Tugas Kelompok Analisis KP
Tugas Kelompok Analisis KP
Oleh:
Endah Sri Saptaningrum
3301413030
3301413081
Nurul Faozi
3301413087
3301413100
3301413113
1. Kebijakan Publik
a. Alokasi Dana Desa
Pembangunan daerah dan desa menjadi salah satu agenda utama pemerintahan baru
sebagaimana yang tercantum dalam Nawa Cita ketiga membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal tersebut
sekiranya selaras dengan kebijakan yang sudah dijalankan oleh pemerintah terkait pola
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana sejak 1 Januari 2001 Indonesia resmi
mengimplementasikan pola otonomi daerah dari sisi kewenangan serta desentralisasi fiskal dari
sisi keuangannya. Kebijakan tersebut didasarkan kepada Undang-Undang (UU) Nomor 32
Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Meskipun sudah dijalankan sejak era Orde Lama, ada hal yang membedakan
pelaksanaan desentralisasi fiskal di era reformasi saat ini. Jika sebelumnya otonomi daerah
diletakkan di level provinsi, maka desentralisasi fiskal yang dijalankan saat ini justru
menitikberatkan penyerahan kewenangan di level kabupaten/kota demi memperpendek rentang
birokrasi. Di sisi lain, desentralisasi fiskal juga dimaksudkan sebagai salah satu policy bagi
pemerintah untuk menciptakan aspek kemandirian dalam memenuhi aspek penciptaan
kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Karenanya, seluruh fungsi kewenangan
diserahkan kepada daerah, kecuali di 5 bidang kewenangan yakni keuangan dan moneter,
pertahanan dan keamanan, sistem peradilan, keagamaan, dan politik luar negeri yang masih
menjadi urusan Pemerintah Pusat.
Sebagai konsekuensi penyerahan kewenangan kepada daerah, pemerintah juga wajib
mengalihkan sumber-sumber pembiayaan kepada daerah sesuai asas money follows function.
Selain penyerahan sumber-sumber pembiayaan tersebut, kepada masing-masing daerah juga
diberikan keleluasaan untuk menciptakan sumber-sumber penerimaan daerahnya sendiri
dengan tetap memperhatikan aspek legalitas hukum nasional. Sayangnya, heterogenitas daerah
di Indonesia sangat beragam. Beberapa daerah memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA)
yang luar biasa. Beberapa daerah lainnya memiliki sumber pajak yang besar. Namun hampir
sebagian besar daerah lainnya justru tidak dikaruniai SDA dan sumber pajak yang memadai.
Akibatnya, pemerintah tetap harus memberikan bantuan kepada daerah melalui mekanisme
Transfer ke Daerah (TkD).
TkD dalam APBN terdiri dari Dana Perimbangan (Daper) dan Dana Otonomi Khusus
dan Penyesuaian (Otsus). Daper terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH dan DAU diberikan kepada daerah dalam
bentuk block grant, dan dapat digunakan secara mandiri oleh daerah tanpa ada aturan
penggunaannya. Sementara DAK bersifat spesifik dengan aturan yang tegas dalam mekanisme
pemanfaatan di daerah. Secara filosofi, DAU dan DAK digunakan sebagai alat pemerataan
antardaerah (horizontal imbalances), sementara DBH digunakan sebagai pemerataan fiskal
antara pusat dan daerah sekaligus sebagai koreksi atas eksploitasi SDA di era Orde Baru.
Sebagai sebuah mekanisme penyeimbang, idealnya besaran TkD ini berkurang seiring
dengan meningkatnya aspek kemandirian di daerah. Faktanya, kondisi ini justru tidak terjadi
di lapangan. Secara umum, besaran TkD justru terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan
data pemerintah, dalam tahun 2006, alokasi TkD telah mencapai Rp226,4 triliun atau 33,7%
total Belanja Negara. Sementara dalam APBN-P 2012, besaran TkD mencapai Rp478,7 triliun
atau 30,9% dari total Belanja Negara. Hasil kesepakatan APBN-P 2014 menetapkan besaran
TkD sebesar Rp596,5 dengan tambahan alokasi Dana Desa (DD).
