LAPORAN KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. F A
Umur
: 7 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Alamat
: cempaka putih barat
Pekerjaan
: Pelajar Sekolah Dasar kelas 2
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis, dengan ibu pasien, pada
hari Kami tanggal 10 maret 2016 pukul 10.05 WIB
Keluhan Utama :
Amandel membesar sejak 3 tahun yang lalu
Keluhan Tambahan :
-
menggigil, keringat, dan mengigau. Demam tidak disertai batuk pilek. Selain itu
ditemukan bengkak pada bagian leher kanan kiri bagian atas.
Pasien mengeluhkan adanya rasa mengganjal dan kering pada tenggorokan
sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Pasien menyangkal adanya demam, nyeri
tenggorok, nyeri menelan, nyeri telinga, batuk pilek, napas berbau, suara serak, sesak
napas. Pasien juga menyangkal riwayat terbangun saat tidur akibat sesak napas.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-
Pasien sering mengalami nyeri tenggorok dan nyeri menelan disertai perbesaran
amandel, demam dan batuk pilek hilang timbul sejak pasien berusia 3 tahun. Gejala
berlangsung lebih dari 3x dalam setahun selama 3 tahun berturut- turut. Gejala
hari.
Pasien menyangkal adanya riwayat asma.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: Tidak diperiksa
2
Frekuensi nadi
: 96x/menit
Frekuensi nafas
: 20x/menit
Suhu
: 36.6 C
Berat badan
: 16 kg
Pemeriksaan sistemik
Mata
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
: Tidak ditemukan pembesaran KGB
Paru
: Dalam batas Normal
Jantung
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal
Extremitas
: Tidak ditemukan kelainan
B. STATUS THT
Pemeriksaan telinga
Pemeriksaan
Daun Telinga
Dinding Liang
Telinga
Sekret/ Serumen
Kelainan
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri Tarik
Nyeri Tekan
Dextra
-
Sinistra
-
Tragus
Lapang
Sempit
Hiperemis
Edema
Massa
Bau
Warna
Lapang
Kuning
Lapang
Kuning
Jumlah
kecoklatan
Sedikit,
kecoklatan
Sedikit,
menempel
menempel
telinga luar
Serumen
telinga luar
Serumen
Jenis
Membran
Timpani
Utuh
Warna
Putih
Putih
Reflex Cahaya
Bulging
Retraksi
Atrofi
Rinne
Schwabach
mengkilat
Arah jam 5
+
Sama dengan
mengkilat
Arah jam 7
+
Sama dengan
Weber
pemeriksa
Tidak ada
pemeriksa
Tidak ada
lateralisasi
Normal
Tidak
lateralisasi
Normal
Tidak
dilakukan
dilakukan
Kesimpulan
Audiogram
PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
Tes Romberg
Baik
Tes Fukuda
Baik
Finger to Nose
Baik
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan
Hidung
Kelainan
Deformitas
Kel. Kongenital
Trauma
Radang
Massa
Krepitasi
Dextra
-
Sinistra
-
Sinus Paranasal
Inspeksi
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketuk
Dextra
-
Sinistra
4
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan
Vestibulum
Cavum nasi
Sekret
Kelainan
Radang
Lapang/Sempit
Ukuran
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Deviasi
Konka inferior
Konka media
Septum
Massa
Dextra
Tidak ada
Lapang
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak terlihat
Tidak terlihat
Tidak terlihat
-
Sinistra
Tidak ada
Lapang
Eutrofi
Merah muda
Licin
Tidak terlihat
Tidak terlihat
Tidak terlihat
-
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan tidak dilakukan karena tonsil kanan dan kiri pasien membesar.
Pemeriksaan
Koana
Kelainan
Lapang/Sempit
Dextra
Tidak dilakukan
Sinistra
Tidak dilakukan
Warna
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Mukosa konka
Ukuran
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Adenoid
Ada/Tidak
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Muara tuba
Tertutup secret
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Eustachii
Edema mukosa
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Lokasi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Ukuran
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Bentuk
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Permukaan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Ada/Tidak
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Massa
Transiluminasi
Pemeriksaan tidak dilakukan karena ruangan yang tidak mendukung.
