Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Geologi Regional Daerah Penelitian


Secara regional, daerah penelitian termasuk ke dalam Formasi Kampungbaru

yang terdapat pada Cekungan Kutai. Satyana et all, 1999 dalam An Outline Of The
Geology Of Indonesia, 2001 melakukan penelitian dan menyusun stratigrafi
Cekungan Kutai dari tua ke muda sebagai berikut ( Gambar 2.1) :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Formasi Beriun
Formasi Atan
Formasi Marah
Formasi Pamaluan
Formasi Bebulu
Formasi Pulubalang
Formasi Balikpapan
Formasi Kampungbaru
Formasi Aluvium

Gambar

2.1.
Kolom Stratigrafi Cekungan Kutai (Satyana, dkk).

2.1.1 Stratigrafi Daerah Penelitian


Secara regional, daerah penelitian termasuk pada Formasi Kampungbaru.
Terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih; lanau dan lignit ,pada
umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa, putih, setempat kemerahan atau
kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat mengandung lapisan tipis oksida
besi atau konkresi, tufan atau lanauan dan sisipan batupasir konglomeratan atau
konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung,

diameter 0,5 1 cm, mudah lepas. Lempung, kelabu kehitaman mengandung sisa
tumbuhan, kepingan batubara, koral. Lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi. Lignit,
tebal 1 2 m. Diduga berumur Miosen Akhir Plistosen, lingkungan pengendapan
delta laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan
setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan. (Supriatna dkk, 1995).
Menurut Allen, 1984, bagian bawah Formasi Kampung Baru terdapat
batugamping yang juga merupakan siklus pengendapan delta, dengan dimulainya
suatu transgresi setelah pengendapan Formasi Balikpapan. Kemudian disusul endapan
dataran delta yang terdiri atas batupasir kasar hasil endapan channel dengan
batulempung dan batubara.
2.1.2

Struktur Geologi Daerah Penelitian


Seperti halnya beberapa cekungan di Asia Tenggara lainnya, half graben

terbentuk selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau pemekaran regional
(Allen dan Chambers, 1998). Pemekaran ini merupakan manifestasi tumbukan sub
lempeng Benua India dengan lempeng BenuaAsia yang memacu pemekaran di
sepanjang rangkaian strike-slip fault dengan arah barat laut-tenggara (NW-SE) yang
merupakan reaktifasi struktur sebelumnya, yaitu sesar Adang- Lupar dan sesar
Mangkalihat.Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen transgresif pada kala Eosen
Akhir hingga Oligosen.Kemudian diikuti oleh sekuen regresif pada kala Miosen Awal
yang merupakan inisiasi kompleks Delta Mahakam saat ini. Proses progadasi Delta

Mahakam meningkat dengan sangat signifikan padakala Miosen Tengah, yaitu ketika
tinggian Kuching di bagian Barat terangkat dan inversi pertama terjadi. Progradasi
tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Inversi Kedua terjadi pada masa MioPliosen, ketika bagian lempeng Sula-Banggai menabrak Sulawesi dan menghasilkan
mega shear Palu-Koro.
Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol sub
Cekungan Kutai Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik Inversi Kedua, yaitu
struktur-struktur geologi dengan pola kelurusan arah timur laut-barat daya (NNESSW). Menurut Allen dan Chambers, (1998) pola ini dapat terlihat pada struktur
umum yang tersingkap di Cekungan Kutai saat ini, yaitu berupa jalur sesar-sesar
anjakan dan kompleks rangkaian antiklin /antiklinorium.
Perkembangan struktur lainnya adalah pola kelurusan berarah barat laut
tenggara (NW-SE), berupa sesar-sesar normal yang merupakan manifestasi pelepasan
gaya utama yang terbentuk sebelumnya.Sesar-sesar ini terutama berada di bagian
utara cekungan, memotong sedimen berumur Miosen Tengah dan bagian lain yang
berumur lebih tua.
.

