Oleh:
REISA YOSEFINE
170210090034
USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian penelitian
guna memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi HubunganInternasional
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah....................................................................................... 15
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 16
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 17
1.4.1 Manfaat Praktis.................................................................................. 17
1.4.2 Manfaat Teoritis................................................................................. 17
Fungsionalisme........................................................................................18
2.2
Organisasi Internasional..........................................................................18
2.2.1 Peran Organisasi Internasional Menurut Lisbeth Aggestam............ 21
2.3
2.4
2.5
Kerangka Pemikiran................................................................................ 36
BAB I
PENDAHULUAN
Keanggotaan IWC bersifat bebas dan siap menerima anggota dari Negara mana saja
yang mau menuruti isi dari konvensi IWC, yakni ICRW. Dan anggota yang mau
bergabung terhadap IWC harus melaporkan kepada Departemen Negara Amerika
Serikat, yang bertindak sebagai depository nation atau tempat penyimpanan dokumen
bangsa-bangsa untuk ICRW(tercantum pada pasal yang ke X). Berikut ada 97 Negara
anggota yang tergabung dalam IWC2, ialah : Antigua & Barbuda, Argentina,
Australia, Austria, Belgium, Belize, Benin, Brazil, Bulgaria, Cambodia, Cameroon,
Canada, Chile, China, Republik Colombia, Republik Congo, Republik Costa Rica,
Cote dIvore, Croatia, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Greenland (Denmark),
Dominica, Ecuador, Egypt, Eritrea, Estonia, Finland, France, Gabon, Gambia,
Germany, Republik Ghana, Greece, Grenada, Guatemala, Republik Guinea, GuineaBissau, Hungary, Iceland, India, Ireland, Israel, Italy, Jamaica, Japan, Kenya, Kiribati,
Republik Korea, Laos, Lithuania, Luxembourg, Mali, Republik Marshall Islands,
Mauritania, Mauritius, Mexico, Monaco, Mongolia, Morocco, Nauru, Netherlands,
New Zealand, Norway, Oman, Palau, Panama, Peru, Philippines, Poland, Portugal,
Romania, Federasi Russian, San Marino, St. Kitts & Nevis, St. Lucia, St. Vincent &
Grenadines, Senegal, Seychelles, Republik Slovak, Slovenia, Solomon Islands, Afrika
Selatan, Spain, Suriname, Sweden, Switzerland, Tanzania, Togo, Tuvalu, United
Kingdom, Uruguay, United States of America, Venezuela.
Banyak pro dan kontra atas kegiatan yang dilakukan oleh Jepang terkait
perburuan paus. Terlebih lagi, setelah dikeluarkannya moratorium pelarangan paus,
Jepang tetap konsisten untuk mempertahankan kegiatannya. Hal ini menyebabkan
2 International Whaling Commission (IWC), Membership and Contracting
Governments 2015, dalam https://iwc.int/members, diakses pada tanggal
14 Juni 2015.
bahwa negara-negara diizinkan untuk memburu paus untuk tujuan penelitian ilmiah.
Pasal VIII juga memberikan tanggung jawab atas penetapan dan pengaturan hasil
tangkapan kepada pemerintah masing-masing, tidak kepada IWC secara langsung.
Selain itu, pasal VIII tidak menetapkan bahwa setiap Negara anggota yang melakukan
penangkapan paus dengan izin khusus harus melaporkan kepada IWC agar izin
dikeluarkan, akan tetapi informasi ilmiah yang dihasilkan oleh penangkapan paus
dibawah izin khusus tersebut harus disajikan, setidaknya setiap tahun terhadap IWC.
Bagi Negara anggota IWC yang pro terhadap kegiatan whaling, hal ini
merupakan suatu celah untuk melakukan perburuan dan penangkapan paus yang sejak
tahun 1986 telah dilarang oleh komisi tersebut. 4 Walaupun telah dilakukan pelarangan
atas komersialisasi penangkapan paus, masih ada beberapa Negara yang
melanggarnya. Jepang, Norwegia dan Islandia merupakan contoh Negara yang
menolak pemberhentian penangkapan paus secara komersial. Namun dari tiga Negara
yang ada, Jepang adalah Negara yang melakukan penangkapan paus yang jauh
melebihi dari jumlah yang seharusnya telah ditetapkan, bahkan Jepang telah
mendirikan badan riset paus tersendiri secara mandiri, yang dinamakan The Institute
Cetacean Research (ICR). Organisasi yang mengkhususkan diri dalam ilmu biologi
dan sosial yang berkaitan dengan paus dan muncul pada bulan Oktober 1987 ini,
merupakan organisasi penelitian nirlaba yang berbadan hukum yang disahkan oleh
Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pemerintah Jepang, sebagai
peradilan dasar.5
Menurut IFAW (International Fund for Animal Welfare), melalui ICR, daging
dari hasil penangkapan paus yang digunakan untuk riset dan ilmu, kemudian dijual di
4 Natural Resources Defense Council, End Comercial Whaling, dalam
http://www.nrdc.org/wildlife/whaling.asp, diakses pada tanggal 1 Mei 2015.
pasar makanan atau diberikan secara gratis atau dengan harga murah ke sekolah dan
rumah sakit untuk mendorong pemasaran atas konsumsi daging paus. Diketahui
armada penangkap paus oleh Jepang beroperasi dua kali dalam setahun dan di daerah
Pasifik Utara penangkap paus Jepang dapat membunuh hingga 200 paus Minke, 50
paus Bryde, 100 paus Sei dan 10 paus Sperma dengan kedok penelitian ilmiah.