5
Kanan
Tidak dilakukan
Transiluminasi
Sinus Frontal
Kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Sinus Maksilaris
Tidak dilakukan
Tonsil
Peritonsil
Gigi
Lidah
Kelainan
Simetris/Tidak
Warna
Dextra
Simetris
Merah muda
Sinistra
Simetris
Merah muda
Edema
Bercak/eksudat
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Muara kripta
Detritus
Eksudat
Perlengketan
Merah muda
Licin
T3
Merah muda
Merah muda
Licin
T3
Merah muda
Melebar
+
Melebar
+
Merah muda
+
Merah muda
Normal
-
Merah muda
+
Merah muda
Normal
-
dengan pilar
Warna
Edema
Abses
Karies/radiks
Warna
Bentuk
Massa
Pemeriksaan
Keterangan
6
Epiglotis
Tidak dilakukan
Aritenoid
Tidak dilakukan
Ventrikular band
Tidak dilakukan
Plica vocalis
Tidak dilakukan
Subglotis
Tidak dilakukan
Sinus Piriformis
Tidak dilakukan
Valekula
Tidak dilakukan
RESUME
Pasien perempuan berusia 7 tahun datang ke Poli umum di puskesmas
kecamatan cempaka putihdengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 1 minggu yang
lalu. Pasien sebelunya berobat ke Puskesmas dengan keluhan bengkak pada leher
dan demam 2 hari lalu. Pasien tidur mengorok sejak 1 tahun lalu dan pasien sulit
makan sejak 1 tahun lalu disertai berat badan yang tidak dan sulit bertambah.
Pasien merasa kering dan mengganjal pada tenggorokan sejak 2 bulan lalu. Pasien
sering terlihat mengantuk. Pasien menyangkal adanya nyeri tenggorok, gangguan
menelan, bau mulut, batuk, pilek, nyeri telinga, napas berbau, suara serak, sesak
napas dan gangguan dalam bidang akademis.
Pasien sering mengalami nyeri tenggorok disertai perbesaran amandel, demam
dan batuk pilek sejak usia 3 tahun dan berulang lebih dari 3x dalam setahun
selama 3 tahun berturut- turut. Pasien sering mengonsumsi makanan ringan
seperti ciki dan minuman es.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis dengan
keadaan umum tampak sakit ringan. Tanda vital pasien didapatkan normal. Pada
tonsil ditemukan ukuran yang membesar yaitu T3/T3, permukaan tidak rata, dan
muara kripti yang melebar, terdapat perlengketan pada tonsil kanan dan kiri.
V.
DIAGNOSIS KERJA
7
Tonsilitis kronis
Dasar yang mendukung
-
VI.
DIAGNOSIS BANDING
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
VII.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
VIII.
23 mm
12600 /mikroliter
0%
20%
2%
74%
22%
2%
4.81 juta/dl
14.0 g/dl
42.4 %
88.1 fL
29.1 pg
33.0%
474000/mikroliter
DIAGNOSIS KERJA
Tonsilitis kronis
Dasar yang mendukung :
- Nilai leukosit 12.600
8
- Nilai LED 23 mm
- Bilai netrofil segment 76%
IX.
RENCANA PENGOBATAN
a. Antibiotik : Amoxicilin asam clavulanat 30-50 mg/KgBB/hari
b. Antipiretik : Paracetamol 10-15 mg/KgBB/x
c. Tonsilektomi rujuk spesialis THT
X.
XI.
PROGNOSIS
a. Ad vitam
b. Ad sanationam
c. Ad fungtionam
XII.
: Bonam
: Bonam
: Bonam
EDUKASI
a. Berikan edukasi mengenai penyakit yang dialami dan terapinya, termasuk
tindakan tonsilektomi yang akan dijalani.
b. Jaga higiene rongga mulut dengan menggosok gigi secara teratur, minimal 2x
sehari.
c. Hindari makan makanan yang merangsang dan membuat iritasi pada
tenggorok (terlalu panas/dingin/gorengan/vetsin)
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kasus diatas kami mendapatkan bahwa gejala-gejala klinis yang terdapat pada
pasien menunjukkan ke arah tonsilitis kronik yang dimulai dari hasil anamnesis, keluhan
amandel membesar yang sudah terjadi sejak 3 tahun yang lalu, pasien tidur mengorok dan
tidak banyak makannya menyebabkan berat badan pasien susah bertambah dan Pasien
merasakan sesuatu yang mengganjal dan kering pada lehernya sejak kurang lebih 2 bulan
yang lalu.
