Anda di halaman 1dari 41

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
banyak negara terutama di negara berkembang. World Health Organization
(WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 miliar manusia atau sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi bakteri tuberkulosis. Pada dekade ini telah
terjadi 2,9 juta kematian akibat tuberkulosis serta infeksi HIV dan sebagian
besar terjadi di negara berkembang (Frieden, 2003).
Di Indonesia pada tahun 2009 terdapat TB BTA positif dan kasus baru
sebanyak 169.213. Sedangkan pada tahun 2010 TB BTA positif dan kasus
baru terdapat sekitar 183.366. Dari data yang diperoleh menunjukan bahwa
presentasi TB paru dari tahun ke tahun mengalami peningkatan meskipun
angka kesembuhan sudah mencapai >80% (Kemenkes RI, 2009; Kemenkes
RI, 2010; Depkes RI, 2013).
Hingga tahun 2012, Indonesia masih termasuk kedalam 5 negara dengan
insiden TB terbesar yaitu menempati urutan ke-4. Negara yang termasuk
dalam 5 negara dengan insiden TB terbesar yaitu India (2 juta-2,4 juta
kasus), Cina (900.000-1,1 juta kasus), Afrika Selatan (400.000-600.000

kasus), Indonesia (400.000-500.000 kasus), Pakistan (300.000-500.000 kasus)


(WHO, 2013).
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization
(WHO) merekomendasikan 5 strategi DOTS, yakni :
Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk
dukungan dana)
Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB (PPTI, 2010).
Meskipun Indonesia telah mengalami banyak kemajuan dengan penemuan
kasus baru 51,6 % dari target global 70 % dibandingkan pencapaian 20 %
pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003, serta penyediaan obat-obat anti
TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan kesehatan
pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia, TB
tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus
meningkat (DepKes RI, 2005).

Untuk provinsi Lampung sendiri, pada tahun 2009 kasus BTA positif
sebanyak 4.943. Sedangkan pada tahun 2010, kasus BTA positif sebanyak
5.139. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa kasus TB paru di
Lampung dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Pernyataan ini
2

didukung oleh penelitian yang dilakukan Wardani (2011) bahwa selain terjadi
peningkatan kasus dari tahun ketahun , juga diikuti dengan penyebaran dari
kasus TB yang tidak merata disemua daerah (Wardani, 2011). Berdasarkan
data yang diperoleh dari laporan bidang Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) TB paru Dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung, angka kejadian TB paru di Bandar Lampung pada bulan JanuariJuli 2014 sebesar 459. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa angka
kejadian tertinggi terdapat pada kecamatan Panjang, yaitu sebesar 44 kasus
(Depkes RI, 2009; Depkes RI, 2010; Dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung, 2014).
Dengan besarnya angka kematian akibat TB, maka peranan diagnosis serta
perawatan menjadi sangat penting. Pemeriksaan mikroskopik bakteriologi
masih merupakan cara rutin yang sering digunakan, yaitu dengan menemukan
Basil Tahan Asam (BTA) untuk menegakkan diagnosis penderita TB paru,
khususnya di negara-negara berkembang. Banyak hal yang mempengaruhi
ditemukannya BTA dalam pemeriksaan hapusan langsung antara lain keadaan
bahan yang diambil, jumlah atau konsentrasi bakteri dengan luas lesi di paru,
dan cara pemeriksaan. Untuk mendapatkan hasil positif BTA dalam sputum,
maka didalam sediaan tersebut harus terkandung 5.000 bakteri setiap 1 mL
bahan (Suradi, 2007).
Berdasarkan Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru, maka diagnosis
tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan gejala atau pemeriksaan klinis,
radiologis, dan laboratorium. Dengan mengacu rekomendasi WHO, maka
diagnosis TB paru didasarkan pada pemeriksaan sputum secara mikroskopis,

hal ini disebabkan pemeriksaan yang efisien, mudah, murah, dan cukup cepat
(dua hari). Mikroskopis sputum ini bersifat spesifik dan cukup sensitif.
Pemeriksaan sputum juga bertujuan untuk menilai kemajuan pengobatan dan
menentukan tingkat penularan. American Tuberculosis Association
menyatakan bahwa diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan
bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara
biakan (Krunner, 2001).
B. Tujuan Kerja Praktik
1. Tujuan dari Kerja Praktik ini untuk membandingkan dan menerapkan
pengetahuan akademis yang telah didapatkan, dengan memberikan
sedikit kontribusi pengetahuan pada instansi, secara jelas dan konsisten,
dengan komitmen yang tinggi.
2. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hasil pemeriksaan BTA di
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan.
C. Manfaat Kerja Praktik
Manfaat dari Kerja Praktik ini adalah untuk menambah keterampilan,
wawasan, dan pengetahuan mahasiswa mengenai pemeriksaan BTA di
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Lokasi Kerja Praktik


1. Sejarah Berdirinya Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung didirikan pada
tahun 1971 dengan nama Laboratorium Daerah. Berdasarkan SK Kepala
Dinas Provinsi lampung No. 51/SK/B.III/MTS/A/74 nama Laboratorium
Daerah diganti menjadi Balai Laboratorium Kesehatan Tanjung Karang.
Kemudian SK Mentri Kesehatan RI No.296/Menkes/IV/1994 tanggal 8
April 1994, nama Balai Laboratorium Kesehatan Tanjung Karang berubah
menjadi Balai Laboratorium Kesehatan Bandar Lampung. Dengan adanya
otonomi daerah, dimana perangkat pusat diseragkan kepada pemerintah
daerah, maka berdasarkan SK Gubernur Lampung No. 03 tahun 2001
merubah nama dari Balai Laboratorium Kesehatan Bandar Lampung
menjadi Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung.

UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung dipimpin oleh:


1. Dr. Y. Wiriasana pada tahun 1970-1974
2. Dr. H. Muchlisi Sayih pada tahun 1974-1992

3.
4.
5.
6.
7.

Dr. Nailah Indrakesuma pada tahun 1992-2000


Dr. Hj. Lesye Risnawati pada tahun 2000-2006
Drs. Sudiyono WS, Apt, M.Kes pada tahun 2006-2011
Drs. Kartika Marleni, Apt. tahun 2011-2015
Drs. Sudiyono WS, Apt, M.Kes pada tahun 2015-sekarang

2. Lokasi dan Letak Geografis


UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung berlokasi di Jalan
Sam Ratulangi No. 103 Penengahan Bandar Lampung.

3. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi UPTD Balai Laboratorium


Kesehatan Provinsi Lampung
Tugas pokok dari laboratorium Daerah ini adalah melaksanakan pelayanan
pemeriksaan laboratorium kesehatan meliputi Pelayanan Laboratorium
kesehatan klinik dan Pelayanan laboratorium kesehatan masyarakat.
Fungsi UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung meliputi:
1. Pelaksanaan Pemeriksaan Mikrobiologi
2. Pelaksanaan Pemeriksaan Hematologi
3. Pelaksanaan Pemeriksaan Patologi Klinik
4. Pelaksanaan Pemeriksaan Urinalisis
5. Pelaksanaan Pemeriksaan Serologi dan Immunologi
6. Pelaksanaan Pemeriksaan Kesehatan Masyarakat
KEPALA
UPTD BALAI
7. Pelaksanaan Pemeriksaan
Kesehatan
Lingkungan
LABORATORIUM
KESEHATAN
8. Pelaksanaan Pemantapan Mutu Internal dan Eksternal
PROVINSI
9. Pelaksanaan Bimbingan
Teknis LAMPUNG
ke Laboratorium
10. Pelaksanaan Kegiatan Rujukan
11. Pelaksanaan Urusan Tata Usaha
SUBBAG TATA USAHA

Bagan Struktur Organisasi UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi


Lampung No. 27 Tahun 2011 tanggal 6 Agustus 2010

SEKSI PELAYANAN
LABORATORIUM KLINIK

SEKSI PELAYANAN
LABORATORIUM
KESEHATAN
MASYARAKAT

6
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL

Struktur Organisasi Manajemen UPTD Balai Laboratorium Kesehatan


Provinsi Lampung Berdasarkan ISO 17025:2005

Manajer
Puncak

Manajer
Administrasi

Manajer Mutu

Pengendali
Dokumen

Tim
Audit
Internal
7

Manajer Teknis
Pelayanan
Laboratorium Klinik

Manajer Teknis
Pelayanan
Laboratorium
Kesehatan Masyarakat

Deputi Manajer
Teknis
Mikrobiologi

Deputi Manajer
Teknis Patologi
Klinik dan
Imunologi

Deputi Manajer
Teknis
Laboratorium
Kesehatan
Masyarakat

Penyelia
Laboratorium

Penyelia
Laboratorium

Penyelia
Laboratorium

Analis
Kesehatan

Analis
Kesehatan

Analis
Kesehatan

Penyelia
Pengambil
Contoh

4. Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup kegiatan di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi
Lampung meliputi:
1. Pelayanan Laboratorium Klinik:
a. Laboratorium Haemotologi
b. Laboratorium Patologi Klinik
c. Laboratorium Urinalisis
d. Laboratorium Serologi
e. Laboratorium Imunologi
f. Laboratorium Mikrobiologi
2. Pelayanan Laboratorium Kesehatan Masyarakat:
a. Toksikologi

5. Sarana dan Prasarana


UPTD Balai laboratorium Kesehatan Provinsi lampung merupakan
laboratorium milik Departement RI dengan luas bangunan gedung 745,5
m2 yang terdiri dari:
1. Ruang pendaftaran dan ruang tunggu pasien
2. Ruang pengambilan sampel
3. Ruang tata usaha
4. Ruang pemeriksaan urinalisa
5. Ruang pemeriksaan hematologi
6. Ruang pemeriksaan kimia klinik
7. Ruang pemeriksaan toksikologi dan kimia kesehatan
8. Ruang pemeriksaan mikrobiologi
9. Ruang pemeriksaan immunologi dan serologi
10. Ruang pengambilan sampel sputum
11. Gedung aula
12. Mushola
13. Ruang dapur
14. Kamar mandi
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung berkedudukan di
tingkat provinsi dan menjadi rujukan pemeriksaan di Provinsi Lampung.
B. Etiologi dan Patogenesis
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.
Secara umum Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian
kecil organ tubuh lain. Bakteri ini memiliki sifat khusus, yakni tahan
terhadap asam pada pewarnaan, oleh sebab itu dapat digunakan untuk
identifikasi sputum secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Dalam jaringan tubuh, bakteri dapat dormant (tertidur
hingga beberapa tahun) (Thomason dan Warren, 2005).

