Anda di halaman 1dari 57

J.G.S.M. Vol. 14 No.

1 November 2013

FASIES KIPAS BAWAH LAUT PADA BATUAN BERUMUR PEREM-TRIAS,


DAERAH KEKNENO, CEKUNGAN TIMOR
SUB MARINE FAN FACIES OF THE PERMIAN-TRIASSIC ROCKS,
KEKNENO AREA, TIMOR BASIN
Oleh
A.K. Permana* dan A.H. Prastian**
*Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Jl. Diponegoro No.57 Bandung
**Program Studi Teknik Geologi, Universitas Diponegoro, Semarang
(corresponding authors, email: permana_ak@yahoo.com)

Abstrak
Cekungan Timor termasuk kedalam kategori semi mature yang memiliki potensi hidrokarbon, namun kompleksitas
kondisi geologi dan banyaknya konsep yang berbeda-beda merupakan salah satu penyebab stratigrafi di cekungan ini sulit
dimengerti. Penelitian stratigrafi rinci untuk mengidentifikasi fasies dan sub fasies lingkungan pada batuan berumur
Perem-Trias dilakukan di daerah Kekneno, Nenas, Cekungan Timor untuk memberikan pandangan baru mengenai
stratigrafi, sedimentologi dan fasies lingkungan pengendapan pada batuan berumur Perem-Trias di cekungan ini. Hasil
analisis litofasies menunjukkan bahwa batuan yang berumur Perem di daerah Kekneno diendapkan pada fasies lereng
bagian bawah sampai atas (lower to upper slope facies), sedangkan batuan berumur Trias umumnya diendapkan sebagai
fasies sistem kipas luar (outer fan system facies), fasies paparan luar samping lereng atas (outer shelf to upper slope
facies), fasies sistem kipas tengah (middle fan system facies), dan fasies sistem kipas dalam (inner fan system facies).
Endapan-endapan alur (channel) dan pematang (levee) pada batuan berumur Trias berpotensi menjadi target play
hidrokarbon.
Kata Kunci: fasies, kipas bawah laut, batuan Perem-Trias, Cekungan Timor

Abstract
The Timor Basin is one of the semi-mature basin in the Eastern Indonesia which has a greatest hydrocarbon potential,
however the geological conditions are poorly understood due to the complexity of geological condition and overwhelming
of many different geological concept. Detailed stratigraphic section were performed to define facies and depositional
environment of the Permian-Triassic rocks in the Kekneno area, Nenas, (West) Timor basin. The result of the facies
analysis show that Permian rocks were deposited on the middle fan and lower to upper slope facies. The Triassic rocks
deposited on the outer fan, outer shelf to upper slope, middle fan and inner fan facies. The sub-marine channel and
levee complex in the Triassic rocks would be a good potential as hydrocarbon play target in the (West) Timor Basin.
Keywords: facies, sub marine fan, Permian-Triassic rocks, Timor Basin

Pendahuluan
Cekungan Timor merupakan salah satu cekungan
semi mature, yaitu cekungan yang dianggap belum
menghasilkan hidrokarbon di kawasan Indonesia
Timur. Kondisi geologi yang sangat kompleks menjadi
salah satu penyebab kurang menariknya kegiatan
eksplorasi migas di Cekungan Timor. Beberapa
peneliti terdahulu telah melakukan penelitian di
Cekungan Timor, seperti Sawyer drr. (1993), Sani drr.
(1995), dan Charlton (2001). Sawyer drr. (1993)
Naskah diterima :
Revisi terakhir :

29 Juli
2013
11 November 2013

lebih menintikberatkan penelitiannya pada stratigrafi


di Timor barat serta proses-proses sedimentologinya,
Sani drr. (1995) dalam penelitiannya lebih
memfokuskan pada struktur geologi yang
berkembang pada Pulau Timor, dan Charlton (2001)
dalam penelitiannya lebih banyak membahas
tentang prospek adanya hidrokarbon pada Cekungan
Timor. Dari beberapa peneliti tersebut di atas masih
banyak terdapat perbedaan pendapat mengenai
urutan stratigrafi secara rinci dari setiap formasi di
Cekungan Timor.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Sawyer drr. (1993) menyebutkan bahwa


litostratigrafi di Pulau Timor dibagi menjadi tiga
sikuen, yaitu Sikuen Kekneno, Sikuen Kolbano, dan
Sikuen Viqueque. Umur dari ketiga sikuen tersebut
berkisar dari Perem hingga Pleistosen. Di dalam
publikasinya, Sawyer drr. (1993) juga telah merinci
susunan formasi dari setiap sekuen tersebut, seperti
untuk Sikuen Kekneno yang umurnya Perem Awal
hingga Jura disusun oleh Formasi Maubisse, Formasi
Atahoc, Formasi Cribas, Formasi Niof, Formasi
Aitutu, Formasi Babulu, dan Formasi Wailuli.
Karakteristik litologi setiap formasi telah
digambarkan secara rinci oleh peneliti terdahulu
namun (fasies) lingkungan pengendapan untuk
batuan berumur Perem-Trias tersebut belum
dilakukan pembagian yang lebih rinci, khususnya
untuk batuan Perem-Trias,
mereka hanya
menyebutkan lingkungan pengendapan laut dangkal
hingga laut dalam, tetapi belum menyebutkan
lingkungan pengendapan secara rinci.
Masih banyaknya perbedaan pendapat antara
beberapa peneliti terdahulu mengenai urutan
stratigrafi serta fasies dan lingkungan pengendapan
khususnya pada batuan yang berumur Perem-Trias,
maka penelitian stratigrafi rinci untuk
mengidentifikasi fasies dan sub fasies lingkungan
pada batuan beurumur Perem-Trias dilakukan di
Daerah Kekneno, Nenas, Cekungan Timor.
Penelitian ini memberikan pandangan baru
mengenai urutan stratigrafi, sedimentologi dan
(fasies) lingkungan pengendapan pada batuan
berumur perem-Trias di Cekungan Timor.

pengendapan.
Penyelidikan lapangan dilakukan dengan
mengumpulkan data stratigrafi pada setiap singkapan
batuan, menyusun stratigrafi rinci pada lintasan
Sungai Lafunup dan Sungai Tunsif, serta membuat
penampang stratigrafi terukur secara lengkap. Dari
penampang stratigrafi lengkap tersebut dapat
dilakukan analisis litofasies dan analisis (fasies)
lingkungan pengendapan pada setiap lintasan.
Geologi Regional Timor Barat
Pulau Timor terletak di sepanjang arah barat hingga
timur membentuk sabuk kolisi linier yang disebut
Busur Banda (Sawyer drr., 1993). Busur Banda
berbentuk tapal kuda, yang membentang sekitar
2000 km melalui kepulauan Tanimbar, Kai, Seram
dan menghilang di sekitar pulau Buru (Sani drr.
1995). Pembentukan Pulau Timor dipengaruhi oleh
adanya Busur Banda yang merupakan zona
pertemuan antara 3 lempeng utama (Gambar 1)
yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan
Lempeng Eurasia (Hamilton, 1979).
Stratigrafi Regional
Menurut Sawyer drr. (1993), secara umum
litostratigrafi di Timor dapat dibagi menjadi tiga
sikuen yaitu Sikuen Kekneno, Sikuen Kolbano, dan
Sikuen Viqueque (Gambar 2). Dalam tulisan ini
hanya akan dijabarkan stratigrafi batuan pada Sikuen
Kekneno yang berumur Perem-Trias sebagai berikut:
Formasi Maubisse

Metodologi
Penelitian difokuskan di daerah Kekneno, yaitu di
daerah Nenas dan sekitarnya, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Lokasi
penelitian berada sekitar 130 km ke arah timur laut
dari Kota Kupang (Gambar 3). Luas wilayah penelitian
adalah 125 km2. Untuk mencapai lokasi penelitian dari
pusat Kota Kupang menuju ke Kota Soe, dilanjutkan
perjalanan dari Kota Soe menuju Desa Nenas
menggunakan mobil 4WD selama 2 hari perjalanan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
metode, yaitu metode observasi dan metode analisis.
Metode observasi terbagi menjadi dua, yaitu
observasi pendahuluan dan observasi rinci untuk
memperoleh data geologi lapangan. Sedangkan
metode analisis mencakup analisis stratigrafi,
struktur geologi, dan (fasies) lingkungan

Formasi Maubise berumur antara Perem Awal hingga


Perem Akhir, dengan litologi penyusunnya berupa
batugamping dan batuan beku ekstrusif yang
merupakan batuan tertua di Timor Barat.
Batugampingnya berupa biokalkarenit merah-ungu,
packstones, dan boundstones yang kaya akan
rombakan cangkang koral, crinoids, byrozoids,
brachipods, cephalopods dan fusilinids. Sedangkan
batuan beku mafik ekstrusif dari Formasi Maubise
digambarkan oleh De Roever (1940; dalam Sawyer
drr., 1993) sebagai kumpulan batuan volcanicspilitic dengan sisipan tuf. Pada singkapan yang
ditemukan memperlihatkan dua unit struktur kekar
kolom masif dan struktur bantal (pillow) pada batuan
diabas yang sudah hancur dan batuan basalt, dan
juga terdapat perselingan batugamping. Tekstur
batuan beku basalnya memperlihatkan tekstur
afanitik hingga porfiritik.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 1 Kerangka tektonik Indonesia Timur (Sawyer drr., 1993)

Gambar 2 Kolom stratigrafi Timor dan pembagian sikuen (Sawyer drr., 1993)

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 3 Lokasi penelitian yang meliputi lintasan Sungai Tunsif dan Lapunuf, daerah Nenas dan sekitarnya

Formasi Atahoc
Formasi ini berumur Perem Awal berdasarkan umur
dari fosil Ammonite. Di Timor Barat, Formasi Atahoc
tidak banyak tersingkap, yang muncul hanya di
sepanjang Sungai Noil Laka dan di wilayah Nenas
pada barisan perbukitan utara. Litologi dominan
yang menyusun Formasi Atahoc adalah batupasir
halus arkose dengan ciri-ciri sortasi sedang,
komposisi mineralnya terdiri atas kuarsa
monokristalin, felspar, plagioklas, serta terdapat
fragmen filit dan fragmen batuan dari Kompleks
Mutis atau Lolotoi. Kontak basal Formasi Atahoc
tidak terekam di Timor Barat. Bird & Cook (1991)
menggambarkan kontak bagian atas yang terdiri dari
basal amigdaloidal antara Formasi Atahoc dan di
atasnya Formasi Cribas.
& Cook (1991) menggambarkan kontak bagian atas
yang terdiri dari basal amigdaloidal antara Formasi
Atahoc dan di atasnya (Formasi Cribas).
Formasi Cribas
Klasifikasi umur Formasi Cribas pada umur Perem
Awal telah ditentukan oleh Audley-Charles (1968) di
Timor Timur yang kemudian diperluas di Timor Barat
oleh Bird & Cook (1991) yang membagi Formasi ini
menjadi beberapa fasies batuan yang berurutan
secara lateral, dengan batas antar lapisan yang jelas
yang terdiri dari batupasir aneka warna, batulanau,
serpih hitam, dan batugamping bioklastika.
Ketebalannya diperkirakan lebih dari 300 m. Hasil
analisis petrografi dari batupasir (Sawyer drr., 1993)
mempunyai ciri-ciri ukuran butirnya halus hingga

kasar, feldspathic litharenites, terdiri dari mineral


kuarsa polikristalin, plagioklas, fragmen batuan
vulkanik, dan bioklastika echinodermata. Batuan
sumbernya (provenance) diperkirakan dari batuan
beku proksimal .
Lingkungan pengendapannya diperkirakan pada
shelf dangkal karena diidentifikasi adanya kelompok
fosil Atomodesma yang menggambarkan lingkungan
air subtropis pada kedalaman 20-50 m. Struktur
sedimen yang dijumpai adalah ripple dan sole marks
yang menunjukkan bahwa arus turbidit berperan
dalam proses pengendapan formasi ini.
Formasi Niof
Formasi ini berumur Trias Awal hingga Trias Tengah
yang dicirikan oleh kontak lapisan yang tajam serta
menunjukkan banyak struktur sedimen. Litologi yang
dominan yang menyusun formasi ini adalah
batulempung berlapis tipis, batuserpih warna merah,
abu-abu, hitam dan coklat, batupasir greywacke,
napal, dan batugamping masif. Dari pengamatan
petrografi batupasir dari Formasi Niof, diketahui sortasi
buruk, bentuk butir bersudut tanggung (subangular)
hingga bersudut (angular), ukuran butir sangat halus
hingga medium, feldspathic arcosic hingga lithic
arenites. Proses pengendapan formasi ini melalui
mekanisme arus turbidit. Lingkungan pengendapan
dari formasi ini diperkirakan terdapat pada lingkungan
laut dangkal hingga laut dalam. Ketebalan lapisan ini
diperkirakan mencapai 400 m.
Formasi Aitutu
Formasi ini berumur Trias Awal hingga Trias Akhir.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Litologi penyusun dari formasi ini adalah


batugamping putih-merah muda dengan perselingan
batulempung karbonatan berwarna abu-abu hitam.
Kadang-kadang dijumpai rijang (chert) yang
terendapkan bersama dengan batugamping. Tebal
lapisan konsisten yaitu 45-60 cm dengan kontak
tajam dan planar. Pada bidang perlapisan dapat
ditemukan makrofauna seperti Halobia, Daonella,
Monotis, Ammonite, dan fragmen fosil lainnya.
Lingkungan pengendapan formasi ini didominasi
endapan laut terbuka, yaitu pada sekitar paparan luar
hingga lereng (slope).
Formasi Babulu
Litologi yang menyusun formasi ini terdiri dari
perselingan batulanau-batulempung dan batupasir
masif. Bidang perlapisan dari batupasir masif
mempunyai ketebalan antara 60 cm hingga 3 m.
Struktur sedimen yang ditemukan diantaranya
adalah perlapisan, struktur biogenik, dan mud
cracks. Pada permukaan bidang perlapisan terdiri
dari brakiopoda, fragmen tumbuhan, fosil jejak dan
Ammonite berukuran kecil. Selain itu juga terdapat
perlapisan tipis unit batulempung, batulanau dan
batupasir. Pola sedimentasi yang sering muncul
adalah mengkasar atau menghalus ke atas, rip-up
clast, dan perlapisan, termasuk paralel laminasi,
laminasi silang siur, bioturbasi, dan small scale
current ripple. Lingkungan pengendapan formasi ini
adalah tepi paparan.
Formasi Wailuli
Litologi yang menyusun formasi ini adalah
batulempung gelap dengan perselingan batugamping
organik, kalsilutit, batulanau, dan batupasir. Umur
dari formasi ini adalah Jura Awal-Jura Tengah.
Lingkungan pengendapan formasi ini berkisar dari
paparan dalam-paparan tengah.
Hasil Penelitian dan Diskusi
Stratigrafi Daerah Nenas dan Sekitarnya
Dari hasil pengukuran penampang stratigrafi, pada
daerah penelitian dapat dibagi menjadi beberapa
satuan batuan, diantaranya dari yang tua hingga
muda adalah satuan batulanau sisipan batupasir
halus, satuan perselingan batulanau dengan
batugamping kalkarenit, satuan serpih hitam sisipan
batupasir halus, satuan batugamping wackstone
sisipan batulanau karbonatan, satuan perselingan

batupasir dengan batulanau, dan satuan batupasir


sisipan batulanau (Permana, 2012).
Dari masing-masing satuan batuan tersebut kemudian
dilakukan analisis (fasies) lingkungan pengendapannya.
Secara umum batuan yang ditemukan pada daerah
penelitian diendapkan sebagai endapan kipas bawah
laut (submarine fan deposit) hingga sebagai endapan
paparan luar (outer shelf deposit). Analisis fasies pada
daerah penelitian ini dibagi menurut umur batuan, yaitu
analisis fasies pada batuan berumur Perem dan analisis
fasies pada batuan Trias.
Fasies Batuan Perem
Analisis fasies pada batuan Perem berkaitan dengan
litologi dari Formasi Atahoc dan Formasi Cribas yang
ditemukan di lapangan. Dari hasil pengamatan
dilapangan dapat diidentifikasi bahwa batuan yang
berumur Perem di daerah Kekneno ini diendapankan
sebagai endapan kipas bawah laut (submarine fan),
terdiri atas endapan kipas tengah (middle fan) dan
endapan kipas bawah sampai lereng atas (lower to
upper slope deposit).
a. Fasies Middle Fan System
Batuan yang terendapkan pada sistim kipas tengah
(middle fan system) ini merupakan produk dari arus
turbidit dengan tingkat densitas yang tinggi dan
rendah. Karakteristik litofasies yang ditemukan di
lapangan adalah satuan batulanau sisipan batupasir,
perselingan batulanau dengan batupasir halus, dan
batupasir masif yang merupakan bagian bawah dari
Formasi Atahoc (Gambar 4A).
Batulanau berwarna abu-abu cerah, relatif kompak,
bersifat non-karbonatan, ketebalan setiap lapisan
batulanau bervariasi mulai dari 5-20 cm, dan
terdapat nodul batupasir halus. Struktur sedimennya
parallel lamination (Gambar 4B), dan semakin ke
lapisan yang muda batulanau semakin dominan
(Gambar 4A). Batupasir berwarna abu-abu cerah,
bersifat non karbonatan, ukuran butir pasir halus
sampai sedang, bentuk butir membundar tanggung
(subrounded), sortasi baik, dan ketebalan batupasir
bervariasi antara 6-70 cm. Struktur sedimen yang
dijumpai diantaranya adalah normal gradded
bedding, parallel lamination, small scale cross
lamination, dan pada batupasir bagian bawah
(bottom) semakin ke atas atau ke arah yang muda
batupasirnya semakin menebal (thickening upward),
sedangkan pada bagian atas batupasirnya semakin
ke atas ada yang semakin menipis atau thinning
upward (Gambar 4B).

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 4(A) Penampang stratigrafi bagian bawah dari Formasi Atahoc yang menunjukkan thickening upward sequence dan normal
gradded bedding, (B) Foto lapangan yang menunjukkan thickening upward sequence dan struktur sedimen, (C) Model
lingkungan pengendapan dari Fasies Suprafan Lobe Deposit (Lokasi : STA 12 AHP 104 di Sungai Tunsif, Nenas)

Pada fasies kipas tengah (middle fan facies) ini


karakteristik litofasiesnya masih dapat dibedakan lagi
menjadi beberapa endapan subfasies, diantaranya
adalah endapan suprafan lobe deposit pada bagian
bawah (bottom), middle fan channel deposit, dan
leveed channel of submarine middle fan.
Subfasies Suprafan Lobe
Endapan pada suprafan lobe merupakan endapan
turbidit klasik (classical turbidite), yaitu satuan
batulanau sisipan batupasir. Karakteristik khusus

sebagai penciri endapan suprafan lobe adalah pada


lapisan batupasir yang semakin ke arah atas semakin
menebal lapisannya atau thickening upward.
Menurut Walker dan James (1992), endapan yang
mempunyai karakteristik thickening upward dapat
dibandingkan dengan progradasi Lobe pada delta,
dan oleh karena itu sama halnya dengan endapan
turbidit klasik (classical turbidite) pada kipas bawah
laut (submarine fan) dengan karakteristik thickening
upward terbentuk selama progradasi dari submarine
fan lobe seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4C

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

untuk model menurut Walker dan James (1992).


