Anda di halaman 1dari 25

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

PANCASILA DAN NARASI PRAKTIK


KETELADANAN
Wahyudi Akmaliah

Judul Buku : Mata Air Keteladanan, Pancasila


Dalam Perbuatan.
Penulis

: Yudi Latif.

Penerbit

: Mizan.

Tahun : 2014.
Tebal : 650 halaman.

Pengantar
Ada dua momentum bagaimana tindakan kepahlawanan seseorang itu dapat
memberikan inspirasi kepada publik Indonesia. Pertama, peringatan hari
Pahlawan setiap 10 November untuk mengingat jasa-jasa pahlawan yang
telah gugur di medan perang pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Kedua, pemberian gelar
pahlawan kepada anggota masyarakat Indonesia yang tindakannya dianggap
memberikan kemajuan untuk Indonesia sehingga layak untuk dijadikan
teladan dalam bentuk pemberian gelar pahlawan. Namun, alih-alih sebagai
inspirasi, justru momentum pertama itu hanya

170

Wahyudi Akmaliah

dijadikan seremonial belaka yang diajarkan di sekolah-sekolah era rejim


Orde Baru. Akibatnya, peserta didik yang ada di sekolah dengan sistem
dan metodologi pendidikan searah yang cenderung indoktrinatif, hanya
menjadikan hari Pahlawan sebagai momentum upacara untuk menghafal
lagu kebangsaan, membacakan butir Pancasila, dan mendengarkan pidato
normatif bagaimana pahlawan mesti dikenang karena jasa-jasa yang
pernah ditorehkan. Kondisi ini tampaknya tidak berubah pasca jatuhnya
Orde Baru pada 21 Mei 1998.
Ironisnya, momentum kedua, yaitu pemberian Gelar Pahlawan, yang
seharusnya diberikan kepada tokoh-tokoh bangsa dan masyarakat yang
memberikan kontribusi riil dan praksis untuk kebaikan telah diabaikan,
diganti dengan mereka yang secara politis lebih dekat kekuasaan dan
memiliki otoritas kebijakan. Usulan agar Sarwo Edhi Wibowo
mendapatkan gelar pahlawan merupakan contoh riil pada tahun 2013.
Sarwo Edhi Wibowo adalah mertua presiden Susilo Bambang Yudiono
(SBY). Ia adalah orang tua dari Ibu Ani Yudhono, isteri SBY. Usulan
pemberian gelar pahlawan nasional tampaknya datang dari masyarakat
Purworejo dan Mahsun Zain, Bupati Purworejo. Sarwo Edhie Wibowo
dianggap sebagai salah satu putra terbaik bangsa, yang dinilai pantas
mendapat gelar sebagai pahlawan nasional, karena prestasi, dedikasi,
pengabdiannya dan jasa-jasanya. Di antaranya, ia berperan besar dalam
penumpasan pemberontak Gerakan 30 September yang dianggap
dilakukan Partai Komunis Indonesia. Ia juga turut andil dalam
mendirikan pasukan elit TNI AD, yaitu Batalyon Resimen Komando
Angkatan Darat/ RPKAD, kini menjadi Kopassus (Akmaliah, 2013).
Padahal, yang sesungguhnya terjadi, Sarwo Edhie Wibowo adalah tangan
kanan dan mesin penghancur Suharto untuk menghabisi mereka yang PKI
dan di-PKI-kan melalui RPKAD di Jawa dan Bali pada tahun 1965-1966.
Meskipun RPKAD sebagai pasukan militer terbilang kecil (Batalion I
Jakarta, II Magelang, dan III Semarang), namun daya masif kekuatan
pembunuhan yang dilakukan sangat efektif. Akibatnya, 500-1 juta orang
Indonesia, baik mereka yang PKI dan di-PKI-kan dibunuh. Sementara, tanpa
proses pengadilan terlebih dahulu banyak dari mereka di penjara dalam tiga
kelompok kategori C, B, dan A. Kurang lebih ada 1, 375,320 orang yang
dikategorikan sebagai kelompok C. Mereka dianggap terkait langsung
dengan PKI dan organisasi yang terkait dengannya, dan di penjara selama 10
tahun. Kelompok B adalah mereka yang diindikasikan

