: Yudi Latif.
Penerbit
: Mizan.
Tahun : 2014.
Tebal : 650 halaman.
Pengantar
Ada dua momentum bagaimana tindakan kepahlawanan seseorang itu dapat
memberikan inspirasi kepada publik Indonesia. Pertama, peringatan hari
Pahlawan setiap 10 November untuk mengingat jasa-jasa pahlawan yang
telah gugur di medan perang pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Kedua, pemberian gelar
pahlawan kepada anggota masyarakat Indonesia yang tindakannya dianggap
memberikan kemajuan untuk Indonesia sehingga layak untuk dijadikan
teladan dalam bentuk pemberian gelar pahlawan. Namun, alih-alih sebagai
inspirasi, justru momentum pertama itu hanya
170
Wahyudi Akmaliah
171
172
Wahyudi Akmaliah
lulusan Sarjana Strata Satu (S1), Sarjana Strata Dua (S2), maupun
Sarjana Strata Tiga (S3). Namun tingkat dan kualitas kesarjanaan
mereka itu layaknya pohon pisang, berbuah satu kali kemudian
mati. Artinya, mereka berhenti berkarya hanya setelah menulis
skripsi, tesis, dan disertasi untuk mendapatkan gelar sarjana. Ketika
gelar itu sudah didapatkan berhenti pula karir intelektualnya. Karena
itu, Kartono selalu menyarankan kepada murid-muridnya,
sebagaimana dituturkan oleh Adaby Darban (2009), jangan hanya
puas jadi sarjana, namun harus dibuktikan dengan terus berkarya, baik
meneliti, menulis, dan apa saja untuk masyarakat dan bangsanya.
Alih-alih berseberangan dengan konteks realitas, metafor tersebut sangat
sesuai dengan apa yang terjadi dan dialami oleh akademisi Indonesia saat
ini, baik lulusan dalam dan luar negeri. Setelah mencapai gelar Doktor,
akademisi di Indonesia kebanyakan berhenti berkarya. Karya besar yang
dimiliki mentok hanya pada disertasinya saja, yang diterbitkan dalam buku.
Karya inilah yang kerap diagung-agungkan dan dibicarakan terus-menerus
kepada mahasiswa-mahasiswinya di universitas mereka mengajar. Di sisi
lain, alih-alih mereka memfokuskan diri pada dunia riset, hidup mereka
dihabiskan kepada urusan-urusan administratif dengan menjadi kepala
bidang atau ketua jurusan. Ironisnya, kondisi ini bukan hanya dialami oleh
satu orang melainkan kebanyakan akademisi di Indonesia. Diakui, selain
kurangnya fasilitas dan sumber pengetahuan yang dimiliki oleh sebuah
universitas atau lembaga riset di bawah pemerintah, adanya birokratisasi
sistem yang membelenggu akademisi adalah faktor utama mengapa
kebanyakan mereka sekedar menjadi sarjana pohon pisang.
173
174
Wahyudi Akmaliah
175
176
Wahyudi Akmaliah
rumah yang sudah enam tahun ia tempati. Pak Kasimo, Ketua Partai
Katholik, yang berseberangan garis ideologi dan agama dengan Prawoto,
tergerak hati untuk membantunya, di mana kebetulan orang yang memiliki
rumah tersebut adalah seorang suster bernama Tan Kin Liang, Katholik
keturunan Tionghoa. Pak Kasimo tidak segan-segan membantu mempersuasi
pemilik rumah itu yang tinggal di Maastrich, Belanda, hingga akhirnya
rumah di jalan Kertosono (Jakarta) tersebut bisa dibeli pak Marwoto pada 20
Maret 1959. Bahkan, menurut sumber lain, Pak Kasimo turut mencarikan
dana membantu pembelian rumah tersebut. Bagi Yudi, kisah tersebut
merupakan bentuk persaudaraan dengan kerelaan gotong royong melibatkan
dua tokoh dengan corak keagamaan dan politik berbeda tetapi memiliki
semangat kebertuhanan yang berperikemanusiaan. Sikap ini juga tercermin
dalam pandangan hidup yang dilandasi semangat ketuhanan yang
berkebudayaan yang menempati posisi tertinggi dalam dasar negara
Indonesia Hal ini ditegaskan oleh Soekarno dalam uraiannya mengenai
prinsip Ketuhanan pada pidato 1 Juni 1945 bahwa negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
leluasa (hal. 2-3).
177
178
Wahyudi Akmaliah
179
Penutup
Dari narasi tokoh-tokoh dalam lima sila/bab tersebut, apabila diamati,
sebenarnya Yudi ingin menegaskan bahwa Indonesia tidaklah kekurangan
teladan dan orang baik yang memberikan kontribusi di bidangnya masingmasing untuk memajukan Indonesia. Namun, narasi ini yang tidak pernah
sampai ke dalam ingatan publik Indonesia sehingga tidak dapat menjadi
inspirasi dan teladan. Di sisi lain, publik Indonesia disuguhkan oleh tindakan
dan praktik korupsi yang dilakukan oleh pemegang kebijakan, baik level
ekskutif hingga yudikatif. Adanya transaksi uang dalam pembuatan
kebijakan dengan hilang dan dirampoknya uang negara, sebagaimana sering
diungkapkan oleh KPK melalui investigasi dan temuan lapangan, makin
membuat masyarakat bertanya mengenai masa depan negara dan bangsa
yang bernama Indonesia. Narasi-narasi yang berserak dalam pelbagai
literatur ini menjadi semacam kompas untuk masyarakat Indonesia
bagaimana melakukan sikap dan tindakan publik yang baik melalui inspirasi
dari tokoh-tokoh sejarah maupun orang biasa. Terlebih lagi, adanya referensi
sejarah mengenai tokoh-tokoh Indonesia dalam memperjuangkan Indonesia
menjadi negara merdeka, adalah satu narasi yang tak boleh luput untuk
dibaca.
Bagi saya, kekuatan buku ini pada suguhan data yang berlimpah. Hal ini
merupakan hasil ketekunan dan kerja keras seorang Yudi dari membaca
dan mendokumentasikan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada
orang luar biasa di Indonesia. Ketekunan untuk mendokumentasikan ini
membuatnya leluasa untuk menuliskan dan membuat sistematika tulisan
yang tidak hanya mengalir tetapi menarik untuk dibaca, terutama
kedetailan peristiwa yang dikisahkan. Diakui, dengan kesibukan sebagai
seorang intelektual publik tentu tidak mudah bagi Yudi menuliskannya di
tengah situasi pragmatisme dunia akademik Indonesia yang serba instan.
Melalui buku ini, Yudi menepis anggapan tersebut.
180
Wahyudi Akmaliah
Daftar Pustaka
Akmaliah, Wahyudi. 2013. Melawan Pahlawan, dikutip dari http://www.
politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/894-melawan-pahlawan,
pada 1 Juli 2014.
Anonim. Tanpa Tanggal dan Tahun. Tokoh Pilihan: Yudi Latif, dikutip dari
http://kita.kompas.com/tokoh/detail/143/yudi.latif, pada 30 Juni 2014.
Budiawan. 2012. Living with the Spectre of the Past: Traumatic Experiences
among Wives of Former Political Prisoners of the 1965 Event in
Indonesia, dalam Roxana Waterson dan Kwok Kian-Woon (ed),
Contestations of Memory in Southeast Asia, Singapura: NUS Press.
181
dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka
Utama.
182
MAARIF Vol.
9, No. 1 Juli 2014