Anda di halaman 1dari 35

RABU, MARET 09, 2011

laporan injeksi
BAB. I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan tekhnologi farmasi saat ini sangat berperan aktif dalam peningkatan
kualitas produksi obat-obatan. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya sediaan obatobatan yang disesuaikan dengan karakteristik dari zat aktif obat, kondisi pasien dan
peningkatan kualitas obat dengan meminimalkan efek samping obat tanpa harus
mengurangi atau mengganggu kinerja dari zat aktif obat.
Sekarang ini berbagai bentuk sediaan obat dapat kita jumpai dipasaran. Diantaranya
adalah sediaan injeksi yang termasuk sediaan steril. Disini kami membuat sediaan
injeksi yang merupakan sediaan yang sangat penting bagi dunia kesehatan. Karena
pada keadaan sakit yang dianggap kronis, pemberian obat minum sudah tidak
maksimal lagi , sehingga perlu dan sangat penting untuk di berikan sediaan injeksi,
karena akan sangat membantu untuk mempercepat mengurangi rasa sakit pada pasien,
sebab sediaan injeksi bekerja secara cepat, dimana obat langsung masuk ke dalam
pembuluh darah dan akan bekerja akan bekerja secara optimal pada bagian yang sakit.
Sediaan injeksi merupakan salah satu contoh sediaan steril , jadi keamanan dan
kebersihan sediaan juga telah di uji.
Disini sediaan injeksi yang kita buat adalah sediaan injeksi aminopillin , dimana di
ldalam penggunaannya di indikan untuk pasien yang menderita penyakit asma yang
sudah tahap kronis, dimna penggunaan obat minum sudah tidak efektif lagi, sehingga
harus

ditolong

dengan

pemberian

injeksi.

Dalam

pasarannya

injeksi

aminophyllin yang beredar mengandung aminophyllin 10 ml / ampul. Hal inilah yang


melatarbelakangi mengapa kita membuat sediaan injeksi.
1.2. Rumusan Masalah
1.1.1 Bagaimana cara membuat sediaan injeksi yang baik dan benar ?
1.1.2 Bagaimana pengaruh alat dan bahan steril dalam sediaan injeksi
mempengaruhi kualitas sediaan ?
1.3. Tujuan Percobaan
1.1.3 Mengetahui cara membuat sediaan injeksi yang baik dan benar.

1.1.4 Dapat membedakan kualitas sediaan injeksi yang baik dengan yang kurang
baik.
1.4. Manfaat Percobaan
1.4.1 Mampu menerapkan cara membuat sediaan injeksi yang baik dan benar
untuk meminimalisir kesalahan pada sediaan injeksi.
1.4.2 Mampu mengetahui kelarutan obat yang tepat dalam pembuatan injeksi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian Sediaan Steril
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril.
Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai
akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Produk
steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup.
Sediaan

steril adalah sedian yang selain memenuhi persyaratan fisika-kimia

juga persyaratan steril.


Steril

berarti bebas mikroba.

Sterilisasi

adalah proses untuk mendapatkan kondisi steril.

Desinfektan

adalah pembunuh baktreri yang penggunannya pada benda mati,

misalnya pada lantai


Antiseptik

adalah pembunuh bakteri yang penggunannya pada jaringan

hidup, misalnya pada kulit dan luka.


Injeksi

adalah sediaan steril yang diberikan melalui penyuntikkan pada

lapisan kulit.
Infus

adalah sediaan yang penggunannya sama dengan injeksi teapi

volumenya lebih besar (lebih dari 100 ml).


Radiofarmasi

radioaktif.

yaitu sediaan farmasi yang obat aktifnya merupakan zat

Larutan

irigasi adalah larutan steril yang dipakai secara topikal,untuk

mencuci sela-sela atau lubang tubuh termasuuk luka (meruapakan larutan


NaCl 0,9%, dikemas dalam volume besar dan botol mulut lebar).
Zat

diagnostik adalah zat-zat yang digunakan untuk mendiagnosis.

Misal evans blue untuk kontrol volume darah.


Ekstrak alergenik adalah zat yang digunakan untuk menguji sensitifitas terhadap
sesuatu, misal antibiotik. Ekstrak ini diencerkan dengan aqua steril saat akan digunakan.
Sediaan steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara
tradisional keaadan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran
dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah
istilah yang mempunyai konotasi relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak
bebas dari mikroorganisme hanya dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian
mikroba.

2.1.2. Macam macam Sediaan Steril


Macam-macam sediaan steril umumnya terdiri atas sediaan parenteral, sediaan untuk
mata, dan larutan irigasi.
a. Sediaan parenteral
Merupakan sediaan yang disuntikan melalui kulit atau membrane mukosa
ke bagian dalam tubuh. Karena sediaan tersebut harus menembus membrane kulit
dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari
komponen toksis dan harus mempunyai tingkat kemurnian yang tinggi.
b. Sediaan untuk mata
Merupakan sediaan yang membutuhkan sterilitas karena walaupun sediaan
ini tidak dimasukkan kedalam rongga bagian dalam tubuh , namun ditempatkan
berhubungan dengan jaringan-jaringan yang sangat peka terhadap kontaminasi
c. Larutan irigasi
Larutan irigasi harus memiliki standard yang sama dengan larutan
parenteral, karena selama pemberian dengan irigasi, sejumlah zat dari larutan
dapat memasuki aliran darah secara langsung melalui pembuluh darah luka yang
terbuka atau membrane mukossa yang lecet.

a. Contoh sediaan steril :


a. LVPs
1. Water for Injection USP
2. Dextrose Injection USP
b. SVPs
1. Ranitidin injection USP
2. Progesteron injection BP
3. Epinephrine Oil Suspension USP
4. Sterile Ceftazidine USP
5. Diamorphine injection BP

2.1.3. Pembawa
a. Pelarut air
Pembawa yang paling sering digunakan untuk produk steril adalah air,
karena air merupakan pembawa untuk semua cairan tubuh. Air yang digunakan
dalam larutan parenteral dan irigasi harus bebas pirogen.

b. Pelarut bukan air


Dalam formulasi produk farmasi steril, kadang kadang perlu
mengeliminasi air secara keseluruhan atau sebagian dari bahan pembawa, terutama
karena factor kelarutan atau reaksi hidrolisis
2.1.4. Zat-zat Tambahan
Zat-zat tambahan yang lazim digunakan dalam formulasi suatu sediaan
steril antara lain pengawet, pendapar, , antioksidan,kosolven, bahan pengisotonis
dan lain-lain. Setiap jenis zat tambahan mempunyai karakteristik serta keunggulan
masing-masing dan agar mendapatkan sediaan yang baik, karakteristik ini harus
dikenal sehingga tidak sampai salah memilh bahan saat formulasi.
a. Antioksidan : Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit,
metasulfit dan sulfit adalah yang paling umum digunakan sebagai
antioksidan. Selain itu digunakan :Asam askorbat, Sistein,
Monotiogliseril, Tokoferol.

b. Bahan antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil


alcohol,

Klorobutanol,

hidroksibenzoat,

Metakreosol,

Metil

Timerosol,

p-hidroksibenzoat,

Butil
Propil

pp-

hidroksibenzoat, Fenol.
c. Buffer : Asetat, Sitrat, Fosfat.
d. Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA).
e. Gas inert : Nitrogen dan Argon.
f. Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin,
Polietilen glikol, Propilen glikol, Lecithin
g. Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat.
h. Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl
i. Bahan pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum
manusia.
j. Bahan

penyerbuk

Laktosa,

Manitol,

Sorbitol,

Gliserin.

