan
terjadinya serangan stroke kembali/ulang. Dalam waktu 5 tahun,
kemungkinan akan terjadi stroke kembali sebanyak 35-42% (Bambang,
2013).
f. Diabetes Melitus
Gula darah yang tinggi dapat mengakibatka kerusakan endotel
pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Pada orang yang

menderita Diabetes Melitus resiko untuk terkena stroke 1,2-3 kali lebih
besar (resiko relatif) (Nurzakiah, 2011).
2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik termasuk perdarahan otak yang disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah pada parenkimm otak. Berdasarkan penyebabnya,
perdarahan otak dapat dibedakan menjadi 2 yaitu primer dan sekunder. Penyebab
primer yaitu tidak berhubungan dengan lesi kongenital dan dapatan. Sedangkan
penyebab sekunder yang berhubungan dengan lesi kongenital dan dapatan.
Penyebab primer terjadi pada 78-88% dari kasus dan disebabkan oleh pecahnya
secara spontan dari arteri kecil atau arteriol yang rusak oleh karena hipertensi
arteriolosklerosis dan angopati amyloid. Penyebab sekunder disebabkan oleh
karena gangguan koaglupati, tumor otak, aneruisma, anomali struktur pembuluh
darah atau pengobatan trombolisis dari stroke iskemik (Yabluchanskiy, 2012).
Hipertensi terjadi pada 50-70% penderita dengan stroke hemoragik dan
merupakan faktor resiko yang paling penting untuk terjadinya perubahan
patologis kronis dan tunika media dan arteriola ukuran kecil dan sedang yaitu
yang berdiameter 100-600 m. Hipertensi kronis menyebabkan kondisi
vaskulopati yang ditandai dengan lipohialonosis, nekrosisfibrinoid dengan
karakteristik degenerasi sel-sel otot polos medial pembuluh darah, dan
perkembangan mikro aneurisma Charcot- Bouchard yang berhubungan dengan
trombosit dan mikro hemoragik, akumulasi debris non-fattty, hialinisasi dari
tunika intima terutama pada bifurkasio dan bagian distal dari pembuluh darah.
Kondisi patologis ini dapat terjadi pada arteri penetrans diseluruh otak termasuk
arteri lentikulostriata, talamoperforata, cabang pramedian dari arteri basilaris,
arteri serebelaris superior dan arteri seleberalis anterior inferior. Angiopati
amyloid serebri terjadi akibat protein amyloid yang terdeposit dalam pembuluh
darah ukuran kecil hingga sedang dalam tunika media dan adventitia. Angiopati
amyloid serebri mempunyai predileksi pada pembuluh darah leptomeningeal yang
penetrasi dikorteks serebri dimana akan berkembang menjadi perubahan fibrinoid
seperti pada hipertensi kronis. Struktur otak yang paling sering terjadi perdarahan

yaitu talamus dan gangglia basalis sebesar 40-50%, regio lobar sebesar 20-50%,
talamus sebesar 10-15%, pons sebesar 5-12%, serebelum sebesar 5-10% dan
lokasi batang otak yang lain sebesar 1-5% (Liebeskind, 2013).
`

Pecahnaya arteri secara tiba-tiba menyebabkan akumilasi darah dalam

parenkimotak dan menekan jaringan otak sekitarnya. Selain terjadi efek masa,
perdarahan itu sendiri menginduksi perubahan patologis sekitar perdarahan.
Perubahan ini yaitu kerusakan sawar darah otak (0-4 jam), edema vasogenik (0-4
jam) dan kematian neuronal dan sel glia akibat apoptosis dan inflamasi (4-7 jam).
Ekspansi perdarahan merupakan penyebab yang penting dari perburukan klinis
neurologis dan volume perdarahan merupakan prediktor yang kuat dari luaran
setelah terjadi stroke hemoragik primer. Walaupun demikian, prognosis stroke
hemoragik tidak hanya dipengaruhi oleh perdarahan volume. Ekspansi dari
perdarahan akibat dari perdarahan persisten dan/atau perdarahan ulang akibat dari
pecahnya sebuah arteriola ( Rincon dan Mayer, 2012).
Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis dari stroke perdarahan
yang menginduksi kerusakan sel neuron akan membantu dalam meningkatkan
hasil luaran perawatan penderita stroke hemoragik. Perkembangan kaskade
degenerasi akibat adanya perdarahan yang berkontribusi terhadap kerusakan otak
meliputi 3 tahap tergantung pada waktu terjadinya, yaitu proses inflamasi, lisis
eritrosit, dan produksi trombin sesuai dengan kaskade koagulasi. Ketiga proses ini
menyebabkan kerusakan dari sawar darah otak sehingga berakibat edema otak
dan kematian dari sel parenkim. Proses ini keudian diikuti oleh apoptosis dan
nekrosis neuronal. Mekanisme inflamasi berperan dalam proses perdarahan otak
yang menginduksi kerusakan otak (Ziai, 2013).
2.5.1 Proses Inflamasi Setelah Perdarahan Otak
Bekuan darah yang terjadu ketika stroke perdarahan akan
menimbulkan kerusakan struktural pada jaringan saraf. Proses kerusakan jaringan
oleh karena stroke hemoragik akan bergantung kepada dinamika yang terjadi pada
bekuan darah tersebut misalnya perluasan, dimana kerusakan secara primer akan
terjadi pada menit sampai jam dari awal mulai pecahnya pembuluh darah yanng
dihubungan dengan kerusakan secara mekanik oleh karean adanay efek masa.

