KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan mata kuliah Manajemen Kota yang
berjudul Urban Heritage Management.
Selama proses penulisan laporan ini banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak lain
sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan optimal. Pada Kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tugas ini yaitu:
-
Dr. Ing. Ir. Haryo Sulistyarso Sebagai dosen mata kuliah Manajemen Kota yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan laporan ini serta memberikan ilmu dan
saran yang sangat bermanfaat;
Putu Gde Ariastita, ST., MT, Sebagai dosen mata kuliah Manajemen Kota yang telah
membantu kami dan memberikan banyak masukan dan saran yang bermanfaat
dalam menyelesaikan tugas ini;
Serta semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penyelesaian tugas ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata kami ucapkan
terimakasih.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................................................. 3
1
1.2
1.3
2.1.1
2.1.2
2.1.3
2.2
2.2.1
2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.3
2.3.1
2.3.2
2.3.3
2.3.4
2.4
Studi Kasus.....................................................................................................................................................................15
Kesimpulan ................................................................................................................................................................... 18
4.2
Rekomendasi............................................................................................................................................................... 18
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Cagar Budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu di lindungi
dan di lestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa, daerah dan kepentingan
nasional. Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini juga
menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional. Pelestarian dalam konteks ini
tidak
hanya
sebatas
memberikan
perlindungan
saja
tetapi
juga
melakukan
pengembangan dan pemanfaatan yang pada akhirnya dapat memberikan peranan dalam
memperkuat pengamalan Pancasila, memperkuat kepribadian bangsa, daerah dan
kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, meningkatkan kualitas hidup
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa. Usaha ini
tidaklah cukup apabila tidak disertai dengan kerja sama berbagai pihak. Oleh sebab itu
keterlibatan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah serta peran masyarakat sangat penting
dalam pelestarian cagar budaya. Selain itu untuk mewujudkan pelestarian warisan budaya
perlu diterapkan sistem pengelolaan yang efisien dan mampu meningkatkan potensi
serta menjadi solusi dari permasalahan cagar budaya yang sekarang ini banyak ditemui.
Maka dari itu, pada makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai seperti apa sistem
pengelolaan cagar budaya ditinjau dari kebijakan yang ada, jenis-jenis upaya yang
mungkin dilakukan, serta penerapannya di Indonesia.
BAB III DISKUSI: Pada bab ini akan dijelaskan mengenai proses diskusi mengenai urban
heritage management selama presentasi dilakukan.
BAB IV: PENUTUP: Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dan rekomendasi dari
pembahasan urban heritage management secara keseluruhan.
2 BAB II PEMBAHASAN
2.1 Cagar Budaya / Urban Heritage
2.1.1
Menurut UU No 11 Tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya berupa benda cagar
budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya baik di darat maupun di dalam air cagar budaya perlu di lestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Menurut UNESCO, cagar budaya adalah sekelompok bangunan yang berhubungan
maupun terpisah, baik secara arsitektural, homogenitas, atau lokasinya yang memiliki nilai
lebih dilihat dari sudut pandang sejarah, seni, maupun budaya.
2.1.2
Cagar budaya memiliki bentuk dan jenis yang beragam. Adapun dibawah ini adalah
beragam jenis-jenis cagar budaya:
Benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik
bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan kelompok, atau bagianbagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan
dan sejarah perkembangan manusia.
Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau
benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau
tidak berdinding, dan beratap.
Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam
dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang
menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan
manusia.
Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang
mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur
cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Kawasan / lingkungan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki
dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau
memperlihatkan ciri tata runag yang khas.
Pengelolaan
adalah
upaya
terpadu
untuk
melindungi,
mengembangkan,
dan
2.2.2
Pelestarian
Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya
Perbanyakan
Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi terhadap benda cagar budaya, bangunan
cagar budaya, atau struktur cagar budaya, baik seluruh maupun bagian
bagiannya, untuk menunjang publikasi benda cagar budaya, bangunan cagar
budaya, atau struktur cagar budaya, keluar daerah
Perlindungan
Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi,
Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
Beberapa hal yang dilakukan untuk upaya perlindungan di antara lain:
Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar
Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
Pengamatan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman
dan/atau gangguan.
Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan
Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya
tetap lestari.
Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan
keaslian
bahan,
bentuk,
tata
letak,
dan/atau
teknik
pengerjaan
untuk
memperpanjang usianya.
-
Pengembangan
Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar
Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara
berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian.
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan metode yang
sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan
Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
Adapun dalam pelaksanaan urban heritage management tidak terlepas dari peran-peran
beberapa pihak diantaranya: pemerintah dan masyarakat pemilik cagar budaya.
Adapun peran pemerintah dalam urban heritage management yaitu:
-
Wajib menjaga dan merawat cagar budaya dari pencurian, pelapukan, atau
kerusakan baru
2.2.4
10
Cagar budaya pada masing-masing daerah memiliki karakteristik dan jenis yang beragam.