2.1.5. Macam-macam Sterilisasi


Tujuan sterilisasi adalah menjamin sterilitas produk mauppun karakteristik
kualitasnya, termasuk stabilitas produk. Adapun cara sterilisasi yang dapat
dilakukan untuk mendapatkan produk steril adalah sebagai berikut ;

1. Terminal Sterilization (Sterilisasi Akhir)


Cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan. Zat aktif harus stabil
terhadap molekul air dan pada suhu sterilisasi. Sediaan disterilkan pada tahap
terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup dengan
kertas perkamen, disterilkan dengan cara sterilisasi yang sesuai.
2. Overkilled method
Suatu metode strerilisasi menggunakan uap panas pada 121 C selama 15
menit. Metode ini dapat digunakan untuk bahan bahan yang tahan panas dan
metode ini merupakan metode yang lebih efisien, cepat dan aman.
3. Bioburden Sterilization
Metode sterilisasi yang memerlukan monitoring yang ketat dan terkontrol.

4. Cara Aseptik
Terbatas pada sediaan yang mengandung zat aktif peka suhu tinggi dan dapat
mengakibatkan penguraian atau penurunan kerja farmakologinya. Antibiotika dan
beberapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara
aseptik. Cara aseptik bukanlah suatu metode sterilisasi , melainkan suatu cara
kerja untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik
dalam

sediaan.

Dalam FI III hal 18, proses aseptik adalah cara pengurusan bahan steril
menggunakan teknik yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya cemaran
kuman hingga seminimum mungkin. Teknik aseptik dimaksudkan untuk
digunakan dalam pembuatan sediaan steril yang tidak dapat dilakukan proses
sterilisasi akhir karena ketidakmantapan zatnya. Sterilitas hasil akhir hanya dapat
disimpulkan jika hasi itu memenuhi syarat Uji Sterilitas yang tertera pada Uji
Keamanan Hayati. Teknik aseptik penting sekali diperhatikan pada waktu
melakukan sterilisasi menggunakan cara sterilisasi C dan D tepatnya sewaktu
memindahkan atau memasukkan bahan steril kedalam wadah akhir steril.
Dalam pembuatan larutan steril menggunakan proses ini, obat steril
dilarutkan atau didispersikan dalam zat pembawa steril, diwadahkan dalam wadah
steril, akhirnya ditutup kedap untuk melindungi terhadap cemaran kuman. Semua
alat yang digunakan harus steril. Ruangan yang digunakan harus disterilkan
terpisah dan tekanan udaranya diatur positif dengan memasukkan udara yang telah
dialirkan melalui penyaring bakteri. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan tabir
pelindung atau dalam aliran udara steril.
2.1.6. Bentuk Sedian Steril
1. Padat steril
merupakan obat steril.
merupakan obat untuk injeksi, yaitu obat kering yang disuspensikan bila akan
digunakan. Contoh: sodium ampisilin. Karena ampisilin tidak stabil dalam cairan,
maka dibuat padat. Cara pembuatannya yaitu dengaa liofilisasi pada suhu rendah
dengan pengeringan steril, kemudian didinginkan sampai -60oC untuk pembekuan.
Selanutnya dilakukan sublimasi (dengan pengurangan tekanan secra bertahap),
cairan menguap, sodium ampisilin padat tertinggal.
2. Semi padat, misal salep mata.
3. Cair, misal injeksi.

2.1.7. Syarat-syarat sediaan steril.


Harus memenuhi 3 syarat berikut, yairu secara fisika, kimia, dan biologi.
fisika
Tipe sediaan larutan :
1. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak
larut dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berearna, tetap
terlihat jernih (tidak keruh).
2. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna, namun
warna larutan sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada
campuran warna lain dalam sediaan itu.
3. Bebas dari partikel asing. Partikel asing; partikel yang bukan penyusun obat.
Sumber partikel bisa berasal dari: air, bahan kimia, personil yang bekerja,
seratr dari alat/pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas,
plastik).
4. Keseragaman volume/berat. Terutama untuk sediaan solid steril.
5. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam
ampul. Uji kebocoran dapat dilakukan dengan:
uji dengan larutan warna (dye bath test)
metode penarikan vakum ganda (the double vacuum pull method)
6. Stabil. Artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal jika bentuk
sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan
(bukan

suspensi).

Sifat

stabil

ini

berkaitan

dengan

formulasi.

Ketidakstabilan dapat dilihat dari:


a. Terjadi perubahan warna
Contoh: larutan adrenalin yang awalnya berwarna jernih karena teroksidasi
akan menjadi merah karena terbentuk adenokrom.
b. Terjadi pengendapan
Contoh: injeksi aminophilin dibuat dengan air bebas CO 2, karena jika tidak
bebas CO2 maka akan terbewntuk theopilin yang kelarutannya kecil dalam
air sehingga kanmengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.
CO2 + H2O > H2CO3 (asam)
Aminopilin + Asam > theopilin + etilen diamin

Pengatasam: injeksi aminohilin dibuat dari theopilin dan etilen diamin


berlebih.
2.1.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sediaan
1. Terapi, meliputi:
dosis efektif obat. Obat dibuat dalam dosiss yang disesuaikan dengan
dosis terapi efektif obat tersebut.
lama penggunaan obat. Hal ni juga berpengaruh pada penentuan bentuk
sediaan obat yang akan dibuat dan besarnya dosis obat, sehingga
pasien tetap merasa nyaman selama terapi.
farmakokinetka obat. Meliputi waktu paruh, absorpsi, t eliminasi, Vd,
Cl, dan lain-lain.
2. Sifat disika-kimia meliputi:
ukuran partikel
sifat alir
kompaktibilitas
ketahanan terhadap kelembapan
Sifat fisika kimia inilah yang menetukan formulasi dan pemilihan metode
pembuatan sediaan obat.
2.1.9. Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Steril
Keuntungan sediaan parenteral:
1. aksi obat lebih cepat
2. cocok untuk obat inaktif jika diberikan oral
3. obat yang mengiritasi bila diberikasn secara oral
4. kondisi pasien (pingsan, dehidrasi) sehingga tidak memungkinkan obat
diberikan secar oral.
5. Dapat digunakan secara depo terapi.
6. Kemurniaan dan takaran zat berkhasiat lebih terjamin.
Kerugian sediaan parenteral:
1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukaar dilakukan pencegahan.
2. Secara ekonomi lebih mahal dibandingkan sediaan per oral
3. Risiko, kalau alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung dighilangkan
4. Cara pemberian lebih sukar, butuh personil khusus, misal di rumah sakit oleh
dokter atau perawat.
Alasan obat dibuat sediaan parenteral:
1. Kadar obat sampai ke target

Jumlah obat yang sampai ke jaringan target sesuai dengan jumlah


yang diinginkan untuk terapi.
2. Parameter farmakologi
Meliputi waktu paruh, C maks., onset.
3. Jaminan dosis dan kepatuhan
Terutama untuk pasien-pasien rawat jalan
4. Efek biologis
Efek biologis tidak dapat dicapai karen aobat tidak bisa dipakai
secara oral. Contoh: amphoterin B (absorbsi jelek) dan insulin (rusak oleh
asam lambung).
5. Alternatif rute, jika tidak bisa lewat oral.
6. Dikehendaki efek lokal dengan menghindari efek atau reaksi toksik
sistemik.
Contoh: methotreksat, penggunaan secara intratekal untuk pengobatan
leukimia.
7. Kondisi pasien
Untuk pasien-pasien yang tidak saar, tidak kooperatif, atau tidak bisa
dikontrol
8. Inbalance (cairan badan dan elektroli)
Contoh: muntahber serius, sehingga kekurangan elektrolit yang
penting dan segera harus dikembalikan
9. Efek lokal yang diinginkan. Contoh: anestesi lokal
2.1.10. Faktor-faktor farmasetik yang berpengaruh pada penggunaan parenteral
1. Kelarutan obat dan volume injeksi
Kelarutan obat akan berpengaruh pada volume injeksi, jika mudah
larut mak volume yang diberikan kecil. Untuk obat yang sukar larut dapat
dibuat dalam bentuk suspensi atau dengan kosolvensi.
2. Karakteristik bahan pembawa

water: air ada spesifikasi khusus


water-miscible solvent (solven yang campur dengan air)
water-immiscible solvent (solven yang tidak campur dengan air)
3. pH dan osmolalitas injeksi
a. Isohidris yaitu pH larutan sama dengan pH darah. Kalau bisa pH sama
dengan pH darah, tapi tidak selalu, tergantung pada stabilitas obat.
Contoh: ijeksi aminofilin dibuat sangat basa karena pada kondisi asam
akan terurai. Dalam pembuatan ditambahkan etilendiamin untuk
menaikkan kelarutan dari aminofilin.
b. Isotonis, yaitu tekanan osmosis larutan sama dengan tekanan osmosis
cairan tubuh. Di luar isotonis disebut paratonis, meliputi: hipotonis dan
hipertonis.
hipotonis yaitu tekanan osmosis larutan lebih kecil dari tekanan
osmosis cairan tubuh (NaCl 0,9%). NaCl jika terurai menjadi Na
(15,1 mOsmol) dan Cl (154 mOsmol) sehingga total 308 mOsmol.
Sedngkan tekanan osmosis cairan tubuh yaitu 300 mOsmol. Pada
hipotonis, cairan masuk ke tubuh dan masuk ke sel darah merah,
sehingga sel darah merah bisa pecah(ireversibel)
hipertonis, yaitu tekanan osmosis larutan lebih besar dari tekanan
osmosis cairan tubuh. Air kan mengalir keluar dari sel darah
sehinggga sel mengkerut (krenasi), bersifat reversibel.
2.1.11. Tipe Bentuk Sediaan Steril
1. larutan
2. suspensi
3. emulsi
4. solid
Kecepatan pelepasan obat dari bentuk sediaan:
- aquous solution
- aquous suspensi
- oleagonous solution
- oil in water (o/w)
- water in oil (w/o)
- oleagenous

2.1.12 Macam - Macam Pelarut Dalam Sediaan Steril


1. Air merupakan pelarut utama.
2. Pelarut yang dapat campur dengan air (water miscible solvent).
Jika zat aktif dari sediaan injeksi tidak stabil dalam air, maka
pengatasannya dengan dibentuk sediaan kering steril atau dengan sistem
kosolvensi. Aqua kosolven: pelarut pembantu, tidak pernah dipakai tunggal,
tetapi campuran. Macam-macam kosolven yang bisa digunakan:
glikols (glikol, propilen glikol, PEG BM rendah). PEG bersifat higroskopis
sehingga kemampuan untuk melarutkan zat kurang, sehingga dpakai yang
anhidrous dan BM rendah. Propilen glikol + benzil akohol (suhu 40 oC),
untuk injeksi digoxin.
etanol/alcohol
dimetil asetamid, dimetil formasmide, DMSO. Pelarut ini larut sempurna
dengan air, toksisitas akutnya rendah, toksisitas kronisnya merusak liver.
N-(B-hidroksietil), laktamid
aseton (kosolven pada obat antitumor dan antibiotik)
asam organik (asam laktat, asam sitrat)
surfaktan (emulphor EL-714, chremophor, plurnic F 68, lesitin)
antibeku (gliserol sp 5%, alkohol 15%).
3. Pelarut yang tidak dapat campur dengan air (water immiscible solvent).
Contoh: minyak kacang (peanut oil), minyak wijen (oleum sesame), minyak
biji kapas (cotton seed), minyak jagung (corn oil), minyak zaitun (olive),
paraben cair. Oleum sesame dianggap pelarut yang paling baik untuk jenis
pelarut golongan ini karena mengandung komponen penstabil (pencegah
tengik). Sedangkan paraben sekarang dilarang penggunaanya.
Sebagai pelarut juga harus emenuhi batasan klorida, kalsium, ion sulfat,
CO2. logam berat, oxidizable substancedengan total zat padat terlarut kurang
dari 10 ppm (ppm = % x 104).
2.1.13. Reverse Osmosis

Reverse Osmosis yaitu metode pemurnian air dengan prinsip pemisahan


solute melalui membran semipermiabel dari konsentrasi tinggi ke kosentrasi
rendah. Maka akan terjadi penolakan terhadap solut pada permukaan filter
sehingga tidak bisa menembus membran. RO merupakan kebalikan dari osmosis.
Osmosis adalah dari konsentrasi rendah ke tinggi.
Filter dipasang untuk menyaring partikel kasar. Berdasarkan ukuran partikel,
filter dibuat berbeda ukuran porinya.
Untuk membunuh mikroba dapatdengan klorinasi/penambahan kaporit. Namun kaporit ini
tidak boleh ada dalam air, jadi harus dihilangkan dengan karbon aktif. Selanjutnya karbon
aktif dapat dipisahkan dari air dengan filter.
Keuntungan RO:
1. energi lebih efisien dibanding dengan destilasi
2. hasil labih banyak
3. biaya lebih murah
Kerugian RO:
1. In process control lebih ketat
2. air segera digunakan pada waktu 24 jam, jikalebih dari itu maka harus disimpan
pad suhu 70-80oC agar kualitas air tidak menurun.
Cara penyimpanan air untuk injeksi:
WFI disimpan dalam suhu ekstrim untuk mencegah pertumbuhan mikroba yaitu suhu
o

< 5 C atau 80oC.


