Anda di halaman 1dari 28

Kerajaan Mataram Kuno

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.


Lokasi pusat kerajaan Mataram Kuno.
Candi Borobudur, salah satu peninggalan Dinasti Syailendra.
Mataram Kuno atau Mataram (Hindu) merupakan sebutan
untuk dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra
, yang berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. Dinasti Sanjaya
yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732.
Beberapa saat kemudian, Dinasti Syailendra yang bercorak
Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua
dinasti ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama
Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang
ditulis di masa raja Balitung.

Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina "Bangsa
Chin" dan "Kerajaan Asoka" (sekarang Thailand dan Kemboja).
Dinasti ini bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada
tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Dinasti Syailendra
cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya. Pada masa
pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan
ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan
perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan
Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra
menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian
sempat berkuasa di sana selama beberapa tahuan. Peninggalan
terbesar Dinasti Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai
dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812833). "Maharaja Dewa dari Kerajaan Asoka Memerintahkan anakanaknya untuk menyebarkan ajaran yang dianut mereka (Yakni
Hindu, sedangkan Bangsa Chin menyebarkan agama budha)...
Bangsa Sanjaya cikal bakalnya dari Kerajaan Asoka sedangkan
Bangsa Syailendra cikal bakalnya dari Bangsa Chin ("Bukan
Ching")

Dinasti Sanjaya
Tak banyak yang diketahui sejarah Dinasti Sanjaya sejak
sepeninggal Raja Sanna. Rakai Pikatan, yang waktu itu
menjadi pangeran Dinasti Sanjaya, menikah dengan
Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Dinasti
Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya
yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram,
menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan
mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan
Dewi Tara). Tahun 850, era Dinasti Syailendra berakhir
yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi
Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu
terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya
sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja
Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari
Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini
diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat
serangan dari Sriwijaya.

Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang


sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan
gununggunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro,
Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan
Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti
Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo.
Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.

Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang
merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa
(dinasti) yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa
Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya
merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa
Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri
merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.

Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga


merupakan pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah
wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian
berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa
Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu dan Budha
berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama
Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut
agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah


anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai
Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat
Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya.
Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa
Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara
Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan
Sriwijaya yang kemduian menjadi Raja disana.

Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa.


Berakhirnya Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan.
Terdapat teori yang mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana
alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu Sindok pun
tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan
memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan
membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.

Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak


di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu,
pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu
(masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan
kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan istana
Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang.

Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno


Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas,
namun menurut Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama
Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan
Prasasti Canggal (732) tanpa menyebut jelas apa nama kerajaannya.
Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan terdapat raja yang memerintah
di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut bernama Sanna atau yang
dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja dari Kerajaan Galuh yang
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara).

Kekuasaan Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora


dan kemudian melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh
perlindungan dari Tarusbawa, Raja Sunda. Tarusbawa kemudian
mengambil Sanjaya yang merupakan keponakan dari Sanna sebagai
menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat untuk menguasai
Kerajaan Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan Sunda,
Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan baru
yaitu Kerajaan Mataram Kuno.

Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal,
bisa dipastikan Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang
sejak abad ke-7 dengan rajanya yang pertama adalah Sanjaya dengan
gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno


Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan
Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan.
Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam
terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang
menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu,
Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas
perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan


ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa
Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di
daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan
oleh pihak Mpu Sindok.

Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang


merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara
Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah
menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan
oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan
ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah.
Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan
diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu
Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno


Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan
Mataram Kuno, yaiut berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita
temui samapi sekarang ini. Adapun untuk Prasasti, Kerajaan Mataram
Kuno meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya:
Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa
Canggal berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf
pallawa dan bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang
pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya
dan disamping itu juga diceritakan bawa yang menjadi raja sebelumnya
adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara
perempuan Sanna).
Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun
778M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara
untuk pendeta oleh Raja Pangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra
dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha
(umat Budha).
Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah
berangka 907M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti
tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai
Watukura Dyah Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai
Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai Kayuwangi
dan Rakai Watuhumalang.

Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782M ditulis dalam huruf
Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra Manjusri oleh Raja
Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan candi yang
masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi
Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi
Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi
Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.

Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno


Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai
berikut:
Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno
Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
Rakai Panunggalan alias Dharanindra
Rakai Warak alias Samaragrawira
Rakai Garung alias Samaratungga
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Rakai Watuhumalang
Rakai Watukura Dyah Balitung
Mpu Daksa
Rakai Layang Dyah Tulodong
Rakai Sumba Dyah Wawa
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
Makuthawangsawardhana
Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhir

Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan


Mataram Kuno
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian.
Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit
untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat.

Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya


dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan
pusat kekuasaannya di utara dengan hasil budayanya berupa
candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng. Dinasti Syailendra
beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah
selatan, dan hasil budayanya dengan mendirikan candi-candi
seperti candi Borobudur, Mendut, dan Pawon.

Semula terjadi perebutan kekuasan namun kemudian terjalin


persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan (Sanjaya)
yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Syailendra)
yang beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha
hidup berdampingn secara damai.

Kerajaan Kutai
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak
Hindu di Nusantara yang memiliki bukti
sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4.
Kerajaan ini terletak di Muara Kaman,
Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai
Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli
mengambil dari nama tempat ditemukannya
prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan
tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas
menyebutkan nama kerajaan ini dan memang
sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

YUPA
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti
dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad
ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber
utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan
sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang
berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh
para brahman atas kedermawanan raja Mulawarman.
Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti
kurban yang dilakukan umat islam. Dari salah satu
yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah
kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya
dicatat dalam yupa karena kedermawanannya
menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum
brahmana.