Bersama dengan alokasi belanja subsidi, anggaran TkD ini kemudian membebani
APBN setiap tahunnya. Ketika pemerintah berhasil mereformasi kebijakan subsidi BBM di era
pemerintahan yang baru, beban TkD dalam APBN masih terjadi hingga saat ini. TkD juga
menimbulkan pola ketergantungan baru daerah terhadap Pemerintah Pusat. Jika sebelumnya
alokasi subsidi BBM dianggap sebagai salah satu pemicu munculnya kemacetan di beberapa
kota besar, alokasi TkD khususnya DAU, justru habis hanya untuk belanja rutin pegawai
semata. Hampir di semua daerah, persentase alokasi belanja rutin pegawainya mencapai di atas
50%, bahkan ada beberapa daerah yang mencapai 70%.
Dengan persentase alokasi tersebut, tujuan penciptaan kemandirian di daerah terasa
semakin jauh dari harapan. Ruang fiskal APBD yang sedianya dialokasikan untuk belanja
pembangunan dan infastruktur, semakin lama semakin mengecil serta tidak signifikan dalam
mengentaskan permasalahan pembangunan dan kemiskinan di daerah. Sebetulnya daerah
masih memiliki sumber pendanaan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi
daerah, BUMD dan berbagai PAD lainnya. Namun dengan rata-rata kemampuan PAD seluruh
daerah hanya berkisar antara 15%-20% dari total kebutuhan daerah, tentu jauh dari yang
diharapkan. Angka tersebut sekaligus mengindikasikan rendahnya kemandirian daerah dalam
membiayai pelaksanaan kewajiban dan kewenangannya.
2. Analisis Kebijakan
a. Faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan alokasi dana desa.
merupakan kluster dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu. Obyek yang
dihadapi pertama adalah berhubungan langsung dengan pemikiran dan penalaran
seseorang. Sehingga komponen kognisi melukiskan obyek tersebut, dan sekaligus
dikaitkan dengan obyek-obyek lain di sekitarnya. Faktor ini meliputi:
a. Dukungan para elit politik.
b. Dukungan dari para pelaksana ADD.
c. Seberapa besar respon para pelaksana ADD atas kebijakan ADD di desanya.
d. Tindak lanjut para pelaksana ADD.
5) Faktor Kondisi Lingkungan
Robbins (2003) menyatakan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada
di luar batas organisasi. Lingkungan organisasi itu sendiri terdiri dari lembaga-lembaga
atau kekuatan-kekuatan yang berada di luar organisasi dan berpotensi mempengaruhi
kinerja organisasi itu. Faktor ini meliputi:
a. Pengawasan penyaluran dana desa.
Pengawasan ini meliputi:
1. Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga-lembaga kemasyarakatan desa
mempunyai kemampuan memadai untuk berperan dalam mendukung kebijakan
Alokasi Dana Desa.
2. Badan Permusyawaratan Desa dan lembaga-lembaga kemasyarakatan desa berperan
secara kontinyu dalam mendukung kebijakan Alokasi Dana Desa.
3. Banyak lembaga-lembaga diluar organisasi pelaksana ADD yang mempengaruhi
kebijakan Alokasi Dana Desa .
6) Faktor Komunikasi
Menurut Widjaja (2000) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses
penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu
yang mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.
Dalam proses komunikasi kebersamaan tersebut diusahakan melalui tukar menukar
pendapat, penyampaian informasi, serta perubahan sikap dan perilaku. Faktor ini
meliputi:
a. Sosialisasi kebijakan.
b. Kebijakan dikomunikasikan dan dipahamai secara jelas hingga pelaksana tingkat
desa.
c. Ketentuan dan aturan kebijakan disampaikan secara konsisten dari tingkat Kabupaten
hingga Desa
daerah.
Maksimal
seminggu
kemudian,
pemerintah
kabupaten
harus
mentransfernya ke rekening Desa. Pencairan pertama dilakukan jika syarat awal seperti
APBD telah disahkan dipenuhi. Pencairan tahap kedua dan ketiga baru dilakukan setelah
pemerintah pusat menerima laporan realisasi penggunaan Dana Desa.
