Anda di halaman 1dari 16

TRAUMA GINJAL

1. Anatomy dan Fisiologi

Ginjal memiliki sejumlah peranan penting dalam fungsi fisiologi manusia.


Utamanya ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit serta
keseimbangan asam dan basa. Ginjal memproduksi renin, yang memiliki peranan
yang vital dalam mengontrol tekanan darah dan erythropeietin, yang
mempengaruhi produksi sel darah merah.
Secara makroskopis ginjal bilateral berwarna coklat kemerahan, memiliki
berat masing masing 150 g pada pria dan 135 g pada wanita. Ginjal memiliki
ukuran vertikal 10 12 cm, transversal 5 7 cm, dan ukuran anteroposterior
sekitar 3 cm. Dikarenakan tekanan dari hepar, ginjal kanan cenderung lebih
pendek dan lebar. Bentuk khas ginjal yang lain adalah adanya suatu tonjolan
parenkim di sepanjang sisi lateral, yang dikenal dengan dromedary hump. Ini
adalah suatu variasi normal tanpa patologis yang bermakna, lebih sering pada
ginjal kiri dibandingkan dengan yang kanan disebabkan adanya tekanan dari
limpa maupun hepar.
Korteks ginjal memiliki warna yang lebih terang dan tidak hanya meliputi
perifer dari piramida ginjal tapi juga berlanjut hingga diantara piramida ginjal
tersebut. Bagian kelanjutan dari korteks diantara piramida ginjal tersebut dikenal
dengan kolumna Bertin, dimana kolumna ini memiliki arti penting dalam tindakan
bedah, karena pembuluh darah berjalan melalui kolumna ini dari sinus renal
menuju korteks perifer. Adanya struktur anatomi dari kolumna bertin tersebut
menyebabkan akses perkutan menuju sistem pengumpulan dilakukan dengan
menembus piramida ginjal kedalam calyx untuk menghindari pembuluh darah
besar yang terdapat didalam kolumna tersebut.
Posisi ginjal di regio retroperitoneum bervariasi dalam hal sisi, derajat
inspirasi, posisi tubuh dan adanya anomali anatomis. Ginjal kanan berada 1 2

cm lebih rendah dibandingkan yang kiri pada kebanyakan orang disebabkan posisi
hepar. Secara umum, ginjal kanan berada pada ruang antara puncak dari lumbar 1
hingga bagian bawah dari lumbar 3 kolumna vertebra. Ginjal kiri memiliki ruang
superior yang lebih besar pada thorakalis 12 hingga lumbar 3 kolumna vertebra.
Kedua ginjal memiliki otot yang sama yang mengelilinginya. Di bagian
posterior, diafragma meliputi sepertiga atas dari masing masing ginjal, dengan
tulang kosta 12 menyilang pada bagian bawah diafragma. Hal penting lainnya
yang perlu diingat dalam prosedur ginjal perkutan dan insisi regio flank adalah
bahwa pleura di posterior berlanjut hingga tulang kosta 12. Di bagian medial, 2/3
bagian bawah ginjal berbatasan dengan muskulus psoas, dan di lateral dengan
muskulus kuadratus lumborum dan aponeurosis muskulus transversus abdominis.
Akibatnya adalah kutub bagian bawah ginjal berada relatif lateral dan anterior
terhadap kutub atas nya, juga aspek medial dari masing masing ginjal terputar ke
arah anterior dengan sudut kira kira 30 derajat. Pemahaman dari orientasi ginjal
ini menjadi hal penting dalam pelaksanaan prosedur ginjal perkutan dimana
orientasi ginjal mempengaruhi pemilihan tempat akses prosedur tersebut.
Di bagian anterior, ginjal kanan berbatasan dengan sejumlah struktur
penting.

Di bagian kranial, kutub atas ginjal berbatasan dengan hepar dan

dipisahkan darinya dengan peritoneum kecuali untuk bagian posterior hepar.


Ligamentum hepatorenal mengikat ginjal kanan dengan hepar karenanya
peritoneum parietal menjembatani kutub atas ginjal kanan dengan bagian
posterior dari hepar.