Pada riwayat penyakit dahulunya pasien sering mengalami nyeri tenggorokan dan
nyeri menelan yang hilang timbul sejak 3 tahun yang lalu disertai perbesaran amandel,
9
demam dan batuk pilek. Pasien juga mengalami demam dan bengkak pada leher 2hari. Pasien
sering terlihat mengantuk pada siang hari. Hal ini terjadi karena adanya sumbatan tersebut
membuat oksigen jadi sulit terdistribusi dengan baik ke dalam paru-paru dan berimplikasi
terhadap kadar oksigen di dalam otak. Karena kurangnya oksigen di dalam otak pasien jadi
mengantuk. Ibu pasien mengaku pasien selalu mengorok saat tidur. Mengorok disebabkan
adanya sumbatan jalan napas. Sejak pasien berusia 3 tahun pasien sering nyeri menelan dan
nyeri tenggorok yang hilang timbul dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam setahun. Nyeri
tenggorok biasanya disertai dengan batuk, pilek, dan demam. Dilihat dari perjalanan riwayat
penyakit dapat dikatakan penyakit pasien sudah kronis/dalam jangka waktu lebih dari 3
bulan.. Pasien suka mengonsumsi minuman es dan produk makanan ringan seperti ciki.
Makanan ringan dengan perasa buatan dan minuman es merupakan makanan yang dapat
merangsang dan mengiritasi tonsil dan faring.
Berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan Telinga :. Pemeriksaan Hidung : dalam
batas normal. Pemeriksaan tenggorok didapatkan besar tonsil kanan kiri T3/T3, permukaan
tonsil tidak rata dengan kripta yang melebar tidak hiperemis, tidak ada detritus, terdapat
perlengketan pada tonsil kanan dan kiri.
Kasus ini sudah sesuai dengan teori yang saya pelajari, karena tonsilitis
kronis
merupakan peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau
infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak. Sering kali keadaan
tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar
anterior.
Pada pasien akan
kronis dengan serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat dan adanya hipertrofi tonsil disertai sumbatan jalan nafas . Sebelumnya,
pasien diberikan informasi mengenai tindakan dan diberitahukan untuk melakukan
Pemeriksaan laboratorium. Pada hasil Pemeriksaan laboratorium pasien ditemukan leukosit
yang meninggi, mengindikasikan terdapatnya infeksi akut. Oleh karena tonsilektomi
dilakukan dalam fase tenang, maka pasien diberikan antibiotik berupa sirup cefadroxyl 2 kali
sehari, satu sendok teh selama kurang lebih 5 hari. Pasien diminta untuk melakukan
pemeriksaan ulang setelah 5-7 hari untuk mengetahui apakah tindakan tonsilektomi dapat
dikerjakan.
10
BAB III
KESIMPULAN
Saya melaporkan kasus tonsilitis kronik yang merupakan peradangan kronis
tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis dan
terjadi peradangan akut pada saat pasien datang ke Poli. Tonsilitis berulang terutama
terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi
tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan
hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar
detritus. Tonsilitis kronik secara umum disebabkan oleh infeksi bakteri
Grup A beta hemolitikus dengan beberapa faktor presidposisi yaitu asap
11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4. 1 EMBRIOLOGI TONSIL
Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal
kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap
ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan
ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul
terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual
akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik atau getah bening.4,5
12
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula
(sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai
pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari
berbagai stadium).4
Jaringan tonsil dilapisi oleh epitel squamosa tanpa keratin. Epitel ini terdiri dari
banyak limfosit, makrofag, dan sel plasma yang berasal dari jaringan limfatik di bawah
lamina propria. Pada jaringan ini juga terdapat banyak invaginasi epitel yang disebut kripta.
