Tabel 1
Perbandingan Perkiraan Kebutuhan Investasi dan Kemampuan
Investasi Pemerintah Propinsi Jawa Barat Periode 2001 2010
(Jutaan Rp)
Tahun
Perkiraan
Kebutuhan
Investasi
Perkiraan
Investasi
Pemprop. Jabar
Rasio
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
12,804,738
14,341,308
16,062,265
17,989,734
20,148,505
22,566,323
25,274,484
28,307,198
31,704,061
35,508,550
1,757,459
1,801,804
1,854,072
1,908,984
1,966,747
2,028,555
2,093,164
2,162,669
2,237,625
2,319,035
14%
13%
12%
11%
10%
9%
8%
8%
7%
7%
Rata-rata
Sumber: Bappeda Prop. Jawa Barat
Dari gambaran di atas terlihat, dari
tahun ke tahun kebutuhan investasi propinsi
Jawa Barat terus mengalami peningkatan, namun
peningkatan ini ternyata tidak diimbangi dengan
kenaikan jumlah investasi yang dilakukan oleh
pemerintah propinsi Jawa Barat, yang relatif
stagnan pada kisaran Rp2 Trilyun lebih. Kondisi
ini menggambarkan rendahnya kemampuan
pemerintah propinsi dalam memenuhi kebutuhan
investasi daerahnya. Oleh karenanya, jika
kebutuhan
investasi
tersebut
hanya
mengandalkan
penerimaan
daerah
yang
bersumber dari PAD, Dana Bagi Hasil, dan Dana
Alokasi Umum, dikhawatirkan kebutuhan
pelayanan kepada masyarakat akan sulit
dipenuhi.
Besarnya kebutuhan dana yang
dibutuhkan
Jawa Barat untuk investasi
infrastruktur dan terbatasnya sumber-sumber
penerimaan konvensional mendorong pemerintah
propinsi Jawa Barat untuk mencari alternatif
pembiayaan.
Salah
satu
upaya
untuk
mendapatkan sumber dana alternatif tersebut
adalah dengan menerbitkan obligasi daerah.
Peraturan Pemerintah No 107 Tahun 2000
tentang Pinjaman Daerah pasal 2 ayat 2
menegaskan bahwa pinjaman daerah bersumber
dari Pemerintah Pusat, Lembaga Keuangan
Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank,
Masyarakat dalam hal ini publik atau individu,
dan sumber lainnya. UU No. 33 tahun 2004,
secara eksplisit telah menetapkan, salah satu
bentuk pinjaman yang dapat diperoleh Daerah
adalah dari masyarakat dengan cara menerbitkan
Obligasi Daerah.
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan Undang-Undang No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Daerah antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Penerimaan
Daerah
dalam
pelaksanaan
Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan
Pembiayaan. Salah satu sumber pembiayaan
adalah Pinjaman Daerah. Pinjaman Daerah
adalah semua transaksi yang mengakibatkan
Daerah menerima sejumlah uang atau menerima
manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban
untuk membayar kembali.
Pinjaman daerah
yang diterima
pemerintah daerah dapat bersumber dari:
Pemerintah; Pemerintah Daerah lain; lembaga
10%
KAJIAN PUSTAKA
Pinjaman sebagai Sumber
Pembiayaan Daerah
Salah satu tujuan diberlakukannya
otonomi daerah yang mulai efektif pada tahun
2001, adalah pemerintah daerah dapat
lebih/mulai
mandiri
dalam
membiayai
pembangunannya. Pemerintah daerah harus
mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan
yang terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Dana Perimbangan.
Selain
dua
komponen
tersebut,
komponen lain dari Penerimaan Daerah adalah
Pembiayaan Daerah. Berdasarkan Undangundang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, yang dimaksud dengan
Pembiayaan Daerah adalah setiap penerimaan
Daerah yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
tahun-tahun anggaran berikutnya.
Salah satu sumber Pembiayaan Daerah
adalah Pinjaman Daerah. Pinjaman Daerah
adalah semua transaksi yang mengakibatkan
Daerah menerima sejumlah uang atau menerima
manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban
2.
2.1.
b.
c.
d.
DSCR =
DSCR
4.
2.3.
tidak
mempunyai
tunggakan
atas
pengembalian pinjaman yang berasal dari
Pemerintah.
2.5.
Pemanfaatan
perusahaan
investasi
sebagai sarana untuk mengakses pasar modal,
digunakan oleh pemerintah propinsi Riau, yang
membentuk satu BUMD dengan badan hukum
Perseroan
Terbatas
(PT),
yaitu
PT.
Pengembangan Investasi Riau (PIR) yang
bergerak sebagai perusahaan investasi.
Di Pasar Modal, selain emiten, entitas
yang secara aktif terllibat langsung dalam
mekanisme
perdagangan
efek
adalah
Perusahaan Sekuritas/Efek. Menurut UU No. 8
tahun 1995 tentang Pasar Modal pasal 1 ayat 21,
yang
dimaksud
dengan
Perusahaan
Sekuritas/Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer
Investasi. Untuk dapat melakukan kegiatan
sebagai penjamin emisi efek, perantara
pedagang efek, atau manajer investasi, atau
kegiatan lain yang sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Bapepam, perusahaan efek
harus mendapatkan ijin usaha dari Bapepam.
Mengacu kepada peran dan lingkup usahanya,
perusahaan efek dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu: Perusahaan Penjamin Emisi Efek;
Perantara Pedagang Efek;
dan Manajer
Investasi.
Berbeda dengan Perantara Pedagang
Efek yang hanya melakukan kegiatan usaha jual
beli efek, atau Perusahaan Penjamin Emisi yang
kegiatan usahanya lebih difokuskan untuk
membantu emiten dalam melaksanakan proses
emisi, dalam menjalankan kegiatan usahanya
Manajer Investasi bisa menerbitkan reksadana,
baik reksadana tertutup (close-end fund) maupun
reksadana terbuka (open-end fund). Dana yang
dihimpun dari penjualan reksa dana ini selain
dapat digunakan untuk melakukan investasi tidak
langsung dalam bentuk surat-surat berharga, juga
dapat digunakan membiayai proyek-proyek
investasi langsung yang dapat menghasilkan
keuntungan,
termasuk
proyek-proyek
pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Manajer
Investasi juga dapat berperan sebagai:
- Pengelola dana hasil penerbitan
Obligasi Daerah dan asset produktif fungsi asset management untuk
Pemerintah Daerah.
c.
SIMPULAN
d. Untuk
kepentingan
penerbitan
dan
pengelolaan obligasi daerah, ada dua bentuk
BUMD
yang dapat dipilih
untuk
dipergunakan oleh pemerintah daerah, yaitu:
Perusahaan Investasi dan Perusahaan
Efek yang bertindak sebagai Manajer
Investasi.
Artikel ini telah dimuat di PROSIDING KOPERTIS WILAYAH IV. Vol. 2 No. 1, April
2006