Anda di halaman 1dari 5

KOLEKSI TULISAN

Tentang Penulisan
Sudah sejak lama saya ingin melahirkan tulisan baru di laman blog saya
yang sangat tidak terurus. Seperti metafora hidup saya saat ini.
Tantangan terbesar yang saya alami saat menulis artikel baru adalah
sulitnya mencari titik yang pas antara menciptakan tulisan yang cukup
ilmiah namun tetap mudah dicerna oleh kaum awam.
Sejak memasuki usia perkuliahan, saya berfikir bahwa tulisan yang
berisikan opini terasa kurang mampu menyajikan tulisan yang bisa
digunakan sebagai referensi dan bahkan pegangan bagi pembaca yang
sedang mengeksplorasi pandangannya tentang dunia. Di lain sisi, tulisan
yang cenderung terlalu ilmiah menciptakan tembok penghalang yang
menjadikan intisari tulisan sulit dicerna dan diinternalisasi oleh pembaca.
Akhir-akhir ini pendapat semakin terbentuk mengenai permasalahan ini.
Pertama,

saya

menyadari

bahwa

menyajikan

hal

secara

objektif

sepenuhnya juga tidak dapat dicapai. Di tataran filosofis, bahkan konsep


mengenai objektifitas itu sendiri diperdebatkan.
Kedua, manusia sebagai medium dimana ide pertama muncul, diinkubasi,
lalu menjadi lebih matang tidak pernah lepas dari subjektifitas dan
batasan persepsinya. Pada intinya, kita semua memiliki bias dan cacat
fikir masing-masing.
Ketiga, menyampaikan ide adalah usaha untuk mempengaruhi orang lain
dan usaha mempengaruhi itu tidak akan dapat dicapai oleh hanya satu
buah tulisan. Satu artikel, seberapa berpengaruhnya-pun tidak akan
mampu langsung merubah paradigma manusia yang bertahun-tahun
dipupuk. Artikel baik adalah artikel yang mampu menyampaikan paling
tidak satu ide yang membuka kemungkinan-kemungkinan jalan pencarian
jawaban dan pertanyaan baru dimana sebelumnya jalan itu tertutup.

Terlebih lagi, saya semakin mulai menyadari bahwa proses membaca


sebenarnya adalah proses menyelami pikiran manusia lain. Dalam
penyelaman

tersebut,

kognisi

pembaca

secara

instan

menyaring,

memilah, menilai, dan mendebat hal yang diperbincangkan sesuai


kapasitas individu masing-masing.
Sehingga, seringkali tulisan yang paling berkesan adalah tulisan yang
dibangun oleh penulis yang berkomitmen dan apa adanya terhadap topik
yang ditulisnya. Saya tidak lagi mempermasalahkan seberapa ilmiahkah
saya harus menulis tapi lebih kepada memaparkan pandangan dan intisari
pemikiran saya serta alasan-alasan yang mendasarinya. Semakin jujur,
semakin baik.
Tulisan juga dipengaruhi konten yang dibahas. Konten seringkali (atau
mungkin selalu) dapat diperdebatkan. Perdebatan dapat berjalan sampai
waktu yang tidak ada habisnya sehingga perlu untuk dimoderasi. Misalkan
saja, satu artikel dapat dipertentangkan oleh beberapa artikel baru yang
khusus ingin menjatuhan teori yang sudah ada. Setiap artikel kritik juga
dapat dipermasalahkan lagi. Jika kelewatan dan kritik disampaikan tanpa
alasan yang mendasar hal itu akan membuat proses perdebatan menjadi
absurd dan tidak bermakna.
Dalam perdebatan yang sengit, setiap jengkal isu dapat dipermasalahkan
dan seringkali hal tersebut menghilangkan esensi tentang apa yang
diperdebatkan, yaitu posisi penulis terhadap suatu isu.
Perdebatan yang helat dapat menjadi pisau bermata dua. Saat segala
kondisi mendukung, perdebatan hebat menstimulasi dan memberikan
kayu bakar terhadap rasa penasaran kita mencari posisi terbaik, mencari
kebenaran. Di kondisi yang salah, sebaliknya perdebatan memupuk rasa
tak acuh, kelelahan kognisi, dan/ atau tendensi nihilistik bahwa segalanya
sudah tidak lagi layak dan bermakna lagi untuk diperbincangkan.
Untuk mengatasinya penulis harus cerdik mencari titik temu yang menjadi
batas perdebatan. Jika tidak ada titik temu sama sekali, proses menyelami

pikiran satu sama lain mungkin tidak memberikan manfaat apapun bagi
kedua belah pihak.
Pada akhirnya, penulis diingatkan bahwa pembaca merupakan manusia
-sama seperti penulis- yang dipengaruhi banyak faktor (mis. emosi, mood,
karakter, cuaca, hormon, dll), sehingga tulisan yang baik adalah tulisan
yang mempertimbangkan fitrahnya manusia. Termasuk bentuk dan
ukuran font, panjang tulisan, gaya bahasa, pemilihan contoh, ilustrasi, dan
derajat kompleksitas tulisan.
Tulisan yang baik bukanlah tulisan yang paling kompleks, tapi tulisan yang
menjalankan tujuan tulisan tersebut baik itu untuk menggelitik orang,
mempengaruhi keprcayaan seseorang, menyampaikan fakta, dll. Dengan
pengantar tentang tulisan ini, saya bermaksud mempublikasi beberapa
karya dengan tujuan khas masing-masing yang semoga bermanfaat bagi
pembaca.

