Anda di halaman 1dari 26

APLIKASI SELULOSA BAKTERI DALAM

INDUSTRI PANGAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Biologi Molekular

Disusun oleh:

Kelompok 18
Adeline Jessica

1406567813

Rizki Larasati

1406533541

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2016

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ............................................................................................. I


DAFTAR ISI..................................................................................................... II
Bab I : Pendahuluan ......................................................................................... 3
1.1

Latar Belakang ......................................................................................... 3

1.2

Perumusan Masalah ................................................................................ 4

Bab II : Pembahasan ........................................................................................ 5


2.1

Keunggulan BC ........................................................................................ 5

2.2

Bahan Makanan Mentah ......................................................................... 6

2.2.1 Nata De Coco ......................................................................................... 6


2.2.2 Daging Buatan ....................................................................................... 8
2.3

Bahan Makanan Multifungsi .................................................................. 9

2.3.1 Meningkatkan Rheologi Bahan Makanan .......................................... 10


2.3.2 Menghasilkan Rendah Kalori Produk Bahan Makanan ................... 15
2.3.3. Menghasilkan Produk Rendah KolesteroL ................................... 16
2.4

Bahan Kemasan Makanan .................................................................... 18

Bab III : Penutup ............................................................................................ 21


DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selulosa merupakan salah satu biopolimer utaman, dan sangat mempengaruhi ekonomi
global. Selulosa merupakan penyusun utama katun (lebih dari 94%), serta kayu (lebih dari 50%).
Maka itu, selulosa merupakan sumber daya untuk pembuatan kertas, tekstil, material konstruksi,
serta turunan dari selulosa seperti cellophane, rayon, dan cellulose acetate. Selulosa dari tanaman
tersusun atas glukosa, yang diproduksi oleh sel tanaman hidup melalui proses fotosintesis. Dalam
lautan, selulosa lebih banyak diproduksi oleh plankton uniseluler ataupun alga menggunakan
fiksasi karbon dioksida yang sama pada fotosintesis. Ditemukan bahwa selulosa tersebut
merupakan sumber selulosa terbesar, dan dikenal sebagai selulosa bakteri atau bacterial cellulose
(BC).
Selulosa bakteri (BC) merupakan bahan material yang dianggap ramah lingkungan,
polimer tidak bercabang dengan nanofibril, yang terdiri atas unit glukosa yang berikatan (14) glikosidik. Secara umum, selulosa yang dihasilkan bakteri berkualitas lebih baik apabila
dibandingkan dengan selulosa hasil fotosintesis. Selulosa yang dihasilkan bakteri lebih murni
(tidak mengandung baik hemiselulosa maupun lignin), lebih kuat, lebih tipis, dan lebih ringan
dibandingkan dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan. Hal ini disebabkan adanya struktur
jaringan 3 dimensi yang dimilikinya, yang terbentuk oleh mikrofibril. sehingga karakteristik BC
menjadi berbeda dengan polisakarida.
Dengan karakteristik yang sedemikian rupa, terdapat berbagai aplikasi dari BC dalam
berbagai bidang, terkhusus dalam pembahasan ini industri pangan. Dalam industri pangan, salah
satu aplikasi yang umumnya diketahui adalah dalam pembuatan nata de coco, serta daging buatan.
Selain sebagai bahan dasar, BC dapat mempengaruhi karakteristik dari suatu produk makanan,

misalnya dari sifat reologinya, ataupun kandungan nutrisinya. Adapun BC juga dapat diaplikasikan
dalam pengemasan makanan itu sendiri, yang tentunya masih terkait dalam industri pangan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa hal yang dianggap
sebagai masalah utama dalam makalah ini:
1. Apa keunggulan BC dari selulosa dari tumbuhan?
2. Bagaimana aplikasi BC dalam industri pangan, baik sebagai bahan dasar makanan ataupun
dalam mempengaruhi karakteristiknya?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Keunggulan BC
Serat makanan mempunyai berbagai keuntungan dalam kesehatan, dan dapat mengurangi

resiko penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskular, serta diverticulitis.
elulosa bakteri (BC) merupakan suatu serat makanan, yang diklasifikasikan sebagai generally
recognized safe (GRAS), dan diterima oleh administrasi pangan dan obat-obatan Amerika di
1992. Ketika dibandingkan dengan serat makanan lainnya, BC mempunyai beberapa keunggulan
seperti:

BC dihasilkan oleh mikroorganisme, sehingga selulosa yang dihasilkan adalah


dalam bentuk paling murni selulosa, dan tidak membutuhkan pengolahan kimiawi
yang ekstrim untuk mengisolasi dan memurnikannya seperti pada selulosa dari
tanaman

BC dapat menggunakan sumber medium kultur seperti sirup buah. BC yang


dikultur dalam medium demikian dapat bertumbuh, bereproduksi, dan bersekresi
secara in situ rasa, serta warna dari medium.

BC dapat menghasilkan berbagai bentuk, serta tekstur, seperti film, pulp berbagai
bentuk, filamen, bola, partikel, dan lainnya, sehingga dapat diaplikasikan dalam
pangan

Serat BC dalam skala nano dengan dengan jaringan struktur 3 dimensi, yang
memungkinkannya untuk digunakan dalam proses manufaktur makanan

Gambar 1 Berbagai Aplikasi BC dalam Pangan


(Sumber: The Korean Society of Food Science and Technology and Springer Netherlands, 1993)

2.2

Bahan Makanan Mentah

2.2.1 Nata de Coco


Nata, suatu gel selulosa bakteri, umumnya diterapkan pada suatu sajian penutup tradisional
di Filipina. Pembuatan nata sendiri diawali dengan bibit nata, yang merupakan bakteri Acetobacter
xylinum yang akan dapat membentuk serat nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah
diperkaya dengan karbon dan nitrogen melalui proses yang terkontrol. Acetobacter xylinum dapat
tumbuh pada pH sekitar 3,5 7,5, namun akan tumbuh optimal bila pada pH 4,3. Sedangkan suhu
ideal bagi pertumbuhan bakteri tersebut adalah pada suhu 28 31 C.
Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim yang dapat menyusun
zat gula menjadi polisakarida, seperti selulosa. Dari jutaan renik yang tumbuh pada air kelapa
tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat
berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata.
6