Proses progradasi pada submarine lobe ini terjadi
ketika influk material sedimen yang berukuran pasir
yang berasal dari paparan (shelf) lebih banyak
sehingga endapan sedimen pada submarine lobe
akan semakin maju ke arah kipas luar (outer fan) dan
distal. Endapan yang ditemukan pada daerah
penelitian ini termasuk dalam fasies kipas luar (outer
fan), tetapi tidak terlalu jauh dari batas luar fasies
kipas tengah (middle fan). Hal ini dilihat dari lapisan
batupasir yang tidak terlalu sedikit dan semakin ke
arah lapisan muda semakin tebal (thickening
upward) seperti pada Gambar 4A.
Subfasies Middle Fan Channel
Endapan subfasies middle fan channel dicirikan oleh
karakteristik litofasies dimana terdapat struktur
thinning upward pada lapisan batupasir (Gambar 5).
Singkapan pada daerah penelitian terdapat satuan
perselingan batulanau dengan batupasir halus, dimana
lapisan batupasirnya semakin menipis ke arah muda
(thinning upward) dan juga ukuran butirnya semakin
menghalus ke atas (Gambar 5A). Karakteristik itulah
penciri endapan middle fan channel.
Pada endapan middle fan channel ini terdiri dari
endapan alur (channel) pada kipas tengah (middle
fan) dan endapan leveed channel pada kipas tengah
atau middle fan (Gambar 5C). Endapan channel
berupa lapisan batupasir masif dan semakin ke arah
muda, lapisan batupasir tersebut semakin menipis ke
atas (thinning upward) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 5B. Endapan channel pada fasies middle fan
channel ini merupakan endapan alur (channel)
dangkal pada endapan kipas tengah (middle fan
deposit). Sedangkan endapan leveed channel pada
kipas bawah laut dicirikan oleh endapan turbidit
klasik berupa batulanau sisipan batupasir.
b. Fasies Lower to Upper Slope
Dari data lapangan, diperoleh data litologi yang
terdiri dari satuan perselingan batulanau dengan
batugamping kalkarenit dan satuan perselingan
batulanau dengan batupasir di bagian bawah.
Batulanau berwarna abu-abu cerah sampai abu-abu
gelap, secara umum batulanau semakin menebal ke
arah atas perlapisan, sedangkan batugampingnya
berwarna abu-abu cerah, ukuran butir pasir halus,
sortasi baik, bentuk butir membundar (rounded).
Struktur sedimen yang ditemukan pada batupasir
adalah parallel lamination, small scale cross
bedding dan juga terdapat fosil jejak (Gambar 6B).

Batugamping kalkarenit berwarna abu-abu terang,


ukuran butir pasir halus, sortasi baik, dan bentuk
butir membundar tanggung (subrounded). Struktur
sedimen yang ditemukan adalah laminasi.
Batugamping ini terdapat komposisi makrofosil
berupa fosil Atomodesma, Ammonite, Coral dan
Crinoid (Gambar 6A). Kemunculan makrofosil
tersebut terutama fosil Atomodesma pada lapisan
batugamping kalkarenit, jika disebandingkan dengan
peneliti sebelumnya, batuan tersebut termasuk
dalam anggota Formasi Cribas.
Hasil analisis karakteristik litofasies dari singkapan
batuan di lapangan dan kolom stratigrafi terukur
(Gambar 6A), lapisan batugampingnya semakin
menipis ke arah muda (thinning upward) dan juga
semakin menghalus (fining upward). Pada lapisan
batugamping kalkarenit terdapat komposisi
makrofosil berupa fosil Atomodesma, Ammonite,
coral dan crinoid. Fosil-fosil tersebut hanya dapat
hidup di lingkungan laut dangkal (shelf).
Diinterpretasikan bahwa fosil tersebut tertransport
melalui submarine canyon dan kemudian
terendapkan pada lingkungan yang tidak jauh dari
fasies paparan luar (outer shelf), yaitu tepatnya
diendapkan sebagai fasies lereng bagian bawah
hingga atas (lower to upper Slope), Gambar 6C.
Fasies Batuan Trias
Batuan yang berumur Trias pada daerah penelitian
terdiri dari Formasi Niof, Formasi Babulu dan
Formasi Aitutu. Berdasarkan hasil analisis fasies
pada batuan Trias dari data lapangan, dapat
diinterpretasikan bahwa batuan tersebut
terendapkan pada beberapa sistem fasies,
diantaranya adalah fasies kipas luar (outer fan
system), paparan luar sampai lereng atas (outer shelf
to upper slope), kipas tengah (middle fan system)
dan kipas dalam (inner fan system).
a. Fasies Outer Fan
Batuan yang terendapkan pada fasies kipas luar (outer
fan) ini merupakan produk dari arus turbidit.
Karakteristik litofasies pada fasies ini adalah
didominasi oleh endapan turbidit klasik yaitu satuan
serpih sisipan batupasir halus dari Formasi Niof. Serpih
berwarna abu-abu kehitaman, pada bagian bawah
shally (menyerpih) dikarenakan adanya struktur dan
semakin ke atas semakin masif, terdapat banyak
konkresi atau nodul batupasir sangat halus, bersifat
non-karbonatan, dan ketebalan setiap lapisan serpih
bervariasi antara 15-110 cm dengan karakteristik
lapisannya buruk antara beberapa milimeter sampai

10

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 5 (A) Penampang stratigrafi bagian atas dari Formasi Atahoc yang menunjukkan thinning upward sequence dan fining
upward, (B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi, pola thinning upward sequence dan struktur sedimen, (C) Model
lingkungan pengendapan dari Fasies middle fan channel deposit (Lokasi : STA 12 AHP 104 di Sungai Tunsif, Nenas)

beberapa desimeter (Gambar 7A dan B).


Semakin ke arah lapisan yang muda, batulanau
semakin menebal. Batupasirnya berwarna abu-abu
kecoklatan, ukuran butir halus, sortasi buruk, bentuk
butir membundar tanggung, bersifat non-karbonatan,
ketebalan lapisan antara 5-10 cm. Struktur sedimen
yang ditemukan adalah paralel laminasi, perlapisan,
slump, dan batas erosional pada beberapa lapisan
sisipan batupasir halus (Gambar 7B).
Pada sistem fasies ini terdiri dari endapan-endapan

fan fringe pada endapan fasies kipas luar dan


endapan pelagic mud. Keduanya saling
berhubungan dan terbentuk pada lingkungan
pengendapan yang tidak jauh.
Fasies fan fringe ini merupakan fasies lingkungan
pengendapan pada pinggir atau batas luar dari fasies
kipas luar, seperti yang ditunjukkan oleh model fasies
lingkungan pengendapan kipas bawah laut oleh
Walker dan James (1992) dan Nichols (2009) yang
ditunjukkan pada Gambar 7C.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 6 (A) Penampang stratigrafi bagian atas dari Formasi Cribas yang menunjukkan thinning dan thickening upward
sequence, (B) Foto singkapan dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari fasies lower to upper
slope deposit (Lokasi : Sungai Tunsif, Nenas)

11

12

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 7 (A) Penampang stratigrafi Formasi Niof yang menunjukkan dominasi litologi serpih dengan sisipan batupasir halus,
(B) Foto singkapan dan beberapa struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies Outer Fan System
Deposit (Lokasi: STA 12 AHP 102 di Sungai Tunsif, Nenas)

b. Fasies Outer Shelf to Upper Slope


Fasies paparan luar sampang lereng bagian atas (outer
shelf to upper slope) ini diindikasikan dengan dijumpai
litologi batugamping wackstone sisipan batulanau
karbonatan. Ketebalan lapisan batugamping
wackstone sisipan batulanau karbonatan tersebut
hanya 1,5 meter. Berdasarkan deskripsi batuan secara
megaskopis, batugamping wackstone berwarna
merah, kompak atau masif, ketebalan lapisannya
antara 19 cm hingga 25 cm, cenderung menipis ke
atas (thinning upward), terdapat makrofosil Halobia.
Sedangkan sisipan batulanau karbonatan berwarna

merah kecoklatan, ketebalan lapisannya antara 5 cm


hingga 10 cm dan menyerpih (Gambar 8A).
Dari karakteristik litologi tersebut, diinterpretasikan
bahwa satuan litologi ini merupakan anggota Formasi
Aitutu yang terendapkan secara menjari dengan
Formasi Niof dan Formasi Babulu.
Penentuan fasies lingkungan pengendapan untuk
satuan batugamping wackstone sisipan batulanau
karbonatan tersebut berdasarkan litologi
batugamping dan keterdapatan fosil Halobia
(Gambar 8B).

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

13

Gambar 8 (A) Penampang stratigrafi Formasi Aitutu di daerah Kekneno, menunjukkan litologi batugamping wackstone
yang menipis ke atas (thinning upward), (B) Foto singkapan yang menunjukkan litologi dan makrofosil, (C)
Model lingkungan pengendapan dari Fasies outer shelf to upper slope deposit (Lokasi: 12 AHP 107 di
Sungai Besi, Nenas)

c. Fasies Middle Fan System


Karakteristik litofasies pada endapan sistem fasies
kipas tengah (middle fan) adalah litologinya
didominasi oleh satuan perselingan batulanau
dengan batupasir halus dan satuan perlapisan
batupasir halus dengan batupasir sedang. Fasies
kipas tengah ini pada batuan berumur Trias terdiri dari
endapan alur (channel) dan alur pematang (leveed

channel) pada kipas tengah bawah laut (submarine


middle fan), yang penjelasannya seperti berikut ini:
Middle Fan Channel
Karakteristik endapan channel pada kipas tengah
yang terdapat di daerah penelitian adalah dicirikan
oleh adanya lapisan batupasir tebal (7-8 m)pada
bagian bawah (bottom), dengan struktur normal
gradded bedding, dan pada batas bagian bawah

14

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

berupa batas erosional yang mengerosi litologi


batulanau di bawahnya (Gambar 9A). Karakteristik
tersebut merupakan penciri endapan pengisi
channel.
Selain itu, kenampakan lainnya yang terdapat di
lapangan yang merupakan karakteristik litofasies dari
sistem ini adalah adanya batupasir masif berukuran
pasir sedang dengan bagian bawah dibatasi oleh
batas erosional, di atasnya terdapat lapisan batupasir
dengan struktur normal gradded bedding, dan
bagian atasnya terdapat perlapisan batupasir halus

dengan batupasir sedang dengan karakteristik


lapisannya menebal ke atas atau thickening upward
(Gambar 9B). Thickening upward pada pengisi
channel diinterpretasikan terjadi pergantian
pengisian influks sedimen yang semakin banyak
secara bergantian antara material yang berukuran
pasir halus dengan material pasir sedang, dimana
dipengaruhi juga oleh faktor arus dan topografi
channel.

Gambar 9 (A) Foto singkapan dan Penampang stratigrafi bagian bawah dari Formasi Babulu, menunjukkan thickening upward,
(B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies
Middle Fan System Deposit (Lokasi: 12 AHP 109 di Sungai Lapunuf, Daerah Nenas)

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Leveed Channel of Submarine Middle Fan


Endapan alur pematang (leveed channel) ini memiliki
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan
endapan leveed channel pada kipas dalam (inner
fan) dan kipas luar (outer fan). Hanya saja pada
endapan alur pematang pada sistem kipas tengah
(middle fan) dicirikan dengan adanya perubahan
ketebalan lapisan batupasir secara cepat semakin ke
arah atas semakin menipis. Endapan ini terdiri dari
endapan turbidit klasik yaitu berupa perselingan
antara batulanau dengan batupasir, dimana secara

15

umum sikuen tersebut memperlihatkan penipisan ke


arah muda (thinning upward). Penentuan thinning
upward ini dimulai dari lapisan batupasir dengan
batas bawah erosional (Gambar 10A dan B).
Pada satuan perselingan batulanau dengan batupasir
halus yang ditemukan di daerah penelitian, secara
megaskopis, batulanau berwarna abu-abu cerah,
menyerpih, bersifat non-karbonatan, dan
ketebalannya antara 5-20 cm. Batulanau semakin
menebal ke arah lapisan muda.

Gambar 10 (A) Penampang stratigrafi Formasi Babulu yang menunjukkan fining upward dan thinning upward, (B) Foto
lapangan yang menunjukkan litologi dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari
Fasies Inner Fan System Deposit

16

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Batupasirnya berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran


butir pasir halus, sortasi buruk, bentuk butir
membundar tanggung, bersifat non-karbonatan,
ketebalan lapisan antara 6-17 cm (Gambar 10 B)
Berdasarkan data lapangan, karakteristik litofasies
tersebut diendapkan pada sistem fasies ini.
d. Fasies Inner Fan System
Karakteristik litofasies yang diendapkan pada fasies
kipas dalam (inner fan system) adalah adanya
perlapisan batupasir sisipan batulanau, dimana
lapisan batupasirnya semakin ke arah muda semakin
menipis. Fasies ini terdiri dari endapan-endapan
channel dan pematang channel (leveed channel)
pada sistem kipas dalam (inner fan system) sebagai
berikut:
Inner Fan Channel Deposit
Endapan ini terdiri dari lapisan batupasir sisipan
batulanau, lapisan batupasirnya semakin ke arah
atas atau ke arah lapisan yang lebih muda semakin
menipis secara bertahap. Batupasir berwarna abuabu cerah, ukuran butir pasir halus, sortasi baik,
bersifat non-karbonatan. Struktur sedimen yang
berkembang diantaranya adalah paralel laminasi,
perlapisan, dan pada beberapa lapisan batupasir
bagian bawahnya terdapat batas erosional yang
mengerosi litologi batulanau.
Pola menipis ke secara gradasional pada lapisan
batupasir, menurut Walker dan James (1992)
terbentuk karena perubahan lingkungan
pengendapan material sedimen dari channel menuju
ke bagian leveed channel yang lebih dalam. Dari
karakteristik litofasies tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa endapan tersebut
merupakan endapan inner fan channel (Gambar
10C).
Leveed Channel of Submarine Inner Fan
Seperti pada endapan levee lainnya, endapan leveed
channel pada Inner Fan juga terdiri dari endapan
turbidit klasik yaitu perselingan batulanau dengan
batupasir. Dari deskripsi litologi secara megaskopis di
lapangan, pada satuan perselingan batulanau dengan
batupasir halus, batulanaunya berwarna abu-abu
cerah, menyerpih, bersifat non-karbonatan, dan
ketebalannya antara 5-20 cm. Batupasirnya
berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir
halus, sortasi buruk, bentuk butir membundar
tanggung, bersifat non-karbonatan, ketebalannya

antara 6-17 cm.


Endapan levee yang berupa endapan turbidit klasik
menurut Walker dan James (1992) terbentuk karena
proses perkembangan endapan dari channel yang
kemudian migrasi atau berpindah ke lingkungan
pematang channel (leveed channel).
Dari rincian di atas, dapat dibuat model fasies
lingkungan pengendapan dari semua satuan batuan
yang diendapkan pada masing-masing fasies
lingkungan pengendapan dari semua formasi
(Gambar 11). Fasies lingkungan pengendapan dari
semua unit batuan tersebut secara umum
diendapkan pada fasies outer shelf hingga fasies
submarine fan system. Secara rinci, batuan berumur
Perem hingga Trias ini terendapkan pada beberapa
fasies, diantaranya adalah fasies middle fan system,
fasies lower to upper slope deposit, fasies outer fan
system, fasies outer shelf to upper slope deposit,
dan fasies inner fan system.
King drr., 1992 menggambarkan bahwa di beberapa
daerah endapan laut dalam, khususnya lingkungan
komplek channel dan levee telah terbukuti dapat
menjadi potensi yang sangat besar untuk
terakumulasi hidrokarbon, oleh karena itu endapanendapan channel dan leveed channel pada batuan
yang berumur Trias seperti dijelaskan di atas memiliki
potensi sebagai target play hidrokarbon di Cekungan
Timor (Barat).
Kesimpulan
n
Satuan batuan pada daerah penelitian dibagi

menjadi 6 satuan, yaitu satuan batulanau


sisipan batupasir halus, satuan perselingan
batulanau dengan batupasir gampingan, satuan
serpih hitam sisipan batupasir halus, satuan
batugamping wackstone sisipan redmarl, satuan
perselingan batupasir dengan batulanau, dan
satuan batupasir sisipan batulanau.
n
Batuan

berumur Perem diendapkan pada


beberapa sistem fasies submarine fan,
diantaranya adalah fasies middle fan dan fasies
lower to upper slope deposit.

n
Batuan

berumur Trias terendapkan pada


beberapa sistem fasies submarine fan dan fasies
laut dangkal, diantaranya adalah fasies outer
fan system deposit, fasies outer shelf to upper
slope deposit, fasies middle fan systemd, dan
fasies inner fan system deposit.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

17

Gambar 11 Model fasies lingkungan pengendapan batuan berumur Perm-Trias dari setiap fasies yang dijumpai
n
Endapan-endapan channel dan leveed pada

batuan yang berumur Trias dapat berpotensi


menjadi target play hidrokarbon di Cekungan
Timor (Barat)
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih saya sampaikan kepada seluruh
anggota Tim Survei Dinamika Cekungan, Pusat

Survei Geologi Badan Geologi Bandung yang telah


memberikan saya kesempatan untuk melakukan
penelitian di Cekungan Timor, Nusa Tenggara Timur.
Terima kasih juga sampaikan kepada Hadi Nugroho
dan Yoga Aribowo atas diskusi selama penulisan ini,
serta kepada seluruh pihak yang telah mendukung
saya selama melaksanakan penelitian hingga
selesai.

Acuan
Audley-Charles, M.G., Carter, D.J., 1968. Paleogeographical significance of some aspects of Paleogene and
Early Neogene Stratigraphy and tectonics of the Timor Sea region. Paleogeography, Paleoclimatology,
Paleoecology, 11:247-264.
Bird, P.R and Cook, S.E., 1991. Permo-Trias Succession of the Kekneno Area, West Timor: Implication for
Paleogeography and Basin Evolution. Journal of Southeast Asian Earth Sciences 6(3/4):359-371.
Bouma, A.H., 1962. Sedimentology of some flysch deposits. Amsterdam, Elsevier, 168 p.
Charlton, T.R., 2001. The Perm of Timor: stratigraphy, palaeontology and palaeogeography. Journal of Asian
Earth Science 20 :719-774.
Charton.T.R.,2001. The Petroleum Potential of West Timor. Proocedings of the Indonesian Association 28,301317, Indonesia.
Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. United States Geological Survey, p.1079.

18

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

King, P.R., Browne, G.H. and Slatt, R.M. 1994. Sequence architecture of exposed late Miocene basin floor fan
and channellevee complexes (Mount Messenger Formation), Taranaki Basin, New Zealand. In:Eds P.
Weimer, A.H. Bouma and B.F. Perkins Submarine Fans and Turbidite Systems; Sequence Stratigraphy,
Reservoir Architecture and Production Characteristics, Gulf of Mexico and International,pp. 177192.
Nichols, G., 2009. Sedimentology and Stratigraphy Second Edition. Wiley-Blackwell by a John Wiley & Sons,
Ltd, UK.
Permana, A.K., 2012. Laporan Akhir Penelitian Stratigrafi Cekungan Timor Kelompok Kerja Survei Dinamika
Cekungan Tahun Anggaran 2012. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber
Daya Mineral, Bandung.
Sani, K., Jacobson, I., Sigit, R., 1995. The Thin-Skinned Thrust Structures of Timor. Proceedings of the
Indonesian Petroleum Association 24 Annual Convention 24, 277-193, Indonesia.
Sawyer, R.K., Sani, K., Brown, S., 1993. Stratigraphy and Sedimentology of West Timor, Indonesia. Proccedings
of the Indonesian Petroleum Association 22:1-20, Indonesia.
Shanmugam, G., 2005. Deep-Water Processes and Facies Models: Implications For Sandstone Petroleum
Reservoirs. Department of Earth and Environmental Sciences The University of Texas, U.S.A.
Walker, R. G., dan James, N. P., 1992. Facies Model, Response to Sea Level Change. Geological Association of
Canada, Kanada.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

19

PERAN SISTEM TUNJAMAN, SESAR MENDATAR TRANSFORM DAN PEMEKARAN


TERHADAP SEBARAN CEKUNGAN SEDIMEN DI INDONESIA
THE ROLE OF SUBDUCTION SYSTEMS, TRANFORM FAULTS AND RIFTING
TO THE DISTRIBUTION OF SEDIMENTARY BASINS IN INDONESIA
Oleh :

S. Bachri
Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122

Abstrak
Berdasarkan umurnya, cekungan sedimen di Indonesia dapat dibedakan menjadi cekungan pra-Tersier, cekungan
berumur menerus pra-Tersier Tersier, dan cekungan Tersier. Indonesia bagian barat didominasi oleh cekungan Tersier,
sementara Indonesia bagian timur didominasi oleh cekungan yang berkembang sejak Zaman pra-Tersier sampai Tersier.
Baik berdasarkan umurnya maupun berdasarkan pola sebarannya, keberadaan cekungan cekungan tersebut
merepresantasikan pola perkembangan tektonik. Di wilayah bagian barat Indonesia pola sebaran cekungan berpola semi
konsentris tampak mendominasi wilayah ini, dan ini dikontrol oleh evolusi sistem tunjaman. Sementara di bagian timur
Indonesia hanya di wilayah Busur Banda dicirikan oleh sebaran cekungan berpola semi konsentris, dan selebihnya
umumnya berpola acak, kecuali daerah yang dipengaruhi pemekaran dan tunjaman selain Busur Banda. Sebaran berpola
acak ini terutama dikontrol oleh keberadaan sesar-sesar mendatar transform yang menjadi mediasi transportasi benua
renik yang berasal dari Australia.
Kata kunci: Tunjaman, sesar transform, pemekaran, cekungan sedimen

Abstact
On the basis on the age, sedimentary basins in Indonesia can be classified into Tertiary, pre-Tertiary, and pre-Tertiary
continues to Tertiary basins. Western Indonesia is dominated by Tertiary basins, whilst the eastern Indonesia is
occupied largely by basins which have developed since pre-Tertiary time. Either based on the age or the distribution
pattern, the occurrence of the basins represent tectonic evolution pattern. The western Indonesia is dominated by
basins of semi-concentric pattern which represent evolutions of the subduction system. Meanwhile, in the eastern
Indonesia only the Banda Arc which is characterized by basins of semi-concentric pattern, and the rest is largely
occupied by basins which are distributed randomly, excepted in the areas which are affected by rifting and subduction
excluding the Banda Arc. The random distribution is mainly controlled by the occurrence of major lateral faults which
have an important role in transporting micro-continents derived from Australia.
Key words: Subduction, transform fault, rifting, sedimentary basin.