Dapat diketahui bahwa menurut Buku Sejarah


Nasional Indonesia II: Zaman Kuno yang ditulis
oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
halaman 36, transliterasi prasasti diatas adalah
sebagai berikut:
rmatah r-narendrasya; kuugasya
mahtmana; putro vavarmmo vikhytah;
vaakartt yathumn; tasya putr
mahtmna; trayas traya ivgnaya; ten
traym pravara; tapo-bala-damnvita; r
mlavarmm rjendro; yav bahusuvarnakam;
tasya yajasya ypo yam; dvijendrais
samprakalpita.

Artinya:
Sang Mahrja Kundungga, yang amat mulia,
mempunyai putra yang mashur, Sang Awawarman
namanya, yang seperti Anguman (dewa Matahari)
menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang
Awawarmman mempunyai putra tiga, seperti api
(yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah
Sang Mlawarmman, raja yang berperadaban baik,
kuat, dan kuasa. Sang Mlawarmman telah
mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan)
emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri
(selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para
brahmana.

Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui
sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi
gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga.
Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya
adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa
diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan
Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar
karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga
sangat sedikit yang mendengar namanya.

Mulawarman
Mulawarman adalah anak
Aswawarman dan cucu Kundungga.
Nama Mulawarman dan Aswawarman
sangat kental dengan pengaruh
bahasa Sanskerta bila dilihat dari
cara penulisannya. Kundungga
adalah pembesar dari Kerajaan
Campa (Kamboja) yang datang ke
Indonesia. Kundungga sendiri diduga
belum menganut agama Hindu.

Berakhirnya Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama
Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di
tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum
Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai
Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara
yang saat itu ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).
Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang
disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai
Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak
tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula
rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar
Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang
disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Nama-Nama Raja Kutai

Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja
Maharaja

Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)


Asmawarman (anak Kundungga)
Mulawarman (anak Aswawarman)
Marawijaya Warman
Gajayana Warman
Tungga Warman
Jayanaga Warman
Nalasinga Warman
Nala Parana Tungga Warman
Gadingga Warman Dewa
Indra Warman Dewa
Sangga Warman Dewa
Candrawarman
Sri Langka Dewa Warman
Guna Parana Dewa Warman
Wijaya Warman
Sri Aji Dewa Warman
Mulia Putera Warman
Nala Pandita Warman
Indra Paruta Dewa Warman
Dharma Setia Warman

Tarumanegara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah
kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa
pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah
satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan
sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di
sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan
Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara.
Nagara artinya kerajaan atau negara sedangkan taruma berasal
dari kata tarum yang merupakan nama sungai yang membelah
Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan
percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian
Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan
Kerajaan Taruma.

A. KEHIDUPAN DI KERAJAAN
TARUMANEGARA
1. Kehidupan Politik
Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah
berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya.
Hal ini dibuktikan dari prasasti Tugu yang
menyatakan raja Purnawarman telah
memerintah untuk menggali sebuah kali.
Penggalian sebuah kali ini sangat besar artinya,
karena pembuatan kali ini merupakan
pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar
pengairan sawah-sawah pertanian rakyat.

2. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara
sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya
raja Purnawarman yang terus berusaha untuk
meningkatkan kesejahteraan kehidupan
rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat
memperhatikan kedudukan kaum brahmana
yang dianggap penting dalam melaksanakan
setiap upacara korban yang dilaksanakan di
kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada
para dewa.

3. Kehidupan Ekonomi
Prasasti tugu menyatakan bahwa raja
Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk
membangun saluran air di Sungai Gomati
sepanjang 6122 tombak atau sekitar 12 km.
Pembangunan terusan ini mempunyai arti
ekonomis yang besar bagi masyarakat, Karena
dapat dipergunakan sebagai sarana untuk
mencegah banjir disaat musim penghujan. Selain
itu juga digunakan sebagai irigasi pertanian serta
sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan
antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan
dunia luar dan daerah-daerah di sekitarnya.

4. Kehidupan Budaya
Dilihat dari teknik dan cara penulisan
huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang
ditemukan sebagai bukti kebesaran
Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui
bahwa tingkat kebudayaan masyarakat
pada saat itu sudah tinggi. Selain sebagai
peninggalan budaya, keberadaan
prasasti-prasasti tersebut menunjukkan
telah berkembangnya kebudayaan tulis
menulis di kerajaan Tarumanegara.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui


dengan tujuh buah prasasti batu yang
ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan
satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini
diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun
358 M dan dia memerintah sampai tahun 382
M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman
ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi).
Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari
Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan


Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di
perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan
Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau
12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian
sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa
banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan
kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai
Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten
Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah


berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan
Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama
Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan,
dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya
terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19
jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi.
Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut
barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada
awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang
mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang
masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf
modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah
(lontar) abad ke-16.

B. RAJA-RAJA DI KERAJAAN
TARUMANEGARA

Jayasingawarman 358-382 M
Dharmayawarman 382-395 M
Purnawarman 395-434 M
Wisnuwarman 434-455 M
Indrawarman 455-515 M
Candrawarman 515-535 M
Suryawarman 535-561 M
Kertawarman 561-628 M
Sudhawarman 628-639 M
Hariwangsawarman 639-640 M
Nagajayawarman 640-666 M
Linggawarman 666-669 M

C. PRASASTI-PRASASTI
KERAJAAN TARUMANEGARA

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Prasasti
Prasasti
Prasasti
Prasasti
Prasasti
Prasasti
Prasasti

Ciaruteun
Jambu
Kebon Kopi
Muara Cianten
Pasir Awi
Cidanghiyang
Tugu

Anda mungkin juga menyukai