Gambar 2 Nata de coco yang Diproduksi Umumnya


(Sumber:http://www.xcalate.com/pt-saa.com/media/k2/items/cache/077ab55046ce80eaf9a3ddea999597ca_XL.jpg)

Nata sendiri terdiri atas beberapa varians, misalnya nata de coco, yang menggunakan
sumber medium kelapa, dan nata de pina, yang menggunakan nanas. Komponen utama dari nata
de coco adalah selulosa, bukan dekstran, yang diasumsikan dahulunya. Dalam produksi nata de
coco, Acetobacter xylinum memetabolisme glukosa dalam air kelapa yang berperan sebagai
sumber karbon, dan mengkonversinya menjadi selulosa ekstraseluler sebagai metabolit.
Acetobacter xylinum merupakan bakteri asam asetat, yang dikenal karena kemampuannya untuk
mengoksidasi berberapa jenis alkohol dan gula menjadi asam asetat. Bakteri asam asetat
merupakan gram negatif dan bersifat sangat aerob.

Gambar 3 Siklus Krebs

(Sumber: http://masterman2013.pbworks.com/f/1275419773/Krebs%20Cycle%20Diagram.jpg)

Acetobacter, dapat mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O melalui aktivitas
enzim dalam siklus Krebs. Genus lain, Gluconobacter, tidak dapat mengoksidasi asam asetat
karena tidak memiliki susunan lengkap dari enzim yang dibutuhkan. Acetobacter, yang sekarang
dikenal sebagai Gluconacetobacter, dapat memproduksi selulosa. Seperti yang dikatakan
sebelumnya, selulosa yang dihasilkan memiliki sifat-sifat seperti kemurnian tinggi, kristalinitas,
serta kekuatan yang tinggi. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau
meningkatkan keasaman air kelapa.
Shirai menyatakan bahwa selulosa yang dihasilkan melalui fermentasi dengan Acetobacter
aceti terdiri atas cellulose fibrils (0,9%), bound water (0,3%) dan free water (98,8%). Jaringan
selulosa mengabsorbsi air dalam kapiler berukuran 0,5-1 mikron. Ketika diberi tekanan, gel
melepaskan air, dan berdeformasi tanpa fraktur. Gel itu sendiri sedikit keras, namun menjadi layak
dikonsumsi setelah melalui proses baik dengan gula alkohol maupun alginate dan CaCl2.
Teksturnya menyerupai buah, misalnya anggur, dan moluska seperti cumi-cumi. Mekanisme yang
terjadi adalah imobilisasi air dari selulosa bergelatin oleh bahan pembentuk gel, sehinga gel dapat
menjadi mudah dipotong oleh gigi. Hasil tersebut menyatakan bahwa selulosa bergelatin dapat
menjadi bahan untuk salad, makanan penutup rendah kalori, ataupun makanan yang direkayasa.

2.2.2 Daging Buatan


Monascus, ekstrak pigmen merah alami telah diteliti sebagai pewarna untuk BC (Jzlov,
Martinkova & Ken,1996). Kompleks Monascus BC memiliki kestabilan yang baik dalam
morfologi dan warna (Purwadaria, Gunawan & Gunawan, 2010; Wonganu & Kongruang, 2010).
Rasa yang dihadirkan BC seperti daging dan merupakan pilihan yang baik untuk vegetarian dalam
menggantikan daging dan makanan laut. Monascus-nata, memiliki sifat yang menggabungkan
penurun kolesterol dengan keuntungan lain dari bakteri serat makanan (Ng, Sheu, Wang & Shyu,
2004; Ng & Shyu, 2004).

Gambar 4 Pengaruh Treatment pada Kompleks Monascus-nata dengan (a) Pencucian selama 60 Jam; (b) Pemanasan; (c)
Pembekuan; dan (d) Larutan dengan pH Berbeda selama 48 Jam
(Sumber: Ng, Chang-Chai 2004)

Hal ini juga ditunjukkan oleh percobaan yang dilakukan oleh Chang Chai Ng, yakni
memfermentasikan Monascus pada selulosa bakteri berbentuk nata de coco. Didapatkan kompleks
Monascus-nata mempunyai kestabilan warna yang cukup baik, dan serat makanan yang
berpengaruh baik dalam kesehatan. Namun, didapatkan bahwa kompleks tersebut cenderung
kurang stabil secara termal. Maka itu, efek pernurunan kolestrol masih bergantung pada kondisi
suhu tertentu. Secara umum, kompleks Monascus-nata mempunyai potensi untuk diaplikasi dalam
industri pangan, baik sebagai daging buatan, dan lain sebagainya.

2.3

Bahan Makanan Multifungsi


Hidrokoloid diterapkan untuk berbagai makanan olahan. Aplikasi hidrokoloid pada

makanan seperti pengental dalam sup, salad dressing, saus (Krystyjan, Sikora, Adamczyk, &
Tomasik, 2012); gelling agent di puding, jeli ; pengemulsi di yogurt, es krim dan mentega (Kiani,
Mousavi,Razavi, & Morris, 2010); pengganti lemak dalam daging dan produk susu; coating agent
9