Pendahuluan
Konvergensi lempeng-lempeng Hindia-Australia,
Pasifik dan Eurasia telah menyebabkan terbentuknya
beberapa busur kepulauan di Indonesia. Proses
konvergensi antar lempeng yang berlangsung terus
hingga kini mempengaruhi evolusi busur-busur
tersebut, seperti adanya rotasi busur, pembentukan
struktur regional, serta pembentukan cekungan
sedimen.
Di Indonesia dijumpai 128 cekungan sedimen,
yang
berdasarkan umurnya dapat dibedakan
menjadi cekungan Tersier, cekungan pra-Tersier, dan
Naskah diterima :
Revisi terakhir :

13 Februari 2013
05 Juni
2013

cekungan yang berkembang sejak pra-Tersier dan


berlanjut hingga Tersier (Badan Geologi, 2009).
Cekungan Tersier mendominasi bagian barat
Indonesia, cekungan pra-Tersier terutama dijumpai di
wilayah Kalimantan bagian utara, sementara
cekungan pra-Tersier yang berkembang menerus
hingga Tersier umumnya dijumpai di wilayah Papua
dan sebelah timur Sulawesi (Gambar 1).
Makalah ini akan mengupas hubungan antara
struktur utama dan kegiatan tektonik terhadap
sebaran cekungan sedimen di Indonesia,
berdasarkan data sebaran cekungan sedimen (Badan
Geologi, 2009), serta data keberadaan struktur
utama maupun kegiatan tektonik di Indonesia
berdasarkan hasil penelitian para penulis terdahulu.

20

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 1. Peta cekungan sedimen Indonesia (Badan Geologi, 2009).

Wilayah Busur Sunda dan Paparan Sunda


Wilayah Busur Sunda meliputi busur kepulauan yang
membentang dari Sumatera, Jawa sampai pulaupulau di sebelah timurnya, sampai Pulau Sumbawa,
sementara wilayah Paparan Sunda meliputi wilayah
Kalimantan ke barat melalui daerah Natuna hingga
menyambung dengan Semenanjung Malaya, di
sebelah selatannya termasuk Laut Jawa, bagian
utara-barat Jawa dan bagian paling timur utara
Sumatera (Gambar 2). Terjadinya evolusi tektonik
lempeng di wilayah ini selama Mesozoikum
Kenozoikum, tanpa disertai oleh adanya migrasi
material batuan atau bagian dari suatu lingkungan
tektonik tertentu secara lateral, sehingga mengalami
perpindahan ke lingkungan tektonik yang baru.
Perkembangan tektonik semacam ini dapat
diistilahkan sebagai model otokton, (autochtonous
model) karena semua satuan batuan merupakan
satuan batuan otokton (in situ).
Sebagaimana dijelaskan oleh Katili (1975), sejarah
busur kepulauan di Indonesia bagian barat dimulai
pada awal Paleozoikum, yaitu ketika terdapat dua
sistem palung - busur yang berlawanan, yang
dipisahkan oleh satu mikrokontinen, sebagaimana
ditunjukkan oleh adanya (1) zona tunjaman di
sebelah timur Semenanjung Malaya yang
menghasilkan busur vulkano-plutonik di bagian
tengah daerah tersebut, dan (2) adanya tunjaman ke
arah benua Asia di bagian barat Sumatera .

Kegiatan penunjaman ke arah Asia berlanjut pada


Karbon Akhir Perem Awal, di sebelah barat atau
Sumatera bagian barat, yang disertai kegiatan
vulkanisme dan penempatan batuan granitan. Pada
saat itu terjadi pula penunjaman ke arah baratdaya di
tepian benua sebelah timurlaut, yang diindikasikan
oleh adanya batuan gunugapi dan granit di bagian
timur Semenanjung Malaya dan Kalimantan bagian
barat (Katili, 1975). Zona tunjaman ini sedikit
bergeser ke arah Samudera Hindia pada Perem
Trias Awal (Katili, 1989). Terbentuknya busur
vulkano-plutonik pada pulau-pulau yang dikenal
mengandung timah di Indonesia dan Semenanjung
Malaya mengindikasikan bahwa zona Benioff
kemungkinan lebih dangkal dibanding tunjaman
sebelumnya (Katili, 1975).
Rifting pada Kapur Awal yang terjadi di Gondwana
menyebabkan India terpisah dari Gondwana (Katili,
1989). Pada Kapur Akhir Eosen Awal (70 jtl), zona
tunjaman di sebelah baratdaya dan di timurlaut
menjadi lebih luas, karena masing-masing bergerak
ke Samudera Hindia dan ke laut Cina Selatan. Data
paleomagnetik dari Daly drr (1986) menunjukkan
adanya rotasi kraton Sunda yang menyebabkan
tertutupnya Laut Cina Selatan. Sementara itu
tunjaman kerak samudera di bawah Kalimantan
berlanjut, sedangkan vulkanisme dan penempatan
granit terjadi sepanjang tepi kraton, termasuk Natuna
dan Kepulauan Anambas.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

21

Gambar 2. Peta tataan tektonik Indonesia (Simandjuntak dan Barber, 1996).

Pada 50-45 jtl atau Eosen Tengah terjadi tumbukan


antara India dan Eurasia (Katili, 1989). Selanjutnya
pada 40 jtl (Eosen Akhir) terjadi pengekstrusian
Birma dan Thailand (Tapponier drr., 1982). Pada
sekitar 40 jtl tersebut terjadi perubahan arah gerakan
lempeng pasifik, dari NNW ke WNW (Ben-Avraham
& Uyeda, 1973). Terjadinya rotasi Kalimantan searah
jarum jam menyebabkan terjadinya bukaan pada
Laut Cina Selatan (Daly drr.,1986). Pada Eosen Akhir
(40 jtl) juga terjadi satu peristiwa penting yaitu
terjadinya zona tunjaman Eosen Akhir yang berarah
barat-timur di selatan Jawa dan Sumatera.

signifikan ini disebut dengan model otokton, dan


disertai pembentukan cekungan yang mengikuti
perkembangan sistem tunjaman tersebut, yaitu
berpola semi-konsentris (Gambar 4). Cekungancekungan sedimen yang terbentuk meerupakan
cekungan parit (trench), cekungan busur muka,
cekungan antar pegunungan, dan cekungan busur
belakang.

Pada Oligosen Akhir (30 jtl), tunjaman di selatan


Sumatera dan Jawa mengakibatkan terjadinya
vulkanisme yang menghasilkan Formasi Andesit Tua
di Busur Sunda. Zona tunjaman tersebut pada
Pliosen bergeser ke selatan ke posisi Parit SumateraJawa masakini. Namun berdasarkan sebaran batuan
gunungapi, dapat disimpulkan bahwa vulkanisme
Kenozoik Akhir sampai Holosen mengalami migrasi
ke arah yang berlawanan, yang diduga dikarenakan
kemiringan zona Benioff jauh lebih landai dibanding
pada waktu pertengahan Tersier (Katili, 1975).
Evolusi zona tunjaman Indonesia bagian barat sejak
Karbon Akhir Perem Awal hingga masakini
disajikan dalam Gambar 3. Evolusi tektonik yang
tanpa disertai pergeseran lateral material secara

Gambar 3. Evolusi sistem tunjaman di Indonesia bagian barat (Katili,


1989).

22

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 4. Sebaran cekungan sedimen di Indonesia bagian barat membentuk pola semi konsentris.

Wilayah Busur Banda dan Sulawesi


Sekitar 5 Jtl, ketika Australia masih bergerak ke
utara, Papua berotasi ke arah kiri, akibatnya
terjadilah pelengkungan ke baratlaut pada Busur
Banda yang semula berarah barat-timur (Gambar 5).
Sebagai akibatnya cekungan sedimen di wilayah
Busur Banda berpola semi konsentris (lihat Gambar
1). Sementara itu gerakan sesar-sesar transform
telah menyebabkan beberapa mikrokontinen, seperti
Buton, Sula dan lain-lainnya, bertumbukan dengan
Busur Sulawesi dan Halmahera yang menghadap ke
timur (Katili, 1989).
Tumbukan antara beberapa mikrokontinen dengan
busur Sulawesi dan Halmahera tersebut
mengakibatkan batuan ultrabasa terobdaksi di
lengan timur dan lengan tenggara. Gaya tektonik ke
arah barat melalui Sesar Sorong dan zona Sesar
Matano mengakibatkan Sulawesi semakin terdorong
ke arah Kalimantan, dan menyebabkan tertutupnya
laut Sulawesi purba. Hal ini menyebabkan terjadinya
obdaksi kompleks tunjaman Meratus dan Pulau Laut
yang berumur Kapur awal Tersier, serta terjadinya
Pegunungan Meratus (Katili, 1978).
Laut Sulawesi selatan, sekarang disebut Selat
Makassar, mengalami fase bukaan sejak Eosen
Tengah ( Situmorang (1982), Hall (1996), Moss drr.

(1997), Guntoro (1999), dan Puspita drr. (2005)


meskipun mekanisme bukaan tersebut masih
kotroversi sampai sekarang. Fase ekstensi atau
pemekaran tersebut telah menyebabkan
terbentuknya Cekungan Makassar Utara dan
Cekungan Makassar Selatan (Gambar 6). Sementara
sejak Miosen selat ini telah mengalami fase kompresi
(Chamber dan Dalley, 1995; Bergman drr., 1996),
yaitu saat mulai terjadinya benturan antara tepi
Kranton Sunda (Kalimantan) di sebelah barat,
dengan Paparan Sula di sebelah timur. Meskipun fase
kompresi ini masih berlangsung sampai sekarang
(Bachri, 2012) namun belum menyebabkan
tertutupnya kembali Selat Makassar.
Di wilayah Busur Banda dan Sulawesi, hanya
cekungan sedimen di sekitar Busur Banda saja yang
berpola semi-konsentris, sementara di daerah
sebelah utara lengan utara Sulawesi keberadaan
cekungan sedimen dikontrol oleh sistem tunjaman
Sulawesi Utara, di sebelah barat Sulawesi dikontrol
oleh sistem pemekaran, sementara di bagian lain dari
Sulawesi cekungan sedimen lainnya sebarannya
tidak teratur, dikontrol oleh keberadaan sesar-sesar
mendatar transform. Sesar-sesar mendatar
transform di Sulawesi dan sekitarnya disajikan dalam
Gambar 7A.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

23

Gambar 5. Peta tataan tektonik Busur Banda diikuti sebaran cekungan sedimen berpola semi-konsentris (lihat Gambar 1).

Gambar 6. Sebaran cekungan sedimen di Selat Makassar yang dikontrol oleh tektonik bukaan sebagaimana ditunjukkan kemiripan batas barat
Sulawesi Barat dengan batas timur Paparan Paternoster. Citra DEM diambil dari Becker dan Sandwell (2004).

24

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Wilayah Papua dan sekitarnya

Pecahnya Gondwana telah menghasilkan sumbu


pemekaran utama di Samudera Hindia yang
kemudian diikuti oleh penyesuaian pola tunjaman di
Indonesia. Ketika Australia bergerak ke utara, Papua
mendekat dan menumbuk busur kepulauan Sepik
pada sekitar 30 jtl (Downey, 1986, dalam Katili,
1989).
Pada sekitar 20 jtl, suatu sistem parit busur berarah
barat-timur terbentuk dan membentang dari ujung
barat Sumatera sampai ke Buru, dan bahkan lebih ke
timur ke busur Melanesia, melalui Jawa, Bali,
Sumba, Timor, Tanimbar, Kai dan Seram (Katili,
1989).
Sebelum benua Australia yang bergerak ke utara
sampai di tepian benua Asia Tenggara busur vulkanik
Sulawesi Mindanao yang berarah utara-selatan
dijumpai sekitar 800 km di sebelah timur
Kalimantan (Katili, 1978). Ke arah tenggara, busur
Kepulauan Sepik yang berarah barat-timur menyatu
dengan Papua dan memisahkan antara Australia
dengan Pasifik (Katili, 1989).
Sekitar 20 Jtl, Papua dan Sepik yang kini menyatu
menjadi mikrokontinen yang lebih besar, sampai di
tepi lempeng Asia Tenggara dan bertumbukan
dengan busur-dalam Melanesia yang menghadap ke
selatan (Daly drr., 1986). Hal ini menyebabkan
adanya interaksi antara lempeng Australia yang
bergerak ke utara dan lempeng Pasifik yang bergerak
ke arah barat-baratdaya, yang akibatnya
menghasilkan beragam bentukan struktur. Beberapa
sesar mendatar utama berarah barat timur terbentuk,
seperti Sesar Sorong dan Sesar Tarera-Aiduna
(Gambar 7A-B). Sebagai akibat dari pergerakan
sesar-sesar tersebut terbentuklah cekungan pull
apart, misalnya Cekungan Salawati dan Cekungan
Taliabu.
Sekitar 10 jtl, terbentuk suatu tunjaman ke arah
selatan melalui sebelah utara Papua, dan masih aktif
sampai sekarang (Daly drr., 1986). Tunjaman ini
tidak disertai dengan kegiatan kegunungapian di
Papua. Keberadaan sistem tunjaman ini disertai
pembentukan cekungan sedimen, antara lain
Cekungan Biak Utara, Cekungan Biak -Yapen,
Cekungan Mamberamo, dan lain-lainnya. Bila
disebelah utara Papua cekungan sedimennya lebih
banyak dikontrol oleh zone tumbukan antara
Lempeng Pasifik dengan Benua Australia, maka di
bagian selatan lebih banyak dipengaruhi oleh sistem
pemekaran pada Paparan Baratlaut Australia.

Gambar 7. Peta struktut wilayah Sulawesi dan Papua menggambarkan


sebaran sesar mendatar utama yang diikuti sebarn
cekungansedimen berpola acak (lihat Gambar 1).

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Diskusi
Cekungan sumperimposed di Busur Sunda
Dari pola sebaran cekungan sedimen di Sumatera
bagian tengah barat, menyambung sampai Jawa
bagian utara, Laut Jawa hingga Kalimantan barat
daya, tampak adanya sistem tunjaman yang
berkembang sejak Kapur Akhir Perem Awal hingga
Kapur Akhir Tersier Awal. Namun, cekungan
sedimen Pra-Tersier yang dijumpai di wilayah ini
hanya sekitar 6 buah dan berukuran relatif kecil
dibandingkan yang berumur Tersier. Sementara
cekungan sedimen Tersier mendominasi dan
bersama-sama cekungan Pra-Tersier membentuk
pola semi konsentris dengan arah panjang cekungan
mengikuti arah sistem tunjaman.
Walaupun di wilayah ini didominasi cekungan
Tersier, bahkan di Laut Jawa bagian barat tidak
dijumpai cekungan Pra-Tesier, namun diperkirakan
jumlah cekungan Pra-Tersier sebenarnya lebih
kurang sama dengan cekungan Tersier. Di lajur-lajur
yang dilewati sistem tunjaman Pra-Tersier diduga
terbentuk cekungan sejak Jaman Pra-Tersier dan
berkembang terus hingga Tersier. Namun, cekungan
Pra-Tersier di sini tertutupi (superimposed) oleh
cekungan Tersier hingga yang terpetakan hanya
cekungan Tersier.
Pada bagain lain dari wilayah Busur Sunda, yaitu di
selatan Sumatera sampai selatan Jawa dijumpai
sistem tunjaman linier, yang merupakan sistem
tunjaman Tersier dan Risen. Pada saat itu, 40 jtl
(Eosen Akhir) terjadi perubahan arah tunjaman, dari
yang bersifat semi konsentris menjadi linier berarah
hampir barat timur (Katili, 1989). Cekungancekungan yang terbentuk terkait dengan sistem
tunjaman Tersier ini diyakini murni merupakan
ceungan Tersier, tidak ada cekungan Pra-Tersier yang
tertutupi.
Lain halnya di Kalimantan Utara, terdapat satu
cekungan sedimen Pra-Tersier dan satu cekungan
Tersier yang relatif besar (Gambar 1), yang berproros
panjang utara selatan. Melihat bentuk dan arah
panjang cekungan, ada kemungkinan cekungan ini
terbentuk berhubungan dengan sistem tunjaman di
sebelah timur Kalimantan, namun hal ini belum
diketahui dengan pasti.

25

Pemekaran, tunjaman dan sesar transform di


Indonesia bagian timur
Di Indonesia bagian timur, terdapat tiga struktur
utama yang mengontrol kemunculan cekungan
sedimen, yaitu: (1) struktur pemekaran (rifting), (2)
sistem tunjaman, dan (3) sesar-sesar mendatar besar
(transform).
(1). Pemekaran (rifting)
Cekungan Makassar Utara dan Makassar Selatan
(Gambar 6) merupakan cekungan Tersier karena
proses pemekaran Selat Makassar pada Eosen
Tengah (Situmorang ,1982); Hall, 1996; Moss
drr.,1997; Guntoro, 1999); dan Puspita drr.,2005).
Karena pemekaran terjadi pada Eosen Tengah, maka
cekungan-cekungan ini diyakini tidak menindih
cekungan Pra-Tersier.
(2). Sistem tunjaman
Cekungan sedimen yang terbentuk berkaitan dengan
adanya sistem tunjaman di Indonesia bagian timur,
semuanya merupakan cekungan Tersier. Cekungan
cekungan tersebut yaitu yang berada di sebelah utara
dan selatan lengan utara Sulawesi, berkaitan dengan
Tunjaman Sulawesi Utara, cekungan cekungan di
Busur Banda yang membentuk pola semi-konsentris
(Gambar 5), terkait dengan tunjaman di Laut Timor
sampai Laut Banda ke utara, serta cekungan
cekungan di sebelah utara Papua yang terkait dengan
penunjaman Samudera Pasifik ke lempeng Australia.
(3). Sesar mendatar (transform)
Cekungan-cekungan ini merupakan cekungan PraTersier dan cekungan Pra-Tersier Tersier, yang
bentuk dan arah poros panjangnya sangat beragam
karena diduga pengaruh rotasi yang berbeda-beda
selama transportasi melalui media sesar mendatar
tersebut. Cekungan cekungan tersebut pada
awalnya terbentuk di Australia, sehingga bentuk
aslinya tidak diketahui.
Pada sekitar 30 jt yang lalu (Miosen) Gondwana
pecah yang ditandai oleh pembentukan sumbu
pemekaran di Samudera Hindia yang diikuti oleh
bergeraknya lempeng Australia ke utara (Katili,
1989). Selanjutnya diiukti oleh terjadinya beberapa
sesar transform yang menyebabkan beberapa
pecahan dari lempeng Australia bergerak ke arah
Sulawesi. Oleh karenanya, cekungan cekungan
tersebut mulai berada di Indonesia pada Tersier,
meskipun sebagian berumur Pra-Tersier.

