Anda di halaman 1dari 4

Lelaki Koran

Oleh: Nafa Rifani Rifan


SEJAK keyakinan itu semakin teguh, tak pupus asaku untuk terus berdoa, bermunajat pada
Sang Pemilik Cinta agar kelak keajaiban menemuiku. Bukankah doa sering kali membawa
keajaiban? Meski mama selalu bilang harapanku bagikan tungku merindukan bulan.
***
Sorak-sorai murid TK/TPA terdengar jelas dari balik tabir hijau masjid Umar bin
Khattab. Ada yang sedikit cengingisan, pula ada yang tertawa lepas tanpa beban. Dasar anakanak.
Aku tersenyum ringan sembari mengangkat ransel hitam agak kekusaman di depanku.
Langkahku pelan menuju murid-murid mungilku, yang kadang menghibur tapi kadang pula
memekakkan amarahku.
Yeee... Kak Iz sudah datang. Di tengah kegaduhan, tiba-tiba terdengar suara
cempreng Ical. Berlari kecil menuju arahku dan menyambut tanganku.
Tak elakkan murid-murid lain juga ikut berteriak serta dengan sigap membentuk
lingkaran serapi mungkin. Hal ini sudah biasa kujalani, meski sebenarnya aku paling benci
dengan keramaian. Berteman sunyi itulah hobiku.
Berawal dari ajakan teman sekelasku. Sosok inspiratif tapi kadang menjengkelkan.
Namanya juga manusia biasa, There is not body perfect...Iz Batinku bergemuruh.
Huffft... Nafasku mendengus.
***
Satu jam belalu. Seperti biasa, sebelum menutup proses belajar aku suka memberi
motivasi singkat kepada murid-muridku.
Berbeda dengan hari-hari lain. Sore ini aku membagi-bagikan kertas origami dan
spidol hitam.
Kak Iz, ini untuk apaan? Tanya Salsa tidak sabaran. Dengan jemari kecilnya
melambai-lambaikan kertas origami kuningnya.
Aku hanya menatapnya ringan dan merekahkan senyum padanya. Sambil tetap fokus
membagi kertas.
Aduh, Salsa tidak sabaran bangat sih? Kan, Kak Iz masih membagi-bagikan kertas
untuk teman-teman yang lain. Sebentar juga ada intruksi selanjutnya. Celetup Yazid agak
jutek melihat tingkah Salsa.
Salsa terdiam menatap tajam pada Yazid, ada kesal yang tersembunyi.

Nah, karena semuanya sudah kebagian kertas, sebelumnya kakak mau tanya, apakah
kalian punya cita-cita?
Iya Kaaak, punya donggg! Dengan semangat mereka menjawab dengan kompak.
Aku mau jadi dokter.
Kalau aku mau jadi polisi. Hehehe...
Kak, aku mau jadi guru ngaji seperti Kak Iz.
Satu persatu menyebutkan cita-cita mereka tanpa kuminta sebelumnya. Tiba-tiba
terdengar suara Ical sambil mengeluarkan lipatan selembar koran.
Kak Iz, impianku sederhana kok, tak muluk seperti yang lain, aku hanya ingin seperti
kakak ini. Sambil menunjuk gambar sosok lelaki pada koran tersebut.
Huuuuuu.... Ical payah, masa mau jadi seperti yang di koran, gak kereennn...
Sebagian teman-temannya meledek dengan wajah polos masing-masing.
Jantungku tiba-tiba berdebar kencang, tatapanku agak dalam pada gambar yang
ditunjuk Ical. Benarkah ia yang selama ini tersimpan rapi dalam hatiku? Yang tercatat indah
dalam setiap lembaran buku harianku? Sosok lelaki yang sejak kecil kukagumi. Tapi, hanya
lewat doa-doa sunyi kuutarakan kekagumanku? Benarkah ia? Batinku semakin meyakinkan.
Kekaguman yang tak pernah pudar, meski jarak dan waktu memisahkan. Beriring
kedewasaan kami, tak pernah ada yang tahu bahwa ia semakin hebat saat ini.
Kak Iz! Lamunanku buyar, berusaha menyembunyikan sesuatu.
Ya, kenapa Ical?
Kak, aku mau seperti kakak ini, si lelaki koran. Dia hebat, meskipun ia dari desa tapi
ia beprestasi, dia sudah keliling dunia. Aku mau seperti dia. Masih menunjuk gambar lelaki
itu dan meyakinkan akan impiannya.
Iya dek, kamu pasti bisa seperti lelaki koran yang kamu maksud, bahkan lebih
daripada dia. Aku tersenyum memandang Ical dan yang lain meski jantungku masih
berdebar agak kencang.
***
Melewati beberapa gang kecil. Suara berisik tukang becak dan tukang bentor
menawarkan tumpangan kuhiraukan saja. Kali ini aku ingin menikmati soreku dengan jalan
kaki. Pikiranku masih terbayang akan gambar pada koran milik Ical. Ada sesal kenapa tidak
meminta koran itu saja, agar ada cerita baru lagi tentangnya.
Lelaki Koran? Batinku, sembari tersenyum sendiri.
Neng...

Heee... Iya Bu. Wajahku agak kemerahan sedikit malu menoleh pada sosok Ibu tua
dengan karung besar di kepalanya.
Kok, senyam-senyum sendiri?
Hehehe... tidak apa-apa Bu. Aku menutup wajah dengan sangat malu. Benar-benar
malu.
Senja dengan semburan sinar matahari sepenggal. Entah kenapa, seakan aku saja
menemui sosok pangeran yang sangat kuimpikan di tengah mekarnya sakura yang
berguguran. Sejuk sekali.
***
Makassar, 24 Desember 2014
Aku gadis pemimpi dan kau lelaki koran.
Kau yang kerap kali menjadi mimpi indahku selama ini. Kau yang membuat batinku
selalu bertanya-tanya. Kau yang kerap kali membuat batinku gelisah menggelisah. Kau yang
kerap kali menjadi kekuatan bagi resahku. Kau, lagi-lagi kau.
Kau yang hadir dalam munajat-munajatku. Kau yang kurindukan dalam diam. Kau
yang selalu ada dalam sajak-sajak polosku. Kau, yang saat ini menjelma sebagai lelaki koran.
Kerap kali batinku menafikan rasaku pada kau. Tapi, entah kenapa? rasaku pada kau
semakin kuat. Mungkinkah gadis pemimpi sepertiku akan bertemu dengan kau, sosok lelaki
koran? Yang di luar sana memiliki sejuta bidadari pilihan yang lebih baik daripada aku?
Aku gadis pemimpi tak lebih dari gadis biasa dengan sejuta impiannya. Sedang kau!
Lelaki koran dengan sejuta prestasi dan keberuntanganmu.
Kau tiba-tiba hadir dengan sebuah gambar. Aku hanya bisa bersyukur pada Sang
Pencipta, Sang Penjaga rasa sebab kau baik-baik saja bahkan semakin sukses.
Saat kehadiran kau dengan sebuah gambar. Saat itu pula dentuman rinduku kian
berdentum.
***
Lumayan sepi. Hanya aku dan sedikit bisikan angin malam. Aku menatap langit yang
berhias bintang-bintang bisu dengan sinar ramahnya. Berharap ada satu saja yang tersenyum
riang padaku. Dan satu itu adalah bintang kirimannya.
Kuletakkan bolpoin biruku diatas buku mungil hijau tosca. Buku yang selalu hadir
sebagai wadah rasaku padanya. Dari arah kiri kuraih mukena pink dan kugelar sajadah. Tak
lain untuk menyambut salam para malaikat dan menjemput keridhoanNya. Sepertiga malam.
***

Salam terakhir. Tanganku menengadah pada Sang Maha Halus, Maha Lembut dan
Maha Baik.
Aku perempuan. Aku bisa apa selain menunggu? Aku bisa apa selain mendoakan
yang terbaik untuknya? Aku bisa apa selain memperbaiki kualitas diriku agar pantas
untuknya? Aku bukan bunda Khadijah yang mampu melamar seorang Muhammad mulia.
Rabb... lindungi selalu hatiku dan hatinya agar selalu suci hingga Engkau pertemukan kami.
Jaga kesucian kami karena hanya Engkau yang menjadikan tulang rusuk hambaMu menyatu,
Raabbb... hanya dengan Kun-Mu cinta kami akan bersemi.
Tak terasa pipiku basah sebab tetesan embun rindu yang kian merindu. Sesaat jidatku
menyungkur sujud, penuh harap kelak keajaiban akan menemuiku. Keajaiban itu adalah sang
lelaki koran.

Anda mungkin juga menyukai