dalam kembang gula dan gorengan; perekat di glasir roti; agen pengklarifikasi dalam bir dan
anggur; flocculating agent dalam anggur; encapsulating agent di bubuk atau minyak; inhibitor
kristalisasi dalam es krim dan gula sirup; stabilisator busa dalam bir; agen pengendap di susu
cokelat; pati retrogradasi inhibitor di roti dan adonan; agen pengikat air dalam makanan bebas
gluten (Ziobro, Korus, Juszczak, & Witczak, 2013); sineresis inhibitor dalam keju dan makanan
beku; dan bioplastik untuk kemasan makanan.
2.3.1 Meningkatkan Rheologi Bahan Makanan
Fungsi hidrokoloid dalam industri makanan bergantung pada reologi dan sifat permukaan.
Sifat reologi didefinisikan sebagai sifat mekanik yang mengakibatkan deformasi dan aliran
material dari adanya tekanan, yang meliputi dua dasar sifat sistem pangan yaitu, perilaku aliran
(viskositas) dan sifat mekanik padat (tekstur). Diperlukan pemahaman mengenai sifat reologi
sehingga dapat terlihat lebih dalam struktur suatu bahan, misalnya, hubungan antara tingkat crosslinkage polimer dengan elastisitasnya. Kemudian, sifat reologi sering diterapkan untuk mengontrol
bahan dasar dan mengontrol proses suatu pengolahan.
Viskositas, sering disebut viskositas dinamis, merupakan gesekan internal cairan atau
kecenderungan untuk menolak aliran. Pada suspensi, viskositas akan meningkat dengan penebalan
fase cair menuju penyerapan cairan dan hasil dari penebalan koloid tersebar. Viskositas dari sistem
hidrokoloid tergantung pada 10 faktor:
1. Konsentrasi,
2. Suhu,
3. Kelarutan,
4. Muatan listrik,
5. Derajat dispersi,
6. Perlakuan termal,
7. Perlakuan mekanik,
8. Keberadaan koloid liofilik,
9. Usia koloid liofilik,
10. Elektrolit dan non-elektrolit.
Untuk mendapatkan hasil produk, teknisi makanan biasanya menguji sifat reologi bahan
10

makanan puluhan bahkan ratusan kali. Tekstur memiliki sifat organoleptik yang menentukan
palatability atau kelezatan makanan. Profil tekstur makanan termasuk kekerasan, kekenyalan,
kelengketan, keutuhan, kekuatan tarik dan fracturability atau tingkat kepatahan (Sahin & Sumnu,
2006).
Tekstur memiliki efek yang besar terhadap konsumen produk makanan karena banyak
orang memperoleh kenikmatan tersendiri saat merasakan adanya perubahan tekstur pada makanan.
Selain itu, tekstur banyak berarti untuk orang tua dan pasien dengan kesulitan pengunyahan yang
harus makan makanan tekstur yang mudah dicerna, seperti bentuk pasta dan gel lembut, di mana
hidrokoloid makanan digunakan sebagai bahan utama (Funami, Ishihara, Nakauma, Kohyama, &
Nishinari, 2012).
Setiap jenis produk makanan olahan dapat dimanipulasi untuk mengubah tekstur dengan
penambahan hidrokoloid. Sifat permukaan yang terhubung dengan sistem koloid dalam makanan
dapat dikategorikan menjadi empat kelompok sol, gel, emulsi, dan busa berdasarkan keadaan
bahan dalam fase kontinyu dan dispersi (Sahin & Sumnu,2006). Modifikasi tekstur, viskositas dan
aktivitas permukaan sistem pangan merupakan fungsi dari hidrokoloid di makanan.
Sifat dan struktur BC sebagai bahan dalam formulasi makanan berfungsi sebagai pengaktif,
bahkan pada konsentrasi rendah, menghindari terjadinya pencampuran rasa, meningkatkan
stabilitas makanan dalam rentang pH, suhu dan kondisi beku-mencair yang beragam. BC
digunakan dalam beragam hal yaitu sebagai pengental, pembentuk gel, penstabil, dan pengikat air
(Okiyama, Motoki dan Yamanaka, 1992; Okiyama et al., 1993).
Berikut ini adalah sifat-sifat fungsional utama hidrokoloid :
1.

Bahan Pengental
Aplikasi dari hidrokoloid dengan kemampuan mengentalkan bahan makanan. Sifat

pengentalan, yaitu peningkatan viskositas adalah kunci dalam penggunaan hidrokoloid. Sebagai
pengemulsi, penstabil, dan bodying agent dalam makanan. Berdasarkan pengklasifikasian dan
sistem penomoran internasional untuk bahan aditif makanan yang diadaptasi dari Codex
Alimentarius Commission, pengental sebagai aditif makanan dengan tujuan pelabelan, yang
memiliki subkelas yaitu agen pengental, texturizer dan bodying agen sebagai fungsi teknologi.
Pengentalan terjadi ketika konsentrasi di atas kritis dikenal sebagai konsentrasi tumpang tindih (C
11

*). Pada konsentrasi rendah, hidrokoloid terdispersi berperilaku sebagai cairan Newtonian tapi
memperlihatkan perilaku non-newtonian pada konsentrasi tinggi (Phillips & Williams, 2009).
Saus tomat, menunjukkan aliran shear-thinning (geser-menipis) dengan kecenderungan
untuk menghasilkan tegangan, yang merupakan salah satu jenis makanan yang paling umum
dimana hidrokoloid pengental digunakan untuk mengontrol viskositas efek dari bahan pengental
seperti karboksimetilselulosa dan pati pada kualitas saus tomat selama penyimpanan pada 30 C
menemukan bahwa karboksimetilselulosa pada saus tomat lebih diinginkan daripada pati (Alam,
Ahmed, Akter, Islam, & Eun, 2009). Juszczak et al. menyatakan bahwa pati yang dimodifikasi
secara fisik, tidak menghasilkan hasil sifat reologinya yang baik, meskipun mengunakan beberapa
jenis pati. Sementara itu, dalam kasus saus tomat dengan pati yang dimodifikasi secara kimia, baik
jenis modifikasi pati, serta sumber pati secara signifikan mendiferensiasikannya terhadap sifat
reologinya. Saus tomat yang dikentalkan dengan pati acetylated distarch adipate menunjukkan
sifat reologi yang berbeda. Sampel dengan pati yang dimodifikasi secara fisik tidak berbeda begitu
jauh secara sifat reologi, walaupu berbagai tanaman dapat menjadi sumber untuk pati
(Juszczak,Oczady, & Gakowska, 2013).
Pati, paling umum digunakan sebagai pengental hidrokoloid, karena jumlahnya yang
berlimpah, relatif murah dan tidak merubah rasa pada konsentrasi rendah dari 25% (Saha &
Bhattacharya, 2010). Secara umum, pati memiliki keterbatasan dalam hal kelarutan dalam air
dalam aplikasi industri. Karena hubungan antara struktur dan fungsi, pati hasil modifikasi telah
dipelajari lebih lanjut untuk mendapatkan struktur dengan fungsi khusus yang diinginkin (Singh,
Kaur, & McCarthy, 2007).
Dengan adanya kelompok karboksil dan karbonil dapat menurunkan kadar amilosa dan
kekuatan untuk mengembang pada pati teroksidasi, dan pati teroksidasi menunjukkan peningkatan
kelarutan dan suhu dibanding pati murni (Sandhu, Kaur, Singh, & Lim, 2008). Sebaliknya,
acetylating akan menurunkan kekuatan ikatan dan meningkatkan kekuatan untuk mengembang
dan kelarutan butiran pati, meningkatkan stabilitas, sehingga pati yang terasetilasi dapat digunakan
untuk mencegah retrogradasi selama penyimpanan produk.