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

171

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

memiliki kaitan dengan Gerakan 30 September. Jumlahnya sekitar


34,587 orang, termasuk di dalamnya 10 ribu orang yang dibuang ke
Pulau Buruh. Kelompok A berjumlah 426 orang. Mereka ini yang
dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September dan menghabiskan sisa
hidupnya di penjara (Budiawan, 2012).
Dengan demikian, apakah pantas ia disematkan sebagai pahlawan di
mana tindakan kepahlawanan dapat dijadikan teladan bagi masyarakat
Indonesia? Narasi di atas adalah salah satu contoh dan pemberian gelar
pahlawan kepada Suharto adalah di antara contoh yang lain. Karena itu,
dalam konteks yang berbeda, lemahnya sikap keteladanan yang dapat
dinarasikan kepada khalayak publik ini menjadi perhatian Yudi Latif
(selanjutnya ditulis Yudi) mengapa ia merasa perlu menuliskan buku ini.
Menurut Yudi, alasan utama mengapa ia menulis buku ini adalah karena,
bangsa ini sesungguhnya memiliki pahlawan-pahlawan dengan
keagungannya sendiri dalam pelbagai bidang kehidupan, baik dari
kalangan wong elit maupun wong alit. Tetapi, kisah-kisah keteladanan
mereka tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di
belam kesemarakan kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan, dan
reality show murahan, serta kegemparan kabar buruk dunia politik.
Karena itu, usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa
yang terpendam ini ke altar kesadaran publik (hal.xvi-xvii).

Untuk memudahkan pembaca mengikuti alur pembahasan, saya


membagi tinjauan buku ini kepada tiga bagian. Pertama, sosok Yudi
sebagai bukan Sarjana Pohon Pisang melainkan sarjana pelari jarak
jauh. Dalam bagian ini, saya menjelaskan mengenai kontribusi Yudi
sebagai intelektual publik di Indonesia. Kedua, Narasi Keteladanan
dan Cerminan Pancasila. Bagian ini menjelaskan mengenai isi buku
dan tokoh-tokoh yang dinarasikan, di mana semua itu adalah bagian
dari mata air keteladanan Pancasila. Ketiga merupakan bagian
penutup. Selain berisi simpulan, saya menuliskan kelebihan dan
kekurangan buku ini.

Sarjana Pohon Pisang


Ada satu metafor menarik yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo,
guru besar sejarah UGM, mengenai kondisi sarjana Indonesia.
Menurutnya, meskipun Indonesia banyak melahirkan sarjana, baik

172

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

Wahyudi Akmaliah

lulusan Sarjana Strata Satu (S1), Sarjana Strata Dua (S2), maupun
Sarjana Strata Tiga (S3). Namun tingkat dan kualitas kesarjanaan
mereka itu layaknya pohon pisang, berbuah satu kali kemudian
mati. Artinya, mereka berhenti berkarya hanya setelah menulis
skripsi, tesis, dan disertasi untuk mendapatkan gelar sarjana. Ketika
gelar itu sudah didapatkan berhenti pula karir intelektualnya. Karena
itu, Kartono selalu menyarankan kepada murid-muridnya,
sebagaimana dituturkan oleh Adaby Darban (2009), jangan hanya
puas jadi sarjana, namun harus dibuktikan dengan terus berkarya, baik
meneliti, menulis, dan apa saja untuk masyarakat dan bangsanya.
Alih-alih berseberangan dengan konteks realitas, metafor tersebut sangat
sesuai dengan apa yang terjadi dan dialami oleh akademisi Indonesia saat
ini, baik lulusan dalam dan luar negeri. Setelah mencapai gelar Doktor,
akademisi di Indonesia kebanyakan berhenti berkarya. Karya besar yang
dimiliki mentok hanya pada disertasinya saja, yang diterbitkan dalam buku.
Karya inilah yang kerap diagung-agungkan dan dibicarakan terus-menerus
kepada mahasiswa-mahasiswinya di universitas mereka mengajar. Di sisi
lain, alih-alih mereka memfokuskan diri pada dunia riset, hidup mereka
dihabiskan kepada urusan-urusan administratif dengan menjadi kepala
bidang atau ketua jurusan. Ironisnya, kondisi ini bukan hanya dialami oleh
satu orang melainkan kebanyakan akademisi di Indonesia. Diakui, selain
kurangnya fasilitas dan sumber pengetahuan yang dimiliki oleh sebuah
universitas atau lembaga riset di bawah pemerintah, adanya birokratisasi
sistem yang membelenggu akademisi adalah faktor utama mengapa
kebanyakan mereka sekedar menjadi sarjana pohon pisang.