Kerusakan secara sekunder lebih banyak disebabkan oleh adanya bekuan darah
pada parenkim otak dan akat bergantung kepada volume awal bekuan darah
tersebut misalnya perluasan, dimana kerusakan secara primer akan terjadi pada
menit sampai jam dari awal mula pecahnay pembuluh darah yang dihubungkan
dengan kerusakan secara sekunder lebih banyak disebabkan oleh adanya bekuan
darah pada parenkim otak akan bergantung pada volume awal bekuan darah,
umur, dan volume ventrikel, proses yang lain yang berkembang yang
menyebabkan kerusakan sekunder seperti efek sitotoksik dari bekuan darah,
hipermetabolisme, proses eksitotoksik, spreading depression, dan sters oksidatif
serta inflamasi. Kelima proses ini akan menyebabkan kerusakan yang irreversibel
pada jaringan neurovaskuler, jaringan substansia alba dan grisca otak yang akan
diikuti oleh kerusakan sawar darah otak dan diakhiri oleh pembengkakan otak
dengan makin banyaknya jarinag otak yang mati. Adanya proses inflamasi itu
ssendiri dapat memberikan efek buruk atau baik, dimana pelepasan sejumlah
mediator inflamasi sebagai respon terhadap kerusakan sel yang akan
menyebabkan kerusakan sekunder bagi jaringan saraf disekitarnya selain itu
keterlibatan beberapa sel inflamasi seperti mikroglia dan makrofag akan memiliki
peran vital pada proses pembersihan jaringan yang rusak serta bekuan darah itu
sendiri yang juga merupakan sumber dari proses inflamasi (Zhao, 2011).
Peranan dari inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak
dikenal. Proses inflamasi pada stroke hemoragik termasuk jenis aseptik. Respon
inflamasi teraktivitas akibat adanya darah yang masuk dalam parenkim otak
dengan infltrasi leukosit perifer, aktivasi mikroglia dan pelepasan sitokin. Secara
garis besar mekanisme ini melibatkan komponen seluler dan berbagai komponen
darah seperti leukosit, eritrosit, mikroglia/makrofag,astrosit, sel mast, protein
plasma dan komponen molekuler seperti sitokin, kemokin, prostaglandin, aktivasi
komplemen, reactive oxygent species (ROS), matrix metalloproteinase (MMPs),
nuclear factor erythroid 2-related factor 2, heme oxygenase, besi, cyclooxygenase-2 (COX-2) dan protase. Menurut Wang dan Dore pada tahun 20017
dan Yabluchanskiy pada tahun 2012, studi dengan menggunakan analisis
microarray terhadap deoxyeibo nucleic acid (DNA) menunjukkan bahwa setelah

