SMF Ilmu Kesehatan Anak
SMF Ilmu Kesehatan Anak
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2006
ISI
LATAR BELAKANG
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan
terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia
disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan
durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis
akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari,
sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih
karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut
merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset
gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain
Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur
dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma,
dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita
biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media,
mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun
lainnya.
Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh
termasuk SSP.
terjadi
dan
mengakibatkan
peningkatan
konsentrasi
laktat
dan
Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat
berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus
meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun
sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial
cukup tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih tetap
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala
sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia,
konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis
metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui
berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun
menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran,
irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul
tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan
darah disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan
alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation)
Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan
sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang
cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada
etiologinya.
Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi
meningitis:
Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan
petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan
adanya kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau
Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii.
Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap
pertumbuhan bakteri di meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif
(Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada
neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur
pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai
jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada
berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling
tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus
infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu
dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae
sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy,
penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada
saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak
langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim
dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural,
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring
dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini
disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan
perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor
menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga
menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan
makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan
pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa
golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan
kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan
kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.
Neisseria meningitidis meningitis
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering
ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan
kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang
menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering
dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung,
droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier
asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7
hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9),
infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan
kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi
kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS
pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian
umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk
yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang
muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada
sediaan apus darah tepi.
Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
Gambar 6. HIB
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari
kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi
pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi
pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang
belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap
kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari
manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran
pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap
ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus
menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat
menurunkan morbiditas dan sekuelae.
Listeria monocytogenes meningitis
ini
menyebabkan
meningitis
pada
neonatus
dan
anak-anak
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada
meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar
glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih,
berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan
secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan
pemberian terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di
lain waktu saat tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara
klinis. CT scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan
pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi.
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total
leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada
beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS
umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL.
Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan
onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan
penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak
menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang
didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan
lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan
morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau
agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat
menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy
coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler
Agent
Bacterial
meningitis
Viral meningitis
Tuberculous
meningitis
Cryptococcal
meningitis
Aseptic
meningitis
100-5000;
>80%
PMNs*
<40
>100
Microbiology
Specific pathogen
demonstrated in 60% of
Gram stains and 80% of
cultures
Normal, Normal
10-300; reduced in but may
90-200
Viral isolation, PCR assays
lymphocytes LCM and be slightly
mumps elevated
180-300
180-300
90-200
100-500;
lymphocytes
10-200;
lymphocytes
10-300;
lymphocytes
Reduced, Elevated,
<40
>100
Reduced
50-200
Normal
culture, PCR
India ink, cryptococcal
antigen, culture
be slightly
elevated
Normal values
80-200
0-5;
lymphocytes
50-75
15-40
dengan
riwayat
pengobatan
belum
lengkap
(Partially
treated
meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS tetapi
antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat
dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif
dan S. pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat
memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram
spesimen LCS lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test.
dengan meningitis viral (aseptik) maka lumbal punksi dapat diulang dalam rentang
waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral, pleositosis LCS dan perubahan kimiawi
cenderung untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika
neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan
klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga
keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial
masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan.
Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan
hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga
berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan
NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus
mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi
pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin
oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan
kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada
neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran
untuk menskrining gangguan pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi
antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan
yang
melibatkan
Staphylococcus
aureus,
Pseudomonas
aeruginosa
Route
Body
Body
Body
Body
(dosage in
weight
Weight
Weight
Weight
mg/kg/day)
<2000>
Age 0-7
<2000>
Age > 7
>2000 g
Age 0-7
>2000 g
Age > 7
days
days
days
days
100 div
150 div
150 div
300 div
q12h
q8h
q8h
q6h
Of Administration
Penicillins
Ampicillin
IV,IM
Penicillin-G
IV
Oxacillin
Ticarcillin
Cephalosporins
Cefotaxime
Ceftriaxone
Ceftazidime
IV,IM
div q12h
100 div
div q8h
150 div
div q8h
150 div
div q6h
200 div
IV,IM
q12h
150 div
q8h
225 div
q8h
225 div
q6h
300 div
q12h
q8h
q8h
q6h
IV,IM
100 div
150 div
100 div
150 div
IV,IM
q12h
50 once
q8h
75 once
q12h
50 once
q8h
75 once
IV,IM
daily
100 div
daily
150 div
daily
100 div
daily
150 div
q12h
q8h
q8h
q8h
Route of
Desired
New
New
New
New
Admini
Serum
born
born
born
born
stration
Levels
Age
Age
Age
Age
(mcg/ml)
26
27-34
35-42
43 weeks
weeks
weeks
weeks
biotics
(mg/kg/
(mg/kg/
(mg/kg/
(mg/kg/
dose)
dose)
Aminoglycosides
Amikacin
IV,IM
20-30
(peak)
<10
(trough)
dose)
dose)
10 q12h
10 q8h
Gentamycin
IV,IM
5-10
2.5 q12h
2.5 q8h
2.5 q12h
2.5 q8h
15 q24h
15 q12h
15 q8h
(peak)
<2,5
Tobramycin
IV,IM
(trough)
5-10
(peak)
<2,5
(trough)
Glycopeptide
Vancomy
IV,IM
20-40
15 q18h
cin
(peak)
<10
(trough)
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang
diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial
sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk
melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae.
Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4
dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime.
Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan
Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki
aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan
cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya
meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap cephalosporin.
Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) masih dalam penelitian.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon
inflamasi dan sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya
penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan
dan kerugian pemberian kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan
LCS adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak
dapat dilakukan. Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik
dalam serum dan diberikan hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan
penderita yang stabil, dan keluhan mual muntah berkurang.
Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi
vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping
chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau
trovafloxacin.
Penggunaan
antibiotik
beta
lactamase-inhibitor
seperti
clavulanate,
diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi
dirawat di rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N.
meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah
beberapa penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga
penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi ulang.
Antibiotics
Dose
Dosing
Maximum
dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena
obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia
jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan phenytoin dapat
merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat meningkatkan metabolisme
beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap kejang atau
menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan
pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan
penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap
sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin.
Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen
tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder
dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari
pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral
tiap 12 jam selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang
kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda
kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa
memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan kontak adalah seseorang
yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah
menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut selama
5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat
pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi
profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah
meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April
2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen
dari 7 subtipe pneumococcal.
KOMPLIKASI
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung
etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka
panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus nonkomunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone
dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan
pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi
audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke
petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi
fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan
mengoptimalkan fungsi motorik.
PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae
atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan
faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan
oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality
rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang
disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.