Namun, di tengah keterbatasan tersebut, ada beberapa akademisi di


Indonesia yang dapat menunjukkan kualitasnya sebagai sarjana layaknya
pelari jarak jauh. Selain memiliki nafas panjang untuk terus berkarya,
mereka memiliki konsistensi dan ketekunan yang tinggi untuk
menuliskan gagasannya mengenai realitas sosial di Indonesia dalam satu
buku utuh, bukan kumpulan tulisan. Di sisi lain, mereka tetap menuliskan
gagasannya dalam tulisan-tulisan populer untuk media massa. Sikap dan
tindakan ini adalah bagian dari kontribusi intelektual publik yang
menjembatani imajinasi sosial antara masyarakat kebanyakan dan kelas
akademisi yang membicarakan persoalan sosial dan humaniora dengan
medan teori yang tinggi. Meskipun diakui, ada juga akademisi layaknya
pelari jarak pendek. Mereka ini yang selalu menuliskan gagasannya

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

173

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

di media massa. Setelah rentang dua-empat tahun, mereka kemudian


memilih dan melakukan sistematika bab atas kumpulan artikel
tersebut untuk diterbitkan menjadi buku.
Di antara segelintir akademisi pelari jarak jauh tersebut adalah Yudi Latif.
Sarjana Lulusan S3 Sosiologi Politik Australian National University (ANU)
ini sudah menuliskan tiga buku tebal mengenai Indonesia, Politik, dan
Kebangsaan serta satu buku kumpulan tulisan mengenai sastra Indonesia.
Buku pertama, merupakan karya disertasi, adalah
Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia
Abad Ke-20 (2005). Selain kaya data sejarah mengenai pertautan Islam dan
kekuasaan, buku tersebut juga memberikan perspektif baru mengenai studi
sosiologi di Indonesia dan sejarah intelektualisme Islam secara bersamaan.
Buku ini menjadi fondasi Yudi untuk menerbitkan buku yang berisi
kumpulan tulisan mengenai ulasan karya sastra sebagai media menyemai
karakter bangsa dalam Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan
Berbasis Kesastraan (2009). Ide kebangsaan, keindonesiaan, dan bagaimana
sejarah lahirnya Indonesia dengan menguatkan Pancasila sebagai dasar
negara ini dikokohkan kembali oleh Yudi Latif dengan menuliskan satu buku
tebal dan utuh, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila (2011).

Ketimbang dua buku sebelumnya, buku tersebut adalah karya yang


paling berharga bagi Yudi Latif. Menurutnya, buku tersebut ia tulis
dengan memosisikan diri bukan sebagai ilmuwan yang mengejar karier
akademik, melainkan sebagai anak bangsa yang terpanggil untuk turut
memberi jalan keluar atas krisis kebangsaan dan kenegaraan. Hal ini
ditegaskan oleh Yudi dalam Kompas Kita (tanpa tanggal dan tahun).
Oleh karena itu, betapa pun dalam buku ini saya menyertakan kajian
ilmiah dengan memobilisai beragam literatur teoritis, tetapi intensi
utamanya bukanlah memberikan presisi, melainkan inspirasi dan sugesti.
Dalam krisis multidimensional yang mengimpit bangsa, saya tidak lagi
merasa kerasan sebagai ilmuwan yang berpretensi menjadi pengamat
yang berjarak; sejarah memanggil saya untuk menjadi idiolog yang
berpihak. Syukur alhamdulillah, sesuatu yang keluar dari ketulusan hati
beresonansi dengan hati yang lain. Dalam tempo singkat, buku ini telah
mengalami empat kali cetak ulang, dijadikan rujukan utama di sejumlah
perguruan tinggi dan lembaga diklat, dan membuat penulisnya