2. Bahan Penstabil dan Pengemulsi


12

Kombinasi komponen makanan diatur dalam kompleks internal struktur mikro yang
dengan beragam jenis seperti dispersi, gel, emulsi dan sebagainya (Garti, 1999). Dalam perumusan
sistem emulsi, dibedakan antara pengemulsi dan penstabil. Emulsifier adalah spesies kimia tunggal
(atau campuran spesies) yang mendorong pembentukan emulsi dan mempertahankan campuran
dengan mengurangi tegangan permukaan antara dua fase. Stabilizer adalah suatu komponen bahan
kimia, atau campuran dari komponen, yang dapat memberi stabilitas jangka panjang dalam suatu
emulsi (Dickinson, 2003). Hidrokoloid kaku tidak dianggap sebagai pengemulsi klasik namun
masuk ke dalam stabilisator karena hidrofilisitas, yaitu berat molekul tinggi dan gelasi. Contoh
pengemulsi hidrokolid diantaranya :

Gum Arabic, yang secara luas diterapkan dalam minuman ringan untuk pengemulsi
rasa pada pH rendah dan kekuatan ion tinggi serta sebagai pewarna minuman
(Nakauma et al., 2008). Gum arabic (Akasia gusi) dikategorikan ke dalam protein
arabinogalaktan yang merupakan protein rantai melalui hidroksiprolin dan serin
(Islam, Phillips, Sljivo, Snowden, & Williams, 1997).

Gum Ghatti, juga dikenal sebagai gum India, mempunyai kemampuan emulsifikasi
karena memiliki kemampuan mengikat minyak besar, tahan asam dan garam.
Komponen karet yang teradsorbsi ke tetesan minyak dalam emulsi dari Ghatti karet
(30%, w / w) dibandingkan gum arabic (7-10%). Komponen terserap dari gum
Ghatti dalam emulsi didistribusikan di kisaran berat molekul utuh dan sebaliknya
hanya molekul tinggi fraksi berat gum arabic teradsorpsi pada minyak permukaan.
Kandungan protein (4,16%) dari gum Ghatti lebih tinggi dari gum arabic

Pektin dan galaktomannan, pati yang dimodifikasi dan beberapa turunan selulosa.
Pektin biasanya diambil dari kulit jeruk tidak bekerja sebagai pengemulsi terlepas
dari derajat esterifikasi. Pektin asetat dari gula bit menunjukkan aktivitas
permukaan yang baik sementara pektin dari jeruk buah-buahan dan apel dengan
kandungan rendah asetil (<0,8%) juga memiliki aktivitas permukaan yang baik
(Dickinson, 2003).

Produk yang mengandung BC dapat mempertahankan tingkat kelembabannya setidaknya


satu bulan penyimpanan. Kepadatan dari es krim tersebut dapat bertahan selama 60 menit setelah
13

dikeluarkan dari pendingin. Sedangkan, es krim standar akan meleleh pada waktu yang sama.
3. Bahan Pembuat Gel
Sebuah gel, keadaan antara solid dan sol, memiliki jaringan tiga dimensi dimana matriks
padat disertai fasa cair halus dipisahkan cairan di dalamnya dan membentuk struktur kaku yang
tahan aliran. Dengan kata lain, gel adalah dispersi koloid di mana matriks padat adalah fase
kontinyu sementara cairan adalah fase terputus-putus (Saha & Bhattacharya, 2010). Berdasarkan
aspek reologi, gel adalah sistem viskoelastik dengan 'storage modulus '(G0) lebih besar dari'
modulus kehilangan '(G00). Jenis pembentuk gel hidrokoloid termasuk agar, alginat, karagenan,
pektin, gelatin, gellan, furcellaran, pati diubah, metil selulosa, dan lainnya. Produsen makanan
yang membuat penggunaan BC dalam produk seperti selai, jeli, puding serta makanan
direstrukturisasi (Saha & Bhattacharya, 2010; Soultani, Evageliou, Koutelidakis, Kapsokefalou,
& Komaitis, 2014).
Tekstur gel terkait erat dengan jumlah molekul yang membentuk zona persimpangan
(Junction Zone) (Stewart, Gray, Vasiljevic, & Orbell 2014; Ventura, Jammal, & Bianco-Peled,
2013). Molekul yang lebih dalam pada junction zone, lebih kaku dan akan menjadi gel. Junction
zone juga mempengaruhi perilaku termal gel. Gelatin meleleh pada suhu jauh lebih rendah karena
junction zone hanya terikat oleh ikatan hidrogen yang lemah. Sedangkan, untuk membuat gel
alginat agar yang tidak mencair pada saat dipanaskan, dibutuhkan kekuatan jembatan kalsium
dalam junction zone. Persimpangan atau junction yang paling terkenal adalah 'egg-box junction' di
alginat dan yang lain seperti triple helix pada gelatin dan double helix pada permen karet welan
(Saha & Bhattacharya, 2010).

Gambar 5 Junction zone pada Formasi Gel


(Sumber : http://www.nutravit-technology.com/gel-formation/)

Beberapa hidrokoloid secara reversibel mengubah sol ke gel dengan menaikkan atau
14

menurunkan suhu, yang tergantung pada sifat sekunder atau non-kovalen dan kekuatan molekul
seperti ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik.

Berikut merupakan beberapa contoh aplikasinya;

Penambahan hidrokoloid non-gelling dapat meningkatkan tekstur produk seperti


kue-kue, pengisi pie, dan marshmallow.