Sedangkan di daerah Southern Ocean Sanctuary, dalam setahun kapal Jepang bisa
membunuh hingga 935 paus Minke dan 50 paus Sirip sebelum Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa tindakan ini adalah illegal.6
Hingga pada saat ini persoalan mengenai perburuan paus menjadi menjadi isu
penting bukan hanya bagi Jepang, namun juga negara-negara dalam konteks regional
dan internasional. Ini disebabkan karena persoalan ini berseberangan dengan agenda
internasional dalam menjaga, menstabilkan, dan mengkonservasi makhluk hidup yang
terancam punah di lautan, yakni paus. Moratorium yang dikeluarkan oleh IWC pada
tahun 1986 membuat jumlah perburuan paus yang terjadi di seluruh dunia menurun,
setelah pembantaian pada abad ke 16 yang merupakan jumlah tertinggi atas
penangkapan dan perburuan paus. Meskipun begitu, whaling masih terjadi sampai
saat ini. Diketahui ada beberapa negara tetap melakukan penangkapan paus selama
moratorium 1986 diberlakukan.
6 International Fund for Animal Welfare, Which Countries Are Still Whaling?
http://www.ifaw.org/united-states/our-work/whales/which-countries-arestill-whaling, diakses pada tanggal 1 Mei 2015.
Tabel 1.1.
Perkembangan Perburuan Paus Jepang
Tahun 1900-2011
Sumber : Graphic Hunting Whale, dalam http://ngm.nationalgeographic.com/2013/06/vikingwhalers/hunting-whales-interactive, diakses pada tanggal 20 Januari 2015.
tahun 2012/2013, jumlah paus yang diburu dan ditangkap diperkirakan mencapai
31.9847 dan dapat bertambah seiring bertambahnya waktu.
Perburuan paus Jepang dilakukan di beberapa wilayah perairan internasional
oleh pelaku usaha dan nelayan dengan menggunakan kapal menengah dan besar di
beberapa wilayah, yaitu :8
a. Wilayah Antartika sekitar 52 persen dari total perburuan paus Jepang.
b. Wilayah perairan domestik Jepang sekitar 22 persen dari total perburuan Paus
Jepang.
c. Wilayah laut bebas Pasifik sekitar 13 persen dari total perburuan Paus Jepang.
d. Wilayah laut bebas Pasifik Utara sekitar 9 persen dari total perburuan Paus
Jepang.
e. Wilayah laut bebas lainnya sekitar 4 persen dari total perburuan Paus Jepang.
Fakta inilah yang menjadi gambaran bahwa perburuan paus di Jepang masih menjadi
persoalan yang tidak kunjung dapat terselesaikan yang ditandai dengan terus
meningkatnya kuantitas perburuan paus Jepang.9 Pernyataan yang muncul dari
kelompok organisasi internasional yang bersifat enviromentalis merupakan suatu
7 World Wide Fund (WWF) Global, Wales Killed by Whaling Since
Moratorium
2015,
dalam
http://wwf.panda.org/what_we_do/endangered_species/cetaceans/threats/
whaling/whales_killed/, diakses pada tanggal 14 Juni 2015.
Japan
Whaling
Since
1985,
http://www.iwcoffice.org/conservation/table_permit.htm,
tanggal 9 Febuari 2015.
9 Ibid.
diakses
dalam
pada
bukti bahwa Jepang merupakan negara yang patut diawasi atas tindakan yang negara
tersebut lakukan untuk membela kepentingan negaranya sendiri.
...Jepang menjadi negara yang paling bertanggung-jawab atas penurunan populasi Paus
internasional. tingginya permintaan Paus di Jepang merupakan kegagalan negara ini dalam
mengendalikan permintaan yang terus meningkat, serta diversifikasi komoditas lain yang lebih
umum. Untuk itu, kami (Greenpeace) akan terus memonitoring perkembangan dan terus
mendesak pemerintah Jepang untuk secara pro-aktif dapat member programn perlindngan yang
nyata bagi perlindungan Paus.10
Pembelaan Jepang dalam menangani perburuan paus ternyata juga masuk dalam
pembahasan parlemen Jepang, dimana Perdana Menteri Yukio Hatoyama pada 3
Februari 2010 mendapatkan kritik dari pihak parlemen tentang perkembangan
penanganan perburuan paus Jepang yang belum dapat tertangani secara maksimal.11
Dengan terus melakukan perburuan paus, mau tidak mau Jepang akan terus mendapat
kecaman dari dunia internasional. Pada tahun 2010, Jepang mendapat tuntutan hukum
dari negara lain, yaitu Australia.
Australia mengumumkan akan membawa Jepang ke Mahkamah Internasional
karena telah melanggar kewajiban internasional yang terus membunuh paus di
Antartika. Keputusan untuk mengambil tindakan hukum terhadap mitra dagang
penting Australia, bertujuan untuk mengakhiri program Jepang dalam melakukan
penangkapan paus berbasis ilmiah dan riset ilmu pengetahuan. 12 Fenomena perburuan
paus yang dilakukan oleh Jepang bagi peneliti merupakan penyalahan hak guna
sebagai negara anggota International Whaling Commission. Dengan berdalih akan
10 Celebrate : Japan to Stop Whaling in Southern Asian, dalam
http://greenpeaceblogs.org/2014/04/02/celebrate-japan-stop-huntingwhales-southern-ocean/, diakses pada tanggal 24 Januari 2015.
