Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah
mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang yaitu adanya
kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kamjuan ilmu
pengetahuan, dan teknologi sehingga dapat meningkatkan kualitas
kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup
manusia akibatnya jumlah penduduk berusia lanjut meningkat.
United Nations Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific (UNESCAP) tahun 2011 menyebutkan bahwa, jumlah
penduduk lanjut usia (lansia) di kawasan Asia mencapai 4,22 miliar
jiwa atau 60% dari penduduk dunia. Saat ini, populasi lansia di
Jepang dan Korea Selatan telah melampaui populasi lansia negaranegara di Eropa dan Amerika Serikat. Sementara itu, populasi
lansia Cina dan negara-negara berkembang lainnya akan menyusul
sekitar tahun 2050. Populasi lansia di Asia Tenggara saat ini masih
di bawah level rata-rata dunia, namun pada tahun 2040 akan jauh di
atas rata-rata populasi lansia di dunia (UNESCAP, 2011)
Indonesia termasuk negara yang memasuki penduduk berstruktur
lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk
yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18% (Depkes, 2012).
Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 19
juta, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010
jumlah lansia mengalami peningkatan menjadi 23.992.553 jiwa
(9,77%) sementara pada tahun 2011 jumlah lansia sebesar 20 juta
jiwa (9,51%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Badan Pusat
Statistik (BPS) (2013) memperkirakan tahun 2020 lansia di
Indonesia akan berjumlah 28,8 juta atau 11,34 % dari jumlah
penduduk Indonesia (Kemensos 2012). Pertumbuhan jumlah lansia
di Indonesia tercatat paling pesat di dunia dalam kurun waktu tahun
1990-2025 (Depkes, 2012). Kelompok usia lanjut (lansia) adalah
kelompok penduduk berusia 60 tahun ke atas. Jumlah penduduk
lansia yang ada di Jawa Barat yang tercatat oleh Dinas Sosial Jawa
Barat yaitu 3,4 juta orang atau setara dengan 8 % dari jumlah
penduduk Jawa Barat (Dinsos, 2013).
Penduduk lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan
akibat proses alamiah yaitu proses menua (Aging). Proses menua
atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk
hidup.Menurut Suardiman (2011), proses menua merupakan proses
1

perubahan biologis secara terus menerus yang dialami manusia


pada semua tingkatan umur. Christensen ( 2006 dalam Mastufah
2013) permasalahan yang berkembang memiliki keterkaitan dengan
perubahan kondisi fisik yang menyertai lansia. Perubahan kondisi
fisik pada lansia yang paling sering terjadi yaitu menurunnya
kemampuan musculoskeletal kearah yang lebih buruk.
Penurunan fungsi muskuloskeletal menyebabkan terjadinya
perubahan degeneratif yang dirasakan dengan keluhan nyeri,
kekakuan sendi, hilanganya gerakan dan tanda-tanda inflamasi
seperti nyeri tekan, disertai pula dengan pembengkakan yang
mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas. Berbagai penyakit
yang timbul akibat penurunan fungsi organ tubuh pada sistem
muskuloskeletal yang banyak terjadi salah satunya adalah
Reumatoid Artritis. kekakuan, hilanganya gerakan dan tanda-tanda
inflamasi seperti nyeri tekan, disertai pula dengan pembengkakan
yang mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas. Dari hasil
studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lansia yang
dilaksanakan Komnas Lansia tahun 2006, diketahui bahwa
penyakit terbanyak yang diderita lansia adalah penyakit sendi
(52,3%), penyakit- penyakit sendi ini merupakan penyebab utama
disabilitas pada lansia (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan, 2008). Diperkirakan pada tahun
2025 lebih dari 35 % akan mengalami kelumpuhan akibat
kerusakan tulang dan sendi (Handono & Isbagyo, 2005).
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi sistemik
kronik yang menyebabkan tulang sendi destruksi, deformitas, dan
mengakibatkan ketidakmampuan (Meiner & Luekenotte, 2006).
Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan
Rheumatoid Arhtritis mengalami peningkatan mencapai 335 juta
jiwa di dunia. Rheumatoid Arhtritis telah berkembang dan
menyerang 2,5 juta warga Eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah
wanita dan kemungkinan dapat mengurangi harapan hidup mereka
hampir 10 tahun (Breedveld, 2003) . Di Amerika Serikat, Penyakit
ini menempati urutan pertama dimana penduduk AS dengan
Rheumatoid Arhtritis 12.1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki
kecacatan pada lutut, panggul, dan tangan, sedangkan di Inggris
sekitar 25 % populasi yang berusia 55 tahun ke atas menderita
Rheumatoid Arhtritis pada lutut.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia
tahun 2013, prevalensi penyakit sendi adalah 11,9 % dan
kecenderungan prevalensi penyakit sendi/rematik/encok (24,7%)
lebih rendah dibanding tahun 2007 (30,3%). Kecenderungan
penurunan prevalensi diasumsikan kemungkinan perilaku

penduduk yang sudah lebih baik, seperti berolah raga dan pola
makan. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Bali
(19,3%), diikuti Aceh (18,3% Jawa Barat (17,5%) dan Papua
(15,4%).
Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas masyarakat Indonesia yang
kian padat dapat menimbulkan berbagai ketidakmampuan yang
diakibatkan oleh bermacam gangguan khusunya pada penderita
Rheumatologi Arthritis (Handono&Isbagyo, 2005). Tetapi seiring
dengan bertambahnya jumlah penderita Rheumatologi Arthritis di
Indonesia, justru kesadaran dan salah pengertian tentang penyakit
ini masih tinggi. Banyaknya pandangan masyarakat Indonesia yang
menganggap sederhana penyakit ini karena sifatnya yang dianggap
tidak menimbulkan ancaman jiwa, padahal gejala yang ditimbulkan
akibat penyakit ini justru menjadi penghambat yang mengganggu
bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Di
samping itu pula, di masyarakat sendiri masih menganggap dan
mempercayai terhadap mitos-mitos yang menyesatkan bila dikaji
dari sisi medis dan dapat merugikan bagi masyarakat khususnya
penderita Rheumatologi Arthritis diantaranya sering mandi malam
di usia muda memicu rematik di usia tua, penyakit rematik adalah
keturunan, dan sakit pada tulang di malam hari adalah tanda gejala
rematik.
Menurut Jenkins (2005), Ada beberapa indikator fisik yang
berhubungan dengan fungsi pergerakan yaitu endurance ( daya
tahan ), muscle strength ( kekuatan otot, gait speed ( kecepatan
jalan ) dan lingkup gerak sendi ( LGS). LGS disebabkan karena
tidak adanya aktifitas fisik, Aktivitas LGS juga dianjurkan untuk
terapi yang Dapat mempertahankan pergerakan sendi dan jaringan
lunak, yang dapat mempertahankan pergerakan sendi dan jaringan
lunak, yang akan meminimalkan kontraktur. Latihan untuk
memperbaiki LGS aktif dalam jenis latihan gerak aktif yaitu latihan
isotonik yang dapat memperbaiki tonus dan massa, kekuatan otot
dan ketahanan fleksibilitas sendi (Kisner dan Colby 1996). Latihan
lain yang bisa dilakukan adalah olahraga fisik seperti senam
rematik, inti dari senam rematik adalah mempertahankan lingkup
gerak sendi secara maksimal.
Oleh karena itu, Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan senam
rematik terhadap penurunan tingkat nyeri sendi pada lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan dari
penelitian ini adalah

1. Apakah ada senam rematik untuk lansia di panti sosial Tresna

Werdha Budi Pertiwi Bandung ?


2. Apakah ada penurunan tingkat nyeri sendi pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung?
3. Apakah ada hubungan senam rematik terhadap penurunan
tingkat nyeri sendi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Pertiwi Bandung?
1.3

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Pertiwi Bandung adalah untuk mengetahui :
1. Adakah senam rematik yang dilakukan lansia di panti social
Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung
2. Adakah Penurunan rematik pada lansia di panti social Tresna
Werdha Budi Pertiwi Bandung
3. Adakah hubunngan senam rematik terhadap penurunan tingkat
nyeri sendi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Pertiwi Bandung

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel

Diharapkan
staf
pengajar/dosen
terus
memfasilitasi
pengembangan metode pembelajaran yang lebih baik dan
pembelajaran yang berkelanjutan khususnya untuk pencapaian
kompetensi tentang senam rematik, sebaiknya dosen
menggunakan metode pembelajaran role play dan Modul terkait
dengan pembelajaran tersebut.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data awal bagi


peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut
pada tempat yang berbeda.
3. Bagi Lansia

Menjaga kebugaran dan gaya hidup yang sehat dengan olahraga


teratu atau senam untuk kesehatan.
4. Bagi Keperawatan

Melalui penelitian ini, bidang keperawatan dapat


mengaplikasikan dan mengembangkan pengetahuan tentang
senam rematik dalam menanggulangi nyeri sendi pada lansia.
5. Bagi Panti Werda

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan


untuk jajaran pimpinan dan petugas panti Werda Bandung
4

dalam upaya peningkatan pelayanan yang bermutu khususnya


dibidang senam rematik untuk mengatasi nyeri sendi pada
lansia.

Anda mungkin juga menyukai