10

perdarahan, beberapa kadar gen proinflamasi akan meningkatkan seperti faktor


transkripksi (Ziai, 2013).
Perdarahan dalam otak membuat infiltrasi yang cepat pada komponen
darah termasuk eritrosit, leukosit, makrofag, protein plasma (trombin, plasmin dan
sebagainya) ke empat terjadinya perdarahan. Respon inflamasi yang mengikuti
infiltrasi ini termasuk pelepasan mediator inflmasi, migrasi sel-sel inflamsi,
aktvasi protease, aktivasi mikroglia dan astrosit, sehingga dapat menginduksi
jaringan otak atau kemudian terjadi perbaikan jaringan otak iti sendiri ( Wang,
2010).
Saat teraktivasi secara penuh mikroglia fagositik tidak mungkin untuk
berdeferensiasi dari makrofag yang terinfiltrasi. Sel leukosit, makrofag, mikroglia
teraktivasi dan astrosit merupakan mediator seluler mayor dari kerusakan otak
sekunder setelah terjadi stroke peerdarahan . Leukosit memiliki peran sebagai sel
pertahanan tubuh secara umum, terutama neutrofil yang diduga menjadi mediator
pada kerusakan sekunder pasca perdarahan. Mikroglia yang merupakan kurang
lebih 12% dai sel parenkim otak adalah sel pertahanan otak alamiah yang pertama
kali teraktivasi, kemudian setelah teraktivasi sel ini akan berubah bentuk menjadi
fagositik yang menandakan sel ini telah aktif dan sel berikutnya adalah makrofag.
Ketiga sel ini selanjutnya akan melepaskan beberpa sitokin, kemokin dan
molekuler sistem imun lainnya (Yabluchanskiy, 2012).
Efek sitotoksik bekuan darah dan stress oksidatif merupaka mediator dari
kematian sel setelah perdarahan otak. Setelah proses stroke hemoragik beberpa
komponen bekuan darah akan keluar dari pembuluh darah yang pecah (terutama
pada awalnya adalah eritrosit dan protein plasma) dan kerusakan yang
ditimbulkan berhubungan dengan kelainan pada tingkat molekuler, seperti asam
nukleat, komponen matriks esktraseluler, protein, mediator lemak, adenosine
triphospat (ATP), dan asam urat akan dilepaskan oleh jaringan nikrotik. dan
kompnen ini akan mengiduksi proses sitotoksik, pro-oksidatif serta inflamasi yang
akan mengancam jaringan sekitarnya. Pada fase awal bekuan darah yang keluar
akan menimbulkan efek toksik dengan melepaskan beberapa faktor koagulasi,
komplemen, imunoglobulin dan beberapa molekul bioaktif lainnya. Eritrosit akan

11

mulai mengalami proses lisis pada 24 jam pertama dan berlanjut sampai beberapa
hari dan melepaskan hemoglobin sitotoksik. Hemoglobin (Hb) dan produk
degradasi seperti heme dan besi akan berada pada jaringan. Hemoglobin dan heme
termasuk zat kimia yang memiliki sifat sitotoksi yang menyebabkan kematian sel,
dimana proses ini akan terjadi melalui terbentuknya radikal bebas dari Hb yang
dikenal dengan mekanisme Fenton-type (Aronowski dan Zhao, 2011).
Setrelah satunya yang berperan dalam proses inflamasi setelah terjadi
perdarahan otak adalah sitokin. Sitokin adalah glikoprotein pertama yang
memiliki peran penting pada proses sinyal antar sel dan juga memiliki hubungan
dengan inflamasi, aktivasi imun serta deferensiasi dan kematian sel. Sitokin
timbul sebagai reaksi primer terhadap strimulasi dari luar dan tidak ada pada
hemostasis yang normal. Sebagai konsekuensi langsung ketidakseimbangan ion
dan akumulasi kalsium bebas yang timbul akibat lesi perdarahan otak, maka
dilepaskan asam amino bebas dan proinflamasi lain hasil metabolisme lemak. Hal
ini dipercaya akan meningkatkan , menimbulkan dan melepaskan kaskade sitokin
proinflamasi. Sitokin diperoduksi oleh banyak tipe sel seperti mikroglia atau
makrofag. Bukti-bukti dari penelitian juga mengatakan adanya peningkatan dari
sitokin pada perifer setelah perdarahan otak. Setelah proses ini, permeabilitas
sawar darah otak akan meningkatkan termasuk terhadap sitokin. Hal ini
disebabkan sitokin merupakan protein dengan berat molekul kecil yang
mempunyai berbagai aktivitas biologis dan aktif pada konsentrasi kecil. Fagositik
perfer mononuklear, limfosit T, natular killer cell, sel leukosit polymorphonuclear
(PMN) yaitu neutrofil dapat menghasilkan dan dapat mensekresikan sitokin yang
menembus sawar darah otak dan berkontribusi pada proses inflamasi pada
jaringan otak. Sitokin akan dibagi menjadi mediator pro dan anti inflamasi.
Sitokin pro inflamasi dapat menginduksi dan mempotensiasi produksi dari sitokin
yang lain, namun pada kenyataannya diantara sitokin juga mampu menginduksi
diantara mereka sendiri. Tumor necrosis factor- adalah sitokin pleotrofik yang
akan dilepas oleh beberapa sel seperti neuron, sel astrosit, mikroglia teraktivasi
atau makrofag serta leukosit. (Yabluchansy, 2012).