Sumber panas dapat dipakai steam atau hot water. Heat exchanger berfungsi untuk
menurunkan suhu pada storage tanksebelum digunakan. Jika suhu masih terlalu tinggi maka
akan masuk ke return sirkuit. Air yang dihasilkan harus dicek dalam endotoksinometer dan
dijaga kadar endotoksin < 0,25 SU/ml, ion klor, ammonia, partikel padat.
2.1.14. Uji Sterilitas
Ada beberapa metode:
1. Direct inoculation of culture medium
Meliputi pengujian langsung dari sampel dalam media pertumbuhan.
Menurut British Farmakope:

a. media tioglikolat cair yang mengandung glukosa dan Na Tioglikolat cocok


untuk pembiakan aerob. Suhu inkubasi 30-35oC.
b. Soya bean casein digest medium
Media ini membantu pertumbuhan bakteri anaerob dan fungsi.
Suhu inkubasi 30-35oC, sedang fungi 20-25oC.
2. Membran filtrasi
Teknik yang banyak direkomendasikan farmakope, meliputi filtrasi cairan
melalui membran steril. Filter lalu ditanam dalam media. Masa inkubasi 7-14 hari
karena mungkin organisme perlu adaptasi dulu.
3. Introduction od concentrate culture medium
Medium yang pekat langsung dimasukkan dalam wadah sampel yang akan
ditumbuhkan. Tidak banyak digunakan, hanya dipakai bila ada kecurigaan akan
adanya bakteri.
2.1.15. Uji Pirogen

1. Secara kualitatif: Rabbit test


Berdasarkan respon demam pada kelinci. Digunakan kelinci karena kelinci
menunjukkan respon terhadap pirogen sesuai dengan keadaan manusia. Kenaikan
suhu diukur melalui rektal.
2. Secara kuantitatif: LAL test
Cara uji in vitro dengan menggunakan sifat membentuk gel dari lisat
amebasit dari limulus polifemus. Uji ini 5-10 kali lebih sensitif dari Rabbit test.
Kondisi LAL-test:
a. pH larutan 6-7
b. suhu 37oC
c. kontrol negatif: aquadest (pelarut)
d. kontrol positif (pirogen/endotoksin)
e. keuntungan: cepat, mudah, praktis
2.2 Sediaan Injeksi
2.2.1. Definisi Sediaan Injeksi

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi


atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi volume kecil adalah injeksi
yang dikemas dalam wadah 100 ml atau kurang.
2.2.2. Penggolongan Sediaan Injeksi :
1. Intramuskular : Di bagian otot relaksasi
2. Intravena : Pada vena yg tampak jelas
3. Subkutan : jaringan longgar di bawah kulit (dermis) dan bagian tubuh yang
sedikit lemaknya.
4. Intraperitonial/ intra-abdominal : rongga peritonial atau langsung ke dalam
organ-organ abdominal seperti hati, ginjal, atau kandung kemih
5. Hipodermoklisis : Sama dgn Subkutan, yaitu disuntikkan ke dalam jaringan
yang longgar di bawah kulit (dermis) dan pada bagian tubuh yang sedikit
lemaknya.
6. Intrakardiak : bilik jantung
7. Intrasisternal : rongga sisternal sekeliling dasar otak
8. Intrakutan/intradermal : Injeksi dilakukan ke dalam kulit. Biasanya
diberikan di permukaan anterior lengan depan.
9. Intratekal : kantung lumbar (rongga sum-sum tulang belakang) yang terletak
di ujung kaudal dari spinalis cordata
10. Intrauterin :Injeksi yang dilakukan ke dalam uterus pada keadaan hamil
11. Intraventrikular : Injeksi yang dilakukan ke dalam rongga-rongga sisi otak.
12. Intra-arterial : Langsung ke dalam arteri
13. Intra-artikular : Ke dalam cairan sinovial pada persendian
14. Intralesional : Langsung ke dalam atau di sekitar luka
15. Intra-okular : Ke dalam mata
a.Subkonjungtiva : Di bawah kapsul Tenon, di dekat mata
b.Intrakameral/intravitreal : Ke dalam vitreous humour
c.Retrobulbar : Di sekitar bagian posterior dari bola mata
d.Anterior chamber : Langsung pd arterior chamber
16. Intrapleural : Ke dalam rongga selaput dada

2.2.3. Jenis jenis injeksi


Dalam FI IV< sediaan steril untuk parenteral digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu :

1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai dengan nama,
injeksi Contohnya injeksi aminofillin, Injeksi atropine sulfat, dan lain-lain.
2. Sediaan padat kering atau pekat, tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan
tambahan lain dan bila ditambah pelarut lain yang sesuai memberikan larutan
yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk obat suntik, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya, steril Contohnya Ampisilin Natrium steril,
Bleomisin sulfat steril dan lain- lain.
3. Sediaan seperti tertera pada (2) tetapi mengandung 1 atau lebih dapar, pengencer
atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya ..untuk
injeksi Contohnya Amfoterisin B untuk injeksi, Asetazolamida natrium untuk
injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkan secara intravena atau kedalam saluran spinal, dan dapat dibedakan
dari nama bentuknya, suspensi steril contohnya suspensi steril kortison
asetat, dan lain-lain.
5. Sediaan padat kering, yang bila ditambahkan pembawa yang sesuai menghasilkan
sediaan yang memenuhi semua aspek persyaratan suspensi steril, dan dapat di
bedakan dari nama bentuknya ..steril untuk suspensi
2.2.4 Komponen sediaan Injeksi
Komponen sediaan Injeksi terdiri dari bahan obat , zat pembawa/ pelarut,
bahan pembantu/ tambahan, wadah dan tutup.
1. Bahan Obat/ Zat Berkhasiat
Zat berkhasiat harus memenuhi persyaratan yang tercantum pada masing-masing
monografinya dalam farmakope, pada etiketnya tercantum p.i (pro injeksi)
2. Zat pembawa/ Zat Pelarut
a. Zat Pembawa Berair
Air sebagai bahan pembawa injeksi harus memenuhi syarat uji pirogen dan
uji endotoksin bakteri.
NaCl dapat ditambahkan dalam jumlah yang sesuai untuk memperoleh
larutan isotonic. Injeksi NaCl atau injeksi ringer dapat digunakan sebagai atau
keseluruhan untuk pengganti air untuk injeksi kecuali dinyatakan lain dalam
monografinya.
Air untuk injeksi (aqua pro injeksi) dibuat dengan cara menyuling kembali
air suling segar dengan alat kaca netral. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan
selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan.

b. Zat Pembawa Lain


Bahan pembawa tidak berair diperlukan apabila :
Bahan obatnya sukar larut dalam air
Bahan obatnya tidak stabil/ terurai dalam air
Dikehendaki efek depo terapi.
Minyak lemak sebagai bahan pembawa untuk injeksi bukan air berasal dari
tanaman, tidak berbau, harus jernih pada suhu 10 derajat C, dengan bilangan asam
antara 0,2 dan 0,9. Dengan bilangan penyabunan antara 185 dan 200, bilangan
iodium antara 79 dan 128, dan bebas minyak mineral. Contohnya oleum sesame,
oleum olivarum, oleum arachidis.
3. Bahan Pembantu/ zat tambahan
Bahan pembantu ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan tujuan :
Untuk mendapatkan pH yang optimal
Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
Sebagai zat bakterisida
Sebagai rasa pemati setempat
Meningkatkan stabilitas obat.
a. Untuk mendapatkan pH yang optimal
pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan
disebut isohidri. Karena tidak semua bahan obat steril pada pH cairan
tubuh, sering injeksi disebut di luar pH cairan tubuh dan berdasarkan
kestabilan bahan obat tersebut.
Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :
Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi
optimal obat, menghindari terjadinya reaksi dari obat.
Mencegah terjadinya rangsangan/rasa sakit pada saat disuntikkan.
Jika pH >9 dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi
mati), sedangkan jika pH <3 menimbulkan rasa sakit pada saat
disuntikkan. Contoh obat yang stabil pada suasana asam : adrenalin
HCI, Vitamin C, Vitamin B1
pH dapat diatur dengan cara :
Penambahan zat tunggal, misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk
golongan sulfa

Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar


borat untuk tetes mata
Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar :
Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai dapar
Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi
hipertonis
Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka
sebaiknya obat di dapar tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan
obat pada pH jauh dari isihidri, sebaiknya obat tidak usah di dapar,
karena perlu waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar
b. Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
Larutan injeksi dikatakan isotonis jika :
Mempunyai tekanan osmotik sama dengan tekanan osmotik cairan
tubuh (darah, cairan lumbal, air mata) yang nilainya sama dengan
tekanan osmotic laarutan NaCl 0,9 % b/v
Mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu
-0,520C
Jika tekanan osmotisnya lebih besar dari tekanan osmotis larutan
NaCl 0,9% disebut larutan hipertonis, tetapi jika lebih kecil dari tekanan
osmotis larutan NaCl 0,9% disebut larutan hipotonis.
Larutan hipertonis jika disuntikkan ke dalam tubuh, maka air dalam
sel akan tertarik keluar sehingga sel akan mengkerut (yang sifatnya
sementara). Jika larutan hipotonis disuntikkan ke dalam tubuh, maka air
dari larutan akan diserap dan masuk ke dalam sel sehingga sel akan
mengembang dan pecah (sifatnya tetap). Jika yang pecah terseebut sel
darah merah disebut haemolisa. Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah
dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.
Sebaiknya larutan injeksi harus isotonis, kalau terpaksa dapat
sedikit hipertonis, tetapi jangan sampai hipotonis. Larutan injeksi dibuat
isotonis terutama pada penyuntikan :
Subkutan, jika tidak isotonis akan menyebabkan rasa sakit, sel-sel
sekitar penyuntikan dapat rusak, penyerapan obat tidak dapat lancer
Intralumbar, jika terjadi perubahan tekanan osmotis pada cairan
lumbal, dapat menimbulkan perangsangan pada selaput otak

Intravenous, terutama digunakan pada infuse intravena dapat


menimbulkan haemolisa
Zat tambahan yang digunakan untuk membuat larutan isotonis antara
lain : NaCl, glukosa, kalium nitras, natrium sitras
4. Wadah dan Tutup
Wadah untuk injeksi dapat berupa kaca atau plastic yang dibedakan menjadi ;
Wadah dosis tunggal (single dose) adalah wadah untuk sediaan sekali pakai,
misalnya ampul, ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api sehingga
tertutup kedap tanpa penutup karet.
Wadah dosis ganda(multiple dose) adalah wadah untuk beberapa kali penyuntikan,
umumnya ditutup dengan karet atau aluminium, misalnya vial (flakon).
Syarat wadah kaca untuk injeksi :
1. Tidak boleh bereaksi dengan bahan obat
2. Tidak boleh mempengaruhi khasiat obat
3. Tidak boleh memberikan partikel kecil kedalam larutan injeksi
4. Harus dapat memungkinkan pemeriksaan isinya dengan mudah
5. Dapat ditutup kedap dengan cara yang cocok
6. Memenuhi syarat uji wadah kaca untuk injeksi

BAB. III
METODE PERCOBAAN
3.1 Pre Formulasi

Bahan aktif sediaan injeksi : Aminophylin


Bahan tambahan : NaCl dan aqua pro injeksi
Sifat Fisiko Kimia :
1. Sifat Fisiko Kimia Aminophylin
Injeksi Aminofilina mengandung teofilina,C7H84O2, tidak kurang dari 73,5%
dan tidak lebih dari 88,25% dari jumlah yang tertera pada etika.
Pemerian butir atau serbuk, putih atau agak kekuningan, bau lemah mirip
amoniak, rasa pahit.
Kelarutan Aminophylin
Larut dalam kurang lebih 5 bagian air, praktis tidak larut dalam etanol 95% p
dan eter p.
Penetapan kadar teofilina sejumlah volume injeksi yang di ukur seksama setara
dengan lebih kurang 300 mg aminofilina.

2. Sifat Fisiko Kimia Nacl


Natrium Klorida mengandung tidak kurang dari 99,5% NaCl, di hitung terhadap
zat yang telah dikeringkan.
Pemerian hablur heksahedral tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak
berbau; rasa asin.
Kelarutan NaCl
Larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih dan dalam
kurang lebih 10 bagian gliserol p;sukar larut dalam etanol 90%p.
3. Aqua Pro injeksi
Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali dan di
sterilkan.
Pemerian keasaman / kebasaan; amonium; besi;tembaga ; timbal; kalsium;
klorida; nitrat; sulfat; zat teroksidasi memenuhi syarat yang tertera ada
aqua destilata.
Khasiat dan penggunaan untuk pembuatan injeksi.

3.2

Formula

R/ Aminofilina 24 mg
NaCl 86,1 mg
Aqua pro injeksi ad 10 ml
m. f. injeksi.dtd. No. X
3.3 Perhitungan Tekanan Osmotik
Menghitung Tekanan Osmotis :
Cara penurunan titik beku (PTB)
B = 0,52 b1 x C/b2 0,52 = b1 x C1 + b2 x C2 + b3 x C3 +
Ket : B = bobot zat tambahan (gram untuk 100ml larutan)
0,52 = titik beku cairan tubuh (-0,52 C)
b1 = PTB zat berkhasiat
C1 = konsentrasi zat berkhasiat dalam satuan % b/v
b2, b3,dst = PTB zat tambahan
C2,C3,dst = konsentrasi zat tambahan
misal :
b1( PTB aminophylin)
b2 (PTB NaCl)

C1 (konsentasi aminophylin)
C2 (konsentrasi NaCl)
Diket : hipertonis B < 0
b1 = 0,1
C1 = 0,24
B2 = 0,576
Ditanya : C2= ?
Jawab : 0,52 = b1 x C/b2 0,52 =
3.4 Metode yang Digunakan
1. Cara aseptik
Proses aseptic adalah cara pengurusan bahan steril meggunakan teknik yang dapat
memperkecil

kemungkinan

terjadi

cemaran

kuman

hingga

seminimal

mungkin.teknik aseptik digunakan untuk pembuatan sediaan injeksi yang tidak


dapat dilakukan proses sterilisasi akhir, Karena ketidakstabilan bahan.
Dalam pembuatan larutan steril menggunakan teknik aseptic, obat steril dilarutkan
atau didispersikan dalam zat pembawa steril, diwadahkan dalam wadah steril,
akhirnya ditutup kedap untuk melindungi dari cemaran kuman. Semua alat yang
digunakan harus steril, ruangan yang digunakan harus disterilkan terpisah dan
tekanan udaranya harus positif dengan memasukkan udara yang telah dialirkan
melalui penyaring bakteri. Proses ini harus dilakukan dengan tabir pelindung atau
dalam aliran udara steril, pakaian operator harus khusus dan steril, dilengkapi
dengan penutup muka dan topi.
Bahan obat (steril) +
Bahan penolong (steril) +
Bahan pelarut (steril)

Alat-alat
pembuatan Dicuci Disterilkan Dilarutkan
dari gelas (dalam ruang aseptik)

