Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral Vol. 14 No. 1 November 2013 PDF
Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral Vol. 14 No. 1 November 2013 PDF
1 November 2013
Abstrak
Cekungan Timor termasuk kedalam kategori semi mature yang memiliki potensi hidrokarbon, namun kompleksitas
kondisi geologi dan banyaknya konsep yang berbeda-beda merupakan salah satu penyebab stratigrafi di cekungan ini sulit
dimengerti. Penelitian stratigrafi rinci untuk mengidentifikasi fasies dan sub fasies lingkungan pada batuan berumur
Perem-Trias dilakukan di daerah Kekneno, Nenas, Cekungan Timor untuk memberikan pandangan baru mengenai
stratigrafi, sedimentologi dan fasies lingkungan pengendapan pada batuan berumur Perem-Trias di cekungan ini. Hasil
analisis litofasies menunjukkan bahwa batuan yang berumur Perem di daerah Kekneno diendapkan pada fasies lereng
bagian bawah sampai atas (lower to upper slope facies), sedangkan batuan berumur Trias umumnya diendapkan sebagai
fasies sistem kipas luar (outer fan system facies), fasies paparan luar samping lereng atas (outer shelf to upper slope
facies), fasies sistem kipas tengah (middle fan system facies), dan fasies sistem kipas dalam (inner fan system facies).
Endapan-endapan alur (channel) dan pematang (levee) pada batuan berumur Trias berpotensi menjadi target play
hidrokarbon.
Kata Kunci: fasies, kipas bawah laut, batuan Perem-Trias, Cekungan Timor
Abstract
The Timor Basin is one of the semi-mature basin in the Eastern Indonesia which has a greatest hydrocarbon potential,
however the geological conditions are poorly understood due to the complexity of geological condition and overwhelming
of many different geological concept. Detailed stratigraphic section were performed to define facies and depositional
environment of the Permian-Triassic rocks in the Kekneno area, Nenas, (West) Timor basin. The result of the facies
analysis show that Permian rocks were deposited on the middle fan and lower to upper slope facies. The Triassic rocks
deposited on the outer fan, outer shelf to upper slope, middle fan and inner fan facies. The sub-marine channel and
levee complex in the Triassic rocks would be a good potential as hydrocarbon play target in the (West) Timor Basin.
Keywords: facies, sub marine fan, Permian-Triassic rocks, Timor Basin
Pendahuluan
Cekungan Timor merupakan salah satu cekungan
semi mature, yaitu cekungan yang dianggap belum
menghasilkan hidrokarbon di kawasan Indonesia
Timur. Kondisi geologi yang sangat kompleks menjadi
salah satu penyebab kurang menariknya kegiatan
eksplorasi migas di Cekungan Timor. Beberapa
peneliti terdahulu telah melakukan penelitian di
Cekungan Timor, seperti Sawyer drr. (1993), Sani drr.
(1995), dan Charlton (2001). Sawyer drr. (1993)
Naskah diterima :
Revisi terakhir :
29 Juli
2013
11 November 2013
pengendapan.
Penyelidikan lapangan dilakukan dengan
mengumpulkan data stratigrafi pada setiap singkapan
batuan, menyusun stratigrafi rinci pada lintasan
Sungai Lafunup dan Sungai Tunsif, serta membuat
penampang stratigrafi terukur secara lengkap. Dari
penampang stratigrafi lengkap tersebut dapat
dilakukan analisis litofasies dan analisis (fasies)
lingkungan pengendapan pada setiap lintasan.
Geologi Regional Timor Barat
Pulau Timor terletak di sepanjang arah barat hingga
timur membentuk sabuk kolisi linier yang disebut
Busur Banda (Sawyer drr., 1993). Busur Banda
berbentuk tapal kuda, yang membentang sekitar
2000 km melalui kepulauan Tanimbar, Kai, Seram
dan menghilang di sekitar pulau Buru (Sani drr.
1995). Pembentukan Pulau Timor dipengaruhi oleh
adanya Busur Banda yang merupakan zona
pertemuan antara 3 lempeng utama (Gambar 1)
yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan
Lempeng Eurasia (Hamilton, 1979).
Stratigrafi Regional
Menurut Sawyer drr. (1993), secara umum
litostratigrafi di Timor dapat dibagi menjadi tiga
sikuen yaitu Sikuen Kekneno, Sikuen Kolbano, dan
Sikuen Viqueque (Gambar 2). Dalam tulisan ini
hanya akan dijabarkan stratigrafi batuan pada Sikuen
Kekneno yang berumur Perem-Trias sebagai berikut:
Formasi Maubisse
Metodologi
Penelitian difokuskan di daerah Kekneno, yaitu di
daerah Nenas dan sekitarnya, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Lokasi
penelitian berada sekitar 130 km ke arah timur laut
dari Kota Kupang (Gambar 3). Luas wilayah penelitian
adalah 125 km2. Untuk mencapai lokasi penelitian dari
pusat Kota Kupang menuju ke Kota Soe, dilanjutkan
perjalanan dari Kota Soe menuju Desa Nenas
menggunakan mobil 4WD selama 2 hari perjalanan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
metode, yaitu metode observasi dan metode analisis.