2.2

Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan adalah bagian dari permukaan bumi dimana proses


fisik, kimia dan biologi berbeda dengan daerah yang berbatasan dengannya (Selley,
1988). Sedangkan menurut Boggs (1995) lingkungan pengendapan adalah
karakteristik dari suatu tatanan geomorfik dimana proses fisik, kimia dan biologi
berlangsung yang menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu. Menurut
Nichols (1999) yang dimaksud dengan proses tersebut adalah proses yang
berlangsung selama proses pembentukan, transportasi dan pengendapan sedimen.
Perbedaan fisik dapat berupa elemen statis ataupun dinamis. Elemen statis antara lain
geometri cekungan, material endapan, kedalaman air dan suhu, sedangkan elemen
dinamis adalah energi, kecepatan dan arah pengendapan serta variasi angin, ombak
dan air. Termasuk dalam perbedaan kimia adalah komposisi dari cairan pembawa
sedimen, geokimia dari batuan asal di daerah tangkapan air (oksidasi dan reduksi
(Eh), keasaman (Ph), salinitas, kandungan karbon dioksida dan oksigen dari air,
presipitasi dan solusi mineral). Sedangkan perbedaan biologi tentu saja perbedaan
pada fauna dan flora di tempat sedimen diendapkan maupun daerah sepanjang
perjalanannya sebelum diendapkan.
Permukaan bumi mempunyai morfologi yang sangat beragam, mulai dari
pegunungan, lembah sungai, pedataran, padang pasir, delta sampai ke laut. Dengan
analogi pembagian ini, lingkungan pengendapan secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yakni darat (misalnya sungai, danau dan gurun), peralihan
(atau daerah transisi antara darat dan laut; seperti delta, lagun dan daerah pasang

10

surut) dan laut. Banyak penulis membagi lingkungan pengendapan berdasarkan versi
masing-masing. Selley (1988), membagi lingkungan pengendapan menjadi 3 bagian
besar: darat, peralihan dan laut . Namun beberapa penulis lain membagi lingkungan
pengendapan ini langsung menjadi lebih rinci lagi. Lingkungan pengendapan tidak
akan dapat ditafsirkan secara akurat hanya berdasarkan suatu aspek fisik dari batuan
saja. Maka dari itu untuk menganalisis lingkungan pengendapan harus ditinjau
mengenai struktur sedimen, ukuran butir, kandungan fosil (bentuk dan jejaknya),
kandungan mineral, runtunan tegak dan hubungan lateralnya, geometri serta distribusi
batuannya.
2.2.1 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batubara
Horne, 1978 menyatakan bahwa lingkungan pengendapan berpengaruh
terhadap sebaran, ketebalan, kemenerusan, kondisi roof dan kandungan sulfur
batubara serta peran tektonik dalam pembentukan lapisan batubara. Berdasarkan
karakteristik lingkungan pengendapan batubara, maka dapat dibagi atas :
a. Lingkungan Pengendapan Barrier
Ke arah laut batupasir butirannya semakin halus dan berselang seling dengan
serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut
ke arah darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua
yang mengandung fauna air payau. Batupasir pada lingkungan ini lebih bersih dan
sortasi lebih baik karena pengaruh gelombang dan pasang surut.

11

b. Lingkungan Pengendapan Back-Barrier


Lingkungan ini terutama disusun oleh urutan perlapisan serpih abu-abu gelap
kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang secara lateral
tidak menerus dan zona siderit yang berlubang. Lingkungan back barrier:
batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar
jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah
pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan dan kandungan sulfurnya
tinggi.

Gambar 2.2 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier (Horne,1978)

c. Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain

12

Endapan yang mendominasi adalah serpih dan batulanau yang mengkasar ke


atas. Pada bagian bawah dari teluk terisi oleh urutan lempung-serpih abu-abu gelap
sampai hitam, kadang-kadang terdapat mudstone siderit yang penyebarannya tidak
teratur. Pada bagian atas dari sekuen ini terdapat batupasir dengan struktur ripples dan
struktur lain yang ada hubungannya dengan arus. Hal ini menunjukkan bertambahnya
energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi endapan yang mengakibatkan
terbentuk permukaan dimana tanaman menancapkan akarnya, sehingga batubara
dapat terbentuk. Lingkungan lower delta plain: batubaranyatipis, pola sebarannya
umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh
hadirnya splitting oleh endapan crevase splay dan kandungan sulfurnya agak tinggi.

