NAMA
NIM
KELAS
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim
adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak
yang
berperkara.
Hubungan
hukum
inilah
yang
harus
dibutktikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jenis-jenis Alat Bukti
Dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal 5 macam alat bukti,
yaitu :[1]
pembuktian
Bukan akta
Akta otentik
Akta dibawah tangan
pejabat
umum,
yang
menurut
peraturan
Aspek / unsure
Inisiatif dari
Ambtelijk Akten
Pejabat
yang Para
bersang-kutan
2
Isi akta
karena
kepentingannya
yang
bersangkutan
pihak
karena jabatannya
Ditentukan
oleh Ditentukan oleh para pihak
pejabat
Partij Akten
ber-
dasarkan UU
Ditanda tangani Pejabat itu sendiri Para pihak dan pejabat
oleh
Kekuatan bukti
saksi-saksi
Tidak dapat digugat Dapat digugat
kecuali
palsu
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah
keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka
hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan
kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai
pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata
ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN,
maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN
tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masingmasing alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai
bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan
menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.[5]
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat
terletak pada akta aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta
yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan,
foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan
ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar
memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila
lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto
copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti
seperti yang asli.[6]
2) Keterangan ahli
Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa :
keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah
sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannya.[7]Kehadiran seorang ahli di
persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah
satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat
menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan
keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan
dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan
dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan
untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di
bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di
bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan,
ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain.[8] Dalam hal ini
keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli.
Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88
UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.
3) Keterangan saksi
martabat,
pekerjaan
atau
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Macam-macam alat bukti di PTUN :
acara TUN itu menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat-alat
bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut,
begitu juga sesuai dengan pasal 107 UU No.5/1986 hakim dibatasi
kewenangannya menilai sahnya pembuktian yaitu paling sedikit 2 alat bukti
berdasarkan keyakinannya.
B. Saran
Yang perlu diperhatikan adalah perlunya menganalisis seluruh materi yang
dipaparkan dengan cara meneliti ulang pada referensi yang menjadi sumber
pengambilan materi maupun dengan menelaah materi yang disampaikan itu dalam
sumber lain yang belum dicantumkan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pitto, Prof., Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, Intermasa, Jakarta, 1978.
Mukti Arto, Drs. H., SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Rozali Abdullah, SH., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Sudikno Mertokusumo, Dr. SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I.,
Yogyakarta : 1972.
Teguh Samudera, SH., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, 1992.
Undang-Undang No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Wicipto Setiadi, SH., MH., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Suatu
Perbandingan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Yos Johan Utama, SH., M.Hum., Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha
Negara, Badan Penerbbit UNDIP Semarang, t.th.
Catatan kaki:
[1] Pasal 100 UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[2] Sudikno Mertokusumo, Dr. SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I.,
Yogyakarta : 1972, hal. 100
[3] Pasal 101 UU No.5/1986
[4] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 149
[5] Yos Johan Utama, Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan
Penerbbit UNDIP Semarang, t.th., hal. 48
[6] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, 1992,
hal. 57
[7] Pasal 102 UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[8] Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hal. 71
[9] Mukti Arto, op.cit., hal. 169
[10] lihat, pasal 91 UU No.5/1986 tentang PTUN
[11] lihat, pasal 92 ayat (1) dan 92) UU No.5/1986 tentang PTUN
[12] lihat, pasa; 93 UU No.5/1986 tentang PTUN
[13] Teguh Samudera, op.cit., hal. 64
[14] A. Pitto, Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, Intermasa, Jakarta, 1978, hal.
150
[15] Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Suatu
Perbandingan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 137