12

Mikroglia berperan sangat penting dalam proses inflamsi setelah


perdarahan otak. Mikroglia tampak daerah perdarahan mencapai puncaknya pada
hari ketiga setelah terjadi perdarahan otak. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya
kebutuhan tubuh untuk proses destruksi dan eleminasi jaringan otak yang rusak
akibat perdarahan otak. Kemudia sel mikroglia atau makrofag ini juga akan
mengalami apoptosis dan persiapan ke proses inflamasi selanjutnya. Makrofag
yang akan mengalami apoptosis mengubah profil produksi sitokin yaitu dengan
downregulation dari sitokin pro inflamasi dan upregulation dari sitokin anti
inflamasi. Selain memproduksi sitokin, makrofag juga menghasilkan protease
seperti cathepsin yang berkontribusi terhadap perbaikan jaringan. Mikroglia
didapatkan kurang lebih sekitar 5-20%

dari jumlah sel glia yang ada pada

parenkim otak. Setelah terjadi kerusakan otak mikroglia akan teraktivasi dan akan
berubah bentuk seperti pembesaran badan sel, perubahan bentuk menjadi batang,
sefris ato ameboid, penonjololan prosesus, up regulation dari beberapa enzim dan
protein serta perubahan sifat menjadi lebih fagositik, lebih mudah bermigrasi, dan
respon poliferasi. Fungsi utama dari mikroglia adalah untuk membersihkan
perdarahan yang terjadi namun selain itu mikroglia juga melepaskan faktor toksik.
Selain itu mikroglia juga memproduksi TNF-. Kondisi downregulation dari
ekspresi TNF- berhubungan dengan pengurangan volume perdarahan sehingga
dapat memperbaiki luaran klinis penderita stroke hemoragik. Peneliti yang lain
mencoba melakukan pengamatan terdahap perdarahan yang terjadi dimana
didapatkan bahwa volume perdarahan tidak akan berubah pada tiga hari pertama
dan sebagian akan mulai terabsorbsi pada hari ke tujuh., namun pada penelitian
yang lain lagi mendapatkan volume perdarahan tidak akan berubah pada tujuh hari
dan akan mulai penyerapan pada empat belas hari. Sesuai dengan penemuan ini
disimpulkan aktivasi mikroglia setelah perdarahan tergantung pada waktu
(dependent) dan juga ukuran perdarahan (size dependent). Aktivasi mikroglia
terjadi dalam beberapa menit setelah perdarahan akan berkembang dalam 1-2 jam
setelah perdarahan otak dan tetap dominan pada hari pertama, mencapai puncak
pada hari ketiga sampai tujuh dan akan bertahan hingga tiga sampai empat
minggu (Ziai, 2013).

