Anda di halaman 1dari 53

PERAN INTERNATIONAL WHALING COMISSION (IWC)

DALAM MENANGANI PENANGKAPAN PAUS secara berlebihan


OLEH JEPANG DI ANTARTIKA (2010-2014)

Oleh:
REISA YOSEFINE
170210090034

USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian penelitian
guna memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi HubunganInternasional

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah....................................................................................... 15
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 16
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 17
1.4.1 Manfaat Praktis.................................................................................. 17
1.4.2 Manfaat Teoritis................................................................................. 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 18


2.1

Fungsionalisme........................................................................................18

2.2

Organisasi Internasional..........................................................................18
2.2.1 Peran Organisasi Internasional Menurut Lisbeth Aggestam............ 21

2.3

Lingkungan Hidup dalam HI................................................................... 27

2.4

International Poitic of Whaling............................................................... 29

2.5

Kerangka Pemikiran................................................................................ 36

BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 39


3.1 Metode Penelitian Kualitatif................................................................... 39
3.2 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data.......................................... 41
3.2.1 Sumber Data................................................................................ 41
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 41
3.3 Teknis Analisis Data................................................................................ 42
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................... 43
3.4.1 Lokasi Penelitian 45
3.5Sistematika Penelitian............................................................................. 47

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Salah satu permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini adalah tingginya
tingkat kematian paus yang menghasilkan respon sebagai bentuk keprihatinan akan
punahnya makhluk mamalia tersebut. Paus dijadikan komoditas berharga bagi
sebagian negara, atau sering dikenal dengan commercial whaling, yaitu penangkapan
paus komersial, yang menjadikan alasan mengapa dibentuknya International
Convention for Regulation of Whaling (ICRW) pada tahun 1946. Dengan tujuan
sebagai penyedia konservasi, pengembangan, dan pemanfaatan optimal sumber daya
paus, maka dibentuk IWC (International Whaling Commission), sebagai perpanjangan
dari konvensi tersebut. Terbentuknya Komisi Penangkapan Paus Internasional atau
International Whaling Commission (IWC) merupakan titik awal dari upaya untuk
untuk membahas permasalahan penangkapan paus yang ada di seluruh bagian dunia.
Tugas utama dari IWC adalah untuk tetap meninjau dan merevisi langkah-langkah
seperlunya yang ditetapkan dalam jadwal konvensi yang mengatur pelaksanaan
penangkapan paus di seluruh dunia.1 Namun tidak semua anggota IWC mampu untuk
mengontrol angka perburuan paus. Jepang merupakan salah satu Negara yang
mempunyai kegiatan dalam melakukan perburuan paus yang melebihi dari batas
kapasitas.
1 International Whaling Commission (IWC), History and purpose 1946
2015, dalam https://iwc.int/history-and-purpose, diakses pada tanggal 15
Maret 2015.

Keanggotaan IWC bersifat bebas dan siap menerima anggota dari Negara mana saja
yang mau menuruti isi dari konvensi IWC, yakni ICRW. Dan anggota yang mau
bergabung terhadap IWC harus melaporkan kepada Departemen Negara Amerika
Serikat, yang bertindak sebagai depository nation atau tempat penyimpanan dokumen
bangsa-bangsa untuk ICRW(tercantum pada pasal yang ke X). Berikut ada 97 Negara
anggota yang tergabung dalam IWC2, ialah : Antigua & Barbuda, Argentina,
Australia, Austria, Belgium, Belize, Benin, Brazil, Bulgaria, Cambodia, Cameroon,
Canada, Chile, China, Republik Colombia, Republik Congo, Republik Costa Rica,
Cote dIvore, Croatia, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Greenland (Denmark),
Dominica, Ecuador, Egypt, Eritrea, Estonia, Finland, France, Gabon, Gambia,
Germany, Republik Ghana, Greece, Grenada, Guatemala, Republik Guinea, GuineaBissau, Hungary, Iceland, India, Ireland, Israel, Italy, Jamaica, Japan, Kenya, Kiribati,
Republik Korea, Laos, Lithuania, Luxembourg, Mali, Republik Marshall Islands,
Mauritania, Mauritius, Mexico, Monaco, Mongolia, Morocco, Nauru, Netherlands,
New Zealand, Norway, Oman, Palau, Panama, Peru, Philippines, Poland, Portugal,
Romania, Federasi Russian, San Marino, St. Kitts & Nevis, St. Lucia, St. Vincent &
Grenadines, Senegal, Seychelles, Republik Slovak, Slovenia, Solomon Islands, Afrika
Selatan, Spain, Suriname, Sweden, Switzerland, Tanzania, Togo, Tuvalu, United
Kingdom, Uruguay, United States of America, Venezuela.
Banyak pro dan kontra atas kegiatan yang dilakukan oleh Jepang terkait
perburuan paus. Terlebih lagi, setelah dikeluarkannya moratorium pelarangan paus,
Jepang tetap konsisten untuk mempertahankan kegiatannya. Hal ini menyebabkan
2 International Whaling Commission (IWC), Membership and Contracting
Governments 2015, dalam https://iwc.int/members, diakses pada tanggal
14 Juni 2015.

banyak Negara dan organisasi internasional tidak setuju terhadapnya. IWC


bertanggung jawab untuk menetapkan batas penangkapan untuk penangkapan ikan
paus komersial. Hal ini dilakukan dengan menyesuaikan batas numerik seperti
tercantum dalam Jadwal untuk Konvensi Internasional untuk Peraturan Penangkapan
Ikan Paus (1946).
Kegiatan whaling atau penangkapan paus memiliki tiga jenis alasan mengapa
kegiatan tersebut dilakukan3. Pertama, ialah commercial whaling atau penangkapan
paus secara komersial baik itu kegiatan dibawah larangan atau ketentuan yang ada
dalam moratorium. Untuk menyesuaikan batas numerik sebagaimana tercantum
dalam lampiran ICRW , IWC bertanggung jawab untuk menetapkan batas
penangkapan untuk penangkapan ikan paus komersial. Kedua, adalah aboriginal
subsistence whaling atau penangkapan paus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
adat. Kegiatan penangkapan paus tersebut tidak sama dengan penangkapan paus
komersial karena tidak berusaha untuk memaksimalkan hasil penangkapan demi
keuntungan. Penangkapan paus secara tradisional seperti ini juga menggunakan alatalat yang masih sederhana, yang mempunyai metode berburu yang unik sehingga
masih mementingkan pentingnya suatu tradisi. Ketiga, merupakan whaling under
special permit ialah penangkapan paus dibawah izin khusus.

IWC merupakan dibawah pengaruh ICRW, dan konvensi tersebut adalah


perjanjian hukum yang dimana didalamnya berisi tentang ketentuan-ketentuan khusus
dalam menanggulangi paus. Salah satunya ialah pada pasal VIII, yang menyatakan
3 International Whaling Comission (IWC), Conversation & Management
2015, dalam https://iwc.int/whaling, diakses pada tanggal 30 Maret 2015.

bahwa negara-negara diizinkan untuk memburu paus untuk tujuan penelitian ilmiah.
Pasal VIII juga memberikan tanggung jawab atas penetapan dan pengaturan hasil
tangkapan kepada pemerintah masing-masing, tidak kepada IWC secara langsung.
Selain itu, pasal VIII tidak menetapkan bahwa setiap Negara anggota yang melakukan
penangkapan paus dengan izin khusus harus melaporkan kepada IWC agar izin
dikeluarkan, akan tetapi informasi ilmiah yang dihasilkan oleh penangkapan paus
dibawah izin khusus tersebut harus disajikan, setidaknya setiap tahun terhadap IWC.
Bagi Negara anggota IWC yang pro terhadap kegiatan whaling, hal ini
merupakan suatu celah untuk melakukan perburuan dan penangkapan paus yang sejak
tahun 1986 telah dilarang oleh komisi tersebut. 4 Walaupun telah dilakukan pelarangan
atas komersialisasi penangkapan paus, masih ada beberapa Negara yang
melanggarnya. Jepang, Norwegia dan Islandia merupakan contoh Negara yang
menolak pemberhentian penangkapan paus secara komersial. Namun dari tiga Negara
yang ada, Jepang adalah Negara yang melakukan penangkapan paus yang jauh
melebihi dari jumlah yang seharusnya telah ditetapkan, bahkan Jepang telah
mendirikan badan riset paus tersendiri secara mandiri, yang dinamakan The Institute
Cetacean Research (ICR). Organisasi yang mengkhususkan diri dalam ilmu biologi
dan sosial yang berkaitan dengan paus dan muncul pada bulan Oktober 1987 ini,
merupakan organisasi penelitian nirlaba yang berbadan hukum yang disahkan oleh
Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Pemerintah Jepang, sebagai
peradilan dasar.5
Menurut IFAW (International Fund for Animal Welfare), melalui ICR, daging
dari hasil penangkapan paus yang digunakan untuk riset dan ilmu, kemudian dijual di
4 Natural Resources Defense Council, End Comercial Whaling, dalam
http://www.nrdc.org/wildlife/whaling.asp, diakses pada tanggal 1 Mei 2015.

pasar makanan atau diberikan secara gratis atau dengan harga murah ke sekolah dan
rumah sakit untuk mendorong pemasaran atas konsumsi daging paus. Diketahui
armada penangkap paus oleh Jepang beroperasi dua kali dalam setahun dan di daerah
Pasifik Utara penangkap paus Jepang dapat membunuh hingga 200 paus Minke, 50
paus Bryde, 100 paus Sei dan 10 paus Sperma dengan kedok penelitian ilmiah.
Sedangkan di daerah Southern Ocean Sanctuary, dalam setahun kapal Jepang bisa
membunuh hingga 935 paus Minke dan 50 paus Sirip sebelum Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa tindakan ini adalah illegal.6
Hingga pada saat ini persoalan mengenai perburuan paus menjadi menjadi isu
penting bukan hanya bagi Jepang, namun juga negara-negara dalam konteks regional
dan internasional. Ini disebabkan karena persoalan ini berseberangan dengan agenda
internasional dalam menjaga, menstabilkan, dan mengkonservasi makhluk hidup yang
terancam punah di lautan, yakni paus. Moratorium yang dikeluarkan oleh IWC pada
tahun 1986 membuat jumlah perburuan paus yang terjadi di seluruh dunia menurun,
setelah pembantaian pada abad ke 16 yang merupakan jumlah tertinggi atas
penangkapan dan perburuan paus. Meskipun begitu, whaling masih terjadi sampai
saat ini. Diketahui ada beberapa negara tetap melakukan penangkapan paus selama
moratorium 1986 diberlakukan.