26

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Cekungan sedimen alokton dan paraotokton


Di Indonesia bagian timur dijumpai cekungan praTersier dan cekungan pra-Tersier Tersier. Cekungancekungan pra-Tersier berasal dari Australia yang
terbawa ke wilayah Indonesia, sehingga dapat
disebut sebagai cekungan alokton. Namun,
disamping itu juga dijumpai cekungan yang
berkembang sejak pra-Tersier sampai Tersier.
Sewaktu pra-Tersier sampai Tersier Awal, cekungan
tersebut masih berada di Australia, kemudian setelah
30 jtl (Miosen) memasuki wilayah Indonesia, dan
sedimentasi berlangsung terus. Oleh karenanya,
cekungan ini dapat dikatagorikan sebagai cekungan
paraotokton, atau kombinasi antara alokton dan
otokton.

Kesimpulan
Keberadaan sistem tunjaman, sesar transform
maupun peristiwa pemekaran telah mempengaruhi
pola sebaran cekungan sedimen di Indonesia.
Cekungan cekungan Tersier yang berpola semikonsentris di bagian barat Busur Sunda sampai
meliputi Kalimantan baratdaya diyakini merupakan
cekungan yang tertindihkan di atas cekungan praTersier, dan keduanya merupakan cekungan otokton.
Sementara cekungan cekungan Tersier di selatan
Sumatera Jawa, Selat Makassar, sekitar lengan
utara Sulawesi dan beberapa di wilayah Papua
diyakini terbentuk pada Tersier, tidak didahului
pembentukan cekungan pra-Tersier. Cekungan praTersier di Indonesia bagian timur merupakan
cekungan alokton yang berasal dari lempeng
Australia, sementara cekungan pra-Tersier Tersier
mulanya terbentuk di Australia, dan berlanjut
pengendapannya selama Tersier setelah memasuki
wilayah Indonesia.

Acuan
Bachri, S., 2012. Fase kompresi di Selat Makassar berdasarkan data geologi daratan, seismic laut dan citra
satelit. Jurnal Sumber Daya Geologi, vol.22, No. 3, 137-144.
Badan Geologi, 2009. Peta Cekungan Sedimen Indonesia. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung.
Becker, J. J., and Sandwell, D.T. 2004. Global topography. Scripps Institution of Oceanography,
http://topex.ucsd.edu/www_html/srtm30_plus.html.
Ben-Avraham, Z. & Uyeda, S., 1973. The evolution of the China Basin and the Mesozoic Paleogeography of
Borneo. Earth Planet Sci. Lett., 18, 365-376.
Bergman, S.C., Coffield , D.Q., Talbot, J.P. & Garrad, R.A., 1996. The Late Tertiary tectonic and magmatic
evolution of S.W. Sulawesi and the Makassar Strait: Evidence for Miocene continental collision. From:
Hall,R. & Blundel (eds), Tectonic Evolution of S.E. Asia. Geological Society.
Chambers, J.L.C. and Dalley, T., 1995. A tectonic model for the onshore Kutai Basin, East Kalimantan, based on
integrated Geological and geophysical interpretation. Proceedings Indonesian Petroleum Association,
24th Annual Convention, Jakarta, I, 111-130.
Daly, M., Hopper, B.G. & Smith, D.G., 1986. Reconstruction of movements of major plates in SE Asia, Proc. B.P.
Workshop on Eastern Indonesia (unpub.)
Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R., Blundell, D. J.(eds) Tectonic Evolution of
Southeast Asia. Geological Society of London Special Publication, 106,153-184.
Guntoro, A., 1999. The formation of the Makassar Strait and the separation between SE Kalimantan and SW
Sulawesi. Journal of Asian Earth Sciences, 17, p. 79-98.
Katili, JA., 1975, Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs, Tectonophysics, 26, 165-188.
Katili, J, 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics, 45, 289322.
Katili, J, 1989. Evolution of the southeast Asian Arc complex. Geologi Indonesia 12, 113-143.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

27

Moss, S. J., Chambers, J., Cloke, I., Carter, A., Satria, D., Ali, J. R., & Baker, S.,1997. New observation on the
sedimentary and tectonic evolution of theTertiary Kutai Basin. In: Fraser, A. J., Matthews, S. J., and
Murphy, R.W. (eds) Petroleum Geology of Southeast Asia. Geological Society of London Special
Publication, 126, 395-416.
Simandjuntak, T.O. & Barber, A.J., 1996. Contrasting tectonic styles in the Neogen Orogenic Belt of Indonesia. In
R. Hall & D. Bundell (eds). Tectonic evolution of Southeast Asia, Geol. Soc. London, Special Publication ,
106, 185-201.
Situmorang, B. 1982. The formation of the Makassar Basin as determined fromsubsidence curves. Proceedings
Indonesian Petroleum Association, 11thAnnual Convention, 83-108.
Puspita, R.D., Hall. R. & Elders, C.F., 2005. Structural styles of the offshore West Sulawesi Fold Belt, North
Makassar Strait, Indonesia. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 11th Annual Convention &
Exhibition, 519-542.
Tapponier P., G. Peltzer, A. Y. Le Dain & R. Armijo, 1982, Propagating extrusiontectonics in Asia: New insights
from simple experiments with plasticine. Geology, Vol. IO, 611-616.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

29

ANOMALI GAYABERAT KAITANNYA TERHADAP


KETERDAPATAN FORMASI PEMBAWA BATUBARA DI DAERAH BANJARMASIN
DAN SEKITARNYA, KALIMANTAN SELATAN
GRAVITY ANOMALY IN RELATION TO THE COAL BEARING FORMATION
IN BANJARMASIN AND SOURONDING AREAS, SOUTH KALIMANTAN
Oleh :
H. P Siagian dan B.S. Widijono
Pusat Survei Geologi
Jalan Diponegoro No. 57 Bandung
Email: harsiagi@gmail.com, bsutjihati@yahoo.com

Abstrak
Anomali gayaberat di daerah Banjarmasin dan sekitarnya dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: anomali
gayaberat tinggi dengan kisaran anomali 45 mGal hingga 75 mGal ditafsirkan sebagai Tinggian Meratus, anomali
gayaberat sedang dengan kisaran anomali dari 20 mGal hingga 45 mGal merupakan daerah transisi yang didominasi
oleh batuan Pratersier dan Tersier, anomali gayaberat rendah dengan kisaran anomali dari -15 mGal hingga 20 mGal
merefleksikan keberadaan cekungan sedimen Tersier. Anomali sisa menggambarkan dengan jelas sebaran subcekungan,
di sebelah timur tinggian Meratus terdapat Subcekungan Pasir dan Subcekungan Asem-asem, dan di sebelah barat
terdapat Cekungan Barito dan Subcekungan Barito Selatan, Cekungan Pambuang dan Paparan Banjarmasin. Formasi
Tanjung dengan rapat massa 2.6 gr/cm yang terdapat pada anomali sisa dengan nilai -5 mGal hingga -20 mGal,
sedangkan Formasi Warukin (Subcekungan Asem-asem) mempunyai rapat massa 2.55 gr/cm, dan pada anomali sisa
ditunjukkan dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal.
Kata Kunci: gayaberat, batubara, Formasi Tanjung, Formasi Warukin.

Abstract
Gravity anomaly in Banjarmasin area can be grouped into 3 (three) regions are: high gravity anomalies with anomalous
range 45 mGal to 75 mGal interpreted as the Meratus High, medium gravity anomalies which range from 20 mGal to 45
mGal is of the transition dominated by distribution of pre-Tertiary and Tertiary rocks, and the low gravity anomalies with
anomalies range from -15 mGal to 20 mGal is a respon of the Tertiary sedimentary basin.The presence of the Tertiary
sedimentary basins is clearly shown from residual anomalies. In the east of the Meratus High, there are Asem Asem
and Pasir subbasins, while in the west of Meratus high seen the Barito Basin and Sub-Basin of the South Barito,
Pembuang Basin and Banjarmasin Platform. The Tanjung Formation having 2.6 gr/cm density is represented -5 mGal
to -20 mGal on residual anomalies, while the Warukin Formation having 2.55 gr/cm density on residual anomaly shows
-5 mGal to -35 mGal.
Keywords : gravity, coal, Tanjung and Warukin Formations.

Pendahuluan
Daerah Banjarmasin dan sekitarnya merupakan
salah satu daerah penghasil batubara di Indonesia.
Daerah ini dalam peta geologi dan peta anomali
gayaberat sistimatis berskala 1:250.000 termasuk
Lembar Banjarmasin. Berdasarkan peta geologi
daerah ini terdiri atas berbagai batuan, yang meliputi
batuan malihan, batuan beku dan batuan sedimen;
Naskah diterima :
Revisi terakhir :

24 Juli
2013
08 November 2013

sedangkan pada peta anomali gayaberat


menunjukan nilai anomali berkisar -15 mGal sampai
75 mGal.
Lapisan ini secara fisik dicirikan oleh warna hitam,
dan ringan. Berdasarkan sifat ringan ini, batubara
mempunyai rapat massa kecil. Data gayaberat
menggambarkan nilai rapat massa batuan, oleh
karena itu batubara pada peta gay berat seharusnya
dapat dikenali dengan mudah.

30

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 1. Sebaran batuan daerah penelitian (Sikumbang. drr, 1994)

Di daerah Banjarmasin dan sekitarnya, lapisan


batubara dijumpai di dalam batuan sedimen Tersier,
yaitu di dalam Formasi Tanjung dan Formasi
Warukin. Keterdapatan batubara pada umumnya
merupakan sisipan dalam batulempung dan
batupasir kuarsa (Formasi Tanjung) dan sisipan
dalam perselingan batupasir kuarsa dan
batulempung (Formasi Warukin). Oleh karena itu
kenampakan lapisan batubara ini tidak dapat
dikenali secara langsung pada data gaya berat.
Penelitian gayaberat di daerah ini dimaksudkan
untuk menganalisis data gayaberat dengan tujuan
dapat menafsirkan keberadaan lapisan batubara.
Daerah penelitian adalah seluruh lembar peta
Banjarmasin, yang secara geografi terletak 11400
11530' BT, dan 300' 415' LS, dan secara
administrasi termasuk Provinsi Kalimantan Selatan.
Metodologi
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu :
tahap inventarisasi data, tahap pengolahan data,
tahap analisis data, dan tahap sintesa hasil

interpretasi. Tahap inventarisasi data adalah


mengumpulkan data yang meliputi peta geofisika,
peta geologi dan hasil pengukuran lapangan; tahap
pengolahan data meliputi pembuatan kontur anomali
Bouguer, penapisan anomali Bouguer (yang
menghasilkan anomali sisa) untuk analisis
kuantitatif; tahap analisis terdiri atas interpretasi
kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi kualitatif adalah
interpretasi peta anomali Bouguer dan anomali sisa
dengan memperhatikan pola, kerapatan kontur dan
menghitung landaian horisontal (horizontal
gradient), sedangkan analisis kuantitatif melakukan
pemodelan penampang geologi pada peta anomali
sisa, sehingga dapat mengidentifikasi kenampakan
geologi, dan memperoleh gambaran geometri gejala
geologi. Dalam analisis kuantitatif dilakukan dengan
analisis pemodelan metode ke depan bermatra dua
(2D forward modelling). Untuk mengurangi
ambiguitas maka dalam analisis ini di gunakan data
geologi permukaan sebagai kendali (geologic
constrained); tahap sintesa hasil analisis dilakukan
kajian hasil interpretasi yang dihubungkan singkapan
batubara di lapangan.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Geologi Regional
Daerah penelitian disusun oleh batuan berumur Pratersier hingga Kuarter. Batuan Pratersier terdiri atas
batuan malihan, batuan ultramafik, batuan
terobosan, batuan sedimen dan batuan gunungapi,
yang berumur Jura hingga Kapur. Batuan malihan
tersusun oleh sekis dan filit; sedangkan batuan
ultramafik terdiri atas hazburgit, wehrlit, websterit,
piroksenit dan serpentinit. Berdasarkan fosil
radiolaria batuan Pratersier tersebut berumur Jura
sampai Kapur ( Sikumbang dan Heryanto,1994 ).
Batuan ultramafik dan malihan diterobos oleh
batuan beku gabro, diorit dan granit yang berumur
Kapur Awal. Batuan-batuan tersebut di atas ditindih
secara tak selaras oleh batuan sedimen Kelompok
Pitap yang berumur Kapur Akhir dan terdiri atas
Formasi Pudak, Formasi Keramayan, dan Formasi
Manunggal. Kelompok Pitap berhubungan
menjemari dengan batuan vulkanik Kelompok
Haruyan yang terdiri atas Formasi Pitanak dan
Formasi Paau.
Menurut Sikumbang dan Heryanto, (1994), batuan
Tersier terdiri atas Formasi Tanjung, Formasi Berai,
Formasi Warukin, dan Formasi Dahor. Formasi
Tanjung merupakan batuan sedimen Tersier tertua,
singkapan batuan ini terdapat di tepi barat dan timur
Tinggian Meratus yang membentang hampir utaraselatan. Formasi ini terdiri dari konglomerat,
batupasir kuarsa, batulempung dan batubara,
setempat ditemukan lensa batugamping berumur
Eosen. Selaras di atas formasi ini adalah Formasi
Berai yang terdiri atas batugamping dengan sisipan
napal dan batulempung, dengan tebal 1000 m
(Maryanto dan Sihombing, 2001). Formasi yang
menindih formasi ini secara selaras adalah Formasi
Warukin yang disusun oleh perselingan batupasir
kuarsa dan batulempung, setempat mengandung
sisipan batubara. Berdasarkan kumpulan fosil
foraminifera menunjukkan umur Miosen Awal
sampai Miosen Tengah dengan ketebalan lebih
kurang 1250 m. Formasi Dahor menindih takselaras
Formasi Warukin, dan terdiri atas batupasir kasar
berselingan dengan konglomerat dan batupasir
kuarsa, dan batulempung.
Kegiatan tektonik di daerah ini diduga telah
berlangsung sejak Jaman Jura yang menyebabkan
bercampurnya batuan ultramafik dan batuan
malihan. Pada Zaman Kapur Awal terjadi
penerobosan granit dan diorit yang mengintrusi
batuan ultramafik dan batuan malihan. Pada Akhir

31

Kapur Awal diendapkan Kelompok Alino yang


sebagian merupakan olistrostrom dan diselingi
batuan gunungapi Kelompok Pitanak. Kegiatan
tektonik pada awal Kapur Akhir menyebabkan
tersesarkannya batuan ultramafik dan malihan ke
atas Kelompok Alino. Kegiatan tektonik berikutnya
pada Kala Paleosen menyebabkan terangkatnya
batuan Mesozoikum disertai penerobosan andesit
porfir. Pada awal Eosen terendapkan Formasi
Tanjung dalam lingkungan paralas, selanjutnya
sejak Kala Oligosen terjadi genang laut yang
membentuk Formasi Berai. Kemudian pada Kala
Miosen terjadi susut laut yang membentuk Formasi
Warukin. Gerakan tektonik terakhir terjadi pada
Miosen menyebabkan batuan yang tua terangkat
membentuk Tinggian Meratus, dan melipat kuat
batuan Tersier dan Pra-Tersier. Sejalan dengan itu
terjadi penyesaran naik dan penyesaran geser yang
diikuti sesar turun dan pembentukan Formasi Dahor
pada Kala Pliosen.
Interpretasi Anomali Bouguer dan Anomali Sisa
Anomali Bouguer
Berdasarkan Peta Anomali Bouguer, di daerah
penelitian dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)
kelompok anomali (Gambar 2) yaitu :
a. Anomali gayaberat tinggi dengan kisaran anomali
dari 45 mGal hingga 75 mGal yang ditafsirkan
sebagai Tinggian Meratus. Batuan penyusunnya
adalah batuan malihan, batuan ultrabasa, batuan
terobosan dan batuan gunungapi.
b. Anomali gayaberat sedang dengan kisaran nilai
anomali dari 20 mGal hingga
45 mGal
merupakan daerah transisi antara Tinggian
Meratus dan Cekungan Sedimen Tertier.
c. Anomali gayaberat rendah dengan kisaran nilai
anomali dari - 15 mGal hingga 20 mGal, yang
diduga cekungan Tersier yang batuan pengisinya
terdiri atas Formasi Tanjung, Formasi Berai,
Formasi Warukin dan Formasi Dohor.
Anomali sisa
Anomali Bouguer merefleksikan struktur geologi
regional. Untuk mendeliniasi struktur lokal dilakukan
pengurangan antara anomali Bouguer dengan
anomali regional yang menghasilkan anomali sisa.
Berdasarkan anomali sisa ini akan dilakukan
interpretasi umum, pembuatan pemodelan geologi
dan interpretasi struktur geologi.

32

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 2. Anomali Bouguer daerah penelitian (Padmawidjaya dan Pribadi, 1997)

Interpretasi umum
Pola anomali sisa (Gambar 3) menggambarkan
kondisi geologi lokal. Anomali sisa di daerah
penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
anomali tinggi, anomali sedang dan anomali rendah.
Anomali tinggi dengan kisaran anomali 7 mGal
hingga 30 mGal membentuk kontur berpola ellips
tersebar di sekitar Martapura dan Pelaihari, yang
mencerminkan keterdapatan batuan ultrabasa dan
batuan terobosan. Sebaran anomali tinggi
membentuk jurus umum timurlaut - baratdaya dan di
Pelaihari berarah relatif utara - selatan
yang
mencerminkan sebaran zona tinggian Meratus.
Anomali sedang dengan nilai 7 mGal hingga -3 mGal
mencerminkan daerah transisi dan ditempati oleh
batuan malihan, batuan gunungapi Pratersier dan
batuan sedimen Tersier. Zona ini dijumpai adanya
patahan yang di cerminkan oleh kontur berpola
sejajar dengan spasi antar kontur relatif rapat. Di
sebelah barat Tinggian Meratus anomali membentuk
pola bulatan-bulatan anomali yang mencerminkan
sumbu perlipatan (antiklin dan sinklin).
Anomali rendah dengan kisaran dari -3 mGal hingga
-31 mGal terdapat di sebelah barat dan sebelah

timur Tinggian Meratus, yang membentuk cekungan


sedimen memanjang berarah umum timurlaut baratdaya. Anomali rendah di sebelah barat
Pegunungan Meratus mencerminkan Cekungan
Barito, dan di sebelah timur mencerminkan
Cekungan Asem-asem.
Pemodelan penampang geologi
Pemodelan geologi dilakukan dengan membuat
penampang geologi, yaitu penampang A-B, dan
penampang C-D.
Penampang A-B
Panjang lintasan penampang ini berkisar 110 km
(Gambar 4) dari Satui sampai Silau, berarah hampir
utara-selatan.
Dari km 0 hingga km 37 diawali anomali menurun
dengan landaian -0,533 mGal/km dan di bagian
akhir anomali naik dengan landaian 1,36 mGal/km.
Segmen ini mencerminkan suatu cekungan yang
dialasi oleh batuan dengan rapat massa 2,9 gram/cc
yang di duga terdiri atas batuan ultrabasa dan batuan
malihan.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 3. Anomali sisa daerah penelitian

Gambar 4. Model geologi bawah permukaan berdasarkan analisis pemodelan lintasan AB