Juga pada kutub atas ginjal, kelenjar adrenalin kanan

berhadapan dengan hepar. Pada aspek medial, duodenum berhubungan dengan


aspek medial dari ginjal dan struktur hilar. Pada aspek anterior dari kutub bawah
ginjal berada pada flexura hepatica kolon.
Ginjal kiri pada bagian superior berbatasan dengan ekor dari pankreas
dengan pembuluh limpa berdampingan dengan hillum dan kutub atas ginjal kiri.
Pada bagian kranial dari kutub atas ginjal kiri terdapat kelenjar adrenal dan pada
bagian superolateral terdapat limpa. Ligamentum splenorenal mengikat ginjal kiri
dengan limpa. Ikatan ini dapat berlanjut ke kapsular limpa bila tekanan kebawah
terjadi pada ginjal kiri. Pada bagian superior dari ekor pankreas, bagian posterior

dari dinding gaster dapat tumpang tindih dengan ginjal kiri. Pada bagian kaudal,
ginjal kiri tertutup oleh flexura splenika dari kolon.
Pedikel ginjal terdiri dari arteri tunggal dan sebuah vena yang masuk ke
ginjal melalui hilum ginjal. Struktur struktur tersebut merupakan cabang dari
aorta dan vena cava inferior dibawah arteri mesenterika superior pada level
lumbar kedua kolumna vertebra. Vena terletak di anterior dari arteri. Pelvis ginjal
dan ureter terletak lebih posterior terhadap struktur vaskular.
Arteri renalis kanan meninggalkan aorta dan berlanjut di bagian kaudal
dibawah vena kava inferior menuju ginjal kanan. Arteri renalis kiri berjalan
hampir ke arah lateral menuju ginjal kiri. Kedua arteri ginjal tersebut berada di
posterior ketika memasuki ginjal.

Kedua arteri tersebut juga memiliki

percabangan yang menuju masing masing kelenjar adrenal, pelvis renal dan ureter.
Ketika mendekati ginjal, arteri renalis membagi diri menjadi empat atau
lebih percabangan, umumnya adalah lima buah percabangan. Percabangan
percabangan ini dikenal dengan arteri segmentalis renalis. Masing masing arteri
segmentalis mensuplai bagian ginjal yang tidak memiliki sirkulasi kolateral
diantaranya, sehingga oklusi ataupun injuri terhadap arteri segmentalis akan
menyebabkan infark segmentalis ginjal.
Setelah memasuki sinus renalis, arteri segmentalis bercabang menjadi
arteri lobaris yang kemudian di dalam parenkim ginjal menjadi arteri interlobaris.
Pada basis dari piramida ginjal, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri
arkuata. Arteri arkuata ini berjalan paralel dengan batas dari kortikomedular.
Arteri interlobular yang merupakan cabang dari arteri arkuata kemudian
membentuk arteri afferent menuju glomeruli.
Drainase vena ginjal berkaitan erat dengan perdarahan arteri.
interlobularis mendrainase kapiler post glomeruli.

Vena

Vena vena ini juga

berhubungan secara bebas melalui plexus vena subkapsularis dari vena stellata
dengan vena di dalam lemak perinefron. Setelah vena interlobularis, drainase
vena berlanjut melalui arkuata, interlobar, lobar dan percabangan segmental,
dengan arah dari masing masing cabang tersebut berjalan paralel dengan masing
masing arteri nya. Setelah percabangan segmental, drainase vena berkembang
menjadi tiga hingga lima trunkus vena yang pada akhirnya membentuk vena
renalis. Tidak seperti pada sistem arteri, sistem vena berhubungan secara bebas
3

melalui vena vena disekitar infundibula untuk sirkulasi kolateral yang ekstensif
ginjal. Dalam pembedahan, hal ini penting karena tidak seperti perdarahan arteri,
oklusi dari vena segmental memiliki efek yang sedikit terhadap aliran vena.
Sistem limfatik ginjal mengikuti pembuluh darah di dalam kolumna bertin
dan kemudian membentuk beberapa trunkus limfatikus di dalam sinus renalis.
Setelah limfatik tersebut keluar dari hilum, bercabang dari kapsula renalis,
jaringan perinefritik, pelvis renalis dan ureter bagian atas masuk kedalam sistem
limfatik ini dan mengosongkan kedalam nodus limfatikus yang berkaitan dengan
vena renalis dekat dengan hilum.
Di sisi kiri, limfatik utamanya mendrainase kedalam nodus limfatikus para
aorta lateral kiri, termasuk nodus anterior dan posterior menuju aorta diantara
arteri mesenterika inferior dan diafragma. Kadang kadang, terdapat drainase
tambahan dari ginjal kiri kedalam nodus retrocrural atau secara langsung kedalam
duktus thoracicus diatas diafragma.