5 The Institute Cetacean Research, Overview and Purpose, dalam


http://www.icrwhale.org/abouticr.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2015.

6 International Fund for Animal Welfare, Which Countries Are Still Whaling?
http://www.ifaw.org/united-states/our-work/whales/which-countries-arestill-whaling, diakses pada tanggal 1 Mei 2015.

Jepang, Norwegia, dan Islandia merupakan negara yang terus memburu


dibawah pilihan yang kontroversial untuk melakukan penangkapan paus secara
ilmiah atau scientific whaling. Namun penelitian yang dilakukan oleh Jepang
dengan cara memburu dan membunuh paus menjadi dipertanyakan ketika daging paus
yang tersisa dijual kembali ke masyarakat. Karena tujuan pemanfaatannya menjadi
berbeda dan cenderung kembali lagi untuk tujuan komersial. Padahal dalam
melakukan penelitian pada hewan liar tidak perlu untuk melakukan pembunuhan dan
mengembalikan ke habitat asalnya akan lebih alami untuk melihat sisi biologinya.
Adapun perkembangan whaling yang terjadi pada abad ke 1900-2011 yang bisa
dilihat pada tabel 1.1. sebagai berikut :

Tabel 1.1.
Perkembangan Perburuan Paus Jepang
Tahun 1900-2011

Sumber : Graphic Hunting Whale, dalam http://ngm.nationalgeographic.com/2013/06/vikingwhalers/hunting-whales-interactive, diakses pada tanggal 20 Januari 2015.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, grafik di atas menunjukan


perkembangan perburuan paus yang terjadi sampai pada tahun 2011. Terlihat ada tiga
pelonjakan sampai tahun 1930an, ketika depresi memangkas harga minyak paus yang
biasa digunakan untuk margarin dan minyak pelumas industri. Dalam grafik tersebut
juga terlihat bahwa Norway melakukan penangkapan paus namun dilakukan dalam
batas kuota, sehingga diperbolehkan oleh IWC. Dari moratorium 1986 sampai pada

tahun 2012/2013, jumlah paus yang diburu dan ditangkap diperkirakan mencapai
31.9847 dan dapat bertambah seiring bertambahnya waktu.
Perburuan paus Jepang dilakukan di beberapa wilayah perairan internasional
oleh pelaku usaha dan nelayan dengan menggunakan kapal menengah dan besar di
beberapa wilayah, yaitu :8
a. Wilayah Antartika sekitar 52 persen dari total perburuan paus Jepang.
b. Wilayah perairan domestik Jepang sekitar 22 persen dari total perburuan Paus
Jepang.
c. Wilayah laut bebas Pasifik sekitar 13 persen dari total perburuan Paus Jepang.
d. Wilayah laut bebas Pasifik Utara sekitar 9 persen dari total perburuan Paus
Jepang.
e. Wilayah laut bebas lainnya sekitar 4 persen dari total perburuan Paus Jepang.
Fakta inilah yang menjadi gambaran bahwa perburuan paus di Jepang masih menjadi
persoalan yang tidak kunjung dapat terselesaikan yang ditandai dengan terus
meningkatnya kuantitas perburuan paus Jepang.9 Pernyataan yang muncul dari
kelompok organisasi internasional yang bersifat enviromentalis merupakan suatu
7 World Wide Fund (WWF) Global, Wales Killed by Whaling Since
Moratorium

2015,

dalam

http://wwf.panda.org/what_we_do/endangered_species/cetaceans/threats/
whaling/whales_killed/, diakses pada tanggal 14 Juni 2015.

Japan

Whaling

Since

1985,

http://www.iwcoffice.org/conservation/table_permit.htm,
tanggal 9 Febuari 2015.

9 Ibid.

diakses

dalam
pada

bukti bahwa Jepang merupakan negara yang patut diawasi atas tindakan yang negara
tersebut lakukan untuk membela kepentingan negaranya sendiri.
...Jepang menjadi negara yang paling bertanggung-jawab atas penurunan populasi Paus
internasional. tingginya permintaan Paus di Jepang merupakan kegagalan negara ini dalam
mengendalikan permintaan yang terus meningkat, serta diversifikasi komoditas lain yang lebih
umum. Untuk itu, kami (Greenpeace) akan terus memonitoring perkembangan dan terus
mendesak pemerintah Jepang untuk secara pro-aktif dapat member programn perlindngan yang
nyata bagi perlindungan Paus.10

Pembelaan Jepang dalam menangani perburuan paus ternyata juga masuk dalam
pembahasan parlemen Jepang, dimana Perdana Menteri Yukio Hatoyama pada 3
Februari 2010 mendapatkan kritik dari pihak parlemen tentang perkembangan
penanganan perburuan paus Jepang yang belum dapat tertangani secara maksimal.11
Dengan terus melakukan perburuan paus, mau tidak mau Jepang akan terus mendapat
kecaman dari dunia internasional. Pada tahun 2010, Jepang mendapat tuntutan hukum
dari negara lain, yaitu Australia.
Australia mengumumkan akan membawa Jepang ke Mahkamah Internasional
karena telah melanggar kewajiban internasional yang terus membunuh paus di
Antartika. Keputusan untuk mengambil tindakan hukum terhadap mitra dagang
penting Australia, bertujuan untuk mengakhiri program Jepang dalam melakukan
penangkapan paus berbasis ilmiah dan riset ilmu pengetahuan. 12 Fenomena perburuan
paus yang dilakukan oleh Jepang bagi peneliti merupakan penyalahan hak guna
sebagai negara anggota International Whaling Commission. Dengan berdalih akan
10 Celebrate : Japan to Stop Whaling in Southern Asian, dalam
http://greenpeaceblogs.org/2014/04/02/celebrate-japan-stop-huntingwhales-southern-ocean/, diakses pada tanggal 24 Januari 2015.

11 Isu Paus Masuk Ke Parlemen Jepang, Kompas, 5 Februari 2010.

melakukan penelitian ilmu pengetahuan terhadap paus, Jepang harusnya bisa


melakukan cara alternatif yang bisa membuat paus yang ditangkap agar tetap hidup.
Sebagai badan yang menangani perihal paus, ini menjadi ujian dan hambatan bagi
IWC untuk mentertibkan anggotanya agar patuh terhadap konvensi yang ada. Namun
IWC terlihat tidak mempunyai power untuk melobi negara-negara lain agar menolak
penuh atas kebijakan yang diambil oleh Jepang. Hal ini merupakan permasalahan
yang perlu ditimbulkan bagi peneliti, dan menjadi topik permasalahan yang ingin
dikaji oleh peneliti.
Untuk menganalisis permasalahan perburuan paus yang menjadi keprihatinan
masyarakat dunia, peneliti menggunakan lima penelitian terdahulu untuk membahas
topik yang relevan. Pertama, artikel yang ditulis oleh Keiko Hirata dengan judul Why
Japan Supports Whaling ?13Mengasumsikan bahwa norma seperti ketidakpatuhan
akan didasarkan pada aspek materialisme, yang merupakan upaya dalam
memaksimalkan kepentingan. Kelompok bisnis domestik di Jepang sering bekerja
sama dengan birokrasi negara untuk membentuk kebijakan sejalan kepentingan yang
ada. Namun dalam kasus tersebut, penjelasan tentang apa yang berpusat terhadap
bisnis tidak tepat.
Terlihat pada industri penangkapan paus Jepang yang dimana hanya
mempekerjakan ratusan orang untuk menghasilkan keuntungan yang tepat, namun
12 The Guardian, Australia to Take Japan to Court Over Whaling, dalam
http://www.theguardian.com/world/feedarticle/9100593,

diakses

pada

tanggal 24 Januari 2015.

13 Keiko Hirata, Why Japan Supports Whaling? (California : Journal of International Wildlife Law
& Policy, 2005). http://www.csun.edu/~kh246690/whaling.pdf

terlalu kecil dan lemah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dan diperlukan
juga untuk memperhatikan proses politik dalam negeri dalam tatanan lebih luas,
dimana norma internasional (non) kepatuhan berlangsung. Para ahli menunjukan
adanya dua faktor dalam tingkatan nasional yang timbul dari efek kondisi terhadap
norma internasional dalam proses politik domestik, yakni : legitimasi domestik (atau
kedudukan yang setara) dari norma dan konteks struktural yang dimana di dalam
debat kebijakan domestikan mempunyai peran. Artikel ini berargumen bahwa adanya
persimpangan pada faktor-faktor yang menjelaskan tentang penolakan Jepang
terhadap norma anti penangkapan paus.
Kedua, artikel yang berjudul In The Name Of Science ? (A Review of
Scientific Whaling)14, ditulis oleh Vassili Papastavrou yang merupakan seorang
imuwan biologi paus dari organisasi IFAW. Sejak moratorim, Jepang telah
menewaskan lebih dari 9.000 paus melalui kebijakan penangkapan paus berdasarkan
tujuan ilmiah. Dan pada tahun 2013, Islandia memulai program penelitian
penangkapan

paus

yang

kedua

sejak

moratorium.