Metode observasi terbagi menjadi dua, yaitu
observasi pendahuluan dan observasi rinci untuk
memperoleh data geologi lapangan. Sedangkan
metode analisis mencakup analisis stratigrafi,
struktur geologi, dan (fasies) lingkungan
Gambar 2 Kolom stratigrafi Timor dan pembagian sikuen (Sawyer drr., 1993)
Gambar 3 Lokasi penelitian yang meliputi lintasan Sungai Tunsif dan Lapunuf, daerah Nenas dan sekitarnya
Formasi Atahoc
Formasi ini berumur Perem Awal berdasarkan umur
dari fosil Ammonite. Di Timor Barat, Formasi Atahoc
tidak banyak tersingkap, yang muncul hanya di
sepanjang Sungai Noil Laka dan di wilayah Nenas
pada barisan perbukitan utara. Litologi dominan
yang menyusun Formasi Atahoc adalah batupasir
halus arkose dengan ciri-ciri sortasi sedang,
komposisi mineralnya terdiri atas kuarsa
monokristalin, felspar, plagioklas, serta terdapat
fragmen filit dan fragmen batuan dari Kompleks
Mutis atau Lolotoi. Kontak basal Formasi Atahoc
tidak terekam di Timor Barat. Bird & Cook (1991)
menggambarkan kontak bagian atas yang terdiri dari
basal amigdaloidal antara Formasi Atahoc dan di
atasnya Formasi Cribas.
& Cook (1991) menggambarkan kontak bagian atas
yang terdiri dari basal amigdaloidal antara Formasi
Atahoc dan di atasnya (Formasi Cribas).
Formasi Cribas
Klasifikasi umur Formasi Cribas pada umur Perem
Awal telah ditentukan oleh Audley-Charles (1968) di
Timor Timur yang kemudian diperluas di Timor Barat
oleh Bird & Cook (1991) yang membagi Formasi ini
menjadi beberapa fasies batuan yang berurutan
secara lateral, dengan batas antar lapisan yang jelas
yang terdiri dari batupasir aneka warna, batulanau,
serpih hitam, dan batugamping bioklastika.
Ketebalannya diperkirakan lebih dari 300 m. Hasil
analisis petrografi dari batupasir (Sawyer drr., 1993)
mempunyai ciri-ciri ukuran butirnya halus hingga
Gambar 4(A) Penampang stratigrafi bagian bawah dari Formasi Atahoc yang menunjukkan thickening upward sequence dan normal
gradded bedding, (B) Foto lapangan yang menunjukkan thickening upward sequence dan struktur sedimen, (C) Model
lingkungan pengendapan dari Fasies Suprafan Lobe Deposit (Lokasi : STA 12 AHP 104 di Sungai Tunsif, Nenas)
10
Gambar 5 (A) Penampang stratigrafi bagian atas dari Formasi Atahoc yang menunjukkan thinning upward sequence dan fining
upward, (B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi, pola thinning upward sequence dan struktur sedimen, (C) Model
lingkungan pengendapan dari Fasies middle fan channel deposit (Lokasi : STA 12 AHP 104 di Sungai Tunsif, Nenas)
Gambar 6 (A) Penampang stratigrafi bagian atas dari Formasi Cribas yang menunjukkan thinning dan thickening upward
sequence, (B) Foto singkapan dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari fasies lower to upper
slope deposit (Lokasi : Sungai Tunsif, Nenas)
11
12
Gambar 7 (A) Penampang stratigrafi Formasi Niof yang menunjukkan dominasi litologi serpih dengan sisipan batupasir halus,
(B) Foto singkapan dan beberapa struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies Outer Fan System
Deposit (Lokasi: STA 12 AHP 102 di Sungai Tunsif, Nenas)
13
Gambar 8 (A) Penampang stratigrafi Formasi Aitutu di daerah Kekneno, menunjukkan litologi batugamping wackstone
yang menipis ke atas (thinning upward), (B) Foto singkapan yang menunjukkan litologi dan makrofosil, (C)
Model lingkungan pengendapan dari Fasies outer shelf to upper slope deposit (Lokasi: 12 AHP 107 di
Sungai Besi, Nenas)
14
Gambar 9 (A) Foto singkapan dan Penampang stratigrafi bagian bawah dari Formasi Babulu, menunjukkan thickening upward,
(B) Foto lapangan yang menunjukkan litologi dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari Fasies
Middle Fan System Deposit (Lokasi: 12 AHP 109 di Sungai Lapunuf, Daerah Nenas)
15
Gambar 10 (A) Penampang stratigrafi Formasi Babulu yang menunjukkan fining upward dan thinning upward, (B) Foto
lapangan yang menunjukkan litologi dan struktur sedimen, (C) Model lingkungan pengendapan dari
Fasies Inner Fan System Deposit
16
n
Batuan
17
Gambar 11 Model fasies lingkungan pengendapan batuan berumur Perm-Trias dari setiap fasies yang dijumpai
n
Endapan-endapan channel dan leveed pada
Acuan
Audley-Charles, M.G., Carter, D.J., 1968. Paleogeographical significance of some aspects of Paleogene and
Early Neogene Stratigraphy and tectonics of the Timor Sea region. Paleogeography, Paleoclimatology,
Paleoecology, 11:247-264.
Bird, P.R and Cook, S.E., 1991. Permo-Trias Succession of the Kekneno Area, West Timor: Implication for
Paleogeography and Basin Evolution. Journal of Southeast Asian Earth Sciences 6(3/4):359-371.
Bouma, A.H., 1962. Sedimentology of some flysch deposits. Amsterdam, Elsevier, 168 p.
Charlton, T.R., 2001. The Perm of Timor: stratigraphy, palaeontology and palaeogeography. Journal of Asian
Earth Science 20 :719-774.
Charton.T.R.,2001. The Petroleum Potential of West Timor. Proocedings of the Indonesian Association 28,301317, Indonesia.
Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. United States Geological Survey, p.1079.
18
King, P.R., Browne, G.H. and Slatt, R.M. 1994. Sequence architecture of exposed late Miocene basin floor fan
and channellevee complexes (Mount Messenger Formation), Taranaki Basin, New Zealand. In:Eds P.
