Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang
ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus
Meissneri dan pleksus mienterikus Auerbachi. 90% kelainan ini terdapat pada
rektum dan sigmoid. Hal ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi
kraniokaudal dari sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima
sampai minggu ke dua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus.
Aganglionik usus ini mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional .
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886,
namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion. Mutasi pada Ret proto-oncogene akhir-akhir ini
telah dihubungkan dengan penyakit Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan
dengan kelainan ini ialah Endothelin-B reseptor, endothelin-3 dan Glial cell
derived neurotrophic faktor.
Goldstein (2006) menyatakan bahwa migrasi sel-sel krista neuralis yang
kemudian mengadakan proliferasi dan diferensiasi didalam dinding usus akan
meningkatkan pembentukan sel saraf dan sel glial pada sistem saraf intestinal.
Kegagalan proses ini selama fase embriogenesis akan mengakibatkan gangguan

motilitas usus seperti yang terlihat pada penyakit Hirschsprung. Insidens penyakit
Hirschsprung adalah satu dalam 5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih
banyak dibanding perempuan ( Holschneider dan Ure, 2005 ).
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa
1
pasien seperti terjadinya enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat
menyebabkan kematian. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan Rontgen dengan enema barium,
pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi
anatomi. Manifestasi klinis penyakit Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup
bulan dengan keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang lebih dari 24
jam yang kemudian diikuti dengan kembung dan muntah. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan perut yang kembung hebat, gambaran usus pada dinding abdomen dan
bila dilakukan pemeriksaan colok dubur, feses akan keluar menyemprot dan gejala
tersebut akan segera hilang.
Pada pemeriksaan enema Barium didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini
yaitu adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi. Gambaran
mukosa yang tidak teratur menunjukkan adanya proses enterokolitis. Pada
penyakit Hirschsprung terdapat kenaikan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut
saraf dalam lamina propria dan muskularis mukosa. Pewarnaan untuk
asetilkolinesterase dengan tehnik Karnovsky dan Roots akan dapat membantu
menemukan sel ganglion di submukosa atau pada lapisan muskularis khususnya
dalam segmen usus yang hipoganglionosis.

Pemeriksaan elektromanometri dilakukan dengan memasukkan balon kecil


kedalam rektum dan kolon, dengan kedalaman yang berbeda-beda dan akan
didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik yang tidak berhubungan dengan
kontraksi pada segmen yang ganglionik Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan
dengan memeriksa material yang didapatkan dari biopsi rektum yang dilakukan
dengan cara biopsi hisap maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini dapat
ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissnner dan sel ganglion
Auerbach serta ditemukan penebalan serabut saraf (Holschneider dan Ure, 2005).
Kartono (2004) menyatakan bahwa bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis
enema barium ditemukan tanda khas penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang
pasienpun yang tidak menderita penyakit Hirschsprung
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan
non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta
mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan
adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum,
pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta
penjagaan nutrisi. Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas
tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif.

Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen


dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal
bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui
sebagai

penyebab

utama

terjadinya

kematian

pada

penderita

penyakit

Hirschsprung. (Langer, 2005). Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada


penyakit Hirschsprung antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik. Saat ini
prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan pada saat
penderita masih neonatus .
Permasalahan-permasalahan bedah definitif yang disebut diatas masih
cukup banyak antara lain masalah lama waktu operasi, tindakan kolostomi,
kebocoran anastomosis (5%) , striktura (10%), obstruksi usus (5%), abses pelvis
(5%), dan infeksi jaringan (10%) . Angka mortalitas penyakit Hirschsprung pada
neonatus yang tidak ditangani masih sangat tinggi yaitu mencapai 80%, sedang
kematian pada kasus-kasus yang telah ditangani 30% disebabkan oleh karena
enterokolitis. Angka mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur
operasi antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur
Duhamel 6,2%. Sawaf et al (2007) telah membandingkan hasil prosedur transanal
pull-through dengan prosedur transabdominal pull-through, 20 pasien dilakukan
transanal endorectal pull-through dan 21 pasien dilakukan transabdominal pullthrough. Hasil evaluasi 41 pasien tersebut ternyata 6 pasien harus dilakukan
operasi kembali akibat terjadinya obstruksi intestinal pada 3 pasien, enterokolitis
pada 2 pasien dan puntiran kolon pada 1 pasien.

Enterokolitis terjadi pada 13 kasus (61,9%) pada prosedur transabdominal


dan 9 kasus (45%) pada prosedur transanal. Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa penurunan insidensi enterokolitis lebih baik pada prosedur
transanal. Leeuwen et al (2002) membandingkan prosedur transperineal dan
transabdominal untuk operasi penyakit Hirschsprung dan enterokolitis yang
terjadi 53% pada prosedur transabdominal sedangkan pada prosedur transperineal
56%. Di Rumah Sakit Dr.Sardjito Yogyakarta sejak tahun 2005 oleh Rohadi telah
ditemukan tehnik operasi baru yaitu PSNRHD Posterior Sagittal Neurektomi
Repair for Hirschsprung Desease. Sedangkan prosedur yang lain meliputi:
prosedur Duhamel, prosedur Soave modifikasi, prosedur transanal dan prosedur
miomektomi rektal. Setiap tahun penderita Penyakit Hirschsprung tercatat ratarata 50 pasien (Rochadi, 2007).
Tehnik Posterior Sagittal Neurektomi Repair for Hirschsprung Desease,
dilakukan dengan irisan intergluteal untuk mencapai derah rektum, satu tahap
tanpa kolostomi dan tanpa dilakukan proses pull through atau tarik terobos
endorektal (Rochadi, 2007). Costa et al (2006) menyatakan bahwa enterokolitis
tetap merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas maupun morbiditas pada
penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi definitif.
Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya
mencapai 30% apabila tidak ditangani secara sempurna. Keadaan ini diakibatkan
oleh karena stasis usus yang memicu proliferasi bakteri didalam lumen usus
diikuti invasi ke mukosa sehingga terjadilah inflamasi lokal maupun sistemik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan embriologi kolon

Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan


kolon

kiri

sampai

dengan

rectum

berasal

dari

usus

belakang.

Dalam perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus


embrional sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang
bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian
besar usus yang samahalnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang
pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.6

Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang


sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai
kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata
sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin
kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum
terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal
mengontrol aliran kimus dari ileum kesekum.

Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens,


dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan
fleksuralienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk
suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu
kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid
sampai dengananus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang
dilindungi olehsfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai
kanalis ani adalah 5,9 inci.
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika
serosa, muskularis, tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus
besar mempunyai gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot
longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang
disebut taenia koli yang bersatu padasigmoid distal. Panjang taenia lebih
pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk
kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taeniam e l e k a t kantongkantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices epiploika.
Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak
lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripadausus
halus.Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan
inferior.

Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan


(mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri
mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika,
arteri kolikadekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika
inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversumsampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika
inferior mempunyai tigacabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis
superior, dan arterisigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur
oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media.
Aliran balik vena dari kolondan rektum superior melalui
vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis
superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah kehati. Vena
hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan
merupakan

bagian

dari

sirkulasi

sistemik. Ada

anastomosis

antara

venahemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan


portaldapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan
mengakibatkanhemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria
regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan
inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui sistrna kili yang
bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan
jugularis sinistra.