Sumber penularan dari TB adalah penderita dengan TB BTA positif pada saat
batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk
droplet (percikan sputum). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan
diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi
jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Penularan TB tidak
terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Setelah bakteri TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, bakteri
TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau menyebar langsung
ke bagian-bagian tubuh lainnya. Kemampuan penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.
Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan sputum maka semakin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan sputum negatif (tidak
terlihat bakteri), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2006).
Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer.
Infeksi primer terjadi ketika seseorang terkena bakteri TB untuk pertama
kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, didalam alveoli
(gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh bakteri TB
yang berkembang biak dengan membelah diri di paru. Waktu yang

10

diperlukan ketika terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer


adalah sekitar 4-6 minggu (Ismail, 2004).

Infeksi primer dapat berlanjut sesuai dengan banyaknya bakteri yang masuk
dan adanya respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan
bakteri TB dengan cara menyelubungi bakteri dengan jaringan pengikat.
Terdapat beberapa bakteri yang menetap sebagai persister atau dormant,
sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan
bakteri, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam
beberapa bulan. Ketika infeksi primer ini terjadi biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi.
Tetapi bagi seseorang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru
hebat, dengan ciri-ciri batuk kronik dan bersifat sangat menular serta masa
inkubasi sekitar 6 bulan. Untuk Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas yang ditunjukan penderita
TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas
atau efusi pleura (Ismail, 2004).
Seseorang yang terinfeksi bakteri TB belum tentu sakit atau tidak menularkan
bakteri TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko .
Kemungkinan untuk terinfeksi TB, tergantung pada :
Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
Lamanya kontak dengan droplet nuklei tersebut
Kedekatan dengan penderita TB

11

Risiko terinfeksi TB sebagian besar adalah faktor risiko eksternal, terutama


adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat, dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah faktor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya
sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi
HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan sebagainya (Herda,
2009).
Pada penderita TB sering terjadi komplikasi dan resistensi. Komplikasi
berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura), spontan menimbulkan
kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency) (DepKes
RI, 2005).
Penderita dengan komplikasi berat perlu dilakukan perawatan di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA

12

Negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan tersebut seringkali


dikelirukan dengan kasus kambuh. Untuk kasus tersebut, pengobatan dengan
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan
pengobatan simtomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke
unit spesialistik. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena
penggunaan OAT yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi karena penderita
menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya.
Dapat pula terjadi karena mutu obat yang dibawah standar. Resistensi ini
menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak
lagi dapat membunuh bakteri. Dampaknya, disamping kemungkinan
terjadinya penularan kepada orang disekitar penderita, juga memerlukan
biaya yang lebih mahal dalam pengobatan tahap berikutnya (DepKes RI,
2005).
C. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob obligat yang
pertumbuhannya ditentukan oleh tekanan CO2 5-10%, tetapi dapat terhambat
pada pH dibawah 6,5 serta asam lemak rantai panjang. Basil tuberkel hanya
dapat tumbuh pada suhu 35-37oC sesuai dengan kemampuannya menginfeksi
organ dalam terutama paru. M. tuberculosis tidak membentuk spora, basilus
tidak bergerak, berukuran sekitar 0,4x0,4 m, serta dinding sel dengan
banyak lipid. Basilus tuberkel tumbuh sangat lambat dengan waktu gandanya
12-20 jam, bila dibandingkan dengan bakteri pathogen lainnya yang kurang
dari 1 jam (Shulman, 1994, Jawets, 1995).

13

Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar


dapat terjadi penetrasi zat warna. Pewarnaan yang lazim digunakan adalah
dengan pengecatan Ziehl-Nielsen. Adanya lipid pada dinding sel
menyebabkan bakteri TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap
kerja bakterisidal antibiotika. M.Tuberculosis mengandung beberapa antigen
dan determinan antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat
menimbulkan reaksi silang. Sebagian besar antigen bakteri terdapat pada
dinding sel yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
(Sukasediati, 1999).
Morfologi M. tuberculosis berbentuk batang halus berukuran panjang 1-4
dan lebar 0,3-0,6 , pada pembenihan berbentuk kokoid, berfilamen, tidak
berspora, tidak bersimpai, dan sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak
dan lipid. Sifat khusus bakteri ini yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan,
oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Secara khas
bakteri ini membentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau
kerusakan jaringan. Bakteri Tuberkulosis dapat cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat gelap
dan lembab. Didalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama
bertahun-tahun (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2008).
Klasifikasi dari M. tuberculosis adalah :
Kingdom

: Bacteria

Filum

: Mycobacteria

Class

: Actinobacteria

14

Ordo

: Actinomycetales

Famili

: Mycobacteriaceae

Genus

: Mycobacterium

Spesies

: Mycobacterium tuberculosis (Widowati, 2012)

D. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan
suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe
penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting
dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum
pengobatan dimulai (DepKes RI, 2005).
Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus,
yaitu : organ tubuh yang sakit, hasil pemeriksaan sputum secara mikroskopis
langsung, riwayat pengobatan sebelumnya, ingkat keparahan penyakit.
Berdasarkan organ yang diserang oleh bakteri, maka tuberkulosis dibedakan
menjadi Tuberkulosis Paru dan Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tuberkulosis paru merupakan tuberkulosis yang menyerang jaringan
parenkim paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum, TB Paru dibagi dalam:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif.
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

15

2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif


Pemeriksaan 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA
Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran
foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses "far advanced" atau millier), dan atau keadaan umum
penderita buruk.
Tuberkulosis Ekstra Paru merupakan tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1) TB Ekstra-Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TB Ekstra-Paru Berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.
Riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe : kasus baru,
kambuh, pindahan, lalai, gagal dan kronis.