diakses
pada
13 Keiko Hirata, Why Japan Supports Whaling? (California : Journal of International Wildlife Law
& Policy, 2005). http://www.csun.edu/~kh246690/whaling.pdf
terlalu kecil dan lemah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dan diperlukan
juga untuk memperhatikan proses politik dalam negeri dalam tatanan lebih luas,
dimana norma internasional (non) kepatuhan berlangsung. Para ahli menunjukan
adanya dua faktor dalam tingkatan nasional yang timbul dari efek kondisi terhadap
norma internasional dalam proses politik domestik, yakni : legitimasi domestik (atau
kedudukan yang setara) dari norma dan konteks struktural yang dimana di dalam
debat kebijakan domestikan mempunyai peran. Artikel ini berargumen bahwa adanya
persimpangan pada faktor-faktor yang menjelaskan tentang penolakan Jepang
terhadap norma anti penangkapan paus.
Kedua, artikel yang berjudul In The Name Of Science ? (A Review of
Scientific Whaling)14, ditulis oleh Vassili Papastavrou yang merupakan seorang
imuwan biologi paus dari organisasi IFAW. Sejak moratorim, Jepang telah
menewaskan lebih dari 9.000 paus melalui kebijakan penangkapan paus berdasarkan
tujuan ilmiah. Dan pada tahun 2013, Islandia memulai program penelitian
penangkapan
paus
yang
kedua
sejak
moratorium.
Kedua
negara
yang
pertahun. Hal ini memberikan lapangan kerja pada masyarakat pesisir, baik dalam
kegiatan menonton paus dan layanan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan seperti
akomodasi dan makanan. Masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat ekonomi yang
besar dari paus tanpa membunuh mereka. Dalam argumen atas kemoralitas,
mengatakan paus cerdas dan mempunyai sifat sosial dan sensitif. Oleh karena itu para
ilmuwan membuat asumsi bahwa paus rentan terhadap kekejaman yang disebabkan
oleh individu atau suatu kelompok, dengan cara penangkapan menggunakan metode
tombak dan kepala paus diledakkan oleh granat. Sedangkan dalam argumen mengenai
nilai intrinsik, menilai bahwa paus adalah makhluk yang kompleks dan makhluk yang
terdepan. Paus biru mempunyai panjang hingga 30 meter dan berat mencapai 150 ton.
Sedangkan paus berkepala dan bersirip busur dapat hidup selama lebih dari 100 taun.
Migrasi paus abu-abu yang dilakukan untuk berkembang biak di musim dingin mulai
dari Meksiko sampai tempat untuk mencari makanan di Laut Bering, merupakan salah
satu migrasi terpanjang oleh mamalia apapun, diperkirakan jarak putar sekitar 10.000
kilometer.
Adapun artikel yang keempat, berjudul : When is Whale Sanctuary Not A
Whale Sanctuary ? Japanese Whaling In Australian Antartic Maritime Zones 16,
ditulis oleh Joanna Mossop, yakni seorang dosen fakultas hukum Universitas Victoria
di Wellington. Bertuliskan mengenai sebuah organisasi non- pemerintah, Humane
Society International, berusaha untuk menuntut sebuah perusahaan Jepang yang
melakukan penangkapan paus di Samudera Selatan , yang dimana daerah tersebut
diklaim sebagai zona ekonomi eksklusif oleh Australia. Kasus Humane Society telah
16 Joanna Mossop. (2005). When is a Whale Sanctuary not a Whale
Sanctuary: Japanese Whaling in Australian Antarctic Maritime Zones. 36
VUWLR. hal.757-773.
mengangkat isu apakah Australia memiliki hak dibawah hukum internasional untuk
mengklaim zona maritim lepas pantai Antartika. Selain EEZ (Exclusive Economic
Zone) diklaim dari AAT (Australian Antartic Territorial), Australia juga mengajukan
pengajuan dengan Komisi Penetapan Landas Kontinen, yang mengklaim sebuah
landas kontinen diperpanjang dari AAT tersebut. Australia telah memiliki klaim
kedaulatan atas bagian dari Antartika sejak tahun 1933.
Klaim meliputi 6.240.000 km persegi. dan terletak di daerah benua selatan dari
Australia. Selandia Baru juga mengklaim kedaulatan atas bagian benua Antartika,
meskipun sebagian besar klaim Selandia Baru mencakup Ross Ice Shelf daripada
daratan. Ross Ice Shelf adalah lapisan es terbesar yang terjadi di atas Laut Ross,
terpampang luas di Antartika, dan diperkirakan luas daerah tersebut sekitar 472.000
km persegi17 . Padahal, keberadaan zona maritim ada di bawah konvensi PBB tentang
hukum laut (UNCLOS), yakni bergantung pada negara pesisir. Tanpa negara diakui,
tidak ada zona maritim yang sesuai. Namun, ini mengabaikan fakta bahwa klaim
terhadap zona maritim umumnya hanya dipandang sebagai klaim saja. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa negara-negara lain akan mengakui klaim EEZ tanpa
pengakuan bersamaan klaim teritorial. Tanpa pengakuan hak negara penuntut untuk
zona maritim, negara pihak ketiga dapat dan akan terus memperlakukan daerah
tersebut sebagai laut lepas.