10

Hal ini menyebabkan metastasekarsinoma gastrointestinal bisa


ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran
balik

pembuluh

limfe

rektum

meng ikuti

aliran

pembuluh

darahhemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke


nodi limfatisiiliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe
anus dan kulit perineummengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom
kecuali sfingter eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis
berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan
saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian
distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis
medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika.
Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteriutama dan
berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dankontraksi,
serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai
efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalahaktivitas
refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan
Aurbach) dan interkoneksinya.
Jadi

pasien

dengan

k e r u s a k a n medula spinalis maka

fungsi ususnya tetap normal, sedan gkan pasien dengan penyakit


hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena
pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.

11

2.2 Fisiologi Kolon

Fungsi

usus

besar

ialah

menyerap

air,

vitamin,

dan

elektrolit, ekskresimucus serta menyimpan feses, dan kemudian


mendorongnya keluar . Dari 700-1000 ml cairan usus halus yang diterima
oleh kolon, hanya 150-200 ml y a n g dikeluarkan sebagai feses setiap
harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum,atau menelan
ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di
usus,sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari
peragiandikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai
500 ml sehari.Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat
obstruksi usus gastertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.
2.3 Penyakit Hirschsprung

Penyakit

Hirschsprung

atau

megakolon

aganglionik

bawaan

disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi
selalu termasuk anusdan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak
adanya inervasi saraf adalah akibatdari kegagalan perpindahan
neuroblast

dari

usus

proksimal

ke

distal.

Segmen

yang

aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita,


10%sampaiseluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus
sampai pilorus.

Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi


ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Dengan adanya
perbedaan embriologi antara anus dan rektum ini maka sistim vaskularisasi,
persarafan serta sistem limfatika berbeda pula. Rektum dilapisi mukosa

12

glanduler sedangkan kanalis analis dilapisi epitel gepeng. Batas rektum dan
kanalis analis ditandai dengan adanya perubahan jenis epitel. Kanalis analis
dan kulit luar disekitarnya kaya akan persarafan sensorik somatik yang peka
terhadap rangsang nyeri, sedang mukosa rektum mempunyai persarafan
autonom yang tidak peka terhadap rasa nyeri. Darah vena diatas garis
anorektum mengalir melalui sistem porta sedangkan yang berasal dari dari
anus dialirkan kesistem kava melaui vena iliaka. (Guyton, 1986)
1. Kanalis Analis
Makroskopis kanalis analis terdiri atas kolumna analis, valvula
analis, sinus analis, papila analis, zona transisi garis Hilton dan kelenjar
analis. Kolumna analis merupakan lipatan vertikal dari selaput mukosa,
sedang valvula analis merupakan lipatan melintang berbentuk bulan sabit
pada ujung bawah kolumna analis yang terdapat disepanjang linea
pektinata dan garis ini merupakan batas antara endoderm dan ektoderm.
Sinus analis terdiri dari lekukan-lekukan kecil tepat diatas valvula analis
dan tonjolan mukosa dari valvula analis disebut papila analis. (Shafik,
2000).

Secara mikroskopis kanalis analis terdiri atas tiga macam epitel


dimana diatas linea pektinea strukturnya menyerupai kolon, antara linea
pektinea dan garis Hilton dilapisi epitel transitional berlapis dan dibawah
garis Hilton epitel pipih berlapis (Guyton, 1986). Fu dan Zhang (1997)
menemukan adventitia rectalis, lapisan jaringan fibrous yang terluar pada
dinding rektum yang berfungsi membatasi gerakan ekspansi dinding

13

rektum. Pemotongan jaringan ini akan mengakibatkan pengurangan


pengkerutan rektum sehingga retum dapat ditarik lebih panjang dan lebih
elastis.
1. Sistema Muskulare
Pada individu normal, struktur otot seran lintang yang
berfungsi pada kontrol feses membentuk bangunan seperti cerobong.
Muskulus levator merupakan bagian paling atas dan muskulus sfingter
eksternus merupakan bagian paling bawah dari cerobong. Otot-otot
lain yang membentuk bangunan cerobong ini yaitu muskulus
ischiococcygeus, ileococcygeus, pubococcysigeus, puborektalis dan
muskulus sfingter ani internus. Sfingter terdiri atas otot polos dan otot
lurik yang membentuk saluran anal. Otot polos sfingter interna adalah
intrinsik pada dinding usus yang menempati 2/3 bagian distal saluran
anal, sebagian besar terletak distal dari garis pektinea, otot tersebut
merupakan penebalan muskulus sirkular yang diperkuat oleh muskulus
longitudinal di bagian luarnya (Shafik, 2000).
Sfingter eksterna merupakan lingkaran otot memanjang
mengelilingi katub anal sampai orifisium anal. Otot ini berupa
kumpulan otot-otot parasagittal yang betemu pada ujung anterior dan
posterior anus. Bangunan otot yang terletak antara muskulus levator
dan muskulus sfingter ani eksternus membentuk serabut-serabut otot
vertikal disebut muscle complex.Stimulasi pada muskulus levator
ani akan menyebabkan kontraksi yang menarik rektum kedepan,

14

sedangkan stimulasi pada muscle complex akan mengangkat anus


keatas. Stimulasi pada serabut otot parasagital akan menimbulkan
gerakan yang searah dengan serabutnya sehingga menyebabkan anus
akan tertutup. Otot-otot dasar panggul yang terletak pada pintu keluar
rongga pelvis, dibentuk oleh otot-otot levator ani , pubococcygeus,
ileococcygeus, ischiococcygeus dan puborectalis (Shafik, 2000).
2. Vaskularisasi

Vaskularisasi untuk daerah sigmoid dan bagian atas rektum


berasal dari arteria mesenterika inferior dan arteria kolika sinistra
sedangkan vaskularisasi rektum dan kanalis analis berasal dari arteri
hemorrhoidalis superior, media dan inferior. Arteria hemorrhoidalis
superior merupakan akhir dari arteria mesenterika inferior yang
melalui dinding posterior rektum turun sampai ke linea pektinea.
Arteria hemorrhoidalis media merupakan cabang dari arteria iliaka
interna yang pada wanita berupa arteria uterina.
Arteria hemorrhoidalis inferior merupakan cabang arteria
pudenda interna (Shafik, 2000). Vena pada rektum dan dan anus
mengikuti sistem arteri. Vena hemorrhoidalis superior berasal dari
pleksus hemorrhoidalis internus, berjalan ke kranial kedalam vena
mesenterika inferior dan melalui vena lienalis ke vena porta. Vena
hemorrhoidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena pudenda
interna, ke vena iliaka interna untuk selanjutnya ke vena kava inferior.
Anastomosis vena hemorrhoidalis superior, media dan inferior disebut
portosistemic shunt (Shafik, 2000).
3. Persarafan

15

a. Sistem Syaraf Intestinal.

Sistem saraf intestinal merupakan sekumpulan sel-sel saraf


pada saluran pencernaan yang fungsinya tidak tergantung pada
sistem saraf pusat. Sistem ini mengatur gerakan usus, sekresi
eksokrin, sekresi endokrin dan mikrosirkulasi saluran pencernaan
disamping mengatur proses immunitas dan inflamasi. Sistem saraf
intestinal mula-mula diperkirakan sebagai bagian otonom dari
sistem saraf perifer dan sel saraf pada dinding usus dianggap
sebagai sel saraf parasimpatis postganglion. Akan tetapi pada
penelitianpenelitian selanjutnya ternyata menunjukkan bahwa
usus

mempunyai

sistem

pengaturan

tersendiri,

kontraksi

peristaltik diatur oleh reflek-reflek yang melibatkan saraf


intramural dan kebanyakan sel saraf usus tidak berhubungan
dengan axon parasimpatis sistem saraf pusat secara langsung
(Goyal dan Hirano, 1996).
Penelitian selanjutnya mengenai fungsi dan dan aktivitas
kimiawi sistem saraf intestinal ternyata sangat mirip dengan sistem
saraf pusat dimana jumlah sel saraf mencapai 100 milyar
mendekati jumlah sel saraf pada medula spinalis. Bagian sistem
saraf pusat yang berhubungan dengan sistim saraf intestinal adalah
jaringan saraf sentral otonom. Sistem saraf intestinal bersama
jaringan-jaringan penghubung dengan sistem saraf pusat tersebut
secara simultan mengontrol seluruh fungsi saluran pencernaan
(Goyal dan Hirano, 1996).
Pada sistem saraf

intestinal,

sel

bodi

saraf

akan

berkelompok menjadi ganglion yang dihubungkan dengan bundel-

16

bundel saraf untuk membentuk dua pleksus besar yaitu pleksus


mienterius Auerbach yang terletak antara lapisan sirkuler dan
lapisan longitudinal serta pleksus submukosus Meissner yang
terletak pada submukosa antara lapisan sirkuler dan muskularis
mukosa. Pleksus mienterikus Auerbach berfungsi sebagai inervasi
motorik pada kedua lapisan otot dan inervasi sekretomotor pada
mukosa sedang pleksus submukosus Meissner berperan pada
pengaturan fungsi sekresi (Goyal dan Hirano, 1996).
Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior nervi
Sakralis 2, 3, 4. Persarafan preganglion ini membentuk dua saraf
erigentes yang memberikan cabang langsung ke rektum dan
melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk
organ-organ intra pelvis. Didalam rektum serabut saraf ini
berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan
simpatis berasal dari ganglion lumbal 2, 3, 4 dan pleksus praaorta.
Persarafan ini menyatu pada kedua sisi membentuk pleksus
hipogastrikus didepan vertebra lumbal lima dan melanjutkan diri
kearah postero lateral sebagai persarafan presakral yang bersatu
dengan ganglion pelvis pada kedua sisi (Shafik, 2000).
Persarafan simpatis dan parasimpatis ke rektum dan saluran
anal berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Meissner
untuk mengatur peristaltik dan tonus sfingter interna. Serabut
simpatis sebagai inhibitor dinding usus dan motor sfingter interna
sedang parasimpatis sebagai motor dinding usus dan inhibitor

17

sfingter. Sistem saraf parasimpatis juga merupakan persarafan


sensorik untuk rasa distensi rektum (Shafik, 2000).
Inervasi somatik pada otot-otot seranlintang terutama pada
bagian atas muskulus levator, musculus ischiococcygeus dan
pubococcygeus mendapat inervasi dari radix anterior nervus
sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis yang berasal dari nervus
sakralis 2, 3 dan 4 juga memberikan persarafan pada otot-otot
tersebut. Bagian bawah muskulus levator yaitu muskulus
puborektalis

dan

muskulus

sfingter

eksternus

membentuk

bangunan terpisah dan menerima inervasi cabang perineal nervus


sakralis 4, hemorrhoid inferior dan cabang perineal nervus
pudendus (Shafik, 2000).
Inervasi sensoris kanalis anal, termasuk daerah 1 cm diatas
linea pectinea dan kebawah sampai kulit anus merupakan daerahdaerah yang sangat sensitif. Terdapat akhiran-akhiran saraf yang
mampu mendeteksi rasa nyeri (intra epitelial), sensasi sentuhan
(Meissners corpuscle), sensasi dingin (Krauses end-bulb) sensasi
tekanan atau regangan (Pacini dan Golgi-Mazzoni) dan sensasi
gesekan (genital corpuscles). Bagian atas kanalis anal rektum, tidak
sensitif terhadap rangsangan-rangsangan tersebut diatas akan tetapi
sensitif pada rangsangan distensi yang diberikan oleh inervasi
parasimpatis pada otot polos dan reseptor proprioseptiv yang
terletak pada otot seranlintang disekitar rektum (Shafik, 2000).
Rektum menerima saraf otonom bersama pasokan darah
arteria rektalis. Saraf saraf pleksus pelvikus memberikan cabang

18

ke viscera genitourinarius yang terletak disebelah depan rektum


dan didepan fascia Denonvilliers (Davies, 1997).
1. Inervasi traktus gastrointestinal.
Pleksus saraf pada usus merupakan jaringan saraf
dengan fungsi tersendiri yang disebut sistem saraf intestinal
yang dihubungkan melalui jaringan saraf sentral otonom ke
sistem saraf pusat dengan saraf parasimpatis maupun saraf
simpatis. Sistem saraf intestinal dapat mempengaruhi sistem
efektor pada usus secara langsung maupun secara tidak
langsung lewat sel perantara yang berujud sel endokrin, sel
interstisial Cajal dan sel sistem immun seperti sel mast.
Gerakan normal traktus gastrointestinal tergantung pada sistem
saraf intestinal dan sel interstitial Cajal yang bertindak sebagai
sel-sel pacemaker. Lokasi sel-sel Cajal terdapat pada lapisan
mienterikus maupun muskularis, yang berfungsi untuk motilitas
usus, perkembangan traktus gastrointestinal serta membawa
Tyrosine Kinase Receptor. Pada zone aganglionik tidak
diketemukan sel Cajal sedang pada daerah zone transisi sel-sel
ini sangat terbatas dan pada zone ganglionik sel ini lebih sedikit
jika dibandingkan dengan usus normal (Tam et al 2003).
Sel bodi saraf saraf vagal primer dan splanchnic primer
afferen terletak pada ganglia nodosa dan ganglia radik dorsalis

19

yang membawa bermacam informasi dari usus ke sistem saraf


pusat (Goyal dan Hirano, 1996).
Kamimura et al (1997); Bealer et al (1994) menyatakan
bahwa

nitric oxide (NO) merupakan transmiter saraf

nonadrenergik noncholinergik dan pada penyakit Hirschsprung


ternyata terdapat kekurangan inervasi saraf nonadrenergik
noncholinergik pada zone aganglioniknya

2.4 Epidemiologi

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti,


tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung . Menurut catatan
Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan
Richardson

dan

Brown

menemukan

tendensi

faktor

keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24


keluarga).