Wadah
ampul atau Dicuci Disterilkan Diisi larutan Injeksi dan ditutup
vial (dalam ruang aseptik)
Ke dalam wadah ampul/vial

Karantina

Pengujian

Dikemas
etiket
3.5 Alat dan Bahan
Gelas ukur
Beaker glass
Batang pengaduk
Erlenmeyer
Corong kaca
Kertas saring
Botol 150 ml
Autoklaf
Oven dan LAF
Aminophyllin
NaCl
Aqua pro injeksi
3.6 Perhitungan Bahan
Aminopillin =10 x 24 mg = 240 mg +20%
= 240 mg + 48 mg
= 288 mg
NaCl = 10 x 86,1 mg = 861 mg +20 %
= 861 mg + 172,2 mg
=1033,2 mg
Aqua pro injeksi = 10 x10 = 100 ml +20%
= 100 ml +20 ml
= 120 ml
3.7 Prosedur Kerja
1. Ambil dan timbang semua bahan.

dan

diberi

2. Siapkan semua alat alat yang akan digunakan, lalu bungkus dengan alumunium
foil dan di sterilkan ke dalam oven. Atur suhu pengovenan menjadi 105
derajat selama 4 jam.
3. Setelah selesai mensterilkan alat kemudian dalam pengerjaannya di masukkkan ke
dalam LAF.
4. Larutkan aminopillin dengan aqua pro injeksi ad larut. Lalu di saring dengan kertas
saring kedalam botol.
5. Larutkan NaCl dengan aqua pro injeksi ad larut. Lalu di saring dengan kertas kertas
saring ke dalam botol.
6. Kemudian tutup botol dan sediaan di autoklaf selama 1 jam pada suhu 120 derajat.
Pengujian/ Pemeriksaan
Penetapan kadar/potensi
Uji sterilitas
Uji pirogen
Bahan partikulat dalam injeksi
Uji keseragaman sediaan
Uji endotoksin bakteri
Penetapan volume injeksi dalam wadah
Uji kebocoran
Pemeriksaan kejernihan warna

BAB. IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Dari hasil praktikum pembuatan sediaan injeksi aminopillin di peroleh hasil sediaan
yang jernih (steril) yakni sediaan yang bebas dari mikroba hidup baik yang
pathogen(menimbulkan

penyakit)

maupun

yang

non

pathogen(tidak

menyebabkan penyakit), baik dalam bentuk vegetative(siap untuk berkembang


biak) maupun dalam bentuk spora(dalam keadaan statis, tidak dapat berkembang
biak, tetapi melindungi diri dengan lapisan pelindung yang kuat).
4.2. Pembahasan
Dari hasil praktikum yang telah di lakukan di dapat sediaan injeksi aminophyllin yang
di lakukan dengan metode aseptik yakni menggunakan teknik yang dapat
memperkecil kemungkinan terjadi cemaran kuman hingga seminimal mungkin.
Teknik aseptik dimaksudkan digunakan untuk pembuatan sediaan injeksi yang
tidak dapat dilakukan proses sterilisasi akhir, karena ketidakstabilan bahan.

Dalam pembuatan larutan steril menggunakan teknik aseptik, obat steril dilarutkan
atau didispersikan dalam zat pembawa steril, diwadahkan dalam wadah steril,
akhirnya di tutup kedap untuk melindungi dari cemaran kuman. Semua bahan di
sterilkan dalam oven dan autoklaf pada suhu 120 derajat. Ruangan juga harus
steril dan pengerjaannya di lakukan dalam LAF (Laminan Air Flow).
Dalam pengerjaannya kita hanya melakukan pengujian pemeriksaan kejernihan dan
warna. Dimana di hasilkan sediaan injeksi yang jernih. Kita tidak melakukan
sediaan yang laininya seperti uji penetapan kadar/ potensi, uji sterilitas, uji
pirogen, uji bahan partikulat dalam injeksi, uji keseragaman sediaan, uji
endotoksin bakteri, uji penetapan volume injeksi dalam wadah, uji kebocoran
karena keterbatasan alat alat yang kita miliki di laboratorim resep, begitu juga
singkatnya waktu yang kita punya.Sehingga yang kita lakukan hanyalah uji
pemeriksaan kejernihan dan warna.

BAB. V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil praktikum yang telah di lakukan dalam pembuatan sediaan injeksi aminophyllin
dapat di simpulkan bahwa sediaan injeksi yang di peroleh memenuhi syarat syarat
pembuatan yakni dengan menggunakan metode aseptik, sediaan yang di hasilkan juga telah
memenuhi persyaratan sediaan steril. Komponen sediaan injeksi yang di buat terdiri dari
bahan aktif injeksi itu sendiri, yakni aminophyllin, zat pembawa / zat pelarut yang di gunakan
adalah aqua pro injeksi dan NaCl.
http://marux35.blogspot.com/2011/03/laporan-injeksi.html

Macam-macam Bentuk Obat dan Tujuan


Penggunaannya

Bentuk-bentuk obat serta tujuan penggunaannya antara lain adalah sebagai


berikut:
a. Pulvis (Serbuk)

Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan,
ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar.
b. Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama,
dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum.
c. Tablet (Compressi)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk
tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung
satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.

Tablet Kempa : paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi,


bentuk serta penandaannya tergantung design cetakan.

Tablet Cetak : dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa


lembab dalam lubang cetakan.

Tablet Trikurat : tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya


silindris. Sudah jarang ditemukan

Tablet Hipodermik : dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut
sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik,
sekarang diberikan secara oral.

Tablet Sublingual : dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati). Digunakan


dengan meletakkan tablet di bawah lidah.

Tablet Bukal : digunakan dengan meletakkan di antara pipi dan gusi.

Tablet Efervescen : tablet larut dalam air. Harus dikemas dalam wadah
tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis tidak
untuk langsung ditelan.

Tablet Kunyah : cara penggunaannya dikunyah. Meninggalkan sisa rasa


enak di rongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa pahit,
atau tidak enak.

d. Pilulae (PIL)
Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat
dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan
karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan pada seduhan
jamu.

e. Kapsulae (Kapsul)
Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul yaitu:

Menutupi bau dan rasa yang tidak enak

Menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari

Lebih enak dipandang

Dapat untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis),
dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih
kecil kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang
lebih besar.

Mudah ditelan.

f. Solutiones (Larutan)
Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang
dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya,
cara peracikan atau penggunaannya, tidak dimasukkan dalam golongan
produk lainnya (Ansel). Dapat juga dikatakan sediaan cair yang mengandung
satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler
dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur.
Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal (kulit).
g. Suspensi
Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut
terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara lain: suspensi oral (juga
termasuk susu/magma), suspensi topikal (penggunaan pada kulit), suspensi
tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi optalmik, suspensi sirup kering.
h. Emulsi
Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan dalam sistem
dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam
fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi.
i. Galenik
Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan
atau tumbuhan yang disari.

j. Extractum
Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang
ditetapkan.
k. Infusa
Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati
dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit.
l. Immunosera (Imunoserum)
Merupakan sediaan yang mengandung Imunoglobin khas yang diperoleh dari
serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa
ular) dan mengikat kuman/virus/antigen.
m. Unguenta (Salep)
Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada
kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang
mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut
atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
n. Suppositoria
Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu:

Penggunaan lokal >> memudahkan defekasi serta mengobati gatal,


iritasi, dan inflamasi karena hemoroid.

