TINJAUAN PUSTAKA
2.1
yang terdapat pada Cekungan Kutai. Satyana et all, 1999 dalam An Outline Of The
Geology Of Indonesia, 2001 melakukan penelitian dan menyusun stratigrafi
Cekungan Kutai dari tua ke muda sebagai berikut ( Gambar 2.1) :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Formasi Beriun
Formasi Atan
Formasi Marah
Formasi Pamaluan
Formasi Bebulu
Formasi Pulubalang
Formasi Balikpapan
Formasi Kampungbaru
Formasi Aluvium
Gambar
2.1.
Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai (Satyana, dkk).
diameter 0,5 1 cm, mudah lepas. Lempung, kelabu kehitaman mengandung sisa
tumbuhan, kepingan batubara, koral. Lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi. Lignit,
tebal 1 2 m. Diduga berumur Miosen Akhir Plistosen, lingkungan pengendapan
delta laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan
setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan. (Supriatna dkk, 1995).
Menurut Allen, 1984, bagian bawah Formasi Kampung Baru terdapat
batugamping yang juga merupakan siklus pengendapan delta, dengan dimulainya
suatu transgresi setelah pengendapan Formasi Balikpapan. Kemudian disusul endapan
dataran delta yang terdiri atas batupasir kasar hasil endapan channel dengan
batulempung dan batubara.
2.1.2
terbentuk selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau pemekaran regional
(Allen dan Chambers, 1998). Pemekaran ini merupakan manifestasi tumbukan sub
lempeng Benua India dengan lempeng BenuaAsia yang memacu pemekaran di
sepanjang rangkaian strike-slip fault dengan arah barat laut-tenggara (NW-SE) yang
merupakan reaktifasi struktur sebelumnya, yaitu sesar Adang- Lupar dan sesar
Mangkalihat.Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen transgresif pada kala Eosen
Akhir hingga Oligosen.Kemudian diikuti oleh sekuen regresif pada kala Miosen Awal
yang merupakan inisiasi kompleks Delta Mahakam saat ini. Proses progadasi Delta
Mahakam meningkat dengan sangat signifikan padakala Miosen Tengah, yaitu ketika
tinggian Kuching di bagian Barat terangkat dan inversi pertama terjadi. Progradasi
tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Inversi Kedua terjadi pada masa MioPliosen, ketika bagian lempeng Sula-Banggai menabrak Sulawesi dan menghasilkan
mega shear Palu-Koro.
Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol sub
Cekungan Kutai Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik Inversi Kedua, yaitu
struktur-struktur geologi dengan pola kelurusan arah timur laut-barat daya (NNESSW). Menurut Allen dan Chambers, (1998) pola ini dapat terlihat pada struktur
umum yang tersingkap di Cekungan Kutai saat ini, yaitu berupa jalur sesar-sesar
anjakan dan kompleks rangkaian antiklin /antiklinorium.
Perkembangan struktur lainnya adalah pola kelurusan berarah barat laut
tenggara (NW-SE), berupa sesar-sesar normal yang merupakan manifestasi pelepasan
gaya utama yang terbentuk sebelumnya.Sesar-sesar ini terutama berada di bagian
utara cekungan, memotong sedimen berumur Miosen Tengah dan bagian lain yang
berumur lebih tua.
.
2.2
Lingkungan Pengendapan
10
surut) dan laut. Banyak penulis membagi lingkungan pengendapan berdasarkan versi
masing-masing. Selley (1988), membagi lingkungan pengendapan menjadi 3 bagian
besar: darat, peralihan dan laut . Namun beberapa penulis lain membagi lingkungan
pengendapan ini langsung menjadi lebih rinci lagi. Lingkungan pengendapan tidak
akan dapat ditafsirkan secara akurat hanya berdasarkan suatu aspek fisik dari batuan
saja. Maka dari itu untuk menganalisis lingkungan pengendapan harus ditinjau
mengenai struktur sedimen, ukuran butir, kandungan fosil (bentuk dan jejaknya),
kandungan mineral, runtunan tegak dan hubungan lateralnya, geometri serta distribusi
batuannya.
2.2.1 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batubara
Horne, 1978 menyatakan bahwa lingkungan pengendapan berpengaruh
terhadap sebaran, ketebalan, kemenerusan, kondisi roof dan kandungan sulfur
batubara serta peran tektonik dalam pembentukan lapisan batubara. Berdasarkan
karakteristik lingkungan pengendapan batubara, maka dapat dibagi atas :
a. Lingkungan Pengendapan Barrier
Ke arah laut batupasir butirannya semakin halus dan berselang seling dengan
serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut
ke arah darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua
yang mengandung fauna air payau. Batupasir pada lingkungan ini lebih bersih dan
sortasi lebih baik karena pengaruh gelombang dan pasang surut.
11
Gambar 2.2 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier (Horne,1978)
12
13
Gambar
2.3
Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Lower Delta Plain (Horne,1978)
14
batupasir. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan point bar menunjukkan bahwa hal
ini dikontrol oleh meandering. Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk,
perlapisan batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar.
Ketebalannya bertambah apabila mendekati channel dan sebaliknya. Lapisan
pembentuk endapan alluvial plain cenderung lebih tipis dibandingkan endapan upper
delta plain. Lingkungan upper delta plain fluvial: batubaranya tebal dapat mencapai
lebih dari 10 m, sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan,
tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel, bentuk batubara ditandai
hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen
dan kandungan sulfurnya rendah.
Gambar 2.4 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Upper Delta Plain-Fluvial
(Horne,1978)
15
16
Gambar 2.5 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta Plain
(Horne,1978)
2.2.2
Litofasies
Fasies merupakan bagian yang sangat penting dalam mempelajari ilmu
17
stratigrafi yang dibedakan oleh litologi, struktur dan karakteristik organik yang
terdeteksi di lapangan. Kata fasies didefinisikan yang berbeda-beda oleh banyak
penulis. Namun demikian umumnya mereka sepakat bahwa fasies merupakan ciri dari
suatu satuan batuan sedimen. Ciri-ciri ini dapat berupa ciri fisik, kimia dan biologi,
seperti ukuran tubuh sedimen, struktur sedimen, besar dan bentuk butir, warna serta
kandungan biologi dari batuan sedimen tersebut. Sebagai contoh, fasies batupasir
sedang bersilangsiur (cross-bed medium sandstone facies). Beberapa contoh istilah
fasies yang dititikberatkan pada kepentingannya.
Dalam Iqbal (2009), litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki
karakter fisik (litologi, struktur sedimen, serta jenis ukuran butir), kimia (unsur
batuan, kandungan kimia, dan biologi (organisme) yang khas dan membedakannya
dengan batuan yang lain.
Untuk membantu dalam penentuan litofasies di daerah telitian, penulis
mengacu pada modifikasi modifikasi klasifikasi Payenberg 2003 oleh Iqbal 2009,
yang telah meneliti endapan-endapan Kala Miosen pada Delta Mahakam (Tabel 2.1).
18
Tabel 2.1 Karakteristik dan litofasies endapan Miosen Delta Mahakam (Modifikasi
Penulis dari Payenberg, 2003).