Beberapa

bersamaan

dengan

kelainan
yakni

yang

Kelainan
penyakit

memiliki

DownSyndrome

kongenital

dapat

Hirschsprung,
angka

(5-10

%)

yang
dan

ditemukan

namun h a n y a

cukup

signifikan

kelainan

urologi

( 3 % ) . Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan


urologi seperti refluksvesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica
urinaria (mencapai 1/3 kasus).
2.5 Etiologi Penyakit Hirschsprung

20

Laporan pertama mengenai penderita penyakit Hirschsprung telah


disampaikan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, akan tetapi baru pada
tahun 1886 Harold Hirschsprung pertama kali menerangkan bahwa penyakit
ini adalah sebagai penyebab terjadinya konstipasi pada neonatus. Penyakit
Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan
tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan
pleksus mienterikus Auerbachi. 90% kelainan ini terdapat pada rektum dan
sigmoid. Hal ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari
sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu
ke dua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus.
Aganglionik usus ini mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal
dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional .Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung
diperlukan pemahaman yang mendalam perihal perkembangan embriologis
sistem saraf intestinal. Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural
tube yang kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk
membentuk bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel
pigmen, tulang kepala dan wajah serta saluran saluran pembuluh darah
jantung.
Sel-sel yang membentuk sistim saraf intestinal berasal dari bagian
vagal krista neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran
pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk
ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial pada kolon. Selama waktu
migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan melakukan proliferasi

21

untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel


tersebut kemudian berkelompok membentuk agregasi badan sel.
Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel
ganglion yang berhubungan dengan sel bodi saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini
kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos
dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus submukosus Meissnerr dan
bagian luar disebut pleksus mienterikus Auerbach. Secara embriologis sel-sel
neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis menuju saluran gastrointestinal
bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Pada minggu ke lima
kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus, pada minggu ke
tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke dua
belas.
Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbachi dan
selanjutnya menuju kedalam pleksus submukosa Meissneri. Apabila terjadi
gangguan pada proses migrasi

sel-sel kristaneuralis ini maka akan

menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah


penyakit Hirschsprung. Berdasar pada segmen kolon yang aganglionik,
penyakit Hirschsprung dibagi menjadi Hirschsprung short segmen bila segmen
aganglionik tidak melebihi batas atas sigmoid (S-HSCR, 80% kasus) dan
Hirschsprung long segmen bila segmen aganglionik melebihi sigmoid (LHSCR, 20% kasus). Ada empat varian penyakit Hirschsprung yang dilaporkan
yaitu total kolon aganglionosis, total intestinal aganglionosis, ultra short dan
suspended HSCR.
Puri (1997) menyatakan bahwa banyak keadaan yang secara klinis
menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi didapatkan sel ganglion pada

22

kolonnya.

Keadaan

tersebut

adalah

Intestinal

neuronal

displasia,

Hipoganglionosis, Immature ganglia, Pleksus argyrophyl yang negatif,


Akhalasia sfingter interna dan kelainan otot polos. Untuk membedakannya
diperlukan pemeriksan-pemeriksaan histokimia, immnohistokimia silver
staining dan mikroskop elektron.
Pada tahun 1994 ditemukan dua gen yang berhubungan dengan
kejadian penyakit Hirschsprung yaitu RET (receptor tyrosin kinase) dan
EDNRB (endothelin receptor B). RET ditemukan pada 20% dari kasus
penyakit Hirschsprung dan 50% dari kasus tersebut bersifat familial, sedang
EDNRB dijumpai pada 5 sampai 10% dari semua kasus penyakit
Hirschsprung. Interaksi antara EDN-3 dan EDNRB sangat penting untuk
perkembangan normal sel ganglion usus. Pentingnya interaksi EDN-3 dan
EDNRB didalam memacu perkembangan normal sel-sel krista neuralis telah
dibuktikan dengan jelas. Baik EDN-3 maupun EDNRB keduanya ditemukan
pada sel mesenkim usus dan sel neuron usus, dan ini memperkuat dugaan
bahwa EDN-3 dan EDNRB dapat mengatur regulasi antara krista neuralis dan
sel mesenkim usus yang diperlukan untuk proses migrasi normal (Duan,
2003).
Genom lain yang berperan sebagai penyebab terjadinya penyakit
Hirschsprung adalah Glial cell line Derived Neurothrophic Factor (GDNF),
Neurturin (NTN), Endotelin Converting Enzym 1, SOX 10 dan SIP 1 .
Nakatsuji et al (2007) menyatakan bahwa terjadinya penyempitan pada zone
aganglionik disebabkan oleh karena adanya hiperaktifitas saraf kolinergik,
defisiensi saraf inhibitor non adrenergik dan adanya hipoaktifitas otot polos.
Berdasar pada pemeriksaan histologis dan biokemis pada spesimen
aganglionik ternyata ditemukan adanya proliferasi serabut saraf kolinergik,

23

peningkatan aktifitas enzim asetilkolinesterase dan kenaikan pengeluaran


mediator asetilkolin.
Kecuali hal-hal tersebut diatas

pada zone aganglionik juga

diketemukan penurunan jumlah sel-sel penghasil nitric oxyde (NO) dan


peptidergik, penurunan kadar kalsium akibat kehilangan gen EDNRB
sehingga kolon akan ditempati oleh sel sel prekusor yang mengakibatkan
degenerasi pada otot polosnya. Berdasar tipe ketinggian segmen yang
aganglionik, 80% adalah short segmen dan 20% adalah long segmen.
Kelainan-kelainan penyerta yang sering didapatkan adalah palatoskisis,
polidaktili, defek katub jantung, malformasi kraniofasial dan sindrom
hipoventilasi.
Cherian et al (2008) menyatakan bahwa 70% penyakit Hirschsprung
adalah tanpa disertai kelainan bawaan yang lain dan melaporkan terjadinya
kelainan penyerta Bardet-Biedl sindrom pada saudara kandung keluarga Arab.
Bardet-Biedl sindrom merupakan kelainan pleiotropic autosomal recessive
dengan tanda-tanda obesitas, polidaktili, hipogenitalisme, kelainan ginjal,
retardasi mental dan gangguan tumbuh kembang. Ekema et al (2006)
menyatakan bahwa Cytomegalovirus kongenital merupakan infeksi intra
uterin yang paling kerap dijumpai pada manusia. Prevalensi kelainan ini
adalah 0,2% sampai 2,2% dan merupakan bagian dari virus herpes. Virus ini
ditularkan secara kontak langsung antar manusia. Penderita CMV dapat
mengekskresi CMV lewat urin, saliva, sekresi cerviks atau air susu.
Sel usus yang telah terinfeksi CMV dihubungkan dengan terjadinya
enterokolitis nekrotikans pada neonatus yang dapat menyebabkan terjadinya
striktur kolon dengan manifestasi klinis mirip dengan penyakit Hirschsprung.
Flageole et al (1996) melaporkan penderita dengan trisomi 21 pada penderita

24

penyakit Hirschsprung yang disertai atresia ani dan menyarankan bahwa


adanya penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada neonatus dengan kelainan
trisomi 21 yang disertai konstipasi.
2.6 Patofisiologi
1. Motilitas

