Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fakta yang sekarang ini menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih
rendah jika dibandingkan dengan Negara-negara lain di dunia. Hal ini mempunyai dampak
yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam segala aspek bidang
kehidupan.
Untuk menciptakan masyarakat yang maju maka yang perlu diperhatikan terlebih
dahulu adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya
mencapai tujuan. Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi
bahwa MBS merupakan pemikiran kea rah pengelolaan pendidikan yang memberi
keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara
luas.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Apakah pengertian dari Manajemen Berbasis Sekolah


Bagaimanakah sejarah munculnya Manajemen Berbasis Sekolah
Apakah implikasi Manajemen Berbasis Sekolah terhadap pembelajaran?
Apa peranan profesionalisme guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah?

C. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui pengertian dari Manajemen Berbasis Sekolah


Untuk memahami sejarah munculnya Manajemen Berbasis Sekolah
Untuk mengetahui implikasi Manajemen Berbasis Sekolah terhadap pembelajaran
Untuk memahami peranan profesionalisme guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Secara bahasa, Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu
manajemen,

berbasis,

dan sekolah1. Manajemen

adalah

pengkoordinasian

dalam

penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya
selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari
tugas, rencana, program.
Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu
organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau suatu
lembaga pendidikan dimana disana terjadi proses belajar mengajar serta tempat menerima
dan memberikan pembelajaran.
Istilah manajemen berbasis sekolah juga merupakan terjemahan dari school based
management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat. Manajemen berbasis sekolah itu sendiri adalah suatu model pengelolaan sekolah
yang memberikan kewenangan dan otonomi lebih luas kepada kepala sekolah bersama guru,
orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan
pembelajaran yang kreatif, aktif, menyenangkan dan memperoleh dukungan partisipasi
masyarakat secara optimal.
MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi deberikan agar
sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mngalokasikannya sesuai
dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pada sistem
MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas,
mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada
masyarakat maupun kepada pemerintah.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut2:

1 Nurkholis, M.M. Drs, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta, PT. Grasindo, halaman 1
3

1. Kebijaksaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta


didik, orang tua dan guru.
2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah.
4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencaan.
MBS, yang ditandai dengan otonomi sekolah dan perlibatan masyarakat merupakan
respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain
diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui
partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas,
peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah. Peningkatan pemerataan antara lain
diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian
masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.
Dalam pelaksanaanya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru
secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar banyak
dari pengalaman-pengalaman pelaksaan MBS di negara lain, kemudian memodifikasi,
merumuskan, dan menyusun model dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat
seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang
pengelolaan pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini.

B. Sejarah Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah


1. Manajemen Berbasis Sekolah di Negara-negara maju
2 Fitrina Dewi, Manajemen Berbasis Sekolah, diakses dari
http://fitrinadewi.blogspot.com/2012/04/pengertian-manajemen-berbasis-kurikulum.html, pada
tanggal 21 April 2012 pukul 21:00
4

Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negara bagian di Australia, dan Amerika
Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun
1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia, termasuk wilayah
Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik
pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang
kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara
berkembang lainnya di seluruh dunia.
Munculnya MBS tidak terlepas dari upaya-upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan di
suatu negara. Sejak tahun 60-an dan 70-an banyak sekali inovasi yang telah dilakukan,
misalnya pengenalan kurikulum baru, pendekatan baru dan metode baru dalam proses
pembelajaran, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi
perkembangan manajemen dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai sukses,
maka para pakar pendidikan pun percaya bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan, perlu
ada lompatan pemikiran dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup
organisasi sekolah. Lompatan pemikiran yang dimaksud tersebut adalah perubahan dalam
struktur dan gaya manajemen sekolah dengan mengadopsi aplikasi manajemen modern.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah
efektif (effective scholl), ada gerakan anggaran sekolah mandiri (self budgeting school) yang
menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada juga pengembangan kurikulum
berbasis sekolah (school based curriculum development), pengembangan staf berbasis
sekolah (school based staff develovment) serta bimbingan siswa berbasis sekolah (scholl
based student counseling). Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda
itu kemudian melahirkan satu konsep dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah.
Lahirnya MBS di suatu Negara tetap berdasarkan dengan sistem pendidikan yang ada
sebelumnya. Di Hongkong misalnya kemunculan MBS dilatar belakangi kondisi pendidikan
yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan sistem pendidikan. MBS di sebut dengan
the School Management Initiative. Di Kanada kemunculan MBS menggunakan istilah School
Site Decision Making, yang didasari dengan adanya kelemahan dari pendekatan fungsional
yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu
kekuatan yang nyata maka perlu dilembagakan yaitu dalam bentuk MBS.
Di Amerika Serikat kemunculan MBS disebabkan masyarakat mulai mempertanyakan
relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu
5