Weimer, A.H. Bouma and B.F. Perkins Submarine Fans and Turbidite Systems; Sequence Stratigraphy,
Reservoir Architecture and Production Characteristics, Gulf of Mexico and International,pp. 177192.
Nichols, G., 2009. Sedimentology and Stratigraphy Second Edition. Wiley-Blackwell by a John Wiley & Sons,
Ltd, UK.
Permana, A.K., 2012. Laporan Akhir Penelitian Stratigrafi Cekungan Timor Kelompok Kerja Survei Dinamika
Cekungan Tahun Anggaran 2012. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber
Daya Mineral, Bandung.
Sani, K., Jacobson, I., Sigit, R., 1995. The Thin-Skinned Thrust Structures of Timor. Proceedings of the
Indonesian Petroleum Association 24 Annual Convention 24, 277-193, Indonesia.
Sawyer, R.K., Sani, K., Brown, S., 1993. Stratigraphy and Sedimentology of West Timor, Indonesia. Proccedings
of the Indonesian Petroleum Association 22:1-20, Indonesia.
Shanmugam, G., 2005. Deep-Water Processes and Facies Models: Implications For Sandstone Petroleum
Reservoirs. Department of Earth and Environmental Sciences The University of Texas, U.S.A.
Walker, R. G., dan James, N. P., 1992. Facies Model, Response to Sea Level Change. Geological Association of
Canada, Kanada.
19
S. Bachri
Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122
Abstrak
Berdasarkan umurnya, cekungan sedimen di Indonesia dapat dibedakan menjadi cekungan pra-Tersier, cekungan
berumur menerus pra-Tersier Tersier, dan cekungan Tersier. Indonesia bagian barat didominasi oleh cekungan Tersier,
sementara Indonesia bagian timur didominasi oleh cekungan yang berkembang sejak Zaman pra-Tersier sampai Tersier.
Baik berdasarkan umurnya maupun berdasarkan pola sebarannya, keberadaan cekungan cekungan tersebut
merepresantasikan pola perkembangan tektonik. Di wilayah bagian barat Indonesia pola sebaran cekungan berpola semi
konsentris tampak mendominasi wilayah ini, dan ini dikontrol oleh evolusi sistem tunjaman. Sementara di bagian timur
Indonesia hanya di wilayah Busur Banda dicirikan oleh sebaran cekungan berpola semi konsentris, dan selebihnya
umumnya berpola acak, kecuali daerah yang dipengaruhi pemekaran dan tunjaman selain Busur Banda. Sebaran berpola
acak ini terutama dikontrol oleh keberadaan sesar-sesar mendatar transform yang menjadi mediasi transportasi benua
renik yang berasal dari Australia.
Kata kunci: Tunjaman, sesar transform, pemekaran, cekungan sedimen
Abstact
On the basis on the age, sedimentary basins in Indonesia can be classified into Tertiary, pre-Tertiary, and pre-Tertiary
continues to Tertiary basins. Western Indonesia is dominated by Tertiary basins, whilst the eastern Indonesia is
occupied largely by basins which have developed since pre-Tertiary time. Either based on the age or the distribution
pattern, the occurrence of the basins represent tectonic evolution pattern. The western Indonesia is dominated by
basins of semi-concentric pattern which represent evolutions of the subduction system. Meanwhile, in the eastern
Indonesia only the Banda Arc which is characterized by basins of semi-concentric pattern, and the rest is largely
occupied by basins which are distributed randomly, excepted in the areas which are affected by rifting and subduction
excluding the Banda Arc. The random distribution is mainly controlled by the occurrence of major lateral faults which
have an important role in transporting micro-continents derived from Australia.
Key words: Subduction, transform fault, rifting, sedimentary basin.
Pendahuluan
Konvergensi lempeng-lempeng Hindia-Australia,
Pasifik dan Eurasia telah menyebabkan terbentuknya
beberapa busur kepulauan di Indonesia. Proses
konvergensi antar lempeng yang berlangsung terus
hingga kini mempengaruhi evolusi busur-busur
tersebut, seperti adanya rotasi busur, pembentukan
struktur regional, serta pembentukan cekungan
sedimen.
Di Indonesia dijumpai 128 cekungan sedimen,
yang
berdasarkan umurnya dapat dibedakan
menjadi cekungan Tersier, cekungan pra-Tersier, dan
Naskah diterima :
Revisi terakhir :
13 Februari 2013
05 Juni
2013
20
21
22
Gambar 4. Sebaran cekungan sedimen di Indonesia bagian barat membentuk pola semi konsentris.
23
Gambar 5. Peta tataan tektonik Busur Banda diikuti sebaran cekungan sedimen berpola semi-konsentris (lihat Gambar 1).
Gambar 6. Sebaran cekungan sedimen di Selat Makassar yang dikontrol oleh tektonik bukaan sebagaimana ditunjukkan kemiripan batas barat
Sulawesi Barat dengan batas timur Paparan Paternoster. Citra DEM diambil dari Becker dan Sandwell (2004).
24
Diskusi
Cekungan sumperimposed di Busur Sunda
Dari pola sebaran cekungan sedimen di Sumatera
bagian tengah barat, menyambung sampai Jawa
bagian utara, Laut Jawa hingga Kalimantan barat
daya, tampak adanya sistem tunjaman yang
berkembang sejak Kapur Akhir Perem Awal hingga
Kapur Akhir Tersier Awal. Namun, cekungan
sedimen Pra-Tersier yang dijumpai di wilayah ini
hanya sekitar 6 buah dan berukuran relatif kecil
dibandingkan yang berumur Tersier. Sementara
cekungan sedimen Tersier mendominasi dan
bersama-sama cekungan Pra-Tersier membentuk
pola semi konsentris dengan arah panjang cekungan
mengikuti arah sistem tunjaman.