Gerakan peristaltik merupakan gabungan gerakan kontraksi


diproksimal bolus dan gerakan relaksasi pada distal bolus. Gerakan ini
terutama dilakukan oleh stratum sirkularis dan ditambah kontraksi stratum
longitudinale tepat diatas bolus. Sirkuit reflek peristaltik terdiri atas
terjadinya distensi usus dan depolarisasi sel Cajal pada otot polos yang
lewat saraf kolinergik akan memicu interneuron pada pleksus Auerbach
dan pleksus Meissnerr yang meupakan saraf nonadrenergik nonkolinergik.
Mediator-mediator yang bekerja pada interneuron ini antara lain adalah
ATP, VIP dan NO.
Nitrogen Oxyde adalah neurotransmiter yang berfungsi sebagai
mediator untuk relaksasi otot polos usus oleh karena itu ketiadaan NO
akan menyebabkan kegagalan gerakan relaksasi pada segmen usus yang
aganglionik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya
kontraksi permanen pada segmen aganglionik kolon diakibatkan oleh
karena tidak adanya interneuron nonadrenergik nonkolinergik sehingga
produksi NO menjadi berkurang atau tidak ada. Namun demikian oleh
karena dinding kolon bersifat elastis maka tetap akan ada gerakan-gerakan
tapi tanpa koordinasi dan ini menjadikan alasan mengapa diagnosis
penyakit Hirschsprung kadang-kadang terlambat .
2. Kontinensi

25

Kontinensi merupakan kemampuan untuk menahan feses, dan hal


ini tergantung pada konsistensi feses, tekanan dalam lumen anus, tekanan
rektum dan sudut anorektal. Kontinensi diatur oleh mekanisme volunter
dan involunter yang menjaga aliran secara anatomi dan fisiologi jalannya
feses ke rektum dan anus. Penghambat yang berperan adalah sudut anus
dan rektum yang dihasilkan oleh otot levator ani bagian puborektal
anterior dan superior. Adanya perbedaan antara tekanan dan aktivitas
motorik anus, rektum dan sigmoid juga menyebabkan progresivitas
pelepasan feses terhambat. Kontraksi sfingter ani eksternus diaktivasi
secara involunter dengan distensi rektal dan dapat meningkat selama 1-2
menit.
Mekanisme kontinensi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
sfingter ani, mekanisme valf, reservoar rektum dan faktor sensoris
.Sfingter interna dipengaruhi oleh 4 mekanisme persarafan : 1. Alfa
adrenergik sebagai eksitator stimuli, berjalan pada nervus Hipogastrikus
yang berfungsi mempertahankan tonus sfingter intena , 2. Beta adrenergik
sebagai reseptor inhibisi yang berfungsi untuk relaksasi, 3. Saraf
kolinergik dan 4. Saraf nonadrenegik non kolinergik untuk relaksasi
sfingter interna dengan mediator NO, VIP dan Peptidergik lain (Scharli,
1987).
Banerjee dan Wilkin (1993) menyatakan bahwa sfingter ani interna
merupakan bagian terpenting pada proses kontinensi dan 80% tekanan
dalam anal kanal berasal dari organ tersebut. Sfingter ani internus berada
dalam kontrol syaraf otonom yang distimulasi oleh saraf simpatis dan
dihambat oleh saraf parasimpatis melalui pleksus sakralis dan pelvis.
Dalam keadaan istirahat tekanan pada daerah sfingter ani internus lebih

26

besar dibanding tekanan pada bagian atas anal kanal sehingga akan dapat
mengatur kontinensi dan flatus. Tekanan pada saat istirahat ini hanya 20%
dilakukan oleh aktivitas sfingter eksternus yang terdiri atas serabut otot
seran lintang yang persarafannya berasal dari cabang somatik nervus
pudendus.
Faktor lain yang mengatur fungsi kontinensi adalah muskulus
puborektalis dan sudut anorektal, dimana perlukaan pada otot ini pasti
akan terjadi inkontinensia yang tidak dapat dihindari. Muskulus
puborektalis merupakan otot seran lintang yang persarafannya berasal dari
cabang somatik nervus pudendus Sakral 2, 3 dan 4 yang berfungsi
mempertahankan sudut anorektal dalam keadaan normal yang berkisar
antara 60 derajat sampai 105 derajat. Dasar pathofisiologi terjadinya
penyakit Hirschsprung adalah gangguan propagasi gelombang propulsi
usus serta gangguan atau tiadanya relaksasi sfingter ani interna
3. Defekasi

Dalam keadaan istirahat lumen saluran anus akan menutup akibat


puborektal sling yang terletak disebelah kranial linea pektinea dan oleh
tonus istirahat sfingter interna dan eksterna yang terletak setinggi dan
dibawah katub anal. Feses dan material-material sisa yang telah berada di
rektum akan menyebabkan kenaikan tekanan didalam rongga rektum
sehingga akan memacu reseptor regangan dan mulailah reflek defekasi.
Reflek defekasi akan menyebabkan relaksasi sfingter interna, kontraksi
pada sigmoid dan rektum.
Distensi rektum ini akan disertai kemauan sadar untuk melakukan
buang air besar dan apabila otot sfingter eksterna juga mengalami relaksasi
maka defekasi akan terjadi. Bilamana keadaan lingkungan tidak

27

memungkinkan untuk defekasi maka sfingter eksterna akan kontraksi


sehingga defekasi akan dapat dicegah. Penundaan defekasi akan
menyebabkan rektum secara bertahap melakukan gerakan relaksasi dan
kemauan untuk defekasi akan menurun sampai gerakan mass movement
berikutnya yang akan mendorong lebih banyak feses.
Selama periode non aktivitas keadaan sfingter interna dan eksterna
tetap berada pada posisi kontraksi untuk menjaga kontinensi.

Proses

defekasi dibantu oleh gerakan mengejan yang melibatkan kontraksi otot


dinding perut dan ekspirasi kuat dalam posisi glotis tertutup yang akan
menyebabkan tekanan intraabdominal

meningkat. Sfingter interna

merupakan bagian akhir otot pendorong yang secara aktif mengeluarkan


feses atau flatus melalui anus. Serabut otot ini yang terdiri atas otot
sirkuler dan longitudinal membantu peristaltik diseluruh saluran anal
sampai ke orifisium. Bagian longitudinal yang sebagian berasal dari otot
pubococcygeus dan sebagian dari otot rektum involunter, secara aktif
menimbulkan ektropion anus selama fase peristaltik pengeluaran feses.

28

29

2.7 Insidensi

Insidens penyakit Hirschsprung adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup.


Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschsprung yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan
rasio laki-laki : perempuan adalah 4 : 1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group
etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran,
Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran.
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang
cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%).
Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti
refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
1/3 kasus).
2.8 Diagnosis
1. Gambaran Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan


berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
a. Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi
abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam

30

pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973)


mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan
Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan
segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang
serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang
pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa
diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi.
b. Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah

konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya
sulit untuk defekasi.
2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada


penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan

31

standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema,


dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

32

a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi;
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

33

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas


penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

34

Foto Polos Abdomen tampak dilatasi sistema usus dan tiadanya gas
di rectum dan Gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak
rektum yang mengalami penyempitan, diikuti zona transisi kemudian
sigmoid yang melebar (zona dilatasi).

35

3. Pemeriksaan patologi anatomi

Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas


absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak
penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan
semakin

tinggi

jika

immunohistokimia asetilkolinesterase,

menggunakan
suatu

enzim

pengecatan
yang

banyak

ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan


pengecatan

konvensional

dengan

haematoxylin

eosin.