33

34

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Cekungan sedimen terdiri atas batuan sedimen


dengan rapat massa 2,6 gram/cc dan ketebalan
mencapai 1750 meter yang diduga Formasi Tanjung,
batuan dengan rapat massa 2,59 gr/cc dan ketebalan
mencapai 1000 meter yang diduga Formasi Berai,
Formasi Warukin dengan rapat massa 2,54 gr/cc
dengan ketebalan 750 meter menumpang secara
selaras di atas Formasi Berai, dan batuan sedimen
paling muda adalah Formasi Dahor dengan rapat
massa 2,49 gr/cc dengan ketebalan mencapai 500
meter. Naiknya anomali pada km 37 secara dominan
dikontrol oleh adanya patahan naik di km 35, yang
diduga sesar naik dengan blok timur relatif naik. Dari
km 37 hingga km 55 anomali kembali turun dengan
landaian -0,44 mGal/km, yang disebabkan oleh
terdapatnya batuan sedimen dan batuan gunungapi
Kapur dengan rapat massa 2,65 ketebalan mencapai
1000 meter menumpang di atas batuan malihan.
Dari km 47 hingga km 76 anomali meninggi dengan
landaian 0,35 mGal/km, diduga dikontrol oleh
adanya sesar naik di km 76 dimana blok barat relatif
naik. Dari km 76 hingga km 80 landaian anomali
relatif datar yang diduga batuan relatif homogen,
terdiri atas batuan malihan dan ultramafik dengan
rapat massa 2,85 gram/cc. Dari km 80 hingga km
100 anomali menurun dengan landaian -0,6
mGal/km dan anomali naik di km 110 di akhir

lintasan dengan landaian +0,8 6 mGal/km. Di ujung


penampang ini ditunjukkan suatu cekungan, yang
diisi oleh Formasi Tanjung dengan rapat massa 2,6
gr/cc dengan ketebalan 1000 meter ditumpangi oleh
batuan dengan rapat massa 2,59 gr/cc (Formasi
Berai) dengan ketebalan 500 meter, Formasi
Warukin dengan rapat massa 2,54 gram/cc dengan
ketebalan mencapai 1000 meter, dan Formasi Dahor
dengan rapat massa 2,49 gram/cc dengan ketebalan
mencapai 500 meter.
Penampang C-D
Penampang ini memotong Cekungan Sedimen Asemasem. Penampang berarah utara baratlaut - selatan
tenggara yang berakhir di daerah Asem-asem (di
selatan) dengan panjang lintasan sekitar 26 Km
(Gambar 5). Dari km 0 hingga km 18 anomali
menurun dari 2 mGal sampai -30 mGal dengan
landaian 1,4 mGal/km, sedangkan dari km 22
hingga km 26 anomali meninggi dari -30 mGal
menjadi -6 mGal dengan landaian + 4 mGal/ km.
Analisis pemodelan menghasilkan penampang yang
menunjukkan suatu cekungan, yang dialasi oleh
batuan dengan rapat massa 2,9 mGal/km, dan
ditindih oleh seri lapisan batuan sedimen dengan
ketebalan mencapai 1350 meter yang terdiri atas
Formasi Tanjung rapat massa 2,6 gr/cc dengan tebal

Gambar 5 Model geologi bawah permukaan lintasan CD

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

250 meter, Formasi Berai dengan rapat massa 2,59


gram/cc dengan ketebalan 400 meter, Formasi Berai
ditumpangi oleh Formasi Warukin dengan rapat
massa 2,54 gr/cc dengan ketebalan 600 meter.
Lapisan teratas adalah batuan sedimen Formasi
Dahor ( rapat massa 2,49 gr/cc ) tebal 100 meter.
Struktur geologi
Kelurusan struktur geologi daerah penelitian terlihat
dari peta anomali sisa (Gambar 3). Kelurusan
menyolok terdapat di daerah Cempaka dan di
sebelah timur Pleihari. Struktur Geologi di daerah
Cempaka ditunjukkan oleh kelurusan kontur anomali
berarah timurlaut- baratdaya dengan kontur berspasi
rapat dengan landaian mencapai 8 mGal/Km.
Kelurusan ini diduga cerminan sesar naik yang
membatasi batuan Pra-Tersier zona Pegunungan
Meratus dengan batuan sedimen di dalam Cekungan
Barito yang terletak di sebelah barat. Sesar ini
disebut sebagai Sesar Naik Cempaka. Kelurusan
struktur geologi di sebelah timur Pelaihari
ditunjukkan oleh kelurusan kontur anomali berspasi
agak rapat dengan arah kelurusan timur timurlaut barat baratdaya, dengan landaian 1 mGal/km.
Kelurusan ini merupakan kelurusan sesar naik yang
membatasi batuan Pra-Tersier zona Pegunungan
Meratus dan batuan sedimen Cekungan Asem-asem.
Kelurusan ini disebut sebagai Sesar Naik Pelaihari.
Kelurusan struktur geologi dari daerah Ambawang,
Martapura yang menerus ke arah utara hingga
daerah Silau ditunjukkan oleh kontur sejajar dengan
arah utara selatan. Kelurusan ini diduga merupakan
sesar geser sinistral dan memotong Cekungan Barito,

35

dan menyebabkan terbentuk Subcekungan Barito


Selatan dan Subcekungan Barito Utara. Sesar ini
disebut Sesar Geser Ambawang-Martapura.
Kelurusan struktur geologi juga dijumpai di daerah
Cempaka ditunjukkan oleh kontur anomali berpola
sejajar berarah barat laut- tenggara melewati daerah
Cempaka. Kelurusan ini diduga merupakan cerminan
dari sesar geser menganan dan memotong batuan
ofiolit di daerah tersebut. Sesar ini disebut Sesar
Geser Cempaka. Kelurusan yang diduga cerminan
sesar geser juga dijumpai di daerah Tatakan, yang
ditunjukkan oleh kelurusan kontur anomali sejajar
berarah utara - selatan. Kelurusan ini diduga
cerminan dari sesar geser mengiri dan memotong
Sesar Naik Cempaka. Sesar ini disebut Sesar geser
Tatakan.
Berdasarkan analisis anomali sisa, di daerah
penelitian terdapat beberapa kenampakan geologi
(Gambar 8), yaitu Tinggian Meratus, Paparan
Banjarmasin, Cekungan Pembuang, Sub Cekungan
Barito Selatan, Subcekungan Asem-asem Selatan
dan Subcekungan Asem-asem Utara. Paparan
Banjarmasin terletak di barat Cekungan Barito, yang
ditunjukkan oleh kontur anomali dengan kisaran
anomali dari -1 mgal hingga 3 mGal.
Jika diasumsikan batuan alas tersingkap pada
anomali 3 mGal dan kontras rapat massa antara
batuan alas dengan sedimen adalah 0,17 gram/cc,
maka dengan prinsip Bouguer slab dapat diduga
ketebalan sedimen di paparan tersebut dapat
mencapai 600 meter.

Gambar 6. Lapisan batubara Formasi Tanjung di daerah Jorong.

36

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 7. Lapisan batuan Formasi Warukin di Sungai Darau.

Gambar 8. Mendala tektonik daerah penelitian.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

37

Keterdapatan Batubara

Kesimpulan

Cekungan Barito yang digambarkan dengan nilai


anomali sisa -5 mGal hingga -35 mGal terletak di
sebelah barat Tinggian Meratus, dan melampar ke
arah selatan. Batubara di lokasi tambang
Rantaunangka yang terdapat di dalam Cekungan
Barito mempunyai kisaran anomali -4 mGal hingga 10 mGal (Gambar 3). Batubara terdapat dalam
Formasi Tanjung, berupa sisipan dalam batulempung
dengan ketebalan 30 cm hingga 200 cm (Gambar 6)
dengan rapat massa 2.6 gr/cm, pada anomali sisa
dicirikan nilai -5 mGal hingga -20 mGal. Batubara di
daerah ini telah ditambang oleh perusahaan dan
koperasi pertambangan rakyat.

Tinggian Meratus ditunjukkan oleh gayaberat tinggi


dengan kisaran nilai anomali dari 45 mGal hingga
75 mGal, yang dikontrol batuan dengan rapat massa
tinggi, yaitu batuan ultrabasa (3 gram/cc), batuan
malihan, batuan terobosan dan batuan gunungapi
(rapat massa 2,8 gram/cc ).

Di Cekungan Asem-asem yang terletak di sebelah


tenggara Tinggian Meratus, batubara terdapat di
dalam Formasi Warukin, yang tersebar luas ke
arah timur sampai daerah Satui. Batubara berupa
sisipan, dengan tebal 30 cm hingga 80 cm
(Gambar 7) dengan rapat masa Formasi Warukin
2.55 gr/cm, dan pada anomali sisa dicirikan
dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal. Di
daerah ini, batubara diduga lebih prospek di
sebelah baratnya, yang mempunyai anomali -15
mGal, yaitu di daerah Asem-asem di dalam Sub
Cekungan Asem-asem dan Sub Cekungan Pasir.
Batubara di dalam Formasi Tanjung kualitasnya
lebih baik daripada batubara Formasi Warukin.
Namun demikian, adanya patahan yang
memotong Formasi Warukin dan Formasi Tanjung
dapat menaikkan nilai kalori masing masing
batubara.

Cekungan sedimentasi ditunjukkan oleh nilai


gayaberat rendah dengan kisaran dari - 15 mGal
hingga
20 mGal, yang merupakan respons
gayaberat dari batuan sedimen dengan rapat massa
rendah.
Keberadaan sesar dicirikan oleh kontur anomali rapat
dan membentuk kelurusan yang pada umumnya
berarah timurlaut - baratdaya, utara - selatan, dan
barat laut - tenggara.
Peta anomali sisa menunjukkan adanya beberapa
subcekungan, yaitu di sebelah timur Tinggian Meratus
terdiri atas Subcekungan Pasir dan Subcekungan
Asem-asem, sedangkan di sebelah barat terdapat
Cekungan Barito dan Subcekungan Barito Selatan,
Cekungan Pambuang dan Paparan Banjarmasin.
Lapisan pembawa batubara Formasi Tanjung (di
Cekungan Barito) mempunyai rapat massa 2.6 gr/cm
yang terdapat pada anomali sisa dengan nilai -5 mGal
hingga -20 mGal, sedangkan dalam Formasi Warukin
(Subcekungan Asem-asem) mempunyai rapat massa
2.55 gr/cm, dan pada anomali sisa ditunjukkan
dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal.
Saran
Untuk pengembangan eksplorasi batubara
disarankan dilakukan penelitian dengan metode
resistivity detil di wilayah pinggiran sub cekungan.

Acuan
Maryanto, S. dan Sihombing, T., 2001. Stratigrafi Paleogen daerah Kalimantan selatan: Kaitannya dengan
keterdapatan batubara. Publikasi Khusus No 26, hal 29 51, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Padmawidjaya, T., dan Pribadi, D., 1997. Peta Anomali Bouguer Lembar Banjarmasin, Kalimantan, Skala 1:
250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sanyoto, P., 1994. Laporan penelitian struktur dan tektonik di daerah G.Kukusan, Kalimantan Selatan. Laporan
PKIGT , Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, tidak terbit.
Sikumbang, N., dan Heryanto, R.,1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin, Sekala 1 : 250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Sumarsono, P., 1984. Evolusi tektonik daerah Meratus dan sekitarnya, Kalimantan Tenggara. Laporan tidak
terbit PPTMGB LEMIGAS.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

39

GEOLOGI GUNUNG SADAHURIP, KABUPATEN GARUT


GEOLOGY OF MOUNT SADAHURIP, GARUT DISTRICT
Oleh :

Pudjo Asmoro
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi
Email : asmorogeol@gmail.com

Abstrak
Isu-isu adanya piramida Sadahurip telah merebak di media massa, elektronik dan dunia maya sejak awal tahun 2012.
Kalangan masyarakat tertentu masih percaya, walaupun telah disanggah oleh beberapa ahli geologi dan arkeologi.
Berdasarkan pandangan ilmu kegunungapian, G. Sadahurip merupakan gunung api tua yang merupakan parasit G.
Talagabodas, dan muncul di dalam bukaan kawah berarah tenggara-baratlaut. G. Sadahurip berbentuk kerucut, dan
disusun oleh aliran-aliran lava dan sebagian besar ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastika berumur 13320 BP.
Lembah Baturahong adalah lembah dalam yang terbentuk oleh proses erosi. Bercak-bercak warna putih pada permukaan
bongkahan lava yang dianggap batu bertulis di Kp.Cicaparlebak merupakan endapan silika. Semua kenampakan tersebut
menunjukkan bahwa G. Sadahurip bukan piramida hasil budaya manusia pra sejarah, tetapi sebuah gunung api tua,
parasit G. Talagabodas yang terbentuk sebagai hasil erupsi efusif.
Kata kunci : piramida, lembah baturahong, batu bertulis, gunung api tua, Sadahurip, Garut

Abstract
The issues of existing a Sadahurip pyramid has been established in newspapers and electronic medias since early 2012.
The certain communities are still believing of it, although the geologists and archeologists contradicted. Based on the
volcanology view's, Mt. Sadahurip is an old parasitic volcano that growth in the southeast notrhwest opening crater of
Mt. Talagabodas. The Mt. Sadahurip is a cone, constructed by lava flows and almost covered by 13320 BP pyroclastic
fall deposits. The Baturahong is a deep valley located in the southeast of Mt. Sadahurip, formed by erosion processes.
The white spots on the block lava surface in Cicaparlebak village that assumed as epygraft is silicic deposits. Those all
features show that the Mt. Sadahurip is not a pyramid that had been built by pre hystoric human, but an old parasitic
volcano of Mt. Talagabodas, formed by effusive eruption.
Key words : pyramid, baturahong valley, old volcano, Sadahurip, Garut

Pendahuluan
Latar belakang
Dugaan adanya jejak kegiatan manusia prasejarah di
G. Sadahurip telah merebak di media massa, media
elektronik dan media maya sejak awal tahun 2012.
Jejak kegiatan tersebut adalah keberadaan bangunan
piramida yang terpendam di dalam G. Sadahurip.
Piramida tersebut diduga dibangun pada periode 6 10 ribuan tahun yang lalu, dan bangunan tersebut
sengaja ditimbun untuk melestarikan
keberadaannya. Fenomena bangunan piramida
tersebut pada awalnya didasarkan atas
pertimbangan supranatural dan bentuk morfologis G.
Sadahurip yang mirip dengan bangunan piramida

Naskah diterima :
Revisi terakhir :

15 Juli
2013
01 November 2013

Giza di Mesir, yang dibangun pada jaman Firaun


Khufu 2560 SM. Bentuk G. Sadahurip telah
dibuktikan dengan survei geofisika (antara lain
geolistrik dan georadar).
Hasil survei tersebut
menunjukkan adanya anomali bawah permukaan,
yang ditafsirkan sebagai bangunan piramida budaya
(Hilman, D, dalam rapat koordinasi program tindak
lanjut Situs Megalitik Gunung Padang, Mei 2013).
Bukti lainnya adalah adanya lembah dalam yang diisi
oleh material andesit diduga merupakan tempat
pengambilan bahan bangunan dalam pembuatan
piramida tersebut. Adanya bercak putih pada
permukaan bongkah andesit di Dusun Cicaparlebak,
Desa Sukahurip, yang terletak di kaki baratlaut G.
Sadahurip ditafsirkan sebagai tulisan Sunda Kuno
atau epigraf.

40

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 1. G. Sadahurip dilihat dari Karangtengah dengan latar belakang


G. Gombong (kiri), dan G. Beuticanar (kanan).

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Garut skala


1:100.000 (Alzwar drr.,1992), dan hasil pemetaan
geologi gunungapi (Mulyana drr.,2000) daerah ini
didominasi oleh batuan hasil kegiatan gunung api
Kuarter, yang pada umumnya masih memperlihatkan
kenampakan kerucut (Gambar 1); sementara itu
bangunan piramida tidak dikenal di budaya
Indonesia (Yondri,2011, komunikasi pribadi). Oleh
karena itu, secara geologi dugaan G. Sadahurip
merupakan bangunan piraminda menjadi janggal.
Tulisan ini akan membahas asal usul/ mulajadi
terbentuknya G. Sadahurip; dan hubungannya
dengan keberadaan piramida tersebut di atas.
Lokasi dan kesampaian daerah
G. Sadahurip terletak di Desa Sukahurip, Kecamatan
Pangatikan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat,
secara geografi terletak diantara koordinat
10801'30 - 10804'00 BT dan 0710'00 0712'00 LU (Gambar 2).
Metodologi
Untuk mengetahui kondisi geologi G. Sadahurip,
pada awalnya melakukan kajian geologi regional,
dilanjutkan interpretasi geologi data inderaan jauh,
dan diikuti
penelitian lapangan dan analisa
laboratorium. Hasilnya dituangkan dalam peta
geomorfologi dan peta geologi. Berdasarkan kedua
peta tersebut dilakukan analisis pembentukannya,
dan berdasarkan bentuk gunungapi, batuan
penyusunnya dan proses geologi (erosi dan
pelapukan) dihubungkan dengan keberadaan
piramida.

Gambar 2. Lokasi G. Sadahurip.

Geologi Regional
Menurut Alzwar drr. (1992) bahwa G. Sadahurip
merupakan hasil erupsi gunung api muda
(G.Galunggung-Talagabodas) yang tersusun oleh
breksi gunung api, tuf dan lava andesit-basal;
sedangkan Mulyana drr. (2000) menerangkan
bahwa gunung ini menempati daerah sebelah
baratlaut G. Talagabodas, berbentuk kerucut, dengan
ketinggian
puncak +1449 m; tersusun oleh
endapan piroklastika dan leleran lava. Di bagian
selatan G. Sadahurip dilalui oleh sesar normal
berarah timurlaut baratdaya, dimana tubuh bagian
baratdaya merupakan bagian blok naik.
Hasil Interpretasi Data Inderaan Jauh
Data inderaan jauh yang digunakan berupa data citra
landsat yang ditumpang-tindihkan dengan citra
SRTM (Shuttle Radar Topographic Mapping).
Berdasarkan kenampakan citra (Gambar 3) daerah
penelitian merupakan bagian dari deretan gunung
api yang melingkar mengelilingi dataran Garut. Dari
selatan, gunung-gunung tersebut adalah G. Karacak,
ke arah timur dan ke arah utara terdapat masingmasing G. Galunggung, G. Talagabodas, G.
Eweranda dan G. Sadakeling; dan di sebelah
baratnya merupakan komplek G. Guntur.
G. Galunggung dan G. Talagabodas mempunyai
bentuk kerucut terpancung, pada tubuhnya terdapat
alur-alur air halus yang membentuk pola subradial,
dan bentuk kawah masih terlihat jelas (G.
Galunggung terbuka ke arah tenggara, dan

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

41

Gambar 3. Data inderaan jauh dan hasil interpretasi geologi G.


Talagabodas dan sekitarnya.
Gambar 4. Pembentukan G. Sadahurip.