Walaupun di wilayah ini didominasi cekungan
Tersier, bahkan di Laut Jawa bagian barat tidak
dijumpai cekungan Pra-Tesier, namun diperkirakan
jumlah cekungan Pra-Tersier sebenarnya lebih
kurang sama dengan cekungan Tersier. Di lajur-lajur
yang dilewati sistem tunjaman Pra-Tersier diduga
terbentuk cekungan sejak Jaman Pra-Tersier dan
berkembang terus hingga Tersier. Namun, cekungan
Pra-Tersier di sini tertutupi (superimposed) oleh
cekungan Tersier hingga yang terpetakan hanya
cekungan Tersier.
Pada bagain lain dari wilayah Busur Sunda, yaitu di
selatan Sumatera sampai selatan Jawa dijumpai
sistem tunjaman linier, yang merupakan sistem
tunjaman Tersier dan Risen. Pada saat itu, 40 jtl
(Eosen Akhir) terjadi perubahan arah tunjaman, dari
yang bersifat semi konsentris menjadi linier berarah
hampir barat timur (Katili, 1989). Cekungancekungan yang terbentuk terkait dengan sistem
tunjaman Tersier ini diyakini murni merupakan
ceungan Tersier, tidak ada cekungan Pra-Tersier yang
tertutupi.
Lain halnya di Kalimantan Utara, terdapat satu
cekungan sedimen Pra-Tersier dan satu cekungan
Tersier yang relatif besar (Gambar 1), yang berproros
panjang utara selatan. Melihat bentuk dan arah
panjang cekungan, ada kemungkinan cekungan ini
terbentuk berhubungan dengan sistem tunjaman di
sebelah timur Kalimantan, namun hal ini belum
diketahui dengan pasti.
25
26
Kesimpulan
Keberadaan sistem tunjaman, sesar transform
maupun peristiwa pemekaran telah mempengaruhi
pola sebaran cekungan sedimen di Indonesia.
Cekungan cekungan Tersier yang berpola semikonsentris di bagian barat Busur Sunda sampai
meliputi Kalimantan baratdaya diyakini merupakan
cekungan yang tertindihkan di atas cekungan praTersier, dan keduanya merupakan cekungan otokton.
Sementara cekungan cekungan Tersier di selatan
Sumatera Jawa, Selat Makassar, sekitar lengan
utara Sulawesi dan beberapa di wilayah Papua
diyakini terbentuk pada Tersier, tidak didahului
pembentukan cekungan pra-Tersier. Cekungan praTersier di Indonesia bagian timur merupakan
cekungan alokton yang berasal dari lempeng
Australia, sementara cekungan pra-Tersier Tersier
mulanya terbentuk di Australia, dan berlanjut
pengendapannya selama Tersier setelah memasuki
wilayah Indonesia.
Acuan
Bachri, S., 2012. Fase kompresi di Selat Makassar berdasarkan data geologi daratan, seismic laut dan citra
satelit. Jurnal Sumber Daya Geologi, vol.22, No. 3, 137-144.
Badan Geologi, 2009. Peta Cekungan Sedimen Indonesia. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung.
Becker, J. J., and Sandwell, D.T. 2004. Global topography. Scripps Institution of Oceanography,
http://topex.ucsd.edu/www_html/srtm30_plus.html.
Ben-Avraham, Z. & Uyeda, S., 1973. The evolution of the China Basin and the Mesozoic Paleogeography of
Borneo. Earth Planet Sci. Lett., 18, 365-376.
Bergman, S.C., Coffield , D.Q., Talbot, J.P. & Garrad, R.A., 1996. The Late Tertiary tectonic and magmatic
evolution of S.W. Sulawesi and the Makassar Strait: Evidence for Miocene continental collision. From:
Hall,R. & Blundel (eds), Tectonic Evolution of S.E. Asia. Geological Society.
Chambers, J.L.C. and Dalley, T., 1995. A tectonic model for the onshore Kutai Basin, East Kalimantan, based on
integrated Geological and geophysical interpretation. Proceedings Indonesian Petroleum Association,
24th Annual Convention, Jakarta, I, 111-130.
Daly, M., Hopper, B.G. & Smith, D.G., 1986. Reconstruction of movements of major plates in SE Asia, Proc. B.P.
Workshop on Eastern Indonesia (unpub.)
Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R., Blundell, D. J.(eds) Tectonic Evolution of
Southeast Asia. Geological Society of London Special Publication, 106,153-184.
Guntoro, A., 1999. The formation of the Makassar Strait and the separation between SE Kalimantan and SW
Sulawesi. Journal of Asian Earth Sciences, 17, p. 79-98.
Katili, JA., 1975, Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs, Tectonophysics, 26, 165-188.
Katili, J, 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics, 45, 289322.
Katili, J, 1989. Evolution of the southeast Asian Arc complex. Geologi Indonesia 12, 113-143.
27
Moss, S. J., Chambers, J., Cloke, I., Carter, A., Satria, D., Ali, J. R., & Baker, S.,1997. New observation on the
sedimentary and tectonic evolution of theTertiary Kutai Basin. In: Fraser, A. J., Matthews, S. J., and
Murphy, R.W. (eds) Petroleum Geology of Southeast Asia. Geological Society of London Special
Publication, 126, 395-416.
Simandjuntak, T.O. & Barber, A.J., 1996. Contrasting tectonic styles in the Neogen Orogenic Belt of Indonesia. In
R. Hall & D. Bundell (eds). Tectonic evolution of Southeast Asia, Geol. Soc. London, Special Publication ,
106, 185-201.
