Case Report Trauma Ginjal
Case Report Trauma Ginjal
cm lebih rendah dibandingkan yang kiri pada kebanyakan orang disebabkan posisi
hepar. Secara umum, ginjal kanan berada pada ruang antara puncak dari lumbar 1
hingga bagian bawah dari lumbar 3 kolumna vertebra. Ginjal kiri memiliki ruang
superior yang lebih besar pada thorakalis 12 hingga lumbar 3 kolumna vertebra.
Kedua ginjal memiliki otot yang sama yang mengelilinginya. Di bagian
posterior, diafragma meliputi sepertiga atas dari masing masing ginjal, dengan
tulang kosta 12 menyilang pada bagian bawah diafragma. Hal penting lainnya
yang perlu diingat dalam prosedur ginjal perkutan dan insisi regio flank adalah
bahwa pleura di posterior berlanjut hingga tulang kosta 12. Di bagian medial, 2/3
bagian bawah ginjal berbatasan dengan muskulus psoas, dan di lateral dengan
muskulus kuadratus lumborum dan aponeurosis muskulus transversus abdominis.
Akibatnya adalah kutub bagian bawah ginjal berada relatif lateral dan anterior
terhadap kutub atas nya, juga aspek medial dari masing masing ginjal terputar ke
arah anterior dengan sudut kira kira 30 derajat. Pemahaman dari orientasi ginjal
ini menjadi hal penting dalam pelaksanaan prosedur ginjal perkutan dimana
orientasi ginjal mempengaruhi pemilihan tempat akses prosedur tersebut.
Di bagian anterior, ginjal kanan berbatasan dengan sejumlah struktur
penting.
dari dinding gaster dapat tumpang tindih dengan ginjal kiri. Pada bagian kaudal,
ginjal kiri tertutup oleh flexura splenika dari kolon.
Pedikel ginjal terdiri dari arteri tunggal dan sebuah vena yang masuk ke
ginjal melalui hilum ginjal. Struktur struktur tersebut merupakan cabang dari
aorta dan vena cava inferior dibawah arteri mesenterika superior pada level
lumbar kedua kolumna vertebra. Vena terletak di anterior dari arteri. Pelvis ginjal
dan ureter terletak lebih posterior terhadap struktur vaskular.
Arteri renalis kanan meninggalkan aorta dan berlanjut di bagian kaudal
dibawah vena kava inferior menuju ginjal kanan. Arteri renalis kiri berjalan
hampir ke arah lateral menuju ginjal kiri. Kedua arteri ginjal tersebut berada di
posterior ketika memasuki ginjal.
percabangan yang menuju masing masing kelenjar adrenal, pelvis renal dan ureter.
Ketika mendekati ginjal, arteri renalis membagi diri menjadi empat atau
lebih percabangan, umumnya adalah lima buah percabangan. Percabangan
percabangan ini dikenal dengan arteri segmentalis renalis. Masing masing arteri
segmentalis mensuplai bagian ginjal yang tidak memiliki sirkulasi kolateral
diantaranya, sehingga oklusi ataupun injuri terhadap arteri segmentalis akan
menyebabkan infark segmentalis ginjal.
Setelah memasuki sinus renalis, arteri segmentalis bercabang menjadi
arteri lobaris yang kemudian di dalam parenkim ginjal menjadi arteri interlobaris.
Pada basis dari piramida ginjal, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri
arkuata. Arteri arkuata ini berjalan paralel dengan batas dari kortikomedular.
Arteri interlobular yang merupakan cabang dari arteri arkuata kemudian
membentuk arteri afferent menuju glomeruli.
Drainase vena ginjal berkaitan erat dengan perdarahan arteri.
interlobularis mendrainase kapiler post glomeruli.
Vena
berhubungan secara bebas melalui plexus vena subkapsularis dari vena stellata
dengan vena di dalam lemak perinefron. Setelah vena interlobularis, drainase
vena berlanjut melalui arkuata, interlobar, lobar dan percabangan segmental,
dengan arah dari masing masing cabang tersebut berjalan paralel dengan masing
masing arteri nya. Setelah percabangan segmental, drainase vena berkembang
menjadi tiga hingga lima trunkus vena yang pada akhirnya membentuk vena
renalis. Tidak seperti pada sistem arteri, sistem vena berhubungan secara bebas
3
melalui vena vena disekitar infundibula untuk sirkulasi kolateral yang ekstensif
ginjal. Dalam pembedahan, hal ini penting karena tidak seperti perdarahan arteri,
oklusi dari vena segmental memiliki efek yang sedikit terhadap aliran vena.
Sistem limfatik ginjal mengikuti pembuluh darah di dalam kolumna bertin
dan kemudian membentuk beberapa trunkus limfatikus di dalam sinus renalis.
Setelah limfatik tersebut keluar dari hilum, bercabang dari kapsula renalis,
jaringan perinefritik, pelvis renalis dan ureter bagian atas masuk kedalam sistem
limfatik ini dan mengosongkan kedalam nodus limfatikus yang berkaitan dengan
vena renalis dekat dengan hilum.
Di sisi kiri, limfatik utamanya mendrainase kedalam nodus limfatikus para
aorta lateral kiri, termasuk nodus anterior dan posterior menuju aorta diantara
arteri mesenterika inferior dan diafragma. Kadang kadang, terdapat drainase
tambahan dari ginjal kiri kedalam nodus retrocrural atau secara langsung kedalam
duktus thoracicus diatas diafragma.
2. Trauma Ginjal
2.1. Latar belakang
4
kendaraan bermotor, dimana kecelakaan lalu lintas menjadi yang paling sering
(Kristjanson & Pedersen 1993).
Schmidin et al (1998) membuktikan suatu hipotesis mengenai mekanisme
terkait dengan trauma tumpul. Konsentrasi tekanan maximal disebabkan oleh
kombinasi efek dari energi dan reaksi yang terkait yang dikombinasikan oleh
kompartmen dalam ginjal.
Kedaruratan umumnya ditandai dengan adanya perubahan yang cepat dan
bersifat kontinyu pada pasien. Saat ini telah banyak terdapat alat bantu diagnosis
yang berteknologi tinggi, namun tidaklah menyingkirkan adanya kebutuhan bagi
seorang urolog untuk mengidentifikasi permasalahan melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis.
2.2. Klasifikasi Trauma Ginjal
American Association for the Surgery of Trauma ( AAST )
mengklasifikasikan trauma ginjal kedalam grade I V. Dalam suatu tinjauan
retrospektif, sistem skala yang diklasifikasikan oleh AAST ini merupakan suatu
faktor prediksi penting untuk menentukan perlu atau tidak nya dilakukan suatu
pembuangan organ ginjal yang terdampak oleh trauma (santuci et al, 2001).
Sistem skoring ini awalnya diperkenalkan pada tahun 1989, dan kemudian
berkembang lebih jauh dan diaplikasikan pada ginjal, ureter, kandung kemih,
urethra, testis, skrotum dan penis.
Dalam penerapan sistem skoring trauma ginjal dari AAST ini, sangatlah
penting untuk membedakan laserasi parenkim dan trauma renovaskular dalam
kelompok IV dan V disebabkan manajemen dan outcome yang berbeda dari
keduanya. Dari beberapa data penelitian terakhir menunjukan bahwa penggunaan
klinis dari sistem skoring trauma ginjal ini bersifat prediktif terhadap morbiditas
dalam trauma tumpul maupun trauma tajam, juga terhadap angka mortalitas pada
trauma tumpul dan resiko nefrektomi dengan eksplorasi pada trauma ginjal.
menembus tersebut. Sebagai tambahan, luka jenis ini dapat menyebabkan kondisi
yang tidak steril sehingga menjadi media yang baik bagi bakteri untuk tumbuh
dan berkembang biak. Kerusakan ginjal akibat dari traum tembus cenderung lebih
berat dan kurang dapat diprediksi daripada perlukaan akibat trauma tumpul.
Akibat dari besarnya energi kinetik yang dimiliki oleh peluru,
menyebabkan potensial kerusakan parenkim menjadi lebih besar dan bahkan
kadang kadang dikaitkan dengan kerusakan organ multipel (Ersay, 1999).
Hematuria
merupakan gejala yang paling sering, walaupun magnitude dari hematuria ini
kurang berkorelasi dengan magnitude dari kerusakan akibat trauma.
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan resiko cedera ginjal harus meliputi
penilaian yang baik dari abdomen, punggung, pinggang dan dada, bersama
pemeriksaan lengkap dari sistem genitourinaria. Tanda tanda adanya cedera
pada ginjal meliputi nyeri tekan di regio flank, sudut costovertebra ataupun
abdomen, adanya massa yang dapat diraba ataupun ekomosis di regio flank,
punggung ataupun abdomen. Inspeksi yang lengkap pada regio regio ini akan
adanya luka tembus adalah sangat penting. Luka tembus yang terletak posterior
terhadap garis aksila anterior dapat menyebabkan cedera ginjal, yaitu 12% bila
dibandingkan dengan cedera pada organ lainnya.
Pemeriksaan laboratorium meliputi urinalisis dan juga pemeriksaan
mikroskopis darah. Spesimen awal yang harus diperiksa di Unit Gawat Darurat
adalah untuk pemeriksaan hematuria untuk meningkatkan akurasi diagnosis.
Penentuan elektrolit serum, Ureum dan kreatinin serta Haemoglobin adalah sangat
penting.
klinisnya menunjang.
pemeriksaan
Computed
Tomography (CT Scan) untuk evaluasi kegawat daruratan. Di masa lalu, IVP
dengan nefrektomi telah menjadi pendekatan standar, sedangkan saat ini CT Scan
telah menjadi standar emas untuk menilai secara tepat cedera ginjal.
Walaupun IVP telah digambarkan sebagai standar untuk menilai fungsi
ginjal memiliki tingkat akurasi 60 85%, CT Scan memiliki sejumlah keuntungan
lainnya. Namun, ahli bedah trauma dan urolog harus tetap familier dengan IVP
untuk menemukan faktor prediktif adanya cedera ginjal, dikarenakan penggunaan
rutin dari CT Scan untuk penilaian trauma tidak selalu dapat dilakukan, terutama
mengingat variasi infrastuktur yang berbeda beda di setiap daerah, pemeriksaan
IVP masih dibutuhkan saat ini. Hasil dari pemeriksaan IVP ini meliputi adanya
fraktur dari prosesus spinosus, adanya efek massa di jaringan lunak, hilangnya
garis psoas pada sisi yang terlibat, dan pergeseran vertikal dari ginjal. Hilangnya
garis kortikal renal, gross ekstravasasi dari kontras, penurunan ipsilateral dalam
fungsi ekskresi dan hilangnya bagian opak dari collecting system harus menjadi
9
perhatian.
informasi umum dari cedera, dan dapat menunjukan ekstravasasi yang bermakna.
Perkiraan akurasi dari IVP dalam mendeteksi cedera ginjal memiliki
variasi. Secara umum, IVP harus dilihat sebagai alat untuk melihat secara kasar,
bukan untuk menilai secara tepat level cedera. Beberapa penelitian menunjukan
20% pasien dengan cedera ginjal yang bermakna dapat menunjukan IVP yang
normal. Sebagai tambahan, lebih dari setengah pasien menunjukan ginjal yang
tidak berfungsi pada IVP memiliki alasan lain selain oklusi arteri, termasuk
kontusio, overhidrasi, dan hipotensi ataupun hipoperfusi.
Keuntungan dari CT Scan dibandingkan IVP meliputi identifikasi dari
kontusio dan hematoma subkapsular, lokasi dan kedalaman dari laserasi parenkim,
sehingga lebih reliabel untuk menunjukan ekstravasasi kontras, dan identifikasi
cedera pada pedikel dan arteri.
perinefrik, organ solid lainnya, dan juga delineasi dari banyak kasus perforasi dari
hollow viscus dan identifikasi adanya cairan intraperitoneal.
Pemeriksaan arteriografi saat ini kurang memiliki peran pada kasus cedera
ginjal sejak CT Scan menjadi pemeriksaan yang populer, terutama mengingat
biaya, sifatnya yang invasif, dan penilaian yang khusus yang dibutuhkan.
angiografi
dengan
emblolisasi
pembuluh
yang
mengalami
terisolasi, tanpa adanya kaitan dengan cedera lainnya yang bermakna, lebih sering
terjadi dan dalam banyak kasus dapat dilakukan manajemen nonoperatif.
Pengecualian tentunya pada grade V cedera avulsi vaskular pedikel.
Cedera ginjal terisolasi dengan laserasi parenkim dan bahkan cedera arteri
segmental dapat terjadi perdarahan aktif yang dapat dikontrol dengan baik dengan
embolisasi angiografi.
Dan bila urin ekstravasasi ini berlanjut lebih dari 48 jam, perlu
11
dilakukan; namun bila gross hematuria kembali terjadi harus dilakukan kembali
bed rest.
2.7. Manajemen Operatif
Indikasi untuk dilakukannya eksplorasi ginjal setelah trauma dapat
dikelompokan menjadi indikasi absolut dan relatif.
extravasasi urin, jaringan yang non viabel, diagnosis cedera arteri yang terlambat,
dan staging yang belum lengkap.
Extravasasi urin sendiri dari suatu laserasi parenkim grade IV ataupun
ruptur forniks dapat dilakukan manajemen non operatif dengan suatu ekspektasi
terjadinya perbaikan spontan pada 87,1% (matthews et al, 1997). Bila jaringan
yang nonviabel lebih dari 20% dalam kaitannya dengan laserasi parenkim ataupun
ekstravasasi urin ataupun keduanya, potensi terjadinya komplikasi akan
bertambah tinggi dan pilihan manajemen nonoperatif dapat diperdebetkan
(Hussman and Morris, 1990).
Cedera arteri segmental ginjal yang berkaitan dengan laserasi ginjal
menyebabkan sejumlah jaringan yang non viabel ( biasanya <20% ), dan cedera
semacam ini biasanya mengalami penyembuhan lebih cepat dengan pembedahan
rekonstruksi dan pembuangan jaringan.
tingkat komplikasi yang tinggi apabila dilakukan observasi tanpa eksplorasi ginjal
(Hussman et al, 1993).
Staging yang tidak lengkap merupakan suatu perhatian yang penting
dalam menentukan apakah eksplorasi ginjal dibutuhkan. Bila kondisi pasien kritis
membutuhkan intervensi pembedahan sebelum dilakukannya pemeriksaan
radiologis dan cedera ginjal menjadi jelas, single-shot IVP harus dilakukan. Bila
hasilnya tidak normal, eksplorasi ginjal memungkinkan untuk proses staging yang
lengkap dan merekonstruksi cedera.
Pembedahan eksplorasi dari cedera ginjal akut, dilakukan terbaik dengan
metode transabdominal, yang memungkinkan untuk inspeksi menyeluruh dari
organ intra abdominal dan usus. Dalam beberapa kasus trauma tembus, cedera
12
organ yang terkait lebih dari 94% (McAninch et al, 1993). Cedera pada pembuluh
darah besar, hepar, limpa, pankreas dan usus dapat diidentifikasi dan distabilisasi
bila dibutuhkan sebelum dilakukannya eksplorasi ginjal.
Metode pembedahan untuk eksplorasi ginjal tampak dalam gambar
dibawah. Pembuluh darah ginjal diisolasi sebelum dilakukannya eksplorasi untuk
memungkinkan dihindarinya perdarahan massif saat fascia gerota dibuka. Kolon
transversum diangkat ke arah superior ke arah dada, dan usus kecil diangkat
superior ke arah kanan sehingga akan mengekspos midretroperitoneum. Insisi
dibuat diatas aorta di retroperitoneum superior terhadap arteri mesenterika
inferior. Insisi diperpanjang ke arah superior ke ligamen Treitz sehingga akan
mengekspose permukaan anterior dari aorta dan disusul ke arah vena ginjal kiri,
yang menyilang aorta di anterior. Dengan suatu kontrol loop pembuluh vena,
hubungan anatomis dari arteri ginjal kanan dan kiri saat meninggalkan aorta
memungkinkan untuk dilakukannya isolasi dan mengamankan struktur struktur
tersebut. Vena ginjal kanan dapat diamankan melalui insisi ini, namun bila sulit
dilakukan, merefleksikan bagian kedua dari duodenum akan mengekspos vena
secara baik.
Hematoma yang besar dapat berada diatas aorta dan gambaran penampang
insisi retroperitoneal akan menjadi tidak jelas.
13
Fascia gerota
kemudian dibuka dan ginjal dengan cedera dapat secara lengkap terdiseksi dari
hematoma disekitarnya.
pembuluh darah yang sebelumnya diisolasi dapat secara sementara ditutup dengan
klem vaskular atau dengan torniket pembuluh darah.
Prinsip dari rekonstruksi ginjal setelah trauma meliputi ekspose ginjal
secara lengkap, debridemen dari jaringan yang non viabel, hemostasis dengan
jahitan ligasi dari perdarahan pembuluh darah, penutupan collecting system yang
tidak bocor, dan approksimasi dari kerusakan parenkim.
dengan pedikel flap menggunakan omentum. Dengan vaskularisasi yang kaya dan
suplai limfe, omentum akan memungkinkan penyembuhan luka dan mengurangi
kemungkinan terjadinya perdarahan yang lambat dan ekstravasasi urin. Namun
14
bila hal tersebut tidak memungkinkan, penggunaan mesh yang dapat diabsorbsi,
graft peritoneal, ataupun lemak retroperitoneal dapat dilakukan.
Pada sejumlah kasus cedera ginjal, struktur intra abdominal juga
mengalami cedera, hati dan limpa adalah yang paling sering terjadi. Cedera pada
kolon, pankreas, dan lambung juga kadang terjadi dan sebelumnya disarankan
untuk dilakukan nefrektomi total dikarenakan tingginya tingkat komplikasi dalam
upaya penyelamatan ginjal. Namun, saat ini upaya perbaikan ginjal dalam kasus
cedera seperti ini telah dapat dilakukan dengan sukses dengan tingkat komplikasi
yang minimal (Rosen and McAninch, 1994; Wessels and McAnincd, 1996).
Ekstravasasi urin dapat menyebabkan urinoma, infeksi perinefrik, dan
kematian ginjal.
diobservasi ketat dengan antibiotik yang tepat. Dalam persentase yang tinggi,
ekstravasasi akan sembuh spontan (Matthews et al, 1997). Namun bila kemudian
terjadi persisten, penggunaan dari stent uretera internal kadang mengatasi masalah
tersebut.
REFERENSI
16