Kedua

negara

yang

menyalahgunakan ketentuan dalam ICRW, menyebabkan terbunuhmya paus dalam


jumlah tak terbatas untuk penelitian ilmiah. Melakukan penangkapan dengan kedok
ilmu pengetahuan, membuat tujuan Jepang dimata dunia internasional semakin jelas
untuk melakukan komersialisasi. Begitu juga dengan Islandia, didorong secara
komersial, yang dimana ukuran tangkapan paus dibatasi oleh pasar daging paus di
Islandia.
Meskipun alasan penangkapan paus secara ilmiah telah digunakan negaranegara pro whaling dalam sepanjang sejarah IWC (sebagai cara untuk menghindari
14 Papastavrou, V. 2006. In the Name of Science? A review of scientific whaling. International Fund
for Animal Welfare, Bristol, UK, hal1-16.

konservasi), penangkapan paus yang dilakukan oleh Jepang merupakan penangkapan


skala besar dibandingkan sebelumnya. Dan sejauh ini, Jepang telah mengabaikan
semua kritik, review dan pendapat tentang kebijakannya dari penangkapan paus
secara ilmiah. Jepang mengambil sikap diplomatik dmarches untuk mengabaikan dan
menolak. Pada bulan November 2005, sebuah koalisi yang kuat dari negara-negara
belahan bumi selatan mengadopsi Deklarasi Buenos Aires yang mendesak Jepang
untuk menghentikan penangkapan paus di Samudera Selatan.
Ketiga, Protecting Whales A Global Responsibility 15, merupakan penelitian
yang dikaji oleh DEFRA (Department for Enfironment Food and Rural Affairs),
bagian dari Kementrian Kelautan di Inggris yang menyuarakan dukungan terhadap
IWC untuk menolak aksi paus komersial. Adapun argumen-argumen dari berbagai
aspek yang mendasari mengapa kita harus melindungi paus. Aspek ekologi
mengatakan paus berada di atas jaringan makanan kompleks laut yang memiliki
tempat penting dalam ekosistem laut. Ketika paus yang notabene menjadi predator di
laut di hapus, akan mendapatkan konsekuensi dramatis bagi kelanjutan ekosistem,
menyebabkan perubahan nefatif dalam kehadiran sejumlah spesies lain. Dan juga
dapat membawa kerugian pada keanekaragaman hayati, yang membawa perubahan
terhadap implikasi ekonomi.
Argumen dalam aspek ekonomi mengatakan, tidak perlu alasan ekonomi dalam
mencari keuntungan untuk membunuh paus, karena ada alternatif lain yang bisa
didapatkan dengan tidak membunuh paus. Whale watching atau menonton paus
adalah industri yang sangat berkembang, beroperasi di lebih dari 90 negara dan
wilayah, menghasilkan pendapatan yang diperkirakan lebih dari satu milyar juta dolar
15 The UK Department for Environment, Food and Rural Affairs (DEFRA). (2007). Protecting Whales
: A Global Responsibility.

pertahun. Hal ini memberikan lapangan kerja pada masyarakat pesisir, baik dalam
kegiatan menonton paus dan layanan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan seperti
akomodasi dan makanan. Masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat ekonomi yang
besar dari paus tanpa membunuh mereka. Dalam argumen atas kemoralitas,
mengatakan paus cerdas dan mempunyai sifat sosial dan sensitif. Oleh karena itu para
ilmuwan membuat asumsi bahwa paus rentan terhadap kekejaman yang disebabkan
oleh individu atau suatu kelompok, dengan cara penangkapan menggunakan metode
tombak dan kepala paus diledakkan oleh granat. Sedangkan dalam argumen mengenai
nilai intrinsik, menilai bahwa paus adalah makhluk yang kompleks dan makhluk yang
terdepan. Paus biru mempunyai panjang hingga 30 meter dan berat mencapai 150 ton.
Sedangkan paus berkepala dan bersirip busur dapat hidup selama lebih dari 100 taun.
Migrasi paus abu-abu yang dilakukan untuk berkembang biak di musim dingin mulai
dari Meksiko sampai tempat untuk mencari makanan di Laut Bering, merupakan salah
satu migrasi terpanjang oleh mamalia apapun, diperkirakan jarak putar sekitar 10.000
kilometer.
Adapun artikel yang keempat, berjudul : When is Whale Sanctuary Not A
Whale Sanctuary ? Japanese Whaling In Australian Antartic Maritime Zones 16,
ditulis oleh Joanna Mossop, yakni seorang dosen fakultas hukum Universitas Victoria
di Wellington. Bertuliskan mengenai sebuah organisasi non- pemerintah, Humane
Society International, berusaha untuk menuntut sebuah perusahaan Jepang yang
melakukan penangkapan paus di Samudera Selatan , yang dimana daerah tersebut
diklaim sebagai zona ekonomi eksklusif oleh Australia. Kasus Humane Society telah
16 Joanna Mossop. (2005). When is a Whale Sanctuary not a Whale
Sanctuary: Japanese Whaling in Australian Antarctic Maritime Zones. 36
VUWLR. hal.757-773.

mengangkat isu apakah Australia memiliki hak dibawah hukum internasional untuk
mengklaim zona maritim lepas pantai Antartika. Selain EEZ (Exclusive Economic
Zone) diklaim dari AAT (Australian Antartic Territorial), Australia juga mengajukan
pengajuan dengan Komisi Penetapan Landas Kontinen, yang mengklaim sebuah
landas kontinen diperpanjang dari AAT tersebut. Australia telah memiliki klaim
kedaulatan atas bagian dari Antartika sejak tahun 1933.
Klaim meliputi 6.240.000 km persegi. dan terletak di daerah benua selatan dari
Australia. Selandia Baru juga mengklaim kedaulatan atas bagian benua Antartika,
meskipun sebagian besar klaim Selandia Baru mencakup Ross Ice Shelf daripada
daratan. Ross Ice Shelf adalah lapisan es terbesar yang terjadi di atas Laut Ross,
terpampang luas di Antartika, dan diperkirakan luas daerah tersebut sekitar 472.000
km persegi17 . Padahal, keberadaan zona maritim ada di bawah konvensi PBB tentang
hukum laut (UNCLOS), yakni bergantung pada negara pesisir. Tanpa negara diakui,
tidak ada zona maritim yang sesuai. Namun, ini mengabaikan fakta bahwa klaim
terhadap zona maritim umumnya hanya dipandang sebagai klaim saja. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa negara-negara lain akan mengakui klaim EEZ tanpa
pengakuan bersamaan klaim teritorial. Tanpa pengakuan hak negara penuntut untuk
zona maritim, negara pihak ketiga dapat dan akan terus memperlakukan daerah
tersebut sebagai laut lepas.
Kelima, peneliti mengambil dari hasil penelitian S1 Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia, yang berjudul Motivasi Jepang Mengeluarkan Kebijakan
Second Phase Of The Japanese Whale Research Program Under Special Permit
17

Encyclopedia

Britannica,

Rose

Ice

Shelf,

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/510126/Ross-Ice-Shelf
diakses pada tanggal 3 Mei 2015.

dalam
,

In The Antartic (JARPA II) Tahun 2005. 18 Ditulis oleh Miranti Puti Aisyah, yang
membahas tentang studi mengenai motivasi Jepang mengeluarkan kebijakan JARPA
II, yang berkaitan pada kebijakan scientific whaling, sebagai usaha melanjutkan
kegiatan whaling terhadap pasca moratorium whaling komersial yang dikeluarkan
oleh IWC pada tahun 1982. Program JARPA II merupakan program scientific whaling
terkini dari pemerintah Jepang, yang semakin keras ditentang oleh masyarakat
internasional, baik IWC NGO, lingkungan maupun negara lain. Keijakan whaling
Jepang yang memicu berbagai kontroversi dari masyarakat internasional tidak bisa
dilepaskan dari sejarah panjang serta makna paus dari masyarakat Jepang serta
keberadaan rezim yang mengatur whaling pada tataran global. Di satu sisi, whaling
memang merupakan isu lingkungan, dimana terjadi kelangkaan dan ancaman
kepunahan bagi beberapa spesies paus karena usaha manusia.

Namun disisi lain whaling terikat pula dengan kepentingan golongan


masyarakat tertentu, terutama dari sisi kepentingan ekonomi. Situasi ini menyebabkan
terjadinya kontra antara kepentingan lingkungan dengan kepentingan ekonomi dan
sosial. Peran aktor elit birokrasi dominan dalam pembentukan JARPA II. NGO
lingkungan lokal Jepang cukup lemah dalam mempengaruhi kebijakan JARPA II.
Sektor industri tidak mendapat keuntungan maksimal dari program JARPA II. Peran
komunitas epistemik juga tidak dominan dalam pembentukan kebijakan lingkungan
tersebut. Pada kesimpulannya, dapat dinyatakan bahwa dalam proses pembuatan
kebijakan whaling Jepang, peran aktor domestik sangat dominan. Struktur politik
18 Miranti Puti Aisyah. (2009). Motivasi Jepang Mengeluarkan Kebijakan Second
Phase Of The Japanese Whale Research Program Under Special Permit In The
Antartic (JARPA II) Tahun 2005. Universitas Indonesia : Depok.

domestik mempersulit keterlibatan masyarakat melalui NGO lingkungan lokal untuk


mempengaruhi kebijakan tersebut. Peran NGO lingkungan internasional lebih pada
memberi tekanan eksternal melalui pembangunan opini publik serta tekanan kepada
sektor industri mengenai kebijakan scientific whaling Jepang.
Dari Uraian ini, peneliti tertarik membuat penelitian dengan judul :
Peran International Whaling Commission (IWC) Dalam Menangani
Penangkapan Paus Oleh Jepang di Antartika (2010-2014)

1.2. Rumusan Masalah


Keberadaan perburuan paus oleh Jepang di Antartika yang memakai alasan
scientific whaling merupakan pembenaran yang dilakukan oleh Jepang sendiri untuk
terus melakukan perburuan paus melebihi batas yang telah ditentukan. Hal ini menjadi
kecaman bagi organisasi internasional berbasis lingkungan dan negara-negara yang
menjadi anggota International Whaling Commission (IWC) untuk melakukan
intervensi terhadap perburuan paus tersebut. Sedangkan, IWC yang sebagai organisasi
internasional yang mengatur regulasi dan mempunyai tujuan untuk menekan angka
perburuan paus, memiliki peran yang begitu besar terhadap masa depan habitat paus.
Dalam pembatasan masalah, peneliti akan memfokuskan menganalisis
permasalahan penelitian dengan konsep organisasi internasional dan lingkungan
hidup. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dalam hal ini penulis merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimana peran International Whaling Commission dalam menangani


penangkapan paus oleh Jepang di Antartika pada tahun 2010-2014?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Mengetahui peran International Whaling Commission dalam menangani
perburuan Paus di Jepang yang terjadi di Antartika pada tahun 2010-2014.
2. Menganalisa upaya, proses dan fungsi dari IWC beserta faktor pendukungnya
dalam permasalahan whaling oleh Jepang melalui pemahaman lingkungan
hidup.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Praktis
Memberikan

gambaran

umum

atas

pemahaman

peranan

organisasi

internasional dan penanggulangan perburuan paus di Jepang saat ini, yang dapat
digunakan sebagai informasi alternatif mengenai isu lingkungan hidup khususnya
perburuan hewan yang dilindungi, baik bagi penstudi Hubungan Internasional (HI)
maupun masyarakat umum.