Situmorang, B. 1982. The formation of the Makassar Basin as determined fromsubsidence curves. Proceedings
Indonesian Petroleum Association, 11thAnnual Convention, 83-108.
Puspita, R.D., Hall. R. & Elders, C.F., 2005. Structural styles of the offshore West Sulawesi Fold Belt, North
Makassar Strait, Indonesia. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 11th Annual Convention &
Exhibition, 519-542.
Tapponier P., G. Peltzer, A. Y. Le Dain & R. Armijo, 1982, Propagating extrusiontectonics in Asia: New insights
from simple experiments with plasticine. Geology, Vol. IO, 611-616.
29
Abstrak
Anomali gayaberat di daerah Banjarmasin dan sekitarnya dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: anomali
gayaberat tinggi dengan kisaran anomali 45 mGal hingga 75 mGal ditafsirkan sebagai Tinggian Meratus, anomali
gayaberat sedang dengan kisaran anomali dari 20 mGal hingga 45 mGal merupakan daerah transisi yang didominasi
oleh batuan Pratersier dan Tersier, anomali gayaberat rendah dengan kisaran anomali dari -15 mGal hingga 20 mGal
merefleksikan keberadaan cekungan sedimen Tersier. Anomali sisa menggambarkan dengan jelas sebaran subcekungan,
di sebelah timur tinggian Meratus terdapat Subcekungan Pasir dan Subcekungan Asem-asem, dan di sebelah barat
terdapat Cekungan Barito dan Subcekungan Barito Selatan, Cekungan Pambuang dan Paparan Banjarmasin. Formasi
Tanjung dengan rapat massa 2.6 gr/cm yang terdapat pada anomali sisa dengan nilai -5 mGal hingga -20 mGal,
sedangkan Formasi Warukin (Subcekungan Asem-asem) mempunyai rapat massa 2.55 gr/cm, dan pada anomali sisa
ditunjukkan dengan nilai anomali -5 mGal hingga -35 mGal.
Kata Kunci: gayaberat, batubara, Formasi Tanjung, Formasi Warukin.
Abstract
Gravity anomaly in Banjarmasin area can be grouped into 3 (three) regions are: high gravity anomalies with anomalous
range 45 mGal to 75 mGal interpreted as the Meratus High, medium gravity anomalies which range from 20 mGal to 45
mGal is of the transition dominated by distribution of pre-Tertiary and Tertiary rocks, and the low gravity anomalies with
anomalies range from -15 mGal to 20 mGal is a respon of the Tertiary sedimentary basin.The presence of the Tertiary
sedimentary basins is clearly shown from residual anomalies. In the east of the Meratus High, there are Asem Asem
and Pasir subbasins, while in the west of Meratus high seen the Barito Basin and Sub-Basin of the South Barito,
Pembuang Basin and Banjarmasin Platform. The Tanjung Formation having 2.6 gr/cm density is represented -5 mGal
to -20 mGal on residual anomalies, while the Warukin Formation having 2.55 gr/cm density on residual anomaly shows
-5 mGal to -35 mGal.
Keywords : gravity, coal, Tanjung and Warukin Formations.
Pendahuluan
Daerah Banjarmasin dan sekitarnya merupakan
salah satu daerah penghasil batubara di Indonesia.
Daerah ini dalam peta geologi dan peta anomali
gayaberat sistimatis berskala 1:250.000 termasuk
Lembar Banjarmasin. Berdasarkan peta geologi
daerah ini terdiri atas berbagai batuan, yang meliputi
batuan malihan, batuan beku dan batuan sedimen;
Naskah diterima :
Revisi terakhir :
24 Juli
2013
08 November 2013
30
Geologi Regional
Daerah penelitian disusun oleh batuan berumur Pratersier hingga Kuarter. Batuan Pratersier terdiri atas
batuan malihan, batuan ultramafik, batuan
terobosan, batuan sedimen dan batuan gunungapi,
yang berumur Jura hingga Kapur. Batuan malihan
tersusun oleh sekis dan filit; sedangkan batuan
ultramafik terdiri atas hazburgit, wehrlit, websterit,
piroksenit dan serpentinit. Berdasarkan fosil
radiolaria batuan Pratersier tersebut berumur Jura
sampai Kapur ( Sikumbang dan Heryanto,1994 ).
Batuan ultramafik dan malihan diterobos oleh
batuan beku gabro, diorit dan granit yang berumur
Kapur Awal. Batuan-batuan tersebut di atas ditindih
secara tak selaras oleh batuan sedimen Kelompok
Pitap yang berumur Kapur Akhir dan terdiri atas
Formasi Pudak, Formasi Keramayan, dan Formasi
Manunggal. Kelompok Pitap berhubungan
menjemari dengan batuan vulkanik Kelompok
Haruyan yang terdiri atas Formasi Pitanak dan
Formasi Paau.
Menurut Sikumbang dan Heryanto, (1994), batuan
Tersier terdiri atas Formasi Tanjung, Formasi Berai,
Formasi Warukin, dan Formasi Dahor. Formasi
Tanjung merupakan batuan sedimen Tersier tertua,
singkapan batuan ini terdapat di tepi barat dan timur
Tinggian Meratus yang membentang hampir utaraselatan. Formasi ini terdiri dari konglomerat,
batupasir kuarsa, batulempung dan batubara,
setempat ditemukan lensa batugamping berumur
Eosen. Selaras di atas formasi ini adalah Formasi
Berai yang terdiri atas batugamping dengan sisipan
napal dan batulempung, dengan tebal 1000 m
(Maryanto dan Sihombing, 2001). Formasi yang
menindih formasi ini secara selaras adalah Formasi
Warukin yang disusun oleh perselingan batupasir
kuarsa dan batulempung, setempat mengandung
sisipan batubara. Berdasarkan kumpulan fosil
foraminifera menunjukkan umur Miosen Awal
sampai Miosen Tengah dengan ketebalan lebih
kurang 1250 m. Formasi Dahor menindih takselaras
Formasi Warukin, dan terdiri atas batupasir kasar
berselingan dengan konglomerat dan batupasir
kuarsa, dan batulempung.