Penambahan gum arabic untuk marshmallow sejenis gelatin untuk melunakkan


tekstur.

Penambahan gel karboksimetilselulosa alginate pada agar dan jelly meningkatkan


ketahanan dari kerusakan tekstur selama proses pembekuan dan pencairan

Kekenyalan dari tahu meningkat secara signifikan dengan penambahan 0,2- 0,3%
BC.

Kamaboko merupakan produk olahan ikan yang kenyal, makanan tradisional


Jepang yang diproses dengan mempertahankan stabilitas protein miofibril daging
ikan agar terbentuk gel yang kohesif dan kokoh dengan penambahan garam, pati,
dan mendapat perlakuan pemanasan, dan siap untuk dikonsumsi. Sifat fisikokimia
yang penting dari kamaboko adalah terbentuknya matriks gel yang kohesif dan
kokoh, dan memiliki tekstur yang kenyal, struktur yang kuat (Lanier dan Lee,1992).
Penambahan BC pada kamaboko menghasilkan kamaboko dengan tingkat
kekerasan yang lebih baik. Kamaboko dengan BC dapat menghambat proses
pembusukan.

4. Bahan Pencegah Pengendapan


BC diproduksi dengan metode kultur. Penambahan BC pada minuman cokelat mencegah
terjadinya pengendapan pada biji kakao karena jaringan BC dapat mempertahankan partikel kakao,
yang akan meningkatkan stabilitas produk setelah dilakukan proses sterilisasi dengan pemanasan.
Pemanasan tidak merubah viskositas dari produk yang dihasilkan.

2.3.2 Menghasilkan Rendah Kalori Produk Bahan Makanan


15

Saat ini kebutuhan manusia akan penemuan produk makanan baru lebih mengutamakan
makanan dengan kadar lemak rendah bahkan bebas lemak. Pada awal tahun 1960-an penemuan
didiasari dengan memanfaatkan selulosa tanaman sebagai texturizer, bulking agent dan bahan
alami rendah lemak. Saat ini, pemilihan polisakarida didasarkan pada kemurnian dan lebar
seratnya. Penambahan 10% BC pada bakso menurunkan kadar lemak pada bakso namun tetap
memberikan hasil rasa yang sama dengan bakso pada umumnya. Hasilnya bakso kenyal, sehingga
berpontesial untuk menggantikan lemak dalam produk daging beremulsi (Lin & Lin, 2004).
Di Cina makanan khas tradisional surimi yaitu produk olahan, hasil perikanan setengah
jadi berupa hancuran daging ikan yang telah mengalami proses, pelumeran (leaching),
pengepresan, penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan, dan penyimpanan biasanya
ditambahkan sejumlah lemak babi untuk memberikan produk surimi yang lebih lembut di mulut.
Gum tanaman dan gel selulosa sekarang sering digunakan sebagai pengganti lemak babi dalam
produk surimi. Dalam penelitian ini, selulosa bakteri, yang memiliki kemampuan air-daya serap
yang tinggi, telah ditambahkan ke surimi untuk menilai karakteristik komposit gel. Surimi dengan
alkali-treatment menunjukkan karakteristik jaringan fase gel campuran. Penambahan nata sebagai
pengganti lemak dan tambahan sumber serat makanan yang tepat (5% atau kurang) dari tidak
mengurangi sifat kekenyalan surimi. Hasil ini membuat nata sebuah "lemak tinggi serat rendah"
emulsifier produk surimi sehat berpotensi kompetitif.
Surimi dengan penambahan BC memiliki kapasitas menyimpan air yang lebih baik karena
yang dihasilkan BC yang dapat menyempurnakan struktur jaringan sari surimi. Surimi dengan BC
dapat mempertahankan struktur setelah penyimpanan yang lama., BC sudah banyak digunakan
sebagai lemak pengganti dalam kategori ini makanan (Lin, Chen & Chen, 2011).
Guar gum merupakan hidrokoloid yang digunakan sebagai tambahan dalam makanan
rendah kalori. Guar gum digunakan sebagai pengental dan menstabilkan agen dalam berbagai
makanan. Diet dengan guar gum secara peridik dapat memperlama proses pemecahan makanan,
yang akan menunda pengosongan lambung scra cepat, memperlambat peningkatan glikemia
postprandial dan memberikan manfaat untuk fungsi usus.
2.3.3. Menghasilkan Produk Rendah Kolesterol
Es krim, salad dressing, puding, saus dan produk makanan berbasis emulsi lainnya
16

memiliki kandungan lemak dan kalori yang relatif tinggi. Maka itu, masalah yang sedang ditelusuri
adalah bagaimana merancang strategi yang efektif untuk mengurangi lemak produk. Pengurangan
kandungan lemak biasanya menurun kualitas yang diinginkan karena lemak berperan penting
dalam menentukan penampilan, tekstur dan rasa (Chung, Olson, Degner, & McClements, 2013).
Metode yang efektif adalah dengan memanfaatkan penggantian lemak.
Miraglio (1995) menyatakan sebuah pengganti lemak menunjukkan bahan yang
menggantikan beberapa atau semua fungsi lemak dan mungkin tidak memberikan nilai gizi.
Sebaliknya, lemak pengganti menggantikan semua fungsi dari lemak dan tidak meunjukkan akan
menghasilkan energi. Pengganti lemak berbasis hidrokoloid melibatkan Bacterial Cellulose (BC),
inulin, pektin, barley beta glukan, guar gum, permen okra, karet tragakan, gum xanthan,
kappacarrageenan, natrium alginat, curdlan, permen kacang locust.

Bacterial Cellulose (BC)

BC yang telah dimurnikan terbukti dapat mengurangi jumlah kolesterol (Stephens, Westland &
Neogi, 1990). Dalam percobaan vivo untuk menguji kemampuan penurun kolesterol,
menunjukkan bahwa penurunan yang signifikan dari serum trigliserida, serum kolesterol total, dan
kolesterol hati, bila dibandingkan dengan kelompok fiber- free atau bebas serat. Kelompok BC
juga memiliki kemampuan yang baik dalam menyimpan air dan cation-exchange dibandingkan
dengan selulosa dari tanaman. Sehingga, BC menjadi bahan yang sangat berguna untuk industri
makanan untuk saat ini.