Di sisi kanan, drainase kedalam

interaortacaval dan nodus limfatikus paracaval kanan, termasuk nodus yang


terletak anterior dan posterior terhadap vena cava, dari pembuluh iliaka menuju
diafragma. Kadang kadang juga terdapat drainase tambahan dari ginjal kanan
kedalam nodus retrocrural atau nodus limfatikus para-aorta kiri.
Persarafan preganglionik simpatetis berasal dari thorakalis VIII melalui
lumbar pertama dan berjalan menuju ganglion aorticorenal dan ganglion celiaca.
Kemudian serabut postganglionik berjalan menuju ginjal melalui plexus
autonomikus disekitar arteri renalis. Serabut parasimpatetis berasal dari nervus
vagus dan berjalan dengan serabut simpatetis menuju plexus autonomicus
sepanjang arteri renalis. Fungsi utama dari persarafan autonom adalah vasomotor,
dengan vasokonstriksi yang terinduksi oleh simpatetik dan parasimpatetik yang
menyebabkan vasodilatasi. Dengan adanya persarafan ini, adalah penting untuk
memahami bahwa fungsi fungsi ginjal akan baik bahkan tanpa kontrol
neurologis ini, yang dibuktikan dengan keberhasilan dari transplantasi ginjal.

2. Trauma Ginjal
2.1. Latar belakang
4

Trauma didefinisikan sebagai kondisi morbid dari tubuh yang diakibatkan


oleh kekerasan eksternal. Trauma ginjal terjadi 1% 5% dari keseluruhan trauma
(Baverstock et al 1991; Meng et al 1999). Ginjal merupakan organ genitourinaria
dan organ abdomen yang paling sering sering mengalami trauma.
Mekanisme trauma pada ginjal dapat dibagi atas trauma tumpul dan
trauma tajam.

Trauma tumpul biasanya merupakan sekunder dari kecelakan

kendaraan bermotor, dimana kecelakaan lalu lintas menjadi yang paling sering
(Kristjanson & Pedersen 1993).
Schmidin et al (1998) membuktikan suatu hipotesis mengenai mekanisme
terkait dengan trauma tumpul. Konsentrasi tekanan maximal disebabkan oleh
kombinasi efek dari energi dan reaksi yang terkait yang dikombinasikan oleh
kompartmen dalam ginjal.
Kedaruratan umumnya ditandai dengan adanya perubahan yang cepat dan
bersifat kontinyu pada pasien. Saat ini telah banyak terdapat alat bantu diagnosis
yang berteknologi tinggi, namun tidaklah menyingkirkan adanya kebutuhan bagi
seorang urolog untuk mengidentifikasi permasalahan melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis.
2.2. Klasifikasi Trauma Ginjal
American Association for the Surgery of Trauma ( AAST )
mengklasifikasikan trauma ginjal kedalam grade I V. Dalam suatu tinjauan
retrospektif, sistem skala yang diklasifikasikan oleh AAST ini merupakan suatu
faktor prediksi penting untuk menentukan perlu atau tidak nya dilakukan suatu
pembuangan organ ginjal yang terdampak oleh trauma (santuci et al, 2001).

Sistem skoring ini awalnya diperkenalkan pada tahun 1989, dan kemudian
berkembang lebih jauh dan diaplikasikan pada ginjal, ureter, kandung kemih,
urethra, testis, skrotum dan penis.
Dalam penerapan sistem skoring trauma ginjal dari AAST ini, sangatlah
penting untuk membedakan laserasi parenkim dan trauma renovaskular dalam
kelompok IV dan V disebabkan manajemen dan outcome yang berbeda dari
keduanya. Dari beberapa data penelitian terakhir menunjukan bahwa penggunaan
klinis dari sistem skoring trauma ginjal ini bersifat prediktif terhadap morbiditas
dalam trauma tumpul maupun trauma tajam, juga terhadap angka mortalitas pada
trauma tumpul dan resiko nefrektomi dengan eksplorasi pada trauma ginjal.

2.3. Mekanisme Trauma Ginjal


Oklusi arteri ginjal berhubungan dengan adanya mekanisme deselerasi
pada trauma ginjal. Secara teori, posisi ginjal bergeser menyebabkan adanya
traksi pada arteri ginjal sehingga terjadi robekan pada lapisan intima yang tidak
elastis menyebabkan perdarahan dinding pembuluh sehingga terjadi trombosis.
Kompresi arteri ginjal antara dinding abdomen dan corpus vertebra dapat
menyebabkan trombosis pada arteri ginjal ( sullivan and stables, 1972 ).
Trombosis arteri biasanya terjadi dengan trauma pada arteri maupun parenkim.
Luka tembak ataupun luka tusuk adalah yang paling sering terjadi pada
jenis luka tembus. Dalam luka tembus, arteri, retroperitoneum dan kemungkinan
peritoneumnya sendiri mengalami perlukaan sebagai akibat dari jalur benda yang