Kegiatan tektonik di daerah ini diduga telah
berlangsung sejak Jaman Jura yang menyebabkan
bercampurnya batuan ultramafik dan batuan
malihan. Pada Zaman Kapur Awal terjadi
penerobosan granit dan diorit yang mengintrusi
batuan ultramafik dan batuan malihan. Pada Akhir
31
32
Interpretasi umum
Pola anomali sisa (Gambar 3) menggambarkan
kondisi geologi lokal. Anomali sisa di daerah
penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
anomali tinggi, anomali sedang dan anomali rendah.
Anomali tinggi dengan kisaran anomali 7 mGal
hingga 30 mGal membentuk kontur berpola ellips
tersebar di sekitar Martapura dan Pelaihari, yang
mencerminkan keterdapatan batuan ultrabasa dan
batuan terobosan. Sebaran anomali tinggi
membentuk jurus umum timurlaut - baratdaya dan di
Pelaihari berarah relatif utara - selatan
yang
mencerminkan sebaran zona tinggian Meratus.
Anomali sedang dengan nilai 7 mGal hingga -3 mGal
mencerminkan daerah transisi dan ditempati oleh
batuan malihan, batuan gunungapi Pratersier dan
batuan sedimen Tersier. Zona ini dijumpai adanya
patahan yang di cerminkan oleh kontur berpola
sejajar dengan spasi antar kontur relatif rapat. Di
sebelah barat Tinggian Meratus anomali membentuk
pola bulatan-bulatan anomali yang mencerminkan
sumbu perlipatan (antiklin dan sinklin).
Anomali rendah dengan kisaran dari -3 mGal hingga
-31 mGal terdapat di sebelah barat dan sebelah
33
34
35
36
37
Keterdapatan Batubara
Kesimpulan
Acuan
Maryanto, S. dan Sihombing, T., 2001. Stratigrafi Paleogen daerah Kalimantan selatan: Kaitannya dengan
keterdapatan batubara. Publikasi Khusus No 26, hal 29 51, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Padmawidjaya, T., dan Pribadi, D., 1997. Peta Anomali Bouguer Lembar Banjarmasin, Kalimantan, Skala 1:
250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sanyoto, P., 1994. Laporan penelitian struktur dan tektonik di daerah G.Kukusan, Kalimantan Selatan. Laporan
PKIGT , Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, tidak terbit.
Sikumbang, N., dan Heryanto, R.,1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin, Sekala 1 : 250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Sumarsono, P., 1984. Evolusi tektonik daerah Meratus dan sekitarnya, Kalimantan Tenggara. Laporan tidak
terbit PPTMGB LEMIGAS.
39
Pudjo Asmoro
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi
Email : asmorogeol@gmail.com
Abstrak
Isu-isu adanya piramida Sadahurip telah merebak di media massa, elektronik dan dunia maya sejak awal tahun 2012.
Kalangan masyarakat tertentu masih percaya, walaupun telah disanggah oleh beberapa ahli geologi dan arkeologi.
Berdasarkan pandangan ilmu kegunungapian, G. Sadahurip merupakan gunung api tua yang merupakan parasit G.
Talagabodas, dan muncul di dalam bukaan kawah berarah tenggara-baratlaut. G. Sadahurip berbentuk kerucut, dan
disusun oleh aliran-aliran lava dan sebagian besar ditutupi oleh endapan jatuhan piroklastika berumur 13320 BP.
Lembah Baturahong adalah lembah dalam yang terbentuk oleh proses erosi. Bercak-bercak warna putih pada permukaan
bongkahan lava yang dianggap batu bertulis di Kp.Cicaparlebak merupakan endapan silika. Semua kenampakan tersebut
menunjukkan bahwa G. Sadahurip bukan piramida hasil budaya manusia pra sejarah, tetapi sebuah gunung api tua,
parasit G. Talagabodas yang terbentuk sebagai hasil erupsi efusif.
Kata kunci : piramida, lembah baturahong, batu bertulis, gunung api tua, Sadahurip, Garut
Abstract
The issues of existing a Sadahurip pyramid has been established in newspapers and electronic medias since early 2012.
The certain communities are still believing of it, although the geologists and archeologists contradicted. Based on the
volcanology view's, Mt. Sadahurip is an old parasitic volcano that growth in the southeast notrhwest opening crater of
Mt. Talagabodas. The Mt. Sadahurip is a cone, constructed by lava flows and almost covered by 13320 BP pyroclastic
fall deposits. The Baturahong is a deep valley located in the southeast of Mt. Sadahurip, formed by erosion processes.
The white spots on the block lava surface in Cicaparlebak village that assumed as epygraft is silicic deposits. Those all
features show that the Mt. Sadahurip is not a pyramid that had been built by pre hystoric human, but an old parasitic
volcano of Mt. Talagabodas, formed by effusive eruption.
Key words : pyramid, baturahong valley, old volcano, Sadahurip, Garut
Pendahuluan
Latar belakang
Dugaan adanya jejak kegiatan manusia prasejarah di
G. Sadahurip telah merebak di media massa, media
elektronik dan media maya sejak awal tahun 2012.