Inulin

Inulin adalah fruktan linear yang terdiri fruktosa dihubungkan oleh (2-1) ikatan glikosidik
dengan terminal unit glukosa. Selain menguntungkan pada kesehatan, serta sebagai bahan
prebiotik, inulin berfungsi sebagai rendah kalori pemanis, pengganti lemak atau tekstur pengubah
(Bayarri, Chuli A, & Costell, 2010). Sebagai lemak pengganti, inulin secara luas digunakan dalam
susu dan produk daging. Penambahan rantai panjang inulin pada konsentrasi di atas 8%, susu
rendah lemak minuman bisa menunjukkan kekentalan yang sama, dengan yang dirasakan dalam
minuman susu utuh (Villegas, Carbonell, & Costell, 2007).

Locust Bean Gum


17

Locust bean gum dan konjac juga telah diteliti pada makanan rendah lemak. Seperti kita ketahui,
lemak sangat penting untuk palatabilitas produk seperti sosis. Locust bean gum menyajikan
sebagai fase terputus emulsi sosis dan mempengaruhi kelembutan dan juiciness di sosis. Jika agen
pembentuk gel ditambahkan ke sosis, selain meningkatkan kemampuan mengikat air tetapi
stabilitas panas. Digunakan tepung kentang, kacang locust karet serta kappacarrageenan dalam
kombinasi untuk meningkatkan retensi kelembaban, dari hasil uji tiga hidrokoloid, dibuat
perbandingan efeknya pada tekstur sosis rendah lemak, dan menemukan bahwa kappa-karagenan
dengan locust bean gum dapat meningkatkan tekstur dan retensi air, selama kappa-karagenan dan
locust bean gum ditambahkan dalam proporsi yang sama, terendah pengujian pati dapat digunakan
sebagai extender dalam saus daging rendah lemak (Garca-Garca & Totosaus, 2008).

2.4

Bahan Kemasan Makanan


Kemasan makanan umumnya dipakai untuk meningkatkan daya simpan atau keamanan

produk. agen antimikroba, oksigen dan etilena. Penghilang kelembaban dan penghilang noda
semua digunakan dalam sistem kemasan untuk makanan. Bahan kemasan harus kuat dan
mempertahankan sifat penghambatan kontaminasi dari luar. Esterifikasi membran berhasil
menunjukkan sifat menghambat yang lebih baik terhadap uap dan gas, dari membran BC asli.
Sementara, polylactic acid (PLA) yang merupakan poliester termoplastik memiliki sifat
biodegradable dan terbarukan tidak cocok untuk beberapa aplikasi tertentu. Dengan
menggabungkan PLA dengan selulosa bakteri, sifat komposit mengalami peningkatan untuk
kemasan makanan, karena sifat mekanik masih tetap dipertahankan transparansi dan
biokompatibilitasnya.

18

Gambar 6 Mikoorganisme yang Diisi dengan Material Polimer


Sumber: Metabolix website (www.metabolix.com).

Hidrokoloid bioplastik adalah hidrofilik, kemasan berdasarkan bahan-bahan ini memiliki


penghalang uap air rendah, yang menyebabkan stabilitas pengawetan terbatas dan sifat mekanik
yang rendah (sensitif terhadap kadar air) (Kristo, Biliaderis, & Zampraka, 2007). Namun dalam

Gambar 7 Conventional Moulded Cellulose Cup Holder(L) vs Cellulopack Cup Holder (R)
(Sumber: http://www.cellulopack.com/en/fabrication/)

bentuk gel, dapat menghambat kehilangan air selama penyimpanan jangka pendek dengen
menggunakan film hidrogel berbahan dasar karboksimetilselulosa (CMC) dan polivinilpirolidon
(PVP).
CMC dan PVP sebagai film hidrogel bersifat transparan, fleksibel dan memiliki sifat
mekanik serta biodegradasi yang baik. Selain itu, lebih menguntungkan sebagai bahan kemasan
makanan, terutama untuk buah-buahan segar dan sayuran. Hidrogel film dapat menyerap
19

kelembaban dan menjaga lingkungan tetap kering, sehingga mencegah makanan dari pembusukan
cepat, dan juga mempertahankan difusi oksigen. Selain itu, karena ada hubungan terbalik antara
uap air dan permeabilitas oksigen dalam beberapa kasus, film tersebut bisa digunakan untuk
melindungi terhadap oksidasi lipid.
Agen antimikroba ditambahkan ke dalam kemasan makanan untuk membuat sebuah sistem
kemasan aktif yang akan mempertahankan aktivitas mereka selama penyimpanan makanan (JIPA,
Stoica-Guzun & Stroescu, 2012). Jenis agen mikroba diantaranya :

Nisin untuk mengontrol Listeria monocytogenes dan jumlah bakteri aerobik pada
permukaan sosis. Nisin yang mengandung film BC efektif dalam mengendalikan L.
monocytogenes dan mengurangi jumlah bakteri aerobik pada permukaan. bakteri film
selulosa menawarkan metode yang menjanjikan untuk meningkatkan keamanan dan
memperpanjang umur simpan daging olahan.

-Poly-L-lysine (-PL) juga merupakan bahan antibakteri yang dapat dimasukkan ke


dalam membran BC untuk bertindak sebagai bahan kemasan sosis. Produk ini dapat
diproduksi dengan merendam BC dalam bentuk tubular menjadi larutan yang mengandung
-PL. Selain itu, permeabilitas oksigen dari komposit ini lebih rendah dari bahan kemasan
umum dan kekuatan tarik hanya sedikit lebih rendah dari SM dan tetap cukup baik untuk
kemasan bahan (Zhu et al., 2010).

Asam sorbat (Sorbat Acid) sebagai bahan kemasan makanan dengan kemampuan untuk
melepaskan agen antimikroba secara terkontrol.

Nanopartikel logam seperti tembaga, emas, perak dan ZnO juga agen antimikroba yang
baik. Dari jumlah tersebut nanopartikel berbasis perak lebih kuat menahan aktivitas
antimikroba terhadap banyak bakteri yang berbeda, jamur, dan virus dengan toksisitas yang
relatif rendah untuk manusia yang memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi terhadap
model mikroba seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis
(Maneerung, Tokura & Rujiravanit, 2008; Sureshkumar, Siswanto & Lee, 2010).