Kode
Deskripsi
Litofa
Litofasies
ses
Pc
Batupasir
kerikilan
berstruktur
silangsiur
(crossstratified
pebbly
sanstone
Hst
Batupasir
berstruktur
silang siur
mangkok
curam (high
angle through
cross-stratified
sandstone)
Ukuran Butir
Pasir sangat
kasar hingga
kerikil
Pasir
haluspasir
sedang
Interpretasi
Perlapisan umumnya
berlapis dan
bergradasi dengan
tebal kurang dari 1
meter. Kontak
lapisan pada bagian
bawah adalah kontak
erosional kuat. Pada
bagian bawah dapat
lebih tebal (dari
beberapa cm-m yang
terdiri dari urutanurutan batupasir
Silang siur mangkok
memiliki jarak yang
kecil 5-20 cm,
dengan
kemiringan set
(>10) di setiap
dasar mangkok
dibatasi oleh
konkresi
FeOx. Umumnya
berselang-seling
dengan
fasies Fs&Lt dan Sm
Lapisan kerikil
yang bersilang
siur terbentuk
pada dasar suatu
channel atau suatu
bentukan bar
yang lebih besar
(flood
even).
Dengann
mekanisme
saltasi yang
dominan serta
atus bolak-balik
yang turbulen
menghasilkan
jenis bedform
ripples yang
selanjutnya akan
bermigrasi
menjadi struktur
trough cross bed.
Merupakan ciri
dari endapan
19
Lst
Batupasir
berstruktur
silang siur
mangkok
landai (low
angle
through crossstratified
sandstone)
Pasir sedang
hingga pasir
kasar
Sp
dan
Hb
Batupasir
berstruktur
herring bonesilang
siur planartabular
(Herring
bone-planar
tabular cross
stratified
sandstone)
Pasir sangat
halus hingga
kasar
fluvial
distributary
channel.
Puncak yang
berliku dari
linguoid dunes
yang dibentuk di
bawah
penyimpangan
pada bagian atas
dan bawah
kondisi aliran
primer pada
bagian proksimal
pada suatu
distributary
channel dengan
aliran turbulen
yang tinggi.
Perpindahan
linguoid bar,
melintasi bar dan
sand wave di
bawah kondisi
berarus rendah
dengan sedikit
arus turbulen..
20
Sm
Batupasir
berstruktur
masif (massive
sandstone)
Pasir halus
hingga pasir
kasar
Sr
Batupasir
berstruktur
ripple cross
lamination
Pasir sangat
halus hingga
pasir halus
Fs,
Lt,
Wv
Batupasir
berstuktur
flaser,
lenticular,
wavy (flaserlenticularwavy
sandstone
intebedded
silstone-shale)
Batu lempung
Pasir halus
hingga
lempung
Cm-
Lempung-
Berstuktur ripple
cross lamination
dengan ketebalan
kurang dari 5 cm
dalam suatu set,
berselangseling
dengan bedform
yang berbeda.
Laminasi tipis
dengan gelombang
yang kecil dan
tidak teratur.
Biasanya didominasi
oleh batupasir
atau batulempung.
Biasa berasosiasi
dengan fasies
Sm
Masif, batu lempung
Sedimen gravity
flow pada fluvial
dominated
Distributary
channel sebagai
hasil dari suatu
timbunan yang
runtuh dan atau
pergerakan dari
air yang
melarutkan
butiran yang
saling
bertabrakan.
Terbentuk di
bawah kondisi
rezim aliran
rendah sebagai
endapan traksi
dari 3D ripples
pada sedimen
berbutir halus.
Suspensi arus
traksi lemah
sebagai endapan
tidal flat dan
mouthbars.
Batulempung
21
Slm
2.2.3
dan batulanau
berstuktur
masif (massive
claystonesilstone)
lanau
warna hitam-coklat
dengan sesekali noda
siderit dan nodul
gampingan.
Bioturbasi
kemungkinan
dijumpai.
Batulempung
hitam biasanya
berlapis tipis
sedangkan
batulempung
berwarna coklat
dapat sangat tebal
(beberapa meter).
Elektrofasies
Menurut Walker dan James (1992), Pola-pola log menunjukan energi
pengendapan yang berubah, yakni berkisar dari energi tingkat tinggi sampai rendah.