Jejak kegiatan tersebut adalah keberadaan bangunan
piramida yang terpendam di dalam G. Sadahurip.
Piramida tersebut diduga dibangun pada periode 6 10 ribuan tahun yang lalu, dan bangunan tersebut
sengaja ditimbun untuk melestarikan
keberadaannya. Fenomena bangunan piramida
tersebut pada awalnya didasarkan atas
pertimbangan supranatural dan bentuk morfologis G.
Sadahurip yang mirip dengan bangunan piramida
Naskah diterima :
Revisi terakhir :
15 Juli
2013
01 November 2013
40
Geologi Regional
Menurut Alzwar drr. (1992) bahwa G. Sadahurip
merupakan hasil erupsi gunung api muda
(G.Galunggung-Talagabodas) yang tersusun oleh
breksi gunung api, tuf dan lava andesit-basal;
sedangkan Mulyana drr. (2000) menerangkan
bahwa gunung ini menempati daerah sebelah
baratlaut G. Talagabodas, berbentuk kerucut, dengan
ketinggian
puncak +1449 m; tersusun oleh
endapan piroklastika dan leleran lava. Di bagian
selatan G. Sadahurip dilalui oleh sesar normal
berarah timurlaut baratdaya, dimana tubuh bagian
baratdaya merupakan bagian blok naik.
Hasil Interpretasi Data Inderaan Jauh
Data inderaan jauh yang digunakan berupa data citra
landsat yang ditumpang-tindihkan dengan citra
SRTM (Shuttle Radar Topographic Mapping).
Berdasarkan kenampakan citra (Gambar 3) daerah
penelitian merupakan bagian dari deretan gunung
api yang melingkar mengelilingi dataran Garut. Dari
selatan, gunung-gunung tersebut adalah G. Karacak,
ke arah timur dan ke arah utara terdapat masingmasing G. Galunggung, G. Talagabodas, G.
Eweranda dan G. Sadakeling; dan di sebelah
baratnya merupakan komplek G. Guntur.
G. Galunggung dan G. Talagabodas mempunyai
bentuk kerucut terpancung, pada tubuhnya terdapat
alur-alur air halus yang membentuk pola subradial,
dan bentuk kawah masih terlihat jelas (G.
Galunggung terbuka ke arah tenggara, dan
41
42
43
0.5
1km
0.5
1km
1750
1500
1250
1000
800
1750
1500
1250
1000
800
44
45
46
47
Bahasan
48
Gambar 16. Singkapan lava plat dan bercak putih larutan silika, lokasi Cicaparlebak
49
Acuan
Alzwar, M., Akbar, N., Bachri, S., 1992. Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa, Skala 1 :
100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Fisher, R.V., and Schmincke, H.U.,1984. Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin.
Macdonald, G. A., 1972. Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi Bandung.
Mulyana, A.R., Taufiqurrohman, R., Sasongko, Y., Suswati, Haerani, N., dan Sutawidjaja, I.S., 2000. Pemetaan
Geologi Komplek Gunungapi Talagabodas, Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat, Direktorat Vulkanologi,
Bandung.
Travis, B.R.,1955.Classification of Rocks, Quarterly of the Colorado School of Mines.
51
Abstrak
Atomic Absorption Spectrometry (AAS) merupakan salah satu perangkat yang familiar dalam pengujian kadar kimia
karena memilik kapabilitas tinggi dengan konsumsi waktu, biaya, dan tenaga yang tidak besar untuk mendapat presisi uji
yang cukup baik. Penelitian mengenai optimasi perangkat ini telah banyak dilakukan. Pusat Survei Geologi turut
melakukan studi terhadap perangkat ini untuk pengujian logam mulia, salah satunya adalah Platinum (Pt) terhadap
contoh geologi. Percobaan ekstraksi Pt menggunakan kelat Amonium Pirolidin Carbamat dan pelarut Metil Isobutil Keton
sesuai skema literatur memberikan recovery 14 - 20% yang berarti proses belum baik secara kuantitatif. Tulisan ini
mengurai standar prosedur yang sudah ada dan meneliti pengaruh variabel termperatur, waktu, dan pH ekstraksi Pt pada
beberapa konsentrasi standar sebelum diperiksakan kandungannya menggunakan AAS. Hasil percobaan menasbihkan
bahwa temperatur ekstraksi terbaik adalah pada keadaan kamar, dengan lama reaksi 60 menit antara ion Pt dan APDC.
Disimpulkan bahwa kondisi pH 2,0 merupakan tingkat keasaman terbaik. Proses ekstraksi hasil penelitian ini cocok pada
Pt dalam matrik yang tidak banyak mengandung logam lainnya seperti dalam air atau pada katalis. Pengukuran dalam
matrik berkondisi sebaliknya, seperti pada Saprolit masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait selektifitas APDC
terhadap logam berat lain. Prosedur standar ini dapat dikembangkan agar lebih tangguh untuk diterapkan pada
laboratorium manapun dan diajukan sebagai standar pengujian Pt di Indonesia
Kata Kunci: Platinum, AAS, standar, ekstraksi, kondisi reaksi.
Abstract
Atomic Absorption Spectrometry (AAS) has become a familiar technique to analys many chemical elements
composition because of low time consumption and cost effectiveness to reach good precission. There are many studies
to optimize this method. The Certer of Geology Survey of Indonesia started the study about nobel metals, including
Platinum in geological samples using AAS. Pt extration experiments using Amonium Pirolidin Carbamat and Metil
Isobutil Keton based on literature provides recovery 14-20%, means that the process was not well quantitatively. This
paper describes literature's procedure and investigated the influence of temperature, time, and pH of Pt extraction on
some standards' concentrations using AAS. The experiment showed that the best extraction was in room temperature,
with reaction time between Pt ions and APDC for 60 minutes. It was concluded that pH 2.5 was the best acidity level.