Maka dari itu, karena keberagamannya pengelolaan cagar budaya yang dilakukan pada
tiap daerah tentu berbeda. Setiap pemerintah daerah memberlakukan kebijakannya
masing-masing dalam pengelolaan cagar budaya pada daerahnya.
Di Kota Surabaya sendiri pengelolaan cagar budaya diatur di dalam Peraturan Daerah No
5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya. Pada
peraturan ini diatur mengenai cagar budaya berupa bangunan dan/atau lingkungan yang
terdapat
di
Kota
Surabaya.
Peraturan
hanya
dibatasi
pada
pelestarian
11
2.3.2
Adapun tahapan pelestarian dan pengelolaan cagar budaya di Kota Surabaya secara
administratif adalah sebagai berikut:
a. Tahap Inventarisasi
Inventarisasi dilakukan pada bangunan dan/atau lingkungan yang ditetapkan
dalam rapat kerja di awal tahun. Bangunan cagar budaya yang akan diinventaris
tersebut berdasarkan laporan dari masyarakat yang peduli atau tokoh-tokoh
masyarakat yang memiliki perhatian lebih pada pelestarian cagar budaya.
b. Tahap Penelitian
Setelah proses inventarisasi status bangunan/lingkungan cagar budaya tersebut
status bangunan akan menjadi diduga. Status tersebut akan berlaku sampai
dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Tim Cagar Budaya dan BP3 (Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala) tingkat daerah menurut kritertia tertentu cagar budaya.
Setelah penelitian tersebut statusnya akan menjadi Bangunan atau Lingkungan
Cagar Budaya jika pemilik bangunan tersebut setuju, jika tidak maka status
bangunan akan tetap pada status diduga cagar budaya dan proses akan berhenti
sampai disitu.
c. Tahap Pendaftaran
Bangunan/lingkungan cagar budaya yang sudah mendapatkan status selanjutnya
akan dilakukan pendaftaran sebagai bangunan/lingkungan cagar budaya.
d. Tahap Penggolongan
Setelah dilakukan pendaftaran, maka akan dilakukan penelitian lanjutan untuk
menggolongan masing-masing bangunan/lingkungan cagar budaya ke dalam
golongan berdasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu. Penggolongan ini
bertujuan
agar
bangunan/lingkungan
mempermudah
cagar
budaya
penanganan
sesuai
kondisi
dan
pengelolaan
eksistingnya
secara
berkelompok.
2.3.3
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa cagar budaya di Kota Surabaya hanya
terdapat dua jenis yaitu: bangunan dan lingkungan/kawasan. Adapun kriteria penentuan
masing-masing bangunan maupun lingkungan cagar budaya berbeda.
Penentuan bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan kriteria: umur, estetika,
kejamakan, kelangkaan, nilai sejarah, memperkuat kawasan, keaslian, keistimewaan,
dan/atau tengeran.
12
Adapun tolak ukur dari kriteria bangunan cagar budaya sebagaimana yang dimaksud
dalam kriteria diatas adalah:
-
kelangkaan berkenaan dengan jumlah yang terbatas dari jenis atau fungsinya, atau
hanya satu-satunya di lingkungan atau wilayah tertentu;
keaslian berkenaan dengan tingkat perubahan dari bangunan cagar budaya baik
dari aspek struktur, material, tampang bangunan maupun sarana dan prasarana
lingkungannya.
Penentuan lingkungan cagar budaya ditetapkan berdasarkan kriteria: umur, keaslian, nilai
sejarah, kelangkaan, dan/atau ilmu pengetahuan.
Adapun tolak ukur dari kriteria lingkungan cagar budaya sebagaimana yang dimaksud
dalam kriteria diatas adalah:
-
keaslian adalah keberadaan lingkungan cagar budaya yang masih asli, baik
lengkap maupun tidak lengkap;
13
2.3.4
Berdasarkan kriteria dan tolak ukur yang telah dijelaskan sebelumnya, bangunan dan
lingkungan cagar budaya di Kota Surabaya diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan.
Adapun penggolongan tersebut dilakukan untuk mempermudah penanganan dan
pengelolaan cagar budaya di Kota Surabaya.
Adapun bangunan cagar budaya diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) golongan yaitu:
-
Bangunan cagar budaya Golongan A adalah bangunan cagar budaya yang harus
dipertahankan dengan cara preservasi.
Preservasi adalah pelestarian suatu bangunan atau lingkungan cagar budaya
dengan cara mempertahankan keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk
upaya mencegah penghancuran.
Adapun contoh bangunan cagar budaya Golongan A di Kota Surabaya diantaranya:
bangunan Balai Kota Surabaya, Fakultas Kedokteran UNAIR, Gedung Grahadi,
Hotel Majapahit, dan Rumah Sakit Darmo.
Bangunan cagar budaya Golongan B adalah bangunan cagar budaya yang dapat
dilakukan pemugaran dengan cara restorasi/rehabilitasi atau rekonstruksi.