kinerja sekolah-sekolah di negeri paman sam itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang
dibutuhkan oleh siswa untuk terjun ke dunia kerja. Setelah dianggap tidak mampu
memberikan hasil maksimal dalam konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu
indikasinya adalah perstasi siswa untuk beberapa mata pelajaran tidak memuaskan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut maka langkah yang ditempuh adalah menerapkan Manajemen
Berbasis Sekolah sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal itu dapat dipahami
bahwa penerapan MBS di Amerika terjadi setelah masyarakat dan pemerintah menyadari
pentingnya pendidikan di masa depan.
Lahirnya MBS di Inggris berawal dari inisiatif reformasi pendidikan yang kemudian
diakomodir dalam undang-undang pendidikan (education art) antara lain berisi adanya
kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional serta pelaporan nasional. Kontrol terhadap
anggaran sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekolah.
Selain itu juga memberikan pilihan kepada orang tua dengan cara meningktkan diversifikasi
dan meningktkan akses terhadap sekolah. Sementara itu bantuan dana pendidikan dari
pemerintah pusat diberikan langsung kepada sekolah-sekolah. Dengan dasar inilah sehingga
di inggris MBS dikenal dengan istilah grant maintained school (GMS). Atau manajemen
swakelola pada tingkat lokal.
Reformasi bidang pendidikan seperti ini juga terjadi di Negara-negara maju lainnya
seperti Australia, Francis, New Zeland dan sebagainya. Dari uraian tersebut di atas dapat di
simpulkan bahwa meskipun konsep dan motif penerapan MBS di berbagai Negara
mempunyai perbedaan, akan tetapi rata-rata dilatar belakangi oleh beberapa hal yaitu :
a. Terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada
atasan dan mengesampingkan bawahan
b. Kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun.
c. Adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk
merekunstrukturisasi pengeloalaan pendidikan.
d. Untuk melibatkan semua warga sekolah dalam mengambil kebijakan dan
merumuskan tujuan sekolah.
2. Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Di Indonesia latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-Negara
maju yang lebih dulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok hanya lambatnya kesadaran
para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Negara maju sudah banyak mengadakan

reformasi pendidikan pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, sementara Indonesia
reformasi pendidikan tersebut terjadi 30 tahun kemudian.
Di Indonesia munculnya gagasan MBS sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah
sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Pengelolaan pendidikan di Indonesia
selama ini sangat bersifat sentralistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan
keputusan, sebaliknya daerah dan sekolah bersifat fasif hanya sebagai penerima dan
pelaksana perintah pusat. Pola kerja sentralistik itu sering mengakibatkan adanya
kesenjangan antara kebutuhan ril sekolah dengan perintah dengan perintah atau apa yang
digariskan oleh pusat. Sistem sentralistik dinilai kurang bisa memberikan pelayanan yang
efektif dan tidak mampu menjamin kesinambungan kegiatan lokal. Oleh karena itu perlu
adanya formula baru dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Formula baru itu
memungkinkan sekolah memiliki otonomi yang seluas-luasnya, yang menuntut peran serta
masyarakat secara optimal. Dengan dasar inilah muncul penerapan MBS di Indonesia.
Penerapan MBS di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya undang-undang No.25 tahun
2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004. Konsep MBS ini
kemudian tertuang dengan jelas dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 Yaitu :
1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas,

jaminan

mutu,

dan

evaluasi

yang

transparan.

Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia menggunakan model Manajemen


Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan
antara lain, pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemampaatan
sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua sekolah lebih
mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat
dalam pengambilan keputusan dapat mencipatakan transparansi dan demokrasi
yang sehat. MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara
langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
7

yang berlaku. Oleh Karena itu MBS di Indonesia merupakan pola baru dalam di
dunia pendidikan yang diharapkan dapat memberikan angin segar terhadap
peningkatan mutu pendidikan.

C. Implikasi Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap Pembelajaran


Dalam implikasinya, MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan
berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan
memberdayakan otoritas daerah setempat.
MBS lebih menekankan ke arah pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan. Melalui MBS diharapkan siswa akan merasakan adanya iklim belajar yang
demokratis. Siswa diberi kesempatan untuk berpendapat dan berbeda pandangan, tidak harus
selalu menerima apa yang diberikan oleh guru tanpa adanya kritisi terlebih dahulu. Kegiatan
belajar mengajar tidak hanya dilakukan di dalam ruangan kelas, tetapi bisa juga dilakukan di
luar ruangan kelas. Guru harus bisa menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk
lebih kreatif, karena dalam memecahkan masalah anak akan dihadapkan pada persoalanpersoalan yang menuntut anak untuk mandiri dalam memecahkan masalah tersebut. Belajar
kreatif tidak hanya menyangkut perkembangan kognitif saja, melainkan juga menyangkut
perkembangan perkembangan afektif dan psikomotor. Tugas guru hanya sebagai fasilitator
untuk membantu anak memaksimalkan kemampuan yang dimiliki, dan menuntun anak agar
anak kreatif. Karenanya, dalam pembelajarannya harus menciptakan suasana yang
mendukung partisipasi penuh dari siswa, sehingga siswa memperoleh pengalaman dan
melakukan eksperimen yang mampu menemukan konsep-konsep yang dipelajari.
Implementasi MBS mengharuskan pemberian keleluasaan yang penuh pada guru untuk
dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menimbulkan rasa ingin tahu bagi anak, dan
anak betah tinggal di sekolah. Kondisi saat anak berteriak kegirangan ketika jam istirahat atau
jam pulang sekolah merupakan indikasi bahwa pembelajaran di sekolah belum dirancang
dalam suasana yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan akan merangsang
anak untuk berpikir kritis, analisis dan mendorong orang tua serta masyarakat untuk lebih
jauh memikirkan pendidikan bagi anak-anaknya. Pembelajaran yang menyenangkan juga
memungkinkan anak jauh dari hukuman, sebab hukuman hanya akan membuat anak malu
dan merasa dendam. MBS dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan

akan membantu anak memahami diri pribadinya. Dimana ia duduk, dia memahami perbedaan
diantara persamaan dan persamaan diantara perbedaan.
D. Peranan Profesionalisme Guru Dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Kompetensi profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan
sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran,
kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar3. Pada umumnya disekolahsekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan pembelajaran
dengan melakukan untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan
peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme, yaitu guru yang profesional adalah
guru yang kompeten (berkemampuan). Karena itu, kompetensi profesionalisme guru dapat
diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya
dengan kemampuan tinggi. Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam
mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran,
kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Pada umumnya di sekolahsekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan pembelajaran
dengan melakukan untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan
peserta didik hanya mendengarkan.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik secara aktif dilibatkan dalam memecahkan
masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan
pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para
guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya dalam merencanakan pembelajaran,
baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang desain sekolah, kolaborasi tentang
pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam proses penilaian.
Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki
oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, terdiri dari 3 (tiga) yaitu ; kompetensi
pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional mengajar. Keberhasilan guru dalam
menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh ketiganya dengan penekanan pada
kemampuan mengajar.
Pendidik dalam artian guru dalam membantu menyukseskan manajemen berbasis sekolah
perlu meningkatkan diri dan mengembangkan potensi profesionalitas untuk meningkatkan
mutu pendidikan. Untuk meningkatkan kualifikasi guru dan memiliki kemampuan
profesional, pemerintah telah melahirkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru
dan dosen. Salah satu upaya dari undang-undang tersebut adalah meningkatkan
profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi guru. Seperti yang kita
3 H. Hamzah B.Uno, M.Pd. Prof.Dr, profesi kependidikan, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 18
9