This extraction process fit on Pt in a matrix which did not contain high level of metal as in catalysts or water.
Measurement to contrary matrix, as in Saprolite require further research related to APDC selectivity against other heavy
metals. Our standard procedures could be developed to become more robust to be applied to any laboratories and
submitted as Pt measurement standard in Indonesia
Keywords: Platinum, AAS, standard, extraction, rection condition.
Pendahuluan
Ruthenium, Rhodium, Palladium, Osmiun, Iridium
dan Platinum merupakan unsur kimia yang
Naskah diterima :
Revisi terakhir :
15 Juli
16 Oktober
2013
2013
52
53
Platinum
Metoda Penelitian
54
55
Tabel 3. Hasil Analisis Pt 100 ppb: AAS Pt-grafit, waktu reaksi 30 menit
56
57
Gambar 3. Kurva absorbansi ekstraksi Pt pada pH 2,0, temperatur kamar, dan waktu reaksi
60 menit. R2 didapat = 0,9766
Acuan
Abu-Surrah, A.S., & Kettunen, M. 2006. Platinum Group Antitumor Chemistry: Design and development of New
Anticancer Drugs Complementary to Cisplatin. Current Medicinal Chemistry, v.13: 1337-1357.
Bashour, I.I., & Sayegh, A.H. 2007. Methods of Analysis for Soils of Arid and Semi-arid Regions. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome
Balcerzak, M. 2002. Sample Digestion Methods for the Determination of Traces of Precious Metals by
Spectrometric Techniques. Analytical Sciences, v.18: 737-750
Beaty, R.D., & Kerber, J.D. 1993. Concepts, Instrumentation and Techniques in Atomic Absorption
Spectrophotometry. 2nd ed. The Perkin-Elmer Corporation, Norwalk, CT, Amerika Serikat.
58
Bond, G.C. 2000. Relativistic Phenomena in the Chemistry of the Platinum Group Metals. Effects on
Coordination and Chemisorption in Homogenous and Heterogeneous Catalys. Platinum Metals Review,
v.44: 146-155.
Borisov, O. V., Coleman, D. M., Kristine A., Oudsema, dan Carter III, R. O. 1997. Determination of Platinum,
Palladium, Rhodium and Titanium in Automotive Catalytic Converters Using Inductively Coupled Plasma
Mass Spectrometry with Liquid nebulization. Journal of Analalytical and Atomic Spectrometry, v.12:
239-246
Cantle, J.E. 1982. Atomic Absorption Spectrometry. Elsevier Scientific Publishing Company, AmsterdamOxford-New York. 440.
Dean, J.A. 1999. Lange's Handbook of Chemistry. 15th ed. McGraw-Hill, Inc., Amerika Serikat
Dubiella-Jackowska, A., Polkowska, Z., & Namienik, J. 2007. Platinum Group Elements: A Challenge for
Environmental Analytics. Polish Journal of Environmental Study, v.16: 329-345.
Irzon, R., Kurnia, Anggawinata, U.R., Ernawati, & Andriani, S. 2007. Metoda Fire Assay ICP-MS untuk
Identifikasi Unsur Logam Mulia (Au, Pt, dan Pd) di Daerah Lombok Tengah dan Sekitarnya, Nusa
Tenggara Barat. Laporan Internal, Pusat Survei Geologi.
Irzon, R., Kurnia, & Siregar, D.A. 2012. Optimasi Metoda AAS dengan Variasi Pelarut, Gas Oksidator dan Faktor
Pengenceran Pada Analisa Mg dalam Matriks Pasir Besi. Proceeding Jaringan Kerjasama Ikatan Kimia
Indonesia, Yogyakarta - Desember 2012.
Irzon, R., & Kurnia. 2013. Adaptasi SNI 13-3608-1994 Terhadap Pengukuran Contoh Berkadar Besi Tinggi.
Proceeding dan Pertemuan Ilmiah Stadardisasi, Mei 2013
Lajunen, L.H.J. & Peramaki, P. 2004. Spectrochemical Analysis by Atomic Absorption and Emision. 2nd ed.,
Finland. 332.
Siregar, D.A., Kurnia & Irzon, R. 2012. Pengembangan Metode Analisis Zn Terhadap SNI 13-6974-2003
(Analisis Cu,Pb, Zn, Fe, Mn dan Cd Dalam Batuan Sulfida). Proceeding dan Pertemuan Ilmiah
Stadardisasi, November 2012
Sracek, O., Choquettea, M., Gelinasa, P., Lefebvreb, R., Nicholson, & R..V. 2004. Geochemical
Characterization of Acid Mine Drainage from a Waste Rock Pile, Mine Doyon, Quebec, Canada. Journal
of Contaminant Hydrology, v.69: 45 71.
Wilkipedia. (2013) Platiunum. Retrieved March 10th , 2013 from http://en.wikipedia.org/wiki/Platinum_group
Yoon, H., Park, C., Yoon, C., Hong, J., Kim, N., & Han, K. (2004). Quantitative Analysis of Platinum Group
Metals Using X-Ray Fluorescence Spectrometry. SME Annual Meeting, Feb. 23-25, Denver, Colorado.
Yoon, H., Yoon, C., Park, C.S., Ko, T., Kim, N.S., & Han, K.H. (2003). Quantitative Analysis of PGM using ICPMS, ICP-AES, AAS, and XRF. SME Annual Meeting, Feb. 24-27 Cincinnati, Ohio.