20

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Pembahasan diatas merupakan keunggulan serta aplikasi selulosa bakteri dalam industri

pangan, baik itu sebagai bahan dasar makanan, mempengaruhi produk makanan yang ingin
dihasilkan, maupun pengemasannya. Sebagai bahan dasar makanan, selulosa bakteri digunakan
untuk menghasilkan produk makanan seperti nata de coco, serta daging buatan yang masih dalam
tahap pengembangan. Dalam pembuatan nata de coco, selulosa dihasilkan dari bakteri Acetobacter
xylinum yang dikultur dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon dan nitrogen.
Pembuatan daging buatan merupakan kelanjutan dari nata de coco, dimana pada nata de coco
difermentasikan Monascus.
Selain menjadi bahan dasar, selulosa bakteri (BC) dapat digunakan untuk mempengaruhi
karakterisitik suatu produk makanan. Sifat karakterisitik yang dibahas dalam kesempatan ini
adalah rheologi, tingkat kolestrol, serta kalori. Sifat rheologi mencakup struktur suatu bahan,
misalnya, hubungan antara tingkat cross-linkage polimer dengan elastisitasnya. Kemudian, sifat
reologi sering diterapkan untuk mengontrol bahan dasar dan mengontrol proses suatu pengolahan.
Adapula penambahan nata sebagai salah satu BC adalah untuk menggantikan lemak pada produk
seperti salad dressing untu menurunkan kadar kolestrolnya. Tak hanya itu, BC dapat ditambahkn
dalam bakso ataupun surimi misalnya sebagai emulsifier untuk mengurangi kadar kalorinya tanpa
merubah rasa. Nisin yang mengandung BC dapat digunakan pula sebagai kemasan sosis untuk
mengendalikan Listeria monocytogenes, serta mengurangi bakteri aerobic di permukaan

3.2

Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, disarankan untuk melakukan kajian literatur lebih
dalam lagi sehingga dapat mengetahui perkembangan topik lebih baik lagi. Misalnya, untuk
mengetahui pemanfaatan BC secara detail dalam pembuatan daging buatan. Selain itu, perlu
ditelusuri lebih lanjut mengenai aplikasi selulosa bakteri lainnya dalam industri makanan, maupun
industri lainnya.
21

DAFTAR PUSTAKA

Alam, M. K., Ahmed, M., Akter, M. S., Islam, N., & Eun, J. B. 2009. Effect of
Carboxymethylcellulose and Starch as Thickening Agents on the Quality of Tomato
Ketchup. Pakistan Journal of Nutrition, 8(8), 1144-1149.
Bayarri, S., Carbonell, I., Barrios, E. X., & Costell, E. 2010. Acceptability of Yogurt and Yogurt
Like Products: Influence of Product Information and Consumer Characteristics and
Preferences. Journal of Sensory Studies, 25(s1), 171-189.
Chung, C., Olson, K., Degner, B., & McClements, D. J. 2013. Textural Properties of Model Food
Sauces: Correlation Between Simulated Mastication and Sensory Evaluation Methods.
Food research international, 51(1), 310-320.
Dickinson, E. 2003. Hydrocolloids at Interfaces and The Influence On the Properties of
Dispersed Systems. Food hydrocolloids, 17(1), 25-39.
Emmanuel O, Olorunsola, Musiliu O. Adedokun, 2014. Surface Activity as Basis for
Pharmaceutical Applications of Hydrocolloids. Journal of Applied Pharmaceutical
Science, 4 (10), 110-116.
Funami, T., Ishihara, S., Nakauma, M., Kohyama, K., & Nishinari, K. 2012. Texture design for
products using food hydrocolloids. Food Hydrocolloids, 26(2), 412-420.
Garca-Garca, E., & Totosaus, A. 2008. Low-Fat Sodium-Reduced Sausages: Effect of The
Interaction Between Locust Bean Gum, Potato Starch and -Carrageenan by A Mixture
Design Approach. Meat science, 78(4), 406-413.
Garti, N. 1999. What Can Nature Offer from an Emulsifier Point Of View: Trends And
Progress? . Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects, 152(1),
125-146.
Islam, A. M., Phillips, G. O., Sljivo, A., Snowden, M. J., & Williams, P. A. 1997. A Review of
Recent Developments On the Regulatory, Structural and Functional Aspects of Gum
Arabic. Food Hydrocolloids, 11(4), 493-505.
22

Jipa, I. M., Stoica-Guzun, A., & Stroescu, M. 2012. Controlled Release of Sorbic Acid from
Bacterial Cellulose Based Mono and Multilayer Antimicrobial Films. LWT Food Science
and Technology, 47(2), 400-406.
Jonas, R., & Farah, L. F. 1998. Production and Application of Microbial Cellulose. Polymer
Degradation and Stability, 59(1), 101-106.
Juan, Shao, Juan-Mei Li, Shao-Ping Nie*, 2015. The functional and nutritional aspects of
hydrocolloids in foods. Food Hydrocolloids, 53, 46-61.
Juszczak, L., Oczady, Z., & Gakowska, D. 2013. Effect of Modified Starches On Rheological
Properties of Ketchup. Food and Bioprocess Technology, 6(5), 1251-1260.
Jzlov, P., Martinkova, L., & Ken, V. 1996. Secondary Metabolites of the Fungus Monascus: A
Review. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology, 16(3), 163-170.
Kiani, H., Mousavi, M. E., Razavi, H., & Morris, E. R. 2010. Effect of Gellan, Alone and in
Combination with High-Methoxy Pectin, On The Structure and Stability of Doogh, A
Yogurt-Based Iranian Drink. Food Hydrocolloids, 24(8), 744-754.
Kristo, E., Biliaderis, C. G., & Zampraka, A. 2007. Water Vapour Barrier and Tensile Properties
of Composite Caseinate-Pullulan Films: Biopolymer Composition Effects and Impact of
Beeswax Lamination. Food chemistry, 101(2), 753-764.
Krystyjan, M., Sikora, M., Adamczyk, G., & Tomasik, P. 2012. Caramel Sauces Thickened with
Combinations of Potato Starch and Xanthan Gum. Journal of Food Engineering, 112(1),
22-28.
Lin, K. W., & Lin, H. Y. 2004. Quality characteristics of Chinese-style Meatball Containing
Bacterial Cellulose (Nata). Journal of Food Science, 69(3), Q107-Q111.
Lin, S. B., Chen, L. C., & Chen, H. H. 2011. Physical Characteristics of Surimi and Bacterial
Cellulose Composite Gel. Journal of Food Process Engineering, 34(4),1363-1379.
Maneerung, T., Tokura, S., & Rujiravanit, R. 2008. Impregnation of Silver Nanoparticles Into
Bacterial Cellulose for Antimicrobial Wound Dressing. Carbohydrate Polymers. 72(1), 4351.