G.Talagabodas membuka ke timurlaut yang di


dalamnya tumbuh terdapat G. Sadahurip dan G.
Talagasaat). G. Sadahurip berbentuk kerucut, aluralur air halus dan membentuk pola radial, serta di
puncaknya tidak dijumpai kawah.
Antara G. Talagabodas dan G. Eweranda terdapat
kelurusan yang cukup panjang (dari Komplek
Talagabodas sampai Tarogong) berarah tenggarabaratlaut. Kelurusan ini merupakan batas tegas
antara produk aliran lava G.Eweranda dan G.
Talagabodas; dan blok bagian selatan relatif turun
terhadap blok bagian utara.
Kelurusan yang terdapat di sebelah barat G.
Talagabodas berarah tenggara-baratlaut memotong
kelurusan di sebelah utara G. Talagabodas.
Kelurusan-kelurusan ini diduga sesar tua yang
tertutup produk erupsi G. Eweranda dan G.
Talagabodas. Kawah G. Talagabodas membuka
kearah tenggara dan baratlaut, pada bukaan ke arah
baratlaut tumbuh G. Sadahurip dan G. Talagasaat.
Bukaan ini ditafsirkan sebagai zona lemah yang
dikontrol oleh sesar besar bawah permukaan.
Geologi G. Sadahurip
G. Sadahurip merupakan gunung api parasit
(Kusumadinata, 1979), yang tumbuh di dalam
kawah G. Talagabodas. Bentuk kerucutnya masih
terlihat jelas, dan di puncaknya tidak dijumpai jejak
sisa kawah. Morfologi G. Sadahurip menabrak tubuh
G. Damar, yang menunjukkan bahwa G. Damar lebih
tua daripada Gunung Sadahurip, yang diduga sisa
tubuh G. Sadahurip tua (Gambar 4). Berdasarkan
kenampakan morfologi ini menunjukkan bahwa telah
terjadi 3 aktifitas gunungapi, yaitu 2 fase

pembangunan dan 1 kali fase pengrusakan. Fase


pembangunan pertama adalah pembentukan
gunung api Sadahurip tua dan kemudian terjadi fase
pengrusakan yang menyisakan tubuh G. Damar, dan
dilanjutkan fase pembangunan kembali membentuk
tubuh G. Sadahurip sekarang. Erupsi-erupsinya
bersifat efusif menghasilkan lava.
Geomorfologi
Berdasarkan citra landsat, peta topografi dan
pengamatan lapangan, bentang alam daerah G.
Sadahurip dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 4
(empat) satuan bentang alam (gambar 6), yaitu
Morfologi G. Talagabodas, Morfologi G. Gombong,
Morfologi G. Talagasaat, dan Morfologi G. Sadahurip
Morfologi G. Talagabodas
Morfologi G. Talagabodas melampar di bagian
tenggara daerah penelitian, bukaan kawah berarah
tenggara-baratlaut dari kaki G. Talagabodas.
Morfologi ini membentuk punggungan yang melandai
ke arah baratlaut, kelerengan 10o sampai 25o.
Lembah-lembahnya relatif terjal dan sempit
membentuk pola aliran sub-dendritik dengan
vegetasi penutup berupa tanaman palawija. Batuan
penyusun morfologi G. Talagabodas adalah lava dan
endapan piroklastika.
Morfologi G. Gombong
Morfologi G. Gombong terletak di sebelah timur
hingga utara G. Sadahurip, membentuk punggungan
yang berarah tenggara baratlaut. Puncak tertinggi
adalah G. Gombong, dengan ketinggian + 1847 m.
Relief morfologi ini sedang-tinggi dengan kemiringan

42

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 5. Baturahong dilihat dari G. Sadahurip.

lereng bervariasi dari 10o sampai 45o, berlembah


sempit dan dalam, berpola aliran sub-radial, disusun
oleh lava, dengan vegetasi penutup berupa hutan
lebat. Morfologi G. Gombong ditabrak oleh morfologi
G. Sadahurip dan di bagian barat ditabrak oleh
Morfologi G. Talagasaat. Berdasarkan kenampakan
tersebut diinterpretasikan bahwa G. Gombong
muncul lebih awal dibandingkan dengan G.
Talagasaat dan G. Sadahurip.
Morfologi G. Talagasaat
Morfologi G. Talagasaat terdapat di sebelah selatan
hingga tenggara G. Sadahurip. Puncak tertinggi
morfologi ini adalah G. Talagasaat, berelevasi 1701
m dpl. Morfologi ini berpola sub radier, memusat di G.
Talagasaat, melandai ke arah baratlaut yang berelief
relatif halus dengan kemiringan lereng bervariasi dari
10o sampai 25o. Batuan penyusun morfologi ini
adalah lava dan endapan jatuhan piroklastika.
Sebagian besar tanaman penutup berupa palawija,
tetapi di sekitar kawah berupa hutan. Morfologi G.
Talagasaat menabrak morfologi G. Sadahurip di
baratlaut, dan G. Gombong di utara, sehingga
diinterpretasikan bahwa G. Talagasaat muncul lebih
muda dibandingkan dengan G. Sadahurip, G.
Gombong dan G. Talagabodas.
Morfologi G. Sadahurip
Morfologi G. Sadahurip berbentuk kerucut dengan
puncak pada elevasi +1449 m, punggungannya
menyebar ke arah baratlaut, berelief sedang-tinggi
dengan kemiringan lereng bervariasi dari 10o sampai
40o. Lembah-lembahnya relatif terjal membentuk
pola aliran sub-radial dan memusat pada puncak G.
Sadahurip. Kerapatan aliran sungai sedang-rapat,
tingkat erosi sedang-kuat, berlembah sempit dan
dalam. Batuan penyusunnya adalah lava yang

ditutupi oleh endapan piroklastika. Walaupun kondisi


morfologinya sangat terjal, penduduk
menggunakannya sebagai daerah perkebunan, dan
daerah pertanian di bagian lereng paling baratlaut.
Lembah Baturahong
Lembah Baturahong (Gambar 5) adalah suatu
lembah dalam, yang terletak di sebelah tenggara G.
Sadahurip. Lembah ini merupakan batas antara
Mor fologi G.Gombong, G.Talagasaat dan
G.Sadahurip. Lembah ini diisukan sebagai bekas
penambangan batu manusia pra sejarah. Lembahnya
berbentuk trapesium dengan luas permukaan sekitar
2 km2, dan mempunyai kedalaman 25 sampai 75 m
(permukaan diukur dari ketinggian sadel Sudalarang).
Tebing bagian selatan disusun oleh lava hasil erupsi
G.Talagasaat, tebing bagian utara dan barat disusun
oleh endapan piroklastika hasil erupsi G.Talagabodas.
Dasar lembah Baturahong disusun oleh endapan
aliran piroklastika yang ditindih oleh hasil longsoran
dinding lava di sebelah selatan. Hasil longsoran
berbentuk bongkah-bongkah dan menunjukkan
struktur imbrikasi yang semakin dekat tebing
ukurannya semakin besar.
Stratigrafi
Berdasarkan kajian citra (landsat dan SRTM) dan
telaah sebaran morfologi yang ditunjang dengan
penelitian di lapangan Batuan gunung api daerah G.
Sadahurip dan sekitarnya adalah (dari tua ke muda)
Produk erupsi G. Talagabodas Tua; Produk erupsi G.
Gombong, Produk erupsi G. Sadahurip, Produk
erupsi Pra G. Talagabodas Muda, Produk erupsi G.
Talagasaat, Produk erupsi G. Talagabodas Muda, dan
Endapan alluvial (Gambar 7).

43

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

0.5

1km

0.5

1km

1750
1500
1250
1000
800

Gambar 6. Peta geomorfologi G. Sadahurip, Kabupaten Garut, Jawa Barat

1750
1500
1250
1000
800

Gambar 7. Peta geologi G. Sadahurip, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

44

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Produk erupsi G. Talagabodas Tua


Hasil erupsi G. Talagabodas Tua membentuk
morfologi punggungan berelief sedang berarah
tenggara-baratlaut. Batuannya berupa aliran lava
yang membentuk bongkah-bongkah meruncing,
berwarna abu-abu gelap, berdiameter hingga 1,5 m,
bagian luar membreksi dan bagian dalam masif, ada
kesan struktur berlembar, tekstur porfiritik halus
tersusun oleh fenokris berupa plagioklas, piroksen
dan massa dasar afanitik. Lava tersebut ditindih oleh
endapan jatuhan piroklastika G. Talagabodas Muda,
yang bersifat magmatis, freatik dan freatomagmatis
(Fisher and Schmincke, 1984).
Produk erupsi G. Gombong
Lava G. Gombong membentuk morfologi punggungan
berelief sedang-tinggi, berarah tenggara-baratlaut.
Singkapan batuan menunjukkan lava masif,
umumnya telah lapuk kuat. Lava bagian bawah
berwarna abu-abu tua, berjenis andesit, porfiritik
halus, masif, dengan fenokris berupa plagioklas (1-3
mm) dan piroksen (1-10 mm), tertanam dalam
massa dasar berbutir halus. Lava bagian atas
berwarna abu-abu tua bercak putih, bersifat
andesitik, porfiritik kasar dengan fenokris dominan
plagioklas (2-10 mm) dan piroksen (1-10 mm) yang
tertanam dalam massa dasar berbutir halus. Lava di
lokasi ini banyak mengandung xenolith andesit.
Produk erupsi G. Sadahurip
G.Sadahurip yang tingginya 1449 mdpl, terletak di
bagian tengah daerah penelitian. Morfologi G.
Sadahurip di bagian utara menabrak Morfologi lava

Gambar 8. Singkapan lava berstruktur plat di Cicapar Lebak.

G. Gombong, sedangkan di selatan ditabrak oleh


Morfologi lava G. Tegalsaat dan endapan aliran
piroklastika produk erupsi G. Talagabodas Muda.
Berdasarkan pengamatan lapangan dan
kenampakan morfologi, produk G. Sadahurip dapat
dipisahkan menjadi lava tua dan lava muda (Gambar
4). Lava G. Sadahurip tua tersebar di kaki bagian
timur dan tenggara, membentuk morfologi
punggungan berelief sedang berarah tenggarabaratlaut. Singkapan lava yang tersingkap di lembah
sungai Kp. Cicapar Lebak (Gambar 8) dicirikan oleh
bagian permukaan yang umumnya berkekar lembar
dan plat. Bagian bawahnya berbongkah dan retaktidak teratur dan ditindih oleh endapan jatuhan
piroklastika berwarna coklat. Pada bagian yang
masih segar, berwarna abu-abu muda, berjenis
andesit, porfiritik sedang, fenokris dominan
plagioklas, dan piroksen, yang tertanam pada massa
dasar afanitik. Singkapan di punggungan G. Damar
(Gambar 9), bagian permukaan umumnya
berbongkah berukuran 1 6 m, semakin ke bawah
bersifat breksiasi, pejal dan keras, berukuran
fragmen 3 cm 70 cm. Pada bagian yang masih
segar, berwarna abu-abu gelap, berjenis andesit,
porfiritik, fenokris dominan plagioklas (0,5-1,5 mm),
piroksen (1 mm), tertanam dalam massa dasar
afanitik; sedangkan singkapan di punggungan
sebelah timur Sungai Ci Kantong hingga ke
lembahnya, bagian permukaan umumnya masif dan
berbongkah berukuran 2 7 m. Batuan berwarna
putih keabu-abuan, jenis andesit piroksen, porfiritik
dengan fenokris dominan plagioklas (0,5-5 mm),
piroksen (1-5 mm), hornblende (0,5-1 mm),
tertanam dalam massa dasar berbutir sedang.

Gambar 9. Singkapan breksi lava di lereng utara G. Damar.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

45

Lava G. Sadahurip muda tersingkap di beberapa


tempat. Singkapan di lereng utara berupa bongkahbongkah lava andesit (Gambar 10) berukuran 50 cm
- 242 cm, bentuk tidak teratur dan permukaan relatif
membulat, berwarna abu-abu, tekstur porfiritik,
ukuran fenokris 0,5 2 mm, struktur masif dan
vesikuler, fenokris berupa plagioklas (0,5 2 mm, 25
%), piroksen (1 mm, 6 %), hornblenda (1-2 mm,
1%), massa dasar mineral mafik yang afanitik.
Singkapan di lereng timurlaut bagian atas berupa
bongkah-bongkah lava andesit berukuran 20 cm 254 cm, bentuk tidak teratur dan permukaan relatif
membulat. Batuan tersebut berwarna abu-abu,
tekstur porfiritik, ukuran fenokris 0,5 2,5 mm,
struktur masif dan vesikuler. Pengamatan petrografi
menunjukkan bahwa fenokris berupa plagioklas (0,5
2 mm, 35%), piroksen (1 mm, 9%), hornblenda (12 mm, 1%), massa dasar mineral mafik yang afanitik.
Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini
termasuk andesit. Singkapan bagian bawah berupa
tonjolan tonjolan lava berbentuk blok tidak teratur
dan lava plat, berukuran 5 cm 1,5 m. Lava tersebut
berwarna abu-abu, vesikuler dan masif, porfiritik,
hasil analisis petrografi menunjukkan komposisi
plagioklas (1-2 mm, 30 %), piroksen (1 mm, 10 %),
hornblenda (1 mm, 1 %), di dalam massa dasar yang
afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini
termasuk andesit. Singkapan di lereng timur (Gambar
11) terdiri atas breksi lava berwarna abu-abu hingga
coklat, masif dan pejal, tersusun oleh fragmen
andesit berukuran 10 hingga 30 cm, bentuk
menyudut, tebal lebih dari 20 m. Breksi lava di
daerah ini ditindih oleh endapan aliran piroklastika
dan jatuhan piroklastika warna coklat. Batuan
berwarna segar abu-abu, warna lapuk merah bata,
tekstur porfiritik, ukuran fragmen 1 17 cm (ukuran

3-4 mm lebih dominan), fenokris berupa plagioklas


(0,5 - 1 mm, 35 %), piroksen (0,5 - 3 mm, 9 %),
hornblende (2 mm, 1 %), dalam masa dasar berupa
mineral mafik yang afanitik, tebal singkapan 16,2 m.
Singkapan di lereng tenggara berupa bongkahbongkah lava dan lava plat. Bongkah-bongkah lava
berukuran (44 cm - 130 cm), bentuk tidak beraturan,
berwarna abu-abu gelap, tekstur porfiritik, vesikuler,
tersusun oleh fragmen berukuran maksimum 2,5
mm, berupa plagioklas (0,5 mm -2 mm, 30%),
piroksen (0,5 mm -1 mm, 5 %), dalam massa dasar
mineral afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955),
batuan ini termasuk andesit. Lava plat mempunyai
tebal 30- 68 cm, panjang sampai 7 m, bentuk
memanjang dan menyudut, berwarna abu-abu,
tekstur porfiritik, vesikuler dan masif, tersusun oleh
fragmen berukuran maks. 2 mm, berupa plagioklas
(0,5 mm -2 mm, 30%), piroksen (1,5 mm,
penyebaran merata, 10 %), dalam massa dasar
afanitik. Singkapan di lereng selatan berupa
bongkah-bongkah lava berukuran 44 - 130 cm,
berwarna abu-abu gelap, tekstur porfiritik, vesikuler,
tersusun oleh fragmen berukuran maksimum 2,5
mm, berupa plagioklas (0,5-2 mm, 30%), piroksen
(0,5-1 mm, 5 %), dalam massa dasar mineral mafik
yang afanitik. Menurut klasifikasi Travis (1955),
batuan ini termasuk andesit. Singkapan lereng barat
G. Sadahurip (Gambar 12) tersusun oleh lava masif
yang mengalami retak-retak dan sebagian bongkahbongkah. Batuan berwarna abu-abu keputihan (abuabu cerah), tekstur porfiritik, masif, tersusun oleh
fenokris berukuran 0,5 mm - 5 mm (dominan 1,5
mm), berupa plagioklas (0,5 - 5 mm, 45 %), piroksen
(1,5 mm, 10 %), dalam massa dasar afanitik.
Menurut klasifikasi Travis (1955), batuan ini
termasuk andesit.

Gambar 10. Singkapan lava pada lereng utara G. Sadahurip.

Gambar 11. Singkapan breksi lava di lereng timur G. Sadahurip.

46

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Gambar 12. Singkapan lava masif di lereng barat G. Sadahurip.

Gambar 13. Singkapan endapan aliran piroklastika di Ci Dalem

Singkapan di puncak G. Sadahurip berupa bongkahbongkah lava andesit berukuran 30 cm - 64 cm,


bentuk tidak teratur dan permukaan relatif
membulat. Batuan tersebut berwarna abu-abu,
masif, tekstur porfiritik, ukuran fenokris 0,5 2,5
mm, struktur masif dan vesikuler, fenokris berupa
plagioklas (0,5 1,5 mm, 30 %), piroksen (1 2
mm, 10 %), hornblenda (1-2,5 mm, 1%), massa
dasar mineral mafik yang afanitik. Menurut klasifikasi
Travis (1955), batuan ini termasuk andesit.

api berukuran kecil dengan kawah di puncaknya.


Produk erupsi G. Talagabodas Muda yang mencapai
daerah penelitian adalah endapan aliran piroklastika
(Endapan aliran piroklastika G. Talagabodas Muda,
Gambar 7), dan dua endapan jatuhan piroklastika
yaitu Endapan jatuhan piroklastika 1 G. Talagabodas
Muda (Gambar 7); dan Endapan jatuhan piroklastika
2 G. Talagabodas Muda (gambar 7).

Produk erupsi Pra G. Talagabodas Muda


Produk erupsi Pra G. Talagabodas Muda adalah
endapan aliran piroklastika (Endapan aliran
piroklastika 1 Pra G. Talagabodas Muda, Gambar 7).
Endapan ini membentuk morfologi punggungan
berelief sedang-halus, berarah tenggara-baratlaut.
Endapan aliran piroklastika dijumpai di di lembah Ci
Dalem (Gambar 13), dijumpai di lembah Ci Putih,
dan di tebing utara Baturahong.
Produk erupsi G. Talagasaat
Aliran lava Talagasaat membentuk morfologi
punggungan berelief sedang, berarah tenggarabaratlaut dan sangat dikenal oleh penduduk
setempat dengan sebutan Baturahong. Ciri fisik lava
di tebing Baturahong hingga ke lembahnya terdiri
dari 2 aliran lava (Gambar 14), sedangkan Endapan
jatuhan piroklastika 1 Talagasaat diperkirakan
sebagai akhir dari kegiatan G. Talagasaat, yang
tersebar di sekitar kawah.
Produk erupsi G. Talagabodas Muda
G. Talagabodas tumbuh di dalam kawah G.
Telagabodas Tua dan ditunjukkan oleh tubuh gunung

Endapan aliran piroklastika 1 G. Talagabodas Muda,


berwarna coklat, urai (lepas) di bagian atas, dan agak
terkonsolidasi di bagian bawah, dengan tebal lapisan
dari 1 - 5 m. Endapan jatuhan piroklastika 1 G.
Talagabodas Muda tersebar ke arah timur, yang
membentuk morfologi punggungan-punggungan
berelief rendah-sedang. Jatuhan piroklastika 2 G.
Talagabodas Muda ini umumnya berwarna kuning,
terdiri dari beberapa lapisan dengan ketebalan
bervariasi dari 15-60 cm, urai, berbutir abu hingga
lapili, didominasi oleh komponen pumis dengan
sedikit kandungan litik andesit dan litik teralterasi,
yang disisipi oleh endapan alterasi berwarna putih,
tebal sekitar 10 cm. Tebal lapisan tersingkap secara
keseluruhan sekitar 20 m. Endapan jatuhan
piroklastika 2 tersebar luas di bagian timur hingga
baratlaut daerah penelitian, yaitu dari daerah
Cicaparpasir, Sukahurip hingga Sindanggalih.
Bentang alam yang dibentuknya mengikuti pola
morfologi yang telah terbentuk sebelumnya yakni
berupa punggungan sempit berelief sedang. Endapan
jatuhan piroklastika 2 G. Talagabodas Muda
tersingkap di tepi jalan Sukahurip (Gambar 15)
bagian bawah kondisi lapuk lanjut, berwarna coklat
abu-abu, terkonsolidasi, klastik, ukuran butir lapili
(0,5 mm - 1 cm), menyudut-menyudut tanggung,
kemas terbuka, struktur gradasi normal, komposisi
gelas vulkanik dan litik andesit, tebal 242 cm,

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

47

Gambar 14. Singkapan aliran lava Talagasaat di dinding timur Baturahong

Gambar 15. Singkapan endapan jatuhan piroklastika di Kp. Cicaparpasir.

sedangkan di bagian atas merupakan perselingan


antara lapisan berbutir kasar dan halus dengan
ketebalan lapisan bervariasi dari 10 cm sampai 70
cm, umumnya lebih urai, dan didominasi oleh litik
andesit basaltik berukuran abu. Hasil pentarihan
umur endapan piroklastika (Paleosoil) yang diambil
di Kp. Cicaparpasir, menunjukkan umur 14000 220
B.P. (1950) dan Paleosoil di bawah tempat parkir
13320 300 B.P. (1950).

Bahasan

Kenampakan singkapan lava pada umumnya masif,


berkekar lembar dan plat, terkekarkan, terbreksikan
di permukaan, berbentuk bongkah-bongkah tajam
dan membulat dengan berbagai ukuran.
Kenampakan lava masif menunjukkan bahwa selama
mengalir bersifat homogen, cair, tidak mengalami
pendinginan secara cepat, yang umumnya sebagai
bagian dalam suatu aliran lava (Macdonald, 1972).
Lava yang mengalir secara laminer dan membeku
secara perlahan akan menghasilkan lembaranlembaran tipis dan tebal (plat dan berlembar). Selain
itu lava yang sudah berhenti mengalir dan kemudian
membeku, akibat proses pendinginan selama
pembekuan mengakibatkan lava tersebut rekahrekah. Sedangkan breksi lava merupakan bagian
permukaan aliran lava, baik bagian bawah maupun
bagian atas, yang langsung bersentuhan dengan
udara luar sehingga membeku dengan tiba-tiba dan
sebagian teroksidasi (terbakar). Sebagai hasil proses
pendinginan yang tiba-tiba mengakibatkan pecahpecah, bentuk tajam-tajam dengan berbagai ukuran,
dari tebal beberapa cm hingga beberapa meter, urai
hingga padu tergantung terjadi pemampatan dan
pengelasan selama mengalir, berwarna abu-abu
hingga merah (terbakar) dan dikenal sebagai breksi
lava. Bongkah-bongkah lava yang dijumpai pada
bagian permukaan tubuh G. Sadahurip merupakan
bagian rekahan lava akibat pembekuan, pembreksian
dan pembebanan, atau sebagai hasil longsoran tubuh
lava, sehingga menghasilkan bentuk dan ukuran tidak
beraturan. Adapun bongkah berbentuk membulat
diakibatkan oleh proses erosi dan pelapukan.

Batuan penyusun tubuh G. Sadahurip tersusun oleh


lava andesit dan sebagian besar tubuh tersebut
ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastika.

Endapan jatuhan piroklastika yang menyelimuti


tubuh G. Sadahurip merupakan hasil erupsi eksplosif
gunung api aktif yang diduga G. Talagabodas.

Endapan Aluvial (Al)


Endapan aluvial ini menutupi lembah Sungai Ci
Kantong yang tersusun oleh material lepas,
berukuran bongkah hingga lempung, antara lain
berupa fragmen-fragmen andesit berukuran pasir
hingga bongkah. Endapan ini tertransportasikan dari
tinggian dan lereng G. Sadahurip serta di sekitar
lembah Ci Kantong dan akhirnya terendapkan pada
daerah yang relatif lebih rendah.
Struktur geologi
Batuan di daerah penelitian terdiri atas batuan
gunungapi Kuarter, sehingga kenampakan struktur
geologi agak tidak jelas. Struktur geologi yang ada
bersifat lokal, yang terdiri atas Sesar normal
Sudalarang, dan beberapa kelurusan morfologi yang
terdiri atas Kelurusan Cicaparpasir, Kelurusan
Cicaparpasir-Talagasaat, Kelurusan Cidalem, dan
Kelurusan Ci Putih.

48

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa


keseluruhan tubuh G. Sadahurip merupakan hasil
erupsi G. Sadahurip sendiri, yang bersifat efusif,
tersusun oleh aliran-aliran lava, yang membentuk
kerucut gunung api, kemudian ditutupi oleh endapan
jatuhan piroklastika. Jadi bentukan ini bukan
bangunan piramid yang dikubur dan bukan hasil
budidaya manusia.
G. Sadahurip bersama dengan G.Talagasaat tumbuh
di dalam bukaan kawah G. Talagabodas yang berarah
tenggara-baratlaut. Bukaan tersebut ditafsirkan
sebagai zona lemah yang dikontrol oleh sesar besar
tua berarah tenggara-baratlaut. Zona lemah tersebut
ditunjukkan oleh penerobosan magma ke permukaan
yang membentuk G. Sadahurip dan G. Talagasaat
sebagai gunung api parasiter dari G. Talagabodas.
Lembah Baturahong adalah lembah dalam, yang
terletak di kaki timur G. Sadahurip, berbentuk
trapesium dengan luas permukaan sekitar 2 km2.
Lembah ini mempunyai kedalaman 25 hingga 75 m.
Berdasarkan dimensi tersebut, volume lembah ini
kurang-lebih 1.000.000 m 3 ; sedangkan G.
Sadahurip yang berbentuk kerucut dengan diameter
sekitar 1,1 km dan tinggi sekitar 0,25 km mempunyai
volume kurang-lebih 2.400.000 m3. Volume G.
Sadahurip jauh lebih besar dibanding volume lembah
Baturahong, maka lembah ini bukan merupakan
bekas galian penambangan andesit untuk bahan
bangunan piramida Sadahurip.
Lembah Baturahong ini pada awalnya terisi penuh
oleh endapan aliran piroklastika yang bersifat urai
dan ditindih oleh lava produk G. Talagasaat. Endapan
aliran piroklastika bersifat lunak dan lepas sangat
mudah tererosi, sedangkan lava sangat resisten. Oleh
proses erosi, endapan aliran piroklastika ini hilang,

Larutan silika mengendap di celah lava plat

dan membentuk lembah dalam, sedangkan lava yang


bersifat resisten membentuk dinding terjal. Karena di
bagian bawahnya kosong, dinding lava ini runtuh,
yang membentuk dinding Baturahong. Runtuhan lava
berupa bongkah-bongkah meruncing dengan
berbagai ukuran dan mengisi lembah Baturahong.
Maka dapat disimpulkan bahwa lembah Baturahong
merupakan lembah bentukan alam, dan /atau bukan
merupakan bekas tambang bahan galian sebagai
aktifitas manusia.
Bongkah batuan dengan bercak putih terdapat di
Kampung Cicaparlebak, terletak kurang-lebih 60 m
dengan posisi relatif lebih rendah dari singkapan lava
yang berstruktur kekar lembar atau kekar plat di
daerah tersebut. Penampakan ini diisukan sebagai
batu bertulis, yang dianggap sebagai prasasti kuno.
Berdasarkan pengamatan gemology, bercak-bercak
putih tersebut ternyata adalah kuarsa susu (milky
quartz) yang lazim ditemukan di dalam rekahan lava
hasil pengisian larutan hidrotermal. Pola bercakbercak putih tersebut yang menyerupai huruf kuno
ditafsirkan sebagai hasil pelapukan dan erosi dengan
tingkatannya berbeda, karena terdapat beberapa
kuarsa susu yang kekerasannya bervariasi, yaitu
adanya kuarsa susu lunak, dan kuarsa susu yang
masih utuh dengan kekerasan lebih dari 6 skala
Mohs. Adanya bongkah lava dengan kuarsa susu ini
berkaitan dengan proses mineralisasi hidrotermal
yang sejauh ini tidak ditemukan pada singkapansingkapan lainnya. Bentuk bongkahannya yang
membulat (Gambar16) menunjukkan batuan
tersebut hasil transportasi dan permukaannya telah
tererosi. Sebagai tambahan, tulisan prasasti kuno
pada umumnya digores di permukaan batu dan
bukan menempel.

Endapan larutan silika menempel pada


permukaan lava plat

Batuan runtuh dan tertransport, permukaan


tererosi, menjadi bercak-bercak putih

Gambar 16. Singkapan lava plat dan bercak putih larutan silika, lokasi Cicaparlebak

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Maka dapat disimpulkan bahwa bongkah lava


dengan bercak-bercak tersebut berasal dari
runtuhan lava berstruktur kekar plat dengan kuarsa
susu di dalam kekar, kemudian lapuk dan tererosi.
Hal ini dapat menyanggah bahwa batu tersebut
adalah prasasti.
Kesimpulan
n
G. Sadahurip adalah sebuah kerucut gunung api

tua yang batuan penyusunnya didominasi oleh


lava andesit yang ditutupi oleh endapan jatuhan
piroklastik. Gunung api Sadahurip dan G.
Talagasaat merupakan gunung api parasiter G.
Talagabodas yang muncul di dalam kawah.
n
Lembah Baturahong terbentuk oleh proses erosi

secara alamiah, dan bercak putih pada


permukaan bongkah andesit merupakan
mineral sekunder silika, yang terbentuk secara

49

alamiah di dalam rekahan, bukan tulisan Sunda


kuno.
n
G. Sadahurip adalah suatu gunungapi purba

yang merupakan hasil aktifitas magamtisme; dan


bukan suatu bangunan pyramid yang merupakan
budidaya manusia.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Prof. Ris. Dr.
Ir. Sutikno Bronto yang telah memberi saran dan
arahan sehingga tulisan ini dapat diterbitkan, Malia
Adityarani dan Sony Sofyan yang telah membantu
pengumpulan data lapangan, Hari Puranto yang
telah membantu penggambaran peta, dan Bapak Ayi
selaku Kepala Desa Sukahurip yang telah
menyediakan akomodasi dan komsumsi selama
penyelidikan lapangan.

Acuan
Alzwar, M., Akbar, N., Bachri, S., 1992. Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa, Skala 1 :
100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Fisher, R.V., and Schmincke, H.U.,1984. Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin.
Macdonald, G. A., 1972. Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi Bandung.
Mulyana, A.R., Taufiqurrohman, R., Sasongko, Y., Suswati, Haerani, N., dan Sutawidjaja, I.S., 2000. Pemetaan
Geologi Komplek Gunungapi Talagabodas, Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat, Direktorat Vulkanologi,
Bandung.
Travis, B.R.,1955.Classification of Rocks, Quarterly of the Colorado School of Mines.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

51

KONDISI TEMPERATUR, WAKTU, DAN ph REAKSI


UNTUK MENGOPTIMASI PROSEDUR STANDAR ANALISA PLATINUM DENGAN
EKSTRAKSI ATOMIC ABSORPTION SPECTROMETRY
TEMPERATURE, TIME, AND ph REACTION CONDITION
TO OPTIMIZE STANDARD OPERATION PROCEDURE ON PLATINUM ANALYSIS
BY EXTRACTION ATOMIC ABSORPTION SPECTROMETRY
Oleh :
R. Irzon dan Kurnia
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung
e-mail: ronaldo_irzon@yahoo.com

Abstrak
Atomic Absorption Spectrometry (AAS) merupakan salah satu perangkat yang familiar dalam pengujian kadar kimia
karena memilik kapabilitas tinggi dengan konsumsi waktu, biaya, dan tenaga yang tidak besar untuk mendapat presisi uji
yang cukup baik. Penelitian mengenai optimasi perangkat ini telah banyak dilakukan. Pusat Survei Geologi turut
melakukan studi terhadap perangkat ini untuk pengujian logam mulia, salah satunya adalah Platinum (Pt) terhadap
contoh geologi. Percobaan ekstraksi Pt menggunakan kelat Amonium Pirolidin Carbamat dan pelarut Metil Isobutil Keton
sesuai skema literatur memberikan recovery 14 - 20% yang berarti proses belum baik secara kuantitatif. Tulisan ini
mengurai standar prosedur yang sudah ada dan meneliti pengaruh variabel termperatur, waktu, dan pH ekstraksi Pt pada
beberapa konsentrasi standar sebelum diperiksakan kandungannya menggunakan AAS. Hasil percobaan menasbihkan
bahwa temperatur ekstraksi terbaik adalah pada keadaan kamar, dengan lama reaksi 60 menit antara ion Pt dan APDC.
Disimpulkan bahwa kondisi pH 2,0 merupakan tingkat keasaman terbaik. Proses ekstraksi hasil penelitian ini cocok pada
Pt dalam matrik yang tidak banyak mengandung logam lainnya seperti dalam air atau pada katalis. Pengukuran dalam
matrik berkondisi sebaliknya, seperti pada Saprolit masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait selektifitas APDC
terhadap logam berat lain. Prosedur standar ini dapat dikembangkan agar lebih tangguh untuk diterapkan pada
laboratorium manapun dan diajukan sebagai standar pengujian Pt di Indonesia
Kata Kunci: Platinum, AAS, standar, ekstraksi, kondisi reaksi.

Abstract
Atomic Absorption Spectrometry (AAS) has become a familiar technique to analys many chemical elements
composition because of low time consumption and cost effectiveness to reach good precission. There are many studies
to optimize this method. The Certer of Geology Survey of Indonesia started the study about nobel metals, including
Platinum in geological samples using AAS. Pt extration experiments using Amonium Pirolidin Carbamat and Metil
Isobutil Keton based on literature provides recovery 14-20%, means that the process was not well quantitatively. This
paper describes literature's procedure and investigated the influence of temperature, time, and pH of Pt extraction on
some standards' concentrations using AAS. The experiment showed that the best extraction was in room temperature,
with reaction time between Pt ions and APDC for 60 minutes. It was concluded that pH 2.5 was the best acidity level.
This extraction process fit on Pt in a matrix which did not contain high level of metal as in catalysts or water.
Measurement to contrary matrix, as in Saprolite require further research related to APDC selectivity against other heavy
metals. Our standard procedures could be developed to become more robust to be applied to any laboratories and
submitted as Pt measurement standard in Indonesia
Keywords: Platinum, AAS, standard, extraction, rection condition.

Pendahuluan
Ruthenium, Rhodium, Palladium, Osmiun, Iridium
dan Platinum merupakan unsur kimia yang
Naskah diterima :
Revisi terakhir :

15 Juli
16 Oktober

2013
2013

merupakan anggota platinum group elements (PGM)


pada tata elemen kimia. Seluruhnya merupakan
logam transisi yang berada pada blok-d pada tabel
kimia. Logam tersebut memiliki sifat kimia dan fisika
yang mirip dan sering dijumpai pada deposit mineral
yang sama.

52

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

PGM ini kemudian dibagi lebih lanjut mengacu pada


kelakuannya pada sistem geologi, yakni: IPGE (Iridiumgroup Platinum Group Elements: Os, Ir, dan Ru) dan
PPGE (Palladium-group Platinum Group Elements:
Rh, Pt, Pd) (Wilkipedia, 2013). Elemen kimia tersebut
memiliki kelebihan luar biasa terhadap sifat katalisnya,
resistensi tinggi terhadap bahan kimia maupun
temperatur, dan stabil secara elektris. Lebih khusus,
Platinum cocok dan sering dijadikan perhiasan.
Latar Belakang
Bond (2000) mengulas lebih jauh terhadap fenomena
PGM dan menyebutnya sebagai 'efek relatifitas' secara
kimia. Hal ini dikarenakan unsur pada platinum group
elements memiliki koordinasi dan chemisorption yang
berbeda dengan unsur lain terhadap karbon
monoksida dan hidrokarbon tak tersaturasi. Dua isu
tadi menjadi menarik karena dapat diarahkan kepada
industrialisasi maupun pemeliharaan lingkungan.
Oksidasi Pt(IV) juga didapati lebih stabil dari Pd(IV)
walaupun merupakan sesama PGM yang bersifat
elektris stabil. Dalam penelitian ilmu kesehatan pun
PGM terbukti berdaya guna bahkan terhadap
penanganan kangker (seperti: Dubiella-Jackowska
dkk., 2007; Abu-Surrah dan Kettunen, 2006). Sifatsifat dan keunggulan demikian yang membuat
elemen-elemen ini mahal harganya.
Pusat Survei Geologi (PSG) telah menginisiasi
pemanfaatan dan pengujian platinum group elements
sejak tahun 2007 melalui penelitian geologi ke
daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penelitian
tersebut didukung dengan fasilitas dan ahli geologi
pada kegiatan lapangan hingga uji laboratorium.
Laboratorium Geologi yang berada dalam koordinasi
PSG memiliki beberapa instrumen untuk mendukung
pengujian geokimia, termasuk pengukuran Pt,
seperti: Gravimetri, XRF, ICP-MS, dan AAS. Tulisan ini
lebih meningkatkan peran AAS dalam standarisasi
pengujian Platinum dengan optimasi parameter
suhu, waktu dan pH ekstraksi terhadap contoh
standar. Hal ini lebih jauh bermanfaat dalam
standarisasi Laboratorium Geologi dan pelayanan
pengujian geokimia terhadap konsumen.
Tujuan
Perangkat AAS yang dimiliki oleh Pusat Survei
Geologi ini sebelumnya telah berhasil melakukan
optimasi pengukuran standar elemen Mg dalam pasir
besi (Irzon, 2012) maupun adaptasi SNI 13-36081994 pada pengukuran contoh dengan kadar Fe

tinggi (Irzon, 2013). Tujuan studi ini adalah untuk


mendapatkan rangkaian pengujian kandungan Pt
menggunakan kelat Amonium Pirolidin Carbamat
(APDC) dan pelarut Metil Isobutil Keton (MIBK)
terhadap contoh geologi. Skema awal berpijak
kepada skema Cantel (1982) dengan optimasi
temperatur, pH, dan waktu reaksi. Hasil pengukuran
menggunakan metoda literatur kemudian
diperbandingkan dengan tujuan optimasi. Lebih
jauh, penulis ingin menghasilkan skema robust yang
dapat diterapkan pula di laboratorium uji lainnya.
Fokus penelitian ini diharapkan dapat mempercepat
terciptanya alur analisa Pt dengan AAS yang dapat
distandarkan di tingkat nasional.
Tinjauan Pustaka
Atomic Absorbance Spectrometry
Laboratorium Geologi bervisi menjadi mitra utama
peneliti geologi dalam pengembangan ilmu
kebumian dan sumber daya alam Indonesia. Untuk
mendukung hal tersebut, lembaga ini dilengkapi
dengan beragam perangkat uji yang terus
ditingkatkan kemampuannya pada sisi geokimia
maupun geofisika. Perangkat uji geokimia mutakhir
yang telah berjalan antara lain: gravimetri, XRF, AAS,
ICP-MS; sedangkan XRD, mikroskop, Uji radiasi,
SEM, Paleomagnet turut mendukung dari sisi
geofisika. Sisi sumber daya manusia turut
diperhatikan, dimana laboratorium ini memiliki ahli
kimia dan fisika yang terampil di bidangnya.
Atomic Absorbance Spectrometry (AAS) dipilih
karena memang lazim dimanfaatkan terhadap
pengujian kadar elemen secara umum (Lajunen dan
Permaki, 2004). PSG memiliki dua buah AAS, yang
sangat sering dipakai bertipe 120 FS dari Variant, dan
satu tipe lagi yang lebih tua dan jarang dimanfaatkan
kecuali pada uji elemen terentu. Pada tulisan ini kami
hanya menggunakan AAS tipe pertama dalam
pengujian seluruh standar maupun contoh. Perangkat
yang dimiliki oleh PSG ini dilengkapi processing
computer untuk memonitor maupun mengatur skema
pengukuran dengan mengadaptasi konsep dan teknis
Beaty dan Kerber (1993). ICP-MS memang
merupakan peralatan yang paling canggih dan
mampu mengujikan puluhan elemen dalam satu kali
analisa, kemudian biaya pengoperasiannya masih
tinggi serta membutuhkan rangkaian kondisi tertentu
agar dapat menghasilkan hasil uji berkualitas (Yoon
drr., 2004). Oleh karena itu, AAS dimajukan pada
untuk pengujian untuk elemen-elemen terpilih.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

53

Setiap perangkat memiliki beberapa kelemahan.


Seperti diungkap oleh Siregar drr. (2012), Gangguan
analisis dalam AAS dapat dikelompokkan pada
beberapa katagori yakni: spektral, emisi, kimia,
matriks, pancaran (scater) yang tidak spesifik, dan
ionisasi. Kesulitan terbanyak berasal dari gangguan
kimia, matrik, pemancaran sinar dan ionisasi.
Gangguan disebabkan emisi dari unsur pada panjang
gelombang yang sama dimana absorpsi terjadi
(diukur). Permasalahan berikutnya disebut sebagai
gangguan kimia berupa sesuatu yang mencegah atau
menekan pembentukan atom pada tingkat dasar
(ground state) dalam nyala.

Secara prinsip sederhana pelarutan Pt dengan


penggunaan 40 ml aqua regia terhadap 1 gr Pt untuk
kemudian dievaporasi dan dikeringkan, sebelum
ditambahkan 10 ml HCl untuk kembali dievaorasi
dan akhirnya disimpan setelah ditambahkan kembali
HCl 10 ml sebagai larutan stok. Namun demikian,
aplikasi ini tidaklah semudah itu, yang kemudia
membuat studi tata cara penanganan Pt banyak
dikerjakan (seperti: Bashour dan Sayegh, 2007;
Balcerzak, 2002; Sracek drr., 2004; Yoon drr.,
2004)

Platinum

Platinum Group Metals biasanya dianalisa


menggunakan perangkat XRF, ICP-AES atau pun ICPMS (Yoon drr. 2004). Pada limit deteksi rendah,
beberapa elemen bernilai tinggi tersebut dapat
dianalisa dengan akuarasi tinggi menggunakan ICPMS setelah terlebih dahulu diisolasi melalui fire
assaying. Pada tingkat konsentrasi lebih besar Pt
maupun Pd dapat diukur menggunakan ICP-OES
maupun AAS graphit setelah fire assaying atau
langsung dari hasil pelarutan contoh dengan asam
kuat. Hasil pelarutan selanjutnya diekstraksi untuk
memisahkan PGM dari matriks yang mengganggu.
Oleh karena itu, studi ini diinisiasi untuk mencari
prosedur yang baik mengenaik uji PT menggunakan
AAS graphit melalui pemisahan matriks pengganggu.
Kelat Amonium Pirolidin Ditio Carbamat (APDC) dan
pelarut organik Metil Isobutil Keton (MIBK) berfungsi
sebagai pemisah matriks tersebut.