Tonsil dikelilingi oleh jaringan ikat yang disebut kapsula yang membentuk septa pada
jaringan limfoid ini. Di luar kapsula tonsil dapat ditemukan kelenjar mukosa, duktus
ekskretori yang membuka ke dalam kripta, dan beberapa fasikula otot yang merupakan
bagian dari otot-otot faring.6
13
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares yang berjumlah 6-20
14
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.7
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah : 8
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. 5 Adenoid akan terus
bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid
telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak
yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 37 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi
antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.8
Gambar 5. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring
superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil.
Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.4
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian
membentuk septa. 4
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah
berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis
atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian
anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
16
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
lidah.4
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris
eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A.
maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A.
lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar
m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju
tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m.
konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke
tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior
atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.4
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda
atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar
toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.4
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion
sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX). 4
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen,
selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil
ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T
berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.5,10
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon
imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi
ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen
tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen
melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang
17
membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti
makrofag dan sel dendritik.10
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte
dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya
berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit
berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan
kembali ke sirkulasi melalui limfe.10
4.3. TONSILITIS KRONIS
A. Definisi
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan
diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar
serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus.11
B. Epidemiologi
Infeksi saluran pernapasan atas merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas
pad anak di Indonesia. Salah satu infeksi saluran pernapasan atas yang tersering terjadi pada
anak di Indonesia antara lain adalah tonsillitis.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di Indonesia pada tahun 1994-1996
prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.
C. Etiologi
Streptokokus grup A beta-hemolitikus (GABHS) adalah bakteri terbanyak yang selalu
dihubungkan dengan penyakit tonsilitis. Sejak 60 tahun setelah antibiotik ditemukan,
kebanyakan infeksi yang disebabkan oleh GABHS menjadi lebih mudah untuk diatasi. Hal
ini dibuktikan dengan terdapat peningkatan secara klinis pada anak-anak yang menderita
tonsilitis. Hanya sejumlah kecil individu yang terkena komplikasi ginjal dan jantung.
Penularan GABHS diyakini terjadi melalui penyebaran droplet. Ukuran inokulum dan
virulensi dari strain penginfeksi cenderung menjadi faktor penting dalam transmisi. Masa
18
inkubasi biasanya antara 1-4 hari. Setelah memulai terapi antimikroba, anak dapat kembali
beraktivitas di sekolah dalam 1-2 hari.12
D. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 11
E. Etiopatogenesis
Kuman penyebab tonsilitis kronis sama dengan kuman yang menyebabkan terjadinya
tonsilitis akut yaitu Streptococcus hemoliticus (50%), Streptococcus viridians dan sisanya
disebabkan virus. Penyebarannya melalui percikan ludah (droplet infection). Penyakit ini ada
kecenderungan bersifat residif secara periodik. Mula-mula terjadi infiltrasi pada lapisan
epitel. Bila epitel terkikis, maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi kemudian
terjadi peradangan dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinis
tampak pada kriptus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Tonsilitis kronis merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil. Biasanya terjadi
pembesaran tonsil sebagai akibat hipertrofi folikel-folikel kalenjar limfe.14
Pada radang kronis tonsil terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil dan atrofi tonsil.
Terjadinya proses radang berulang mengakibatkan epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan ikat
fibrosa. Jaringan ikat ini sesuai dengan sifatnya akan mengalami pengerutan, sehingga ruang
19
antar kelompok jaringan limfoid melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran
kriptus, dan kriptus ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga terbentuk kapsul,
akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan proses pembesaran kalenjar limfe submandibularis.14
Gangguan tonsilitis kronis dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui
perkontinuitatum,
hematogen
atau
limfogen.
Penyebaran
perkontinuitatum
dapat
menimbulkan rinitis kronis, sinusitis dan otitis media. Penyebaran hematogen atau limfogen
dapat menyebabkan endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis,
urtikaria, furunkulosis dan pruritus.14
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis
biasanya terdapat riwayat infeksi berulang, riwayat nyeri menelan atau rasa mengganjal di
tenggorokan, keluhan nafas berbau, tidur yang mendengkur, riwayat infeksi telinga tengah
berulang.15
Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala tonsilitis kronis antara lain: 1)
gejala klinis, rasa nyeri di tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal,
hipertrofi tonsil, permukaan berbenjolbenjol, kripte melebar dan jika kripte ditekan keluar
massa seperti keju. Kadangkadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam
fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan pembesaran kelenjar limfe
regional.4.11
Tonsilitis kronik akan menyebabkan sakit tenggorokan rekuren, atau persisten dan
gangguan menelan atau pernapasa, walaupun yang terakhir disebabkan oleh kelenjar adenoid
yang membesar. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat,
mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran udara bagian atas yang
mengakibatkan hipertensi pulmonal. Tonsila akan memperlihatkan berbagai derajat hipertrofi
dan dapat bertemu di garis tengah. Pada hipertrofi kroonik pada adenoid, anak
memperlihatkan pernapasan lewat mulut dan rhinitis yang kurang lebih bersifat persisten.