Disamping

memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100,


metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja
pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi
yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan .
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2, 3, dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah
dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.
Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap
rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.
4. Manometri Anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan


obyektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang
melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal
dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis
meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar :

36

transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter
mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah :
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik;
c. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter
interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai
relaksasi spontan.
2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat


penyakit fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal
dan sindrom pseudo obstruksi intestinal. banyak kelainan-kelainan yang
menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi
anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut
antara lain Intestinal neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia,
Absence of argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainankelainan otot polos.

1. Meconiumplugsyndrome

37

Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,


tapi setelah colok dubur danmekoniumbisakeluar, defekasi selanjutnya
normal.
2. Akalasia recti

Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip


dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Aurbach.
3. Konstipasi psikogenik

Pada anak-anak berusia 4-5 tahun dimana mereka malas defekasi (sering 1
minggu sekali) sehingga perut tampak kembung dan pertumbuhan tubuh
buruk. Biasanya pada anak-anak ini ada sebabnya, misalnya ketakutan,
tidak puas, merasa terasing, dan lain-lain.
2.10 Klasifikasi Penyakit Hirschsprung

Klasifikasi penyakit Hirschsprumg adalah sebagai berikut:

38

1.

Hirschsprung segmen pendek


Pada morbus hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi
rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik.
Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima

kali lebih banyak daripada perempuan.


2. Hirschsprung segmen panjang
Pada hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih
tinggi dari sigmoid.
3. Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik
mengenai seluruh kolon.

39

4. Hirschsprung kolon aganglionik universalDikatakan Hirschsprung

aganglionosis universal bila daerah aganglionik meliputi seluruh kolon


dan hampir seluruh usus halus.
2.11 Terapi Penyakit Hirschsprung

Pada

prinsipnya,

sampai

saat

ini,

penyembuhan

penyakit

Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan


medis dapat dilakukan tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk
menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau
pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika
dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan
mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga
kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh .
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan
operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat
untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan
kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan
memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah dengan melakukan
operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian
melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian
bawah rectum.
Dikenal beberapa prosedur operasi yaitu prosedur Swenson,
prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi
anterior,

prosedur

Laparoskopic

Pull-Through,

prosedur

Endorectal Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal.

Transanal

40

a. Persiapan operasi.

Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka


sejumlah tindakan preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila
penderita dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan
stabilisasi dan resusitasi dengan pemberian cairan intra vena , antibiotik
dan pemasangan pipa lambung. Apabila sebelum operasi ternyata telah
mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan dilakukan secara agresif,
peberian antibiotika broad spektrum secara ketat kemudian segera
dilakukan tindakan dekompresi usus.
Teitelbaum (2003) melakukan serial pencucian rektum dengan
memberikan 10 ml/kg BB pada setiap kali pencucian dengan
menggunakan pipa rektum ukuran 18-20. Pada penderita kemudian
diberikan antibiotik intavena.
b. Prosedur Swenson

Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit


Hirschsprung dengan metode pull-through. Tehnik ini diperkenalkan
pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang
aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai
akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal
ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini
disebut prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum,
2003).
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II
dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik,

41

puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di


bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial
langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme
sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah
dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih
tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono ,
2004; Teitelbaum, 2003 ).
c. Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi


prosedur Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi
kerusakan nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah
pelvis. Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari
kerusakan tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal
yang ganglionik melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan
dalam posisi litotomi, dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong
dengan maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit
abdomen dilakukan secara paramedian atau transversal. Arteria
hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan
rektum. Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan
mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh
darah dan kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang
berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung
rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan
ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga
seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan.

42

Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat


sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini segmen
kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati
lubang anus dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan
anastomosis end to side setinggi sfingter ani internus. Anastomosis
dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam
jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi
akibat pemotongan septum yang tidak sempurna .
d. Prosedur Endorectal Pull Through ( SOAVE ).

Pada

prinsipnya

tehnik

ini

adalah

merupakan

diseksi

ekstramukosa rektosigmoid yang mula-mula dipergunakan untuk operasi


atresia ani letak tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah
irigasi rektum, dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik.
Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal, dengan
membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan
fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri melewati
lubang kolostomi dan dipasang kateter Dinding abdomen dibuka perlapis
sampai mencapai peritonium kemudian dilakukan preparasi kolon kiri.
Kolon distal dimobilisasi dan direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum.
Dibuat jahitan traksi pada kolon distal yang telah direseksi
kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis kearah distal. Lapisan otot
secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm diatas linea dentata.
Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Kolon yang
berganglion kemudian ditarik kedistal melewati cerobong endorektal.
Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong setelah 21 hari.
e. Prosedur Boley

43

Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi


anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon

f.

terlebih dulu
Prosedur Rehbein.
Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian
dilakukan anastomosis end to end antara kolon yang berganglion
dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Tehnik ini sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang
aganglionik masih panjang.

g. Prosedur miomektomi anorektal.

Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra


pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior
rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal,
dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa
diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang
berganglion
h. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.

Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah


dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan
povidon-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas
linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi
diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah
terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga
terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa .

44

Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi


lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding
dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada.
Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan
striktur anastomosis.

i.

Posterior Sagital Neurektomi Repair for Hirschsprung Disease


Teknik ini diperkenalkan oleh Rochadi, 2005. Rincian teknik
operasi adalah sebagai berikut:
Pesiapan preoperasi :
Pemeriksaan fisik yang teliti, penilaian keadaan umum penderita,
adanya kelainan bawaan yang lain, pemeriksaan laboratorium rutin,
albumin dan pemeriksaan rontgen dievaluasi secara cermat untuk
menentukan ada tidaknya kontraindikasi pembedahan dan pembiusan. Bila
ada dehidrasi, sepsis, gangguan eletrolit, enterokolitis, anemia atau
gangguan asam basa tubuh semuanya harus dikoreksi terlebih dahulu.
Pencucian rektum dilakukan dengan cara pemasangan pipa rektum dan
kemudian dimasukkan air hangat 10 ml/kg berat badan. Informed consent
dilakukan kepada keluarga meliputi cara operasi, perkiraan lama operasi,
lama perawatan, komplikasi-komplikasi,cara-cara penanganan apabila
terjadi komplikasi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin
terjadi (Rochadi, 2007).

45

Jalannya operasi :
Setelah dilakukan pembiusan, kemudian dipasang pipa lambung
dan kateter. Dipasang infus pada tangan dengan menggunakan abbocath
yang sesuai dengan umur penderita. Tehnik ini dilakukan dengan posisi
pasien tertelungkup Rochadi, 2007). Setelah dilakukan desinfeksi pada
daerah anogluteal kemudian daerah operasi ditutup doek steril. Irisan
pertama dimulai dengan irisan kulit intergluteal dilanjutkan membuka
lapisan-lapisan otot yang menyusun muscle complex secara tumpul dan
tajam sehingga terlihat dinding rektum. Lapisan otot dinding rektum
dibuka memanjang sampai terlihat lapisan mukosa menyembul dari irisan
operasi. Identifikasi daerah setinggi linea dentata dilakukan dengan cara
memasukkan jari telunjuk tangan kiri ke anus.
Panjang irisan adalah 1 cm proksimal linea dentata sampai zone
transisi yang ditandai dengan adanya perubahan diameter dinding rektum.
Agar supaya tidak melukai mukosa rektum maka setelah mukosa
menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari mukosa dengan
cara tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah terpisah dari
mukosa. Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5 cm dilepaskan
dari mukosa sepanjang zone spastik sampai zone transisi. Material ini
dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk pemeriksaan pewarnaan
hematoksilin-eosin guna identifikasi sel ganglion Auerbach dan Meissner
(Rochadi, 2007).