13

2.5.2 Peran Leukosit Pada Proses Inflamasi Setelah Perdarahan Otak


Sel leukosit merupakan salah satu sel dalam komponen darang
yang penting dalam proses inflamasi seperti pada perdarahan otak. Setelah terjadi
perdarahan otak, leukosit tampak mengelilingi daerah perdarahan. Peningkatan
jumlah leukosit ini dapat ditemukan di cairan serebrospinal dan darh perifer.
Peningkatan jumlah leukosit pada darah perifer dan jumlahnya akan mengkat
sesuai dengan besarnya ukuran perdarahan. Peningkatan hitung leukosit pada
darah perifer disebabkan oleh respon tubuh terhadap stress dan kerusakan
jaringan. Tingginya jumlah leukosit dikatakan berkorelasi dengan perburukan
klinis neurologis awal pada stroke hemoragik (Yabluchanskiy, 2012).
Masuknya leukosit keotak yang mengalami perdarahan dimulai
dengan adhesi pada endotel dan sampai jarinag otak. Migrasi leukosit dari darah
keotak dimulai dengan interaksi leukosit-endotel dengan rolling yang diperantarai
oleh P-selektin dan E-selektin pada permukaan endotel dan L-selektin pada
leukosit. Membran leukosit yang terdiri dari glikoprotein kompleks yang
bertanggung jawab terhadap perlekatan ini disebut CD-18 (Nai-Wen Tsai et al,
2010).
Leukosit muncul setelah terjadi pelepasan sitokin pada daerah
perdarahan yang merangsang leukosit yang berada di marginal pool dan leukosit
matur disumsum tulang memasuki sirkulasi. Jenis leukosit yang dikerahkan pada
peradangan akut ini adalah neutrofil. Leukosit itu sendiri dapat menimbulkan lesi
yang lebih luas pada daerah perdarahan otak dengan cara infiltrasi ke neuron
kemudian melepaskan enzim hidrolisis, pelepasan radikal bebas dan peroksidase
lemak (Nai Wen Tsai et al, 2010).
Leukosit yang melakukan infiltrasi dipercaya memiliki peran pada
stroke hemoragik yang menginduksi kerusakan otak sekunder. Sebuh penelitian
praklinis pada tikus dengan perdarahan otak menunjukkan bahwa pada
pemeriksaan histopatologis terdapat infiltrasi dari leukosit disekitar perdarahan.
Setelah terjadi perdarah otak, leukosit dilepaskan dalam sirkulasi serta jaringan
dan memerlukan waktu beberapa jam. Jenis leukosit yang dikerakan pada proses
peradangan akut adalah Sel PMN yaitu neutrofil yang mengadakan infiltrasi dan

14

predominan disekirat perdarahan yang dumulai kurang dari 1 hari yaitu 3-6 jam
dan meningkat dalam 12-24 jam, kemudian dominasi ini akan digantikan dengan
monosit dalam 24-48 jam. Neutrofil mencapai puncaknya pada 2-3 hari dan
menghilang 4-7 hari (Ziai, 2013).
Proses inflamasi berkontribusi terhadap kerusakan otak sekunder
dan kehilangan neuron setelah terjadi perdarahan otak. Pada studi yang dilakukan
pada tikus, penyuntikan

darah autolog pada striatum berhubungan dengan

infiltrasi sel-sel inflamasi yang mengandung neutrofil, monosit, dan sel dentritik.
Deplesi neutrofil menghasilkan pengurangan dari infiltrasi monosit dan
memperbaiki luaran fungsional pada hari ketiga stelah terjadi stroke perdarahan.
Temuan ini mengindikasi bahwa infiltasi neutrofil pada lokasi terjadinya
perdarahan berkontribusi terhadap kerusakan otak secara langsung dimedasi oleh
degranulasi neutrofil dan penurunan keterlibatan monosit. Setelah neutrofil
bermigrasi ke jarinagn dan melakukan ekstravasasi segera akan dilepaskan
granula-granuladari neutrofil ( Sansing et al, 2011)
2.6 Gejala Stroke Hemoragik
2.6.1 Perdarahan Subdural
Gejala-gejala perdarahan subdural adalah nyeri kepala progresif,
ketajaman penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda
defisiensi neurologik daerah otak yang tertekan (Harsono, 2013).
2.6.2 Perdarahan Sub Araknoid
A. Gejala prodormal

: nyeri kepala hebat dan akut hanya 10%,

90% tanpa keluhan sakit kepala.


B. Kesadaran sering terganggu, dari tidak sadar sebentar, sedikit
delirium sampai koma
C. Fundus okuli : 10% penderita mengalami papil edema beberapa
jam stelah perdarahan
D. Gangguan fungsi saraf otonom, mengakibatkan demam setelah 24
jam karena rangsangan meningeal, muntah, berkeringat, menggigi
l, dan takikardi

15

E. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hemtemesis dan


melena (stress ulcer), dan sering disertai peningkatan kadar gula
darah, glukosuria dan albumnninuria (Arif, 2010).
2.6.3 Perdarahan Intra Serebral
Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena
hipertensi. Serangan seringkali di siang hari, waktu bergiat atau emosi/marah.
Pada permulaan serangan sering disertai dengan mual, muntah dan hemiparesis.
Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari
setengah jam, 23% antara -2 jam dan 12% terjadi setelah 2 jam sampai 19 hari)
(Arif, 2010).
2.7 Letak Perdarahan Stroke Hemoragik
2.7.1 Hemisfer Serebri
Hemisfer serebri dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer
sebrebri sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri krir
mengendalikan kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta berkaitan
dengan berpikir matematis atau logis, sedangkan heisfer serebri dextra berkaitan
dengan keterampilan, perasaan dan kemampuan seni.
2.7.2 Gangglion Basalis
Fungsional peranan umum gangglion basal adalah untuk bekerja
sebagai stasiun-stasiun pemrosesan yang menghubungkan korteks serebrum
dengan nukleus-nukleus thalamus tertentu dan akhirnya berproyeksi ke korteks
serebrum. Kerusakan pada gangglion

basalais akan mengakibatkan penderita

mengalami kesukaran untuk memulai gerak yang diingini.