Anak mungkin mendengkur pada waktu tidur dan sepanjang hari cenderung tetap membuka
mulutnya, mengakibatkan kekeringan pada mulut dan bibirnya. Suara sengau, napasnya
20
bersifat ofensif dan penciuman penderita mengalami gangguan. Mungkin terdapat batuk yang
persisten. Otitis media kronik sering merupakan masalah yang menyertai. (17)
22
diangkat.
Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa
leher.
f. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau
tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh
disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa
mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada
pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy.
H. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan
tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang
konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk
pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk
membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak
mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang.4
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology
Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan :11
1. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial.
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale.
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
hilang dengan pengobatan.
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta
hemolitikus.
23
radiofrekuensi,
skalpel
harmonik,
coblation,
tonsilektomi
parsial
intraskapular, dan teknik laser (CO2-KTP). Teknik tersering yang dilakukan di Indonesia
adalah teknik guillotine dan diseksi. Teknik guillotine dilakukan dengan mengangkat tonsil
dan memotong uvula yang edematosa atau elongasi dengan menggunakan tonsilotomi atau
guillotine. Teknik ini merupakan teknik tonsilektomi tertua dan aman. Teknik diseksi
memiliki prinsip yang sama, meliputi fiksasi tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi
membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari
fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau
ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin. Teknik
electrosurgery,
radiofrekuensi,
scalpel
harmonik,
coblation,
tonsilektomi
parsial
intraskapular, dan teknik laser merupakan modifikasi lain dari teknik diseksi.16
I. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositits, nefritis,
uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.1
J. Prognosis
Sejumlah literatur menyatakan penururnan angka infeksi faring yang signifikan setelah
tonsilektomi. Pada pasien dengan Obstructive Sleep Apnea jalan nafas yang dapat kembali
normal mencapai 25 %.
DAFTAR PUSTAKA
1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan Perilaku
Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit ISPA
dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31:60-71.
2. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology. German : Thieme. 2005; 119120
24
3. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2nd ed.. Philadelphia:
WB Saunders Co. 1959; 239-257.
4. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6 th Ed.
Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC. 2001; 263-368.
5. Sadler TW. Embriologi Kedokteran LANGMAN, ed. 7. Jakarta : EGC. 1997; 318321.
6. Krstic RV. Human Microscopic Anatomy, 3rd ed.. Switzerland : Springer-Verlag.
1997; 71-72
7. Verlag GT. Thieme Atlas of Anatomy. German : Thieme. 2007; 110-112.
8. Martin, FH. Fundamentals of Anatomy & Physiology, 8th ed..USA : Pearson
Benjamin Cummings. 2009; 831-832
9. Hollishead WH. Anatomy for Surgeons. 3rd ed.. Philadelphia : Harper & Row. 1982.
10. Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolaryngology, 4th ed.. USA :
Lippincott Williams & Wilkins. 2006; 1186-1192.
11. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI : Jakarta, 2001; 223-224.
12. Mitchell RB, Pereira KD. Pediatric Otolaryngology for The Clinician. New York :
Human Press. 2009; 187-189.
13. Onerci MT. Diagnosis in Otorhinolaryngology. Berlin : Springer Verlag. 2009; 124.
14. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan
pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL,
Palembang, 2001: 8-12.
15. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr. Kariadi
Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-55.
16. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome :http://www.emedicine.com/ped/topic
1630.htm.2002.
17. Delf MH, Manning RT. Major Diagnosis Fisik. 1996. Edisi Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbit Buku EGC.
25