16

1) Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA
positif.
3) Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat
pengobatan di uatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /
pindah (Form TB. 09).
4) Lalai (Pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif.
5) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
6) Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 (Misnadiarly dkk, 2001).
E. Epidemiologi
Jumlah penderita TB positif di Indonesia merupakan jumlah persentase ketiga
terbesar di dunia yaitu sebesar 10 %, setelah India 30 %, dan China 15 %.
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Untuk
daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000

17

penduduk, 10 orang akan terinfeksi TB. Sebagian besar orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita TB. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat
diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000
penduduk rata-rata terjadi 100 penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50
penderita adalah BTA positif (Bambang, 2004).
Penularan TB dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, dan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah
lingkungan yang terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan
perumahan, kepadatan anggota keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi
bakteri, ketersediaan cahaya matahari, dan lain-lain. Sedangkan masalah
perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk
sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak
seimbang, dan lain-lain. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara lain
menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu
pelayanan kesehatan. Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB
adalah adalah adanya resistensi dari bakteri yang disebabkan oleh obat
(multidrug resistent organism) (Soesanto, 2000).
F. Tanda Tanda Dan Gejala Klinis
Gejala yang terjadi bagi penderita TB pada orang dewasa adalah penderita
mengalami batuk berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk
darah atau pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang
dewasa adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan

18

berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
meskipun tidak melakukan kegiatan, serta demam lebih dari sebulan (Zulkifli,
2001).
Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum, meliputi :
1) Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang
baik.
2) Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
3) Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di
daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
4) Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
5) Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda
cairan dalam abdomen (Zulkifli, 2001).
Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, terdiri dari :
TB kulit atau skrofuloderma
TB tulang dan sendi, meliputi :
Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
Tulang panggul (koksitis)

: pincang, pembengkakan di pinggul

Tulang lutut

: pincang dan atau bengkak

TB otak dan saraf ditandai oleh meningitis dengan gejala kaku kuduk,
muntah-muntah, dan kesadaran menurun.
Gejala mata biasanya terjadi Conjunctivitis phlyctenularis dan tuburkel
koroid (hanya terlihat dengan funduskopi) (Zulkifli, 2001).
G. Diagnosis
19

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dilakukan dengan pemeriksaan sputum


secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya
2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang
positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS
diulang. Pada orang dewasa, uji tuberkulin tidak memiliki arti dalam
diagnosis, hal ini disebabkan suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan
bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium
tubeculosis. Selain itu, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang
tersebut menderita TB. Misalnya pada penderita HIV (Human
Immunodeficiency Virus), malnutrisi berat, TB milier dan morbili (Thomason
dan Warren, 2005).
Untuk diagnosis TB ekstra paru, tergantung pada organ yang terkena.
Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB, dan pembengkakan tulang belakang
pada Sponsdilitis TB. Seorang penderita TB ekstra paru kemungkinan besar
juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan sputum
dan foto rontgen dada (Thomason dan Warren, 2005).

H. Pemeriksaan Sputum Mikroskopis

20

Diagnosis definitif dari TB hanya dapat ditegakkan melalui kultur


Mycobacterium tuberculosis terhadap spesimen yang diambil dari pasien.
Namun karena sulitnya dalam melakukan kultur bakteri yang tumbuh lambat
ini, maka diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain. Pemeriksaan sputum
Basil Tahan Asam (BTA) merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan di
hampir semua tempat dan relatif cepat. Diagnosis presumtif TB dapat
ditegakkan melalui temuan BTA pada sputum yang mengacu pada
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) dikeluarkan oleh
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA) (Rouillon, 2010).
Diagnosis TB paru yang digunakan saat ini secara rutin dilaboratorium
termasuk rumah sakit dan puskesmas adalah diagnosis bakteriologis dengan
teknik mikroskopis bakteri tahan asam (BTA). Pemeriksaan sputum
berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan sputum untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan spesimen sputum. Meskipun
demikian, pemeriksaan sputum BTA tidak definitif oleh karena tidak semua
basil tahan asam adalah Mycobacterium tuberculosis. Kendala pemeriksaan
sputum BTA terletak pada perolehan spesimen dengan kualitas yang baik
(Young, 2008).
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan
mikroskopis biasa dimana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan
pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan
dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan) (Ester, 2010).

21

I.

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan bakteri TB berperan penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini
dapat berasal dari sputum, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor
cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan
jaringan biopsi (Rasad, 2009).
B. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis didasarkan pada foto toraks PA. Pemeriksaan atas
indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, dan CT Scan (Rasad, 2009).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) luasnya proses yang
tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:
- Lesi minimal (Minimal Lesion)
Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra
torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
- Lesi luas (FarAdvanced)
Kelainan lebih luas dari lesi minimal. Penelitian di Bangalore, India yang
melibatkan 2229 orang dengan gejala respiratorik dan sistemik (batuk 2
minggu atau lebih, nyeri dada, panas lebih dari 4 minggu dan batuk darah)
yang kemudian dievaluasi secara radiologi (foto toraks) dan bakteriologi
(hapusan sputum).