menembus tersebut. Sebagai tambahan, luka jenis ini dapat menyebabkan kondisi
yang tidak steril sehingga menjadi media yang baik bagi bakteri untuk tumbuh
dan berkembang biak. Kerusakan ginjal akibat dari traum tembus cenderung lebih
berat dan kurang dapat diprediksi daripada perlukaan akibat trauma tumpul.
Akibat dari besarnya energi kinetik yang dimiliki oleh peluru,
menyebabkan potensial kerusakan parenkim menjadi lebih besar dan bahkan
kadang kadang dikaitkan dengan kerusakan organ multipel (Ersay, 1999).

2.4. Gambaran Klinis


Riwayat trauma pada regio flank, trauma dengan deselerasi, jatuh dari
ketinggian, ataupun trauma tembus abdomen, pelvis dan dada bagian bawah akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya kerusakan pada ginjal.

Hematuria

merupakan gejala yang paling sering, walaupun magnitude dari hematuria ini
kurang berkorelasi dengan magnitude dari kerusakan akibat trauma.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan resiko cedera ginjal harus meliputi
penilaian yang baik dari abdomen, punggung, pinggang dan dada, bersama
pemeriksaan lengkap dari sistem genitourinaria. Tanda tanda adanya cedera
pada ginjal meliputi nyeri tekan di regio flank, sudut costovertebra ataupun
abdomen, adanya massa yang dapat diraba ataupun ekomosis di regio flank,
punggung ataupun abdomen. Inspeksi yang lengkap pada regio regio ini akan
adanya luka tembus adalah sangat penting. Luka tembus yang terletak posterior
terhadap garis aksila anterior dapat menyebabkan cedera ginjal, yaitu 12% bila
dibandingkan dengan cedera pada organ lainnya.
Pemeriksaan laboratorium meliputi urinalisis dan juga pemeriksaan
mikroskopis darah. Spesimen awal yang harus diperiksa di Unit Gawat Darurat
adalah untuk pemeriksaan hematuria untuk meningkatkan akurasi diagnosis.
Penentuan elektrolit serum, Ureum dan kreatinin serta Haemoglobin adalah sangat
penting.

Sample darah untuk jenis dan cross-match dapat dilakukan apabila

klinisnya menunjang.

2.5. Pemeriksaan Radiologis


Biasanya semua pasien dengan trauma abdomen dan hematuria dilakukan
pemeriksaan radiologis di Unit Gawat Darurat. Dengan fakta ini, beberapa seri
cedera ginjal menunjukan lebih dari 90% dari pasien yang dilakukan pemeriksaan
radiologis hanya menunjukan cedera minor, umumnya adalah kontusi ataupun
cedera minor lainnya yang tidak memerlukan monitoring ataupun intervensi yang
intensif. Kerugian dari pemeriksaan radiologis meliputi besarnya biaya, ekspose
radiasi, kemungkinan alergi ataupun reaksi nefrotoksis dari kontras, waktu yang
dibutuhkan serta resiko ketika memindahkan pasien. Faktor faktor ini perlu
diseimbangkan terhadap resiko cedera yang luput dari diagnosis. Sekelompok
peneliti di tahun 1985 di Rumah Sakit Umum San Fransisco mempelajari dan
menganalisis kasus kasus trauma ginjal dan menemukan bahwa temuan yang
menjadi faktor prediktif yang bermakna dari cedera ginjal hanyalah meliputi
adanya trauma tembus ataupun trauma tumpul dengan gross hematuria ataupun
microhematuria dan syok. Syok itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik <90 mmHg setelah terjadinya cedera, termasuk pada saat transportasi oleh
ambulan. Dalam ulasan dari 812 pasien dengan mikrohematuria tanpa syok, tidak
ditemukan adanya cedera ginjal. 44 cedera ginjal ditemukan diantara 195 pasien
dengan gross hematuria ataupun microhematuria dan syok.
Beberapa peneliti menyarankan pemeriksaan radiologis yang standar untuk
pasien pasien yang mengalami cedera kepala, hilang kesadaran ataupun
perubahan status mental, dikarenakan kurangnya informasi pada pemeriksaan fisik
dan besarnya trauma dapat menyebabkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya
cedera yang luput.