Elemen kimia ini mempunya formula kimia Pt.


Sebagai unsur yang merupakan anggota platinum
group element, nilai jual mineral platinum memang
tinggi karena memiliki sifat-sifat khusus. Formula
weight platinum adalah 195.08 dan densitas
21,0920. Melting point dan boiling point Pt secara
berurutan pada 1.769oC dan 3.824oC. Lang (1999)
menuliskan bahwa elemen ini sendiri dapat larut
dalam aqua regia maupun fused alkali. Beberapa
campuran kimia Pt yang lazim dikenal antara lain:
Platinum(II) klorida (PtCl2), Platinum(IV) klorida
(PtCl4), Platinum(VI) florida (PtF6), Platinum(II)
oksida (PtO), Platinum(IV) oksida (PtO2), dan
Platinum(IV) sulfide (PtS4).
Pada bab IV dalam bukunya, Dean (1999) terus
mengulas secara rinci mengenai sifat-sifat elektris
elemen kimia. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
unsur platinum dengan nomor atom 78 ini memiliki
konfigurasi elektronik [Xe] 4f14 5d9 6s.
Konduktifitas termal Pt pada 25oC sebesar 71,6
W/mK dengan resistivitas elektrik 10,6 (20oC).
Pada kondisi temperatur kamar, elemen ini memiliki
besaran koefisien terhadap ekspansi termal linear
yaitu 8,8 m.m-1(x106). 205,3(2) kJ/mol adalah
afinitas elektron Pt yang merupakan perbedaan
energi antara keadaan terendah (ground state) fasa
netral dan keadaan terendah ion negatif pada fasa
gas.
Definisi satuan kilo gram yang dipakai dalam dunia
ilmiah pun berasal dari massa campuran PlatinumIridium yang disimpan di Paris. Jumlah isotop
Platiunum adalah enam buah dengan rincian nomor
massa berikut persentasinya di alam (dalam kurung)
adalah: 190 (0,01%), 192 (0,79%), 194 (32,9%),
195 (33,8%), 196 (25,3%), dan 198 (7,2%).

Metoda Penelitian

Proses dimulai dengan acuan skema Cantel (1982)


untuk kemudian diteliti pengaruh variasi kondisi
operasinya. Pada tahap awal preparasi, disiapkan
dua buah standar Platinum cair dan satu buah blanko
dengan volume masing-masing 10 ml. Standar Pt
yang disiapkan tersebut berkonsentrasi 0,1 dan 10
ppm. Analisa blanko berguna untuk mengamati
bagaimana kondisi larutan tanpa Pt setelah dianalisa
dengan AAS, sedangkan pemilihan dua tingkat
konsentrasi tadi dipilih untuk melihat tingkat
absorbansi alat terhadap dua level Pt yang dinilai
cukup jauh. Kedalam ketiga larutan ditambahkan
dengan aquades 20 ml dalam labu reaksi 100 ml.
NaOH dan HCl dimanfaatkan untuk mengatur pH
larutan, yaitu pada level keasaman 4. Setelah tingkat
pH tercapai, maka ditambahkan 4 ml APDC 1%
segar pada masing-masing labu reaksi. Waktu reaksi
antara Pt dan APDC yang diterapkan adalah 5 menit.

54

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Hasil dan Pembahasan


Lima tingkat konsentrasi standar ditambahkan MIBK
sebanyak 5 ml sebagai pelarut organik untuk
kemudian melalui tahap ekstraksi. Reaksi ekstraksi
memerlukan waktu 2 menit antara larutan dengan
MIBK dalam corong pemisah, hal ini juga diterapkan
pada skema pertama penelitian ini. Setelah ekstraksi
selesai maka akan terbentuk dua fasa, yakni fasa
organik (bersama MIBK) dan fasa air. Kedua fasa
tersebut kemudian diperiksa absorbansi dan
konsentrasi Pt-nya menggunakan AAS. Awalnya,
penulis menggunakan AAS flame dengan lima level
standar alat, yakni: 0 (blank), 2,5, 5, 10, dan 20
dala, satuan ppm dimana hasilnya terangkum pada
Tabel 1. (C= konsentrasi pembacaan alat). Pada
tabel tersebut terlihat kepekaan metode flame untuk
Pt sangat rendah. Hasil pembacaan konsentrasi 20
ppm, absorban hanya 0,0083, sehingga hasil
analisis meragukan. Konsentrasi terukur dari Pt yang
tidak terekstrak untuk yang asalnya 0,1 ppm pada
pembacaan alat sangat tinggi yaitu sekitar 6 ppm.
Sedangkan contoh yang asalnya 10 ppm memiliki
hasil analisa sisa tingga, yakni 5 ppm. Karena hasil
yang meragukan akibat kepekaan yang tidak
memadai, pengujian conto diulang menggunakan
Grafit Furnace- AAS dan menggunakan enam buah
level standar alat, yaitu: 0, 100, 200, 400, 600 dan
800 dalam satuan ppb.
Hasil analisis Pt dalam fasa air yang tidak terekstrak
pada Tabel 2, menunjukkan presisi rendah. Larutan
yang mulanya 0,1 ppm yang tertinggal antara 0,72
s.d. 0,12 ppm, sedangkan yang asalnya 10 ppm
Tabel 1. Hasil analisa Pt: fasa air, standar berkonsentrasi tinggi (AAS Ptflame).

yang tertinggal antara 0 s.d. 0,05 ppm. Hasil ini


memperlihatkan larutan masih mengandung matrik
yang mengganggu, diperkirakan berasal dari APDC.
Hasil pengukuran pada fasa air tidak meyakinkan
karena ada hasil yang tersisa jauh lebih besar dari
yang asalnya. Hasil analisis Pt dalam yang terekstrak
ke fasa MIBK menunjukkan bahwa pada contoh
berkonsenrasi awal 0,1 ppm yang terekstrak antara
20%, sedangkan yang asalnya 10 ppm hanya
mendapat nilai antara 14 15 % dari keadaan awal.
Ini menunjukkan proses ekstraksi menggunakan
skema dari literatur tidak berlangsung baik dalam
studi ini, maka perlu dilakukan percobaan untuk
mendapatkan parameter proses ekstraksi yang
optimum. Langkah optimasi selanjutnya diambil
dengan memvariasikan waktu dan temperatur reaksi.
Setelah mendapatkan hasil pembacaan yang
terdapat pada Tabel 2., studi ini bermaksud
mengoptimalkan ekstraksi dengan variasi temperatur
reaksi dan waktu reaksi. Dapat dilihat dari hasil
pembacaan alat bahwa skema awal dengan lama
reaksi 5 menit tidak menunjukkan hasil analisa yang
baik, sehingga skema berikutnya menggunakan
waktu reaksi selama setengah jam. Penulis pada
tahap ini juga beranggapan bahwa hasil yang jauh
dari angka yang diharapkan ini disebabkan oleh
temperatur reaksi. Oleh karena itu, menggunakan
waktu reaksi 30 menit, temperaturnya juga
divariasikan menjadi temperatur ruangan dan 85oC.
Sebagaimana skema pertama, pada variasi dua
parameter ini, kedua fasa organik dam air diukur
dengan AAS Graphit sesuai skema pertama. Keluaran
alat pada skema kedua dapat diamati pada Tabel 3.
Data percobaan pengujian dengan variasi waktu dan
temperatur menunjukkan bahwa Pt yang tidak
terekstrak pada perlakuan temperatur kamar dan
waktu 30 menit memberikan hasil yang meragukan,
satu wadah tidak ada yang tertinggal sedangkan yang
lainnya lebih besar dari yang ditambahkan.
Pernyataan ini dapat dicermati terhadap nilai minus
pada contoh pertama dengan kondisi temperatur
kamar, dan nilai positif pada analisa duplo-nya. Hal
yang tidak jauh berbeda terjadi pada perlakuan suhu
85o C dengan waktu 30 menit, dimana analisis
dalam fasa air terganggu oleh matrik yang ada dalam
latutan, yang seperti pada skema sebelumnya
diperkirakan berasal dari APDC. Sehingga, untuk
melihat keberhasilan ekstraksi hanya akan dilihat
dari Pt yang yang terekstrak ke fasa MIBK.

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

55

Tabel 2. Hasil Analisis Pt: AAS Pt-grafit. waktu reaksi 5 menit,

Tabel 3. Hasil Analisis Pt 100 ppb: AAS Pt-grafit, waktu reaksi 30 menit

Platinum yang terekstrak ke dalam MIBK untuk


perlakuan suhu kamar dan waktu reaksi APDC dengan
Pt selama 30 menit memperlihatkan jumlah sedikit
lebih besar dibandingkan dengan yang ditambahkan,
sehingga recovery menjadi 130%. Pada sisi lain,
dengan penerapan temperatur 85o C dan waktu 30
menit memperlihatkan yang terekstrak sekitar 60%.
Ragam pembacaan alat ini menunjukkan bahwa
temperatur kamar merupakan keadaan operasi

optimal, dimana waktu reaksi yang terbaik adalah


selama 60 menit lebih baik pada 30 menit. Pada tahap
ini penulis tidak terlalu menitik beratkan masalah
terhadap rentang recovery, namun lebih kepada
keberhasilan proses ektraksi dengan nilai mendekati
100%.Beberapa peneliti terdahulu mengungkapkan
bahwa terdapat masalah yang harus diselesaikan
ketika analisa PGM menggunakan AAS maupun ICPAES (Yoon drr., 2003; dan Borisov drr., 1997).

56

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Pada penelitian ini permasalahan yang ditemui pada


rangkaian skema sebelumnya dicoba dipecahkan
dengan memperlebar variasi waktu reaksi. Hasil
pengukuran Pt dengan variasi waktu selanjutnya ini
terangkai pada Tabel 4. Penulis hanya memilih
rentang reaksi selama 30, 45, dan 60 menit. Lama
reaksi yang lebih dari satu jam tidak dicobakan
karena dinilai tidak efektif dari sisi kecepatan analisa.
Rangkaian variasi waktu ini menggunakan faktor lain
dengan nilai yang sama dengan yang sebelumnya.
Tiga buah variasi waktu tidak menunjukkan bahwa
semakin lama waktu reaksi akan menaikkan nilai
absorbansi, begitu pula sebaliknya. Namun data
tersebut memperlihatkan bahwa waktu reaksi 60
menit adalah optimal mengacu kepada nilai
absorbansi yang paling stabil.
Tabel 4. Absorban standar Pt 100 ppb dengan variasi waktu
reaksi APDC-MIBK

Tingkat keasaman terbaik menjadi objek penelitian


berikutnya. Optimasi pH ini dilakukan dengan
menggunakan temperatur dan waktu operasi terbaik
yang telah didapat pada skema sebelumnya, yakni
keadaan kamar dan lama reaksi 60 menit terhadap
stadard Pt 300 ppb. Variasi pH dilakukan pada
rentang 2,5 - 4,5 dengan interval 0,5. Teknik duplo
digunakan untuk melihat kestabilan nilai absorbansi
dari setiap varian. Seluruh varian berikut duplo-nya
diukur dua kali sehingga nilai absorbansi setiap opsi
pH diukur total empat kali. Ringkasan optimasi level
keasaman ini dapat terdapat pada Gambar 1.
Pengukuran menunjukkan bahwa absorbansi
tertinggi berada pada pH 3,0, namun dengan tingkat
kestabilan rendah yang secara rata-rata di bawah
absorbansi pada pH 2,5. Keadaan ini mendorong
dilakukan perbaikan kondisi berikutnya.
Ketidakpresisian optimasi pH sebelumnya
diperkirakan berkaitan dengan ketidaksempurnaan
ekstraksi. Diprediksi terjadi kebocoran pada corong
pemisah ketika proses ekstraksi berjalan. Pada

proses sebelumnya fasa MIBK diambil langsung


setelah ekstraksi berlangsung, dimana pada skema
berikutnya ekstraksi dilakukan menggunakan labu
ukur dengan penambahan aquadest hingga MIBK
berada di leher labu sebelum diambil dengan pipet
dan dianalisa dengan AAS graphit. Keadaan
temperatur kamar, waktu reaksi 60 menit
menggunakan standar Pt 300 ppb tetap
dipertahankan dengan interpal pH 0,5. Pada tahap
ini penulis mengganti opsi pH 4,5 dengan 2,0 karena
tidak terdapat kecenderungan bahwa absorbansi
bernilai tinggi pada pH yang rendah. Hasil
pengukuran kondisi ini, tertera pada Gambar 2,
meyimpulkan bahwa nilai absorbansi terbukti lebih
stabil. Skema ini menyimpulkan absorbansi terbaik
berada pada pH 2,0.
Keberhasilan suatu optimasi metoda dapat diukur
menggunakan kalibrasi. Oleh karena itu penulis
menerapkan temperatur, waktu reaksi, pH dan teknik
ekstraksi yang telah didapat terhadap beragam
konsentrasi Pt. Pengukuran dilakukan terhadap
delapan tingkat konsentrasi standar. Kalibrasi
pengukuran dengan penjagaan pH ini menunjukkan
bahwa nilai pengukuran terhadap variasi konsentrasi

Gambar 1. Perubahan nilai absorbansi terhadap variasi pH. Tampak bahwa


hasil pengukuran absorbansi belum stabil. D = duplo

Gambar 2. Pengukuran absorbansi terhadap variasi pH lanjutan. Tampak


bahwa hasil pengukuran lebih stabil. D= duplo

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

57

Gambar 3. Kurva absorbansi ekstraksi Pt pada pH 2,0, temperatur kamar, dan waktu reaksi
60 menit. R2 didapat = 0,9766

Pt cukup stabil, seperti dapat diamati pada Gambar


3, dengan faktor yang mendekati satu
(R2=0,9749).
Kesimpulan
Studi ini menyimpulkan bahwa proses ekstraksi pada
kondisi yang dinyatakan optimum pada literatur
belum dapat memberikan hasil yang diharapkan.
Pada kondisi tersebut, Pt memang dapat terekstrak
namun dengan recovery kecil, sekitar 15%. Studi ini
telah mendapatkan keadaan ekstraksi terbaik proses
ekstraksi Pt dengan APDC-MIBK melalui optimasi
temperatur, waktu dan pH saat ekstraksi. Temperatur
terbaik diperoleh pada keadaan kamar dengan lama
reaksi 60 menit. Pencarian pH terbaik bahkan
dilakukan dua tahap, dengan pH optimum pada 2,0
yang terus dijaga saat penambahan APDC.
Pencegahan kebocoran saat ekstraksi dapat diatasi
dengan penggunaan labu ukur. Semua kondisi
tersebut telah menunjukkan stabilitas dan tingkat
kalibrasi yang sangat baik.

Studi ini dilakukan terhadap contoh yang tidak


memiliki kandungan logam tinggi seperti pada
matriks air maupun katalis berkadar logam rendah.
Pada bidang geologi Pt juga banyak terdapat pada
Saprolit atau bijih tembaga yang tentu berkadar
logam berat lebih tinggi. Penelitian dapat dilanjutkan
kepada selektifitas APDC terhadap logam berat selain
Platinum. Akan sangat berharga bila hasil tulisan ini
dapat dicobakan ketangguhannya di laboratorium
lain hingga dapat ditetapkan sebagai standar
pengujian nasional. Karya-karya ini dan berikutnya
dapat dimanfaatkan pada eksplorasi, eksploitasi,
maupun pemisahan logam mulia khususnya Pt.
Ucapan Terima Kasih
Penulis ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dengan selsainya paper ini.
Terimakasih kepada Pak Usep, Bu Erna, Deni, dan
Erik telah banyak membantu pada proses preparasi.
Indah dan Citra telah meluangkan waktu dalam
administrasi penulisan karya ini. Juga kepada
seluruh personal yang tidak dapat disebutkan satu
per satu.

Acuan
Abu-Surrah, A.S., & Kettunen, M. 2006. Platinum Group Antitumor Chemistry: Design and development of New
Anticancer Drugs Complementary to Cisplatin. Current Medicinal Chemistry, v.13: 1337-1357.
Bashour, I.I., & Sayegh, A.H. 2007. Methods of Analysis for Soils of Arid and Semi-arid Regions. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome
Balcerzak, M. 2002. Sample Digestion Methods for the Determination of Traces of Precious Metals by
Spectrometric Techniques. Analytical Sciences, v.18: 737-750
Beaty, R.D., & Kerber, J.D. 1993. Concepts, Instrumentation and Techniques in Atomic Absorption
Spectrophotometry. 2nd ed. The Perkin-Elmer Corporation, Norwalk, CT, Amerika Serikat.

58

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

Bond, G.C. 2000. Relativistic Phenomena in the Chemistry of the Platinum Group Metals. Effects on
Coordination and Chemisorption in Homogenous and Heterogeneous Catalys. Platinum Metals Review,
v.44: 146-155.
Borisov, O. V., Coleman, D. M., Kristine A., Oudsema, dan Carter III, R. O. 1997. Determination of Platinum,
Palladium, Rhodium and Titanium in Automotive Catalytic Converters Using Inductively Coupled Plasma
Mass Spectrometry with Liquid nebulization. Journal of Analalytical and Atomic Spectrometry, v.12:
239-246
Cantle, J.E. 1982. Atomic Absorption Spectrometry. Elsevier Scientific Publishing Company, AmsterdamOxford-New York. 440.
Dean, J.A. 1999. Lange's Handbook of Chemistry. 15th ed. McGraw-Hill, Inc., Amerika Serikat
Dubiella-Jackowska, A., Polkowska, Z., & Namienik, J. 2007. Platinum Group Elements: A Challenge for
Environmental Analytics. Polish Journal of Environmental Study, v.16: 329-345.
Irzon, R., Kurnia, Anggawinata, U.R., Ernawati, & Andriani, S. 2007. Metoda Fire Assay ICP-MS untuk
Identifikasi Unsur Logam Mulia (Au, Pt, dan Pd) di Daerah Lombok Tengah dan Sekitarnya, Nusa
Tenggara Barat. Laporan Internal, Pusat Survei Geologi.
Irzon, R., Kurnia, & Siregar, D.A. 2012. Optimasi Metoda AAS dengan Variasi Pelarut, Gas Oksidator dan Faktor
Pengenceran Pada Analisa Mg dalam Matriks Pasir Besi. Proceeding Jaringan Kerjasama Ikatan Kimia
Indonesia, Yogyakarta - Desember 2012.
Irzon, R., & Kurnia. 2013. Adaptasi SNI 13-3608-1994 Terhadap Pengukuran Contoh Berkadar Besi Tinggi.
Proceeding dan Pertemuan Ilmiah Stadardisasi, Mei 2013
Lajunen, L.H.J. & Peramaki, P. 2004. Spectrochemical Analysis by Atomic Absorption and Emision. 2nd ed.,
Finland. 332.
Siregar, D.A., Kurnia & Irzon, R. 2012. Pengembangan Metode Analisis Zn Terhadap SNI 13-6974-2003
(Analisis Cu,Pb, Zn, Fe, Mn dan Cd Dalam Batuan Sulfida). Proceeding dan Pertemuan Ilmiah
Stadardisasi, November 2012
Sracek, O., Choquettea, M., Gelinasa, P., Lefebvreb, R., Nicholson, & R..V. 2004. Geochemical
Characterization of Acid Mine Drainage from a Waste Rock Pile, Mine Doyon, Quebec, Canada. Journal
of Contaminant Hydrology, v.69: 45 71.
Wilkipedia. (2013) Platiunum. Retrieved March 10th , 2013 from http://en.wikipedia.org/wiki/Platinum_group
Yoon, H., Park, C., Yoon, C., Hong, J., Kim, N., & Han, K. (2004). Quantitative Analysis of Platinum Group
Metals Using X-Ray Fluorescence Spectrometry. SME Annual Meeting, Feb. 23-25, Denver, Colorado.
Yoon, H., Yoon, C., Park, C.S., Ko, T., Kim, N.S., & Han, K.H. (2003). Quantitative Analysis of PGM using ICPMS, ICP-AES, AAS, and XRF. SME Annual Meeting, Feb. 24-27 Cincinnati, Ohio.

Anda mungkin juga menyukai