Kelima, peneliti mengambil dari hasil penelitian S1 Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia, yang berjudul Motivasi Jepang Mengeluarkan Kebijakan
Second Phase Of The Japanese Whale Research Program Under Special Permit
17
Encyclopedia
Britannica,
Rose
Ice
Shelf,
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/510126/Ross-Ice-Shelf
diakses pada tanggal 3 Mei 2015.
dalam
,
In The Antartic (JARPA II) Tahun 2005. 18 Ditulis oleh Miranti Puti Aisyah, yang
membahas tentang studi mengenai motivasi Jepang mengeluarkan kebijakan JARPA
II, yang berkaitan pada kebijakan scientific whaling, sebagai usaha melanjutkan
kegiatan whaling terhadap pasca moratorium whaling komersial yang dikeluarkan
oleh IWC pada tahun 1982. Program JARPA II merupakan program scientific whaling
terkini dari pemerintah Jepang, yang semakin keras ditentang oleh masyarakat
internasional, baik IWC NGO, lingkungan maupun negara lain. Keijakan whaling
Jepang yang memicu berbagai kontroversi dari masyarakat internasional tidak bisa
dilepaskan dari sejarah panjang serta makna paus dari masyarakat Jepang serta
keberadaan rezim yang mengatur whaling pada tataran global. Di satu sisi, whaling
memang merupakan isu lingkungan, dimana terjadi kelangkaan dan ancaman
kepunahan bagi beberapa spesies paus karena usaha manusia.
gambaran
umum
atas
pemahaman
peranan
organisasi
internasional dan penanggulangan perburuan paus di Jepang saat ini, yang dapat
digunakan sebagai informasi alternatif mengenai isu lingkungan hidup khususnya
perburuan hewan yang dilindungi, baik bagi penstudi Hubungan Internasional (HI)
maupun masyarakat umum.
dan informasi atas perkembangan habitat paus dengan kacamata seorang penstudi
Hubungan Internasional (HI).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah solusi yang diusulkan untuk masalah bagaimana untuk
membawa negara lebih dekat bersama-sama untuk menangani isu-isu yang
melampaui batas-batas teritorial. Pemikir Fungsionalis seperti David Mitrany, telah
mengutarakan teori fungsional sebagai alternatif bagi bentuk-bentuk politik dan
integrasi konstitusional. Fungsionalisme adalah gagasan bahwa kerja sama
internasional harus dimulai dengan menangani masalah transnasional tertentu (seperti
pengendalian penyakit dan perburuan satwa langka) di mana terdapat prospek untuk
menerapkan pengetahuan teknis khusus dan keberhasilan pengaturan fungsional
diharapkan akan mengarah pada upaya lebih lanjut untuk mereplikasi pengalaman
dalam proses yang terus melebar.
Fungsionalisme juga didasarkan pada harapan bahwa jika pemerintah mulai
mentransfer tanggung jawab fungsional untuk lembaga-lembaga internasional dengan
mandat khusus untuk menangani isu-isu di mana ada konsensus luas mengenai
perlunya kerjasama dari waktu ke waktu dalam prinsip kedaulatan teritorial dan
hukum.
Pemikiran
ini
menjelaskan
pengaruh
gagasan
fungsional
dalam
Martin
Griffiths,
Terry
O.
Callaghan,
Steven
C.
Roach.
2008.
entitas nasional lainnya untuk mengatur melintasi batas-batas nasional. Ada beberapa
macam organisasi internasional yang menjadi pendukung bagi beberapa teori yang
ada, adapun IGO (intergovernmental organization), yang bisa didefinisikan sebagai
berikut :The term (public) international organization denotes an association of
States established by and based upon a treaty, which pursues common aims and
which has its own special organs to fulfill particular functions within the
organization.20
Atau diartikan sebagai sebuah organisasi internasional yang bersifat publik,
didirikan oleh asosiasi antar Negara berdasarkan pada suatu perjanjian, yang dimana
mempunyai tujuan umum dan kepemilikan badan tersendiri untuk memenuhi fungsi
tertentu dalam organisasi. Definisi tersebut mempunyai kesamaan terhadap IWC
(International Whaling Commission), yang juga merupakan organisasi internasional,
mempunyai fokus utama akan populasi paus yang memprihatinkan karena ditangkap
dan diburu untuk berbagai kepentingan. Sehingga dibentuk moratorium ICRW
(International Convention for the Regulation of Whaling) yang telah disepakati dan
ditandatangani bersama Negara anggota untuk mengendalikan angka populasi industri
paus.IWC merupakan suatu organisasi antar kepemerintahan atau IGO bisa dilihat
dalam pemaparan elemen IGO menurut Peter Fischer.21
Elemen atas IGO yang terkandung dalam IWC :
a. Asosiasi Negara-negara
Suatu Negara mempunyai power untuk bergabung dalam suatu pembentukan asosiasi
dengan negara lain, dan membentuk keanggotaan, yang bergantung pada unsur
kepemerintahan di tiap Negara seperti : independen, populasi, dan wilayah.
Keanggotaan IWC bersifat terbuka dan sampai saat ini anggota yang tergabung dalam
IWC diperkirakan 96 negara.Sebagian negara anggota diduga melakukan keterlibatan
langsung maupun tidak langsung dalam isu penangkapan paus.
b. Perjanjian
Sebuah Perjanjian merupakan instrumen formal tertulis antara Negara.Perjanjian
mendirikan IGO berbeda dengan perjanjian biasa karena menciptakan entitas baru
dalam organisasi dan memberlakukan tindakan hukum baru, seperti dengan cara
rekomendasi, pengambilan keputusan, dan resolusi.Pada tahun 1946 - Konvensi
Internasional untuk Peraturan Penangkapan Ikan Paus (ICRW) disusun dan
ditandatangani.Konvensi ini ditujukan untuk menyediakan konservasi stok paus dan
dengan demikian memungkinkan pengembangan tertib industri penangkapan paus.
c. Tujuan Umum dalam Perjalanan Sejarah
Tujuan dari pembentukan IGO bisa bermacam-macam, memelihara dan memulihkan
perdamaian merupakan ide asli dari IGO tersebut.Namun dengan berkembangnya
pemikiran dan berubahnya poros konsentrasi dunia yang dipengaruhi dari arus
globalisasi, isu enviromentalism mulai diperhatikan. Berdasarkan isi dalam
moratorium ICRW, tujuan dari pembentukan IWC dapat disimpulkan untuk :
1. Mendorong, merekomendasikan, mengatur penelitian dan melakukan penyelidikan
yang berkaitan dengan paus dan penangkapan paus.