ketahui jabatan guru adalah jabatan yang paling tidak disukai dalam masyarakat modern saat
ini, hal ini disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang dibandingkan
profesi-profesi lainnya. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 telah menggariskan upaya untuk
meningkatkan kualitas guru dengan kualifikasi sekurang-kurangnnya ijazah S-1.
Prinsip-prinsip profesionalisme guru (berdasarkan UU Guru dan Dosen) dapat ditilik dari
9 poin sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme,
2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan dan ahlak mulia,
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latarbelakang pendidikan yang sesuai
4.
5.
6.
7.

dengan bidang tugasnya,


Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya,
Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja,
Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara

berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,


8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam

melaksanakan

tugas

keprofesionalan,
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan tugas keprofesionalannya.
Berdasarkan hal di atas, seorang guru harus benar-benar memahami dalam hal
menjalankan profesinya sehingga seorang guru mendapatkan pengakuan yang baik oleh
masyarakat terhadap profesi yang dijalankannya dan dapat mengoptimalkan pendidikan
dalam manajemen berbasis sekolah. Selain hal di atas, seorang guru dalam upaya pembinaan
dan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik, perlu juga dilakukan melalui
pengembangan konsep kesejawatan yang harmonis dan objektif. Untuk itu, diperlukan
adanya sinergi dengan sebuah wadah organisasi (kelembagaan) para pendidik, dengan bentuk
dan mekanisme kegiatan yang jelas, serta standar profesi yang dapat diterapkan secara
praktis. Pidarta, mengungkapkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
profesionalisme tenaga pendidik adalah sebagai berikut4:
1. Meningkatkan

kualitas

dan

kemampuan

dalam

pelaksanaan

proses

pembelajaran.
4 Beny pradnyana , peranan profesionalisme guru dalam manajemen berbasis sekolah
diakses dari http://beny-pradnyana.blogspot.com/2012/01/peranan-profesionalisme-gurudalam.html pada tanggal 5 januari 2012 pada pukul 23:50

10

2. Berdiskusi tentang rencana pembelajaran.


3. Berdiskusi tentang substansi materi pembelajaran.
4. Berdiskusi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi
5.
6.
7.
8.

pengajaran.
Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawatdi kelas.
Mengembangkan kompetensi dan performansi guru.
Mengkaji jurnal dan buku pendidikan.
Mengikuti studi lanjut dan pengembangan pengetahuan melalui kegiatan

ilmiah.
9. Melakukan penelitian.
10. Menulis artikel.
11. Meneyusun laporan penelitian.
12. Menyusun makalah.
13. Menyusun laporan atau review buku.
Guru dalam manajemen berbasis sekolah berfungsi untuk meningkatkan mutu
kegiatan belajar mengajar disekolah melalui kegiatan pemecahan masalah, melakukan uji
coba dan mengembangkan ide-ide baru proses pembelajaran, serta kegiatan lain yang
menunjang kemajuan pendidikan disekolah.

BAB III
KESIMPULAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian
sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara umum adalah untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi)
kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola

11

sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan.

12

DAFTAR PUSTAKA
Hamzah B. Uno. 2011. Profesi Kependidikan, Jakarta : Bumi Aksara
Mulyasa,

E.

2009. Manajemen

Berbasis

Sekolah

Konsep,

Strategi,

dan

Implementasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.


Nurkolis. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
http://fitrinadewi.blogspot.com/2012/04/pengertian-manajemen-berbasis-kurikulum.html
http://beny-pradnyana.blogspot.com/2012/01/peranan-profesionalisme-guru-dalam.html
http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2010/10/sejarah-lahirnya-mbs.html

13

Anda mungkin juga menyukai