PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
banyak negara terutama di negara berkembang. World Health Organization
(WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 miliar manusia atau sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi bakteri tuberkulosis. Pada dekade ini telah
terjadi 2,9 juta kematian akibat tuberkulosis serta infeksi HIV dan sebagian
besar terjadi di negara berkembang (Frieden, 2003).
Di Indonesia pada tahun 2009 terdapat TB BTA positif dan kasus baru
sebanyak 169.213. Sedangkan pada tahun 2010 TB BTA positif dan kasus
baru terdapat sekitar 183.366. Dari data yang diperoleh menunjukan bahwa
presentasi TB paru dari tahun ke tahun mengalami peningkatan meskipun
angka kesembuhan sudah mencapai >80% (Kemenkes RI, 2009; Kemenkes
RI, 2010; Depkes RI, 2013).
Hingga tahun 2012, Indonesia masih termasuk kedalam 5 negara dengan
insiden TB terbesar yaitu menempati urutan ke-4. Negara yang termasuk
dalam 5 negara dengan insiden TB terbesar yaitu India (2 juta-2,4 juta
kasus), Cina (900.000-1,1 juta kasus), Afrika Selatan (400.000-600.000
Untuk provinsi Lampung sendiri, pada tahun 2009 kasus BTA positif
sebanyak 4.943. Sedangkan pada tahun 2010, kasus BTA positif sebanyak
5.139. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa kasus TB paru di
Lampung dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Pernyataan ini
2
didukung oleh penelitian yang dilakukan Wardani (2011) bahwa selain terjadi
peningkatan kasus dari tahun ketahun , juga diikuti dengan penyebaran dari
kasus TB yang tidak merata disemua daerah (Wardani, 2011). Berdasarkan
data yang diperoleh dari laporan bidang Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) TB paru Dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung, angka kejadian TB paru di Bandar Lampung pada bulan JanuariJuli 2014 sebesar 459. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa angka
kejadian tertinggi terdapat pada kecamatan Panjang, yaitu sebesar 44 kasus
(Depkes RI, 2009; Depkes RI, 2010; Dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung, 2014).
Dengan besarnya angka kematian akibat TB, maka peranan diagnosis serta
perawatan menjadi sangat penting. Pemeriksaan mikroskopik bakteriologi
masih merupakan cara rutin yang sering digunakan, yaitu dengan menemukan
Basil Tahan Asam (BTA) untuk menegakkan diagnosis penderita TB paru,
khususnya di negara-negara berkembang. Banyak hal yang mempengaruhi
ditemukannya BTA dalam pemeriksaan hapusan langsung antara lain keadaan
bahan yang diambil, jumlah atau konsentrasi bakteri dengan luas lesi di paru,
dan cara pemeriksaan. Untuk mendapatkan hasil positif BTA dalam sputum,
maka didalam sediaan tersebut harus terkandung 5.000 bakteri setiap 1 mL
bahan (Suradi, 2007).
Berdasarkan Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru, maka diagnosis
tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan gejala atau pemeriksaan klinis,
radiologis, dan laboratorium. Dengan mengacu rekomendasi WHO, maka
diagnosis TB paru didasarkan pada pemeriksaan sputum secara mikroskopis,
hal ini disebabkan pemeriksaan yang efisien, mudah, murah, dan cukup cepat
(dua hari). Mikroskopis sputum ini bersifat spesifik dan cukup sensitif.
Pemeriksaan sputum juga bertujuan untuk menilai kemajuan pengobatan dan
menentukan tingkat penularan. American Tuberculosis Association
menyatakan bahwa diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan
bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara
biakan (Krunner, 2001).
B. Tujuan Kerja Praktik
1. Tujuan dari Kerja Praktik ini untuk membandingkan dan menerapkan
pengetahuan akademis yang telah didapatkan, dengan memberikan
sedikit kontribusi pengetahuan pada instansi, secara jelas dan konsisten,
dengan komitmen yang tinggi.
2. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hasil pemeriksaan BTA di
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan.
C. Manfaat Kerja Praktik
Manfaat dari Kerja Praktik ini adalah untuk menambah keterampilan,
wawasan, dan pengetahuan mahasiswa mengenai pemeriksaan BTA di
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
3.
4.
5.
6.
7.