2.7.3 Batang Otak


Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer
serebri dan serebelum diangkat. Medula oblongata, pons dan otak tengah

16

merupakan bagian bawah atau bagian infratentorium batang otak. Kerusakan pada
batang otak akan mengakibatkankan gangguan berupa nyeri, suhu, rasa kecap,
pendengaran, rasa raba, raba diskriminatif, dan apresiasu bentuk, berat dan tekstur.
2.7.4 Serebelum
Serebelum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebelum
berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap ruangan.
Kerusakan pada daerah ini mengakibatkan ataxia tubuh, limbung dan terhuyunghuyung. Poleoserebelum, mengendalikan otot-otot antigravitas dari tubuh, apabila
mengalami kerusakan akan menyebabkan peningkatan refleks reganggan pada
otot-otot penyokong. Neoserebelum, berfungsi sebagai pengerem pada gerakan
dibawah kemauan, terutama yang memerlukan pengawasan dan penghentian, serta
gerakan halus dari tangan. Kerusakan neoserebelum akan mengakibatkan
dysmetria, intenton tremor dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
mengubah-ubah yang cepat (Januar, 2010).
2.8 Tindakan Medis Stroke Hemoragik
Tindakan medis pada stroke hemoragik ditujukan agar penderita tetap
hidup dengan harapan perdarahan dapat berhenti secara spontan. Sekali terjadi
perdarahan maka terapi medikamentosa tidak dapat menghentikannya. Tindakan
medis yang dilakukan pada penderita stroke hemoragik meliputi:
2.8.1 Tindakan Operatif
Pertimbangan untuk melakukan operasi biasanya bila perdarahan
berada di daerah superficial (lobar) hemisfer serebri atau peradarahan serebral.
Penentuan waktu untuk operasi masih bersifat kontroversial. Berdasarkan data
mortalitas pasca operasi, disimpulkan bahwa waktu untuk operasi adalah antara -9
pasca perdarahan. Tindakan operasi segera setelah terjadi perdarahan merupakan
tindakan berbahaya karena terjadinya retraksi otak yang dalam keadaan
membengkak. Sementara itu tindakan operasi yang dini dapat menimbulkan
komplikasi iskemi obat (Wibowo, 2012).

17

2.8.2 Tindakan Konsevatif


a. Pencegahan peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut.
Upaya pencegahan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) lebih
lanjut adalah pengendalian hipertensi dan pengobatan kejang. Hipertensi yang
menetap akan meningkatkan edema otak dan TIK. Pengendalian hipertensi harus
hati-hati karena apabila terjadi hipotensi maka otak akan terancam iskemia dan
kerusakan neuron. Obat yang dianjurkan dalam mencegah peningkatan TIK
adalah beta blocker atau obat yang mempunyai aksi beta dan alfa bloking
(misalnya labetolol), diberikan secara intravena dikombinasi dengan deuritika.
Kejang biasanya terjadi pada perdarahan obat sehingga pemberian
antikonvulsan secara rutin tidak dianjurkan. Pada hiperkalemia tidak dianjurkan
untuk diberikan difenilhidantoin karena glukosa darah akan meninggi dan kejang
tidak

terkontrol.

Secara

umum

antikunfulsan

yang

dianjurkan

adalah

difenilhidantoin ( bolus intravena ) dan diazepam (Wibowo, 2012).


b. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial
Secara umum terapi untuk hipertensi intrakranial meliputi
hiperventilasi, diuretika, dan kortikosteroid. Hiperventilasi paling efektif yang
menurunkan hipertensi intrakranial secara cepat, biasanya dalam beberapa menit
untuk mecapai tingkat hipikapnia antara 25-30 mmHg.
Urea intravena (0,30 gr/KgBB), atau lebih umum dipakai manitol
(0,25-1,0 gr/KgBB) dapat menurunkan TIK secara cepat sering diberikan
bersama-sama dengan hiperventilasi pada kasus herniasi otak yang mengancam
(Wibowo, 2012).