Beberapa peneliti lain menyarankan untuk memperluas

pemeriksaan radiologis terhadap pasien pasien dengan mekanisme cedera yang


sesuai dengan trauma deselerasi. Pendekatan ini untuk menghindari luputnya
cedera terhadap pedikel ginjal ( disrupsi intima pada arteri ginjal dan
devaskularisasi ginjal ), yang bisa ada tanpa mikrohematuria pada 20 30%
kasus. Adanya fraktur tulang panjang, fraktur tulang iga ataupun fraktur prosesus
spinosus transversus juga dapat menjadi indikasi untu memodifikasi batasan
pemeriksaan radiologis untuk memprediksi adanya cedera ginjal.
8

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kriteria yang meliputi batasan


pemeriksaan radiologis terhadap pasien dengan gross hematuria ataupun
microhematuria dengan syok belum diperluas terhadap pasien dengan trauma
tembus. Para pasien dengan trauma tembus dengan hematuria, kecurigaan adanya
cedera akan menjadi indikasi dilakukannya pemeriksaan radiologi traktus
urinarius, tanpa memperhatikan besarnya derajat hematuria. Trauma tembus yang
bermakna dapat terjadi tanpa terjadinya hematuria, biasanya apabila trauma
terhadap major collecting system menyebabkan urine dari ginjal yang cedera
keluar melalui retroperitoneum sehingga mencegah peristaltis uretera.
Pada trauma tembus, gambaran radiologis umumnya dilakukan untuk
menilai pasien dengan manajemen non operatif dalam kondisi klinis yang tepat.
Konsep dilakukannya pemeriksaan gambaran radiologis preoperatif secara
sederhana untuk memperlihatkan adanya dua fungsi ginjal sebelum dilakukan
intervensi bedah menjadi kurang populer saat ini. Sebagai gantinya, pemeriksaan
intraoperatif, apabila dibutuhkan, dapat dilakukan intravenous pyelogram (IVP)
intraoperatif secara selektif pada saat laparotomi trauma untuk menunjukan fungsi
ginjal (Morey AL et al, 1999).
radiologis

Pemilihan modalitas pemeriksaan gambaran

telah berevolusi sejak ditemukannya

pemeriksaan

Computed

Tomography (CT Scan) untuk evaluasi kegawat daruratan. Di masa lalu, IVP
dengan nefrektomi telah menjadi pendekatan standar, sedangkan saat ini CT Scan
telah menjadi standar emas untuk menilai secara tepat cedera ginjal.
Walaupun IVP telah digambarkan sebagai standar untuk menilai fungsi
ginjal memiliki tingkat akurasi 60 85%, CT Scan memiliki sejumlah keuntungan
lainnya. Namun, ahli bedah trauma dan urolog harus tetap familier dengan IVP
untuk menemukan faktor prediktif adanya cedera ginjal, dikarenakan penggunaan
rutin dari CT Scan untuk penilaian trauma tidak selalu dapat dilakukan, terutama
mengingat variasi infrastuktur yang berbeda beda di setiap daerah, pemeriksaan
IVP masih dibutuhkan saat ini. Hasil dari pemeriksaan IVP ini meliputi adanya
fraktur dari prosesus spinosus, adanya efek massa di jaringan lunak, hilangnya
garis psoas pada sisi yang terlibat, dan pergeseran vertikal dari ginjal. Hilangnya
garis kortikal renal, gross ekstravasasi dari kontras, penurunan ipsilateral dalam
fungsi ekskresi dan hilangnya bagian opak dari collecting system harus menjadi
9

perhatian.

IVP memungkinkan konfirmasi adanya 2 unit ginjal, memberikan

informasi umum dari cedera, dan dapat menunjukan ekstravasasi yang bermakna.
Perkiraan akurasi dari IVP dalam mendeteksi cedera ginjal memiliki
variasi. Secara umum, IVP harus dilihat sebagai alat untuk melihat secara kasar,
bukan untuk menilai secara tepat level cedera. Beberapa penelitian menunjukan
20% pasien dengan cedera ginjal yang bermakna dapat menunjukan IVP yang
normal. Sebagai tambahan, lebih dari setengah pasien menunjukan ginjal yang
tidak berfungsi pada IVP memiliki alasan lain selain oklusi arteri, termasuk
kontusio, overhidrasi, dan hipotensi ataupun hipoperfusi.
Keuntungan dari CT Scan dibandingkan IVP meliputi identifikasi dari
kontusio dan hematoma subkapsular, lokasi dan kedalaman dari laserasi parenkim,
sehingga lebih reliabel untuk menunjukan ekstravasasi kontras, dan identifikasi
cedera pada pedikel dan arteri.

Juga terdapat penambahan gambaran ruang

perinefrik, organ solid lainnya, dan juga delineasi dari banyak kasus perforasi dari
hollow viscus dan identifikasi adanya cairan intraperitoneal.
Pemeriksaan arteriografi saat ini kurang memiliki peran pada kasus cedera
ginjal sejak CT Scan menjadi pemeriksaan yang populer, terutama mengingat
biaya, sifatnya yang invasif, dan penilaian yang khusus yang dibutuhkan.

2.6. Manajemen Non Operatif


Cedera yang bermakna ( gr. II IV ) ditemukan hanya pada 5,4% dari
kasus cedera ginjal (Miller and McAninch, 1995). Pasien dengan hemodinamik
stabil dengan staging cedera yang baik dengan CT Scan biasanya dapat diterapi
tanpa eksplorasi ginjal; 98% dari cedera tumpul ginjal dapat dirawat secara
nonoperatif. Grade IV dan V lebih sering membutuhkan eksplorasi bedah, tapi
bahkan cedera jenis ini pun dapat dirawat tanpa operasi apabila telah dilakukan
staging secara hati hati (santucci and McAninch, 2000).
Trauma tembus yang berasal dari luka tembak ataupun luka tusuk pada
ginjal dapat dilakukan manajemen nonoperatif bila dilakukan staging secara hati
hati dengan CT Scan. 55% luka tusuk ginjal dan 24% luka tembak pada ginjal
dilakukan manajemen nonoperatif setelah dilakukan pemilihan dan staging yang
baik (McAninch et al, 1991).
10

Pasien dengan cedera grade tinggi ( gr.III IV ) yang dilakukan


manajemen nonoperatif harus diobservasi ketat dengan pemeriksaan hematokrit
dan CT Scan Abdomen serial. Pada perdarahan yang persisten ataupun lambat,
pemeriksaan

angiografi

dengan

emblolisasi

pembuluh

yang

mengalami

perdarahan seringkali cukup dan jelas untuk dilakukan intervensi bedah.


Stent endovaskular telah digunakan dengan hasil yang baik selama
angiografi pada pasien dengan trombosis arteri ginjal yang berasal dari flap intima
(Goodman et al, 1998).
Sekitar 80 90% cedera ginjal memiliki kaitan dengan cedera organ yang
dapat mempengaruhi pilihan manajemen cedera ginjal.

Cedera ginjal yang

terisolasi, tanpa adanya kaitan dengan cedera lainnya yang bermakna, lebih sering
terjadi dan dalam banyak kasus dapat dilakukan manajemen nonoperatif.
Pengecualian tentunya pada grade V cedera avulsi vaskular pedikel.
Cedera ginjal terisolasi dengan laserasi parenkim dan bahkan cedera arteri
segmental dapat terjadi perdarahan aktif yang dapat dikontrol dengan baik dengan
embolisasi angiografi.

Tekhnik dan keterampilan radiologi intervensi

memudahkan embolisasi selektif bahkan pada pembuluh parenkim yang terkecil


dengan preservasi fungsi yang maksimal.

Namun, harus disadari bahwa

pembuluh ginjal adalah bersifat end-artery, dan embolisasi selektif pembuluh


darah dapat menyebabkan kematian jaringan perifer pada lokasi embolisasi.
Pasien dengan grade IV laserasi parenkim, yang memiliki hematoma dapat
diobservasi dengan baik. Pasien pasien ini harus diobservasi dengan ketat
terhadap perdarahan, tanda tanda vital, pemeriksaan hematokrit serial, dan
frekuensi nadi. Bila ekstravasasi urin terjadi, pemeriksaan CT Scan serial harus
dilakukan.

Dan bila urin ekstravasasi ini berlanjut lebih dari 48 jam, perlu

dilakukan pemasangan stent uretera internal untuk drainase bahkan pencegahan


pemanjangan dari ekstravasasi dan mengurangi kemungkinan pembentukan
urinoma perirenal.
Bila manajemen nonoperatif dipilih untuk pasien dengan gross hematuria
yang memiliki cedera yang telah distaging dengan baik melalui pemeriksaan
gambaran radiologis yang tepat, admisi perawatan di rumah sakit untuk bed rest
sangat dibutuhkan.

Setelah gross hematuria telah hilang, rawat jalan dapat

11

dilakukan; namun bila gross hematuria kembali terjadi harus dilakukan kembali
bed rest.
2.7. Manajemen Operatif
Indikasi untuk dilakukannya eksplorasi ginjal setelah trauma dapat
dikelompokan menjadi indikasi absolut dan relatif.

Indikasi absolut meliputi

adanya bukti terjadinya perdarahan persisten, hematoma perirenal yang


berkembang, dan hematoma perirenal yang pulsatif.

Indikasi relatif meliputi

extravasasi urin, jaringan yang non viabel, diagnosis cedera arteri yang terlambat,
dan staging yang belum lengkap.
Extravasasi urin sendiri dari suatu laserasi parenkim grade IV ataupun
ruptur forniks dapat dilakukan manajemen non operatif dengan suatu ekspektasi
terjadinya perbaikan spontan pada 87,1% (matthews et al, 1997). Bila jaringan
yang nonviabel lebih dari 20% dalam kaitannya dengan laserasi parenkim ataupun
ekstravasasi urin ataupun keduanya, potensi terjadinya komplikasi akan
bertambah tinggi dan pilihan manajemen nonoperatif dapat diperdebetkan
(Hussman and Morris, 1990).
Cedera arteri segmental ginjal yang berkaitan dengan laserasi ginjal
menyebabkan sejumlah jaringan yang non viabel ( biasanya <20% ), dan cedera
semacam ini biasanya mengalami penyembuhan lebih cepat dengan pembedahan
rekonstruksi dan pembuangan jaringan.

Pendekatan ini sering menghindari

tingkat komplikasi yang tinggi apabila dilakukan observasi tanpa eksplorasi ginjal
(Hussman et al, 1993).
Staging yang tidak lengkap merupakan suatu perhatian yang penting
dalam menentukan apakah eksplorasi ginjal dibutuhkan. Bila kondisi pasien kritis
membutuhkan intervensi pembedahan sebelum dilakukannya pemeriksaan
radiologis dan cedera ginjal menjadi jelas, single-shot IVP harus dilakukan. Bila
hasilnya tidak normal, eksplorasi ginjal memungkinkan untuk proses staging yang
lengkap dan merekonstruksi cedera.
Pembedahan eksplorasi dari cedera ginjal akut, dilakukan terbaik dengan
metode transabdominal, yang memungkinkan untuk inspeksi menyeluruh dari
organ intra abdominal dan usus. Dalam beberapa kasus trauma tembus, cedera

12

organ yang terkait lebih dari 94% (McAninch et al, 1993). Cedera pada pembuluh
darah besar, hepar, limpa, pankreas dan usus dapat diidentifikasi dan distabilisasi
bila dibutuhkan sebelum dilakukannya eksplorasi ginjal.
Metode pembedahan untuk eksplorasi ginjal tampak dalam gambar
dibawah. Pembuluh darah ginjal diisolasi sebelum dilakukannya eksplorasi untuk
memungkinkan dihindarinya perdarahan massif saat fascia gerota dibuka. Kolon
transversum diangkat ke arah superior ke arah dada, dan usus kecil diangkat
superior ke arah kanan sehingga akan mengekspos midretroperitoneum. Insisi
dibuat diatas aorta di retroperitoneum superior terhadap arteri mesenterika
inferior. Insisi diperpanjang ke arah superior ke ligamen Treitz sehingga akan
mengekspose permukaan anterior dari aorta dan disusul ke arah vena ginjal kiri,
yang menyilang aorta di anterior. Dengan suatu kontrol loop pembuluh vena,
hubungan anatomis dari arteri ginjal kanan dan kiri saat meninggalkan aorta
memungkinkan untuk dilakukannya isolasi dan mengamankan struktur struktur
tersebut. Vena ginjal kanan dapat diamankan melalui insisi ini, namun bila sulit
dilakukan, merefleksikan bagian kedua dari duodenum akan mengekspos vena
secara baik.

Hematoma yang besar dapat berada diatas aorta dan gambaran penampang
insisi retroperitoneal akan menjadi tidak jelas.

Dalam situasi tersebut, vena

mesenterika inferior dapat digunakan sebagai panduan anatomis untuk


dilakukannya insisi dengan membuat insisi retroperitoneal di medial dari vena
mesenterika inferior dan dilanjutkan dengan diseksi melalui hematome sehingga
permukaan anterior dari aorta dapat diidentifikasi dan diteruskan ke arah superior
terhadap penyilangan vena ginjal kiri.

13

Ginjal terekspos dengan insisi peritoneum lateral dari kolon, diikuti


dengan mobilisasi fascia gerota. Manuver ini kadang membutuhkan pelepasan
dari ikatan limpa (kiri) ataupun hepar (kanan) dengan kolon.

Fascia gerota

kemudian dibuka dan ginjal dengan cedera dapat secara lengkap terdiseksi dari
hematoma disekitarnya.

Namun bila perdarahan yang menyulitkan berlanjut,

pembuluh darah yang sebelumnya diisolasi dapat secara sementara ditutup dengan
klem vaskular atau dengan torniket pembuluh darah.
Prinsip dari rekonstruksi ginjal setelah trauma meliputi ekspose ginjal
secara lengkap, debridemen dari jaringan yang non viabel, hemostasis dengan
jahitan ligasi dari perdarahan pembuluh darah, penutupan collecting system yang
tidak bocor, dan approksimasi dari kerusakan parenkim.

Rennorrafi didefinisikan sebagai upaya perbaikan dari laserasi parenkim.


Tekhnik nya digambarkan seperti tampak dibawah, meliputi ekspose lengkap dari
ginjal, debridemen jaringan non viabel, hemostasis dengan jahitan 4-0 chromic
yang dapat diabsorbsi pada perdarahan pembuluh darah, penutupan collecting
system, dan aproksimasi batas laserasi dengan jahitan 3-0 dengan penggunaan
kapsula ginjal dan gelatin yang dapat diabsorbsi (gelfoam).

Apabila cedera kutub ginjal tidak dapat direkonstruksi, nefrektomi parsial


haruslah dilakukan dan semua jaringan non viabel disingkirkan, dilakukan
hemostasis dan collecting system ditutup.

Parenkim kemudian harus ditutup

dengan pedikel flap menggunakan omentum. Dengan vaskularisasi yang kaya dan
suplai limfe, omentum akan memungkinkan penyembuhan luka dan mengurangi
kemungkinan terjadinya perdarahan yang lambat dan ekstravasasi urin. Namun

14

bila hal tersebut tidak memungkinkan, penggunaan mesh yang dapat diabsorbsi,
graft peritoneal, ataupun lemak retroperitoneal dapat dilakukan.
Pada sejumlah kasus cedera ginjal, struktur intra abdominal juga
mengalami cedera, hati dan limpa adalah yang paling sering terjadi. Cedera pada
kolon, pankreas, dan lambung juga kadang terjadi dan sebelumnya disarankan
untuk dilakukan nefrektomi total dikarenakan tingginya tingkat komplikasi dalam
upaya penyelamatan ginjal. Namun, saat ini upaya perbaikan ginjal dalam kasus
cedera seperti ini telah dapat dilakukan dengan sukses dengan tingkat komplikasi
yang minimal (Rosen and McAninch, 1994; Wessels and McAnincd, 1996).
Ekstravasasi urin dapat menyebabkan urinoma, infeksi perinefrik, dan
kematian ginjal.

Para pasien ini awalnya diberikan antibiotik sistemik dan

diobservasi ketat dengan antibiotik yang tepat. Dalam persentase yang tinggi,
ekstravasasi akan sembuh spontan (Matthews et al, 1997). Namun bila kemudian
terjadi persisten, penggunaan dari stent uretera internal kadang mengatasi masalah
tersebut.

Suatu metode non operatif dengan observasi ketat biasanya akan

menghasilkan ginjal yang fungsional.


Perdarahan ginjal yang terlambat dapat terjadi beberapa minggu setelah
cedera, biasanya terjadi dalam 21 hari. Manajemen awal adalaah bed-rest dan
hidrasi, namun bila perdarahan berlanjut dapat dilakukan angiografi untuk
mentukan lokasi perdarahan dan dilakukan embolisasi untuk kontrol perdarahan.
Abses perinefrik jarang terjadi setelah cedera ginjal, namun ekstravasasi
urin yang persisten dan urinoma menjadi pendahulu yang umum terjadi. Drainase
perkutan adalah manajemen awal yang baik diikuti dengan pembedahan untuk
mendrainase bila dibutuhkan.

REFERENSI

1. Brunicardi FC., Schwartzs Principles of Surgery 9th ed., McGraw-Hill


Companies Inc., 2010.
2. Mattox et al, Trauma 6th ed., Mc-Graw Hill Companies, Inc., 2008
3. Wein et al, Campbell Walsh Urology 9th ed., elsevier Inc., 2007
15

4. Hohenfellner M., Santucci RA., Emergency in Urology, Springer Verlag


Berlin, 2007.
5. Donovan AJ., Trauma Surgery, Mosby Year Book Inc., 1994.

16

Anda mungkin juga menyukai