Bagaimana Saya Membaca


Saya disini tidak bermaksud menggurui Anda. Anda bukan murid saya,
dan saya bukan guru Anda. Saya menulis karena saya ingin merapihkan
alur fikiran saya sendiri. Tulisan ini, meskipun sangat mentah dapat
memberikan petunjuk yang mungkin berguna bagi Anda diperjalanan
pencarian kebenaran yang Anda miliki masing-masing.
Bagi saya, segalanya dimulai dengan melihat ke sekeliling.
Selama bertahun-tahun saya menghabiskan waktu senggang membaca.
Membaca namun aktivitas tersebut tidak memberikan ketenangan bagi
saya karena pola pikir yang sudah salah sejak awal. Lahapan saya tidak
membuat saya semakin bijaksana.
Awalnya saya berfikir, dengan sedikitnya waktu yang saya miliki dan
banyaknya informasi yang saya tidak punya. Bentuk belajar paling
memungkinkan adalah dengan menghafal informasi. Saya terpesona
dengan tokoh savant seperti Kim Peek yang mampu menghafal jutaan
entri dengan sangat akurat. Kim dapat menjawab segala pertanyaan yang
ada dan mampu mensintesiskan apa yang dia baca. Misalnya dengan
membaca sejarah, peta daerah, dan koran. Kim Peek bisa saja
mendeskripsikan setiap daerah dengan konteks sejarah daerah tersebut

secara akurat meskipun informasinya berasal dari sumber yang berbeda.


Pengetahuan Kim bisa dibilang sempurna, yaitu reliabel dan akurat.
Dengan cepat, sayapun menyadari saya tidak memiliki memori layaknya
Kim Peek, sehingga saya perlu mencari strategi yang lain. Saya kemudian
berfikir, bawa proses yang lebih ideal adalah mencari tahu tentang hal-hal
yang dekat dengan kehidupan saya di sekitar. Mungkin, karena saya orang
Indonesia, perjalanan saya akan saya mulai dengan mempelajari sejarah
Indonesia.
Mempelajari hal yang relevan di hidup saya, satu per satu jauh lebih saya
sukai daripada menghafal bacaan. Salah satu hipotesis saya adalah
karena dengan proses membaca dan berandai serta memikirkan
hubungan relevansinya dengan hidup saya saat itu memungkinkan saya
untuk terlibat secara emosi dengan informasi baru yang saya dapat. Lebih
jauh, proses ini memungkinkan saya tumbuh beserta setiap informasi
baru yang saya dapatkan.
Saya merasa informasi akan percuma jika informasi tersebut tidak bisa
diubah jadi pengetahuan yang bermakna. Bermakna dalam pandangan
saya artinya memiliki implikasi terhadap bagaimana saya memandang
dunia dan sebagai konsekuensinya bagaimana saya hidup dalam dunia
itu. Seringkali, kita dipaparkan terhadap kenyataan pahit di dunia dan
sangat mudah kita terbenam dalam tendensi nihilistik.
Untuk menengahi kedua hal ekstrem berikut maka proses membaca dan
berfikir kita harus juga dinamis. Terkadang, kita perlu melihat persoalan
secara filosofis dan mengikuti abstraksi ide dari awal serta rangkaian
logikanya dengan seksama. Namun, jika terus-terusan melihat persoalan
secara filosofis seringkali kita berpisah dari kenyataan. Karena sifat
kenyataan yang kompleks, abstraksi yang di-idealkan dari filosofi
seringkali tidak praktis. Namun, jika terus-terusan melihat hal secara
praktis, kita kehilangan framework untuk mempertanyakan status quo dan
terjebak di persoalan teknis tanpa mampu melihat pandangan lebih
besarnya.
Lingkungan kita senantiasa memberikan bahan berfikir, dan untuk bisa
menggunakan fenomena sekitar sebagai bahan untuk pengembangan diri
dan bahan untuk pengembangan ide yang kita miliki, maka kita perlu
dengan seksama membaca tanda-tanda alam. Semakin sensiftif dan
terlatih kita, akan semakin baik dalam mencerap intisari yang diberikan
oleh fenomena sekitar kita.

Fenomena yang menarik diamati bisa bersifat makro seperti isu nasional,
atau sekedar isu personal dan sehari-hari yang kita temui di kehidupan
kita. Inilah yang akan membantu kita membangun idealisme, dan ide-ide
(secara kasar akan saya katakan ideologi) kita sendiri.
Identitas Group
4 Juni memiliki sejarah besar di Cina. Ada peringatan Tiananmen Square
yang terjadi tahun 1989 yaitu usaha revolusi pro-demokrasi. Masyarakat
muda Cina yang berpendidikan, bahkan banyak yang bersekolah di
perguruan tinggi elit di luar negeri seperti Oxford, Yale, dll menganggap
bahwa memperingati 4 Juni sudah ketinggalan zaman. Di Hongkong
bahkan beberapa organisasi mahasiswa di Hongkong memboycott
peringatan tersebut.

Idealisme atau Senang-senang?

Anda mungkin juga menyukai