46

Lapisan-lapisan otot muscle complex ditutup kembali seperti


semula dengan benang Vicryl 3/0 diikuti lapisan subkutis dengan benang
plain cat-gut 2/0 dan lapisan kulit dijahit intra kutan dengan benang Vicryl
3/0. Dipasang pipa rektum untuk mencegah terjadinya infeksi pada irisan
operasi. Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprungs Disease ini
dilakukan satu tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull through.

Perawatan pasca operasi :


Penderita dirawat langsung dibangsal perawatan, kecuali apabila
ada indikasi dirawat terlebih dahulu di Intensive Care Unit (ICU) untuk
pengamatan pasca operasi yang ketat. Pipa lambung dilepas apabila fungsi
gastrointestinal telah kembali normal dan kateter dilepas pada hari kedua
perawatan. Antibiotik diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Pengawasan
yang teliti pada daerah perineum untuk mencegah terjadinya infeksi
dengan melihat ada tidaknya eritema atau selulitis. Untuk mencegah
ekskoriasis diberikan salf zinc dan tiap hari kasa betadin diganti untuk
menutup irisan operasi. Apabila tidak ada komplikasi penderita dapat
dipulangkan pada hari ke empat pasca operasi. Dilatasi anorektal dimulai
pada hari ke tujuh pasca operasi dengan menggunakan busi hegar nomer
enam, mula-mula dikerjakan di poliklinik dan kemudian dilanjutkan
dirumah. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya striktur.

47

Apabila terjadi enterokolitis maka diperlukan tindakan pencucian rektum,


pemberian antibiotik dan suspensi kaolin-pektin.
Pada tehnik operasi ini penderita ditidurkan dalam posisi
tertelungkup dengan pertimbangan bahwa secara topografi rektum berada
pada rongga pelvis, sehingga tindakan bedah secara PSNRHD akan dapat
langsung menuju target operasi, sedangkan pada tehnik ERPT target
operasi hanya dapat d icapai dengan membuat sayatan pada dinding depan
perut, membuka peritonium posterior, memotong arteri dan vena
hemorrhoidalis superior, memotong arteri dan vena sigmoidea dan bahkan
kadang-kadang harus memotong arteri dan vena kolika sinistra. Kecuali
hal tesebut diatas posisi telungkup pada operasi PSRHD akan memberikan
lapangan pandangan operasi yang lebih jelas oleh karena masuknya
persarafan menuju dinding rektum adalah lewat bagian posterior sehingga
tindakan neurektomi akan lebih mudah dikerjakan
j.

Permasalahan-Permasalahan Pembedahan
Permasalahan pembedahan yang sering dijumpai adalah masalah
komplikasi pasca bedah. Kebocoran anastomosis, stenosis, gangguan
fungsi sfingter ani ,enterokolitis serta mortalitas masih merupakan
permasalahan yang serius. Komplikasi yang timbul dalam 4 minggu
pertama merupakan komplikasi dini pasca bedah. Prosedur bedah
manapun yang dipilih mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan
komplikasi. Usia pada saat pembedahan, keadaan umum prabedah,
prosedur bedah yang digunakan, ketrampilan dan pengalaman ahli bedah,
antibiotika yang dipakai serta perawatan pasca bedah sangat berpengaruh

48

untuk terjadinya komplikasi. Lebih muda usia pasien serta keadaan umum
praoperasi yang kurang optimal umumnya lebih sering mengalami
komplikasi (Rehbein, 1966; Langer, 2005).
Prosedur prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma
pada persarafan traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang
akan mengakibatkan masalah pada traktus urinarius bagian bawah.
Inkontinensia urin yang terjadi setelah operasi dengan prosedur Rehbein
5,4%, prosedur Swenson 10,4%, prosedur Soave 15,3% dan prosedur
Duhamel 14,3%.
k. Perawatan Pasca Operasi.

Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali


normal, sedangkan kateter dilepas pada hari kedua pasca operasi.
Antibiotik dapat diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Perhatian khusus
ditujukan pada daerah perineum untuk terjadinya eritema dan selulitis
yang dapat merupakan tanda awal dari kebocoran anastomosis .
Dilatasi anorektal dapat dilakukan tiga minggu setelah operasi.
Pada penderita neonatus dilatasi anorektal dapat dilakukan dengan insersi
Hegar dilator nomer 6-7 yang dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah
terjadinya striktur anastomosis. Irigasi anorektal dapat dilakukan tiga
bulan setelah operasi untuk mencegah enterokolitis . Beberapa pasien
mendapatkan fungsi usus yang normal setelah dilakukan operasi, akan
tetapi pada reseksi usus yang panjang dapat tejadi buang air besar yang
frekwen dan berair sehingga menyebabkan ekskoriasis pada perineum.
Pada kasus yang demikian loperamid dapat diberikan untuk menurunkan
frekwensi buang air besar. Untuk agar feses menjadi padat dapat diberikan
kaolin-pectin . Hartman et al (2006) meneliti masalah fisik dan psikososial

49

penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi dan


menyarankan pengamatan pada inkontinensi feses, inkontinensi urin,
konstipasi dan disfungsi sex.
Perawatan pasca operasi yang disarankan adalah dilatasi anus,
pemberian laxatif, enema, diet dan toilet. Perawatan medis harus dilakukan
bersama perawatan paramedis yaitu fisioterapi, pengobatan psikososial
dan konsultasi diet.
2.12 Komplikasi

Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain


perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada
penderita yang dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma,
striktur, prolaps dan ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur
dan retraksi setelah tindakan anastomosis dapat dicegah dengan cara
pengamatan yang teliti pada keadaan vaskularisasi kolon yang akan
dilakukan pull-through serta menjaga agar anastomosis usus tidak dalam
keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat muncul terlambat
antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat terjadi pada
50% kasus.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi definitif dapat dibagi menjadi
komplikasi awal dan komplikasi terlambat. Disebut komplikasi awal apabila
terjadi dalam 4 minggu pertama pasca operasi dan apabila terjadi setelah
waktu tersebut disebut sebagai komplikasi terlambat. Komplikasi awal dapat
terjadi akibat kesalahan prosedur operasi atau disebabkan oleh karena
infeksi. Penelitian internasional dari 16 pusat bedah anak menunjukkan
kejadian kebocoran anastomosis (7%), striktur anastomosis (15%), infeksi