2. Mengumpulkan dan menganalisis informasi statistik mengenai kondisi saat ini dan
tren saham paus atas efek kegiatan penangkapan paus.
3. Melakukan penelitian, menilai dan menyebarluaskan informasi
mengenai metode mempertahankan dan meningkatkan populasi saham
paus.22
23 Ole Elgstrom, Michael Smith. 2006. The European Unions Roles in International Politics:
Concepts and analysis. New York : Rotledge. Halaman 11-18
Peran merefleksikan suatu klaim atas sistem internasional, yang juga merupakan
suatu pengakuan aktor-aktor internasional dan konsepsi dari identitas. Koherensi dan
efektivitas dari IWC mempunyai pengaruh di dalam perkembangan penangkapan paus
internasional merupakan sebagian besar kesatuan pada bagaimana peranan yang
diambil IWC dapat menjadi suatu kebijakan yang memfokuskan pada stabilitas angka
paus dan pemgambilan tindakan yang sebenarnya.
Lisbeth Aggestam menjabarkan strukturalisasi peran ke dalam analisis yang
empiris, terdapat tiga perspektif penting yang dapat membantu memahami,yakni :
perspektif institusi, perspektif interaksi dan perspektif intensi. Ketiganya menjelaskan
bagaimana peran dikonstruksi, dipertahankan dan diubah.
1.) Institusi
Pendekatan dominan untuk menganalisis peran melihat bahwa peran
itu melekat erat dalam institusi, menyediakan peran-peran yang tersedia dan
bagaimana peran-peran tersebut dimainkan. Dengan kata lain peran ditentukan
oleh institusi bukan aktor. Perspektif institusional ini penting untuk
mengintegrasikan
kerangka
teoritis
yang
membantu
kita
untuk
panjang dan harus menyediakan pilihan peran bagi aktor-aktor yang ada
didalamnya, disamping kegiatan-kegiatan yang diharuskan dan menciptakan
ekspektasi tertentu.
Individu yang ada dalam institusi hanya relevan sejauh peran yang
mereka miliki didalam struktur yang terdapat di dalam persamaan aktor yang
memiliki peran yang hampir mirip, meskipun siapa dan di bagian apa mereka.
Rosenau berpendapat tidak ada individu, yang merupakan bagian dari system
dimana dia tergabung.Struktur mendefenisikan bentuk dari agensi yang ada.
Individu dihadapkan pada aturan yang membangun struktur dari institusi yang
akan terus berlanjut meskipun individu tidak lagi terlibat di dalamnya. Analisis
peran dikembangkan untuk seperangkat norma dan ekspektasi.
Hal ini berdasarkan kepada ekspektasi dan intersubjektivitas, yang
menekankan kepada hubungan sosial yang mungkin terjadi.Pertama, perlu
menekankan kepada argumen struktur, bahwa struktur social memediasi
melalui agensi dan hal tersebut muncul sebagai hasil dari kehidupan sosial
manusia.Kedua, kita harus memahami bahwa derajat intersubjektivitas dan
konsensus berkenaan dengan peran tertentu.Bagian ketiga, melihat kepada
keaslian konseptual ambiguitas yang mengarah kepada penyertaan konsep
peran, dan oleh karenanya dibedakan dalam empat tipe.Bagian keempat, yang
merupakan elaborasi antara sumber-sumber peran.Beragumentasi mengenai
identitas dan penting bagi sumber yang ada dalam social budaya yang dimana
menjadi jalan atas peran-peran lainnya yang bisa dipahami. Bagian kelima,
menganggap bagaimana konflik atas peran terjadi dan terjadi hubungan
stabilitas satu sama lain terhadap perubahan kebijakan luar negeri.
perspektif
ini
memunculkan
lembaga
dan
kapasitas
untuk
terkait
paus
mungkin
memang
dianggap
sebagai
proses
adanya penggalangan dana yang tercantum dalam program kerja IWC, yaitu
Small Cetaceans Voluntary Fundyang terjadi di arena masyarakat dan berguna
untuk membantu penelitian ilmuwan terkait dengan bangsa cetacean. IWC
pun kerap mengeluarkan berita-berita di bisa dilihat langsung di website resmi
dan jurnal yang berisikan pendataan paus sebagai penghubung masyarakat
dalam pengetahuan akan paus.
Meskipun demikian, ada dua alasan mengapa perspektif ini tidak
cukup sendiri.Pertama, dapat dikatakan bahwa perspektif interaksional tidak
memperhitungkan cukup fakta bahwa pelaku tiba di interaksi dengan identitas
dan peran yang sudah ada.Kedua, perspektif interaksional membuat sulit untuk
menggabungkan kepentingan dan tujuan yang mengalir di luar interaksi di
mana aktor tenggelam dalam pada waktu tertentu.Untuk memasukkan rasa
intensionalitas dan rasionalitas, kita perlu membawa perspektif ketiga yang
menyoroti bagaimana aktor menginterpretasikan informasi, memantau kinerja
mereka dan menilai kembali tujuan dan peran mereka.