174

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

Wahyudi Akmaliah

memperoleh sejumlah penghargaan (award). Saya masih ingin


menulis satu-dua buku lagi, soal operasionalisasi Pancasila dan
sumbangsih Indonesia bagi dunia. Di luar itu, saya belum mempunyai
mimpi,
kecuali
memenuhi
panggilan
sejarah!
(http://kita.kompas.com/tokoh/detail/143/ yudi.latif)
Bertolak dari sini, masih didasarkan dari disertasinya sebagai sumber
utama dan pemantik ide, Yudi menuliskan buku utuh dan tebal mengenai
kisah-kisah keteladanan dari tokoh-tokoh bangsa dan pemimpin politik
serta orang biasa di Indonesia dalam bingkai Pancasila dan proses
operasionalisasi yang dipraktekkan oleh tokoh-tokoh tersebut dalam
Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014). Dalam buku
ini, Yudi tidak hanya memposisikan diri sebagai intelektual publik yang
memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia, melainkan juga
menjadi pensyarah (orang yang memberikan penjelasan) yang baik dan
proporsional, dengan menghidupkan kembali Pancasila sebagai fondasi
kebangsaan di Indonesia dan moral publik, di satu sisi, serta Pancasila
sebagai nilai praksis yang dapat menjadi teladan pada sisi yang lain. Di
tangannya, Pancasila tidak lagi menjadi doktrin yang beku dan kaku,
melainkan menjadi ideologi yang menggerakkan dan menghidupkan.

Narasi Keteladanan dan Cerminan Pancasila


Formula dan Teknis Penulisan
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam buku ini Yudi lebih
menitikberatkan pada narasi atau kisah mengenai keteladanan mengenai
kebangsaan, persatuan, toleransi, dan juga tindakan keteladanan dari tokohtokoh bangsa, politik, dan orang biasa. Semua narasi itu adalah bingkai
mengenai praktik ber-Pancasila. Namun, tidak seperti lazimnya sistematika
penulisan dalam buku, mengikuti nilai simbolik angka lima dalam Pancasila,
buku ini terbagi dalam lima bab/sila. Masing-masing bab/sila terdiri dari
empat butir nilai intrinsik sila tersebut, sedangkan satu butir lagi bersifat
eksentrik, yakni mengandaikan keterkaitan butir-butir dalam sila tersebut
dengan butir-butir nilai di sila-sila lainnya. Awalnya formula ini tidak
terpikirkan oleh Yudi. Ia justru menemukan formula pembagian tersebut
ketika proses menulis. Empat butir (ide pokok) setiap sila ini ternyata
berhasil mengandung semangat pokok dari sila tersebut. Di sini, urutan
butir-butir setiap sila disusun secara sequential bahwa suatu butir (pokok
pikiran) dengan sendirinya secara logis akan