Penggunaan sistemik >> aminofilin dan teofilin untuk asma,


chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hydrat untuk sedatif dan
hipnotif, aspirin untuk analgenik antipiretik.

o. Guttae (Obat Tetes)


Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau suspensi,
dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara
meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara

dengan tetesan yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmacope


Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam),
Guttae Oris (tets mulut), Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales
(tetes hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata).
p. Injectiones (Injeksi)
Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui
kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat
diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.
http://www.smallcrab.com/kesehatan/531-macam-macam-bentuk-obat-dantujuan-penggunaannya

about me

10
Jul

10

sediaan injeksi
By Neng Leave a Comment

Categories: Catatan Kuliah and Teknologi Farmasi


Tags: injeksi, intra vena, parenteral

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan
dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda 100 mL atau
kurang.

Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda
yaitu:
1.

Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan
nama Injeksi ..

2.

Sediaan padat, kering, atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer,
atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang
sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya disebut
. steril.

3.

Sediaan seperti tertera pada 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya,
disebut . untuk injeksi.

4.

Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkan secara iv atau ke dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya, disebut Suspensi . Steril.

5.

Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan
pembawa yang sesuai, dibedakan dengan nama steril untuk suspensi.
Keuntungan Sediaan Injeksi

1.

Dapat dicapai efek fisiologis segera, untuk kondisi penyakit tertentu (jantung
berhenti)

2.

Dapat diberikan untuk sediaan yang tidak efektif diberikan secara oral atau obat
yang dirusak oleh sekresi asam lambung

3.

Baik untuk penderita yang tidak memungkinkan mengkonsumsi oral (sakit jiwa
atau tidak sadar)

4.

Pemberian parenteral memberikan kemungkinan bagi dokter untuk mengontrol


obat, karena pasien harus kembali melakukan pengobatan

5.

Sediaan parenteral dapat menimbulkan efek lokal seperti pada kedokteran


gigi/anastesiologi

6.

Pengobatan parenteral merupakan salah satu cara untuk mengoreksi gangguan


serius cairan dan keseimbangan elektrolit
Kerugian Sediaan Injeksi

1.

Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personel yang terlatih dan
membutuhkan waktu pemberian yang lebih lama

2.

Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan prosedur


aseptik dengan rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat dihindari

3.

Bila

obat

telah

diberikan

secara

parenteral,

sukar

sekali

untuk

menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada dalam sirkulasi


sistemik
4.

Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan pengemasan

5.

Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral seperti
septisema, infeksi jamur, inkompatibilias karena pencampuran sediaan parenteral dan
interaksi obat

6.

Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat, bebas


dari pirogen, dan stabilitas sediaan parenteral harus disadari oleh semua personel yang
terlibat.
Tujuan Pemberian Sediaan Parenteral

1.

Untuk

memastikan

obat

sampai

ke

bagian

tubuh

atau

jaringan

yang

membutuhkan dengan konsentrasi yang mencukupi.


2.

Untuk mencapai parameter farmakologi tertentu yang terkontrol, seperti waktu


onset, serum peak, kecepatan eliminasi obat dari dalam tubuh.

3.

Untuk pasien yang tidak bisa melakukan self medicate

4.

Untuk mendapatkan efek biologik yang tidak didapatkan melalui pemakaian oral

5.

Untuk alternatif bila rute yang diharapkan (oral) tidak tersedia

6.

Untuk mendapatkan efek lokal, untuk meminimalkan efek toksik sistemik

7.

Untuk pasien yang tidak sadar, tidak kooperatif, tidak terkontrol

8.

Untuk pengobatan ketidakseimbangan elektrolit dan cairan untuk supply nutrisi


jangka panjang/pendek

9.

Untuk mendapatkan efek lokal yang diharapkan


Rute Pemberian Sediaan Injeksi

1.

Injeksi intrakutan atau intradermal (ic): volume yang disuntikkan sedikit (0,1
0,2 mL). Biasanya digunakan untuk tujuan diagnosa, misalnya detekdi alergi terhadap
suatu zat/obat.

2.

Injeksi subkutan (sc) atau hipoderma: disuntikkan ke dalam jaringan di bawah


kulit ke dalam alveola. Larutan sedapat mungkin isotonis, sedang pH sebaiknya netral,
tujuannya untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan terjadinya
nekrosis (mengendornya kulit). Jumlah larutan yang disuntikkan tidak lebih dari 1 mL.

3.

Injeksi intramuskular (im): disuntikkan ke dalam otot daging dan volume sedapat
mungkin tidak lebih dari 4 mL. Penyuntikan volume besar dilakukan perlahan-lahan
untuk mencegah rasa sakit.

4.

Injeksi intravena (iv): mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi dan
dapat bercampur dengan air, volume pemberian 1-10 mL. Larutan biasanya isotonis atau
hipertonis. Jika hipertonis maka harus diberikan perlahan-lahan. Jika dosis tunggal dan
diberikan lebih dari 15 mL, tidak boleh mengandung bakterisida, dan jika lebih dari 10
mL harus bebas pirogen. Pemberian lebih dari 10 mL umumnya disebut infus, larutan
diusahakan isotonis dan diberikan dengan kecepatan 50 tetes/menit dan lebih baik pada
suhu badan.

5.

Injeksi intraarterium (ia): mengandung cairan non iritan yang dapat bercampur
dengan air, volume yang disuntikkan 1-10 mL dan digunakan bila diperlukan efek obat
yang segera dalam daerah perifer. Tidak boleh mengandung bakterisida.

6.

Injeksi intrakardial (ikd): berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat,
disuntikkan

ke

dalam

otot

jantung

atau

ventrikulus.

Tidak

boleh

mengandung

bakterisida.
7.

Injeksi intratekal (it), intraspinal, intradural: disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang belakang (antara 3-4 atau 5-6 lumba vertebra) yang berisi cairan
cerebrospinal. Berupa larutan, harus isotonis, harus benar-benar steril, bersih sebab
jaringan syaraf di daerah ini sangat peka.

8.

Injeksi intratikulus: disuntikkan ke dalam cairan sendi dalam rongga sendi.

9.

Injeksi subkonjungtiva: disuntikkan pada selaput lendir mata bawah, umumnya


tidak lebih dari 1 mL

10.

Injeksi yang lain: (a) intraperitoneal (ip): disuntikkan langsung ke dalam rongga
perut; (b) peridural (pd), ekstra dural: disuntikkan ke dalam ruang epidura, terletak di
atas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sum-sum tulang belakang; (c)
intrasisernal (is): disuntikkan pada saluran sum-sum tulang belakang pada otak.
Bentuk-bentuk Sedian Injeksi

1.

Larutan air: merupakan bentuk yang paling sederhana dan banyak digunakan.
Bentuk larutan air dapat digunakan untuk semua rute pemberian.

2.