3.) Intensi
Perspektif ini menunjukkan bagaimana peran berasal dari dua sumber :
intelektual dan budaya. Hal ini membawa kita terhadap atensi bagaimana aktor
itu sendiri terlibat dalam mendefinisikan peran dan bahwa peran ini mungkin
berisi tujuan serta norma-norma.Pembuat kebijakan luar negeri, dengan kata
lain, secara aktif terlibat dalam pembangunan peran atas dasar perhitungan dan
penalaran. Kelebihan dari perspektif ini adalah mengakui bahwa 'manusia'
bukan hanya refleksi pasif 'masyarakat' saja tapi seorang individu yang
campuran
ketidakberpihakan
dan
komitmen.Kekuatan
dan
Dengan berbagai polemik yang terjadi di masa lalu terkait perebutan sumber
daya, hal ini membawa kepada keprihatinan global yang terkait erat dengan ilmu
pengetahuan. Masalah lingkungan global merupakan produk dari kegiatan profesional
kolektif dan bergantung pada instrumental yang dibatasi oleh suatu kelembagaan atau
kita sebut sebagai kegiatan ilmiah.24 Munculnya isu-isu lingkungan pada agenda
global ada karena adanya gerakan lingkungan global yang tumbuh dan semakin
terorganisir, yang mampu menggunakan ilmu pengetahuan untuk menarik perhatian
atas penderitaan yang terjadi di bumi. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan para
aktifis saling memperkuat satu sama lain dalam membentuk kebijakan lingkungan
dalam skala global. Perjanjian yang telah disepakati oleh beberapa negara yang
menyangkut tentang elemen bumi, lingkungan, dan segala isinya merupakan isu yang
muncul di permukaan setelah Perang Dunia II, yang kemudian berkembang dan
menjadi keprihatinan baru bagi masyarakat dunia.
Isu-isu lingkungan hidup yang berada di tingkat global ialah merupakan isu
yang patut dicemaskan oleh masyarakat internasional demi kelangsungan hidup bumi.
Keprihatinan global selayaknya menyangkut lapisan atmosfer, udara, laut, tanah, dan
sumber-sumber kehidupan lainnya memberikan efek yang sangat krusial bagi manusia
dan memberi dampak langsung terhadap ekosistem. Perlunya menjaga keseimbangan
alam dan tidak membuat kehancuran lebih lanjut menjadi tantangan terbesar bagi ras
manusia. Dalam konsep Global Environmental Problems yang menjadi penjabaran
Lingkungan Hidup dalam Hubungan Internasional, terdapat masalah utama
lingkungan internasional yang terkait dengan perjanjian internasional, yakni : climate
change, stratospheric ozone depletion, long range transboundary air pollution,
24 Charlotte Epstein. (2005). Knowledge and Power In Global Environmenta Activism. Volume 10,
nomor 1. Hlm 47.
diberikan. Melalui organisasi IWC, masyarakat dunia dapat mengerti bahwa tindakan
penangkapan dan perburuan paus secara berlebihan merupakan tindakan yang salah,
yang menimbulkan kesadaran bagi yang peduli dan hirau akan keberlanjutan paus di
muka bumi ini. Adanya ide whale watching merupakan perpanjangan kebijakan dari
IWC yang menginginkan paus agar tidak diburu melainkan dibudidayakan secara
visual.
2.4 International Politics of Whaling27
Ialah pemikiran yang lahir dari perpanjangan literatur global environmental politics
atau international ecopolitics, yang memberikan detail proses politik dan kontroversi
atas studi kasus kelangsungan hidup akan paus dari kacamata organisasi internasional
dan konfrontasi etikal terhadap permasalahan tersebut. Keadaan populasi paus dapat
mewakili barometer akan kesehatan planet bumi, maka dari itu perlunya peningkatan
pengawasan atas spesies yang ada penting dilakukan karena ditemukan spesies lain
berada di ambang kepunahan. Berikut adalah poin-poin penting yang harus
diperhatikan dalam politik internasional atas penangkapan paus :
a. Sistem Internasional : Isu Khusus dari Hal yang Umum
Penangkapan paus merupakan contoh yang sulit dari keterlibatan global
manajemen yang umum. Karena paus dipandang sebagai sumber daya milik
bersama oleh teori rezim yang menyetujui adanya kerjasama antar negara.
Merujuk pada kasus klasik efek rumah kaca, mengacu pada situasi yang dimana
tidak ada satu pihak pun yang dikecualikan dari penggunaan aset. Penggunaan
aset yang tidak dibatasi, dapat dengan mudah menjadi penggunaan yang
27
Peter
J.
Stoett.
(1997).
The
International
Politics
of
Whaling.
berlebihan dan tidak terkendali. Jadi jika ada ketersengajaan atau terjadi
mekanisme paksaan, maka dapat ditetapkan bahwa persediaan berimbang dengan
permintaan. Di dalam tatanan yang dilingkupi dengan persaingan antar negara,
pasar murni cenderung tidak menghasilkan keuntungan dan beberapa bentuk
intervensi negara multilateral menjadi sangat vital. Permasalahan ekonomi yang
esensial, yang kemudian mengakibatkan setiap negara memiliki insentif untuk
menjaga sumber daya secara bersama-sama. Namun keinginan untuk memiliki
insentif secara pribadi telah mengeksploitasi mereka, masalah ini menjadi isu
politik ketika kerjasama diperlukan untuk menyeimbangkan kontra-insentif.