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

175

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

diikuti oleh butir lain sebagai konsekuensinya. Formula ini diharapkan


dapat memudahkan pembaca untuk memahami dan mengingatnya
(hal. xix).
Tiap butir (ide pokok) dalam setiap sila kemudian diuraikan dengan
kisah-kisah keteladanan, baik dari masa lampau mampun masa kini.
Tokoh-tokoh teladan yang dinarasikan dalam buku ini diusahakan sebisa
mungkin mewakili segala keragaman Indonesia, baik dari segi agama,
etnis, kelas sosial, jenis kelamin, maupun wilayah. Karena itu, bagi Yudi,
segala keragamanan diharapkan merasa terlibat dalam usaha pengisian
dan pengalaman terhadap Pancasila. Dalam melakukan pengkategorian
ini ada beberapa tokoh perorangan atau kelembagaan yang sesungguhnya
pantas dikisahkan karena keteladanannya terpaksa tidak masuk dalam
buku ini, karena representasi dari kategori (golongan) tertentu sudah
dianggap sudah terwakili (hal.xx). Misalnya, pada sila pertama, yaitu
Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Ketuhanan terdiri dari empat
butir; 1) Berketuhanan, 2) Berketuhanan yang Welas Asih dan Toleran, 3)
Berani Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan, dan 4) Berbuat Baik
dengan Amanah, Jujur, dan Bersih. Usai menjelaskan keempat butir
tersebut, ada bagian terakhir, yaitu pesan moral, mencoba memberikan
pelajaran yang dapat dipetik dari keempat butir tersebut (hal.6-125).
Formula ini yang digunakan Yudi sampai sila/bab kelima. Dalam
menjelaskan setiap sila/bab ini ada kisah-kisah unik dan menarik yang
dinarasikan. Data dari kisah ini diambil dari beragam sumber, mulai dari
buku, artikel jurnal, artikel populer, berita koran dan internet. Kutipan
dari sumber ini diberikan kredit cukup baik dalam akhir bab/sila oleh
Yudi sebagai daftar referensi.
Kontekstualisasi Keteladanan Pancasila

Dalam menarasikan kisah-kisah keteladanan ini, Yudi memberikan


gambaran yang baik mengenai tokoh-tokohnya dalam butir-butir
Pancasila. Dalam Sila Pertama, Mata Air Keteladanan dalam
Pengalaman Ketuhanan, ia menarasikan mengenai tokoh-tokoh yang
berbeda agama tetapi memiliki semangat rasa belas kasih dan gotong
royong. Ini tercermin pada tokoh, Prawoto Mangkusasmito, tokoh Partai
Masyumi dan Muhammadiyah yang pernah menjadi wakil Perdana
Menteri (2 April 1952-31 Juli 1953) dan wakil Ketua I Konstituante (10
November 1956- 5 Juli 1959). Ketika itu, jelang akhir dekade 1950-an.
Prawoto, sebagai pribadi yang dikenal sederhana, hendak membeli

176

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

Wahyudi Akmaliah

rumah yang sudah enam tahun ia tempati. Pak Kasimo, Ketua Partai
Katholik, yang berseberangan garis ideologi dan agama dengan Prawoto,
tergerak hati untuk membantunya, di mana kebetulan orang yang memiliki
rumah tersebut adalah seorang suster bernama Tan Kin Liang, Katholik
keturunan Tionghoa. Pak Kasimo tidak segan-segan membantu mempersuasi
pemilik rumah itu yang tinggal di Maastrich, Belanda, hingga akhirnya
rumah di jalan Kertosono (Jakarta) tersebut bisa dibeli pak Marwoto pada 20
Maret 1959. Bahkan, menurut sumber lain, Pak Kasimo turut mencarikan
dana membantu pembelian rumah tersebut. Bagi Yudi, kisah tersebut
merupakan bentuk persaudaraan dengan kerelaan gotong royong melibatkan
dua tokoh dengan corak keagamaan dan politik berbeda tetapi memiliki
semangat kebertuhanan yang berperikemanusiaan. Sikap ini juga tercermin
dalam pandangan hidup yang dilandasi semangat ketuhanan yang
berkebudayaan yang menempati posisi tertinggi dalam dasar negara
Indonesia Hal ini ditegaskan oleh Soekarno dalam uraiannya mengenai
prinsip Ketuhanan pada pidato 1 Juni 1945 bahwa negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
leluasa (hal. 2-3).