Dalam interpretasi geologi, suatu interpretasi loncatan (looping) dilakukan dari energi
pengendapan sampai lingkungan pengendapan, pola-pola log selalu diamati dengan
kurva gamma ray dan log SP, tetapi kesimpulan yang sama juga dapat didukung oleh
log neutron-density. Log suatu sumur memiliki beberapa bentuk dasar yang bisa
mencirikan karakteristik suatu lingkungan pengendapan. Bentuk-bentuk dasar tersebut
dapat berupa cylindrical, irregular, bell shape, funnel, symmetrical, dan asymmetrical
(Walker & James, 1992).
22
Gambar 2.6 Kurva bentuk log dan interpretasi fasies (Walker, 1992).
2.3
mine drainage (AMD) atau acid rock drainage (ARD) terbentuk saat mineral
sulfida tertentu yang ada pada batuan terpapar dengan kondisi dimana terdapat air dan
oksigen (sebagai faktor utama) yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi dan
menghasilkan air dengan kondisi asam. Hasil reaksi kimia ini, beserta air yang
sifatnya asam, dapat keluar dari asalnya jika terdapat air penggelontor yang cukup,
umumnya air hujan yang pada timbunan batuan dapat mengalami infiltrasi/perkolasi.
23
Air yang keluar dari sumbernya inilah yang lazimnya disebut dengan istilah AAT
tersebut.
Pyrite merupakan mineral sulphida yang umum ditemukan pada kegiatan
penambangan, terutama batubara. Reaksi oksidasi pyrite adalah seperti ditunjukkan
oleh reaksi kimia berikut, dengan air dan oksigen sebagai faktor penting.
Terbentuknya AAT ditandai oleh satu atau lebih karakteristik kualitas air sebagai
berikut.:
a. konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi, aluminium,
mangan, cadmium, tembaga, timbal, seng, arsenik dan mercury.
b. nilai acidity yang tinggi (50 1500 mg/L CaCO3)
c. nilai sulphate yang tinggi (500 10.000 mg/L
d. nilai salinitas (1 20 mS/cm)
e. konsentrasi oksigen terlarut yang rendah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, apabila AAT keluar dari tempat terbentuknya
dan masuk ke sistem lingkungan umum, maka beberapa faktor lingkungan dapat
terpengaruhi, seperti: kualitas air dan peruntukannya (sebagai bahan baku air minum,
sebagai habitat biota air, sebagai sumber air untuk tanaman, dsb); kualitas tanah dan
peruntukkanya (sebagai habitat flora dan fauna darat).
24
25
dengan langkah pertama terjadinya oksidasi langsung dari pirit (FeS2) oleh oksigen
yang menghasilkan sulfat (SO4 2-), ferrous iron (Fe2+) dan keasaman (H+ 2FeS ) :
2Fes2 + 7O2 + 2H2O = 2Fe2+ +4SO42- + 4H+
(1)
(2)
Ferrous iron juga dapat teroksidasi menghasilkan iron hidroksida (FeOOH) dan
keasaman.
Fe2+ + 1/4O2 + 3/2H2O = FeOOH + 2H+
(3)
Pada saat pH > 4, Fe3+ akan terendapkan sebagai ferric hidroksida (Fe(OH)3), lepas ke
lingkungan dengan sangat asam.
Fe3+ + 3H2O = Fe(OH)3 + 3H+
(4)
Pada saat pH < 4, Ferric iron akan larut dan mengoksidasi pirit secara langsung dan
melepas asam kesekelilingnya dengan bebas.
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O = 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
(5)
(6)
26
Oksidasi 1 mol pirit akan menghasilkan 2 mol asam sulfur. Secara umum
pertimbangan literatur (Aubertin et al, 2002 dalam Bussiere 2009) bahwa oksidasi
oleh oksigen (persamaan 1) berlangsung pada pH netral (5 < pH > 7), sementara itu
oksidasi tidak langsung (Persamaan 5) lebih dominan pada pH rendah (pH < 3).