1.4.2. Manfaat Teoritis


Menjadi referensi tambahan bagi penstudi Hubungan Internasional (HI) yang
ingin melakukan penelitian mengenai kondisi lingkungan hidup, memberi kontribusi

dan informasi atas perkembangan habitat paus dengan kacamata seorang penstudi
Hubungan Internasional (HI).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah solusi yang diusulkan untuk masalah bagaimana untuk
membawa negara lebih dekat bersama-sama untuk menangani isu-isu yang
melampaui batas-batas teritorial. Pemikir Fungsionalis seperti David Mitrany, telah
mengutarakan teori fungsional sebagai alternatif bagi bentuk-bentuk politik dan
integrasi konstitusional. Fungsionalisme adalah gagasan bahwa kerja sama
internasional harus dimulai dengan menangani masalah transnasional tertentu (seperti
pengendalian penyakit dan perburuan satwa langka) di mana terdapat prospek untuk
menerapkan pengetahuan teknis khusus dan keberhasilan pengaturan fungsional
diharapkan akan mengarah pada upaya lebih lanjut untuk mereplikasi pengalaman
dalam proses yang terus melebar.
Fungsionalisme juga didasarkan pada harapan bahwa jika pemerintah mulai
mentransfer tanggung jawab fungsional untuk lembaga-lembaga internasional dengan
mandat khusus untuk menangani isu-isu di mana ada konsensus luas mengenai

perlunya kerjasama dari waktu ke waktu dalam prinsip kedaulatan teritorial dan
hukum.

Pemikiran

ini

menjelaskan

pengaruh

gagasan

fungsional

dalam

pengembangan organisasi seperti Organisasi Kesehatan Dunia dan Perhimpunan Pos


Sedunia, dan di bidang-bidang seperti penerbangan sipil.
Dalam menerapkan teori ini sangat penting untuk kehadiran sebuah lembaga
formal yang bisa memaksakan dan menegakkan kesepakatan dan norma yang dibuat
oleh negara-negara. Badan-badan tersebut harus memiliki sejumlah otonomi dari
pemerintah nasional untuk menjadi sebuah badan yang efektif, dan seluruh proses
tidak dapat bekerja kecuali negara menerima baik aturan hukum (maka gangguangangguan kedaulatan negara sulit untuk membalikkan) dan prinsip mayoritas
pengambilan keputusan. Dalam fungsionalisme perlu diperhatikan beberapa hal,
seperti fokus wilayah yang spesifik dengan berorientasi pada Negara, sehingga
nantinya konteks ini menjadi lebih luas lagi.
Dengan memperhatikan sifat dan fungsi dari kerjasama internasional terutama
pada kedudukan sebuah intitusi. Fungsionalisme membuat organisasi didalamnya
tidak akan mengurusi isu lain diluar wilayah kerjanya tersebut. Karena meskipun
kerjasama internasional berkaitan dengan sebagian kedaulatan Negara, namun
kerjasama internasional bukan untuk menciptakan kedaulatan Negara yang baru
melainkan memperkokoh sifat dan fungsi dari kerjasama internasional tersebut.
Fungsionalisme dapat mempengaruhi pemikiran yang dikembangkan oleh organisasi
kerjasama regional sehinggga mengalami bias atas batas-batas wilayah negaranya.
Aliran pemikiran fungsionalisme memiliki keterkaitan pada dunia perekonomian
secara regional yang memusatkan pada globalisasi. Karena pemikiran tersebut, kaum
realis menolak asumsi aktor non-negara yang dijelaskan oleh fungsionalisme. Hal
tersebut seturut dengan peran organisasi internasional yang mementingkan kerjasama

internasional yang tidak mengesampingkan kepentingan masing-masing negara dan


juga berfungsi menjaga keamanan integrasi negara-negara.
Fungsionalisme erat kaitannya dengan organisasi kerjasama internasional dan
dilemma kerjasama. Dilema tersebut mengarah pada kedaulatan sebuah Negara.
Maksudnya adalah Negara perlu menyerahkan sebagian kedaulatannya demi
tercapainya tujuan Negara tersebut bagi organisasi transnasional. Fungsionalisme juga
menekankan pada loyalitas dan transparansi organisasi transnasional yang dibentuk.
Berbicara mengenai fungsionalisme yang membahas mengenai tujuan bersama yang
hendak dicapai oleh beberapa Negara yang berafiliasi dalam organisasi internasional,
maka pemikiran konstruktif menjadi elemen yang terkait di dalamnya dan mengacu
pada liberal ketika berbicara mengenai keuntungan yang didapat oleh Negara jika
menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsionalisme juga memfokuskan pada
organisasi internasional non-pemerintah yang berasumsi bahwa masyarakat berada
dalam satu kesatuan fungsional dimana ketika tercipta komunitas dunia maka terjadi
pula konektifitas atau korelasi antar Negara, kelompok-kelompok serta masyarakat.19

2.2. Organisasi Internasional


Negara sudah menjadi primary actor di dalam internasional sistem, akan tetapi
hal tersebut bukanlah satu-satunya pilihan, organisasi internasional merupakan salah
satu alternatif yang digunakan untuk untuk melakukan analisa di dalam berbagai
pendekatan yang meyakinkan serikat atau asosiasi Negara atau perusahaan atau
19

Martin

Griffiths,

Terry

O.

Callaghan,

Steven

C.

Roach.

2008.

International Relations: The Key Concepts (2 nd edition). London and New


York : Routledge. Halaman 136

entitas nasional lainnya untuk mengatur melintasi batas-batas nasional. Ada beberapa
macam organisasi internasional yang menjadi pendukung bagi beberapa teori yang
ada, adapun IGO (intergovernmental organization), yang bisa didefinisikan sebagai
berikut :The term (public) international organization denotes an association of
States established by and based upon a treaty, which pursues common aims and
which has its own special organs to fulfill particular functions within the
organization.20
Atau diartikan sebagai sebuah organisasi internasional yang bersifat publik,
didirikan oleh asosiasi antar Negara berdasarkan pada suatu perjanjian, yang dimana
mempunyai tujuan umum dan kepemilikan badan tersendiri untuk memenuhi fungsi
tertentu dalam organisasi. Definisi tersebut mempunyai kesamaan terhadap IWC
(International Whaling Commission), yang juga merupakan organisasi internasional,
mempunyai fokus utama akan populasi paus yang memprihatinkan karena ditangkap
dan diburu untuk berbagai kepentingan. Sehingga dibentuk moratorium ICRW
(International Convention for the Regulation of Whaling) yang telah disepakati dan
ditandatangani bersama Negara anggota untuk mengendalikan angka populasi industri
paus.IWC merupakan suatu organisasi antar kepemerintahan atau IGO bisa dilihat
dalam pemaparan elemen IGO menurut Peter Fischer.21
Elemen atas IGO yang terkandung dalam IWC :
a. Asosiasi Negara-negara

20 Peter Fischer, International Organization. (Vienna/Bratislava, 2012),


http://paneurouni.com/files/sk/fp/ulohy-studentov/2rocnikbc/io-skript.1.10.2012.new-version.pdf

21 Ibid., hlm. 18-20.

Suatu Negara mempunyai power untuk bergabung dalam suatu pembentukan asosiasi
dengan negara lain, dan membentuk keanggotaan, yang bergantung pada unsur
kepemerintahan di tiap Negara seperti : independen, populasi, dan wilayah.
Keanggotaan IWC bersifat terbuka dan sampai saat ini anggota yang tergabung dalam
IWC diperkirakan 96 negara.Sebagian negara anggota diduga melakukan keterlibatan
langsung maupun tidak langsung dalam isu penangkapan paus.
b. Perjanjian
Sebuah Perjanjian merupakan instrumen formal tertulis antara Negara.Perjanjian
mendirikan IGO berbeda dengan perjanjian biasa karena menciptakan entitas baru
dalam organisasi dan memberlakukan tindakan hukum baru, seperti dengan cara
rekomendasi, pengambilan keputusan, dan resolusi.Pada tahun 1946 - Konvensi
Internasional untuk Peraturan Penangkapan Ikan Paus (ICRW) disusun dan
ditandatangani.Konvensi ini ditujukan untuk menyediakan konservasi stok paus dan
dengan demikian memungkinkan pengembangan tertib industri penangkapan paus.
c. Tujuan Umum dalam Perjalanan Sejarah
Tujuan dari pembentukan IGO bisa bermacam-macam, memelihara dan memulihkan
perdamaian merupakan ide asli dari IGO tersebut.Namun dengan berkembangnya
pemikiran dan berubahnya poros konsentrasi dunia yang dipengaruhi dari arus
globalisasi, isu enviromentalism mulai diperhatikan. Berdasarkan isi dalam
moratorium ICRW, tujuan dari pembentukan IWC dapat disimpulkan untuk :
1. Mendorong, merekomendasikan, mengatur penelitian dan melakukan penyelidikan
yang berkaitan dengan paus dan penangkapan paus.

2. Mengumpulkan dan menganalisis informasi statistik mengenai kondisi saat ini dan
tren saham paus atas efek kegiatan penangkapan paus.
3. Melakukan penelitian, menilai dan menyebarluaskan informasi
mengenai metode mempertahankan dan meningkatkan populasi saham
paus.22

d. Memiliki Organ Khusus


Mempunyai bagian organisasi yang terstruktur seperti adanya sekertariat atau panel
untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa di antara para anggotanya sebagai
pemenuhan fungsinya atas kualifikasi IGO. IWC mempunyai tujuh belas badan yang
dikepalai oleh Secretary to the Commission, dan tiga cabang penting dalam mengatur
sub-sub badan dibawahnya, yang akan dijelaskan lebih rinci di bab empat. Struktur
khas organisasi IGO juga terbagi atas tiga bagian, namun hal itu tidak berkaitan erat
dengan IWC, sehingga terjadi pembatasan masalah agar tidak melenceng terlalu jauh
dari pokok permasalahan.

2.2.1 Peran Organisasi Internasional Menurut Lisbeth Aggestam 23

22 INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING (Washington, 2nd


December, 1946). Artikel 4.