Dalam sila/bab kedua, Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman


Kemanusiaan, dengan mengkisahkan tokoh-tokoh seperti Otto Iskandar
Di Nata, Soekarno, Muhammad Hatta, Agoes Salim, Mochtar
Kusumaatmadja, Sahrir, Tan Malaka, Yap Tiam Hien, dan Hoegeng, Yudi
menegaskan kembali mengenai sila Kemanusiaan yang adil dan
Beradab, di mana sila tersebut mengandung visi kebangsaan yang
humanis, memiliki komitmen besar untuk menjalin persaudaraan dalam
pergaulan dunia serta dalam pergaulan antara sesama anak negeri
berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaban, yang memuliakan hakhak asasi manusia. Selain itu, dalam sila tersebut mengandung arti bahwa
Pancasila sebenarnya merupakan prinsip pemberadaban manusia dan
bangsa Indonesia. Sebagai bentuk pemberadaban bangsa Indonesia,
persoalan HAM yang mengemuka akhir-akhir ini, yang tidak hanya
terbatas pada pemulian hak-hak sipil dan politik melainkan juga
pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya adalah tantangan serius yang
harus dijawab oleh Indonesia, khususnya pemerintah yang memiliki
otoritas dan wewenang untuk menyelesaikan. Hal ini sebagai bentuk
upaya memperadabkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Dalam sila ketiga, Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman Persatuan

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

177

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

ini, ia menceritakan kisah klasik, yaitu bahwa Indonesia adalah sebuah


bangsa besar yang mewarisi peradaban nusantara dan kerajaan-kerajaan
bahari terbesar di bumi. Karena itu, menurutnya, apabila bangsa
Indonesia pernah besar, maka manusia baru Indonesia harus mengukir
prestasi baru seperti yang dilakukan oleh para pendahulu kita. Di sini, ia
tidak menjelaskan mengapa bangsa Indonesia yang dahulu memiliki
kejayaan sekarang menjadi bangsa pesakitan? Ia justru menekankan
bahwa untuk membangun bangsa harus disesuaikan dengan jati diri dan
harkat bangsa di pentas dunia yang bisa disepadankan dengan keluasan
wilayah dan kuantitas penduduknya. Di sini, ia juga menekankan pada
keragaman dan perbedaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai
wujud nasionalisme adalah kekuatan dan kekayaan yang tak ternilai
sebagai faktor pendorong kemajuan Indonesia. Diakui, yang ditekankan
oleh Yudi adalah pada narasi mengenai kisah para tokoh sehingga
penekanan bagaimana dan prasyarat apa yang harus ditetapkan untuk
menjadi bangsa yang besar dan gemilang seperti dahulu tidak dijelaskan
secara detail. Dengan demikian, pembaca, termasuk saya, diharapkan
untuk mendapatkan inspirasi dari kisah-kisah yang dituturkan mengenai
tokoh-tokoh bangsa tersebut.
Dalam sila keempat, Mata Air Keteladanan dalam Pengalaman
Kerakyatan, di mana empat butir yang dibicarakan mengenai; 1)
menjunjung daulat rakyat, 2) memuliakan permuswaratan -perwakilan, 3)
memimpin dengan hikmat-kebijaksanaan, dan 4) menunaikan
pertanggungjawaban publik, Yudi menjelaskan mengenai pentingnya
demokrasi yang berlandaskan musyawarah. Maksud demokrasimusyawarah ini bukanlah merujuk pada diktator mayoritas atau tirani
minoritas, melainkan demokrasi yang menghargai hak individu, hak
kelompok marginal, dan hak teritorial. Dalam demokrasi jenis ini, sebuah
keputusan politik/kebijakan publik dianggap benar jika memenuhi empat
prasyarat. Pertama, bersifat imparsial (tanpa pandang bulu), dengan
melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas
terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal diktator
mayoritas dan tirani minoritas. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan
banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.
Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka
pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat desktruktif
(toleransi negatif). Keempat, didasarkan pada asas rasionalitas dan

178

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

Wahyudi Akmaliah

keadilan, bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan


kepentingan (hal.472-473). Selain menjelaskan perspektif Soekarno,
Mohammad Hatta, Sultan Hamengkubono X, BJ Habibie tentang
daulat suara rakyat yang berasaskan kepada musyawarah, dua tokoh
yang dikisahkan oleh Yudi dalam sila keempat ini Jokowi Widodo dan
Risma (Wali Kota Surabaya). Posisi Joko Widodo yang dikisahkan
olehnya, misalnya, ini adalah saat ia menjadi Walikota Solo, yang
telah melakukan langkah pembaharuan. Ia memindahkan pedagang
kaki lima dengan damai, membangun Taman Cerdas bagi anak-anak
tidak mampu untuk mengases internet dan memanfaatkan
perpustakaan, menyelenggarakan Program Kesehatan Masyarakat
Solo (PMKS) yang memberi pelayanan kesehatan bagi warga yang
bukan pemegang Askeskin dan Askes dengan biaya APBD Solo, dan
Indeks Persepsi Korupsi Kota Solo menunjukkan angka yang semakin
membaik dengan adanya perbaikan yang dilakukan (hal.457-458).
Sementara itu, dalam sila kelima, Mata Air Keteladanan Dalam Pengamalan
Keadilan, dalam butir 1) memajukan kesejahteraan umum, 2)
menyelenggarakan jaminan pelayanan sosial, mencerdaskan kehidupan
bangsa, 3) pembangunan berkelanjutan keadilan dan perdamaian, Yudi
mengungkapkan tujuan dari masyarakat adil dan makmur. Menurutnya,
masyarakat adil dan makmur itu adalah tujuan terakhir dari revolusi
Indonesia, yang pernah didengungkan oleh Soekarno. Terwujudnya dua hal
tersebut merupakan implementasi dari idealitas Pancasila. Upaya mencapai
dua tersebut mengandaikan adanya peran negara secara luas dan adanya
partisipasi pelaku usaha dan pelbagai elemen masyarakat dalam
mengembangkan kesejahteraan. Dengan kapasitas masing-masing yang
dimiliki, mereka dapat bersinergi dan bergotong royong dalam memajukan
kesejahteraan umum, mengembangkan jaminan pelayanan sosial,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta melakukan pembangunan
berkalanjutan untuk keadilan dan perdamaian. Hal itu, menurut Yudi,
dilandasi dengan adanya sikap dan karakter kemandirian, sikap hemat, etos
kerja, dan ramah lingkungan. Namun, itu saja belum cukup, integritas dan
mutu para penyelenggara negara, disertai dengan dukungan rasa tanggung
jawab, rasa kemanusiaan dan keadilan yang terpancar pada setiap warga
negara juga menjadi prasyarat utama (hal.595). Dalam sila tersebut, ia
menarasikan tokoh-tokoh yang memiliki dedikasi yang tinggi kepada
keadilan dan kesejahteraan sosial, seperti Tirto Adhi Surjo, La

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

179

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

Ode Manarfa, Johannes Leimena, lembaga Dompet Duafa, Jusuf


Kalla, Saur Marlina Manurung, Ahmad Baharuddin, Yosefa Alomang
(Mama Yosef) dan pendeta Jacklevyn Frits Manuputty.

Penutup
Dari narasi tokoh-tokoh dalam lima sila/bab tersebut, apabila diamati,
sebenarnya Yudi ingin menegaskan bahwa Indonesia tidaklah kekurangan
teladan dan orang baik yang memberikan kontribusi di bidangnya masingmasing untuk memajukan Indonesia. Namun, narasi ini yang tidak pernah
sampai ke dalam ingatan publik Indonesia sehingga tidak dapat menjadi
inspirasi dan teladan. Di sisi lain, publik Indonesia disuguhkan oleh tindakan
dan praktik korupsi yang dilakukan oleh pemegang kebijakan, baik level
ekskutif hingga yudikatif. Adanya transaksi uang dalam pembuatan
kebijakan dengan hilang dan dirampoknya uang negara, sebagaimana sering
diungkapkan oleh KPK melalui investigasi dan temuan lapangan, makin
membuat masyarakat bertanya mengenai masa depan negara dan bangsa
yang bernama Indonesia. Narasi-narasi yang berserak dalam pelbagai
literatur ini menjadi semacam kompas untuk masyarakat Indonesia
bagaimana melakukan sikap dan tindakan publik yang baik melalui inspirasi
dari tokoh-tokoh sejarah maupun orang biasa. Terlebih lagi, adanya referensi
sejarah mengenai tokoh-tokoh Indonesia dalam memperjuangkan Indonesia
menjadi negara merdeka, adalah satu narasi yang tak boleh luput untuk
dibaca.