Persamaan diatas berdasarkan pada persamaan stoikiometri tanpa mempertimbangkan
kondisi kinetik setiap reaksi. Seperti nilai rata-rata oksidasi sebagai fungsi faktor
penambah (Jerz dan Rimstidt, 2004 dalam Bussiere, 2009), supply oksigen,
temperatur, pH, aktivitas bakteri, luas paparan. Pertimbangan secara umum rata-rata
reaksi dikontrol oleh (persamaan 2). Rata-rata reaksi berjalan lambat pada pH rendah,
tetapi meningkat dengan cepat dan menurunkan pH karena adanya bakteri.
Contohnya Acidithiobaccilus ferrooxidans sebagai katalisator reaksi oksidasi ferrous
iron menjadi ferric iron.
Kualitas kimia dari drainase juga tergantung dari mineral lain yang ada di
batuan sisa. Asam dapat bereaksi dengan penetral oleh karbonat dan mineral sillicate,
yang dapat dipertimbangkan sebagai penetral utama adalah calcite (CaCO3) dan
dolomite (CaMg(CO3)2) (Lapakko,1992).
2CaCO3 + H2SO4 = 2Ca2+ + 2HCO3- + SO4 2-
(7)
(8)
27
membatasi pembentukan air asam tambang juga tergantung kepada faktor yang
berbeda beda untuk mempengaruhi proses reaksi seperti : temperatur, pH, tekanan,
permukaan mineral.
2.3.1
28
29
banyaknya asam sulfat yang dapat terbentuk pada proses oksidasi dan reduksi dalam
sample tanah. Jika pada penetapan jumlah atau banyaknya sulfur organik dan
anorganik telah didapatkan hasilnya, maka nilai %TS adalah koreksi terhadap jumlah
dari nilai sulfur organic dan anorganik, dimana %TS selalu lebih besar dari jumlah
nilai sulfur organik dan anorganik yang dinyatakan dalam persen.
2. Kapasitas penetralan asam atau Acid Neutralizing Capacity (ANC)
ANC adalah suatu metode penetapan jumlah atau banyaknya mineral penetral
(pada umumnya karbonat, CO3) dalam contoh tanah yang dapat bereaksi dengan
mineral pengasam (pada umumnya sulfat, SO4) dalam sample tanah. Berbeda dengan
metode penentuan jumlah keasaman (aktual dan potensial asam), metode ini
digunakan untuk menentukan kemampuan sample dalam menetralkan asam yang
terkandung dalam sample itu sendiri. Banyaknya jumlah nilai ANC akan
mempengaruhi sifat alkalinitas suatu sample tanah.
3. Net acid generating (NAG)
Net acid generation adalah analisis jumlah potensi keasaman yang terbentuk
setelah terjadi oksidasi pirit dalam tanah tambang. Dalam analisis NAG reaksi yang
terjadi adalah reaksi keasaman dan penetralan dimana hasil akhir dari reaksi oksidasi
adalah nilai NAGpH yang akan memberikan indikasi sifat keasaman dan kebasaan
dari suatu tanah tambang yang dianalisis. Untuk sample analisis dengan nilai NAGpH
7,0, maka tidak dilakukan penetapan nilai NAG, sedangkan untuk sample analisis
30
dengan nilai NAGpH < 4,5 maka dilakukan penitaran dengan basa NaOH hingga pH
4,5 dan dilanjutkan dengan penitaran pada pH 7,0. Jumlah larutan penitar berbanding
lurus dengan jumlah potensi pembentukan asam yang terkandung dalam sample
analisis.
4. Paste pH
Paste pH diperoleh dari pengukuran pH dari paste yang terbentuk dari
campuran air yang terbebas dari ion (de-ionized) dan sample batuan dengan
perbandingan berat 1:1 setelah dibiarkan selama kurang lebih 10 menit. pH paste ini
menunjukkan interaksi keasaman dan alkalinitas material pada saat awal material
tersebut tersingkap dan bereaksi dengan air.