23 Ole Elgstrom, Michael Smith. 2006. The European Unions Roles in International Politics:
Concepts and analysis. New York : Rotledge. Halaman 11-18

Peran merefleksikan suatu klaim atas sistem internasional, yang juga merupakan
suatu pengakuan aktor-aktor internasional dan konsepsi dari identitas. Koherensi dan
efektivitas dari IWC mempunyai pengaruh di dalam perkembangan penangkapan paus
internasional merupakan sebagian besar kesatuan pada bagaimana peranan yang
diambil IWC dapat menjadi suatu kebijakan yang memfokuskan pada stabilitas angka
paus dan pemgambilan tindakan yang sebenarnya.
Lisbeth Aggestam menjabarkan strukturalisasi peran ke dalam analisis yang
empiris, terdapat tiga perspektif penting yang dapat membantu memahami,yakni :
perspektif institusi, perspektif interaksi dan perspektif intensi. Ketiganya menjelaskan
bagaimana peran dikonstruksi, dipertahankan dan diubah.
1.) Institusi
Pendekatan dominan untuk menganalisis peran melihat bahwa peran
itu melekat erat dalam institusi, menyediakan peran-peran yang tersedia dan
bagaimana peran-peran tersebut dimainkan. Dengan kata lain peran ditentukan
oleh institusi bukan aktor. Perspektif institusional ini penting untuk
mengintegrasikan

kerangka

teoritis

yang

membantu

kita

untuk

mengkoseptualisasikan bagaimana kepercayaan intersubjektif dan budaya


politik mempengaruhi kebijakan luar negri.
Institusi dapat dipahami sebagai pola umum atau kategori-kategori
aktivitas dan susunan khusus konstruksi manusia, baik formal atau informal
yang terorganisir.Institusi juga dapat berupa susunan organisasi yang lebih
spesifik seperti International Whaling Comission misalnya. Tidak peduli
apakah cakupan institusi tersebut luas atau sempit, hal yang terpenting untuk
menjadi institusi, adalah institusi harus memiliki aturan yang bersifat jangka

panjang dan harus menyediakan pilihan peran bagi aktor-aktor yang ada
didalamnya, disamping kegiatan-kegiatan yang diharuskan dan menciptakan
ekspektasi tertentu.
Individu yang ada dalam institusi hanya relevan sejauh peran yang
mereka miliki didalam struktur yang terdapat di dalam persamaan aktor yang
memiliki peran yang hampir mirip, meskipun siapa dan di bagian apa mereka.
Rosenau berpendapat tidak ada individu, yang merupakan bagian dari system
dimana dia tergabung.Struktur mendefenisikan bentuk dari agensi yang ada.
Individu dihadapkan pada aturan yang membangun struktur dari institusi yang
akan terus berlanjut meskipun individu tidak lagi terlibat di dalamnya. Analisis
peran dikembangkan untuk seperangkat norma dan ekspektasi.
Hal ini berdasarkan kepada ekspektasi dan intersubjektivitas, yang
menekankan kepada hubungan sosial yang mungkin terjadi.Pertama, perlu
menekankan kepada argumen struktur, bahwa struktur social memediasi
melalui agensi dan hal tersebut muncul sebagai hasil dari kehidupan sosial
manusia.Kedua, kita harus memahami bahwa derajat intersubjektivitas dan
konsensus berkenaan dengan peran tertentu.Bagian ketiga, melihat kepada
keaslian konseptual ambiguitas yang mengarah kepada penyertaan konsep
peran, dan oleh karenanya dibedakan dalam empat tipe.Bagian keempat, yang
merupakan elaborasi antara sumber-sumber peran.Beragumentasi mengenai
identitas dan penting bagi sumber yang ada dalam social budaya yang dimana
menjadi jalan atas peran-peran lainnya yang bisa dipahami. Bagian kelima,
menganggap bagaimana konflik atas peran terjadi dan terjadi hubungan
stabilitas satu sama lain terhadap perubahan kebijakan luar negeri.

Dalam hal ini institusi yang dimaksud tentu penulis membayangkan


institusi International Whaling Commission, yang mempunyai dasar yang
cukup kuat untuk dikatakan sebagai sebuah institusi. Dilatar belakangi oleh
sebuah konvensi, yakni International Convention for Regulation of Whaling,
IWC mampu melakukan tindakan pencegahan maupun penelitian di bidangnya
terkait permasalahan paus dan menindak lanjuti hal-hal yang mengancam
kepentingan paus. Terlihat dari struktur badan IWC itu sendiri yang
mempunyai sekretariat yang memiliki bagian-bagian fungsi diantaranya
seperti :Secretary to the Commission (sebagai kepala komisi IWC), Head of
Science ( yang membawahi empat asisten science), Conference &
Communication Manager ( yang membawahi IT Support Officer ), Finance
Manager (membawahi Finance & Administration Officer ), Communications
Officer, Project Development Officer, Technical Advisor, Head of Statistics
( dan membawahi tiga cabang statistik).
Interpretasi penulis mengenai peran institusi tersebut terhubung dengan
visi dan misi yang mencakup tujuan dari IWC. Konsep peran yang disertakan
oleh IWC pun berfokus pada konservasi dan manajemen paus di seluruh
dunia, yang menyediakan forum konservasi internasional yang hirau akan
perkembangan industri paus, pengembangan konsep rencana pengelolaan
konservasi yang fleksibel dan berkolaborasi dengan blue printyang
mempunyai koordinasi efektif di antara para pemangku kepentingan lokal,
nasional, regional, dan internasional. Adapun program bersama dengan komite
ilmiah yang menyelenggarakan dan meninjau penelitian yang ada di
serangkaian tindakan dan didukung oleh komisi.
2.) Interaksi

Kita perlu untuk menggabungkan bagaimana peran dipelajari dan


disosialisasikan dalam proses interaksi negosiasi. Berbeda dengan institusi itu
sendiri,

perspektif

ini

memunculkan

lembaga

dan

kapasitas

untuk

mendefinisikan peran. Penekanan pada proses tersebut menyiratkan bahwa


peran memiliki banyak variasi dan biasanya mengalami perubahan. Adanya
interaksi dengan aktor-aktor lain memungkinkan memiliki konsekuensi sosial
yang inovatif, terutama jika aktor menempati posisi kekuasaan atau otoritas.
Pendekatan interaksional terkait erat dengan interaksionisme simbolik. Simbol
dan makna muncul dari proses interaksi sosial yang membentuk perilaku.
Interaksionisme simbolik memberi perhatian khusus untuk bagaimana aturan
informal yang diciptakan dan diciptakan melalui negosiasi. Dalam teori IR
kita temukan, misalnya, perspektif ini diwakili dalam karya konstruktivis
Wendt, ditangkap di frase yang terkenal, yakni anarki adalah apa yang
membuat negara itu.
Penekanan pada proses, perubahan dan kapasitas aktor 'untuk
membangun aturan baru adalah penting untuk menggabungkan kerangka
analisis yang dimana untuk pembuatan kebijakan luar negeri di tingkat
internasional. Upaya negara-negara anggota IWC untuk membangun sebuah
kebijakan

terkait

paus

mungkin

memang

dianggap

sebagai

proses

pembelajaran yang melibatkan negosiasi intens dan sosialisasi pembuat


kebijakan dalam lembaga-lembaga IWC.Dan kebijakan yang telah dibuat
memerlukan interaksi yang ada didalamnya guna memproyeksikan kebutuhan
peran yang ada di institusi tersebut. Selain interaksi dengan negara anggota
yang dipaparkan dengan adanya pertemuan tahunan yang membahas tentang
kelanjutan paus, IWC pun berinteraksi dengan media dan masyarakat, seperti

adanya penggalangan dana yang tercantum dalam program kerja IWC, yaitu
Small Cetaceans Voluntary Fundyang terjadi di arena masyarakat dan berguna
untuk membantu penelitian ilmuwan terkait dengan bangsa cetacean. IWC
pun kerap mengeluarkan berita-berita di bisa dilihat langsung di website resmi
dan jurnal yang berisikan pendataan paus sebagai penghubung masyarakat
dalam pengetahuan akan paus.
Meskipun demikian, ada dua alasan mengapa perspektif ini tidak
cukup sendiri.Pertama, dapat dikatakan bahwa perspektif interaksional tidak
memperhitungkan cukup fakta bahwa pelaku tiba di interaksi dengan identitas
dan peran yang sudah ada.Kedua, perspektif interaksional membuat sulit untuk
menggabungkan kepentingan dan tujuan yang mengalir di luar interaksi di
mana aktor tenggelam dalam pada waktu tertentu.Untuk memasukkan rasa
intensionalitas dan rasionalitas, kita perlu membawa perspektif ketiga yang
menyoroti bagaimana aktor menginterpretasikan informasi, memantau kinerja
mereka dan menilai kembali tujuan dan peran mereka.
3.) Intensi
Perspektif ini menunjukkan bagaimana peran berasal dari dua sumber :
intelektual dan budaya. Hal ini membawa kita terhadap atensi bagaimana aktor
itu sendiri terlibat dalam mendefinisikan peran dan bahwa peran ini mungkin
berisi tujuan serta norma-norma.Pembuat kebijakan luar negeri, dengan kata
lain, secara aktif terlibat dalam pembangunan peran atas dasar perhitungan dan
penalaran. Kelebihan dari perspektif ini adalah mengakui bahwa 'manusia'
bukan hanya refleksi pasif 'masyarakat' saja tapi seorang individu yang

mampu menggunakan beberapa kebebasan dalam mencari tujuan dan cara


bagaimana bertindak.
Kebijakan luar negeri dibuat oleh orang-orang di berbagai kedudukan
yang perlu melakukan suatu tipuan dengan bentuk perintah yang berasal dari
jabatan-jabatan, untuk menampilkan keterampilan dalam bernegosiasi dan
kesiapan untuk mengakui satu titik demi lain, untuk menuju sumber dari
konflik dan adanya peran menafsirkan sebuah situasi yang bisa saja berubah
dengan

campuran

ketidakberpihakan

dan

komitmen.Kekuatan

dan

keberpihakan suatu negara juga mempengaruhi kebijakan dan kepentingan


dari alur sebuah kepentingan yang bersifat internasional.
Katakan saja paus misalnya, Jepang merupakan negara yang budaya
dan intelektualnya mempunyai nilai tinggi dimata internasional, yang
kemudian memiliki pandangan yang berbeda tentang pemberdayaan
paus.Sebagai anggota dari IWC, Jepang mengeluarkan argumen yang
menguatkan tentang kebijakan yang dibuat olehnya kepada IWC. Dalam hal
ini, IWC melakukan pertemuan tahunan yang kerap dilakukan oleh IWC demi
membahas kelanjutan paus, yang disana mengalami proses negosiasi dari
negara-negara anggota dan mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapatnya
terkait paus. Dan IWC berkomitmen untuk mengadopsi rencana pengelolaan
konservasi sebagai alat praktis untuk meningkatkan status konservasi.Strategi
konservasi yang mengkonsolidasikan ilmu terbaik yang tersedia dan keahlian
manajemen dalam satu titik acuan.Upaya-upaya manajemen untuk melindungi
dan membangun kembali populasi cetacean merupakan intensi dari peran
yang IWC lakukan.