Bagi saya, kekuatan buku ini pada suguhan data yang berlimpah. Hal ini
merupakan hasil ketekunan dan kerja keras seorang Yudi dari membaca
dan mendokumentasikan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada
orang luar biasa di Indonesia. Ketekunan untuk mendokumentasikan ini
membuatnya leluasa untuk menuliskan dan membuat sistematika tulisan
yang tidak hanya mengalir tetapi menarik untuk dibaca, terutama
kedetailan peristiwa yang dikisahkan. Diakui, dengan kesibukan sebagai
seorang intelektual publik tentu tidak mudah bagi Yudi menuliskannya di
tengah situasi pragmatisme dunia akademik Indonesia yang serba instan.
Melalui buku ini, Yudi menepis anggapan tersebut.

Bagi pembaca Indonesia, tingkat ketebalan buku yang mencapai 650


halaman adalah celah dan tantangan sendiri di tengah malasnya orang
Indonesia membaca buku. Melihat kondisi tersebut, kekhawatiran

180

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

Wahyudi Akmaliah

saya, justru masyarakat jadi enggan membaca, yang berakibat pada


tidak sampainya narasi tokoh-tokoh inspiratif yang disampaikan. Bila
memungkinkan dan nanti diterbitkan ulang, dengan versi berbeda,
Yudi bisa membuat buku ini menjadi berseri dan bergambar sehingga
substansi dari narasi tokoh dapat dipahami oleh masyarakat
kebanyakan. Terlepas dari hal tersebut, buku ini tampaknya adalah
satu-satunya yang merangkum sejarah tokoh-tokoh besar dan orang
biasa Indonesia dalam satu buku, yang dikemas dalam sistematika
yang runut, referensi bacaan yang kuat, dengan penggalian semangat
Pancasila yang mendalam dengan kontektualisasi peristiwa kekinian.

Daftar Pustaka
Akmaliah, Wahyudi. 2013. Melawan Pahlawan, dikutip dari http://www.
politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/894-melawan-pahlawan,
pada 1 Juli 2014.
Anonim. Tanpa Tanggal dan Tahun. Tokoh Pilihan: Yudi Latif, dikutip dari
http://kita.kompas.com/tokoh/detail/143/yudi.latif, pada 30 Juni 2014.
Budiawan. 2012. Living with the Spectre of the Past: Traumatic Experiences
among Wives of Former Political Prisoners of the 1965 Event in
Indonesia, dalam Roxana Waterson dan Kwok Kian-Woon (ed),
Contestations of Memory in Southeast Asia, Singapura: NUS Press.

Darban, Adaby. 2009. Sartono Kartodirdjo: Sang Begawan Sejarah,


dikutip
dari
http://adabydarban.blogspot.com/2009/04/sartonokartodirdjo-sang-begawan.html, pada 30 Juni 2014.
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia
Muslim Indonesia Abad Ke-20. Bandung: Mizan.
Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan
Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.

MAARIF Vol. 9, No. 1 Juli 2014

181

Pancasila dan Narasi Praktik Keteladanan

dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka
Utama.

Latif, Yudi. 2011.


Negara
Latif, Yudi. 2014. Mata Air
Paripurna:
Historisitas, Keteladanan: Pancasila
Rasionalitas, dalam Perbuatan.
Bandung: Mizan.

182
MAARIF Vol.
9, No. 1 Juli 2014

Anda mungkin juga menyukai