13

Gambar

2.3
Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Lower Delta Plain (Horne,1978)

d. Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain-Fluvial


Endapan didominasi oleh bentuk linier tubuh batupasir lentikuler dan pada
bagian atasnya melidah dengan serpih abu-abu, batulanau, dan lapisan batubara.
Mineral batupasirnya bervariasi mulai dari lithic greywackearkose, ukuran butir
menengahsampai kasar. Di atas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran
batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada

14

batupasir. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan point bar menunjukkan bahwa hal
ini dikontrol oleh meandering. Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk,
perlapisan batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar.
Ketebalannya bertambah apabila mendekati channel dan sebaliknya. Lapisan
pembentuk endapan alluvial plain cenderung lebih tipis dibandingkan endapan upper
delta plain. Lingkungan upper delta plain fluvial: batubaranya tebal dapat mencapai
lebih dari 10 m, sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan,
tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel, bentuk batubara ditandai
hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen
dan kandungan sulfurnya rendah.

Gambar 2.4 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Upper Delta Plain-Fluvial
(Horne,1978)

15

e. Lingkungan Pengendapan Transitional Lower Delta Plain


Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi yang
mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Disini sekuen bay fill
tidak sama dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari kandungan fauna air payau
sampai marin serta struktur burrowed yang meluas. Endapan channel menunjukkan
kenampakan migrasi lateral lapisan piont bar accretion menjadi channel pada upper
delta plain. Channel pada transitional delta plain ini berbutir halus daripada di upper
delta plain, dan migrasi lateralnya hanya satu arah. Levee berasosiasi dengan channel
yang menebal dan menembus akar secara meluas daripada lower delta plain.
Batupasir tipis crevasse splay umum terdapat pada endapan ini, tetapi lebih sedikit
banyak daripada di lower delta plain namun tidak sebanyak di upper delta plain.
Lingkungan transitional lower delta plain: batubaranya tebal dapat lebih dari 10 m,
tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara
lateral sering terpotong channel, bentuk lapisan batubara ditandai splitting akibat
channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen dan kandungan sulfurnya
agak rendah.

16

Gambar 2.5 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta Plain
(Horne,1978)

2.2.2

Litofasies
Fasies merupakan bagian yang sangat penting dalam mempelajari ilmu

sedimentologi. Boggs (1995) mengatakan bahwa dalam mempelajari lingkungan


pengendapan sangat penting untuk memahami dan membedakan dengan jelas antara
lingkungan sedimentasi (sedimentary environment) dengan lingkungan facies (facies
environment). Lingkungan sedimentasi dicirikan oleh sifat fisik, kimia dan biologi
yang khusus yang beroperasi menghasilkan tubuh batuan yang dicirikan oleh tekstur,
struktur dan komposisi yang spesifik. Sedangkan facies menunjuk kepada unit

17

stratigrafi yang dibedakan oleh litologi, struktur dan karakteristik organik yang
terdeteksi di lapangan. Kata fasies didefinisikan yang berbeda-beda oleh banyak
penulis. Namun demikian umumnya mereka sepakat bahwa fasies merupakan ciri dari
suatu satuan batuan sedimen. Ciri-ciri ini dapat berupa ciri fisik, kimia dan biologi,
seperti ukuran tubuh sedimen, struktur sedimen, besar dan bentuk butir, warna serta
kandungan biologi dari batuan sedimen tersebut. Sebagai contoh, fasies batupasir
sedang bersilangsiur (cross-bed medium sandstone facies). Beberapa contoh istilah
fasies yang dititikberatkan pada kepentingannya.
Dalam Iqbal (2009), litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki
karakter fisik (litologi, struktur sedimen, serta jenis ukuran butir), kimia (unsur
batuan, kandungan kimia, dan biologi (organisme) yang khas dan membedakannya
dengan batuan yang lain.
Untuk membantu dalam penentuan litofasies di daerah telitian, penulis
mengacu pada modifikasi modifikasi klasifikasi Payenberg 2003 oleh Iqbal 2009,
yang telah meneliti endapan-endapan Kala Miosen pada Delta Mahakam (Tabel 2.1).

18

Tabel 2.1 Karakteristik dan litofasies endapan Miosen Delta Mahakam (Modifikasi
Penulis dari Payenberg, 2003).
Kode
Deskripsi
Litofa
Litofasies
ses
Pc
Batupasir
kerikilan
berstruktur
silangsiur
(crossstratified
pebbly
sanstone

Hst

Batupasir
berstruktur
silang siur
mangkok
curam (high
angle through
cross-stratified
sandstone)

Ukuran Butir

Pasir sangat
kasar hingga
kerikil

Pasir
haluspasir
sedang

Karakter dan Urutan


lapisan batuan

Interpretasi

Perlapisan umumnya
berlapis dan
bergradasi dengan
tebal kurang dari 1
meter. Kontak
lapisan pada bagian
bawah adalah kontak
erosional kuat. Pada
bagian bawah dapat
lebih tebal (dari
beberapa cm-m yang
terdiri dari urutanurutan batupasir
Silang siur mangkok
memiliki jarak yang
kecil 5-20 cm,
dengan
kemiringan set
(>10) di setiap
dasar mangkok
dibatasi oleh
konkresi
FeOx. Umumnya
berselang-seling
dengan
fasies Fs&Lt dan Sm

Lapisan kerikil
yang bersilang
siur terbentuk
pada dasar suatu
channel atau suatu
bentukan bar
yang lebih besar
(flood
even).

Dengann
mekanisme
saltasi yang
dominan serta
atus bolak-balik
yang turbulen
menghasilkan
jenis bedform
ripples yang
selanjutnya akan
bermigrasi
menjadi struktur
trough cross bed.
Merupakan ciri
dari endapan

19

Lst

Batupasir
berstruktur
silang siur
mangkok
landai (low
angle
through crossstratified
sandstone)

Pasir sedang
hingga pasir
kasar

Sp
dan
Hb

Batupasir
berstruktur
herring bonesilang
siur planartabular
(Herring
bone-planar
tabular cross
stratified
sandstone)

Pasir sangat
halus hingga
kasar

Silang siur mangkok


memiliki jarak yang
kecil 3-10 cm.
Dengan
kemiringan set
(<10).
Seringkali b
erasosiasi
dengan
batulempung,
siderit, kuarsit atau
pecahan batubara
tanpa
dibatasi oleh
konkresi
Feox pada dasar
mangkok, umumnya
juga berselangseling
dengan fasies Sp
Jarak satu set silang
siur berkisar antara
5-50 cm dengan
lebih banyak foreset
planar dan kontak
dasar yang nonerosional. Jika set
dari planar bersifat
bipolar akan
menghasilkan
struktur seperti
tulang ikan.
Umumnya pada
bagian bawah
berasosiasi dengan

fluvial
distributary
channel.
Puncak yang
berliku dari
linguoid dunes
yang dibentuk di
bawah
penyimpangan
pada bagian atas
dan bawah
kondisi aliran
primer pada
bagian proksimal
pada suatu
distributary
channel dengan
aliran turbulen
yang tinggi.

Perpindahan
linguoid bar,
melintasi bar dan
sand wave di
bawah kondisi
berarus rendah
dengan sedikit
arus turbulen..

20

Sm

Batupasir
berstruktur
masif (massive
sandstone)

Pasir halus
hingga pasir
kasar

Sr

Batupasir
berstruktur
ripple cross
lamination

Pasir sangat
halus hingga
pasir halus

Fs,
Lt,
Wv

Batupasir
berstuktur
flaser,
lenticular,
wavy (flaserlenticularwavy
sandstone
intebedded
silstone-shale)
Batu lempung

Pasir halus
hingga
lempung

Cm-

Lempung-

fasies Pc dan Sr.


Arus balik pada
suatu ripple hadir
pada foreset.
Masif, batupasir
tidak berlapis,
dengan fragmen
batubara dan
sesekali siderit yang
membundar serta
fragmen
batulempung yang
melimpah.Ketebalan
berkisar 10 cm-5m.

Berstuktur ripple
cross lamination
dengan ketebalan
kurang dari 5 cm
dalam suatu set,
berselangseling
dengan bedform
yang berbeda.
Laminasi tipis
dengan gelombang
yang kecil dan
tidak teratur.
Biasanya didominasi
oleh batupasir
atau batulempung.
Biasa berasosiasi
dengan fasies
Sm
Masif, batu lempung

Sedimen gravity
flow pada fluvial
dominated
Distributary
channel sebagai
hasil dari suatu
timbunan yang
runtuh dan atau
pergerakan dari
air yang
melarutkan
butiran yang
saling
bertabrakan.
Terbentuk di
bawah kondisi
rezim aliran
rendah sebagai
endapan traksi
dari 3D ripples
pada sedimen
berbutir halus.
Suspensi arus
traksi lemah
sebagai endapan
tidal flat dan
mouthbars.

Batulempung

21

Slm

2.2.3

dan batulanau
berstuktur
masif (massive
claystonesilstone)

lanau

warna hitam-coklat
dengan sesekali noda
siderit dan nodul
gampingan.
Bioturbasi
kemungkinan
dijumpai.
Batulempung
hitam biasanya
berlapis tipis
sedangkan
batulempung
berwarna coklat
dapat sangat tebal
(beberapa meter).

hitam adalah hasil


dari pengendapan
yang tenang, dari
endapanendapan
overbank dan
channel,
sedangkan
batulempung
coklat merupakan
endapan distal
delta front
hingga prodelta.

Elektrofasies
Menurut Walker dan James (1992), Pola-pola log menunjukan energi

pengendapan yang berubah, yakni berkisar dari energi tingkat tinggi sampai rendah.
Dalam interpretasi geologi, suatu interpretasi loncatan (looping) dilakukan dari energi
pengendapan sampai lingkungan pengendapan, pola-pola log selalu diamati dengan
kurva gamma ray dan log SP, tetapi kesimpulan yang sama juga dapat didukung oleh
log neutron-density. Log suatu sumur memiliki beberapa bentuk dasar yang bisa
mencirikan karakteristik suatu lingkungan pengendapan. Bentuk-bentuk dasar tersebut
dapat berupa cylindrical, irregular, bell shape, funnel, symmetrical, dan asymmetrical
(Walker & James, 1992).

22

Gambar 2.6 Kurva bentuk log dan interpretasi fasies (Walker, 1992).

2.3

Air Asam Tambang


Air asam tambang (AAT) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai acid

mine drainage (AMD) atau acid rock drainage (ARD) terbentuk saat mineral
sulfida tertentu yang ada pada batuan terpapar dengan kondisi dimana terdapat air dan
oksigen (sebagai faktor utama) yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi dan
menghasilkan air dengan kondisi asam. Hasil reaksi kimia ini, beserta air yang
sifatnya asam, dapat keluar dari asalnya jika terdapat air penggelontor yang cukup,
umumnya air hujan yang pada timbunan batuan dapat mengalami infiltrasi/perkolasi.

23

Air yang keluar dari sumbernya inilah yang lazimnya disebut dengan istilah AAT
tersebut.
Pyrite merupakan mineral sulphida yang umum ditemukan pada kegiatan
penambangan, terutama batubara. Reaksi oksidasi pyrite adalah seperti ditunjukkan
oleh reaksi kimia berikut, dengan air dan oksigen sebagai faktor penting.
Terbentuknya AAT ditandai oleh satu atau lebih karakteristik kualitas air sebagai
berikut.:
a. konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi, aluminium,
mangan, cadmium, tembaga, timbal, seng, arsenik dan mercury.
b. nilai acidity yang tinggi (50 1500 mg/L CaCO3)
c. nilai sulphate yang tinggi (500 10.000 mg/L
d. nilai salinitas (1 20 mS/cm)
e. konsentrasi oksigen terlarut yang rendah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, apabila AAT keluar dari tempat terbentuknya
dan masuk ke sistem lingkungan umum, maka beberapa faktor lingkungan dapat
terpengaruhi, seperti: kualitas air dan peruntukannya (sebagai bahan baku air minum,
sebagai habitat biota air, sebagai sumber air untuk tanaman, dsb); kualitas tanah dan
peruntukkanya (sebagai habitat flora dan fauna darat).

24

Faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya AAT di suatu tempat adalah:


a. konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulphida
b. keberadaan oksigen, termasuk dalam hal ini adalah asupan dari atmosfir
melalui mekanisme adveksi dan difusi
c. jumlah dan komposisi kimia air yang ada
d.temperatur
e. mikrobiologi
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pembentukan AAT sangat tergantung pada kondisi tempat pembentukannya.
Perbedaan salah satu faktor tersebut diatas menyebabkan proses pembentukan dan
hasil yang berbeda. Terkait dengan faktor iklim di Indonesia, dengan temperatur dan
curah hujan yang tinggi di beberapa lokasi dimana terdapat kegiatan penambangan,
proses pembentukan AAT memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara-negara
lain, karena memiliki kondisi iklim yang berbeda.
Air asam tambang (AAT) dihasilkan di atau dalam sisa batuan, tailing, dinding
pit tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Mineral sulfida seperti pirit
teroksidasi dan hadir di air dan udara melalui oksigen yang menghasilkan air asam
tambang melalui proses kimia dan biokimia. Oksidasi mineral sulfida dapat
dideskripsikan dengan persamaan (Morin and Hutt, 1997 dalam Bussiere, 2009)

25

dengan langkah pertama terjadinya oksidasi langsung dari pirit (FeS2) oleh oksigen
yang menghasilkan sulfat (SO4 2-), ferrous iron (Fe2+) dan keasaman (H+ 2FeS ) :
2Fes2 + 7O2 + 2H2O = 2Fe2+ +4SO42- + 4H+

(1)

Reaksi selanjutnya ferrous iron teroksidasi menjadi ferric iron (Fe3+)


2Fe2+ + 1/2O2 + 2H+ = 2Fe3+ + H2O

(2)

Ferrous iron juga dapat teroksidasi menghasilkan iron hidroksida (FeOOH) dan
keasaman.
Fe2+ + 1/4O2 + 3/2H2O = FeOOH + 2H+

(3)

Pada saat pH > 4, Fe3+ akan terendapkan sebagai ferric hidroksida (Fe(OH)3), lepas ke
lingkungan dengan sangat asam.
Fe3+ + 3H2O = Fe(OH)3 + 3H+

(4)

Pada saat pH < 4, Ferric iron akan larut dan mengoksidasi pirit secara langsung dan
melepas asam kesekelilingnya dengan bebas.
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O = 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+

(5)

Secara keseluruhan reaksi oksidasi pirit dapat diperlihatkan sebagai


berikut :
FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O = Fe(OH)3 + 2H2SO4

(6)

26

Oksidasi 1 mol pirit akan menghasilkan 2 mol asam sulfur. Secara umum
pertimbangan literatur (Aubertin et al, 2002 dalam Bussiere 2009) bahwa oksidasi
oleh oksigen (persamaan 1) berlangsung pada pH netral (5 < pH > 7), sementara itu
oksidasi tidak langsung (Persamaan 5) lebih dominan pada pH rendah (pH < 3).
Persamaan diatas berdasarkan pada persamaan stoikiometri tanpa mempertimbangkan
kondisi kinetik setiap reaksi. Seperti nilai rata-rata oksidasi sebagai fungsi faktor
penambah (Jerz dan Rimstidt, 2004 dalam Bussiere, 2009), supply oksigen,
temperatur, pH, aktivitas bakteri, luas paparan. Pertimbangan secara umum rata-rata
reaksi dikontrol oleh (persamaan 2). Rata-rata reaksi berjalan lambat pada pH rendah,
tetapi meningkat dengan cepat dan menurunkan pH karena adanya bakteri.
Contohnya Acidithiobaccilus ferrooxidans sebagai katalisator reaksi oksidasi ferrous
iron menjadi ferric iron.
Kualitas kimia dari drainase juga tergantung dari mineral lain yang ada di
batuan sisa. Asam dapat bereaksi dengan penetral oleh karbonat dan mineral sillicate,
yang dapat dipertimbangkan sebagai penetral utama adalah calcite (CaCO3) dan
dolomite (CaMg(CO3)2) (Lapakko,1992).
2CaCO3 + H2SO4 = 2Ca2+ + 2HCO3- + SO4 2-

(7)

CaMgCO3 2- + H2SO4 = Ca2+ + Mg2+ + 2HCO3- + SO4 2-

(8)

Persamaan diatas memperlihatkan bahwa 2 mol calcite dan 1 mol dolomit


dibutuhkan untuk menetralkan 1 mol asam sulfur. Kapasitas mineral penetral untuk

27

membatasi pembentukan air asam tambang juga tergantung kepada faktor yang
berbeda beda untuk mempengaruhi proses reaksi seperti : temperatur, pH, tekanan,
permukaan mineral.
2.3.1

Analisis Karakteristik Air Asam Tambang


Untuk mengetahui sejauh mana dalam suatu lokasi kegiatan tambang batubara

terdapat kandungan mineral sulfidis pada lapisan tanah/batuan penutupnya, maka


perlu dilakukan identifikasi contoh batuan/tanah penutup dan air pada daerah operasi
penambangan batubara tersebut. Identifikasi batuan/tanah penutup merupakan salah
satu cara untuk mengetahui potensi pembentukan air asam tambang ( Sobek, et al ,
1978 ) dan dikategorikan sebagai uji statik potensi pembentukan air asam tambang.
Kegiatan ini diawali dengan melakukan survei lapangan untuk pengambilan
contoh batuan/tanah penutup di daerah kegiatan penambangan. Pengambilan contoh
batuan/tanah penutup dilakukan berdasarkan pada ketebalan lapisan-lapisannya dan
jenis batuan serta perubahan stratigrafinya ( Sobek, et al, 1978 ). Selain itu dilakukan
pula pengambilan contoh air dari kolam pengendap untuk mengetahui pH, daya
hantar listrik dan kandungan logam-logam terlarut.
Metode analisis yang paling umum dikenal adalah metode statik dan kinetik.
Dalam penelitian kali ini metode yang dipakai adalah metode static test yaitu Net
Acid Producing Potential (NAPP).

28

NAPP adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui potensi


keasaman yang dapat dibentuk oleh sejumlah tanah tambang, dimana nilai potensi
keasaman dinyatakan dalam kg H2SO4/ton. Nilai dari total NAPP akan dijadikan
acuan untuk menggolongkan tipe tanah tambang seperti berikut:
NAPP 0 and NAGpH 4.5 , digolongkan sebagai NAF
NAPP > 0 and NAGpH < 4.5, digolongkan sebagai PAF
NAPP > 0 and NAGpH > 4.5 or NAPP 0 and NAGpH < 4.5, digolongkan
sebagai Uncertain.
Nilai NAPP dinyatakan dengan rumus:
NAPP = MPA ANC
MPA = % TS 30,625
Catatan: Masing-masing unit dinyatakan dalam satuan kg H2SO4/ton.

1. Penentuan Total Sulfur ( %TS)


%TS adalah jumlah atau banyaknya kandungan sulfur organik & anorganik
dalam sample tanah dimana total sulfur dalam sample mengindikasikan jumlah atau

29

banyaknya asam sulfat yang dapat terbentuk pada proses oksidasi dan reduksi dalam
sample tanah. Jika pada penetapan jumlah atau banyaknya sulfur organik dan
anorganik telah didapatkan hasilnya, maka nilai %TS adalah koreksi terhadap jumlah
dari nilai sulfur organic dan anorganik, dimana %TS selalu lebih besar dari jumlah
nilai sulfur organik dan anorganik yang dinyatakan dalam persen.
2. Kapasitas penetralan asam atau Acid Neutralizing Capacity (ANC)
ANC adalah suatu metode penetapan jumlah atau banyaknya mineral penetral
(pada umumnya karbonat, CO3) dalam contoh tanah yang dapat bereaksi dengan
mineral pengasam (pada umumnya sulfat, SO4) dalam sample tanah. Berbeda dengan
metode penentuan jumlah keasaman (aktual dan potensial asam), metode ini
digunakan untuk menentukan kemampuan sample dalam menetralkan asam yang
terkandung dalam sample itu sendiri. Banyaknya jumlah nilai ANC akan
mempengaruhi sifat alkalinitas suatu sample tanah.
3. Net acid generating (NAG)
Net acid generation adalah analisis jumlah potensi keasaman yang terbentuk
setelah terjadi oksidasi pirit dalam tanah tambang. Dalam analisis NAG reaksi yang
terjadi adalah reaksi keasaman dan penetralan dimana hasil akhir dari reaksi oksidasi
adalah nilai NAGpH yang akan memberikan indikasi sifat keasaman dan kebasaan
dari suatu tanah tambang yang dianalisis. Untuk sample analisis dengan nilai NAGpH
7,0, maka tidak dilakukan penetapan nilai NAG, sedangkan untuk sample analisis

30

dengan nilai NAGpH < 4,5 maka dilakukan penitaran dengan basa NaOH hingga pH
4,5 dan dilanjutkan dengan penitaran pada pH 7,0. Jumlah larutan penitar berbanding
lurus dengan jumlah potensi pembentukan asam yang terkandung dalam sample
analisis.
4. Paste pH
Paste pH diperoleh dari pengukuran pH dari paste yang terbentuk dari
campuran air yang terbebas dari ion (de-ionized) dan sample batuan dengan
perbandingan berat 1:1 setelah dibiarkan selama kurang lebih 10 menit. pH paste ini
menunjukkan interaksi keasaman dan alkalinitas material pada saat awal material
tersebut tersingkap dan bereaksi dengan air.

Anda mungkin juga menyukai