Masalah lain dalam birokrasi yaitu lamanya proses verifikasi pada tingkat
kabupaten. Dan dalam penyaluran dana ke desa, kepala desa diharuskan untuk membuat
RPMJDes (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa). Oleh karena itu masalah
maslah tersebut yang menjadi terhambatnya realisasi Dana Desa.
Hal itu bisa menjadi kendala penyaluran Dana Desa dari pemerintah pusat karena
APB Desa merupakan syarat yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan Dana Desa,
mengingat Dana Desa merupakan alokasi pemerintah pusat ke pemerintah Desa yang
menjadi salah satu sumber pendapatan Desa, selain dari APBD dan pendapatan asli Desa.
Setelah disusun, Rancangan APB Desa diajukan ke Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa (Bapermasdes) di tingkat kabupaten selaku fasilitator dan pengawasan Dana Desa.
APB Desa itu kemudian dikoreksi dan tidak sedikit penyusunan Rancangan APB Desa
yang tidak sesuai prosedur penyusunan. APB Desa dikembalikan kepada kepala Desa atau
perangkat Desa untuk diperbaiki. Kesalahan dalam penyusunan APB Desa dapat berupa
kesalahan administratif, kesalahan sasaran program, dan APB Desa yang tidak disetujui
oleh musyawarah Desa. Sehingga untuk mendapatkan dana alokasi desa memerlukan
proses yang panjang dan tidak mudah.
b. Aktor/Pelaksana Kebijakan
Aktor yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan alokasi dana desa yaitu:
1. Pemerintah Pusat yaitu Menteri Keuangan, Menteri Desa sebagai pembuat kebijakan.
2. Pemerintah Daerah yaitu pemerintah Kabupaten/Kota sebagai perantara dalam
penyaluran dana desa.
3. Desa melalui Kepala Desa yaitu sebagai sasaran dari kebijakan alokasi dana tersebut.
Dari kebijakan tersebut desa memperoleh sejumlah uang untuk membangun atau
memperbaiki infrastruktur desa dan untuk mengembangkan ekonomi desa, misalnya
saja untuk perbaikan jalan. Dan sejauh ini, masyarakat merespon dengan baik
kebijakan ini.
Agar kebijakan dapat terselenggara dengan baik maka, aktor/pelaksana kebijakan
ini adalah orang yang benar-benar mengetahui kondisi lapangan serta dapat melaksanakan
tugas dan tanggung jawab dengan baik. Pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh para
aktor yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mumpuni akan memungkinkan
terlaksananya kebijakan ADD secara maksimal.
d. Pembagian Tugas dan Koordinasi para Pelaksana Kebijakan
Pembentukan struktur organisasi pelaksana ADD harus dilakukan di setiap desa
agar ada kejelasan tugas dan tanggung jawab para pelaksana ADD. Dengan adanya
kejelasan tugas dari para pelaksana maka setiap kegiatan atau program yang ada dalam
kebijakan ini akan dapat terselenggara secara maksimal. Dalam menjalankan tugasnya
para pelaksana juga harus melakukan koordinasi antar para pelaksana kebijakan agar
masing-masing pelaksana memahami tugas dan perannya masing-masing, mengetahui
kegiatan yang akan dilaksanakan serta menjalin komunikasi yang efektif sehingga
membentuk tim yang solid. Ketiga unsur di atas, jika diterapkan dengan benar maka,
proses implementasi kebijakan ADD dapat terselenggara secara maksimal.
3) Faktor Sumber Daya Organisasi.
Sumber daya organisasi adalah sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan
Program ADD yang efektif terdiri dari jumlah staf yang mempunyai ketrampilan yang
memadai serta jumlah yang cukup, kewenangan, informasi dan fasilitas. Faktor sumber
daya organisasi meliputi:
a. Pengetahuan Sumber Daya Pelaksana
Sumber daya manusia pelaksana ADD harus mempunyai pengetahuan dan
kemampuan yang memadai untuk menyelesaikan seluruh kegiatan ADD. Pengetahuan
atau kemampuan yang dimaksud meliputi: penataan struktur pemerintahan desa sesuai
karakteristik masing-masing desa, Kemampuan akunting (accounting) perangkat desa,
Akuntabilitas pelaporan keuangan, meningkatkan kematangan dalam melaksanakan
peraturan yang terkait dengan pemerintahan desa, mempersiapkan pembangunan desa
yang cermat, termasuk di dalamnya keseluruhan tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan, menyusun dan membenahi Sistem Informasi Desa yang meliputi informasi
kependudukan dan sosial, neraca sumberdaya, kondisi. Tanpa adanya pengetahuan dan
kemampuan yang memadai dari para pelaksana ADD maka, proses implementasi
kebijakan tidak dapat berjalan secara optimal.
b. Fasilitias-Fasilitas Pendukung
Fasilitas-fasilitas pendukung dalam hal ini berfungsi untuk membantu
pelaksanaan kegiatan ADD. Semakin lengkap ketersediaan fasilitas pendukung maka,
proses implementasi kebijakan dapat berjalan secara optimal.
c. Pengetahuan Masyarakat
Pentingnya pengetahuan tentunya akan banyak membutuhkan informasi,
pengetahuan dan pemahaman serta teknologi terapan yang diperlukan dalam membangun
wilayah dan masyarakatnya. Pentingnya pengetahuan itu akan lebih menambah wawasan
untuk masyarakat desa. Hal ini dikarenakan akan berdampak lebih banyak dana yang akan
mengalir ke desa, sehingga diharapkan masyarakat desa akan lebih sejahtera. Dengan
lebih banyak dana yang akan mengalir ke desa, diharapkan juga pembangunan di desadesa akan mencapai titik yang optimal. Infrastruktur desa akan lebih mudah dibangun,
dan kinerja perangkat desa akan dapat ditingkatkan.
Pengelolaan dana yang besar, tentunya akan menjadi faktor pendukung utama
dalam kebijakan pembangunan desa. Besarnya anggaran yang diterima oleh desa akan
mempercepat akselerasi pembangunan desa yang di dalamnya terdapat dusun-dusun yang
selama ini anggaran pembangunannya lebih banyak dari dana APBD Kabupaten atau
Provinsi. Pembangunan di desa juga akan mempercepat perputaran roda ekonomi desa
yang nantinya akan mempengaruhi wilayah-wilayah diatasnya. desa akan butuh banyak
pendampingan dari berbagai pihak dalam meng-implementasikan pembangunan
diwilayahnya.
Bukan hanya pendampingan dalam hal administrasi, pengelolaan keuangan dan
pembuatan laporan saja, namun juga pendampingan dalam pelaksanaan pembangunan
masyarakat dan wilayahnya. Dengan kebutuhan pendampingan tersebut, tentunya desa
akan sangat memerlukan kehadiran fasilitator sebagai pendamping masyarakat dan
aparatur desa yang dapat membantu kerja-kerja para aparat desa serta pembangunan
masyarakatnya
4) Faktor Sikap
Menurut Marat (1982) menyatakan bahwa Sikap merupakan kumpulan dari
berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun di samping itu evaluasi negatif maupun
positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini
dengan sendirinya berhubungan dengan obyek. Pengetahuan dan perasaan yang
merupakan kluster dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu. Obyek yang
dihadapi pertama adalah berhubungan langsung dengan pemikiran dan penalaran
seseorang. Sehingga komponen kognisi melukiskan obyek tersebut, dan sekaligus
dikaitkan dengan obyek-obyek lain di sekitarnya. Faktor ini meliputi:
a. Dukungan para Elit Politik
Kebijakan tentang alokasi dana desa merupakan salah satu nawacita dari Presiden
Jokowi, yaitu Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Oleh karena itu kebijakan tersebut harus
direalisasikan dan diimplementasikan secara maksimal. Dalam proses implementasinya
tentu harus mendapat dukungan dari para elite politik yang berada di parlemen. Baik itu
berasal dari partai pengusung Jokowi maupun partai partai lain, agar dapat meminimalisir
terjadinya pro kontra dalam pemerintah proses implementasi.
b. Dukungan dari para Pelaksana ADD
Dukungan dari para pelaksana kebijakan ADD sangat membantu proses
terwujudnya implementasi kebijakan ADD ini. Dukungan yang dimaksud adalah berupa
keseriusan dan ketekunan dari para pelaksana dalam menjalankan tugas serta tanggung
jawab masing-masing.
c. Seberapa Besar Respon para pelaksana ADD atas Kebijakan ADD di Desanya.
Semakin besar respon para pelaksana ADD atas kebijakan ADD maka, masalahmasalah yang timbul dalam proses implementasi kebijakan dapat tertangani secara cepat
dan tepat, sehingga kemungkinan implementasi kebijakan ADD secara maksimal semakin
besar.
d. Tindak Lanjut para Pelaksana ADD
Pelaksana ADD melakukan tindak lanjut atas kebijakan ADD sesuai dengan
prosedur dan ketentuan yang ditentukan serta memperhatikan berbagai kondisi lain di
daerah masing-masing. Sehingga meminialisir masalah yang timbul dalam proses
implementasi.
5) Faktor Kondisi Lingkungan
Robbins (2003) menyatakan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada
di luar batas organisasi. Lingkungan organisasi itu sendiri terdiri dari lembaga-lembaga
atau kekuatan-kekuatan yang berada di luar organisasi dan berpotensi mempengaruhi
kinerja organisasi itu. Faktor ini meliputi:
a. Pengawasan penyaluran dana desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga desa yang mewakili unsur
masyarakat desa berkewajiban melakukan control terhadap pelayanan yang diberikan
aparat desa kepada masyarakat apakah sudah sesuai prosedur dan sudah benar. Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga pengawasan pemerintahan desa harus
mencermati setiap aliran-aliran dana yang ditetapkan dan disalurkan kemasing-masing
pos pekerjaan yang telah ditetapkan untuk dikerjakan tepat guna dan tepat
pengalokasiannya sebagai bentuk pengawasan preventif dari tindakan penyelewengan
yang timbul. Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan
dilaksanakan atau dikerjakan yang bertujuan untuk mencegah kesalahan yang terjadi.
Kesiapan pemerintah daerah dalam menerima anggaran desa, menyatakan bahwa jika
anggaran Desa benar dicairkan maka perlu dipersiapkan beberapa proses untuk
memastikan agar anggaran ini digunakan dengan sebagaimana mestinya. Proses tersebut
antara lain perlunya disiapkan aturan yang mengawal transfer dana desa dari APBN ke
Desa dan aturan terkait pengelolaan keuangan dan asset desa. Hingga saat ini kesiapan
terkait regulasi dana desa hingga ke level pemerintah daerah belum ada.
Selain peraturan, perlu juga dipersiapkan juga koordinasi yang bagus di
pemerintah pusat mengenai kementerian yang nantinya mengawal dana desa ini. Dari
amanatnya, anggaran desa ini akan dikawal oleh Kementerian Desa dan Pembangunan
Daerah Tertinggal, namun seluruh perangkat desa dan perangkat pemerintah daerah yang
ada, berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini juga menjadi
potensi masalah jika tidak dikoordinasi dengan baik. Kualitas SDM yang bermutu di
pemerintah desa juga perlu disiapkan dengan serius oleh pemerintah, mengingat belum
ada program capacity building bagi perangkat desa dalam mendukung pembangunan di
daerah. Kemudian yang tidak kalah penting adalah perlu.
6) Faktor Komunikasi
Menurut Widjaja (2000) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses
penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu
yang mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.
Dalam proses komunikasi kebersamaan tersebut diusahakan melalui tukar menukar
pendapat, penyampaian informasi, serta perubahan sikap dan perilaku. Faktor ini
meliputi:
a. Sosialisasi kebijakan
Sosialisasi kebijakan ADD hendaknya diaksanakan dari tingkat Kabupaten hingga
Desa. Sosialisasi ini sangat penting agar pelaksana ADD sampai pada tataran masyarakat
mengetahui dan memahami kebijakan ADD. Sehingga pada proses implementasi
kebijakan para pelaksana ADD dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab secara
benar. Sementara pada tataran masyarakat, mereka dapat berpartisipasi, memberi
dukungan atau dapat juga ikut melakukan pengawasan terhadap proses implementasi
kebijakan ADD.
b. Kejelasan Komunikasi
Kebijakan dikomunikasikan dan dipahamai secara jelas hingga pelaksana tingkat
desa. Sehingga meminimalisir adanya kesalahan dalam proses implementasi kebijakan
yang memungkinkan terwujudnya proses implementasi kebijakan secara maksimal.
c. Konsistensi Pesan