Suspensi air: biasanya diberikan dalam rute intramuscular(im) dan subkutan (sc).
Suspensi tidak pernah diberikan secara intravena (iv), intraarteri, inraspinal, inrakardiak,
atau injeksi optalmik. Ukuran partikel suspensi biasanya kecil dan distribusi ukuran
partikel harus dikontrol untuk meyakinkan partikel dapat melewati jarum suntik saat
pemberian. Ukuran partikel tidak boleh membesar dan tidak boleh terjadi caking saat
penyimpanan.

3.

Larutan kering: untuk sediaan yang larut dalam air, tetapi tidak stabil di air.

4.

Larutan minyak: dibuat bila zat aktif tidak larut air tetapi larut dalam minyak dan
diberikan melalui im. Larutan minyak menimbulkan efek depo, untuk masalah iritasi dan
sensitisasi, suspensi air lebih dipilih dibanding larutan minya.

5.

Suspensi minyak: injeksi suspensi bisa juga dibuat dalam pembawa minyak,
meskipun pembuatannya lebih jarang dibanding suspensi air. Suspensi minyak dapat
menimbulkan efek depot/lepas lambat pada rute pemberian im.

6.

Injeksi minyak: senyawa yang bersifat lipofilik banyak yang dibuat dalam bentuk
injeksi minyak. Sediaan ini secara umum digunakan dengan rute im, dan pada keadaan
normal tidak digunakan untuk rute lain.

7.

Emulsi: zat yang bersifat lipofilik juga dapat dibuat dalam bentuk emulsi o/w. Zat
dapat dilarutkan dalam larutan minyak atau zatnya sendiri sudah benbentuk minyak.
Droplet minyak harus dikontrol dengan hati-hati dan pada saat penyimpanan agar emulsi
tidak pecah. Ukuran droplet ideal 3 m. Biasanya dalam bentuk nutrisi parenteral.

8.

Larutan koloidal: biasanya diberikan melalui rute im.

9.

Sistem pelarut campur: banyak kondisi klinik sangat diperlukan suatu zat dibuat
dalam bentuk larutan sejati, agar siap bercampur dengan larutan iv ketika diberikan.
Untuk zat yang sukar larut dalam air, maka selain digunakan dalam bentuk garam atau

diformulasi dalam pH tinggi atau rendah, beberapa zat dapat pula diformulasi dalam
pelarut campur. Kosolvent digunakan untuk menurunkan polaritas pembawa sehingga
zat lebih larut. Pemberian biasanya mengiritasi, toksik dan menimbulkan rasa nyeri.
Pemberian intravena perlu dilakukan perlahan untuk mencegah presipitasi zat aktif.
Pemilihan kosolvent terbatas oleh toksitas.
10.

Larutan terkonsentrasi: berupa konsentrat dan diberikan dengan dilarutkan


dahulu di dalam larutan iv.

11.

Serbuk untuk injeksi: beberapa zat yang tidak stabil dalam air, sehingga dibuat
dalam bentuk serbuk untuk injeksi. Sediaan ini bisa berupa serbuk dry filled atau
serbuk liofilisasi (freeze dried).

12.

Implant: biasanya berupa hormon dan diberikan dengan maksud pemberian


lambat, ditunda atau dikontrol, dimana pemberian tidak dapat dilakukan via oral.

http://storiku.wordpress.com/2010/07/10/sediaan-injeksi/

JUMAT, 20 APRIL 2012

injeksi
Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir (Anonim, 1978 , halaman 317).
Menurut Ansel , 2005 (halaman 399) obat suntik didefinisikan secara luas sebagai
sediaan steril bebas pirosgen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral.
Istilah parenteral seperti yang umum digunakan, menunjukkan pemberian lewat
suntikan seperti berbagai sediaan yang diberikan dengan suntikkan. Kata ini berasal
dari kata Yunani, para dan enteron berarti di luar usus halus dan merupakan rute
pemberian lain dari rute oral. Pirogen adalah senyawa organik yang menimbulkan
demam, berasal dari pengotoran mikroba dan merupakan penyebab banyak reaksi
reaksi febril yang timbul pada penderita yang menerima suntukan intravena.
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia, 1995 (halaman 9), sediaan steril untuk
kegunaan pareteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda yaitu : (1) obat atau
larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi ;

(2) sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer
ataubahan tambahan lain dan larutan yng diperoleh setelah persyaratan Injeksi, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya, Steril ; (3) sediaan seperti tertera pada
(2) tetapi mengandung satu atau lebih zat padat, pengencer atau bahan tambahan
lain, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya, ... untuk injeksi ; (4) sediaan berupa
suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara
intravena atau ke dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya,
Suspensi Steril dan (5) sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai
membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspense steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya,
Steril untuk Suspensi.
Injeksi merupakan salahsatu bentuk sediaan parenteral dimana memiliki :
1.Keuntungan
- Obat memiliki onset ( mulai kerja ) yang cepat
- Efek obat dapat diramalkan dengan pasti
- Bioavailabilitas sempurna atau hampir sempurna
- Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan
- Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang sedang
dalam keadaan koma
2.Kerugian
- Rasa nyeri saat disuntik, apalagi kalau harus diberikan berulang kali
- Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik
- Kekeliruan pemberian obat atau dosis hampir tidak mungkin diperbaiki,
terutama sesudah pemberian intravena
- Obat hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau tempat
pratik dokter oleh dokter dan perawat yang kompetan ( Lukas, 2006, halaman
9 10 ).
Persyaratan sediaan parenteral antara lain :
1.Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada di dalam sediaan dengan pernyataan
tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan
akibat perusakan obat secara kimiawi dan lain sebagainya.
2.Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap
steril, tetapi juga mencegah terjadinya interaksi antara bahan obat da material
dinding wadah.
3.Tersatukan tanpe terjadi reaksi
4.Bebas kuma

5.Bebas pirogen
6.Isotonis
7.Isohidris
8.Bebas partikel melayang ( Lukas, 2006, halaman 10 ).
Tonisitas laruan obat suntik :
1.Isotonis
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah
merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan
dikatakan isotonis ( ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl ).
2.Isoosmotik
Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose serum
dara, maka larutan dikatakan isoosmotik ( 0,9% NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol
Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan osmose 6,86 ). Pengukuran menggunakan
alat osmometer dengan kadar mol zat per liter larutan.
3.Hipotonis
Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah,
sehingga menyebabkna air akan melintasi membrane sel darah merah yang
semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel sel darah
merah. Peristiwa demikian disebut Hemolisa.
4.Hipertonis
Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah,
sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah melintasi membran
semipermeabel dan mengakibatkan terjadinya penciutan sel sel darah merah.
Peristiwa demikian disebut Plasmolisa.
Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah : NaCl, Glukosa, Sukrosa, KNO3 dan
NaNO3
( Lukas, 2006, halaman 50 51 ).

Anonim, 1978, Formularium Nasional, edisi kedua, Departemen Kesehatan RI,


Jakarta.
134. 323. 324.
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

47.
97. 133 134. 404. 412.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
39
40. 112 113. 584 585. 589 590.
Ansel, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV, UI-PRESS, Jakarta. 399437.
Lukas, Stafanus, 2006, Formulasi Steril, ANDI Yogyakarta, Yogyakarta. 9-59. 105125.
Diposkan oleh Ruvict Adzhar di Jumat, April 20, 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
http://ruvictazhar.blogspot.com/2012/04/injeksi.html

Anda mungkin juga menyukai