2.9 Diagnosis Stroke

18

Konsensus
mengemukakan

Nasional
bahwa

Pengelolaan

diagnosis

dapat

Stroke
ditegakkan

di

Indonesia

dengan

1999

melakuakan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjag.


2.9.1 Anamnesis
Anemnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang
mengerti tentang penyakit yang diderita . Anamnesis dilakukan dengan
mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya waktu kejadian, penyakit lain
yang diderita, faktor-faktor resiko yg menyertai stroke.
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik
umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, anemia, paru, dan
jantung), pemeriksaan neurologis dan neurovaskular.
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang
Kemajuan teknologi kedokteran memberi kemudahan untuk
membedakan antara stroke hemoragik dan stroke iskemik diantaranya:
Computerized

Tomograph

Elektroensefalopati

(EEG),

scanning
Magnetic

(CT-scan),
Resonance

Cerebral
Imaging

angiografi,
(MRI),

Elektrokardografi (EKG), pemeriksaan laboratorium dan lainnya (Wibowo, 2012).


2.10 Letak Kelumpuhan
2.10.1 Kelumpuhan Sebelah Kiri (Hemiparese Sinistra)
Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak (Hemispere kanan otak)
yang menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kiri. Pasien dengan kelumpuhan
sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor,
kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita memberikan
perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapangan pandang yang dapat
dilihatnya (AHA, 2010).

2.10.2 Kelumpuhan Sebelah Kanan (Hemiparase Dextra)

19

Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak (Hemispere kiri otak) yang
menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kanan. Penderita ini biasanya
mempunyai kekurangan dalam komunikasi verbal. Namun persepsi tertentu harus
dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi
kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh) (AHA,
2010).
2.10.3 Kelumpuhan Kedua Sisi (Paraparase)
Karena adanya sklerosis pada banyak tempat, pemyumbatan dapat
terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan pada satu sisi dan diikuti
sisi lain. Timbul gangguan psedobulber (biasanya hanya pada vakuler) dengan
tanda-tanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga
mengakibatakan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hiperaduksi
(AHA, 2010 ).
2.11 Pencegahan Stroke
2.11.1 Pencegahan Premordial
Tujuan pencegahan permordial adalah mencegah timbulnya faktor
resiko bagi indvidu yang belum mempunyai faktor resiko. Pencegahan premordail
dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye
tentang bahaya rokok tehadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang
dapat menarik perhatian masyarakat.
Selain itu promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah
program pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang
penyakit stroke hemoragik melalui ceramah, media cetak, media elektronik
(Bustan, 2013).
2.11.2 Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor
resiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor resiko tetapi belom menderita
stroke dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain:

20

a. Menghindari merokok, sress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi


garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan
sejenisnya.
b. Mengurangi kolesterol, lemak dalam makanan seperti jerohan, daging
berlemak, goreng-gorengan.
c. Mengatur pola makan yg sehat seperti kacang-kacangan, susu dan kalsium,
ikan, serat, vitamin yang diperoleh dari makanan dan bukan suplemen (vit
C, E,B6, B12, dan Beta karoten), teh hijau dan teh hitam serta buahbuahan dan sayur-sayuran.
d. Mengendalikan faktor resiko stroke, seperti hipertens, diabetes melitus,
penyakit jantung dan lain-lain.
e. Menganjurkan Konsumsi gizi

yang seimbang dan berolahraga secara

teratur, minimal jalan kaki selama 30 menit, cukup istirahat dan check up
kesehatan secara teratur minimanl 1 kali setahu bagi yang berumur 35
tahun dan 2 kali setahun bagi yang berumur diatas 60 tahun (Bustan,
2013).
2.11.3 Pencegahan Sekunder
Untuk pencegahan sekunder, bagi mereka yang pernah mendapat stroke,
dianjurkan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Hipertensi: diet, obat antihipertensi yang sesuai


Diabetes mellitus: diet, obat hipoglikemik oral/insulin
Penyakit Jantung Aritmik nonvalvular (antokoagulan oral)
Dislipidemia: diet rendah lemak dan obat antidislipidemia
Berhenti merokok
Hindari Alkohol
Polisitemia
Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi
tromosbit pilihan pertama. Tiklopidin diberikan pada penderia yang tidak

tahan asetosal.
i. Antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit
jantung dan kondisi koagulupati yang lain
j. Tindakan bedah lainnya. (Bustan, 2013).
2.11.4 Pencegahan Tertier