2.3 Lingkungan Hidup dalam Hubungan Internasional : Whaling


Lingkungan hidup menjadi suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Lingkungan fisik meliputi benda dan daya, lingkungan biologi meliputi
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, lingkungan sosial meliputi manusia dan
perilakunya dan lingkungan institusional meliputi lembaga-lembaga yang dibentuk
masyarakat. Manusia adalah salah satu unsur dalam lingkungan hidup, namun
perilaku yang disebabkan oleh manusia dapat mempengaruhi sistem tatanan makhluk
hidup yang terikat dengan rantai makanan kehidupan. Makhluk hidup selain manusia
cenderung bersifat tidak merusak, mencemari atau menguras sumber daya
lingkungan. Karena apa yang diperlukan oleh manusia merupakan ketersediaan
adanya unsur dalam elemen-elemen alam yang mempunyai siklus kehidupannya
tersendiri.
Namun, eksploitasi sumber daya yang berlebihan akan menyebabkan
kelangkaan yang memungkinkan terjadinya konflik dalam masyarakat dunia, dan
menjadikan cikal bakal pertikaian atas perebutan sumber daya yang ada, hal ini
dinyatakan oleh Profesor Wangari Mathai yang merupakan pemenang nobel
perdamaian 2004 :
It is evident that many wars are fought over resources which are now becoming increasly
scarce. If we concerved about our recources better, fighting over them would not than occur..,
so protecting the global environment is directly related to securing peace.. those of us who
understand the complex concept of the environment have the burden to act. We must not tire,
we must not give up, we must persist.

(Brown & Crawford), 2008 :4)

Dengan berbagai polemik yang terjadi di masa lalu terkait perebutan sumber
daya, hal ini membawa kepada keprihatinan global yang terkait erat dengan ilmu
pengetahuan. Masalah lingkungan global merupakan produk dari kegiatan profesional
kolektif dan bergantung pada instrumental yang dibatasi oleh suatu kelembagaan atau
kita sebut sebagai kegiatan ilmiah.24 Munculnya isu-isu lingkungan pada agenda
global ada karena adanya gerakan lingkungan global yang tumbuh dan semakin
terorganisir, yang mampu menggunakan ilmu pengetahuan untuk menarik perhatian
atas penderitaan yang terjadi di bumi. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan para
aktifis saling memperkuat satu sama lain dalam membentuk kebijakan lingkungan
dalam skala global. Perjanjian yang telah disepakati oleh beberapa negara yang
menyangkut tentang elemen bumi, lingkungan, dan segala isinya merupakan isu yang
muncul di permukaan setelah Perang Dunia II, yang kemudian berkembang dan
menjadi keprihatinan baru bagi masyarakat dunia.
Isu-isu lingkungan hidup yang berada di tingkat global ialah merupakan isu
yang patut dicemaskan oleh masyarakat internasional demi kelangsungan hidup bumi.
Keprihatinan global selayaknya menyangkut lapisan atmosfer, udara, laut, tanah, dan
sumber-sumber kehidupan lainnya memberikan efek yang sangat krusial bagi manusia
dan memberi dampak langsung terhadap ekosistem. Perlunya menjaga keseimbangan
alam dan tidak membuat kehancuran lebih lanjut menjadi tantangan terbesar bagi ras
manusia. Dalam konsep Global Environmental Problems yang menjadi penjabaran
Lingkungan Hidup dalam Hubungan Internasional, terdapat masalah utama
lingkungan internasional yang terkait dengan perjanjian internasional, yakni : climate
change, stratospheric ozone depletion, long range transboundary air pollution,
24 Charlotte Epstein. (2005). Knowledge and Power In Global Environmenta Activism. Volume 10,
nomor 1. Hlm 47.

biodiversity loss and conservation, devorestation and unsustainable use of forest


resources, desertification, persistent organic pollutants, hazardous waste trading,
rivers and lakes, marine environment and resource degradation, dan whaling.25
Isu yang berjudul whaling, atau seperti yang kita tahu adalah perburuan paus
merupakan masalah yang terbesar yang menjadi ancaman lingkungan global. Karena
telah terjadi over-exploitation terhadap makhluk mamalia paus di seluruh dunia, yang
kemudian berdampak pada banyak spesies laut di sekitarnya yang membutuhkan
kehadiran paus. Kemerosotan jumlah paus terparah terjadi pada pertengahan abad ke
dua puluh, dunia menjadi geger akan penangkapan paus yang terjadi di berbagai
negara. Paus menjadi sumber daya strategis, kunci bahan baku, bahan bakar, dan
bahan makanan. Bahkan paus menjadi sama pentingnya seperti keberadaan industri
minyak, dengan baleen (bagian tubuh paus yang berfungsi menyaring makanan ketika
paus membuka mulutnya) merupakan bahan penyedia serbaguna yang setara dengan
plastik, dan minyak paus berfungsi juga untuk menyinari jalanan di New York atau di
London.26 Akan tetapi perjalanan penggunaan paus tidak berhenti sampai disitu,
seraya dengan kepentingan negara-negara atas penangkapan paus yang terus
berkelanjutan, hal tersebut berkaitan dengan politik internasional atas penangkapan
paus. Maka dari itu IWC memberlakukan moratorium larangan semua kegiatan
perburuan paus terkecuali kepentingan ilmiah dan pengecualian khusus yang telah

25 Levy 1993;Bernauer 1997, pp. 157-8; Humpreys 2003; Watson et al.


1998, Appendix 2 (A Sypnosis of Eight Major Global Environmental
Issues); websites of UNEP and individual treaties (www.unep.org).

26 Charlotte Epstein. (2008). The Power of Words International Relations


Birth of Anti - Whaling Discourse. (London : The MIT Press). Hlm 1.

diberikan. Melalui organisasi IWC, masyarakat dunia dapat mengerti bahwa tindakan
penangkapan dan perburuan paus secara berlebihan merupakan tindakan yang salah,
yang menimbulkan kesadaran bagi yang peduli dan hirau akan keberlanjutan paus di
muka bumi ini. Adanya ide whale watching merupakan perpanjangan kebijakan dari
IWC yang menginginkan paus agar tidak diburu melainkan dibudidayakan secara
visual.
2.4 International Politics of Whaling27
Ialah pemikiran yang lahir dari perpanjangan literatur global environmental politics
atau international ecopolitics, yang memberikan detail proses politik dan kontroversi
atas studi kasus kelangsungan hidup akan paus dari kacamata organisasi internasional
dan konfrontasi etikal terhadap permasalahan tersebut. Keadaan populasi paus dapat
mewakili barometer akan kesehatan planet bumi, maka dari itu perlunya peningkatan
pengawasan atas spesies yang ada penting dilakukan karena ditemukan spesies lain
berada di ambang kepunahan. Berikut adalah poin-poin penting yang harus
diperhatikan dalam politik internasional atas penangkapan paus :
a. Sistem Internasional : Isu Khusus dari Hal yang Umum
Penangkapan paus merupakan contoh yang sulit dari keterlibatan global
manajemen yang umum. Karena paus dipandang sebagai sumber daya milik
bersama oleh teori rezim yang menyetujui adanya kerjasama antar negara.
Merujuk pada kasus klasik efek rumah kaca, mengacu pada situasi yang dimana
tidak ada satu pihak pun yang dikecualikan dari penggunaan aset. Penggunaan
aset yang tidak dibatasi, dapat dengan mudah menjadi penggunaan yang
27

Peter

J.

Stoett.

(1997).

(Vancouver : UBC press).

The

International

Politics

of

Whaling.

berlebihan dan tidak terkendali. Jadi jika ada ketersengajaan atau terjadi
mekanisme paksaan, maka dapat ditetapkan bahwa persediaan berimbang dengan
permintaan. Di dalam tatanan yang dilingkupi dengan persaingan antar negara,
pasar murni cenderung tidak menghasilkan keuntungan dan beberapa bentuk
intervensi negara multilateral menjadi sangat vital. Permasalahan ekonomi yang
esensial, yang kemudian mengakibatkan setiap negara memiliki insentif untuk
menjaga sumber daya secara bersama-sama. Namun keinginan untuk memiliki
insentif secara pribadi telah mengeksploitasi mereka, masalah ini menjadi isu
politik ketika kerjasama diperlukan untuk menyeimbangkan kontra-insentif.
Melihat dari dimensi tambahan akan keprihatinan terhadap lingkungan, menuntut
kita sebagai manusia bertanya bagaimana negara dapat berbagi sumber daya, dan
bagaimana negara secara bersamaan menghemat dan melestarikan sumber daya
yang ada.
b. Rezim Multilateral
Oran Young telah mengidentifikasi tiga kategori dalam pembentukan rezim :
self-gneration, negotiation, dan imposition. Proses pertama melibatkan sedikit
diplomasi aktif, yakni : konvergensi atas kepentingan yang membuat spontan
terjadi. IWC yang pada awalnya dibentuk pada tahun 1946, awalnya merupakan
instrumen yang membantu memperkuat rezim yang sedang terjadi. Semua anggota
yang

tergabung

bersatu

dalam

prinsip

fundamental

dalam

melakukan

penangkapan paus komersial di dalam situasi Perang Dunia II. Rezim juga
disajikan untuk meringankan potensial akan ketegangan antara anggota mengenai
akses ke sumber daya.

Namun konfigurasi politik sekarang berbeda, IWC terlibat dalam proses tawarmenawar yang berkesinambungan, dan tidak terelakkan untuk juga melakukan
negosiasi rezim. Karena perubahan besar dalam pendekatan rezim untuk masalah
tertentu membutuhkan suara mayoritas. Kemudian IWC akhirnya melakukan
konsesus, mengingat bahwa anggota selalu memiliki pilihan untuk mengajukan
keberatan formal dan memilih keluar. Permasalahan tersebut telah menempatkan
banyak cara dalam rezim yang ada, tetapi semua formulasi yang berorientasi
empiris bergantung pada efektivitas sevagai variabel dependen. Artinya, jika kita
dapat menemukan faktor-faktor yang menyebabkan rezim yang efektif, maka kita
dapat memprediksi kondisi di masa depan.
c. Tiga Komponen Analitis
Seperti yang dipahami, penelitian ini mengemukakan tiga hal penting yang
saling berkaitan, yakni : whales, whalers, dan anti whalers. Atau secara
gamblang diartikan : paus, pemburu paus, dan anti penangkap paus. Namun itu
merupakan inti dari apa yang akan dibahas secara keseluruhan bab, dan untuk bab
ini tiga komponen yang dimaksud ialah : environmental problems, political
developments, dan normative consideration. Meskipun komponen terlihat
terpisah, namun semua saling terkait. Permasalahan yang ada tidak bisa
diselesaikan oleh setiap individu tunggal atau negara-bangsa. Tuntutan kolaborasi
dan kerjasama menjadikan solusi inspiratif yang bisa ditangani secara bersama.
Untuk memahami environmental problems atau permasalahan lingkungan,
kita harus mempelajari dan peduli terhadap lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini,
biology cetacea ataupengetahuan kehidupan biologi paus. Dan identifikasi tujuan
ancaman terhadap kesehatan lingkungan sekitar, karena paus mendekati titik

kepunahan, apa yang menjadi dampak bagi aktifitas manusia harus bisa di
eksplorasi. Dalam political developments atau pembangunan secara politik, kita
harus melihat tindakan aktor-aktor negara dan aktor non-negara dan pembentukan
atau transformasi lembaga internasional dan gerakan sosial yang berkaitan tentang
kebijakan paus. Untuk normatif consideration atau pertimbangan normatif, kita
harus bisa memeriksa dan merenungkan latar belakang normatif atau etika untuk
area isu.
d. Ilmu dan Pengetahuan
Paradigma atas dominan ekologi telah muncul, dimana para ilmuwan
melihat

permasalahan

dunia.

Pada

kenyataannya,

isu

perburuan

paus

menunjukkan hubungan penting antara ilmu pengetahuan dan politik. Banyak


cetologists yang muncul dari studi mereka dimulai dari perspektif anti
penangkapan paus, sementara yang lain berpendapat bahwa agenda antipenangkapan paus yang ada dalam IWC tidak ilmiah, dan mengabaikan
pentingnya pemulihan saham paus.
e. Aktor dan Institusi
Komponen integral kedua masalah lingkungan global memiliki kaitan
langsung dengan permasalahan politik, setelah kondisi lingkungan ditemukan,
dapat didefinisikan kembali masalah yang ada. Melihat kembali proses
pengambilan keputusan atas penyebab resiko yang diterima itu penting dan pada
perkembangan politik yang ada bisa mengurangi resiko yang muncul. Dengan
kata lain, kita harus mengidentifikasi pelaku utama dan kepentingan yang ada, dan
lembaga-lembaga dimana mereka berinteraksi. Pengambilan keputusan yang
sedang berlangsung muncul pada berbagai tingkatan, hal ini bukan tugas yang

kecil karena berurusan dengan efek agregat. Bisa dilihat contoh dari pemanasan
global adalah bagian dari hasil peningkatan emisi karbon dioksida di atmosfer.
Dan peningkatan ini merupakan hasil dari jutaan keputusan-keputusan kecil,
seperti memilih untuk mengemudi dibandingkan berjalan ke tempat kerja, namun
efek kumulatif dapat menyajikan masalah politik global.
f. Dimensi Normatif
Sejarah perpolitikan bagaimanapun bergantung pada konteks normatif.
Fakta ini mempengaruhi perspektif etis dari pelaku yang terlibat dalam
perkembangan politik. Pentingnya perspektif analitis untuk mengidentifikasi
masalah etika yang terpusat, berkaitan dengan segala aspek dari isu politik yang
ada, dan hal ini mempunyai tujuan untuk menawarkan beberapa kesimpulan yang
menganggap bahwa pengaruh komparatif yang muncul merupakan pengaruh dari
pemikiran-pemikiran yang ada. Mengutip dari pernyataan Robert Cox, A valid
paradigm for the investigation of global change would need to include the
historical interaction of human organization with the other elements in nature.

g. Konteks yang Lebih Luas


Pada akhirnya, tidak ada yang tidak beranggapan bahwa jika penangkapan
paus terus berlangsung akan terjadi sebuah bencana. Isu penangkapan paus
mempunyai persamaan atas pertanyaan yang ditujukan pada senjata nuklir: setelah
sesuatu yang negatif terjadi, kita tahu itu bisa terjadi lagi dan harus berusaha untuk
menghindarinya. Penangkapan paus, bagaimanapun bukan menjadi ancaman
keselamatan yang terbesar bagi bangsa cetacea sekarang ini, termasuk lumbalumba dan paus besar. James McNeely, seorang ilmuwan menulis untuk IUCNNR,

menegaskan bahwa ada tiga ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati


yang berkaitan dengan ancaman paus itu sendiri, yakni perubahan habitat, terjadi
ketika ekosistem alam yang sangat beragam mempengaruhi agro sistem. Kedua,
pengambilan sumber secara berlebihan, dan yang ketiga ialah perubahan iklim.
Jika ancaman terbesar habitat liar ialah gangguan yang dilakukan oleh manusia
mengubah habitat yang ada, usaha apapun yang dilakukan untuk memelihara
ekosistem cetacea harus dilibatkan juga dengan usaha untuk menjaga habitat
aslinya yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, yakni laut.
2.5 Kerangka Pemikiran

ICRW

IWC

Kontra

Jepang

Pro
Whaling

Scientific Whaling

Whale Watching

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran


Sumber : Peneliti

Kerangka pemikiran di atas, berpusat pada isu whaling, yang berawal dari
ICRW yang membawahi IWC, karena Komisi Penangkapan Paus Internasional
tersebut ada karena ada konvensi tersebut. IWC, yang merupakan organisasi
internasional mempunyai peran penting yang bertujuan untuk memelihara dan
melakukan konservasi terhadap paus, tidak menyetujui pemikiran atas whaling yang
membawa kelangkaan pada makhluk laut tersebut.Yang mempunyai cara alternatif,
yaitu whalewatching.Dipercayaisebagai cara terbaik untuk menggunakan paus
sekaligus melindunginya.Kegiatan tersebut ditujukan untuk program wisata bagi turisturis yang ingin mengetahui dan melihat lebih dekat bagaimana paus itu hidup dan
berinteraksi, program ini juga dijadikan sebagai sarana edukasi bagi anak-anak atau
peneliti yang ingin melakukan penelitian.Whalewatching memberikan kesempatan
yang baik dalam perekonomian bagi komunitas di seluruh dunia dan memberi dampak
dalam menjaga habitat paus.Hal ini juga memberi dampak langsung yang positif bagi
lingkungan hidup, dan jawaban dari cara alternatif untuk memperdayakan sumber
hasil laut, yakni paus.
Jepang merupakan bagian dari International Whaling Commission, otomatis
Jepang juga harus menuruti apa yang tertulis dalam konvensi ICRW. Akan tetapi,
Jepang pada mulanya bergabung dalam organisasi tersebut karena IWC mempunyai
visi dan misi yang berbeda, yakni untuk mengatur perburuan dan penangkapan paus
yang terjadi di dunia demi keseimbangan alam.Namun, seiring berkembangnya
waktu, jumlah populasi paus berkurang secara masif karena sudah banyak diburu dan
diperkirakan dieksploitasi secara besar-besaran oleh masyarakat dunia.Semenjak
moratorium commercial whaling berlaku pada tahun 1986, IWC mengubah

pandangannya

untuk melakukan konservasi terhadap paus.Jepang memiliki

pandangan yang berbeda dalam memperdayakan paus, penangkapan paus dianggap


menjadi tradisi dan kebiasaan yang sulit untuk dihentikan.Walaupun telah
diberlakukan pelarangan commercial whaling, Jepang tetap melakukan penangkapan
paus dengan alasan melakukan scientific whaling, yakni penangkapan paus dengan
dasar untuk penelitian.Tetapi pada kenyataannya, Jepang menangkap paus melebihi
dari batas syarat yang diajukan oleh IWC dan mengkonsumsi daging paus yang
awalnya menjadi bahan penelitian dan diperjual-belikan.Pasal VIII yang ada di dalam
ICRW merupakan celah yang digunakan Jepang untuk tetap melakukan penangkapan
paus, dan hal ini bertolak belakang dari tujuan sebenarnya ICRW.Apa yang telah
dilakukan Jepang menjadi kontroversi dan dipolitisasi.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Dalam penelitian ini, metode penilitian yang digunakan yaitu metode
penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Metode penelitian kualitatif dikenal
sebagai proses memahami masalah sosial yang didasari pada tradisi metodologis yang
membangun gambaran yang kompleks dan menyeluruh, menganalisa dan
memberikan laporan mengenai pandangan informan secara detail.28 Terkait penelitian
yang bermaksud untuk melihat bagaimana suatu peristiwa yang telah dibatasi oleh
waktu, aktivitas dan pengumpulan informasi yang menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data dilihat melalui suatu teori tertentu, maka penelitian ini secara
strategi merupakan penelitian studi kasus.29Tujuan dari penelitian kualitatif yaitu
untuk memahami sebuah peristiwa secara spesifik dan mendalam agar dapat
menampilkan struktur atau pola perilaku dari objek yang diteliti. 30Metode penelitian

nd

28 Joseph A. Maxwell. Qualitative Research Design: An Interactive Approach 2 ed.,


London, Sage Publications, 2005, hal. 10.

29 John W. Cresweill, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed, edisi ketiga, terjemahan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta:, 2010

30 Winston Tellis, Introduction to Case Studies, The Qualitative Report 3, No. 2.

kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa


kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.31
Penelitian kualitatif terdiri dari pemahaman yang spesifik mengenai hubungan
antara isu dan metode yang digunakan.32Penelitian ini menggunakan pendekatan yang
bersifat induktif.Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dalam kegiatannya
peneliti tidak menggunakan angka dalam pengumpulan data, tetapi memberikan
penafsiran terhadap hasilnya.Pada umumnya data dalam penelitian kualitatif dapat
diperoleh melalui wawancara dan pengamatan.Data yang diperoleh pun tidak diolah
secara statistik.Dan dalam pelengkapan data peneliti menggunakan data berupa
dokumen ataupun buku.Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penulisan analisis deskriptif, yaitu metode penulisan yang berupa paparan,
gambaran, atau deskripsi mengenai berbagai hal tentang objek penelitian yang dikaji.
Penulis memilih metode kualitatif karena penulis ingin memberikan gambaran
mengenai peranan International Whaling Commission (IWC), dan bagaimana IWC
bersikap dalam menghadapi pandangan pro-kontradiktif untuk melakukan perburuan
dan penangkapan paus, seperti yang dilakukan oleh Jepang yang tetap
mempertahankan idealismenya. Penelitian kualitatif dinilai cocok untuk digunakan
karena jenis penelitian ini dapat memahami situasi sosial, peran atau peristiwa dari
suatu pihak sehingga sangat tepat untuk membantu penulis melakukan penelitian ini,
dan teknik dalam penelitian kualitatif dapat memberikan penjelasan yang lebih
mendetail terhadap pertanyaan mengenai penelitian ini.
31 Lexy J. Moelong, Metodologi Penelian Kualitatif, Bandung, PT Remaja
Rodskarya, 2005.