Melihat dari dimensi tambahan akan keprihatinan terhadap lingkungan, menuntut
kita sebagai manusia bertanya bagaimana negara dapat berbagi sumber daya, dan
bagaimana negara secara bersamaan menghemat dan melestarikan sumber daya
yang ada.
b. Rezim Multilateral
Oran Young telah mengidentifikasi tiga kategori dalam pembentukan rezim :
self-gneration, negotiation, dan imposition. Proses pertama melibatkan sedikit
diplomasi aktif, yakni : konvergensi atas kepentingan yang membuat spontan
terjadi. IWC yang pada awalnya dibentuk pada tahun 1946, awalnya merupakan
instrumen yang membantu memperkuat rezim yang sedang terjadi. Semua anggota
yang
tergabung
bersatu
dalam
prinsip
fundamental
dalam
melakukan
penangkapan paus komersial di dalam situasi Perang Dunia II. Rezim juga
disajikan untuk meringankan potensial akan ketegangan antara anggota mengenai
akses ke sumber daya.
Namun konfigurasi politik sekarang berbeda, IWC terlibat dalam proses tawarmenawar yang berkesinambungan, dan tidak terelakkan untuk juga melakukan
negosiasi rezim. Karena perubahan besar dalam pendekatan rezim untuk masalah
tertentu membutuhkan suara mayoritas. Kemudian IWC akhirnya melakukan
konsesus, mengingat bahwa anggota selalu memiliki pilihan untuk mengajukan
keberatan formal dan memilih keluar. Permasalahan tersebut telah menempatkan
banyak cara dalam rezim yang ada, tetapi semua formulasi yang berorientasi
empiris bergantung pada efektivitas sevagai variabel dependen. Artinya, jika kita
dapat menemukan faktor-faktor yang menyebabkan rezim yang efektif, maka kita
dapat memprediksi kondisi di masa depan.
c. Tiga Komponen Analitis
Seperti yang dipahami, penelitian ini mengemukakan tiga hal penting yang
saling berkaitan, yakni : whales, whalers, dan anti whalers. Atau secara
gamblang diartikan : paus, pemburu paus, dan anti penangkap paus. Namun itu
merupakan inti dari apa yang akan dibahas secara keseluruhan bab, dan untuk bab
ini tiga komponen yang dimaksud ialah : environmental problems, political
developments, dan normative consideration. Meskipun komponen terlihat
terpisah, namun semua saling terkait. Permasalahan yang ada tidak bisa
diselesaikan oleh setiap individu tunggal atau negara-bangsa. Tuntutan kolaborasi
dan kerjasama menjadikan solusi inspiratif yang bisa ditangani secara bersama.
Untuk memahami environmental problems atau permasalahan lingkungan,
kita harus mempelajari dan peduli terhadap lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini,
biology cetacea ataupengetahuan kehidupan biologi paus. Dan identifikasi tujuan
ancaman terhadap kesehatan lingkungan sekitar, karena paus mendekati titik
kepunahan, apa yang menjadi dampak bagi aktifitas manusia harus bisa di
eksplorasi. Dalam political developments atau pembangunan secara politik, kita
harus melihat tindakan aktor-aktor negara dan aktor non-negara dan pembentukan
atau transformasi lembaga internasional dan gerakan sosial yang berkaitan tentang
kebijakan paus. Untuk normatif consideration atau pertimbangan normatif, kita
harus bisa memeriksa dan merenungkan latar belakang normatif atau etika untuk
area isu.
d. Ilmu dan Pengetahuan
Paradigma atas dominan ekologi telah muncul, dimana para ilmuwan
melihat
permasalahan
dunia.
Pada
kenyataannya,
isu
perburuan
paus
kecil karena berurusan dengan efek agregat. Bisa dilihat contoh dari pemanasan
global adalah bagian dari hasil peningkatan emisi karbon dioksida di atmosfer.
Dan peningkatan ini merupakan hasil dari jutaan keputusan-keputusan kecil,
seperti memilih untuk mengemudi dibandingkan berjalan ke tempat kerja, namun
efek kumulatif dapat menyajikan masalah politik global.
f. Dimensi Normatif
Sejarah perpolitikan bagaimanapun bergantung pada konteks normatif.
Fakta ini mempengaruhi perspektif etis dari pelaku yang terlibat dalam
perkembangan politik. Pentingnya perspektif analitis untuk mengidentifikasi
masalah etika yang terpusat, berkaitan dengan segala aspek dari isu politik yang
ada, dan hal ini mempunyai tujuan untuk menawarkan beberapa kesimpulan yang
menganggap bahwa pengaruh komparatif yang muncul merupakan pengaruh dari
pemikiran-pemikiran yang ada. Mengutip dari pernyataan Robert Cox, A valid
paradigm for the investigation of global change would need to include the
historical interaction of human organization with the other elements in nature.