21

Meliputi program rehabilitasi penderita stroke yang diberikan setelah


terjadinya stroke. Rehabilitasi meningkatkan kembali kemampuan fisik dan
mental dengan berbagai cara. Tujuan program rehabilitasi adalah memulihkan
independensi atau mengurangi ketergantungan sebanyak mungkin. Cakupan
program rehabilitasi stroke dan jumlah spesialis yang terlibat tergantung pada
dampak stroke atas pasien dan orang yang merawat (Bustan, 2013).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan

22

Stroke biasanya tidak berdiri sendiri sehingga bila ada kelainan fisiologis
yang menyertai harus diobati mialnya gagal jantung, irama jantung yang tidak
teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru-paru. Setelah serangan stroke
biasanya terjadi perubahan suasana hati (terutama depresi), yang bisa diatasi
dengan obat-obatan atau terapi psikis.
3.2 Saran
1. Antikoagulan juga biasanya tidak diberikan kepada orang penderita
tekanan darah tinggi dan tidak pernah deiberikan kepada penderita dengan
perdarahan otak karena akan menambah resiko terjadinya perdarahan ke
dalam otak.
2. Penderita stroke biasanya diberikan oksigen dan dipasang infus untuk
memasukkan cairan atau zat makanan. Pada stroke in evlution diberikan
antikoagulan (misalnya heparin), tetapi obat ini tidak diberikan jika telah
terjadi completed stroke.

DAFTAR PUSTAKA
Agnihotri, S, 2011. Peripheral Leukocyte counts and Outcomes after intracerebral
Hemmorrhage. Journal of Neuroinflammation
American Heart Assocation, 2010. Stroke Stastiistics.AHA, USA

23

Arif, dkk, 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. FKUI, Jakarta
Aronowski, Y., Zhao. G, 2011. Infection After Acute Stroke a Manifestation of
Brain Induced Immunodepression. Stroke
Bambang, M, 2013. Pencegahan Stroke Dan Jantung Pada Usia Muda. Balai
Pustaka FKUI, Jakarta
Bustan, 2013. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Pedoman Interpretasi Data
Klinik
Felgin, 2010. Stroke. PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Harsono, 2013. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua, Yogyakarta
Israr, 2010. Stroke. Jakarta
Januar, 2010. Karakteristik Penderita Stroke Non Hemoragik Yang Rawat Inap di
RS Herna Medan.
Jauch, 2013. Guidelines for the Early Management of Patients with acute
ischemic stroke. Stroke
Liebeskind, D, 2013. Intracranial Hemorrage. E. Medicine
Liera, 2010. Early Neurogic Deterioration in Intracerebral Hemmoragic
Minino, 2010. Death in the United States. NHCS Data Brief
Misbach, 2010. Stroke in Idonesia: a large prospective Hospital Based Study of
Acute stoke in hospital in Indonesia.
Mohr, 2010. Stroke Pathophysiology, Diagnosis dan Management, Elsiver
Nurzakiah, 2011. Karakteristik Penderita Stroke Yang di Rawat Inap di RSUP H.
Adam Malik, Medan
Nai-Wen, 2010. Leucocyte Apoptosis in Patients With Acute Iscemic Stroke.
Clinical and Eksperimental Pharmacology and Physiology
Quershi, 2012. Early Neurological Deterioration in Acute Ischemic Stroke
Russel, 2010. Intracerebral Hemmorage, Pedictors of Hospital Length of stay and
Cost in Patient with Intracerebral Hemmorhage, Neurology
Rincon, 2012. Intracerebral Hemmorage : Clinical Overviw Patophysiology
Concept. Translational Stroke Research
Ropper , 2010. Early neurological deterioration in acute stroke : characteristic

24

and impact on outcome


Sacco, 2013. An update Definitin of stroke 21. American Heart Association
Lumbantobing, SM, 2011. Neurogeriatri. Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Sansing, 2011. Neuntrophil Deleption Diminished Monocyte Infiltration and
Improve Functional Outcome after Experimental Intracerebral Hemmorage
Yabluchanskiy, 2012. Leukocytes as Marker of Hemmoragic Stroke Inflammatory
Nature, Kapazina
Wang, J, 2010. Preclinical and clinical Research in Inflamation After Intracerebral
Hemmorage , Prog Neurobiol
Ziai, 2013. Hematology and Inflamatory Signaling of Intracerebral Hemmorage.
American Heart Assocation

25

Anda mungkin juga menyukai