23

Miraglio, A. M. 1995. Nutrient substitutes and their energy values in fat substitutes and
replacers. The American journal of clinical nutrition, 62(5), 1175S-1179S.
Nakauma, M., Funami, T., Noda, S., Ishihara, S., Al-Assaf, S., Nishinari, K., & Phillips, G. O.
2008. Comparison of Sugar Beet Pectin, Soybean Soluble Polysaccharide, And Gum
Arabic as Food Emulsifiers. 1. Effect of Concentration, pH, And Salts On the
Emulsifying Properties. Food Hydrocolloids, 22(7), 1254-1267.
Ng, C., Sheu, F., Wang, C., & Shyu, Y. 2004. Fermentation of Monascus Purpureus On Agri-ByProducts to Make Colorful and Functional Bacterial Cellulose (NATA). Food and
Fertilizer Technology Center.
Ng, Chang-Chai, dan Yuan-Tay Shyu. 2004. Development and Production of Cholesterollowering Monascus-nata Complex. World Journal of Microbiology & Biotechnology, 20:
875-879.
Okiyama, A., Motoki, M., & Yamanaka, S. 1992. Bacterial Cellulose II: Processing of The
Gelatinous Cellulose for Food Materials. Food Hydrocolloids, 6(5), 479-487.
Okiyama, A., Motoki, M., & Yamanaka, S. 1993. Bacterial cellulose IV: Application to
Processed Foods. Food Hydrocolloids, 6(6), 503-511.
Phillips, G. O., & Williams, P. A. (Eds.). 2009. Handbook of Hydrocolloids. Elsevier.
Phisalaphong, M., & Chiaoprakobkij, N. 2012. Applications and Products-Nata de coco. Bacterial
Cellulose: A Sophisticated Multifunctional Material, 9, 143.
Purwadaria, T., Gunawan, L., & Gunawan, A. W. 2010. The Production of Nata-colored by
Monascus purpureus J1 Pigments as Functional Food. Microbiology Indonesia, 4(1), 2.
Saha, D., & Bhattacharya, S. 2010. Hydrocolloids as thickening and gelling agents in food: a
critical review. Journal of food science and technology, 47(6), 587-597.
Sahin, S., & Sumnu, S. G. 2006. Physical Properties of Foods. Springer Science & Business
Media.
Sandhu, K. S., Kaur, M., Singh, N., & Lim, S. T. 2008. A Comparison of Native and Oxidized
Normal and Waxy Corn Starches: Physicochemical, Thermal, Morphological and Pasting
24

Properties. LWT-Food Science and Technology, 41(6), 1000-1010.


Shi, Zhijun, Yue Zhang, Glyn O. Phillips, dan Guang Yang. 2014. Utilization of Bacterial
Cellulose in Food. Food Hydrocolloids: 35, 539-545.
Singh, J., Kaur, L., & McCarthy, O. J. 2007. Factors Influencing the Physico-Chemical,
Morphological, Thermal and Rheological Properties of Some Chemically Modified
Starches for Food ApplicationsA Review. Food hydrocolloids, 21(1), 1-22.
Soultani, G., Evageliou, V., Koutelidakis, A. E., Kapsokefalou, M., & Komaitis, M. 2014. The
Effect of Pectin and Other Constituents On the Antioxidant Activity of Tea. Food
Hydrocolloids, 35, 727-732.
Stewart, M. B., Gray, S. R., Vasiljevic, T., & Orbell, J. D. 2014. Exploring The Molecular Basis
for The Metal-Mediated Assembly of Alginate Gels. Carbohydrate polymers, 102, 246253.
Sureshkumar, M., Siswanto, D. Y., & Lee, C. 2010. Magnetic Antimicrobial Nanocomposite
Based On Bacterial Cellulose and Silver Nanoparticles. Journal of Materials Chemistry,
20(33), 6948-6955.
Ventura, I., Jammal, J., & Bianco-Peled, H. 2013. Insights into The Nanostructure of LowMethoxyl PectinCalcium Gels. Carbohydrate polymers, 97(2), 650-658.
Villegas, B., Carbonell, I., & Costell, E. 2007. Inulin Milk Beverages: Sensory Differences in
Thickness and Creaminess Using RIndex Analysis of the Ranking Data. Journal of
sensory studies, 22(4), 377-393.
W. Yang a, E. Fortunati a, F. Dominici a, G. Giovanale b, A. Mazzaglia b, G.M. Balestra b, J.M.
Kenny a, D. Puglia, 2016. Macromolecular Nanotechnology Synergic effect of cellulose
and

lignin

nanostructures

in

PLA

based

systems

for

food

antibacterial

packaging. European Polymer Journal, 79, 1-12.


Zhu, H., Jia, S., Yang, H., Tang, W., Jia, Y., & Tan, Z. 2010. Characterization of Bacteriostatic
Sausage Casing: A Composite of Bacterial Cellulose Embedded With 3-Polylysine. Food
Science and Biotechnology, 19(6), 1479-1484.
Ziobro, R., Witczak, T., Juszczak, L., & Korus, J. 2013. Supplementation of Gluten-Free Bread
25

with Non-Gluten Proteins. Effect On Dough Rheological Properties and Bread


Characteristic. Food Hydrocolloids, 32(2), 213-220.

26

Anda mungkin juga menyukai