ICRW
IWC
Kontra
Jepang
Pro
Whaling
Scientific Whaling
Whale Watching
Kerangka pemikiran di atas, berpusat pada isu whaling, yang berawal dari
ICRW yang membawahi IWC, karena Komisi Penangkapan Paus Internasional
tersebut ada karena ada konvensi tersebut. IWC, yang merupakan organisasi
internasional mempunyai peran penting yang bertujuan untuk memelihara dan
melakukan konservasi terhadap paus, tidak menyetujui pemikiran atas whaling yang
membawa kelangkaan pada makhluk laut tersebut.Yang mempunyai cara alternatif,
yaitu whalewatching.Dipercayaisebagai cara terbaik untuk menggunakan paus
sekaligus melindunginya.Kegiatan tersebut ditujukan untuk program wisata bagi turisturis yang ingin mengetahui dan melihat lebih dekat bagaimana paus itu hidup dan
berinteraksi, program ini juga dijadikan sebagai sarana edukasi bagi anak-anak atau
peneliti yang ingin melakukan penelitian.Whalewatching memberikan kesempatan
yang baik dalam perekonomian bagi komunitas di seluruh dunia dan memberi dampak
dalam menjaga habitat paus.Hal ini juga memberi dampak langsung yang positif bagi
lingkungan hidup, dan jawaban dari cara alternatif untuk memperdayakan sumber
hasil laut, yakni paus.
Jepang merupakan bagian dari International Whaling Commission, otomatis
Jepang juga harus menuruti apa yang tertulis dalam konvensi ICRW. Akan tetapi,
Jepang pada mulanya bergabung dalam organisasi tersebut karena IWC mempunyai
visi dan misi yang berbeda, yakni untuk mengatur perburuan dan penangkapan paus
yang terjadi di dunia demi keseimbangan alam.Namun, seiring berkembangnya
waktu, jumlah populasi paus berkurang secara masif karena sudah banyak diburu dan
diperkirakan dieksploitasi secara besar-besaran oleh masyarakat dunia.Semenjak
moratorium commercial whaling berlaku pada tahun 1986, IWC mengubah
pandangannya
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
nd
1. Reduksi data
Reduksi ini dimaksudkan untuk merangkum, memilih hal-hal yang pokok
dan memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya,
sehingga akan didapatkan gambaran yang lebih jelas dan peneliti
dimudahkan dalam pengumpulan data selanjutnya.
2. Penyajian data
Penyajian data ini dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Tetapi, pada umumnya
penyajian data dalam penelitian kualitatif berupa teks yang bersifat
naratif.
3. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan langkah terakhir dalam analisis data
kualitatif. Dimana kesimpulan awal bersifat sementara, dan dapat berubah
apabila bukti-bukti yang ditemukan tidak kuat dan mendukugn untuk
tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi, apabila sebaliknya terjadi,
yaitu kesimpulan yang dikemukakan di awal memiliki bukti yang valid
dan konsisten, maka kesimpulan ini merupakan kesimpulan yang kredibel.
Kegiatan
2014
7
1.
8 9 10
2015
11
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
Pra Riset
- Pencarian Data
- Bimbingan
Riset
-
Pencarian
Data
3.
Pengerjaan
Bab I III
Seminar Usulan
Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aisyah, Miranti Puti. 2009. Motivasi Jepang Mengeluarkan Kebijakan Second Phase
Of The Japanese Whale Research Program Under Special Permit In The
Antartic (JARPA II) Tahun 2005. Skripsi, Universitas Indonesia : Depok
Epstein, Charlotte. 2008. The Power of Words International Relations Birth of Anti
Whaling Discourse. London : The MIT Press
Stoett, Peter J. 1997. The International Politics of Whaling. Vancouver : UBC press
Jurnal
Mossop, Joana. 2005. When is a Whale Sanctuary not a Whale Sanctuary: Japanese
Whaling
in Australian Antarctic Maritime Zones. Japanese Whaling in
Australian Antarctic Maritime Zones, 36 VUWLR
Konvensi
Website
Encyclopedia Britannica. Rose Ice Shelf. Diakses pada tanggal 3 Mei 2015 dalam
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/510126/Ross-Ice-Shelf .
Fischer,
Peter.
2012.
http://paneurouni.com/files/sk/fp/ulohy
skript.1.10.2012.new- version.pdf
International
Organization.
studentov/2rocnikbc/io
International Fund for Animal Welfare. Which Countries Are Still Whaling?. Diakses
pada tanggal 1 Mei 2015 dalam http://www.ifaw.org/united-states/ourwork/whales/which-countries-are-still-whaling.
International Whaling Commission (IWC). Japan Whaling Since 1985. Diakses pada
tanggal9
Febuari
2015
dalam
http://www.iwcoffice.org/conservation/table_permit.htm.
National Georaphic. Graphic Hunting Whale. Diakses pada tanggal 20 Januari 2015
dalam http://ngm.nationalgeographic.com/2013/06/viking-whalers/hunting
whalesinteractive.
Natural Resources Defense Council. End Comercial Whaling. Diakses pada tanggal 1
Mei 2015 dalam http://www.nrdc.org/wildlife/whaling.asp.
The Guardian. Australia to Take Japan to Court Over Whaling. Diakses pada tanggal
24
Januari
2015
dalam
http://www.theguardian.com/world/feedarticle/9100593.
The Institute Cetacean Research. Overview and Purpose. Diakses pada tanggal 1 Mei
2015 dalam http://www.icrwhale.org/abouticr.html.
The UK Department for Environment, Food and Rural Affairs (DEFRA). Protecting
Whales :
A Global Responsibility. Diakses pada tanggal 1 Maret 2015
dalam
https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/fil
1833 4 /protecting-whales__1_.pdf.
World Wide Fund (WWF) Global. Wales Killed by Whaling Since Moratorium.
Diakses pada tanggal
14
Juni
2015
dalam
http://wwf.panda.org/what_we_do/endangered_species/cetaceans/threats/wha
ing/w a les_killed/.
Surat Kabar