LAPORAN KASUS
TINEA PEDIS
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah dr.Adhyatma, MPH
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Irma Yasmin, SpKK
Disusun Oleh :
Miftakhun Nissa (H2A011029)
Disusun Oleh:
Miftakhun Nissa (H2A011029)
Tanda Tangan
...........................
.............................
Mengesahkan:
Tanggal
BAB I
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Agama
Pendidikan
No RM
Tanggal Berobat
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 28 Maret 2016 Januari 2016 pukul
10.00 WIB.
a. Keluhan Utama : gatal pada telapak kaki kanan
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Tugurejo denga keluhan adanya rasa gatal pada
telapak kaki kanan. Keluhan dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya terdapat bintik berisi
cairan terasa gatal kemudian digaruk oleh pasien, pecah dan melebar. Rasa gatal disakan terus
menerus. Gatal dirasakan semakin bertambah apabila terkena keringat dan saat kaki lembab .
Rasa gatal dirasakan berkurang saat di rendam air hangat.
Pasien juga mengeluh terkadang terasa nyeri bila telapak kakinya tergesek.Pasien
mengaku telah berobat ke dokter 1 bulan yang lalu dan mendapat obat minum dan salep,
tetapi belum ada perbaikan . Pasien memiliki kebiasaan sering membiarkan kakinya dalam
keadaan lembab dan menggunakn sepatu tertutup dalam jangka waktu yang lama.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit seperti ini
: disangkal
Konsumsi obat lama
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit seperti ini : disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi obat
: disangkal.
Riwayat alergi makanan : disangkal
e. Riwayat pribadi
Mandi
: 2 x sehari
Handuk
: Masing-masing anggota keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 28 Maret 2016 di Poli Kulit RSUD Tugurejo
a. Status Generalis
KU
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
b. Vital Sign
Nadi
: 90 x/ menit regular, isi dan tegangan cukup
Nafas
: 20 kali/menit, regular.
Suhu
: 36,50C, axiller
BB
: 46 kg
TB
:155 cm
Status gizi
: Kesan gizi normal
c. Status Dermatologis
Inspeksi
Morfologi
Lokasi
UKK
:
: Plantar pedis dextra
: tampak bercak eritema,krusta, bentuk tidak teratur, tepi berbatas
Tampak Belakang
SD Vesikuler
SD Vesikuler
Paru
Dextra
Depan
Inspeksi
Sinistra
Palpasi
normal
normal
Simetris, Nyeri tekan (-), SIC Simetris, Nyeri tekan (-), SIC
Perkusi
dalam
batas
normal,
taktil dalam
batas
normal,
taktil
Auskultas
Belakang
Inspeksi
(-),
Pengembangan kulit
batas
normal,
taktil
Perkusi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
fremitus
normal,
Abdomen
Pengembangan
(-)
Inspeksi
+/+
+/+
Oedem
-/-
-/-
Sianosis
-/-
-/-
Gerak
+/+
+/+
Capillary Refill
IV.
Inferior
RESUME
Anamnessa
Px. Fisik
dalam
keadaan
dan
tertutup
3. Inspeksi
Lokasi
UKK
Masalah Aktif
Masalah Pasif
V.
VI.
ASSESMENT
Diagnosis banding :
Tinea pedis
Dermatitis Kontak Alergika
Kandidiasis
Pomfolix
Psoriasis
RENCANA PENGELOLAAN
1. Inisial Plan Diagnostik : Tinea pedis
Ip Dx S :Ip Dx O : Usulan Px. Penunjang :
a. Pemeriksaan KOH 10 %
b. Pemeriksaan medium agar dekstrosa sabouraud
2. Inisial Plan Terapi :
Medika Mentosa
R/ Ketoconazol cream 2% s.u.e
R/ Itraconazol 100 mg tab 1x1
R/ Cetirizin 10 mg 1x1
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad sanam
Quo ad Fungsionam
Quo ad cosmetikam
: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA PEDIS
1. PENDAHULUAN
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah
penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan
epidermis
di
kulit,
rambut
dan
kuku
yang
disebabkan
oleh
golongan
jamur
dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit.(1)
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai
tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos
kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.
Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering
terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak
menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot,
foot mycosis. (2,3)
2.
EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi.
Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan
penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan
orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi
bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara. (2)
Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari
nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang
mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara menderita
penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada
beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit.
Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang. (2,3,5)
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada
laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan
paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum
seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi. (2-4)
3. ETIOLOGI
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. interdigitale, T. tonsurans(sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.(22) T.
rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu
sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang
vesikular dan lebih meradang sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara
dua pola lesi diatas. (1-4)
4. PATOGENESIS
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin.
Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan
dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh
keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum
dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini
dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan
nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan
baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi
dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur
oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi sistem
kekebalan tubuh. (4)
Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam pertumbuhan
jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan faktor
predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita
dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.
Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan
di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi
dan karpet. (2)
Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi
dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak
stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak
mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa
episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai
ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih
belum diketahui. (2)
5. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
a) Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan V
terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari
(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka
sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh.
Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada
umumnya juga telah diserang oleh jamur.(1) Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu
karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga pasien terasa
sangat gatal.(7) Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan
sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri
sehingga terjadi selulitis, limfangitis dan limfadenitis.(1)
yang bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci. (7) Seluruh kaki,
dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema
biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula
dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.(1) Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang
biasanya resisten terhadap pengobatan. (6,21)
c) Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula
yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke
punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang
berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat
hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan kadangkadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati pada atap vesikel.(1,6,7)
Gambar 7 : Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari
epidermis **
* Dikutip dari kepustakaan no. 16
** Dikutip dari kepustakaan no. 22
e) Pemeriksaan lampu Wood
Pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena banyak dermatofita
tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang disebabkan
oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah tersebut
dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.(20)
7. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%
ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi
(bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung
hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. b) Kultur
ditemukan dermatofit. (8,10)
8. DIAGNOSIS BANDING
a) Dermatitis kontak
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak
jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya pada bagian
yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya
riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya
tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif,
sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1,9)
Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada anak-anak, agak kronik,
sering pada musim dingin, sangat gatal dan ada riwayat keluarga yang atopi. Kulit di dorsum
pedis tidak ditemukan jamur.(9)
c) Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;
psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(9)
d) Hiperhidrosis pada kaki
Lesi dapat memburuk dan berwarna putih, erosi disertai maserasi pada telapak
kaki dan bau yang sangat busuk. (9)
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10
Organisme
Penyebab
Trichophyton
rubrum
Epidermophyton
floccosum
Gejala Klinis
Hiperkeratosis yang
difus, eritema dan
retakan pada
permukaan telapak
Pengobatan
Antifungal topikaldisertai
dengan obat-obatan
keratolitik asam salisilat,
urea dan asam laktat
Scytalidium
hyalinum
S. dimidiatum
Interdigital
T. mentagrophytes
(var. interdigitale)
T. rubrum
E. floccosum
S. hyalinum
untuk mengurangi
hiperkeratosis; dapat juga
ditambahkan dengan
obat-obatan oral
Obat-obatan topikal
biasanya cukup pada fase
akut, namun apabila
dalam keadaan berat
maka indikasi pemberian
glukokortikoid
Obat-obatan topikal;
antibiotik digunakan
apabila terdapat infeksi
sekunder
S. dimidiatum
Candida spp.
Inflamasi /
Vesikobulosa
T. mentagrophytes
Ulseratif
T. rubrum
(var.
mentagrophytes)
T.
mentagrophytes
E. floccosum
Eksaserbasi pada
daerah
interdigital;Ulserasi
dan erosi; biasanya
terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri;
biasanya terdapat pada
pasien
imunokompromais da
n pasien diabetes
A. ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi,
yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (3)
a. Imidazol Topikal
Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada pengobatan tinea
pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.(11,18)
Klotrimazole 1 %
b.
c.
d.
Piridones Topikal
Merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan antidermatofit,
antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai jenis jamur.(11,18)
Sikolopiroksolamin
Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea versikolor.
Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2
kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
Alilamin Topikal
Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada tinea pedis
yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). (11)
Terbinafine (Lamisil)
Menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan kematian sel jamur.
Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang
e.
B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan.
Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat
antifungal di bawah ini antara lain :
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik.
Griseofulvin dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk
orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan
dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian
memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita.
Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping
dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang
didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus yaitunausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan
dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang bersifat
fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut
sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.(1)
3. Itrakonazole
Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai pengganti
ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh
hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat
sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting
dalam sela membran jamur.
Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur
biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan
obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin
(dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko
hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion.(1,11,12)
4. Terbinafin
Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari bergantung berat badan.
Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol
menurun.
Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering
gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi
yang
umumnya
ringan.Efek
samping
lainnya
dapat
berupa
gangguan
pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan
dapat pula terjadi.
Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1) Terbinafin baik
digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian
ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin. (15,19)
PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap dalam
keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari pemakaian
sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-tempat umum seperti
kolam renang serta menghindari hindari kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur
ini biasanya asimptomatik, sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan
suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki
dicuci dengan benzoil peroksidase. (4,12)
10. KOMPLIKASI
a) Selulitis
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis
dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah
subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor predisposisi
selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan
lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi
menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti -hemolytic streptococci
(group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram
negatif.(4,12)
Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi
gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan antibiotik secara
intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin, golongan beta laktam ataupun
golongan kuinolon. (14)
b) Tinea Ungium
Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya
dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan
jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak
berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut. (12)
c) Dermatofid
Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi id, merupakan suatu penyakit imunologik
sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel atau
erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa
saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah
penggunaan terapi antifungal. (12,13) Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan
edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan
profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.(4,12)
11. PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih
berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi
bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.(3,8)
12. KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan jarang pada
perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu
dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan
jamur makin subur. Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton
rubrum (paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton
floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot, lesi
vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan adanya hifa double
counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa dermatitis kontak,
pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan
tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal topikal maupun oral dan apabila
ditemukan infeksi sekunder maka indikasi penggunaan antibiotik.Salah satu pencegahan
terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih,
hindari lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu lama
DAFTAR PUSTAKA
1. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p.89- 104.
2. Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence
and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J Clin
Microbiol 2000;38:3226-30.
3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003.
4. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections: dermatophytosis,
onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New york:
McGraw-Hill; 2003.
5. Hapcioglu B, Yegenoglu Y, Disci R, Erturan Z, Kaymakcalan H. Epidemiology of superficial
mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in Istanbul, Turkey. Coll
Antropol 2006;1:119-24.
6. Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. London:
Mosby; 2004. p. 409-456.
7. Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin: Springer
Verlag; 1991. p. 227-8.
8. Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill;
2008. p.1807-21.
9. Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC, editor. Sauser manual of the skin. 8th ed. US:
Mosby; 2000. p. 244-47.
10. Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK: Oxford; 2005. p.
65-6.
11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,
Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI; 2004. p. 560-70.
12. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the practicing
allergist: tinea pedis and its complications. Clin Mol Allergy 2004;2:5.
13. Noble SL,Pharm D,Forbes RC.Diagnosisand management
of common tinea infections. [Online].
2000 July
[cited
2010
June
2]; Available