Restorasi/rehabilitasi adalah upaya mengembalikan ke dalam keadaan semula
dengan menghilangkan tambahan tambahan dan memasang komponen semula
tanpa menggunakan bahan baru.
Sedangkan rekonstruksi adalah upaya mengembalikan suatu tempat semirip
dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama atau baru, sesuai
informasi kesejarahan yang diketahui .
Adapun contoh bangunan cagar budaya Golongan B di Kota Surabaya adalah Bank
BNI, Gedung Cerutu, Rumah sakit Dr. Soetomo, SMA Kompleks, dan Jembatan
Petekan.
Bangunan cagar budaya Golongan C adalah bangunan cagar budaya yang dapat
dilakukan pemugaran dengan cara revitalisasi/adaptasi.
Revitalisasi/adapatasi adalah upaya mengubah cagar budaya agar dapat
dimanfaatkan untuk fungsi yang lebih sesuai tanpa menuntut perubahan drastis.
14
Lingkungan cagar budaya golongan I yaitu lingkungan cagar budaya yang secara
fisik masih lengkap serta memenuhi kriteria
Lingkungan cagar budaya golongan II yaitu lingkungan cagar budaya yang secara
fisik tidak lengkap serta minimal memenuhi kriteria umur, keaslian, dan nilai sejarah
Lingkungan cagar budaya golongan III yaitu lingkungan cagar budaya yang secara
fisik tidak lengkap serta minimal memenuhi kriteria umur dan keaslian.
15
pelestarian Cagar Budaya. Kurang dilibatkan disini lebih kepada tidak ada komunikasi
antara pihak Dinas dan pihak Ketua RT setempat sebagai pengelola Cagar Budaya rumah
HOS Tjkroaminoto. Ketua RT lebih banyak berperan sebagai juru kunci dan perawat rumah
dari pada sebagai pengelola seperti yang disebutkan di SK Walikota. Dinas memang
menjalankan proses pelestarian rumah HOS Tjokroaminoto, tapi setiap kebijakan yang
dilakukan bersifat satu arah dari Dinas saja tanpa meminta masukan ketua RT selaku orang
yang lebih mengetahui kondisi Rumah HOS Tjokro secara dekat.
Tampak juga tindakan pengecatan yang dilakukan oleh ketua RT tanpa sepengetahuan
Dinas, hal tersebut tentunya menyalahi aturan yang ada. Seharuskan dikonsultasikan
dengan Tim Cagar Budaya terlebih dahulu. Dari sana tampak bahwa belum dilakukan
sosialisasi mengenai pem-bagian ranah kerja dan aturan pelestarian Cagar Budaya dari
Dinas kepada Pengelola Cagar Budaya. Selain itu masalah anggaran dan rumitnya
birokrasi juga menjadi kendala pengelolaan Rumah HOS Tjokroaminoto. Ketua RT dan
Ketua RW hanya diberi uang insentif sebesar 250 ribu rupiah dan tidak ada anggaran yang
dikhususkan untuk perawatan rumah tersebut. Tiap bulan memang ada pengadaan alatalat kebersihan dari Dinas tapi tidak ada anggaran untuk perawatan yang lain, seperti
genting bocor, gembok rusak dan lain sebagainya. Jika ingin melakukan perbaikan dan
diajukan ke Dinas akan memerlukan waktu yang lama, bisa ber-bulan-bulan sampai
bertahun-tahun dan belum tentu direalisasikan. Kurangnya komunikasi yang dilakukan
Dinas pada masyarakat setempat juga terjadi, terlihat dari warga masyarakat sekitar yang
baru mengetahui bahwa rumah tersebut merupakan bangunan bersejarah pada tahun
2011 saat ada kuliah terbuka dari dosen Unair.
16
17
4 BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cagar budaya adalah warisan budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai-nilai tertentu yang berbeda dengan bangunan
lainnya. Pengelolaan cagar budaya adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam
melestarikan cagar budaya tersebut. Dalam pengelolaan cagar budaya, secara umum
terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu pelestarian, pemanfaatan,
perbanyakan, perlindungan dan pengembangan. Sedangkan dalam pengelolaan cagar
budaya di tiap wilayah memiliki penanganan yang berbeda sehingga upaya-upaya
tersebut diperdetail lagi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi cagar budaya yang ada di
wilayah tersebut.
4.2 Rekomendasi
Dalam pengelolaannya, cagar budaya di Indonesia sudah cukup baik. Hal ini dikarenakan
pengelolaannya sudah dilindungi oleh payung hukum yang pasti dan setiap tindakannya
sudah diatur dengan rinci. Namun dalam pelaksanaannya, pengelolaan cagar budaya
perlu dimaksimalkan lagi. Hal ini dikarenakan meskipun pelestarian cagar budaya sudah
diatur dalam undang-undang, namun masih banyak cagar budaya yang diabaikan tanpa
perawatan serta pelestarian yang sudah seharusnya dilakukan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat pemilik cagar budaya tersebut.
18