22

C. Pemeriksaan Khusus
Seiring dengan perkembangan kini ada beberapa teknik baru untuk dapat
mendeteksi bakteri TB seperti :
a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi berdasarkan growth index.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari
M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah
kemungkinan kontaminasi.
c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot (Rasad, 2009).

23

III.

METODE KERJA

A. Waktu dan Tempat


Kegiatan kerja praktik ini dilaksanakan pada 27 Juli sampai dengan 4
September 2015 di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan, Provinsi
Lampung.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah objek glass untuk meletakan spesimen sputum,
pot sputum transparan untuk menampung sputum, ember berisi desinfektan
sebagai pengaman wadah pembuangan wadah bekas pakai, bunsen untuk
menguapkan sediaan setelah ditetesi carbol fuchsin, lidi dengan ujung runcing
untuk perataan sputum pada obyek glass, lidi dengan ujung tumpul untuk
pengambilan sputum, dan mikroskop untuk pengamatan sediaan secara
mikroskopis.
Bahan pemeriksaan yang dipergunakan yaitu berupa spesimen sputum
yang ditampung ke dalam pot sputum dengan pengambilan waktu sampel
sesuai dengan parameter yaitu SPS pada tiga waktu (sewaktu-pagi-sewaktu)
dan dua waktu (sewaktu-pagi) dan SP pada dua waktu (sewaktu-pagi) ,

24

reagen Ziehl-Neelson yang terdiri dari CF (Carbol Fuchsin), asam alkohol,


dan methylen blue, imersi oil, serta air keran bersih mengalir.
C. Metode Kerja Praktik
Metode pemeriksaan sputum didasarkan pada BTA (Basil Tahan Asam) yang
akan berwarna merah, hal ini disebabkan dinding selnya mampu meyerap
Carbol Fuchsin, adanya proses pemanasan mempermudah masuknya Carbol
Fuchsin kedalam dinding sel, sehingga dinding sel tetap mengikat zat warna
Carbol Fuchsin meskipun didekolorisasi dengan asam alkohol, sedangkan
bakteri yang tidak tahan asam saat pemberian asam alkohol akan melunturkan
Carbol Fuchsin serta dinding selnya hanya mampu menyerap methylen blue.
D. Prosedur Kerja
1. Pemberian nomor identitas sediaan
a. Kaca sediaan dipegang pada kedua sisinya untuk menghindari sidik
jari pada bahan sediaan.
b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan sesuai dengan
identitas pada pot sputum dengan menggunakan pensil kaca.
c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah
kemungkinan tertukarnya sediaan.
d. Nomor identitas sesuai dengan nomor urut laboratorium untuk
membedakan sputum 1, 2, dan 3 ditambahkan huruf A, B atau C, A
menunjukkan sputum sewaktu pertama, B untuk sputum pagi, dan C
untuk sputum sewaktu kedua.
2. Pembuatan sediaan apus dahak
a. Ambil pot sputum dan kaca sediaan yang beridentitas sama dengan
pot sputum.
b. Buka pot dengan hati-hati untuk menghindari droplet (pencemaran
sputum).

25

c. Buat sediaan apus dengan urutan sebagai berikut :


- Ambil sampel sputum pada bagian yang purulen dengan
menggunakan lidi.
- Sebarkan secara spiral kecil-kecil sputum pada permukaan kaca

3cm 2cm

No.Slide

sediaan dengan ukuran 2 x 3 cm

- Untuk meratakan sediaan buat dengan cara memutar sputum secara


spiral-spiral kecil menggunakan lidi lancip (jangan membuat spiralspiral kecil pada apusan yang sudah kering, karena dapat terkelupas
dan menjadi aerosol yang berbahaya).
- Buang lidi kedalam ember berisi desinfektan.
- Lihat ketebalannya diatas kertas koran dengan jarak 4-5 cm
(sediaan baik jika tulisan samar-samar masih terbaca, buruk jika
tulisan tidak terbaca atau terbaca jelas).
- Keringkan sediaan di udara terbuka jangan terkena sinar matahari
langsung atau jangan diatas api.
- Setelah kering lakukan fiksasi dengan pemanasan. Pastikan apusan
menghadap ke atas. Lewatkan 3x melalui api dari lampu spiritus.
Gunakan pinset untuk memegang kaca sediaan. Pemanasan yang
berlebihan akan merusak hasil.
- Lakukan pewarnaan Ziehl Neelsen.
- Cuci tangan setelah selesai membuat sediaan apus.
1) Cara penangana sputum yang bercampur darah
a. Sputum dengan darah sedikit
Pilih bagian sputum yang tidak mengandung darah dan buat
sediaan seperti biasa.
b. Sputum dengan darah sedang
Buat sediaan, kemudian fiksasi, genangi dengan air
bersih/aquadest lalu digoyang-goyang hingga warna merah

26

hilang. Lalu air dibuang dan bilas lagi dengan air kemudian
warnai dengan Ziehl Neelsen.
2) Cara penanganan sputum yang encer
Sediaan dibuat berlapis-lapis. Buat apusan seperti biasa, setelah
kering buat apusan lagi diatasnya. Demikian diulang beberapa kali
hingga ketebalannya cukup.
3. Pewarnaan BTA
Pewarnaan sediaan yang telah difiksasi, disusun diatas rak pewarnaan
maksimum sekitar 12 slide. Harus ada jarak antara setiap sediaan untuk
mencegah terjadinya kontaminasi antar sediaan.
- Letakkan sediaan sputum yang telah difiksasi pada rak dengan
hapusan sputum menghadap keatas.
- Atur sediaan diatas rak, jangan terlalu rapat, buat jarak.
- Tuangkan larutan Carbol fuchsin 0,3% pada hapusan sputum hingga
menutup seluruh permukaan sediaan sputum.
- Panaskan dengan nyala api spiritus hingga keluar uap (tidak boleh
mendidih atau kering).
- Dinginkan sediaan selama minimal 5 menit.
- Bilas sediaan dengan air mengalir pelan hingga zat warna yang bebas
terbuan. Jangan ada percikan ke sediaan lain.
- Tuang asam alkohol 3% hingga tidak tampak warna merah carbol
fuchsin.
- Bilas dengan air mengalir.
- Genangi permukaan sediaan dengan methylen blue selama 10-20
detik.
- Bilas sediaan dengan air mengalir. Jangan ada percikan ke sediaan
lain.
- Miringkan sediaan untuk mengalirkan air.
- Keringkan sediaan pada rak pengering. Jangan keringkan dengan
kertas tissue.
4. Identifikasi BTA
Setelah sediaan diwarnai dan kering lakukan pembacaan sediaan sputum.
a. Letakkan sediaan diatas meja mikroskop.

27

b. Gunakan lensa objektif 10 x untuk menentukan fokus.


c. Teteskan minyak imersi 1 tetes, putar lensa objektif 100 x.
d. Carilah Basil Tahan Asam (BTA) yang berbentuk batang berwarna
merah.
e. Periksa paling sedikit 100 lapang pandang pada garis horizontal.

f. Sediaan sputum yang telah diperiksa kemudian disimpan dalam kotak


sediaan.
5. Interpretasi
Penentuan positif atau negatif dari pemeriksaan BTA menggunakan skala
IUATLD International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases,
dengan skala pembacaan sebagai berikut :
1. Negatif
: tidak ditemukan BTA minimal dalam 100 lapang
pandang
2. Scanty (positif jarang/tulis jumlah BTA/100 LP)

: 1-9 BTA/100

lapang pandang
3. Positif 1 (+) : 10-99 BTA/100 lapang pandang
4. Positif 2 (++) : 1-10 BTA/100 lapang pandang, minimal 50
lapang pandang
5. Positif 3 (+++) : >10 BTA/100 lapang pandang, periksa minimal
20 lapang pandang

Catatan :
Bila hanya ditemukan 1-3 BTA/100 LP, pemeriksaan harus diulang
dengan specimen baru, bila sudah diulang hasilnya tetap 1-3
BTA/100 LP maka hasil ditulis negatif dan bila ditemukan 4-9
BTA/100 LP maka hasil ditulis positif.

28

29

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Dari hasil pelaksanaan kerja praktik ini, diperoleh data pengamatan sebagai
berikut :

Gambar 1. Grafik hasil pemeriksaan BTA pada Agustus 2014 - Agustus 2015

30

Gambar 2. Grafik jumlah penderita TB berdasarkan umur

Gambar 3. Grafik jumlah penderita TB berdasarkan jenis kelamin

B. Pembahasan
Dalam pemeriksaan BTA di UPTD Balai Laboratorium Kesehasatan Daerah
terdapat karakteristik yang dapat mempengaruhi terjadinya TBC paru yaitu,
umur dan jenis kelamin. Berdasarkan data hasil pemeriksaan BTA
menunjukkan pada Agustus 2014 hingga Agustus 2015 penemuan BTA positif

31

sebanyak 13 kasus (14,61%), dengan suspek 89. Dari data penemuan


tersebut, penemuan suspek dan TBC BTA positif yang terbanyak terjadi pada
Maret 2015 dengan hasil penemuan BTA positif sebanyak 2 kasus dengan
suspek 7 dan pada Oktober 2015 dengan hasil penemuan BTA positif
sebanyak 2 kasus dengan suspek 2. Di bandingkan dengan Januari 2015,
Februari 2015, dan Juni 2015 yang tidak ditemukan kasus BTA positif. Dari
data penderita penyakit tuberkulosis di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan
Daerah ternyata angka kejadian TBC pada Juli 2015 hingga Agustus 2015
menunjukkan angka kejadian kasus TBC positif sebanyak 2 dengan suspek 20
orang, dibandingkan Juni 2015 dengan tidak terjadinya kasus TBC positif dari
6 suspek. Jumlah suspek terbanyak terjadi pada April 2015, Juli 2015, dan
Agustus 2015 dengan masing-masing 10 orang.
Berdasarkan pada data, subjek pemeriksaan berusia 1585 tahun dengan
jumlah kasus terbanyak didapatkan pada kelompok usia produktif, yaitu 2140 tahun sebanyak 9 orang atau 69,23%, pada kelompok usia setengah baya,
yaitu 53- 60 tahun sebanyak 3 orang atau 23,1%, dan pada kelompok lanjut
usia, yaitu 73 tahun sebanyak 1 orang atau 7,69%. Hal ini sesuai dengan
laporan WHO tahun 2000 yang menyatakan bahwa usia terbanyak penderita
tuberkulosis adalah 1549 tahun. Umur secara statistik berhubungan
bermakna dengan kejadian penyakit TB paru, seorang yang berumur lebih
dari 37 tahun berisiko 2 kali lebih besar untuk tertular penyakit TB paru BTA
(+) daripada orang yang berumur muda (< 37 tahun). Hasil ini sesuai dengan
data dari surveilans Center for Disease Control and Prevention (CDC),
penderita TB paru yang berumur tua lebih dari separuh dengan sputum BTA

32

(+) dapat menularkan kepada orang lain sebagai akibat penurunan status
imunitas karena proses penuaan atau komorbiditas seperti diabetes melitus,
malnutrisi, penyakit kronik, dan keganasan lainnya (Suyono, 2001). TB paru
pada usia lanjut lebih disebabkan oleh reaktivasi infeksi primer kuman TB
paru yang dorman sejak berpuluh tahun sebelumnya. TB paru yang terjadi
pada usia produktif disebabkan oleh interaksi serta mobilitas yang tinggi pada
pasien usia produktif sehingga memungkinkan tertular dan menularkan
terhadap orang lain serta lingkungan tempat tinggal. (Sihombing dkk, 2012).
Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin pada pemeriksaan BTA di
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Daerah terbanyak pada laki-laki yaitu
berjumlah 8 orang atau 61,54% jika dibandingkan dengan perempuan.
Keadaan ini sesuai dengan laporan WHO tahun 2000 dan hasil penelitian Rao
dan Sadiq tahun 2000, yang keduanya mendapatkan penderita laki-laki
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Laporan WHO
menyatakan tidak ada perbedaan kemungkinan timbulnya kasus TB paru
antara laki-laki dan perempuan, diperkirakan jumlah penderita laki-laki sama
banyak dengan perempuan. Dengan demikian, jumlah kasus yang selama ini
dilaporkan bahwa perempuan lebih sedikit kasusnya disebabkan
kemungkinan karena kurang terdiagnosis. Beberapa alasan perempuan tidak
terdiagnosis sebagaimana mestinya, diantaranya yaitu perempuan merasa
tidak ada waktu karena kesibukannya mengurus keluarga, masalah biaya dan
transportasi, tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, dan faktor
sosiobudaya yang menghambat perempuan untuk kontak dengan petugas
kesehatan laki-laki (Mfinanga dkk, 2007; Ben-Salma, 2009). Menurut

33

penelitian yang dilakukan Watkins dan Plant (2006), laki-laki lebih banyak
menderita TB paru dibandingkan perempuan, hal ini dikarenakan kebiasaan
merokok pada laki-laki. Merokok diprediksikan sebagai faktor yang
signifikan menyebabkan terjadinya perbedaan proporsi jenis kelamin terhadap
kejadian TB paru di dunia. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa
merokok adalah faktor resiko penting yang dapat diubah (modified) dan
memiliki dampak yang signifikan terhadap epidemiologi TB paru secara
global.
Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit TBC pada
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi,
status gizi, umur, dan jenis kelamin.
1. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,
lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk
dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga
dengan penularan TBC, karena pendapatan yang rendah akan menyebabkan
status gizi yang kurang sebagai akibat dari ketidaksesuaian mengkonsumsi
makanan sesuai dengan kadar gizi.
2. Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting
yang berpengaruh di negara-negara berkembang, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak.

34

Seseorang dengan status gizi yang buruk (indeks massa tubuh (IMT) > 25,1
dan < 18,4) berisiko 8 kali lebih besar untuk menderita penyakit TB paru
daripada orang dengan status gizi baik (IMT = 18,5-25,0). Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa kelompok orang yang kurus berisiko
2,57-6,6 kali lebih besar untuk menderita TB paru daripada kelompok gizi
normal. Begitu juga dengan hasil penelitian Sutrisna menyatakan bahwa
orang yang status gizinya kurang mempunyai risiko 2,57 kali menderita TB
paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup (Dahlan,
2001).
3. Umur
Menurut (WHO 2007), batas usia remaja pada 12-24 tahun, batasan usia
dewasa pada 25-40 tahun, batas usia setengah baya pada 40-60 tahun, batas
lanjut usia pada 60-74 tahun, batas lanjut usia tua pada 75-90 tahun, dan batas
usia sangat tua pada > 90 tahun. Penyakit TB paru paling sering ditemukan
pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun . Dengan terjadinya transisi
demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih
tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunolosis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
penyakit TB-paru. orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat
kesehatan.

4. Jenis kelamin

35

Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan


perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya dalam
periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru,
dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi
kematian yang disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses
kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih
tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan
agen penyebab TB paru.

36

V.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari hasil kerja praktik di UPTD Balai
Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Lampung adalah sebagai berikut :
1.

Hasil pemeriksaan BTA positif pada Agustus 2014 hingga Agustus 2015

2.

adalah sebesar 14,61%.


Jumlah kasus BTA positif terbanyak pada usia produktif sebesar 69,23%,
diikuti kelompok usia setengah baya sebesar 23,1%, dan kelompok lanjut

3.

usia sebesar 7,69%.


Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus BTA positif terbanyak ditemukan
pada laki-laki yaitu 61,54%.

DAFTAR PUSTAKA

37

Anti Tuberculosis Drug Resistant in the World, Report no. 2 prevalence and trend.
2000. The WHO/IUATLD Global Project on Anti Tuberculosis Resistant
Surveillance. CDC-WHO. Geneva.
Bambang Giatno.(2004). Di Indonesia menempati urutan ketiga setelah Cina dan
India. PT Pustaka Swara. Surabaya.
Ben-Salma W, Ben-Kahla I, Marzouk M, Farjeni A, Ghezal S, Ben-Said M, dkk.
2009. Rapid detection of Mycobacterium tuberculosis in sputum by pathoTB kit in comparison with direct microscopy and culture. Diagnostic
Microbiol Infect Dis.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention Atlanta. 1989. Pedoman
lokakarya penggunaan metode epidemiologi. Studi Kesehatan Reproduksi.
BKKBN. Jakarta.
Dahlan A. 2001. Faktor-faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan
kejadian penyakit TB paru BTA (+) (studi kasus kontrol) di Kota Jambi
tahun 2000-2001 [tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas). Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2005. Rencana Strategi Depkes 2005-2009. Depkes RI. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2014. Laporan Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2014. Depkes RI. Jakarta.
Ester .2010. Penanganan Penyakit Paru dan Kepatuhan dalam Berobat.EGC.
Jakarta.

38

Frieden T. 2003. Tomans tuberculosis case detection, treatment and


monitoring,question and answers 2nd ed. WHO. Geneva.
Herda Andryani Lidya. 2009. Studi prevalensi dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan tuberkulosis .FKM UI. Jakarta.
Hiswani. 2009. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. J Kesehat Masy Indonesia.
Ismail Y. 2004. Pulmonary tuberculosis- a review of clinical features and
diagnosis in 232 cases. Medical Journal of Malaysia .
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelburg, E. A. 1995. Mikrobiologi untuk Profesi
Kesehatan (Review of Medical Microbiology). Edisi 16, 239-244, EGC,
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg,
E. A., 2001, Mikrobiologi.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2010-2014. Jakarta.
Kemenkes RI. 2009. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014.
Jakarta.
Krunner A, Hoffner SE, Sillastu H, Danilovits N, Levina K, Svenson SB, dkk.
2001. Spread of drug resistant pulmonary tuberculosis in Estonia. J Clin
Microbiol.
Mfinanga GS, Ngadaya E, Mtandu R, Mutayoba B, Basra D, Kimaro G, dkk.
2007. The quality of sputum smear microscopy diagnosis of pulmonary
tuberculosis in Dar es Salaam, Tanzania. Tanzania Health Research Bull.
Misnadiarly, Kanti, Laras, Irawati. (2001). Puslitbang pemeberantasan penyakit,
Badan Litbang Kesehatan. Namru-2. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006 . Tuberkulosis Pedoman Diagnosis
dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika.
Jakarta.
[PPTI] Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia Jakarta. 2010.
Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Keputusan kongres VIII PPTI
tanggal 25-28Maret 2010.
PPTI. 2010. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Volume 7. Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). Jakarta.
Rao NA, Sadiq MA. 2002. Recent trend in the radiological presentation of
pulmonary tuberculosis in Pakistani adults. JPMA.

39

Rasad S. 2009. Radiologi Diagnostik Edisi ke-2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Rouillon, A., dan Enarson, D.A., (2010). History of the Union: IUALTD [internet]
(diunduh 30 Agustus 2015). Tersedia pada. http://www.theunion.org/aboutthe-union/history-of-the-union.html.
Shulman, S. T., Phair, J. P., Sommers, H. M. 1994. Dasar Biologi dan Klinis
Penyakit Infeksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sihombing H, Sembiring H, Amir Z, Sinaga BYM. 2012. Pola resistensi primer
pada penderita TB Paru kategori I di RSUP H. Adam Malik Medan. J
Respir Ind.
Soesanto, Sri S. (2000). Hubungan kondisi perumahan dengan penularan
penyakit ISPA dan TB Paru. Jurnal Media Litbang Kesehatan Vol. X
No. 2 Tahun 2000.
Sukasediati, Nani. dkk. (1999). Pola kuman mycobacterium tuberdulosis dan
keefektifan paduan OAT pada penderita TB Paru di 10 Puskesmas
DKI Jakarta, 1997. Buletin. Peneliti. Kesehatan. 27 (3&4). 1999/2000.
Suradi. 2007. Pengaruh Rokok pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis, dan Sosial. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Suyono S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-3. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Thomason AR, Warren EI. 2005. Tuberculosis: A Clinical Rreview. Pharmacist.
US.
Wardani, Ratih Sari. 2011. Basis data sistem informasi surveilans tuberculosis.
J Kesehat Masy Indones Vol 6 No 1 Th 2010.
Watkins, R. E., & Plant, A. J. 2006. Does smoking explain sex differences in
the global tuberculosis epidemic? Epidemiol. nfect. Diunduh pada 25
Agustus 2015. www.jstor.org/stable/3865638.
[WHO] World Health Organization. 2013. One third of worlds population
benefits from effective. World Health Organization. Pananama.
Widowati H. 2012. Tuberkulosis Paru. Widowati H (penyunting). Karisma
Publishing Group. Tangerang Selatan.
Young DB, Perkins MD, Duncan K, CE Barry. 2008. Confronting the scientific
obstacles to global control of tuberculosis. J Clin Invest.

40

Zulkifli Amin, Asril Bahar. (2001). Pengobatan tuberkulosis. Pusat informasi dan
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran UI.
Jakarta.

41

Anda mungkin juga menyukai