50

jaringan (11%), retraksi kolon pada metode Swenson(3%) dan retraksi kolon
dengan tehnik Soave (7%). Kompikasi terlambat yang terjadi setelah operasi
definitif meliputi konstipasi kronis, enterokolitis dan enkopresis. Konstipasi
kronis dapat terjadi akibat akhalasia sfingter ani, reseksi inkomplit, striktur
dan fekaloma. Konstipasi menetap dilaporkan terjadi pada prosedur
Swenson (6%), prosedur Duhamel (10%) dan setelah prosedur Rehbein
(7%) .Inkontinensi feses (soiling, enkopresis) adalah ketidak mampuan
untuk menahan isi rektum dapat terjadi pada prosedur Swenson (12%),
Duhamel (7%) dan Soave (3%) .Surana et al (1994) melakukan evaluasi
faktor-faktor risiko terjadinya enterokolitis pada 135 penderita penyakit
Hirschsprung dan mendapatkan 41 (30%) mengalami enterokolitis. Insidens
enterokolitis terjadi pada 27,6% pasien dengan tipe segmen pendek dan
37,8% pada segmen panjang. Faktor-faktor risiko tersebut adalah umur,
jenis kelamin, panjang segmen yang aganglionik, kelainan penyerta dan
prosedur operasi.
a. Komplikasi Enterokolitis
Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita
penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa
dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada
komponen

musin

dan

sel

neuroendokrin,

kenaikan

aktivitas

prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai


sebagai penyebab terjadinya enterokolitis . Pada keadaan yang sangat
berat enterokolitis akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi da nekrosis akibat iskemia

51

mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis,


pnematosis dan perforasi usus (Holschneider dan Ure, 2005).
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi
abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat
hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis
enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi
(Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990)
Kejadian enteokolitis berdasar prosedur operasi

yang

dipergunakan Swenson 16,9%, Boley-Soave 14,8%, Duhamel 15,4%


dan Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen 29, diare 38,
darah pada feses 2, muntah 31, panas 22 dan takikardi 12. Storey
( 1994 ) meneliti penyebab terjadinya enterokolitis pada penderita
penyakit Hirschsprung dan menyimpulkan bahwa penyebab enterokolitis
adalah multi faktoral yaitu hipersensitif pada antigen bakteri, dilatasi
kolon proksimal yang mengakibatkan iskemia, kelainan mukosubstan
kolon, kenaikan aktifitas prostaglandin E1, kelainan immunologis dan
infeksi bakteri patogen clostridium difficile, rotavirus, psudomonas.
Mattar et al (2003) menyatakan bahwa ekspresi protein MUC-2
mengalami penurunan pada penderita penyakit Hirschsprung dan tidak
terdeteksi pada penderita yang mengalami enterokolitis. Disarankan
untuk memeriksa ekspresi protein MUC-2 dari material feses penderita

52

untuk memprediksi enterokolitis yang dapat terjadi sebelum, selama dan


sesudah dilakukan tindakan operasi.

BA B III
KESIMPULAN

53

1.

Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang


ditandaidengan tidak danya sel ganglion (aganglionik ) parasimpatik pada
pleksusmesentrikus aurbach dan pleksus submukosa meissner
mengaikbatkanterhambatnya gerakan peristaltik sehingga terjadi
obstruksi fungsional dan hipertrofi serta dilatasi dari kolon proksimal.

2.

Gejala klinis pada masa neonatus berupa pengeluaran mekonium


yangterlambat, muntah hijau, distensi abdomen. Sedangkan pada
masa anak-anak berupa konstipasi berat dan kurang asupan gizi.

3.

Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen dan barium


enema p e n t i n g d a l a m m e n g e a k k a n d i a g n o s i s b e r u p a
g a m b a r a n k o l o n y a n g mengalami dilatasi serta pemeriksaan biopsy
rectal yang ditemukan secarahistology tidak ditemukannya sel-sel ganglion
(aganglionik).

4.

Penatalaksanaan berupa tindakan pengobatan dan pembedahan


denganmembuang bagian kolon yang aganglion dengan beberapa prosedur
yaitu Swenson, Duhamel, soave

5.

Komplikasi

penyakit

hisrschprung

yang

paling

berat

adalah

enetrokolitis,diikuti dengan kebocoran anastomose, stenosis

DAFTAR PUSTAKA
56
1. Wyllie,

Robert,
2000.
Megakolon
Aganglionik
Bawaan
(PenyakitHirschsprung) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu
Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319

54

2. Mansjoer Arief, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani

Wahyu
Ika,Setiowulan
Wiwiek,
2000.
Penyakit
Hirschsprung. D a l a m : K a p i t a S e l e k t a Kedokteran. Edisi 3. Jilid
2. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FK UI, 380- 381.
3. Irwan, Budi, 2003. Pengamatan fungsi anorektal pada penderita

penyakit Hirschsprung pasca operasi pull-through.Available From: Usu


digital library[ Akses 4 AGUSTUS 2015]
4. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-

82.
5. P i e t e r , J o h n , 2 0 0 5 . U s u s H a l u s , A p e n d i k s , K o l o n ,

d a n A n o r e k t u m . Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar


Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-647.
6. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan. D a l a m

: Embriologi

K e d o k t e r a n Langman. Edisi 7, Jakarta : EGC, 243-271.


7. L i n d s e t h ,

Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar.


H a r t a n t o H u r i a w a t i . Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit , Volume 1, Edisi 6. Jakarta. EGC. 456-468.

8. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi,

Obstruksiusus. Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi


Anatomi. Jakarta.EGC5. 532-538

REFERAT HIRSCHSPRUNG

55

Pembimbing :
Dr. Reiza Farsa.SPB.MH.KES

Disusun Oleh:
Dicha anne carolina
10310103

KEPANITRAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS MALAHAYATI
BAGIAN SMF BEDAH RSUD
TASIKMALAYA
2015
KATA PENGANTAR

56

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat NYA saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul
HISPRHUNG DISEASE.
Tugas referat ini saya buat dengan tujuan selain sebagai salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Bedah serta bertujuan agar para dokter muda
mengetahui dan memahami tentang masalah yang ditemukan pada pergelangan
tangan akibat kebiasaan sehari-hari yang sederhana tetapi bisamembawa dampak.
Saya ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan referat ini, khususnya Dr. REIZA FARSA,SPB,MH.KES yang telah
berkenan membimbing dan menguji referatini. Akhir kata saya mohon kritik
dan saran yang membangun demi kemajuan kita bersama,khususnya mengenai
referat ini.

Tasikmalaya, Agustus 2015

Penulis

DAFTAR ISI
i

57

KATA PEGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi dan Embriologi Kolon.............................................. 6

2.2

Fisiologi Kolon....................................................................... 11

2.3

Penyakit Hirschsprung........................................................... 11

2.4

Epidemiologi.......................................................................... 20

2.5

Etiologi Penyakit Hirschsprung............................................. 20

2.6

Patofisiologi........................................................................... 25

2.7

Insidensi................................................................................. 31

2.8

Diagnosis................................................................................ 31

2.9

Diagnosis Banding................................................................. 38

2.10

Klasifikasi Penyakit Hirschsprung........................................ 39

2.11

Terapi Penyakit Hirschsprung................................................ 41

2.12

Komplikasi............................................................................. 52

BAB III KESIMPULA................................................................................ 56


DAFTAR PUSTAKA

ii

Anda mungkin juga menyukai