32 Uwe Flick, An Introduction to Qualitative Research, London, Sage, 2009,


hal.90.

3.2 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data


3.2.1 Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua macam sumber data, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer di dapatkan dari website resmi dan
penelitian dokumen asli yang dikeluarkan oleh International Whaling Commission,
dan juga data-data dari pihak Jepang ataupun penelitian mengenai permasalahan
penangkapan paus. Dan data sekunder, penulis dapatkan melalui artikel di internet,
jurnal dan juga penelitian terdahulu yang telah ada. Peneliti menggunakan data yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dalam meneliti mengenai peranan International
Whaling Commission (IWC) dalam menangani permasalahan penangkapan paus oleh
Jepang di Antartika dalam rentang tahun 2010-2014.
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (Library research).
Pengumpulan data ini berupaya untuk mengumpulkan, mengklasifikasi, dan
menganalisis data-data serta informasi yang relevan dengan penelitian yang
bersumber dari berbagai buku, artikel, jurnal, surat kabar, majalah ataupun sumber
informasi lainnya untuk mendapatkan data tertulis yang telah di dokumentasikan
mengenai permasalahan penangkapan paus.
3.3 Teknik Analisis Data
Dalam metode penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak sebelum
peneliti memasuki lapangan, ketika peneliti memasuki lapangan dan setelah selesai di
lapangan. Di sini diartikan bahwa proses analisis tersebut berlangsung ketika
pengumpulan data sedang berlangsung dan setelah pengumpulan data selesai
dilakukan. Aktivitas dalam analisis data ini, terdiri dari :

1. Reduksi data
Reduksi ini dimaksudkan untuk merangkum, memilih hal-hal yang pokok
dan memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya,
sehingga akan didapatkan gambaran yang lebih jelas dan peneliti
dimudahkan dalam pengumpulan data selanjutnya.
2. Penyajian data
Penyajian data ini dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Tetapi, pada umumnya
penyajian data dalam penelitian kualitatif berupa teks yang bersifat
naratif.
3. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan langkah terakhir dalam analisis data
kualitatif. Dimana kesimpulan awal bersifat sementara, dan dapat berubah
apabila bukti-bukti yang ditemukan tidak kuat dan mendukugn untuk
tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi, apabila sebaliknya terjadi,
yaitu kesimpulan yang dikemukakan di awal memiliki bukti yang valid
dan konsisten, maka kesimpulan ini merupakan kesimpulan yang kredibel.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mencari data dan informasi di beberapa
perpustakaan yang dianggap relevan dan terkait dengan objek penelitian, yaitu :
1. Perpustakaan Universitas Indonesia Gedung Crystal of Knowledge Kampus
UI, Depok 16424.
2. Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Center of Information Scientific
Resources and Library (CISRAL), Jalan Dipati Ukur 46, Bandung.
3. Perpustakaan FISIP Unpad Kampus Dago, Jalan Bukit Dago Utara nomor
24, Bandung.
4. Perpustakaan Universitas Parahyangan, Gedung 9, Lantai 2 dan 3.Jln.
Ciumbuleuit No. 94, Bandung, 40141.

3.4.2 Waktu Penelitian


Untuk rentang waktu penelitian yang dilakukan, akan dijabarkan dalam tabel
di bawah ini :
Tabel 3.1 Perkiraan Rentang Waktu Penelitian
No

Kegiatan

2014
7

1.

8 9 10

2015
11

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

11

12

Pra Riset
- Pencarian Data
- Bimbingan

Riset
-

Pencarian
Data

3.

Pengerjaan
Bab I III

Seminar Usulan
Penelitian

3.5 Sistematika Penelitian


Penelitian ini terdiri dari enam bab yang saling berkaitan. Tujuan dari
sistematika ini untuk menampilkan informasi yang jelas dan sistematis bagi pembaca.
Bagian-bagian yang ada dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Bab I, Pendahuluan memaparkan mengenai latar belakang dari
penelitian, pembatasan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian

2. Bab II, Tinjauan Pustaka memaparkan tinjuauan literatur yang


digunakan berupa penelitian terdahulu, konsep dan teori yang terkait
dengan topik penelitian.
3. Bab III, Metodologi Penelitian, memaparkan metode yang digunakan
oleh penulis dalam penelitian ini. Dan juga dijelaskan dan diberikan
gambaran mengenai sumber data yang diperoleh penulis, teknik
pengumpulan data serta teknik analisis data.
4. Bab IV, Objek Penelitian, memaparkan objek yang dikaji dalam
penelitian ini, terutama mengenai International Whaling Commission dan
Jepang sebagai kajian utama dalam penelitian ini.
5. Bab V, Pembahasan dalam bab ini akan menjelaskan dan menganalisis
mengenai langkah yang dilakukan IWC sebagai organisasi internasional
yang berbasis lingkungan hidup dan melihat bagaimana pengaruhnya
terhadap Jepang.
6. Bab VI, Kesimpulan memaparkan kesimpulan yang didapat selama

melakukan penelitian ini, serta saran yang sekiranya dapat diterapkan


dalam penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aisyah, Miranti Puti. 2009. Motivasi Jepang Mengeluarkan Kebijakan Second Phase
Of The Japanese Whale Research Program Under Special Permit In The
Antartic (JARPA II) Tahun 2005. Skripsi, Universitas Indonesia : Depok

Creswell, John W. C. 2009. Research Design : Qualitative, Quantitative and Mixed


Method
Approach 3rd ed. Los Angeles : Sage Publications

Epstein, Charlotte. 2008. The Power of Words International Relations Birth of Anti
Whaling Discourse. London : The MIT Press

Martin Griffiths, Terry O. Callaghan, Steven C. Roach. 2008. International Relations:


The
Key Concepts (2nd edition). London and New York : Routledge

Mansfield, Edward D, Friedrich Kratochwil. 1994. The Functions of International


Organizations (chapter 5) dalam International Organization: A Reader. New
York : Harper Collins College Publishers

Maxwell, Joseph A. 2005. Qualitative Research Design: An Interactive Approach 2nd


ed.
London : Sage Publications

Rourke , John T. dan Mark A. Boyer. 2008. International Organization: An


Alternative
Structure (chapter 7) dalam International Politics on the World
Stage: Brief, 7/e.
McGraw-Hill Education

Stoett, Peter J. 1997. The International Politics of Whaling. Vancouver : UBC press

Jurnal

Epstein, Charlotte. 2005. Knowledge and Power In Global Environmenta Activism.


Volume
10, nomor 1. Hlm 47

V, Papastavrou. 2006. In the Name of Science? A review of scientific whaling.


International Fund for Animal Welfare. Bristol: UK

Mossop, Joana. 2005. When is a Whale Sanctuary not a Whale Sanctuary: Japanese
Whaling
in Australian Antarctic Maritime Zones. Japanese Whaling in
Australian Antarctic Maritime Zones, 36 VUWLR

Konvensi

INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING


(Washington, 2nd December, 1946) Artikel 4.

Website

Encyclopedia Britannica. Rose Ice Shelf. Diakses pada tanggal 3 Mei 2015 dalam
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/510126/Ross-Ice-Shelf .

Fischer,
Peter.
2012.
http://paneurouni.com/files/sk/fp/ulohy
skript.1.10.2012.new- version.pdf

International
Organization.
studentov/2rocnikbc/io

Greenpeace. Celebrate : Japan to Stop Whaling in Southern Asian. Diakses pada


tanggal 24
Januari
2015
dalam
http://greenpeaceblogs.org/2014/04/02/celebrate- japan-stop
hunting
whales-southern-ocean/.

Hirata, Keiko. 2005. Why Japan Supports Whaling?. California : Journal of


International Wildlife
Law
&
Policy.
http://www.csun.edu/~kh246690/whaling.pdf.

International Fund for Animal Welfare. Which Countries Are Still Whaling?. Diakses
pada tanggal 1 Mei 2015 dalam http://www.ifaw.org/united-states/ourwork/whales/which-countries-are-still-whaling.

International Whaling Commission (IWC). History and purpose. Diakses pada


tanggal 15
Maret 2015 dalam https://iwc.int/history-and-purpose.

International Whaling Commission


Governments. Diakses
pada
https://iwc.int/members

(IWC). Membership and Contracting


tanggal
14
Juni
2015
dalam

International Whaling Comission (IWC). Conversation & Management. Diakses


pada tanggal 30 Maret 2015 dalam https://iwc.int/whaling.

International Whaling Commission (IWC). Japan Whaling Since 1985. Diakses pada
tanggal9
Febuari
2015
dalam
http://www.iwcoffice.org/conservation/table_permit.htm.

National Georaphic. Graphic Hunting Whale. Diakses pada tanggal 20 Januari 2015
dalam http://ngm.nationalgeographic.com/2013/06/viking-whalers/hunting
whalesinteractive.

Natural Resources Defense Council. End Comercial Whaling. Diakses pada tanggal 1
Mei 2015 dalam http://www.nrdc.org/wildlife/whaling.asp.

The Guardian. Australia to Take Japan to Court Over Whaling. Diakses pada tanggal
24
Januari
2015
dalam
http://www.theguardian.com/world/feedarticle/9100593.

The Institute Cetacean Research. Overview and Purpose. Diakses pada tanggal 1 Mei
2015 dalam http://www.icrwhale.org/abouticr.html.

The UK Department for Environment, Food and Rural Affairs (DEFRA). Protecting
Whales :
A Global Responsibility. Diakses pada tanggal 1 Maret 2015
dalam
https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/fil
1833 4 /protecting-whales__1_.pdf.

World Wide Fund (WWF) Global. Wales Killed by Whaling Since Moratorium.
Diakses pada tanggal
14
Juni
2015
dalam
http://wwf.panda.org/what_we_do/endangered_species/cetaceans/threats/wha
ing/w a les_killed/.

Surat Kabar

2010. Isu Paus Masuk Ke Parlemen Jepang. Kompas : Jakarta


2012. Perburuan Paus Jepang Timbulkan Kecaman Internasional. Kompas : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai