Anda di halaman 1dari 9

Prevalensi Streptococcus B-Haemoliticus grup A pada anak-anak dengan

Faringitis di Kota Jimma, Barat Daya Etiopia


Abstrak
Latar belakang : Grup A Streptococcus (GAS) merupakan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas pada anak-anak dan bertanggung jawab terhadap 20-30%
kejadian faringitis bakterialis.
Tujuan : Mengetahui prevalensi, pola kerentanan kuman dan prediktor klinis infeksi
GAS pada anak-anak dengan faringitis.
Metode : Suatu studi potong lintang telah dilakukan pada 355 anak dengan faringitis
yang dilaksanakan di Pusat Kesehatan Kota Jimma sejak 8 Mei 31 Desember 2013.
Data demografis dan data klinis dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Swab
tenggorokan dikumpulkan dan diproses dengan teknik mikrobiologi standar untuk
mengisolasi GAS. Metode piringan difusi digunakan untuk uji kerentanan antimikroba.
Deskripsi statistik dan analisis regresi logistik multivariat dilakukan dengan
menggunakan SPSS versi 20.
Hasil : Terhitung sebanyak 57% dari 355 anak perempuan menderita faringitsi. Enam
puluh enam persen dari anak-anak tersebut berusia 5-9 tahun dengan nilai mean + SD
usia 8,5 + 2,7 tahun. Prevalensi GAS adalah sebesar 11,3%. Semua GAS yang diisolasi
memiliki kerentanan terhadap penisilin dan eritromisi. Walaupun, 52,5% mengalami
resistensi terhadap tetrasiklin. Hilangnya batuk, pembengkakan tonsil atau eksudasi dan
suhu tubuh >38oC diketahui menjadi prediktor independen untuk infeksi GAS pada
anak-anak dengan faringitis (P < 0,05).
Kesimpulan : Pada penelitian ini prevalensi dari GAS relatif rendah. Meskipun, infeksi
GAS musiman mungkin mempengaruhi tingkat prevalensi, oleh karena itu penelitian
prospektif skala besar pada semua musim dan variasi keadaan dibutuhkan. Sebagai
tambahan, variabel klinis yang merupakan prediktor faringitis GAS dapat digunakan
untuk mendiagnosis faringitis GAS dengan evaluasi lebih lanjut terhadap hal ini dengan
keadaan yang berbeda.

1. Pendahuluan
Grup A Streptococcus (GAS) merupakan bakteri gram positif coccus yang
menyebabkan spektrum berbeda infeksi pada manusia, dari faringitis dan pyoderma,
terhadap komplikasi imunologik yang dapat mengancam jiwa seperti demam
rematik akut (DRA), penyakit jantung rematik (PJR), glomerulonefritis post
sptreptococcal (GNAPS), toxic shock syndrome (TTS) dan Fascitis nekrotikan.
Secara global, diperkirakan sekitar 600 juta kasus simtomatik faringitis GAS terjadi
tiap tahunnya pada anak-anak usia lebih dari 4 tahun dan lebih dari 550 juta
diantaranya terjadi di negara berkembang. Penyakit GAS merupakan beban terbesar
global yang menyebabkan PJR yang mengikuti faringitis GAS, dimana terdapat 15
juta kasus dan 349.000 kematian terjadi tiap tahunnya didunia. Enam puluh lima
persen dari penyakit PJR yang menjadi beban ini adalah di negara dengan
penghasilan rendah hingga menengah dimana hal tersebut berlanjut menimbulkan
pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan anak-anak dan dewasa muda. Terdapat
2,4 juta anak yang terpengaruh berusia diantara

5 sampai 14 tahun di negara

berkembang, 1 juta dari merreka hidup di Sub Sahara Afrika, menjadikan benua ini
sebagai hotspot mayor DRA/PJR.
Etiopia sebagai salah satu negara Afrika menyumbangkan beban atas kejadian
demam rematik akut. Oleh karena itu, 50-64% dari penyakit jantung pada anak-anak
dilaporkan berawal dari rematik. Dengan cara yang sama, kejadian PJR yang tecatat
di Ethio-Swedish Childrens Hospital adalah sebesar 54,5%. Hal ini juga
menggambarkan prevalensi PJR pada pasien jantung Etiopia di kota Addis Ababa
dan Kota Jimma masing-masing sebesar 39,6% dan 32,8%.
Walaupun bertambah banyaknya orang dengan faringitis GAS dan sekuele berat
imunologiknya, banyak hal yang belum dilakukan dalam epidemiologi seperti pola
kerentanan antimikoba dan informasi klinis yang berkaitan dengan penyakit. Oleh
karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi, pola
kerentanan antimikroba dan prediktor klinis GAS pada anak-anak dengan faringitis.

2. Metode dan materi


2.1 Peserta Studi
Studi potong lintang dilakukan pada 355 anak usia 5-15 tahun dengan faringitis
yang ada di dua pusat kesehatan di Kota Jimma dari Mei hingga Desember 2013.
Anak-anak yang dalam pengobatan antibiotik atau yang telah mendapatkan
antibiotik selama 7 hari sebelum sampel dikumpulkan dikeluarkan dari studi.
Demografi pasien dan informasi klinis dikumpulkan menggunakan struktur
kuesioner oleh tenaga kesehatan terlatih.
2.2 Pengambilan, transportasi dan proses swab tenggorok
Tenaga kesehatan terlatih mengumpulkan sampel tenggorokan dari faring posterior
dan tonsil menggunakan kapas swab steril. Perawatan yang diperlukan adalah tidak
mengambil apusan dari pipi, lidah, bibir atau area lain dari mulut. Hasil swab
kemudian segera diletakan di Amies transport medium (oxoid, England) dan dikirim
ke Laboratorium Mikrobiologi Universitas Jimma dan diproses dalam 2 jam dari
proses pengumpulan.
Kemudian, swab tenggorokan di inokulasi kedalam piringan agar darah domba 5 %
dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 OC didalam botol lilin, yang dapat
menyediakan atmosfir CO2 sebesar 5%. Piringan kultur yang menunjjukkan hasil
negatif untuk koloni B-hemolitikus diinkubasi lagi selama 24 jam untuk
membiarkan pertumbuhan kuman yang tumbuhnya lebih lambat. Identifikasi isolasi
GAS dibuat berdasarkan teknik mikrobiologi standar yang meliputi aktifitas Bhemolitikus dalam agar darah domba, karakteristik koloni kecil, kokus gram positif,
produksi katalase negatif, kerentanan terhadap 0,04-U basitrasin, dan uji PYR
positif (Hardy Diagnostics, USA).
2.3 Uji Kerentanan Antimikroba
Uji kerentanan antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi cakram
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Clinical laboratory and Standard Institute
(CLSI) dna European Moccittee of Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST).
Koloni murni suspensi bakterial GAS dari brain heart infusion broth (BHI)
disebarkan secara merata kedalam agar Muller Hinton disuplementasi dengan 5%
darah domba menggunakan kapas swab steril. Segera setelahnya, piringan antibiotik

diletakkan didalam piringan inokulasi dan piringan tersebut di inkubasi pada suhu
37oC dalam botol lilin selama satu malam. Piringan antimikroba selanjutnya,
masing-masing menggunakan : penisilin (1 unit), ceftriaxone (30 ug) dan
kloramfenikol (30 ug) semuanya berasal dari [Becton Deckinson BD, USA
Company], amoxicilin (25 ug), seritromisin (15 ug), Klindamisin (2 ug) tetrasiklin
(30 ug) semuanya berasal dari [Oxoid, England]. Antibiotik dipilih berdasakan pola
peresepan dan rekomendasi dari CLSI dan EUCAST. Diameter zona inhibisi
diinterpretasikan menjadi sensitif, intermediate dan resisten berdasarkan prinsip
yang ditetapkan oleh CLSI dan EUCAST.
2.4 Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS
versi 20. Demografi peserta dan karakteristik klinis digambarkan dengan
menggunakan statistik dekskriptif. Analisis regresi logistik bivariat dan multivariat
dilakukan untuk mengindetifikasi prediktor klinis bagi faringitis GAS dan P-value
kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik dengan tingkat kepercayaan
95%.
2.5 Pertimbangan etika
Izin etik diperoleh dari Badan Review Etik Universitas Jimma. Sebelum
penghimpunan peserta studi, surat izin dan informed consent tertulis dilakukan oleh
manajemen fasilitas kesehatan terhadap setiap orang tua/ pengasuh. Tujuan dari
studi ini telah dijelaskan secara jelas kepada peserta studi dan dijaga
kerahasiaannya.

3. Hasil
3.1 Karakteristik Sosio-demografi dan Prevalensi GAS
Total dari 355 anak-anak dengan usia diantara usia 5 -15 tahun dengan faringitis
dilibatkan dari 8 Mei hingga 31 Desember 2014. Perempuan terhitung sebanyak
57,7% dan warga perkotaan sebanyak 93%. Enam puluh enam persen merupakan
anak-anak berusia 5-9 tahun dengan mean + SD usia 8,5 + 2,7. Selain itu, rerata
ukuran keluarga dari target populasi adalah sebesar 4,6 dengan rata-rata 1,8 anak
kurang dari 15 tahun per rumah tangga (tabel 1).
Dalam studi ini, semua prevalensi Grup A streptococcus (GAS) adalah sebesar
11,3% (40/355). Prevalensi GAS pada anak perempuan sebesar 11,7%, dengan usia
10-15 tahun sebesar 14,2%, pada penduduk pedesaan sebesar 16% dan pada anak
dengan penghasilian keluarga < 25 USD/bulan sebesar 14,8% (tabel 1).
Enam puluh tiga persen anak memiliki episode sakit tenggorokan sebanyak 27
(12,1%) dengan hasil kultur positif GAS. Sekitar 33,5% anak peserta studi memiliki
pengalaman episode tunggal sakit tenggorokan dalam tahun sebelumnya sebanyak
14,7% memiliki kultur positif GAS. Hampir sama dengan hal tersebut, 11,2% anak
yang memiliki episode lima kali kekambuhan sakit tenggorokan, sebanyak 24%
diantaranya memiliki kultur GAS positif (tabel 2).
3.2 Pola Kerentanan Antimikroba dari Isolasi GAS

Profil kerentanan obat antimikrobial menunjukkan bahwa semua isolasi GAS rentan
terhadap penisilin G, Amoxicilin, eritromisin, klindamisin, kloramfenikol dan
ceftriaxone. Walaupun, lebih dari 52% dari isolasi mengalami resistensi terhadap
tetrasiklin.

3.3 Prediktor klinis untuk faringitis GAS pada anak-anak


Analisis regresi logistik bivariat telah dilakukan untuk mengindetifikasi tanda dan
gejala klinis prediktor untuk kultur tenggorokan. Dengan demikian, tidak adanya
batuk, pembengkakan tonsil atau eksudat, suhu tubuh > 38 OC, salivasi dan rinore
menunjukkan relevansi secara statistik (P <0,25) untuk kemudian dilakukan analisis
multivariat. Semua prediktor klinis tidak menunjukkan P-value < 0,25 dikeluarkan
dari analisis multivariat. Dengan demikian, tiga variabel klinis meliputi tidak adanya
batuk [AAOR 3,77, 95% CI 1,73-8,22, P=0,001], pembengkakan tonsil atau eksudat
[AOR 4,48, 95% CI 1,63-12,31, P=0,001] diketahui menjadi prediktor independen
untuk faringitis GAS pada anak-anak (tabel 3).

4. Diskusi
Grup A Streptococcus (GAS) merupakan bakteri yang paling sering menjadi
penyebab faringitis akut, bertanggung jawab untuk 20-30% kejadian sakit
tenggorokan apada anak-anak. Dari keseluruhan prevalensi, 11,3% GAS terdeteksi
dalam studi kami dibandingkan dengan 11% laporan di Turkey, 12% di Brazil, dan
9,7% pada sekolah kesehatan anak di Etiopia. Tetapi, hal ini lebih tinggi
dibandingkan prevalensi masing-masing 2,8%, 4,1%, dan 7,9% di India, Taiwan,
dan Indonesia.
Pada sisi lain, sebesari 11,3% prevalensi GAS dalam studi kami lebih rendah
dibandingkan 40,6% yang dilaporkan di Etiopia. Prevalensi rendah dari GAS dalam
studi ini mungkin disebabkan oleh musim yang berbeda dimana studi sebelumnya
yang dilakukan di Etiopia berlangsung dari Februari hingga Mei ketika rata-rata
kejadian dan infeksi GAS meningkat hingga maksimum. Selain itu, perang sipil
selama 1992 di Etiopia mungkin memiliki kontribusi untuk mempengaruhi orangorang pindah ke kota besar menyebabkan kepadatan penduduk dan standar
kehidupan yang lebih rendah dapat menjadi alasan tinggi prevalensi GAS dalam
studi sebelumnya. Tambahan untuk hal ini, prevalensi yang rendah dalam studi kami
kemungkinan disebabkan oleh pola peresepan antibiotik yang berlebihan di fasilitas

kesehatan sebagaimana hal tersebut tergambarkan dalam data kami dimana 100%
anak dengan faringitis menerima baik amoxicilin atau penisilin. Penggunaan
antibiotik yang sembarangan mungkin berkontribusi terhadap kejadian GAS yang
rendah dalam komunitas. Sama dengan hal tersebut, 11,3% dari prevalensi GAS
dalam studi kami lebih rendah dibandingkan temuan yang dilaporkan di Egypt,
Tunisia, Yaman, Brazil, dan USA dimana rata-rata prevalensi sebesar 17-18%.
Dalam studi ini, semua isolasi GAS rentan terhadap penisilin, amoxiciilin,
eritromisin, klindamisin, kloramfenikol dan ceftriaxone, yang sejalan dengan
pendapat studi sebelumnya di Etiopia dimana tidak terdapat laporan tentang
resistensi obat B-laktam dan Macrolide. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa
B-lactam dan Macrolide masih menjadi drug of choice untuk pengobatan infeksi
GAS. Hal ini menunjukkan bahwa eritromisin dan clindamisin biasanya digunakan
sebagai pengobatan alternatif untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
Untungnya dalam studi ini, tidak ada isolasi tunggal GAS menjadi resisten terhadap
eritromisin dan klindamisin yang sesuai dengan temuan sebelumnya di Etiopia,
Egypt, dan Brazil. Walaupun, variasi tingkat resistensi terhadap eritromisin dan
klindamisin telah dilaporkan terjadi di Turkey, Tunisia, dan Cina. Dalam studi ini,
52,5% isolasi GAS mengalami resistensi terhadap tetrasiklin yang dibandingkan
dengan 68% yang dilaporka di Etiopia dan 50% di Brazil, tetapi jauh lebih rendah
lagi dibandingkan dengan 70% dan 94% tingkat resistensi yang didokumentasi
masing-masing di Tunisia dan Cina.
Berdasarkan analisis regresi logistik multivariat, tidak adanya batuk, timbulnya
pembengkakan tonsil atau eksudasi dan suhu tubuh >38 OC (P< 0,05) ditemukan
menjadi prediktor independen untuk infeksi GAS pada anak-anak dengan faringitis.
Temuan yang mirip diketahui di Canada, USA dan Yemen. Walaupun, hal tersebut
penting untuk diketahui bahwa variabel klinis yang merupakan prediktor untuk
infeksi GAS mungkin bervariasi dengan strain GAS yang berbeda, area geografik
dan profil imunitas popilasi studi.
5. Kesimpulan
Dalam studi ini prevalensi GAS secara relatif rendah. Walaupun, secara musim
infeksi GAS dapat mempengaruhi prevalensi, dengan demikian studi prospektif

dengan skala yang besar pada setiap musim dan dalam keadaan yang bervariasi
dibutuhkan untuk mengerti beban sebenarnya dari infeksi. Dalam studi kami, semua
isolasi GAS masih rentan terhadap penisilin dan macrolide meningdikasikan bahwa
kedua obat tersebut masih menjadi drug of choice untuk pengobatan infeksi GAS.
Selanjutnya, variabel klinis yang merupakan prediktor klinis faringitis GAS dapat
dipertimbangkan untuk mendiagnosis faringitis GAS dengan evaluasi lebih lanjut
terhadap reproduksivitasnya dalam setting yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai