Oleh
Dr. Abd. Jamal, S.E., M.Si
Persoalan pengelolaan minyak dan gas Aceh menjadi salah satu isu sejak ditetapkannya
undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yang kemudian ditetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumberdaya Alam Minyak dan Gas Bumi
di Aceh. Atas dasar itu, terbentuk Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) yang menggantikan
SKK Migas di Aceh. Dengan terbentuknya lembaga ini, berarti pemerintah Aceh telah diberikan
hak di dalam mengelola migas di Aceh. Kesahihan terbentuknya lembaga tersebut ditunjukkan
oleh telah dilantiknya Kepala BPMA, Marzuki Daham, oleh Menteri Energi dan Sumberdaya
Mineral (ESDM).
Kita menyambut baik kebijakan ini. Tentu saja dengan harapan semakin meningkatnya
geliat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan pemerintah Aceh di dalam kegiatan
ini bukan berarti Pemerintah Aceh dapat mengatur secara politik setiap langkah dan gerak dari
BPMA. Memang, itu adalah bagian dari negosiasi politik yang dibicarakan dalam waktu yang
relatif lama. Akan tetapi, bila politik dikedepankan, mungkin tujuan awal untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Aceh hanya akan menjadi mimpi. Barangkali kita bisa lihat kembali
BPKS (Badan Pengelola Kawasan Sabang) sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah
untuk memajukan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru (New Economic Growth
Center) di ujung barat Indonesia. Keikutsertaan tangan-tangan politik yang kental, menyebabkan
lembaga tersebut seperti ada dan tiada.
BPMA mungkin sebuah keniscayaan di awal mimpi-mimpi kita selaku masyarakat Aceh
untuk kemajuan ekonomi Aceh. Puluhan tahun kita memprotes pemerintah pusat karena
ketidaktransparansinya dalam mengelola migas Aceh. Kita meyakini, kita memiliki sumberdaya
alam, khususnya migas yang sangat besar di bumi ini. Kita meyakinkan masyarakat, kalau kita
mampu mengelola sendiri sumberdaya alam itu untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat kita.
Hari ini kita harus buktikan, BPMA itu memang untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk
gontok-gontokan, atau memperkaya kelompok kita sendiri. Kita harus memberikan kesempatan
untuk mengelola setiap kebijakan BPMA secara professional, bukan secara politik apalagi
politisasi.
perburuan rente bagi banyak pihak. Kita kuatir bila itu dilakukan, perjuangan atau apapun
namanya yang selama ini telah dilakukan atau dikampanyekan, akan dipandang sinis oleh
masyarakat. Pemerintah Aceh jangan merasa mengutangkan budi pada pengelolanya, sehingga
budi itu harus dibalasnya dalam bentuk rente.