SEKSI PELAYANAN
LABORATORIUM KLINIK
SEKSI PELAYANAN
LABORATORIUM
KESEHATAN
MASYARAKAT
6
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL
Manajer
Puncak
Manajer
Administrasi
Manajer Mutu
Pengendali
Dokumen
Tim
Audit
Internal
7
Manajer Teknis
Pelayanan
Laboratorium Klinik
Manajer Teknis
Pelayanan
Laboratorium
Kesehatan Masyarakat
Deputi Manajer
Teknis
Mikrobiologi
Deputi Manajer
Teknis Patologi
Klinik dan
Imunologi
Deputi Manajer
Teknis
Laboratorium
Kesehatan
Masyarakat
Penyelia
Laboratorium
Penyelia
Laboratorium
Penyelia
Laboratorium
Analis
Kesehatan
Analis
Kesehatan
Analis
Kesehatan
Penyelia
Pengambil
Contoh
Sumber penularan dari TB adalah penderita dengan TB BTA positif pada saat
batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk
droplet (percikan sputum). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan
diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi
jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Penularan TB tidak
terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Setelah bakteri TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, bakteri
TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau menyebar langsung
ke bagian-bagian tubuh lainnya. Kemampuan penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.
Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan sputum maka semakin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan sputum negatif (tidak
terlihat bakteri), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2006).
Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer.
Infeksi primer terjadi ketika seseorang terkena bakteri TB untuk pertama
kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, didalam alveoli
(gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh bakteri TB
yang berkembang biak dengan membelah diri di paru. Waktu yang
10
Infeksi primer dapat berlanjut sesuai dengan banyaknya bakteri yang masuk
dan adanya respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan
bakteri TB dengan cara menyelubungi bakteri dengan jaringan pengikat.
Terdapat beberapa bakteri yang menetap sebagai persister atau dormant,
sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan
bakteri, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam
beberapa bulan. Ketika infeksi primer ini terjadi biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi.
Tetapi bagi seseorang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru
hebat, dengan ciri-ciri batuk kronik dan bersifat sangat menular serta masa
inkubasi sekitar 6 bulan. Untuk Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas yang ditunjukan penderita
TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas
atau efusi pleura (Ismail, 2004).
Seseorang yang terinfeksi bakteri TB belum tentu sakit atau tidak menularkan
bakteri TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko .
Kemungkinan untuk terinfeksi TB, tergantung pada :
Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
Lamanya kontak dengan droplet nuklei tersebut
Kedekatan dengan penderita TB
11
12
13
: Bacteria
Filum
: Mycobacteria
Class
: Actinobacteria
14
Ordo
: Actinomycetales
Famili
: Mycobacteriaceae
Genus
: Mycobacterium
Spesies
15
16
1) Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA
positif.
3) Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat
pengobatan di uatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /
pindah (Form TB. 09).
4) Lalai (Pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif.
5) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
6) Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 (Misnadiarly dkk, 2001).
E. Epidemiologi
Jumlah penderita TB positif di Indonesia merupakan jumlah persentase ketiga
terbesar di dunia yaitu sebesar 10 %, setelah India 30 %, dan China 15 %.
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Untuk
daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000
17
penduduk, 10 orang akan terinfeksi TB. Sebagian besar orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita TB. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat
diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000
penduduk rata-rata terjadi 100 penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50
penderita adalah BTA positif (Bambang, 2004).
Penularan TB dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, dan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah
lingkungan yang terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan
perumahan, kepadatan anggota keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi
bakteri, ketersediaan cahaya matahari, dan lain-lain. Sedangkan masalah
perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk
sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak
seimbang, dan lain-lain. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara lain
menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu
pelayanan kesehatan. Masalah lain yang muncul dalam pengobatan TB
adalah adalah adanya resistensi dari bakteri yang disebabkan oleh obat
(multidrug resistent organism) (Soesanto, 2000).
F. Tanda Tanda Dan Gejala Klinis
Gejala yang terjadi bagi penderita TB pada orang dewasa adalah penderita
mengalami batuk berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk
darah atau pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang
dewasa adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan
18
berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
meskipun tidak melakukan kegiatan, serta demam lebih dari sebulan (Zulkifli,
2001).
Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum, meliputi :
1) Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang
baik.
2) Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
3) Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di
daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
4) Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
5) Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda
cairan dalam abdomen (Zulkifli, 2001).
Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, terdiri dari :
TB kulit atau skrofuloderma
TB tulang dan sendi, meliputi :
Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
Tulang panggul (koksitis)
Tulang lutut
TB otak dan saraf ditandai oleh meningitis dengan gejala kaku kuduk,
muntah-muntah, dan kesadaran menurun.
Gejala mata biasanya terjadi Conjunctivitis phlyctenularis dan tuburkel
koroid (hanya terlihat dengan funduskopi) (Zulkifli, 2001).
G. Diagnosis
19
20
21
I.
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan bakteri TB berperan penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini
dapat berasal dari sputum, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor
cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan
jaringan biopsi (Rasad, 2009).
B. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis didasarkan pada foto toraks PA. Pemeriksaan atas
indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, dan CT Scan (Rasad, 2009).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) luasnya proses yang
tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:
- Lesi minimal (Minimal Lesion)
Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra
torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
- Lesi luas (FarAdvanced)
Kelainan lebih luas dari lesi minimal. Penelitian di Bangalore, India yang
melibatkan 2229 orang dengan gejala respiratorik dan sistemik (batuk 2
minggu atau lebih, nyeri dada, panas lebih dari 4 minggu dan batuk darah)
yang kemudian dievaluasi secara radiologi (foto toraks) dan bakteriologi
(hapusan sputum).
22
C. Pemeriksaan Khusus
Seiring dengan perkembangan kini ada beberapa teknik baru untuk dapat
mendeteksi bakteri TB seperti :
a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi berdasarkan growth index.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari
M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah
kemungkinan kontaminasi.
c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot (Rasad, 2009).
23
III.
METODE KERJA
24
25
3cm 2cm
No.Slide
26
hilang. Lalu air dibuang dan bilas lagi dengan air kemudian
warnai dengan Ziehl Neelsen.
2) Cara penanganan sputum yang encer
Sediaan dibuat berlapis-lapis. Buat apusan seperti biasa, setelah
kering buat apusan lagi diatasnya. Demikian diulang beberapa kali
hingga ketebalannya cukup.
3. Pewarnaan BTA
Pewarnaan sediaan yang telah difiksasi, disusun diatas rak pewarnaan
maksimum sekitar 12 slide. Harus ada jarak antara setiap sediaan untuk
mencegah terjadinya kontaminasi antar sediaan.
- Letakkan sediaan sputum yang telah difiksasi pada rak dengan
hapusan sputum menghadap keatas.
- Atur sediaan diatas rak, jangan terlalu rapat, buat jarak.
- Tuangkan larutan Carbol fuchsin 0,3% pada hapusan sputum hingga
menutup seluruh permukaan sediaan sputum.
- Panaskan dengan nyala api spiritus hingga keluar uap (tidak boleh
mendidih atau kering).
- Dinginkan sediaan selama minimal 5 menit.
- Bilas sediaan dengan air mengalir pelan hingga zat warna yang bebas
terbuan. Jangan ada percikan ke sediaan lain.
- Tuang asam alkohol 3% hingga tidak tampak warna merah carbol
fuchsin.
- Bilas dengan air mengalir.
- Genangi permukaan sediaan dengan methylen blue selama 10-20
detik.
- Bilas sediaan dengan air mengalir. Jangan ada percikan ke sediaan
lain.
- Miringkan sediaan untuk mengalirkan air.
- Keringkan sediaan pada rak pengering. Jangan keringkan dengan
kertas tissue.
4. Identifikasi BTA
Setelah sediaan diwarnai dan kering lakukan pembacaan sediaan sputum.
a. Letakkan sediaan diatas meja mikroskop.
27
: 1-9 BTA/100
lapang pandang
3. Positif 1 (+) : 10-99 BTA/100 lapang pandang
4. Positif 2 (++) : 1-10 BTA/100 lapang pandang, minimal 50
lapang pandang
5. Positif 3 (+++) : >10 BTA/100 lapang pandang, periksa minimal
20 lapang pandang
Catatan :
Bila hanya ditemukan 1-3 BTA/100 LP, pemeriksaan harus diulang
dengan specimen baru, bila sudah diulang hasilnya tetap 1-3
BTA/100 LP maka hasil ditulis negatif dan bila ditemukan 4-9
BTA/100 LP maka hasil ditulis positif.
28
29
IV.
A. Hasil
Dari hasil pelaksanaan kerja praktik ini, diperoleh data pengamatan sebagai
berikut :
Gambar 1. Grafik hasil pemeriksaan BTA pada Agustus 2014 - Agustus 2015
30
B. Pembahasan
Dalam pemeriksaan BTA di UPTD Balai Laboratorium Kesehasatan Daerah
terdapat karakteristik yang dapat mempengaruhi terjadinya TBC paru yaitu,
umur dan jenis kelamin. Berdasarkan data hasil pemeriksaan BTA
menunjukkan pada Agustus 2014 hingga Agustus 2015 penemuan BTA positif
31
32
(+) dapat menularkan kepada orang lain sebagai akibat penurunan status
imunitas karena proses penuaan atau komorbiditas seperti diabetes melitus,
malnutrisi, penyakit kronik, dan keganasan lainnya (Suyono, 2001). TB paru
pada usia lanjut lebih disebabkan oleh reaktivasi infeksi primer kuman TB
paru yang dorman sejak berpuluh tahun sebelumnya. TB paru yang terjadi
pada usia produktif disebabkan oleh interaksi serta mobilitas yang tinggi pada
pasien usia produktif sehingga memungkinkan tertular dan menularkan
terhadap orang lain serta lingkungan tempat tinggal. (Sihombing dkk, 2012).
Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin pada pemeriksaan BTA di
UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Daerah terbanyak pada laki-laki yaitu
berjumlah 8 orang atau 61,54% jika dibandingkan dengan perempuan.
Keadaan ini sesuai dengan laporan WHO tahun 2000 dan hasil penelitian Rao
dan Sadiq tahun 2000, yang keduanya mendapatkan penderita laki-laki
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Laporan WHO
menyatakan tidak ada perbedaan kemungkinan timbulnya kasus TB paru
antara laki-laki dan perempuan, diperkirakan jumlah penderita laki-laki sama
banyak dengan perempuan. Dengan demikian, jumlah kasus yang selama ini
dilaporkan bahwa perempuan lebih sedikit kasusnya disebabkan
kemungkinan karena kurang terdiagnosis. Beberapa alasan perempuan tidak
terdiagnosis sebagaimana mestinya, diantaranya yaitu perempuan merasa
tidak ada waktu karena kesibukannya mengurus keluarga, masalah biaya dan
transportasi, tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, dan faktor
sosiobudaya yang menghambat perempuan untuk kontak dengan petugas
kesehatan laki-laki (Mfinanga dkk, 2007; Ben-Salma, 2009). Menurut
33
penelitian yang dilakukan Watkins dan Plant (2006), laki-laki lebih banyak
menderita TB paru dibandingkan perempuan, hal ini dikarenakan kebiasaan
merokok pada laki-laki. Merokok diprediksikan sebagai faktor yang
signifikan menyebabkan terjadinya perbedaan proporsi jenis kelamin terhadap
kejadian TB paru di dunia. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa
merokok adalah faktor resiko penting yang dapat diubah (modified) dan
memiliki dampak yang signifikan terhadap epidemiologi TB paru secara
global.
Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit TBC pada
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi,
status gizi, umur, dan jenis kelamin.
1. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,
lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk
dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga
dengan penularan TBC, karena pendapatan yang rendah akan menyebabkan
status gizi yang kurang sebagai akibat dari ketidaksesuaian mengkonsumsi
makanan sesuai dengan kadar gizi.
2. Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting
yang berpengaruh di negara-negara berkembang, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak.
34
Seseorang dengan status gizi yang buruk (indeks massa tubuh (IMT) > 25,1
dan < 18,4) berisiko 8 kali lebih besar untuk menderita penyakit TB paru
daripada orang dengan status gizi baik (IMT = 18,5-25,0). Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa kelompok orang yang kurus berisiko
2,57-6,6 kali lebih besar untuk menderita TB paru daripada kelompok gizi
normal. Begitu juga dengan hasil penelitian Sutrisna menyatakan bahwa
orang yang status gizinya kurang mempunyai risiko 2,57 kali menderita TB
paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup (Dahlan,
2001).
3. Umur
Menurut (WHO 2007), batas usia remaja pada 12-24 tahun, batasan usia
dewasa pada 25-40 tahun, batas usia setengah baya pada 40-60 tahun, batas
lanjut usia pada 60-74 tahun, batas lanjut usia tua pada 75-90 tahun, dan batas
usia sangat tua pada > 90 tahun. Penyakit TB paru paling sering ditemukan
pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun . Dengan terjadinya transisi
demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih
tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunolosis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
penyakit TB-paru. orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat
kesehatan.
4. Jenis kelamin
35
36
V.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari hasil kerja praktik di UPTD Balai
Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Lampung adalah sebagai berikut :
1.
Hasil pemeriksaan BTA positif pada Agustus 2014 hingga Agustus 2015
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
37
Anti Tuberculosis Drug Resistant in the World, Report no. 2 prevalence and trend.
2000. The WHO/IUATLD Global Project on Anti Tuberculosis Resistant
Surveillance. CDC-WHO. Geneva.
Bambang Giatno.(2004). Di Indonesia menempati urutan ketiga setelah Cina dan
India. PT Pustaka Swara. Surabaya.
Ben-Salma W, Ben-Kahla I, Marzouk M, Farjeni A, Ghezal S, Ben-Said M, dkk.
2009. Rapid detection of Mycobacterium tuberculosis in sputum by pathoTB kit in comparison with direct microscopy and culture. Diagnostic
Microbiol Infect Dis.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention Atlanta. 1989. Pedoman
lokakarya penggunaan metode epidemiologi. Studi Kesehatan Reproduksi.
BKKBN. Jakarta.
Dahlan A. 2001. Faktor-faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan
kejadian penyakit TB paru BTA (+) (studi kasus kontrol) di Kota Jambi
tahun 2000-2001 [tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas). Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2005. Rencana Strategi Depkes 2005-2009. Depkes RI. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2014. Laporan Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2014. Depkes RI. Jakarta.
Ester .2010. Penanganan Penyakit Paru dan Kepatuhan dalam Berobat.EGC.
Jakarta.
38
39
Rasad S. 2009. Radiologi Diagnostik Edisi ke-2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Rouillon, A., dan Enarson, D.A., (2010). History of the Union: IUALTD [internet]
(diunduh 30 Agustus 2015). Tersedia pada. http://www.theunion.org/aboutthe-union/history-of-the-union.html.
Shulman, S. T., Phair, J. P., Sommers, H. M. 1994. Dasar Biologi dan Klinis
Penyakit Infeksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sihombing H, Sembiring H, Amir Z, Sinaga BYM. 2012. Pola resistensi primer
pada penderita TB Paru kategori I di RSUP H. Adam Malik Medan. J
Respir Ind.
Soesanto, Sri S. (2000). Hubungan kondisi perumahan dengan penularan
penyakit ISPA dan TB Paru. Jurnal Media Litbang Kesehatan Vol. X
No. 2 Tahun 2000.
Sukasediati, Nani. dkk. (1999). Pola kuman mycobacterium tuberdulosis dan
keefektifan paduan OAT pada penderita TB Paru di 10 Puskesmas
DKI Jakarta, 1997. Buletin. Peneliti. Kesehatan. 27 (3&4). 1999/2000.
Suradi. 2007. Pengaruh Rokok pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis, dan Sosial. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Suyono S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-3. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Thomason AR, Warren EI. 2005. Tuberculosis: A Clinical Rreview. Pharmacist.
US.
Wardani, Ratih Sari. 2011. Basis data sistem informasi surveilans tuberculosis.
J Kesehat Masy Indones Vol 6 No 1 Th 2010.
Watkins, R. E., & Plant, A. J. 2006. Does smoking explain sex differences in
the global tuberculosis epidemic? Epidemiol. nfect. Diunduh pada 25
Agustus 2015. www.jstor.org/stable/3865638.
[WHO] World Health Organization. 2013. One third of worlds population
benefits from effective. World Health Organization. Pananama.
Widowati H. 2012. Tuberkulosis Paru. Widowati H (penyunting). Karisma
Publishing Group. Tangerang Selatan.
Young DB, Perkins MD, Duncan K, CE Barry. 2008. Confronting the scientific
obstacles to global control of tuberculosis. J Clin Invest.
40
Zulkifli Amin, Asril Bahar. (2001). Pengobatan tuberkulosis. Pusat informasi dan
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran UI.
Jakarta.
41