Anda di halaman 1dari 400

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan subyek hukum dan aset bangsa, sebagai bagian dari
generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai generasi penerus suatu
bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan
suatu bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional
untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak
sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hakhak yang dimilikinya. 1Anak juga merupakan harapan dan tumpuan orang tua,
harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet
pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat
khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan dan
perlindungan dari sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluasluasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan
periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang
dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan
karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan

Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota
Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun X, Januari, 2005, hlm. 24.

kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. 2 Selain itu, karena
anak baik secara rohani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk
berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban generasi yang terdahulu untuk
menjamin, memelihara dan mengamankan anak3, bahkan Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on The Right of The Child) Resolusi PBB Nomor 40/25
tanggal 20 November Tahun 1989 secara tegas menyatakan jaminan-jaminan
hukum yang harus diberikan oleh negara-negara peserta terhadap anak pelaku
tindak pidana. Tak seorang anak pun boleh mengalami siksaan atau perlakuan
yang kejam, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan
martabat, hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak akan dijatuhkan
tanpa kemungkinan pembebasan untuk kejahatan yang dilakukan oleh anak.
Tak seorang pun anak terampas kemerdekaannya secara tidak sah atau
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman seorang
anak harus sesuai dengan hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir
dan untuk jangka waktu yang paling pendek.
Akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, masyarakat Indonesia
dikejutkan dengan pemberitaan media massa mengenai adanya anak-anak
atau remaja-remaja yang terlibat dengan perbuatan kriminal, mulai dari
pencurian sampai dengan penganiayaan dan pembunuhan. Media massa
mengutip pemberitaan di luar negeri, di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, negara-negara Eropa dan Jepang, dan negara-negara lain yang lebih
dahulu diresahkan oleh anak-anak berhadapan dengan hukum pidana sejalan
2

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Bandung, Refika Aditama,2008, hlm. 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

dengan perkembangan teknologi, industri dan ekonomi. Indonesia dari tahun


ke tahun sejak tahun 1970-an merasakan jumlah kenakalan remaja (juvenile
delinquency), meningkat terus, sehingga fenomena kenakalan remaja mulai
dari mereka yang tidak taat terhadap orang tua seperti membolos,
mengganggu ketertiban masyarakat sampai melakukan tindak pidana,
dinyatakan sebagai salah satu masalah nasional serta mendapat perhatian
rakyat, namun pemerintah memberantasnya secara sempurna, terutama dalam
hal memperlakukan mereka yang berada dalam proses peradilan pidana, yang
masih memperlakukan pelaku tindak pidana anak seperti memperlakukan
tindak pidana dewasa.
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak
(politik kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan
anak (Juvenile Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak
(Juvenile Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi
pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana (kenakalan anak), tetapi
lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut
sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak
pidana.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan
perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat
negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak. 4 Untuk itu, kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek.

Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 222.

Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perlindungan anak. Aspek kedua,
menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.5
Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem
peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile
Justice (SMR-JJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims
of Juvenile Justice), sebagai berikut :
The juvenile Justice Sistem shall emphasize wel-being of the juvenile
an shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in
proportion to the circumstances of both the offender and offence.( Sistem
Peradilan pidana bagi anak / remaja akan mengutamakan kesejahteraan
remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggarpelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaankeadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran
hukumnya).6
Dalam Standard Minimum Rules Juvenile Justice (SMR-JJ) atau The
Beijing Rules, juga ditegaskan beberapa prinsip sebagai pedoman dalam
mengambil keputusan, yakni dalam Rule 17.1, yang menyatakan bahwa
dalam mengambil keputusan harus berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai
berikut :
a. Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang diambil selamanya harus
diseimbangkan tidak hanya pada keadaan-keadaan dan keseriusan/berat
ringannya tindak pidana (the circumstances and the gravity of the
juvenile) tetapi juga pada keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan si
5

Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau,
Pekanbaru, 2008, hlm. 121.
Abintoro Prakoso dan Vage Normen, Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum diterapkan
oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April 2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, UII
Yogyakarta, 2010, hlm. 251.

anak (the circumstances andof the juvenile) serta pada kebutuhankebutuhan masyarakat (the needs ofthe society);
b. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanya
dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal
mungkin;
c. Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak
melakukan tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau
terus menerus melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada
bentuk sanksi lain yang lebih tepat;
d. Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam
mempertimbangkan kasus anak.

Demikian pula secara khusus ketentuan yang mengatur sistem peradilan


pidana anak di Indonesia ditetapkan dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997.
Dibentuknya Undang-undang tentang pengadilan anak, antara lain karena
disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial
yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu
gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Oleh karena itu,
perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan
terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan
perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang
lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara
khusus.7
Meskipun demikian, pada pelaksanaannya banyak kritik-kritik terhadap
penyelenggaraan peradilan pidana anak. Terutama setelah kasus Mohammad
Azwar alias Raju, anak berusia 8 tahun yang menjalani proses persidangan di
Pengadilan Negeri (PN) Stabat Kab. Langkat Sumatera Utara, karena
berkelahi dengan seorang anak lain pada tahun 2006, kemudian kasus
7

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika,Jakarta, 2008, hlm.29.

persidangan anak kembali mendapat sorotan, Pengadilan Negeri Tangerang,


Banten menyidangkan 10 orang anak yang masih di bawah umur dengan
dugaan melakukan permainan koin dengan taruhan uang senilai Rp1000,00.
Masalah penanganan anak nakal dan anak yang berhadapan dengan hukum
kembali mencuat ketika Aal anak berusia 15 tahun yang divonis bersalah oleh
Pengadilan Negeri Palu atas dakwaan mencuri sandal milik seorang anggota
Polri, kasus ini telah menimbulkan berbagai tanggapan dari para pemerhati
anak di negeri ini, bahkan Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus-kasus ini dijadikan pintu
masuk untuk memperbarui Undang-Undang Pengadilan Anak. 8 Banyak
kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak dalam
implementasinya belum sesuai dengan tujuan kesejahteraan anak dan
kepentingan terbaik bagi anak. Keprihatinan akan kondisi pelaksanaan
perlindungan anak yang masih jauh dari keinginan ini semakin bertambah
saat data jumlah tahanan anak dan narapidana anak (anak didik
permasyarakatan) di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia tiga tahun
terakhir ini cenderung bertambah. Pada tahun 2009 berjumlah 2.536, pada
tahun 2011 berjumlah 3.672, dan pada tahun 2012 berjumlah 5.398. Bahkan
hingga pertengahan april ini berjumlah 5.409 tahanan anak di rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. 9 Ini menunjukkan bahwa
tindakan penahanan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tidak dapat
dihindarkan secara maksimal. Tentu hal ini merupakan salah satu masalah
8

M.Musa, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Alternatif Sistem Peradilan Anak Indonesia,
Jurnal Mahkamah, Vol.19 No.2, Oktober 2007, Pekan Baru, 2007, hlm. 169.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM.

nasional yang harus mendapat perhatian khusus. Namun, hingga saat ini
pemerintah masih memperlakukan pelaku tindak pidana anak seperti
memperlakukan pelaku tindak pidana dewasa. Hal ini dapat dilihat dari data
lapangan, dimana sebagian besar atau 57 persen dari narapidana anak
tergabung dengan tahanan orang dewasa atau berada di rumah tahanan dan
lapas untuk orang dewasa. Kondisi ini akan menempatkan anak pada situasi
rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Berdasarkan hasil
pemetaan anak berhadapan dengan hukum tahun 2009 hingga 2012
menunjukkan mayoritas kasus diselesaikan melalui pengadilan. Sebanyak 90
persen diantaranya dijatuhi hukuman pidana dan dipenjarakan 10.
Adanya kasus-kasus kenakalan anak yang ditangani melalui sistem
peradilan pidana, sudah tentu memerlukan penanganan dan perhatian khusus
yang berbeda dengan orang dewasa. Hal tersebut disebabkan karena tindak
pidana yang dilakukan seorang anak didasarkan oleh latar belakang yang
berbeda dengan yang dilakukan oleh orang dewasa.
Dalam praktik proses sistem peradilan pidana terdapat manifestasi
ambivalensi sebagai konsekuensi perkembangan

hukum

modern

yang

formal (prosedural), birokratis dan rasional. Dimana dalam sistem hukum


modern prosedur dan substansi sudah dipadukan menjadi satu, sehingga
kesalahan

prosedural

berakibat pula kepada kegagalan substansial.

Masyarakat modern bekerja melalui organisasi-organisasi yang disusun


secara formal dan birokratis dengan maksud untuk mencapai rasionalitas
10

http://m.antaranews.com/berita/1270440109/jumlah-tahanan-anak-di-lapas-terus-meningkat
diakses pada hari selasa tanggal 22 April 2013 pukul 20.00 wib

secara maksimal dalam pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang


berjalan secara otomatis. 11
Dalam

proses

peradilan

yang demikian, aparat penegak hukum

(terutama hakim) dalam menyelesaikan setiap

perkara, pemikirannya

selalu didasarkan kepada menggunakan logika undang-undang (legal sense).


Walaupun disadari bahwa hukum sebagai karya manusia hanya dapat berjalan
melalui manusia. Manusia yang menciptakan hukum, namun hukum yang
telah diciptakan tidak secara otomatis dapat bekerja dengan sendirinya,
melainkan diperlukan campur tangan manusia pula. Namun demikian tidak
berarti manusia sebagai penegak hukum harus bersifat rigid/kaku. Kekakuan
terhadap penerapan hukum justru akan menghasilkan keadilan yang bersifat
formal bukan keadilan yang bersifat substansial 12.
Bertolak dari kenyataan tersebut, persoalan yang sangat penting dalam
proses persidangan perkara pidana anak tidak hanya masalah formal
prosedural proses

persidangan

yang harus dilakukan menurut prosedur,

asas dan doktrin yang telah ditetapkan, sehingga keadilan yang diperoleh
bukan

diukur

dari segi substansinya tetapi dari prosedur formal yang

digunakan melainkan lebih mendasarkan kepada proses persidangan yang


ditujukan kepada hakikat yang melatar belakanginya, yakni adanya sifat-sifat
yang khusus dari seorang anak. Dengan demikian ditanganinya anak pelaku

11
12

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,1980, hlm. 74.


Nandang Sambas, Tesis, Tinjauan Terhadap Persidangan Perkara Pidana Anak Mencari
Model Sidang Anak Yang Ideal,Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm. 6.

tindak pidana melalui peradilan benar-benar ditujukan demi perlindungan dan


kesejahteraan anak 13.
Munculnya berbagai kasus anak pelaku tindak pidana yang ditangani
melalui proses peradilan dengan berbagai perlakuan yang secara konsisten
sesuai dengan persepsi yuridis prosedural, nampaknya ada suatu kebutuhan
untuk mengkaji kembali peraturan-peraturan yang hingga kini dijadikan
landasan operasional penyelenggaraan sidang anak. Kenyataan tersebut
karena sampai saat ini undang-undang tentang peradilan anak yang
diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak untuk
mencapai kesejahteraan bagi anak masih dalam proses pembentukan. Di lain
pihak, adanya kasus-kasus sebagaimana diungkapkan di atas menyadarkan
pada bahwa ternyata perilaku menyimpang yang dilakukan anak memang
bersifat kriminal secara yuridis.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya untuk memberikan
perlindungan hukum

terhadap

hak-hak anak dalam proses peradilan

Sudarto14, mengatakan bahwa:


Segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka peradilan anak ini,
apakah itu dilakukan oleh polisi, jaksa ataukah pejabat-pejabat lainnya,
harus didasarkan pada suatu prinsip, ialah demi kesejahteraan anak, demi
kepentingan anak. Jadi apakah hakim akan menjatuhkan pidana ataukah
tindakan harus didasarkan pada kriterium apa yang paling baik untuk
kesejahteraan anak yang bersangkutan, tentunya tanpa mengurangi perhatian
kepada kepentingan masyarakat.
Namun

demikian,

secara

tegas

diungkapkan

pula bahwa

kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat.


13
14

Ibid., hlm. 6-7.


Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm.140.

10

Demikian pentingnya mengedepankan kesejahteraan anak, secara tegas


Arief Gosita, menyatakan bahwa:
Penghalangan 'pengadaan' kesejahteraan anak dengan prespektif
kepentingan nasional, masyarakat yang adil dan makmur sepirituil dan
materiil, adalah suatu penyimpangan yang mengandung faktor-faktor
kriminogen (menimbulknan kejahatan) dan Victimogen (menimbulkan
korban).15
Pengakuan adanya komitmen dari masyarakat bangsa-bangsa untuk
memberikan jaminan khusus

bagi anak-anak generasi penerus bangsa di

bidang hukum dan peradilan, terlihat melalui Kongres-Kongres Perserikatan


Bangsa-Bangsa yang tidak henti-hentinya memberikan perhatian khusus
terhadap masalah perlindungan hukum bagi anak. Sebagaimana dalam
Kongres PBB

tentang

Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku

Kajahatan ke IX (Ninth UN Congress on the Prevention of Crime and the


Treatment of Offenders) yang diselenggarakan pada tanggal 29 April - 8 Mei
1995 di Kairo, Mesir, menekankan pula perlunya diperhatikan tiga instrumen
internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Anak Bermasalah dalam bidang
hukum. Salah satu instrumen penting yang menyangkut penyelenggaraan
peradilan anak (Juvenile Justice) adalah UN Standard Minimum Rule for the
Administraton of Juvenile Justice Resolusi PBB Nomor 40/33 atau yang lebih
dikenal dengan Beijing Rules.16
Hal-hal yang mengatur tentang hak-hak anak (Rights of Juvenile),
antara lain menyatakan bahwa selama dalam proses peradilan hak-hak anak
harus benar-benar dilindungi seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk
15
16

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, 1989, hlm. 33.
Nandang Sambas, Op.Cit., hlm. 10.

11

memahami tuduhan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang tua atau
wali, hak untuk bertemu berhadapan dan menguji silang kesaksian

atas

dirinya, serta hak untuk banding. Di samping itu, untuk menghindarkan


stigmatisasi selama dalam proses peradilan, privacy anak harus dilindungi
serta dihindarkan dari pemaparan oleh media massa.17
Menurut Arif Gosita, perlunya hak-hak anak sebagai pelaku diberi
perhatian khusus selama proses peradilan, karena proses peradilan pidana
adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan orang berdiskusi,
dapat memperjuangkan pendirian tertentu, mengemukakan kepentingan oleh
berbagai macam pihak, mempertimbangkannya, dan dimana keputusan yang
diambil itu mempunyai motivasi tertentu. Oleh karena itu, selama proses
persidangan hak-hak

anak

yang

perlu diperhatikan dan diperjuangkan

meliputi:
1. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tatacara persidangan dan
kasusnya.
2. Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan.
3. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan
mengenai dirinya (transpor, perawatan kesehatan).
4. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial.
5. Hak untuk menyatakan pendapat.
6. Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakuan yang menimbulkan
penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam KUHAP (Pasal 1 ayat (2)2).
7. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang
positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia
seutuhnya.

17

SMR-JJ (Beijing Rules).Rule.7-8.Op.Cit., hlm. 6.

12

8. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. 18


Karena

persoalan peradilan anak pada hakikatnya ditujukan untuk

melindungi hak-hak anak guna mewujudkan kesejahteraan anak, yang


merupakan bagian integral dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial,
maka persoalan yang sangat mendasar dari kesemuanya itu akan bertitik
tolak kepada masalah kebijakan pengadilan pidana.
Sistem peradilan pidana terdiri dari empat

komponen,

yaitu

kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat


komponen tersebut bekerja sama dalam menegakkan keadilan. Tahapan
dalam proses peradilan pidana yaitu terhadap pra judikasi (sebelum sidang
pengadilan) meliputi penyelidikan dan penyidikan, judikasi (selama sidang
pengadilan) meliputi pemeriksaan dan pembuktian tuntutan jaksa dan pasca
judikasi (setelah sidang pengadilan), meliputi pelaksanaan semua keputusan
yang telah ditetapkan dalam persidangan seperti penempatan terpidana dalam
lembaga pemasyarakatan.19
Penanganan perkara anak / remaja pelaku tindak pidana anak, dengan
pola prilaku kriminal dan jati diri pelaku beragam (aneka pola) melalui sistem
peradilan anak ternyata dihadapkan pada banyak masalah yang cukup berat.
Oleh karena itu dibutuhkan dasar hukum yang mantap, kesadaran para
penegak hukum terkait dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan
tentunya partisipasi masyarakat.
18

19

Arif Gosita, Pengembangan Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana: (Beberapa
Catatan), Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 51-54.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,
Jakarta, 1997, hlm. 84.

13

Pembaruan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan


Anak dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, sebagai bagian dari upaya terlaksananya amanat
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang
dalam Pasal

64 memberi pedoman atau amanat agar Pengadilan Anak

menerapkan hal-hal sebagai berikut :


Diutamakan perlakuan terhadap tersangka anak yang manusiawi,
menjaga martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping yang
khusus, sejak penahanan dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus,
penjatuhan sanksi tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan
pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan pribadi anak yang
berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk tetap berhubungan
dengan orang tua atau keluarganya, dan perlindungan dari penderitaan yang
menyebut identitas melalui media massa dan sedapat mungkin dihindarkan
dari trauma yang mendalam.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
harus menjadi kewajiban nasional untuk merealisasikannya, karena salah satu
faktor penting dan mengikat adalah adanya resolusi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tentang Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice atau The Beijing Rules yang memuat prinsip-prinsip yang
harus diterapkan di Pengadilan Anak sebagai berikut :
1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara maksimal
untuk memperkecil intervensi sistem peradilan anak;
2. Non-diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana dalam proses peradilan
pidana;
3. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak;
4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir;
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/
wali;
6. Penentuan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak;
7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana;

14

8. Peraturan peradilan anak tidak boleh bertentangan dengan peraturan


ini. 20
Amanat Beijing Rules yang merupakan kebijakan PBB untuk
melindungi anak yang diperiksa dalam sistem peradilan anak di Indonesia
harus terus diperhatikan, mengingat Indonesia telah memiliki perangkat
hukum positif tentang perlindungan anak yang melakukan tindak pidana yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Mardjono Reksodiputro menyatakan, bahwa sistem peradilan pidana
merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah
kejahatan, bertujuan untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batasbatas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan
masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku
kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana.
Kemudian mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku
mengulangi kejahatannya.
Suatu kenyataan bahwa sistem peradilan pidana menjadi perangkat
hukum dalam menanggulangi berbagai bentuk kriminalitas di masyarakat.
Penggunaan sistem peradilan pidana dianggap bentuk respon penanggulangan
kriminal dan wujud usaha penegakan hukum pidana. Sistem peradilan pidana
diharapkan mampu menyelesaikan persoalan kejahatan yang terjadi. Namun
disadari penyelesaian pelaku tindak pidana menghadapi masalah dalam

20

United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice (The Beijing
Rules) Adopted by General Assembly Resolutions 40/30 tanggal 29-11-1985.

15

prosesnya. Di samping pelaku tindak pidana orang dewasa, ternyata banyak


anak dan remaja yang melakukan tindak pidana. Permasalahannya adalah,
anak dan remaja Indonesia masih memiliki hari depan, sehingga terhadap
anak dan remaja yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan
perlindungan seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, serta Konvensi-konvensi Internasional terkait.
Peradilan yang menangani perkara pidana disebut dengan peradilan
pidana yang merupakan bagian dan peradilan umum21 mulai dan penyidikan,
penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan. Peradilan Pidana Anak
merupakan suatu peradilan yang khusus menangani perkara pidana anak. 22
Penyidik

Anak,

Penuntut

Umum

Anak,

Hakim

Anak,

Petugas

Pemasyarakatan Anak merupakan satu kesatuan yang termasuk dalam suatu


sistem, yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice
Sistem), yang bertujuan untuk menanggulangi kenakalan anak, sekaligus juga
diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak yang mengalami
benturan dengan hukum.
Mengenai Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.:
a.

bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita

21

22

Berdasarkan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, peradilan


terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha
Negara.
Di lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam UndangUndang (Pasal 8 UU No. 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Umum).

16

perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai


ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam
rangka menjamin peitumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
b.

bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan


terhadap

anak,

diperlukan

dukungan,

baik

yang

menyangkut

kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan


memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan
pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Dalam Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
ditentukan bahwa Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam Hukum
Acara Pengadilan Anak, kecuali ditentukan lain. Dalam hal ini perundangundangan yang menyangkut PeradilanPidana Anak, antara lain adalah:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU Nomor
8 Tahun 1981 tentang b Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang b Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP,
Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M. 06-UM. 0l Tahun 1983 tentang
Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang, Surat Edaran Mahkamah

17

Agung No. 6 Tahun1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak, b Undang-undang


Hukum Pidana Khusus seperti: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
dan terakhir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak, dimana secara substansinya semua undang-undang tersebut mengatur
hak-hak anak yang berupa : hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak
kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi,
berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Proses Peradilan Pidana Anak mulai dari penyidikan, penuntutan,
pengadilan, dan dalam menjalankan putusan pengadilan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik
khusus atau setidaknya mengetahui tentang masalah Anak Nakal. Perlakuan
selama proses Peradilan Pidana Anak harus memperhatikan prinsip-prinsip
perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak
tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai
kemanusiaan anak menjadi lebih rendah. Untuk itu diusahakan agar penegak
hukum tidak hanya ahli dalam bidang ilmu hukum akan tetapi terutama jujur
dan bijaksana serta mempunyai pandangan yang luas dan mendalam tentang
kelemahan-kelemahan
masyarakatnya.23

Dalam

dan

kekuatan-kekuatan

kenyataannya

hal

ini

manusia
belum

serta

dilaksanakan

sebagaimana mestinya. ini terlihat bahwa dalam melakukan penyidikan anak

23

Sri Widoyati Wiratmo Soekito. Anak dan wanita dalam Hukum. Jakarta. LP3S. 1983, hlm.71.

18

penyidik masih memakai pakaian dinas, pemeriksaan perkara dilakukan


terbuka untuk umum. Adanya Anak Nakal yang dipidana penjara seumur
hidup, pidana penjara 15 (lima belas) tahun, 14 (empat belas) tahun, 10
(sepuluh) tahun. 24
Hal inilah yang menjadi pendorong untuk melakukan penelitian
denganjudul : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN
ANAK DALAM PEMBARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
DI INDONESIA. Penelitian ini mengungkapkan keberadaan

UU No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam kaitannya dengan perlindungan


hukum terhadap anak di Indonesia, penerapannya dalam menangani kasuskasus kenakalan anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pengandilan,
pemasyarakatan,

mengetahui

hambatan-hambatan

dan

usaha

penanggulangannya, serta memaparkan tentang pembaruan sistem peradilan


pidana anak bagi anak yang berhadapan dengan hukum yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Menurut pengetahuan penulis penelitian terhadap perlindungan anak
dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dalam program studi doktor
ilmu hukum telah dilakukan oleh beberapa penulis dengan sudut pandang dan
kekhasan masing-masing penulis, misalnya yang ditulis oleh Nandang
Sambas dengan judul Kebijakan Formulasi sistem Pemidanaan Terhadap
Anak Sebagai Upaya Pembaruan Hukum Pidana Anak di Indonesia. Disertasi
tersebut menitikberatkan pada hukum pidana materil anak dengan fokus

24

Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI), Monitoring Kasus Anak, Medan: 1998, hlm 9.

19

kajian kebijakan formulasi sistem pemidanaan. Kemudian disertasi yang


ditulis oleh Maidin Gultom dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap
Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. disertasi tersebut
menitikberatkan pada sistem peradilan pidana anak menurut hukum positif.
Disertasi

ini

mengambil

sudut

pandang

Kebijakan

Formulasi

Perlindungan Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Serta Kebijakan Aplikasi


Perlindungan Anak Dalam Rangka Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak
Di Indonesia. Oleh karena itu originalitas atau kekhasan yang menjadi fokus
kajian adalah Perlindungan anak dalam sistem peradilan anak dalam hukum
positif (ius costitutum) dan perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana
anak yang sebaiknya (ius constituendum) sehingga penelitian ini bersifat
preskriptif. Sehingga penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi untuk
pengembangan sistim peradilan pidana anak di Indonesia.

20

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat di identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan aplikasi Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Dengan uraian diatas, tujuan penelitian dapat dirumuskan secara
ringkas sebagai berikut :
1. Untuk mengatahui, mengkaji serta menganalisis bagaimana kebijakan
formulasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam
pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.
2. Untuk mengatahui, mengkaji serta menganalisis bagaimana kebijakan
aplikasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem
peradilan pidana anak di Indonesia.

21

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara teoritis maupun
secara praktis. Kegunaan teoritis, diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
kajian akademik tentang pentingnya penanganan terhadap anak, khususnya
anak yang terlibat dalam perkara pidana dan juga sebagai kontribusi kepada
pemegang kebijakan untuk penyempurnaan kebijakan formulasi dalam sistem
peradilan pidana anak.
Kegunaan Praktis, diharapkan dapat memberikan masukan kepada
berbagai pihak, baik para praktisi/aparat penegak hukum yang secara
langsung maupun tidak langsung menangani masalah anak berhadapan
dengan hukum.

E. Kerangka Pikir
Permasalahan utama dalam penelitian ini terfokus pada kebijakan
kriminal perlindungan anak dalam pembaruan sistim peradilan pidana anak
di Indonesia, yaitu usaha-usaha yang memungkinkan dalam menangani anak
yang berhadapan dengan hukum yang secara khusus menyangkut sistem
peradilan yang dapat memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak.
Kebijakan itu sendiri diartikan sebagai suatu keputusan yang
menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai
suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif.25 Dihubungkan dengan

25

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang CV. Ananta, 1994, hlm. 63.

22

penelitian

tentang

kebijakan

kriminal

perlindungan

anak

dalam

pembaruansistim peradilan pidana anak di Indonesia, lebih menitik beratkan


kepada kajian mengenai kebijakan kriminal melalui tahap kebijakan
legislatif/formulasi dan aplikasi tentang sistem peradilan. Hal ini karena
ditinjau dari segi penegakkan hukum, tahap kebijakan formulasi dan aplikasi
merupakan tahap yang tidak dapat dipisahkan, dimana tahap kebijakan
formulasi merupakan tahap awal dan sekaligus sumber landasan dari proses
penegakkan hukum selanjutnya, yaitu tahap aplikasi. Kebijakan formulasi
sendiri diartikan sebagai suatu perencanaan

atau program dari pembuat

undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi


problem tertentu, dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu
yang telah direncanakan atau diprogramkan. Sedangkan kebijakan aplikasi
merupakan tahap lanjutan dari tahap formulasi, yang menyangkut kebijakan
terapan dari hal-hal yang diamanatkan dan diatur oleh kebijakan formulasi.
Teori utama (grand theory)yang digunakan sebagai landasan untuk
menjawab pokok permasalahan dalam penelitian adalah teori tentang Negara
Hukum. Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya. Menurut Aristoteles
yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan
fikiran yang adil, sedangkan

penguasa hanyalah pemegang hukum dan

keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik atau tidaknya


suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah

23

sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintah negara. Oleh karena itu,


yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik,
karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga
negaranya.
Dalam ajaran Islam seruan untuk menegakkan negara hukum
ditegaskan sebagaimana firman Allah S. W. T. :

sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan


berbagai amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan
kalian jika kalian menetapkan hukum di antara manusia membuat
ketetapan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kalian.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat.Q.S., An-Nisa, 4: 58.
Seruan dalam ayat ini mengandung perintah untuk menyampaikan
berbagai amanat kepada kalangan yang berhak. Ketentuan ini bersifat umum
menyangkut seluruh amanat. Oleh karena itu, agama adalah amanat; syariat
adalah amanat; kekuasaan (bernegara) yang berdasarkan pada hukum pun
adalah amanat26.
Ibnu Jarir ath-Thabari, telah menukil sejumlah riwayat yang
menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para penguasa
(wulat al-umur). Beliau, antara lain, menuturkan riwayat yang bersumber dari

26

Manna Khalil Al-Qaththan, Wujud Tathbiq Asy-syariah, Tahun dan Penerbit tidak diketahui.
hlm, 301.

24

Mushab ibn Saad. Disebutkan bahwa ia telah menyatakan bahwa Sayyidina


Ali r.a., antara lain, berkata :
seorang imam (khalifah) wajib menjalankan hukum yang telah Allah
turunkan dan menunaikan amanat. Jika dia mengerjakan hal ini, maka rakyat
wajib mendengar dan menaatinya, sekaligus memenuhi seruannya jika
mereka diseru.
Dalil lain dari Al-Quran yaitu :

wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan


taatlah kalian kepada Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian
berbeda pendapat dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (As-sunnah), jika kalian memang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Sikap demikian adalah lebih utama
dan lebih baik akibatnya. Q. S. An-Nisa 4: 59.
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan pendapat yang paling tepat
mengenai makna ayat di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa Ulil
Amri adalah para pemimpin (umara) dan para penguasa (wulat). Mereka
wajib ditaati di dalam perkara yang mengadung unsur ketaatan kepada Allah
dan kemaslahatan bagi kaum muslim.
Kedua ayat di atas mengadung pilar-pilar negara, yaitu :
1.

Pemerintah atau kepala negara (Ulil Amri).

2.

Masyarakat (Umat)

3.

Hukum (juga termasuk di dalamnya Undang-Undang dan


peraturan-peraturan).

25

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau


penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. 27 Hak-hak setiap individu pun
harus dijunjung tinggi.
Bicara tentang hak anak dalam Islam, pertama sekali secara umum
dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai dharuriyatu khamsin (hak asasi
dalam Islam). Hak itu adalah lima hal yang perlu dipelihara sebagai hak
setiap orang:28
1. Pemeliharaan atas hak beragama (hifdzud dien);
2. Pemeliharaan atas Jiwa (hifdzun nafs).
3. Pemeliharaan atas Akal (hifdzul aql);
4. Pemeliharaan atas Harta (hifdzul mal);
5. pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifdzun nasl) dan Kehormatan
(hifdzul ird).
Jika merinci hak-hak anak yang diperolehnya dari orangtua atau otoritas
lain (dalam hal ini negara) yang menggantikan orangtua, maka akan dapati
bahwa hak-hak tersebut merupakan penjabaran dari Dharuriyatu Khamsin
tadi. Misalnya hak anak untuk mendapatkan nama dan keturunan nasab maka
itu ada dalam pemeliharaan atas nasab dan kehormatan, hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, dapat dimasukkan ke dalam

27
28

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,Op.Cit., hlm. 2.


Imam Rusly, Nasab Dan Urgensinya Dalam Islam, http://imamrusly.wordpress.com/
2012/04/20/nasab-dan-urgensinya-dalam-islam/ diakses 11 Juni 2013.

26

pemeliharaan atas agama (mendapatkan pendidikan akhlaqul karimah) dan


pemeliharaan atas akal, dan seterusnya. Sebagaimana ketahui, kehormatan
seseorang seringkali dikaitkan dengan keturunan siapakah dia. Dan jika
seorang anak dikenal sebagai anak tak berbapak, maka hampir pasti ia akan
mengalami masalah besar dalam pertumbuhan kepribadiannya kelak karena
ketidak jelasan status keturunan. Demi menjaga hal tersebut, Islam melarang
seseorang menghapus nasab/nama keturunan dari ayah kandungnya. Selain
masalah psikologis dan perkembangan kepribadian anak, masalah nasab atau
keturunan juga berkaitan dengan muharramat yaitu aturan tentang wanitawanita yang haram dinikahi (dianggap incest/menikah seketurunan). 29
Dari Abu Dzar al-Ghifari, Rasulullah saw bersabda :
Tidaklah seorang yang mengaku bernasab kepada lelaki yang bukan
ayahnya, sedangkan ia mengetahuinya maka ia adalah seorang kafir. Dan
siapa yang mengaku bernasab kepada suatu kaum yang bukan kaumnya,
maka bersiaplah untuk mengambil tempat duduknya di neraka.

Berkaitan dengan penegakan hukum B. Arief Sidharta mengatakan


bahwa upaya penegakan hukum tidak terlepas dari cita hukum yang dianut
dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan
hukum positif, lembaga hukum, dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan
dan warga masyarakat).30

29
30

Ibid.
B. Arief Sidharta. Op.Cit., hlm. 180.

27

Hukum

pidana

di

satu

pihak

bermaksud

melindungi

kepentingan/bendahukum dan HAM dengan merumuskan norma-norma


perbuatan yang terlarang, namun di pihak lain hukum pidana menyerang
kepentingan hukum/hak asasi seseorang dengan mengenakan sanksi
(pidana/tindakan) kepada sipelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum
pidana ini sering digambarkan dengan ungkapan yang sangat terkenal Rechts
guterschut durch Rechtsguterverletzung (perlindungan benda hukum melalui
penyerangan benda hukum). Sering dikatakan bahwa ada sesuatu yang
menyedihkan tragic dalam hukum pidana, sehingga hukum pidana sering
dinyatakan pula sebagai pedang bermata dua.31
Perumusan hak dan kedudukan warga negara di hadapan hukum
merupakan penjelmaan dari salah satu sila Pancasila yaitu sila Keadilan
Sosial. Kedudukan seorang warga negara di dalam hukum di Indonesia
merupakan republik yang demokratik berlainan sekali dengan negara yang
berdasar supremasi rasial maupun berdasarkan agama, negara kerajaan
(feodal) atau negara kapitalis. Agar hukum berkembang dan dapat
berhubungan dengan bangsa lain sebagai sesama masyarakat hukum, perlu
dipelihara dan dikembangkan asas-asas dan konsep hukum yang secara umum
dianut umat manusia atau asas hukum yang universal. 32 Asas-asas yang
merupakan pencerminan dan tekad dan asosiasi sebagai bangsa yang
mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan bangsa Indonesia terkandung
31

Idem., hlm. 17-18.

32

Moctar Kusumaatmadja. Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di


Masa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XV
Nomor 2 April 1997, Bandung: FH Unpar, hlm. 3-5.

28

dalam UUD 1945 dan mukadimahnya yang merupakan pencerminan dari


falsafah Pancasila. Asas persatuan dan kesatuan dan kebangsaan yang
mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional
yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dalam hal yang sama Sudargo Gautama mengatakan:
Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan Negara
terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenangwenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.
Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.33
Hukum mempunyai komponen-komponen yaitu34 :
a. Komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat
relatif konstan;
b. Komponen spiritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi
dinamis;
c. Komponen struktural, lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan,
hukum dan undang-undang yang dirumuskannya berlainan di atas
kaidah yang sama;
d. komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai
sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan.
Hukum Acara Pidana berfungsi ganda, yakni disatu sisi berusaha
mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak pidana
agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas perbuatannya, di
sisi lain adalah untuk sejauh mungkin menghindarkan seseorang yang tidak
bersalah agar jangan sampai dijatuhi pidana.

33
34

Sudargo Gautama. Pengertian Negara Hukum. Bandung: Alumni, 1983, hlm. 35


Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986, hlm. 138-139

29

Maka dalam hal penanggulangan masalah tindak pidana anak, negara


menjamin hak-hak anak yang melakukan tindak pidana melalui proses yang
tersistematis dalam sistem peradilan pidana anak yang menjunjung tinggi
hak-hak anak, diantaranya hak privasi anak, hak pelayanan hukum, hak
special policy, hak penahanan terpisah, dan hak partisipasi orang tua.
Dalam QS al-Hujurat [49]: 10 disebutkan juga :




Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapatkan rahmat. (QS al-Hujurat [49]: 10).

Sebagai Middle Range Theory, digunakan teori kebijakan hukum


pidana (penal policy/strafrechts politiek). Penal policy adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, serta kepada para
pelaksana putusan pengadilan.35
Kebijakan hukum pidana tersebut juga dengan politik hukum pidana,
yaitu usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.36 Politik hukum pidana diartikan pula
sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

35
36

Barda Nawawi Arief, kebijakan Hukum Pidana (penal policy), tanpa tahun dan penerbit.
Sudarto, Kapita Sekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 159.

30

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa


digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.37
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang
baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Kebijakan atau politik hukum pidana identik dengan pergantian
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Kebijakan/politik criminal dalam praktiknya di masyarakat dapat
dilakukan lewat kebijakan dengan menggunakan sarana hukum pidana
(sarana penal), dan yang tidak menggunakan sarana hukum pidana (non
penal). Kebijakan penal dalam kontek penanggulangan delinkuensi anak
dalam masyarakat terwujud lewat perangkat norma hukum pidana yang
menyangkut delinkuensi anak yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Perangkat norma-norma hukum tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi norma-norma hukum yang sekarang berlaku dalam masyarakat (ius
constitutum) dan norma hukum pidana yang dicita-citakan/yang diharapkan
(ius constituendum). Kajian terhadap berlakunya hukum pidana dalam
masyarakat dilakukan lewat pemahaman terhadap hukum pidana yang secara
operasional ditetapkan dalam masyarakat (ius operatum). Pemahaman
kebijakan penal dalam bentuk hukum pidana yang sedang berlaku dapat
dilakukan dengan melakukan kajian terhadap ketentuan hukum pidana anak
yang sedang berlaku. Kajian ini dilengkapi dengan peninjauan terhadap

37

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 20.

31

penegakkan hukum oleh aparat penegak hukum, serta lembaga-lembaga yang


terkait dalam masyarakat.
Serta keseluruhan kebijakan penanggulangan delinkuensi anak pada
hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan anak dalam
upaya mencapai kesejahteraan anak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tujuan utama dari politik criminal delinkuensi anak adalah perlindungan anak
untuk mencapai kesejahteraan anak. Dapat dikatakan pula bahwa politik
kriminal delinkuensi anak pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
politik sosial, yaitu upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial anak.
Sebagai Teori Terapan (Applied Theory), digunakan teori Sistem
Peradilan Pidana (criminal justice sistem). Sistem peradilan pada hakikatnya
identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada
hakikatnya suatu proses menegakkan hukum. Jadi pada hakikatnya identik
dengan sistem kekuasaan kehakiman, karena kekuasaan kehakiman pada
dasarnya merupakan kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Apabila
difokuskan dalam bidan hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa sistem
peradilan pidana (dikenal dengan istilah SPP atau criminal justice
sistem/CJS) pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana
(SPHP) yang pada hakikatnya juga identik dengan sistem kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana (SKK-HP).38
Sistem Peradilan Pidana untuk pertamakali diperkenalkan oleh pakar
hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice sistem di Amerika Serikat
38

Barda Nawawi Arief, Artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum
di Indonesia, edisi keempat, Komisi Judisial, Jakarta, 2009, hlm. 2.

32

sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak


hukum dan institusi penegak hukum. Frank Ramington adalah orang pertama
di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan
pidana melalui pendekatan sistem (sistem approach). Menurut Ramington,
Criminal Justice Sistem dapat diartikan sebagai pemekaian pendekatan sistem
terhadap mekanisme administratif peradilan pidana, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku social, pengertian
sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya. 39
Menurut Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana adalah
Sistem pengadilan kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. bertitik tolak dari
definisi tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam
sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu
Integrated criminal justice sistem.40
Menurut Romli Atmasasmita pengertian sistem peradilan pidana dapat
dilihat dari sudut pendekatan normatif, administratif dan sosial. Ketiga bentuk
pendekatan tersebut, sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan salah

39

40

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Putra Bardin, Jakarta, 1996, hlm,
33.
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.
35.

33

satu antara lain. Bahkan lebih jauh bentuk pendekatan tersebut saling
mempengaruhi dalam bentuk tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi
kejahatan.41 Dimana pendekatan normatif memandang keempat aparatur
penegak

hukum

(kepolisian,

kejaksaan,

pengadilan

dan

lembaga

pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksanaan perundang-undangan yang


berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisah dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif
memandang keempat penegak hukum sebagai suatu organisasi manejemen
yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal
maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut, sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat
secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak
berhasilan dari empat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan
tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. 42
Dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana, diperlukan usaha
khusus oleh negara. Yaitu menggunakan pendekatan sistem terhadap
mekanisme administratif peradilan pidana khusus untuk anak. Dimana setiap
anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus
diperlakukan secara

manusiawi,

diantaranya

dengan mengedepankan

perlindungan terhadap hak-hak anak. Yaitu nondiskriminasi; kepentingan


41
42

Ibid.
Idem., hlm. 39.

34

terbaik

bagi

anak;

hak

untuk

hidup,

kelangsungan

hidup

dan

perkembangannya; penghargaan terhadap pendapat anak; tidak dijadikan


sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi; tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup; tidak
dirampas kebebasannya secara melawan hukum; penangkapan, penahanan
atau pidana penjara dilakukan sebagai upaya terakhir; memperoleh bantuan
hukum dan bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum
yang berlaku; dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif

dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum

(perlindungan hak privasi anak).43

F. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Sifat penelitian
deskriptif karena penelitian ini dilakukan untuk mencari data seteliti
mungkin dan lengkap tentang karakteristik suatu keadaan atau
gejala-gejala yang dapat membantu mengkaji teori lama untuk
membangun teori baru mengenai kebijakan perlindungan anak
khususnya dalam sistem peradilan pidana. Bersifat deskriftif
bertujuan untuk membuat deskrifsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

43

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (pengembangan konsep diversi dan restoratif
justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 10.

35

hubungan antar fenomena sistem peradilan, khususnya sistem


peradilan anak.
2.

Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang
sepenuhnya mempergunakan data sekunder. 44 Penelitian hukum
yang normatif menekankan pada langkah-langkah spekulatifteoritis dan analisis normatif-kualitatif. 45

3.

Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi lapangan (Field
Research) dan studi kepustakaan (Library Research) Teknik ini
dilakukan untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 46

4.

Teknik Analisis Data


Sebagai suatu penelitian hukum normatif yang mempergunakan
data sekunder, dan penelitian pada umumnya bersifat deskriptif
analisis, penerapan pola penelitian dapat lebih bebas, karena
penelitian hukum normatif lebih menekankan pada segi abstraksi.
Atas dasar hal itu, maka analisis data yang diterapkan dalam
penelitian ini terarah pada analisis data yang bersifat yuridis
kualitatif, dengan menggunakan logika deduktif, logika yang
bertolak dari umum ke khusus.

44
45
46

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Pers, 1984, hlm. 10.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 3.
Kartini Kartono, Pengantar Metedologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju, 1990. hlm. 207.

36

BAB II
NEGARA HUKUM, HAK ASASI MANUSIA,
DAN KEADILAN

A. Negara Hukum
Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum
klasik, dan negara hukum materiel atau negara hukum modern. 47 Negara
hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit,
yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in
a Changing Society membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu
dalam arti organized public power, dan rule of law dalam arti materiel yaitu
the rule of just law. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu
sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara
kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya
pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan
terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Friedman juga
mengembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa dalam

47

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962, hlm. 9.

37

pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih
esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan
dalam arti sempit. Istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian
yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of
law yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di
zaman sekarang. Adanya hasrat yang kuat dari para pendiri negara Republik
Indonesia untuk menyusun UUD adalah dengan maksud ingin menunjukkan
dan merealisasikan dalam kehidupan bernegara bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum. 48 Menurut Arief Sidharta ciri-ciri negara
hukum adalah sebagai berikut;49 Negara hukum adalah negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan hukum dan bersaranakan
hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas
dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintahan.
Menurut pendapat Sri Soemantri ada empat unsur penting negara
hukum, yaitu ;50
1. Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
48

S. Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni , 1973, hlm.22.


Arief Sidharta,Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3,
Tahun II, November 2004, hlm.122.
50
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1992,hlm.2930.
49

38

Dalam perkembangan tatanan negara hukum, negara ikut terlibat secara


aktif dalam semua sektor kehidupan dan penghidupan dalam rangka
menciptakan kesejahteraan masyarakat.51
Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal,
tetapi dimaknai berbeda dalam tempus dan locus yang berbeda, sangat
tergantung pada idiologi dan sistem politik suatu negara. Istilah negara
hukum adalah suatu genus begrip yang terdiri dari dari lima konsep, yaitu
konsep negara hukum menurut Al Quran dan Sunnah yang diistilahkannya
dengan nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa kontinental
yang disebut rechtstaat, konsep rule of law, konsep socialist legality serta
konsep negara hukum Pancasila.52
Oemar Seno Adjie menemukan tiga bentuk negara hukum yaitu
rechtstaat dan rule of law, socialist legality dan negara hukum Pancasila.
Menurut Seno Adjie antara rechtstaat dan rule of law memiliki basis yang
sama. Menurut Seno Adjie, konsep rule of law hanya pengembangan semata
dari konsep rechtstaats. Sedangkan antara konsep rule of law dengan socialist
legality mengalami perkembangan sejarah dan idiologi yang berbeda, dimana
rechtstaats dan rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa kontinental
dan Amerika Serikat sedangkan socialist legality berkembang di negaranegara komunis dan sosialis. Namun ketiga konsep itu lahir dari akar yang

51

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Alumni,
2003,hlm.51.
52
Azhary Tahir, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Jakarta :
Kencana, 2003,hlm.83.

39

sama, yaitu manusia sebagai titik sentral (antropocentric) yang menempatkan


rasionalisme, humanisme serta sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi
sumber nilai. 53
Dari sisi waktu ternyata konsep negara hukum berkembang dinamis dan
tidak statis. Tamanaha

mengemukakan dua versi negara hukum yang

berkembang yaitu versi formal dan versi substantif yang masing-masing


tumbuh berkembang dalam tiga bentuk. Konsep negara hukum versi formal
dimulai dengan konsep rule by law dimana hukum dimaknai sebagai
instrument tindakan pemerintah. Kemudian berkembang dalam bentuk formal
legality, dimana konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas,
prospektif dan pasti. Sedangkan perkembangan terakhir dari konsep negara
hukum versi formal adalah democracy andlegality, dimana kesepakatanlah
yang menentukan isi atau substansi hukum. Sedangkan versi substantif
konsep negara hukum berkembang dari individual rights, dimana privacy dan
otonomi individu serta kontrak sebagai landasan yang paling pokok.
Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan atau
keadilan (dignity of man) serta berkembang menjadi konsep social welfare
yang mengandung prinsip-prinsip substantif, persamaan, kesejahteraan serta
kelangsungan komunitas.54Menurut Tamanaha konsepsi formal dari negara
hukum ditujukan pada cara dimana hukum diumumkan (oleh yang
berwenang), kejelasan norma dan dimensi temporal dari pengundangan
norma tersebut. Konsepsi formal negara hukum tidak ditujukan kepada
53
54

Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Jakarta : Erlangga , 1980. hlm.34.
Tamanaha, Brian Z, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press,
Edisi Keempat, 2006,hlm.91-100.

40

penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukum itu sendiri, dan tidak
berkaitan dengan apakah hukum itu hukum yang baik atau jelek. Konsepsi
substantif dari negara hukum bergerak lebih dari itu, dengan tetap mengakui
atribut formal yang disebut di atas. Hak-hak dasar atau derivasinya adalah
menjadi dasarnya konsep negara hukum substantif. Konsep tersebut dijadikan
sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum
yang baik yang memenuhi hak-hak dasar tersebut dan hukum yang buruk
yang mengabaikan hak-hak dasar. Konsep formal negara hukum fokus pada
kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya sementara konsep
substantif juga termasuk persyaratan tentang isi dari norma hukum.Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah
perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Semula istilah negara hukum hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang
menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats),
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Persoalannya apakah yang
dimaksud dengan rechtstaat dalam konsepsi UUD 1945 dan bagaimana
impelementasinya dalam kehidupan negara. Dari landasan pemikiran itulah
yang melahirkan konsep negara hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh
Julius Stahl seperti dikutip Jimly Asshiddiqie, yang mengemukakan empat
elemen penting dari negara hukum yang diistilahkannya dengan rechtstaat,
yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan pemerintahan

41

negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang serta


peradilan tata usaha negara. 55
A.V.

Dicey

yang

dianggap

sebagai

teoretisi

pertama

yang

mengembang-kan istilah rule of law dalam tradisi hukum Anglo-Amerika,


rule of law mengandung tiga elemen penting yang secara ringkas dapat
dikemukakan, yaitu absolute supremacy of law, equality before the law dan
due process of law, dimana ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan
individu dan hak-hak asasi manusia. 56 Kesemua konsep negara hukum Barat
tersebut bermuara pada perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu
yang dapat diringkas dalam istilah dignity of man dan pembatasan kekuasan
serta tindakan negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus
diperlakukan sama. Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan negara
untuk menghindari absolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang
kekuasaan lainnya serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk
mengawasi dan jaminan dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku,
yang dalam praktik negara-negara Eropa Kontinental memerlukan peradilan
administrasi negara untuk mengawasi tindakan pemerintah agar tetap sesuai
dan konsisten dengan ketentuan hukum. Pandangan negara hukum barat
didasari oleh semangat pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak
individu.

55

56

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sekretariat Jenderal


Mahkamah Konstitusi RI, 2006,hlm.152.
A.V.Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, Ninth Edition,London :
MacMilland and CO, 1952,hlm.202-203.

42

Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum modern


Jimly Asshiddieqie sampai pada kesimpulan bahwa ada 12 prinsip pokok
negara hukum (rechtstaat) yang berlaku di zaman sekarang, yaitu
sumpremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality
before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan,
organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak,
peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi
manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan
negara serta transparansi dan kontrol sosial. Keduabelas prinsip pokok itu
merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara
hukum modern dalam arti yang sebenarnya. 57 Negara hukum Indonesia yang
dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila memiliki latar
belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal
di barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam
Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di
barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo
ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat,
karena negara hukum dipahami sebagai konsep barat.58

57
58

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Op. Cit., hlm.151-162.


Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2006,hlm.48.Selanjutnya dikatakan bahwa negara hukum adalah konsep modern yang tidak
tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi barang impor. Negara hukum adalah
bangunan yang dipaksakan dari luar. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara
hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa di masa lalu seperti terjadi di
Eropa.Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam
Pembukaan dan Pasal -Pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam
UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat
dalam arti rechtstaat maupun rule of law.

43

Karena terinspirasi dari konsep negara hukum barat dalam hal ini
rechtstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun
rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia. Bahkan
secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan negara
yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan Penjelasan UUD
mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan
negara oleh hukum. Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara
hukum Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar
belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan
kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan
negara. Dari kajian dan pemahaman itu, akan sampai pada suatu kesimpulan
bahwa konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi
juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat,
rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno
Adji, antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila
memiliki similarity dan divergency. Jika konsep negara hukum dalam
pengertian rechtstaat dan rule of law berpangkal pada dignity of man yaitu
liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu (individualisme) serta prinsip
pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang
lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk
bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang
bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya

44

kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip Ketuhanan adalah elemen paling utama
dari elemen negara hukum Indonesia. Unsur-unsur negara hukum Indonesia
sebagai sebuah konsep seperti telah diuraikan di atas adalah nilai yang dipetik
dari seluruh proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum
negara Indonesia. Dengan demikian posisi Pembukaan ini menjadi sumber
hukum yang tertinggi bagi negara hukum Indonesia. Perubahan UUD 1945
(dalam Perubahan Keempat) mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan
antara Pembukaan dengan Pasal -Pasal UUD 1945.
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan bahwa UUD 1945
terdiri dari Pembukaan dan Pasal -Pasal. Hanya Pasal -Pasal saja yang dapat
menjadi objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak dapat menjadi objek
perubahan. Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang sangat tinggi
sehingga hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar bagi
arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung dalam
pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan PasalPasal UUD 1945 sehingga tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi
dasar falsafah dan cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif,
bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara
harus dilihat pada Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang
terkandung dalam Pasal-Pasal UUD yang menjadi kaedah penuntun bagi
pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi
melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan

45

prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara hukum bersifat


abstrak maka konsep konstitusionalisme menjadi lebih nyata dan jelas.
Konstitusionalisme merupakan faham pembatasan kekuasaan negara
dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional. Pasal undang-undang dasar
mengatur lebih jelas mengenai jaminan untuk tidak terjadinya monopoli satu
lembaga kekuasaan negara atas lembaga kekuasaan negara yang lainnya,
kewenangan masing masing lembaga negara, mekanisme pengisian jabatanjabatan bagi lembaga negara, hubungan antar lembaga negara serta hubngan
antara negara dengan warga negara yang mengandung jaminan kebebasan
dasar manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Konstitusi
dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan
kekuasaan organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga yang
satu dengan yang lain serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembagalembaga negara dengan warga negara. 59
Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam
pembentukan

undang-undang,

pengujian

undang-undang

maupun

pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip


konstitusionalisme harus selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan UUD.
Karena Pasal-Pasal UUD tidak mungkin mengatur segala hal mengenai
kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran
UUD dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar konsep
dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada

59

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,Op. Cit., ,hlm. 144.

46

Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga


Pasal -Pasal UUD 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis.
Pembentuk undang-undang maupun Mahkamah Konstitusi memiliki
ruang penafsiran yang luas terhadap Pasal -Pasal UUD 1945 dalam frame
prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945. Kecermatan dalam pembentukan hukum baik yang dilakukan
oleh pembentuk undang-undang yang terdiri dari DPR dan Presiden maupun
Mahkamah Konstitusi dalam makna legislasi negatif seperti istilah Jimly
Asshiddiqie dilakukan melalui proses yang panjang dan berliku. Pada
praktiknya pembentukan hukum, paling tidak melibatkan proses dan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.

Ketentuan-ketentuan UUD 1945.

2.

Situasi dan kekuatan politik berpengaruh pada saat undang-undang


itu dibuat.

3.

Pandangan dan masukan dari masyarakat.

4.

Perkembangan internasional dan perbandingan dengan negara lain.

5.

Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, serta.

6.

Cara pandang para pembentuk undang-undang terhadap dasar dan


falsafah negara.

7.

Pengaruh teori dan akademisi.

Titik rawan dari pembentukan hukum agar sejalan dengan prinsipprinsip negara hukum Indonesia adalah pada pengaruh dan perkembangan
ketentuan dari negara lain serta pandangan akademisi yang sangat

47

dipengaruhi oleh kerangka teori yang hanya bersumber dari negara lain.
Pengaruh itu dapat diperoleh dari studi banding ke negara lain maupun
pandangan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Pernyataan ini
tidak dimaksudkan sebagai keengganan untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan negara-negara lain atau perkembangan internasional atau teori
yang berkembang dari luar, akan tetapi lebih dimaksudkan sebagai kehatihatian dan kecermatan agar hukum yang dibuat sesuai dengan kondisi
Indonesia dan cita negara hukum Indonesia. Karena itu alat ukur dan
verifikasi terakhir atas seluruh pembentukan hukum harus dilihat dalam
kerangka elemen prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung
dalam Pembukaan disamping Pasal -Pasal UUD 1945.
Negara hukum dalam perspektif Pancasila yang dapat diistilahkan
sebagai negara hukum Indonesia atau negara hukum Pancasila disamping
memiliki elemen-elemen yang sama dengan elemen negara hukum dalam
rechtstaat maupun rule of law, juga memiliki elemen-elemen yang spesifik
yang menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara
hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai
yang terkandung dalam Pembukaan UUD

1945

yang didalamnya

mengandung Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa


serta tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip musyawarah
dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial,
kekeluargaan dan gotong royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan
negara kesatuan Indonesia. Pembentukan hukum baik oleh pembentuk

48

undang-undang maupun oleh Mahkamah Konstitusi harus menjadikan


keseluruhan elemen negara hukum itu dalam satu kesatuan sebagai nilai
standar dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang.60
Konsep negara hukum dimaknai sebagai suatu keadaan dalam
masyarakat, di mana hukum dalam kehidupan bernegara yang demokratis
adalah ditentukan oleh rakyat yang tidak lain merupakan pengaturan interaksi
antara mereka. Kehidupan masyarakat modern, pembentukan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh rakyat dengan sistem perwakilan di
lembaga legislatif, karena itu rakyat menempatkan posisi sangat penting
sebagai pemilik kedaulatan dalam suatu negara yang demokratis melalui
wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan turut menentukan proses
pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai suatu upaya perlindungan
hak-hak rakyat.61
Terlepas dari kebutuhan perlindungan kepentingan warga negara
melalui peraturan perundang-undangan, Plato memberikan rambu-rambu
ketidak-sempurnaan hukum, dimana Plato telah memprediksi kemungkinan
munculnya praktik penegakan hukum yang sekalipun sejalan dengan suatu
undang-undang, tetapi bertentangan dengan hak asasi manusia atau
bertentangan dengan rasa keadilan. 62 Persamaan di muka hukum (equality
before the law), yang kemudian diakui sebagai nilai-nilai yang universal. 63

60

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif ,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Op.Cit., hlm
53.
61
A.Muhammad Asrun, Op.Cit., hlm.40
62
Karen G.Turner, et.al.(eds), The limits of the Rule of Law in China, Seattle:University of
Washington Press, 2000,.hlm.5
63
Muhammad Tahir Ashary, Op.Cit., hlm.73.

49

Nilai-nilai persamaan dan keadilan sangat erat terkait dengan proses


penegakan hukum, yang tidak lain merupakan instrumen tataran praktis
dalam konsep negara hukum. Penegakan hukum sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap
individu. Warga negara merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam
suatu negara demokratis. Karena adanya keterkaitan antara nilai-nilai
penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara hukum, maka sering
dijadikan satu nafas untuk menyebutkan bentuk ideal negara hukum yang
melindungi hak-hak warga negara dalam satu istilah negara hukum yang
demokratis.
Keberhasilan proses

penegakan

hukum

sangat

terkait

dengan

tercapainya rasa keadilan masyarakat sebagai elemen penting dalam sistem


hukum yang demokratis. John Rawls melihat pentingnya sistem hukum untuk
melaksanakan prinsip kebebasan dan keadilan. 64 Karena itu kehadiran sistem
hukum merupakan suatu keharusan dalam suatu masyarakat. Menurut
Rawls,65 Suatu sistem hukum adalah suatu perintah yang sifatnya memaksa
yang dipayungi peraturan-praturan bagi publik yang ditujukan untuk
kepentingan individu warga masyarakat sebagai petunjuk demi tercapainya
tertib sosial. Pemahaman tentang sistem hukum ini paralel dengan
pemahaman atas hukum itu sendiri. Austin memahami hukum sebagai suatu

63

Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia ,Jakarta : Penerbit Rajawali, 1985, hlm.25.
John Rawls, A Theory of Justice, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press
Cambridge, 1971,hlm.235.
65
Ibid.
64

50

perintah yang di tujukan kepada segenap subjek hukum, maka sistem hukum
bagi dia adalah kumpulan peraturan.66
H.L.A. Hart juga melihat hukum merupakan suatu sistem yang memuat
sekumpulan peraturan ,dimana satu peraturan dengan peraturan lainnya
berhubungan dalam suatu hierarki dan memiliki struktur yang kompleks. 67
Hans Kelsen memahami lebih jauh pengertian undang-undang sebagai suatu
perintah yang lebih khusus, karena perintah merupakan manifestasi kehendak
pribadi.68 Kelsen memunculkan pengertian undang-undang tersebut dikaitkan
dengan suatu ororitas yang diberikan kepada individu pemberi perintah
tersebut.69
Sejarah proses penegakan hukum juga mencatat peranan penting dari
instrument perjanjian atau konvensi internasional sebagai landasan hukum
bagi perlindungan hak asasi manusia. Piagam Magna Charta dicatat sebagai
piagam pertama bangsa-bangsa yang memberikan pengakuan terhadap hak
asasi manusia, di mana raja Inggris menjamin tidak merintang pelaksanaan
kebebasan manusia, kecuali melalui pertimbangan-pertimbangan hukum.70
Jaminan terhadap kebebasan manusia dapat dilihat dalam konteks praktik
hukum, yaitu dalam rangka penegakan hukum. Karena itu, tidak ada
seorangpun yang dapat dihukum tanpa proses hukum (due process of law),
66

Joseph Raz, the Concept of a Legal Sistem , An Introduction to the Theory of a Legal Sistem,
Oxford Claredon Press, 1970,hlm.7.
67
John N.Adams dan Roger Brownsword, Understanding Law, London : Fortana Press,
1992,hlm.3.
68
Hans Kelsen , General Theory of Law and State , terjemahan Anders Wedberg, New York
:Russel and Russel, 1945,hlm.30-31.
69
Ibid.
70
Francis A. Allen, the Habits of Legality ,Criminal Justice and Rule of Law, Oxford: University
Press 1996,hlm.3.

51

yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku penegakan


hukum yang dimaksud adalah proses hukum mulai dari penyidikan sampai
pada pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Lembaga peradilan memiliki peran penting dalam implementasi konsep
negara hukum saat proses demokratisasi, terutama dalam kondisi transisi dan
sistem politik yang otoriter ke arah masyarakat yang demokratis, terlihat dari
peran lembaga peradilan dalam mencegah penyalahgunaan proses peradilan
untuk kepentingan politik. 71 Dengan demikian lembaga peradilan menjadi
pelaku yang kuat dalam memelihara kekuasaan negara melalui jalur hukum.
Gagasan konsep rechtsstaat secara sederhana dapat digambarkan
sebagai adanya pengakuan hak asasi manusia adanya trias politika, adanya
pemerintahan

berdasarkan

administrasi. 72

Kasman

rechtsstaat

dapat

undang-undang

Singodimendjo

melahirkan

dan

melihat

konsekuensi

bagi

adanya

peradilan

penerapan

gagasan

pemerintah

dalam

melaksanakan tugasnya terikat pada hukum, sehingga kekuasaannya tidak


lagi absolut.73
Menurut catatan Adnan Buyung Nasution ada tiga konsep yang di
ajukan selama persidangan pembahasan dasar negara, yaitu konsep negara
integralistik, konsep negara Islam dan negara konstitusional. 74 Konsep negara
71

Christoper M.Lakins,Judicial Independence and Democratization:A Theoritical and Conceptual


Analsys,the American Journal of Comparative Law 4,Vol.XLIX (fall 1996),hlm .605.
72
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal Political Dilemmas of Indonesia New
Order 1966-1990, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm.88.
73
Kasman Singodimendjo, Masalah Kedaulatan, Bulan Bintang, 1978, hlm.24.
74
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitutional di Indonesia: Study Sosio-Legal
atas Konstituante 1956-1959, the Aspiration for Constitutional Goverment in Indonesia: A
Sosio Legal Study of the Indonesia Konstituante 1956-1959, terjemahan Silvia Tiwon, Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti, 1995,hlm.87.

52

integralistik menganggap negara sebagai perwujudan umat Islam. Negara


konstitusional didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia dan kedaulatan
rakyat. Pada konsep terakhir ini, prosedur tertentu perlu di atur dalam
konstitusi agar ada jaminan partisipasi rakyat yang efektif di pemerintahan,
pembatasan kekuasaan pemerintah, dan pertanggung-jawaban pemerintah
terhadap rakyat.75
Konsep negara hukum yang menganut paham rule of law, menurut Dicey
mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. HAM dijamin lewat Undang-undang,
2. persamaan di muka hukum (equality before the law),
3. supremasi aturan-aturan hukum dan tidak ada kesewenang-wenangan
tanpa aturan yang jelas.
Menurut Emanuel Kant dan Julius Stahl negara hukum mengandung 4
(empat) unsur, yaitu:
1. adanya pengakuan HAM,
2. adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut,
3. pemerintahan

berdasarkan

peraturan-peraturan

(wetmatigheid

van

bestuur),
4. adanya peradilan tata usaha negara.76
Dalam hukum diatur rambu-rambu sebagai berikut:
1.

75
76

menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights
and freedoms of others);

Idem,hlm.57.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 1999, hlm.22.

53

2.

Menghormati aturan-aturan moral yang diakui oleh umum (the


generally accepted moral code),
3. Menghormati ketertiban umum (public order),
4. menghormati kesejahteraan umum (general welfare);
5. Menghormati keamanan umum (public safety);
6. Menghormati keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national
and social security);
7. Menghormati kesehatanumum (public health);
8. Menghindarkan penyalahgunaan hak (abuse of right);
9. Menghormati asas-asas demokrasi;
10. Menghormati hukum positif.
Dalam hukum juga diatur asas-asas yang merupakan pembatas
pengaturan hak dan kewajiban warga negara, yang paling sedikit sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Asas legalitas;
Asas negara hukum;
Asas penghormatan terhadap martabat kemanusiaan;
Asas bahwa segala pembatasan HAM merupakan perkecualian;
Asas persamaan dan non diskriminasi;
Asas non-retro aktivitas (peraturan tidak berlaku surut),
Asas proporsionalitas.77
Pengakuan terhadap hak negara untuk mengatur dalam kerangka

kebijakan sosial (social policies), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan


sosial (socialwelfare policies). Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi
untuk menjagaagar
keselarasan

dan

pengaturan tersebut
keserasianantara

tetap dalam keseimbangan,

kepentingan

negara,

kepentingan

masyarakat dan kepentingan pribadi. Dalam negara hukum, rambu-rambu


pengaturan ini terbentuk dalam asas-asas hukum. Asas-asas hukum
mempunyai karakteristik antara lain :

77

Idem., hlm. 62-63

54

a. Merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dituntut oleh rasa


susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan
yang bersifat langsung dan menonjol;
b. Merupakan ungkapan-ungkapan yang sifatnya sangat umum, yang
bertumpu pada perasaan yang hidup pada setiap orang;
c. Merupakan pikiran-pikiran yang memberikan arah/pimpinan, menjadi
dasar kepada tata hukum yang ada;
d. Dapat diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari
peraturan yang berjauhan satu sama lain;
e. Merupakan sesuatu yang ditaati oleh setiap orang, apabila mereka ikut
serta bekerja mewujudkan undang-undang;
f. Dipositifkan

baik

dalam

bentuk

perundang-undangan

maupun

yurisprudensi;
g. Tidak bersifat transsendental atau melampaui alam kenyataan dan dapat
disaksikan oleh pancaindera;
h. Artikulasi dan pembabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisikondisi

sosial,

sehingga

open-ended,

multi-interpretable

dan

dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan bukannya bersifat absolut;


i. Berkedudukan

relatif

otonom,

melandasi

fungsi

pengendalian

masyarakat dan penyelenggara ketertiban;


j. Legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan
hukum;

55

k. Berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-pejabat


resmi (penguasa), sehingga tidak merupakan keharusan untuk
mengaturnya dalam hukum positif.
Secara teoritis, dibedakan adanya 3 (tiga) alasan berlakunya hukum:
1. Berlakunya secara yuridis, terdapat pandangan-pandangan sebagai
berikut:
a.

Hans Kelsen dalam teorinya: The Pure Theory of Law mengatakan


bahwa

hukum

penentuannya

mempunyai
berdasarkan

keberlakuan
padakaidah

yuridis

yang

lebih

apabila
tinggi

tingkatannya (berdasar teori: Stufenbau das Rechts);


b.

Zevenbergen dalam: Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap


menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan
yuridis apabila kaidah tersebut menurut cara-cara yang telah
ditetapkan;

c.

Logemann dalam Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht


menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mengikat apabila
menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan
akibatnya.

2. Berlakunya secara sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hukum.


Terdapat dua teori pokok yang menyatakan bahwa :
a. Teori kekuasaan yang menyatakan bahwa hukum berlaku secara
sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dan hal itu

56

adalah terlepas dari masalah apakah masyarakat menerimanya atau


bahkan menolak;
b. Teori pengakuan yang

menyatakan bahwa berlakunya hukum

didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat;


3. Berlaku secara filososfis, artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 78
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat berfungsi dengan baik,
diperlukan adanya keserasian 4 (empat) unsur, yaitu:
1. Peraturan hukum itu sendiri, dimana terdapat kemungkinan adanya
ketidakcocokan peraturan perundang-undangan mengenai bidangbidang hukum tertentu, kemungkinan lainnya yang dapat terjadi adalah
ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum
yang tidak tertulis atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat, dan sebagainya;
2. Mentalitas petugas yang menerapkan hukum. Para petugas hukum
(secara
formal)
yang
mencakup
Hakim,
Jaksa,
Polisi,
Penasihat/Pembela Hukum, dan sebagainya harus memiliki mental yang
baik dalam melaksanakan (menerapkan) suatu peraturan perundangundangan, jika tidak demikian maka terjadi gangguan-gangguan atau
hambatan-hambatan dalam sistem penegakan hukum;
3. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu
peraturan hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah
baik, ditunjang oleh mentalitas petugas pelaksana juga baik, namun
(dalam ukuran-ukuran tertentu) tidak ditunjang oleh tersedianya
fasilitas yang kurang memadai, maka juga akan menimbulkan
gangguan-gangguan atau hambatan-hambaan dalam pelaksanaannya;
4. Warga masyarakat sebagai objek, dalam hal ini diperlukan adanya
kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga
masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan hukum. 79
Norma hukum akan terlembaga (institutionalized) dalam suatu sistem
sosial tertentu apabila terpenuhi paling tidak tiga syarat, yaitu:
78

79

Soerjono Soekanto,Beberapa Permasalahan Hukum


diIndonesia, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 34-35.
Ibid., hlm.36.

Dalam

Rangka

Pembangunan

57

1. Bagian terbesar warga dalam suatu sistem sosial telah menerima norma
tersebut;
2. norma-norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga
sistem sosial tersebut;
3. norma tersebut bersanksi. 80
Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkan kekuasaan
kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan
negara lainnya, dengan sendirinya menuntut berbagai konsekuensi antara lain:

80

1.

Hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasar


rule of' law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum
bukan oleh manusia. Peran rule of' law dalam kehidupan masyarakat,
menjadi unsur landasan (basic ingredient) tata tertib kehidupan dari
pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya paksa yang dilakukan dalam
setiap penyelesaian sengketa baik pidana maupun perdata harus sesuai
dengan proses yang ditentukan oleh hukum (due process of law)
berdasar atas equel treatment before the law atau equal dealing
(perlakuan yang sama di depan hukum); equal protection of the law
(perlindungan yang sama di depan hukum).

2.

Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka, memberi


kewenangan kepada badan peradilan menjadi katub penekan atau
pressure valve : atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
siapa dan pihak manapun tanpa kecuali; kewenangan itu meliputi
pelanggaran atas segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional
(unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan
(reasonableness).

3.

Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan kekuasaan


kehakiman sebagai katub penekan dalam negara hukum dan
masyarakat demokrasi, dengan sendirinya menempatkan kedudukan
badan-badan peradilan sebagai tempat terakhir atau the last resort
dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, tidak
ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan
kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), apabila timbul
sengketa atas pelanggaran hukum.

4.

Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman


sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman

SoerjonoSoekanto,Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali,Jakarta, 1982. hlm.10.

58

melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana penegakan


hukum. Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai judiary as the
upholders of the rule of law. Pemberian kekuasaan kepada kekuasaan
kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan sendirinya
menempatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga atau institusi alat
negara yang bertindak sebagai: penjaga kemerdekaan masyarakat (in
guarding the freedom of society); kekuasaan kehakiman sebagai wali
masyarakat (judiciary are regardins as costudian of society).
5.

Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak tidak


demokratis secara fundamental. Sesuai dengan kemerdekaan dan
kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman,
badan-badan peradilan dibiarkan bertindak dan mengambil putusan
(fundamentally under democratic). Pada saat peradilan mengambil
tindakan dan putusan; tidak membutuhkan akses dari siapapun; tidak
memerlukan negosiasi dari pihak manapun; dan tidak perlu meminta
kompromi dari pihak yang berperkara.

6.

Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan kekuasaan


peradilan. Kerangka imunitasnya mengandung arti: imunitas para hakim
dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan (the immunity of
judges); sifat imunitasnya absolute dan total, dalam arti mereka tidak
dapat dituntut atas pelaksanaan yustisial, meskipun tindakan yang
dilakukannya mal praktik (mal practice), melampaui batas kewenangan
(exceeds his authority) atau melakukan kesalahan proses (procedural
error).81
Dalam penegakan hukum terdapat 3 (tiga) unsur yang harus

diperhatikan,

yaitu

kepastian

hukum

(rechtsicherheid),

kemanfaatan

(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigekeid).82 Menurut B. Arief


Sidharta ketiga unsur tersebut sesuai dengan cita hukum. Cita hukum itu
terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya
pandangan hidup, keyakinan keagamaan, dan kenyataan kemasyarakatan
yang diproyeksikan pada proseeng kaidahan perilaku warga masyarakat yang

81

82

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian


Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 33-39.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penentuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993,hlm. 1.

59

mewujudkan tiga unsur tersebut.83 Kepastian hukum merupakan kehendak


setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam
peristiwa konkrit. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat
menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi,dan
bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi
menurut hukum.84
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. 85 Berkaitan dengan penegakan
hukum ini B. Arief Sidharta mengatakan bahwa upaya penegakan hukum
tidak terlepas dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang
bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga
hukum,

dan

proses

(perilaku

birokrasi

pemerintahan

dan

warga

masyarakat).86
Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan
masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu:
a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial
yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek
ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk
penanggulangan kejahatan.
b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya
seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan
memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan
83
84
85
86

B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999. Hlm. 181.
Franz Magnis Suseno,Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 79.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Loc.Cit.
B. Arief Sidharta,Op. Cit., hlm. 180.

60

mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan


menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalah gunaan
sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat
pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus
mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang
diluar hukum.
d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai
akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum
pidana harus dapat menyelesaikan konf'lik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.87
Hukum pidana di satu pihak bermaksud melindungi kepentingan/benda
hukum dan HAM dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang
terlarang, namun di pihak lain hukum pidana menyerang kepentingan
hukum/hak asasi seseorang dengan mengenakan sanksi (pidana/tindakan)
kepada si pelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum pidana ini sering
digambarkan dengan ungkapan yang sangat terkenal Rechts guterschut durch
Rechtsguterverletzung (perlindungan benda hukum melalui penyerangan
benda hukum). Sering dikatakan bahwa ada sesuatu yang menyedihkan
tragic dalam hukum pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula
sebagai pedang bermata dua.88
Kualitas

pembangunan

dan

penegakan

hukum

yang

dituntut

masyarakatsaat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas


materil/substansial. Strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum

87

88

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 13-14.
Idem., hlm. 17-18.

61

harus ditujukan pada kualitas substansif seperti terungkap dalam beberapa isu
sentral yang dituntut masyarakat saat ini. yaitu antara lain:
a. Adanya perlindungan HAM;
b. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan
antar sesama;
c. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan;
d. Bersih dari praktik favoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi dan
nepotisme dan mafia peradilan;
e. Tewujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang
merdeka dan tegaknya kode etik/kode profesi;
f. Adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. 89
Penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan
kebijakan melalui beberapa tahap :
a) Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang;
b) Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini
dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif;
c) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secarakonkrit
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat juga disebut tahap
kebijakan eksekutif atau administratif. 90

Di dalam konsep penegakan hukum berkembang kesepakatankesepakatan dan penegasan-penegasan terhadap :


a. Pemahamanbahwa politik penegakan hukum (law enforcement policy)
pada dasamya adalah bagian integral dari kebijakan sosial (social
policy) yang mencakup baik kebijakan kesejahteraan sosial (social
welfare policy) maupun kebijakan keamaan sosial (social defence
policy) Politik criminal (criminal policy) sendiri merupakan sub sistem
dan politik penegakan hukum.
b. Diskresi di dalam penegakan hukum memang tidak dapat dihindarkan,
mengingat keterbatasan-keterbatasan baik dalam kualitas perundang89

90

Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan.


Citra Aditya Bakti,Bandung, 2001, hlm.14-15.
Muladi,Op. Cit.,hlm. l3-14.

62

undangan, sarana dan prasarana, kualitas penegak hukum maupun


partisipasi masyarakat. Diskresi ini merupakan refleks pengakuan
bahwa konsep tentang penegakan hukum secara total (total
envorcement) dan penegakan hukum secara penuh (full enforcement)
tidak mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang aktual
(actual enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi ialah bahwa
diskresi inilah yang menjadi sumber pembaruan hukum apabila direkam
dan dipantau dengan baik dan sistematis.
c. Sistem peradilan, dalam hal ini adalah Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice Sistem) baik sistem abstrak maupun sistem fisik.
Sistem Peradilan Pidana merupakan sub sistem politik, ekonomi, sosial
budaya dan sub sistem hankam dan semuanya merupakan sub sistem
dari sistem yang lebih besar yakni sistem sosial. Kinerja (peformance)
Sistem Peradilan Pidana tidak akan lepas dan perkembangan dari sistem
yang lebih besar tersebut.
d. Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem yang terukur. Indikatorindikator efektivitasnya harus dibakukan. Beberapa standard yang
digunakan ialah: tingkat kemampuan pengungkapan perkara (clearance
rate) yang dilakukan Polri, kemampuan jaksa dalam membuktikan surat
dakwaannya di sidang pengadilan (conviction rate), tingkat kecepatan
penanganan perkara di dalam Sistem Peradilan Pidana (speedy trial),
terjadinya pengulangan kembali kejahatan oleh si pelaku (reconviction
rate), tingkat partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana.
e. Perlu dikembangkan Sistem Peradilan Pidana yang terpadu (Integrated
Criminal Justice Sistem) sebagai model Sistem Peradilan Pidana
Indonesia yang menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik
kepentingan negara kepentingan masyarakat maupun kepentingan
individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan
korban kejahatan. Hal ini merupakan kritik bahwa, model import seperti
model pengendalian kejahatan (crime control model) yang terlalu
mementingkan, baik kepentingan negara dan mengorbankan hak-hak
individual, model perlindungan hak (due process model) yang terlalu
menonjolkan hak-hak individual tidak cocok untuk digunakan di
Indonesia. Lebih-lebih apabila diingat bahwa kedua model tersebut
pada dasarnya adalah bagian dari model perlawanan (adversary model)
yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana merupakan model
peperangan (battle model). Model kekeluargaan (family model) juga
tidak mungkin sepenuhnya diterima, sebab aspek korban kurang
mendapatkan akses perlindungan sebagaimana dianjurkan oleh
masyarakat internasional. Secara ideal Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia tidak terdapat melepaskan diri dari kecenderungankecenderungan internasional yang sudah diakui oleh masyarakat
beradab. Kecenderungan tersebut dapat berupa dokumen-dokumen
intemasional seperti resolusi-resolusi PBB mengenai Sistem Peradilan
Pidana dan sebagainya. Dokumen-dokumen intemasional tidak dapat

63

diabaikan karena akan menyangkut kesan intemasional terhadap


Indonesia.91
Perumusan hak dan kedudukan warga negara di hadapan hukum
merupakan penjelmaan dari salah satu sila Pancasila yaitu sila Keadilan
Sosial. Kedudukan seorang warga negara di dalam hukum di Indonesia
merupakan republik yang demokratik berlainan sekali dengan negara yang
berdasar supremasi rasial maupun berdasarkan agama, negara kerajaan
(feodal) atau negara kapitalis. 92 Agar hukum berkembang dan dapat
berhubungan dengan bangsa lain sebagai sesama masyarakat hukum, perlu
dipelihara dan dikembangkan asas-asas dan konsep hukum yang secara umum
dianut umat manusia atau asas hukum yang universal. 93 Asas-asas yang
merupakan pencerminan dan tekad dan asosiasi sebagai bangsa yang
mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan bangsa Indonesia terkandung
dalam UUD 1945 dan mukadimahnya yang merupakan pencerminan dari
falsafah Pancasila. Asas persatuan dan kesatuan dan kebangsaan yang
mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional
yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum Nasional berfungsi
mempersatukan bangsa Indonesia. Asas Ke-Tuhanan mengamanatkan bahwa
tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan agama atau
bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Asas demokrasi
mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan,

91

92

93

Muladi, Kapita Selekta Sistem, Badan Penerbitan UniversitasDiponegoro, Semarang,


1995,hlm.46-58.
Moctar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional diMasa
Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2April
1997. Bandung, FH Unpar. hlm. 3-4.
Ibid., hlm. 5.

64

kekuasaan harus tunduk kepada hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis


terkhir kekuasaan ada pada rakyat dan wakil-wakilnya Asas keadilan sosial
mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan
bahwa semua orang sama di hadapan hukum. Asas kesatuan dan persatuan
tidak berarti bahwa kenyataan adanya keanekaragaman budaya tidak perlu
diperhatikan. Bhinneka Tunggal Ika merupakan motto negara yang
mencerminkan keanekaragaman budaya itu. Lagi pula merupakan kenyataan
dalam negara yang secara geografis terdiri dari beribu-ribu pulau yang
tersebar dalam suatu negara yang terdiri dari darat (pulau) dan laut (air) yang
meliputi tiga zona waktu. Membangun hukum berdasarkan Wawasan
Nusantara berarti membangun hukum nasional dengan memadukan tujuan
membangun

hukum

nasional

yang

satu

atau

menyatukan

dengan

memperhatikan keanekaragaman budaya dari penduduk yang mendiami suatu


negara kepulauan. 94
Dalam hal yang sama Sudargo Gautama mengatakan:
Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan Negara
terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindaksewenangwenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.
Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.95

Peran hukum dalam masyarakat bangsa yang bebas (The Rule of


Lawinfree society) adalah agar:
1. Masyarakat dan individu bebas dari penindasan, baik penindasan dari
luar atau bangsa lain maupun penindasan dari dalam oleh para penguasa
juga penindasan antara sesama anggota masyarakat,
94
95

Ismail Sunny,Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1982,hlm. 123.


Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 35

65

2. Masyarakat tidak diperlakukan secara otoriter, penguasa tidak boleh


menjadi alat kekuasaan (instrument of Power), penguasa tidak boleh
menjelma atau mempersonifikasi diri sebagai hukum, kebebasan dan
kemerdekaan individu tidak boleh ditentukan oleh kehendak atau
keinginan penguasa,
3. Keberadaan dan kedudukan penguasa berdasar aturan hukum atau Rule
of Law hukum menjadi pancang dan fundamen kekuasaan dan
kewenangan penguasa (under the authoriy of Law), penguasa tidak oleh
melampaui batas kewenangan dan fungsi yang diberikan hukum
kepadanya, tindakan yang seperti itu bertentangan dengan hukum
(against the law) dan dapat dikualifikasi de toemement de pouvoir.
4. Karakteristik peran hukum yang paling esensial dalam free society
hukum harus menjamin keamanan dan memperlindungi hak dan
kepentingan anggota masyarakat (to safe quarded and to protect their
right) dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan dalam mengejar
kebahagiaan dan kesejahteraan spritual dan material, sebaiknya setiap
individu harus taat dan mematuhi hukum dan tidak dibiarkan bertindak
menurut sesuka hati (arbitrary wills).96
Hukum mempunyai komponen-komponen yaitu97 :
a. Komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat
relatif konstan;
b. Komponen spiritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi
dinamis;
c. Komponen struktural, lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan,
hukum dan undang-undang yang dirumuskannya berlainan di atas
kaidah yang sama;
d. komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai
sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan.
Dalam kaitan ini hukum Acara Pidana berfungsi ganda, yakni disatu sisi
berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak
pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas

96
97

M. Yahya Harahap,Op. Cit., hlm. 410-411


Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, GhaliaIndonesia, Jakarta,
1986. hlm. 138-139.

66

perbuatannya, di sisi lain adalah untuk sejauh mungkin menghindarkan


seseorang yang tidak bersalah agar jangan sampai dijatuhi pidana.
Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dimaksud
bahwa semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum,
penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the
land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Hal ini berarti bahwa tidak
ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat pemerintahan negara
maupun warga negara biasa, berkewajiban untuk mentaati hukum yang
sama.98The rule of law, dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak
bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur warga negara
biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa. Tidak dikenal peradilan administrasi
negara dalam sistem Anglo Saxon. Dalam sistem Common Law, seperti
Amerika Serikat dan Inggris, persoalan-persoalan administratif dihadapkan
kepada pengadilan-pengadilan biasa (ordinary courts), dengan hakim-hakim
yang independen, untuk mempertahankan salah satu unsur terpenting dari the
rule of law. Dalam paham the rule of law, hukum konstitusi bukanlah sumber
tapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan
ditegaskan oleh pengadilan. Pandangan Dicey dikatakan pandangan murni
dan sempit, karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya
tentang the rule of law, intinya adalah Common Law, sebagai dasar
perlindungan kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
Perlindungan Common Law hanya dapat meluas kepada kebebasan pribadi
98

Phipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsip, Penanganan Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.80.

67

tertentu seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat asssure the


citizen'seconomic or social well being (menjamin kesejahteraan ekonomi
atau sosial warga negara) seperti perlindungan fisik yang baik, memiliki
rumah yang layak, pendidikan, pemberian jaminan sosial atau lingkungan
yang layak kesemuanya itu membutuhkan pengaturan yang kompleks. Suatu
hal yang penting dari the ruleof law adalah mencegah penyalahgunaan
kekuasaan diskreasi. Pemerintahan dilarang menggunakan privilege yang
tidak perlu/bebas dari aturan hukum. 99

1. Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada
manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan
hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat
dilindungi hukum. Melindungi hak-hak dapat terjamin, apabila hak-hak itu
merupakan bagian dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk
melindungi hak-hak tersebut. Hukum pada dasamya merupakan pencerminan
dari HAM, sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan
oleh HAM yang dikandung dan diatur atau dijamin oleh hukum itu. Hukum
tidak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus
memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warganegara. 100 Hukum yang
berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan mencerminkan norma-norma yang
menghormati martabat manusia dan mengakui HAM. Norma-norma yang
99
100

Ibid.
Muladi,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro,
Semarang, 1995, hlm. 45.

68

mengandung nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat manusia dan


menjamin HAM, berkembang terus sesuai dengan tuntutan hati nurani
manusia yang terhimpun dalam ikatan perkumpulan masyarakat yang
bertindak berdasarkan kepentingan sosial atau kepentingan dualistis. Teknik
perumusan HAM di dalam undang-undang pada umumnya bersifat motivatif
untuk landasan bekerjanya para petugas hukum. HAM tidak dirumuskan
secara khusus, akan tetapi implisit tersimpul dalam Pasal-Pasal

undang-

undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dari konsideran dan penjelasan
undang-undang.101
HAM merupakan alat untuk memungkinkan warga masyarakat dengan
tugasnya dengan baik.102 Kemungkinan ini harus diselenggarakan oleh negara
dengan jalan membentuk atau peraturan-peraturan hukum. Kewajiban
tersebut merupakan tugas penting negara, karena kebebasan dijamin demi
kepentingan masyarakat. Kaidah hukum yang memungkinan anggota
masyarakat mengembangkan bakatnya bermanfaat bagi perkembangan
hukum dan tercapainya tertib hukum.
Pengertian HAM dapat dipahami sebagai berikut :
l. Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan
dalam naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam
konstitusi nasional maupun dalam perjanjian intemasional;
2. Definisi politis HAM, yang menunjuk pada pengertian politik, yaitu
proses dinamis dalam arti luas berkembangnya masyarakat suatu
masyarakat tertentu. Termasuk di dalamya keputusan-keputusan yang
diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya
101

102

Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hlm. 10-11.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta, 1983,hlm.
76.

69

mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai


tujuan tersebut. Hukum merupakan salah satu hasil terpenting dari
proses politik, hukum berakar dalam keadaan politik konkret
masyarakat;
3. Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM.
Makna etis HAM menyangkut justru problem esensial, klaim individual
harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik. Pengertian
klaim etis, tuntutan etis mengandung di dalamnya suatu pandangan
teoritis mengenai landasan norma-norma etis.103

Ada dua argumen yang diajukan klaim universalitas paham HAM.


Yang pertama mengatakan, bahwa paham HAM adalah individualistik; yang
kedua adalah paham HAM berlatar belakang pengertian problematik tentang
otonomi manusia.104Individualisme berdasarkan dua pertimbangan yaitu:
a. Bahwa paham HAM menfokuskan kepada perhatian orang pada hakhaknya sendiri saja. Masyarakat sekedar sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan individual saja. Individu mengharapkan agar masyarakat dan
negara memenuhi tuntutan-tuntutannya;
b. Paham HAM dilihat sebagai menempatkan individu, kelompokdan
golongan masyarakat berhadapan dengan negara bukan dalam kesatuan
dengannya. Masyarakat bukannya menyatu dengan Negara melainkan
perlu dilindungi. Keberadaan kedua mengatakan bahwa paham HAM
bertolak dari suatu pengertian tentang otonomi manusia yang tidak
ditemukan di luar beberapa kebudayaan asing dan bertentangan dengan

103

104

A. Gunawan Setiardja,Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius,


Yogyakarta, 1993, hlm.89-90.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Hak Asasi Manusi, GramediaPustakaUtama, Jakarta,
1997, hlm. 52.

70

agama. Menurut agama manusia tidak otonom melainkan dalam segalagalanya di bawah kehendak dan hukum Tuhan. 105
Sebenamya paham HAM adalah pewaris teori hukum Abad
Pertengahan. Menurut teori ini, hukum negara (hukum manusia, lex humana)
hanya mengikat sejauh sesuai dengan hukum kodrat (lex naturalis). Tetapi
hukum kodrat sendiri mendapat daya ikat dari pengakarannya dalam hukum
abadi (lex aetema), yaitu dalam kebijaksanaan Allah Pencipta. Allah Pencipta
sendiri memberikan hukum kodrat kepada ciptaannya, suatu hukum ciptaan
manusia atau negara harus sesuai dengan hukum kodrat. Paham itu
melahirkan paham adanya hak-hak asasi yang diterima manusia langsung dari
Tuhan dan karena itu tidak dapat diganggu gugat oleh negara. Sumber paham
HAM justru theistik dan bukan antroposentrik. 106
HAM secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori: Hak-hak yang
hanya dimiliki oleh para warga negara dari negara yang bersangkutan (hakhak warga negara). Hak-hak yang pada dasamya dimiliki semua yang
berdomisili di negara yang bersangkutan.107Dari sudut pengalaman dan
praktik, pembelaan, peninjauan dan perlindungan terhadap HAM, tergantung
pada tiga hal: pertama ialah pengakuan penuh atas nilai kemanusiaan setiap
individu, kedua perumusan hukum atas pengakuan kemanusiaan itu; dan
ketiga ialah jaminan politik bagi status hukum atas pengakuan kemanusiaan
itu. Paradigma kenegaraan harus merefleksikan ketiga prinsip dari doktrin-

105
106
107

Idem., hlm. 52-54.


Idem., hlm. 62.
A. Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 73-76.

71

doktrin HAM, yakni: pertama nilai final dari setiap individu manusia; kedua,
ekspresi

hukum

dan

nilai

itu;

dan

ketiga,

jaminan

politik

dan

institusionalnya.108
Pendirian bangsa Indonesia mengenai HAM berlandaskan sila II:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh sila-sila
lainnya. Maksudnya adalah HAM itu harus:
1 ) Sesuai dengan kodrat manusia. Menurut kodratnya, manusia itu adalah
makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial.
2) HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya setiap
orang dan golongan hendaknya memperoleh haknya.
3) Tidak tanpa arti adanya istilah dan beradab. Maksudnya ialah: HAM
yang diterima dan dijunjung tinggi itu tidak tanpa batas. Batasnya
adalah:
a) penggunaan HAM itu harus dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sila I);
b) harus meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa (Sila III);
c) harus tetap dalam suasana dan iklimyang demokratis (Sila IV);
d) harus menunjang kesejahteraan umum (Sila V);
e) HAM oleh tujuan-tujuan negara: untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan
kesejahteraan umum, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. 109
2. Hubungan HAM dan Ilmu Hukum
Dari aspek filsfat hukum, hukum terkait dengan moral, karena
dalam hukum ada yang disebut dengan pesan moral. Hukum melindungi
moral, sehingga dapat dikatakan bahwa perbuatan moral adalah perbuatan
yang kejam atau barbar. Karena itu, menegakan hukum berarti pula
108

109

Mazuki Darusman, Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam MajalahHukum Pro
Justitia Tahun XVII Nomor4 Oktober 1999, Bandung: FH Unpar, hlm.6.
Idem., hlm. 57-58.

72

menegakan moral, melanggar hukum berarti melanggar moral. Manusia yang


melanggar moral adalah manusia yang kurang ajar, sehingga dapat dikatakan
bahwa pemimpin negara yang melanggar moral adalah pemimpin yang
kurang ajar, untuk itu perlu diberikan pelajaran berupa hukuman dalam
bentuk hukuman badan, ekonomi dan moral. Karena itu, keberadaan HAM
mendahului hukum. Artinya hak asasi manusia sebagai hak dasar dan suci
melekat pada setiap manusia sepanjang hidupnya sebagai anugerah Tuhan,
kemudian HAM diformalkan kedalam seperangkat aturan hukum yang ada.
Dari posisi tersebut, hukum menjadi conditiosine quo non dalam penegakan
HAM. Lengkapnya, instrumen hukum tentang HAM menjadi salah satu
sumber HAM-HAM yang kuat.
HAM melindungi manusia secara utuh (demi tegaknya martabat
manusia/human dignity). Masalah moral adalah masalah kemanusiaan,
walaupun sifatnya relatif. Manusia yang bermartabat akan selalu menjadi
sorotan, mulai dari sisi tingkah lakunya hingga sikap moralnya. Hukum
(rechts, bahasa Jerman Kuno, menurut Prajudi berati lurus) disebut juga
aturan, norma, dan kaidah sebagai kata benda yang mempunyai dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan. Pertama, berisi ide dan cita-cita. Ide tersebut banyak
dibahas didalam beragam filsafat hukum dan teori hukum. Dengan demikian,
didalam hukum ada cita-cita, ide, agama, dan moral yang terangkum didalam
norma agama, norma susila, dan norma kesopanan. Kedua, hukum
difungsikan (didayagunakan) sebagai alat untuk mencapai cita hukum. Ketika
hukum

bertindak

dalam

bentuk

alat/instrumen

saja

dan

dalam

73

operasionalisasinya lepas atau melepaskan diri dengan cita hukum, berarti


teori hukum yang digunakan sebagai dasar keputusan mengedepankan
kekuasaan. Watak hukumnya menjadi represif yang memihak kepada
penguasa (status quo). Selain itu, hukum pun mempunyai watak korektif,
disamping fungsi-fungsi lainnya.
Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan HAM kepada dua
kelompok menjadi mutlak. Tanpa perlindungan HAM, mereka rentan sekali
menjadi korban berbagai tindak pidana dan diskriminasi. Karena itu
penegakan HAM disuatu negara dapat dilihat melalui sejauh mana kesadaran
dan penghormatan HAM perempuan dan anak-anak dapat berjalan. Mereka
termasuk kelompok-kelompok minoritas yang identik dengan kelompok
rentan (vulnarable groups).
Oleh karena itu, penegakan HAM suatu negara dapat dilihat dari sejauh
mana kesadaran dan penghormatan negara atas HAM kaum perempuan dan
anak-anak. Dalam rangka menghormati hak-hak perempuan, pada tahun 1979
PBB telah menghasilkan konvensi CEDAW (Convenstion on The Emilination
of Discrimination Against Women). Dalam konvensi tersebut, diskriminasi
diartikan sebagai
Pembedaan, pengesampingan, atau pembatasan apapun yang dibuat
atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh, atau mengurangi,
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi
manusia dan kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil, dan bidang apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

74

Indonesia telah meratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1984. Konvensi tersebut digambarkan sebagai International Bill of Right for
Women.
Keadilan merupakan mahkota utama dari citra hukum, sekaligus
merupakan sasaran hukum hak asasi manusia yang harus diraih. Hukum tanpa
citra hukum menjadi alat yang berbahaya. Keadilan merupakan masalah abadi
yang direnungkan para pemikir sejak zaman Yunani kuno. Bicara keadilan
tidak dapat meninggalkan pandangan Aristoteles. Dalam karyanya retrorika,
Aristoteles

membedakan keadilan distributif

dan korelatif/komutatif.

Keadilan distributif mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat


membagi dan menebar keadilan kepada orang-orang, sesuai dengan
kedudukannya. Sedangkan menurut keadilan komutatif/korelatif, keadilan
tidak membedakan posisi atau kedudukan orang perorang untuk mendapat
perlakuan hukum yang sama. Keadilan kumulatif dapat dikatakan wujud
pelaksanaan HAM.
Keduanya tetap harus mengikuti asas persamaan, yang dikatakannya
harus ada persamaan dalam bagian yang diterima oleh orang-orang, oleh
karena rasio dari yang dibagi harus sama dengan rasio dari orang-orangnya.
Sebab, apabila orang-orangnya tidak sama, maka disitu tidak akan ada bagian
yang sama pula.
Dengan demikian, keadilan menjadi fairness (wajar, alamiah) apabila
tatanan yang ada dapat diterima oleh semua orang secara adil. Lewat
penerimaan dengan ikhlas semua tatanan yang ada oleh semua bangsa,

75

golongan, kelompok, ras, agama tanpa tekanan, otomatis warga dalam


masyarakat merasa diperlakukan adil.
Karena itu setiap bentuk paksaan dogma/ideologi secara ekstrem dapat
ditemui dalam paham fasis, komunis, keagamaan, dan lain-lain yang dapat
mengakibatkan ketidakadilan bagi sebagian anggota masyarakat. Hal ini
dapat menyebabkan konflik berkepanjangan.
Agar perbedaan dapat diterima (rasional) ketika perbedaan tersebut
harus bertumpu kepada landasan keadilan yang dapat diterima oleh semua
kelompok. Artinya, antar kelompok terjalin toleransi yang cukup tinggi.
Keadilan dan masalah-masalah lain yang erat kaitannya dengan/teori hukum,
sebagaimana tergambar di depan, dalam wujud antara lain terciptanya
kepastian, manfaat, kesejahteraan, ketertiban, kemakmuran, persamaan,
kenyamanan, keteduhan, ketenangan, kepentingan umum, dan lain-lain dapat
terlaksana dalam masyarakat. Hal ini hanya dapat terwujud setelah
diformalkan dalam bentuk tertulis. Oleh karenanya, hukum positif dalam
bentuk UUD, Undang-undang, Peraturan pemerintah, maupun bentuk-bentuk
peraturan lain disamping kesepakatan-kesepakatan yang ada hendaknya
mendapat perhatian. Arah pembangunan hukum haruslah menuju pada citacita hukum.
3. HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Pembahasan HAM terbatas dalam konteks sistem peradilan pidana
(criminal justice sistem) yang berada dalam kerangka jaringan sistem
peradilan yang mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materil,

76

hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana) kiranya tidak akan
memperoleh gambaran menyeluruh dan sistematik, sehingga perlu dikaji
secara utuh mencakup administrasi peradilan pidana (administration of
criminal justice) yang memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari kebijakan
peradilan pidana (criminal justice policy), hak dan kewajiban serta etika
penguasa dalam memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi dan korban,
pelbagai pembatasan terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan
keseimbangan terhadap efisiensi dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan dengan jaminan terhadap hak-hak individual, tata cara mengajukan
keberatan

sampai

dengan

penanggulangan kejahatan

perlunya

kerjasama

internasional,

yang kualitas dan kuantitasnya

dalam
semakin

meningkat, bahkan cenderung bersifat transnasional. Dalam kerangka ini


akan terkait asas-asas , pelbagai norma, dan standar yang berlaku secara
universal.
Pelbagai norma, asas dan standar

tersebut tumbuh secara bertahap

sejak Tahun 1948, mulai dari pembangunan nilai-nilai melalui proses


intelektual dan sosial (enunctiative stage), tahap deklarasi (declaration stage)
nilai-nilai kemanusiaan, kepentingan dan hak yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat (non-legally binding), tahap preskriptif (prescriptive
stage) dalam bentuk pelembagaan asas-asas, norma dan standar yang lebih
mengikat

dalam

kerangka

kesepakatan-kesepakatan

internasional

(international agreement), selanjutnya tahap penegakan hukum (enforcement


stage) melalui pelbagai konvensi internasional, mekanisme prosedural atau

77

kombinasi antara keduanya dan tahap kriminalisasi (criminalization stage)


berupa perumusan tindak pidana secara internasional sebagai sarana
mengadili pelanggaran-pelanggaran HAM dengan gravitas tertentu.

B. Hak-Hak Anak dan Perlindungannya di Indonesia


Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan
bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan
perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kaitannya dengan persoalan
perlindungan hukum bagi anak-anak, maka dalam Undang-Undang Dasar
1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh Negara. Hal ini menunjukkan adanya perhatian
serius dari pemerintah terhadap hak-hak anak dan perlindungannya. Lebih
lanjut pengaturan tentang hak-hak anak dan perlindungannya ini terpisah
dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain: 110
1. Dalam bidang hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak;
2. Dalam bidang kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1)
dan Pasal 9 ayat (2).

110

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 67-68.

78

3. Dalam bidang pendidikan dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang


Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Dasardasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan
Pasal 17.
4. Dalam bidang tenaga kerja dengan ordonasi tanggal 17 Desember 1925
tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi
Wanita Jo Ordonasi tanggal 27 Pebruari 1926 stbl. Nomor 87 Tahun
1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan mengenai Kerja
Anak-anak dan orang-orang muda di atas Kapal Jo Undang-Undang
Keselamatan Kerja stbl. 1947 Nomor 208 Jo Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Kerja Nomor 12
Tahun 1948 di Republik Indonesia.
5. Dalam bidang Kesejahteraan Sosial, dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dengan uraian di atas tampaklah bahwa sesungguhnya usaha
perlindungan anak sudah sejak lama ada, baik pengaturan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya, baik oleh
pemerintah maupun organisasi sosial. Namun demikian usaha tersebut belum
menunjukkan

hasil

yang

memadai

sesuai

dengan

kebutuhan

dan

perkembangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini disebabkan situasi dan


kondisi serta keterbatasan yang ada pada pemerintah dan masyarakat sendiri

79

belum memungkinkan mengembangkan secara nyata ketentuan peraturan


perundang-undangan yang telah ada. 111

1. Pengembangan Hak-Hak Anak dan Hukumnya dalam Proses Peradilan


Pidana
Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana guna
mewujudkan

perlindungan

hukum

bagi

anak,

diperlukan

mengerti

permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas,


dimensional dan terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses
peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi dari adanya interrelasi antara
berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Dimulai
dengan memperhatikan aspek-aspek mental, fisik, sosial, ekonomi secara
dimensional,

guna

didapat

pengertian

yang

tepat

mengenai

suatu

permasalahan dengan menggunakan metode pendekatan melalui disiplin ilmu


yang bersifat interdisipliner. Hal ini terwujud dalam menyusun data sosial
oleh probation officer (Petugas Balai Bispa) sehingga kepribadian anak,
keluarga, kondisi sosial dan ekonomi serta motivasi dari tindak pidana
diketahui, dipahami, kemudian dirancanglah suatu pola penanggulangan
dengan mempertimbangkan setiap anak dan psikologi terhadap anak agar
dapat menginterprestasikan kepribadiannya. Jika akhirnya melalui keputusan
hakim, anak dinyatakan membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan,
diharapkan ia mendapat fasilitas yang sesuai dengan kebutuhannya dan dari
orang-orang yang berkualifikasi. Dengan demikian, penanggulangan yang
111

Idem., hlm. 68.

80

diberikan mampu mempertanggungjawabkan, karena bersikap atau bertindak


secara tepat guna, interdisipliner, intersektoral dan interdepartemental.
Wujud dari suatu keadilan adalah di mana pelaksanaan hak dan
kewajiban seimbang. Pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang
melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar
seimbang dan manusiawi. Perlu kiranya digarisbawahi bahwa kewajiban bagi
anak harus diperlakukan dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial
dan kemampuannya pada usia tertentu. Dengan demikian hal-hal di bawah ini
perlu kiranya diperhatikan dan diperjuangkan keberadaannya, antara lain:
a. Setiap anak diperlukan sebagai yang belum terbukti bersalah.
b. Waktu peradilan anak tidak diselingi oleh peradilan orang dewasa.
c. Setiap anak mempunyai hak untuk dibela oleh seorang ahli.
d. Suasana Tanya jawab dilaksanakan secara kekeluargaan, sehingga anak
merasa aman dan tidak takut. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
yang dimengerti anak.
e. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang
merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
f. Setiap anak mempunyai hak untuk memohon ganti kerugian atas
kerugian atau penderitaannya (Pasal 1 ayat (2)2 KUHP).
g. Setiap anak mempunyai hak untuk sidang tertutup, hanya dikunjungi
oleh orang tua, wali, orang tua asuh, petugas sosial, saksi dan orangorang yang berkepentingan, mengingat kehormatan/kepentingan anak
dan keluarga, maka wartawan pun tidak dibenarkan ikut serta, kecuali

81

mendapat ijin dari hakim dengan catatan identitas anak tidak boleh
diumumkan.
h. Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetapi memakai
pakaian bebas resmi.
i. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya
persiapan yang matang sebelum sidang dimulai.
j. Berita acara dibuat rangkap 4 (empat) yang masing-masing untuk
hakim, jaksa, petugas Bispa dan untuk arsip.
k. Jika hakim memutus perkara anak harus masuk ke Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau Panti Asuhan, maka perlu diperthatikan
hak-haknya.
Proses peradilan pidana adalah merupakan suatu proses yuridis, dimana
hukum ditegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan mengeluarkan
pendapat dan pembelaan dimana keputusannya diambil dengan mempunyai
suatu motivasi tertentu.112
Hak-hak yang kiranya perlu diperhatikan dan diperjuangkan adalah:
a. Hak diperlukan sebagai yang belum terbukti bersalah.
b. Hak-hak

mendapat

perlindungan

dari

tindakan-tindakan

yang

merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial.


c. Hak mendapat pendamping dari penasehat hukum.
d. Hak mendapat fasilitas transfort serta penyuluhan dalam ikut serta
memperlancar pemeriksaan.

112

Idem., hlm. 71.

82

e. Hak untuk menyatakan pendapat.


f. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.
g. Hak untuk mendapat pembinaan yang manusiawi sesuai dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan ide pemasyarakatan.
h. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya
persiapan yang matang sebelum sidang dimulai.
i. Hak untuk dapat berhubungan dengan orang tua dan keluarganya.
Beberapa faktor pendukung dalam usaha pengembangan hak-hak anak
dalam peradilan pidana adalah: 113
a. Dasar pemikiran yang mendukung Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, ajaran agama, nilai-nilai sosial
yang positif mengenai anak, norma-norma (deklarasi hak-hak anak,
Undang-Undang Kesejahteraan Anak).
b. Berkembangnya

kesadaran

bahwa

permasalahan

anak

adalah

permasalahan nasional yang harus ditangani sedini mungkin secara


bersama-sama, intersektoral, interdisipliner, interdepartemental.
c. Penyuluhan, pembinaan, pendidikan dan pengajaran mengenai anak
termasuk pengembangan mata kuliah Hukum Perlindungan Anak,
usaha-usaha perlindungan anak, meningkatkan perhatian terhadap
kepentingan anak.
d. Pemerintah bersama-sama masyarakat memperluas usaha-usaha nyata
dalam menyediakan fasilitas bagi perlindungan anak.

113

Idem., hlm. 72.

83

Beberapa faktor penghambat dalam usaha pengembangan hak-hak anak


dalam peradilan pidana, adalah :
a. Kurang adanya pengertian yang tepat mengenai usaha pembinaan
pengawasan dan pendegahan yang merupakan perwujudan usaha-usaha
perlindungan anak.
b. Kurangnya keyakinan hukum bahwa permasalahan anak merupakan
suatu permasalahan nasional yang harus ditangani bersama karena
merupakan tanggung jawab nasional.

2. Jaminan Hak Anak Serta Perlindungannya dalam Hukum Nasional


Untuk sampai pada pemikiran tentang jaminan hak anak dan
perlindungannya, maka terlebih dahulu harus diketahui apa yang menjadi
penyebab bahwa hak anak dan perlindungannya terabaikan. Setelah melalui
penganalisaan terdahulu ternyata bahwa hak anak dan perlindungannya
terabaikan akibat dari kurangnya perhatian dari keluarga sebagai masyarakat
terkecil juga sebagai akibat dari lingkungan si anak.
Oleh karena itu pemikiran tentang jaminan hak anak serta
perlindungannya perlu dimulai pada perbaikan pola pembinaan anak dalam
masyarakat, dengan mendasarkan kepada kasih sayang dan cinta yang tulus
dan murni dari orang tua, yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa
kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia pada jiwa sang anak di
kemudian hari. Beranjak dari sini, maka terbentuk suatu masyarakat yang
memiliki kesejahteraan, ketenteraman dan stabilitas yang tinggi. Langkah

84

selanjutnya adalah membuka jalan bagi kemungkinan pengembangan dan


meningkatkan ikut sertanya masyarakat untuk mengambil peranan secara
optimal dalam usaha perlindungan anak sebagai perwujudan ketentuanketantuan formal (hukum positif) maupun ketentuan yang sifatnya non formal
sebagai perwujudan dari hukum adat dan hukum agama.
Berbahagialah telah memulai merintis kearah yang lebih bijaksana
dalam menangani kejahatan anak dengan menunjuk lembaga secara khusus,
seperti penahanan anak-anak di permadisiwi, melaksanakan hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, tinggal memeratakan yang
selama ini belum merata dengan meberikan fungsi lebih dari pada panti-panti
asuhan. Panti asuhan dapat lebih lama melakukan pembinaan pengentasan
anak, bahkan jenis panti asuhan tertentu melakukan dalam jangka waktu tak
terbatas. Panti asuhan harus mampu berperan dalam mempersiapkan anak
secara fisik dan mental untuk kembali ke masyarakat, oleh karena itu panti
asuhan seharusnya mendapat perhatian yang wajar, cukup memiliki tenagatenaga ahli (professional), pekerja sosial yang berdedikasi dan fasilitasfasilitas keterampilan, sehingga diharapkan adanya suatu sistem antara
lembaga-lembaga

pengentasan

pendahuluan

dan

lembaga-lembaga

pengentasan yang sesungguhnya. Walaupun demikian perlu ditandaskan


bahwa tindakan yang dilakukan di luar lembaga selalu lebih baik dari pada
jika dilakukan di dalam suatu lembaga, sekalipun lembaga tersebut
diselenggarakan dengan sangat baik. Akan tetapi diyakini juga bahwa tidak
semua orang dapat dibiarkan berkeliaran begitu saja dalam masyarakat bebas

85

tanpa membahayakan masyarakat. Untuk orang-orang ini perlu dikenakan


tindakan penutupan/dikenakan penjara. Tindakan yang paling tepat dan
bijaksana adalah penjatuhan pidana terhadap si anak sesuai dengan apa yang
dibutuhkan, dengan tidak meninggalkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku selama ini dan demi terjaminnya hak dan perlindungan anak, maka
diupayakan langkah-langkah pemikiran sebagai berikut :114
a. Bilamana pengadilan melihat dan meyakini kehidupan di lingkungan
keluarga itu dapat membantu si anak agar tidak lagi melakukan
perbuatan pidana (ada jaminan). Dalam hal ini bijaksana bilamana tidak
dijatuhkan hukuman apapun.
b. Bilamana keadaan keluarga si anak tidak memberi jaminan, sementara
keadaan keluarganya tidak memberi contoh yang baik, maka tentu
pilihan yang tepat ialah menjadikan ia anak Negara atau jika terdapat
pihak ketiga

yang

merasa

berkewajiban secara

moral untuk

mengakomodasinya dan bersedia menjadi orang tua asuh, dengan dasar


pemikiran bahwa kebutuhan anak yang paling dominan di sini adalah
kasih sayang keluarga, kasih sayang orang tua, yang tidak pernah
diperolehnya, sejak ia lahir ditinggal ibunya kemudian diasuh oleh
keluarganya yang tidak memperlihatkan contoh kehidupan yang baik.
Menjatuhkan hukuman terhadap si anak haruslah sangat berhati-hati,
jika tidak ada pilihan lain seperti si anak sudah berkali-kali melakukan
perbuatan pidana dan sifat kejahatannya meningkat. Kemudian hal itu harus

114

Idem., Hlm. 74.

86

didukung pula oleh hukum positif yang memiliki sanksi atas pelanggarannya.
Dengan didasarkan kepada kesadaran akan masalah anak di negara yang
merupakan salah satu masalah pokok yang perlu diperhatikan dan dipikirkan
pemecahannya, khususnya dalam rangka perlindungan dan perlakuan
terhadap anak dalam bidang peradilan. Oleh karena itu, peradilan pidana anak
perlu memfokuskan titik perhatiannya pada 2 (dua) hal, yaitu :
a. Masa depan pelanggar hukum yang berusia muda atau belum dewasa.
b. Akibat-akibat sosiologis dan psikologis akibat diterapkannya suatu jenis
hukuman.
Dengan demikian, diharapkan bahwa hal tersebut di atas selalu
melatarbelakangi

tindakan-tindakan

yang

diberikan

Hakim

dalam

memutuskan perkara anak di muka sidang pengadilan. Pembenahan mengenai


sidang anak yang selama ini terpisah antara pidana dan perdata. Di sini
membicarakan tentang bentuk kewenangan mengenai perkara anak, baik itu
perdata mapun pidana dipisahkan secara tersendiri penanganannya, sehingga
tidak berlaku bagi anak pemisahan antara perdata dan pidana melainkan
khusus. Peradilan anak yang merupakan bagian dari peradilan umum yang
menangani khusus. Peradilan anak yang merupakan bagian dari peradilan
umum yang menangani khusus perkara anak nakal. Adapun wewenang di
dalam sidang anak tidak terbatas pada perkara pidana atau perkara perdata
saja, tetapi menangani pula terhadap anak-anak nakal, anak terlantar,
perwalian, pengangkatan dan pelaku tindak pidana anak (termasuk pula
pidana

ekonomi,

subversi,

korupsi

dan

narkotika).

Hal

demikian

87

dimungkinkan

karena

dalam

pemidanaan

bagi

anak

haruslah

mempertimbangkan banyak hal yang telah diuraikan pada bab terdahulu,


yang tidak berlaku bagi orang dewasa.115

C. Politik Hukum
Mengenai arah pembangunan hukum nasional, terfokus pada persoalan
politik hukum tentang pembangunan sistem hukum nasional, menurut Padmo
Wahyono; Politik hukum adalah kebijaksanaan dasar dari penyelenggara
negara yang menentukan bentuk, isi maupun arah-arah daripada hukum yang
akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
(membuat norma) pada sesuatu (ius constituendum).116Sedangkan menurut
Soedarto; Politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan. 117
Soetandyo Wignjosoebroto; mengatakan: Politik hukum (bahasa
Belanda = Rechtpolitiek) adalah kebijakan di bidang hukum dan perundang-

115
116

117

Ibid.
Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan Perundangan, Niagara, Jakarta,
1985. Hlm. 8.; bandingkan dengan Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet.ke-2, 1986, hlm. 7
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Hukum Pidana,
Sinar Baru, Bandung, 1983,hlm. 20

88

undangan (dikenal dengan kebijakan hukum) yang digariskan secara sadar


(bewuste rechtspolitiek).118
Menurut Muladi; Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan
negara (public policy) di bidang hukum untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya di segala aspek kehidupan, yang mengandung dua dimensi yang
terkait satu sama lain yakni kebijakan kesejahteraan sosial (social walfare
policy) dan kebijakan perlindungan sosial (social defence policy).119
M. Solly Lubis mengatakan; Politik hukum adalah kebijakan politik
yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.120
Menurut
Kebijaksanaan

Teuku
yang

Mohammad
berkaitan

Radie;

dengan

Politik

pembentukan

hukum
hukum

adalah
dan

penerapannya, atau sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara


mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya (ius constitutum) dan mengenai
arah perkembangan hukum yang dibangun (ius constituendum).121
Z. Asikin Kusumah Atmadja mengatakan; Politik hukum adalah arahan
atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan
118

119

120

121

Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Suatu Kajian Dinamika
Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (18401990), Grafindo Persada, Jakata, 1995,hlm. 6
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Centre, Jakarta, 2002, hlm. 269.
Solly Lubis. M, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, Cet.ke-1, 1989. hlm.
100.
Teuku Mohammad Radie, Memantapkan Kerangka Landasan Tata Hukum Nasional, BPHN,
Jakarta, 1980. Hlm. 16.; bandingkan apakah yang berlaku sebagai Hukum Positif sekarang
masih dapat dipertahankan, bagaimanakah secara de jure constituendo harus dicapai dan apa
yang dapat direalisasikan mengenai ius constituendo, dalam Asikin Kusumah Atmadja. Z,
Politik Hukum Nasional, tulisan dalam, Abd. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari (ed.),
Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, Cet.ke-1, 1980.
hlm. 15.

89

melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.


Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan
hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. 122
Menurut Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih; Politik Hukum adalah
suatu kebijakan yang diambil oleh Negara melalui lembaganya atau
pejabatnya untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, dirubah,
dipertahankan atau hukum tentang apa yang perlu diatur atau dikeluarkan
agar dengan kebijakan tersebut penyelenggaraan negara dan pemerintahan
dapat berlangsung dengan baik, tertib dan aman sehingga tujuan negara
secara bertahap dan terencana dapat terwujud. 123
Menurut Satjipto Rahardjo; Politik Hukum sebagai aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat.124
Dari berbagai pengertian atau definisi itu, dengan mengambil
substansinya ternyata sama, bahwa politik hukum adalah legal policy atau
garis (kebijakan)resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam
rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya

122
123

124

Asikin Kusumah Atmadja Z, Politik......, Loc.Cit.


Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD
1945, Gramedia, Jakarta, 1978, hlm. 15.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 352.

90

dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti tercantum dalam


Pembukaan UUD 1945.125
Bahwa mengingat politik hukum adalah sebagai legal policy tentang
hukum yang akan di berlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai
tujuan negara, di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan
negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang
hukum sebagai alat sehingga secara praktis politik hukum juga merupaka
alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan
tujuan negara. 126Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka
panjang dan ada yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya
pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan
antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukumhukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan
sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan
sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam
UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum. Adapun yang bersifat periodik
adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang
dihadapi pada setiap periode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun
yang akan mencabut.127Dari sifat politik hukum yang dipaparkan di atas
penulis mencoba akan menguraikan mengenai sifat politik hukum yang

125
126

127

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Hartono,C.F.G Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung,
1991,hlm. 1.
Moh. Mahfud MD, Op. Cit.,hlm. 3.

91

bersifat periodik, bahwa hukum dibuat sesuai dengan perkembangan situasi


yang dihadapi dimana hukum sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan
negara.
Dihubungkan dengan penelitian ini yang menitik beratkan kepada
kebijakan formulasi, dimana kebijakan kriminal dalam pembaruan sistem
peradilan pidana anak di Indonesia merupakan tahapan awal dan sekaligus
sumber landasan dari proses penegakan hukum tahap selanjutnya, yaitu tahap
aplikasi dan eksekusi. Kebijakan legislasi sendiri diartikan sebagai suatu
perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang
akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu, dan cara bagaimana
melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau
diprogramkan itu. Kebijakan itu sendiri diartikan sebagai suatu keputusan
yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk
mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif. 128 Apabila
dihubungkan dengan penelitian tentang kebijakan kriminal tentang sistem
peradilan anak,

lebih menitik beratkan kepada kajian penggunaan

legislatif/formulasi tentang sistem peradilan.

1. Pengertian Hukum Pidana Dan Kebijakan HukumPidana


Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang

128

Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan Pidana


Penjara, Semarang CV. Ananta, 1994. Hlm. 63.

92

berupa pidana. Pada dasarnya hukum pidana mempunyai dua hal pokok yaitu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana.129
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah perbuatan yang
dilakukan orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan
demikian disebut perbuatan yang dapat dipidana. Sedang pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi pidana dalam KUHP
diatur dalam Pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok meliputi pidana mati,
penjara, kurungan dan denda. Disamping pidana pokok ada pidana tambahan
yang boleh dijatuhkan bersama dengan pidana pokok. Pidana tambahan
meliputi pencabutan hak-hak tertentu, parampasan barang-barang tertentu,
pengumuman putusan Hakim.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh
dilakukan. Hukum menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan
apa yang bersifat melawan hukum. Hukum tidak membiarkan perbuatan yang
bersifat melawan hukum, hukum akan menggarap secara intensif perbuatan
yang bersifat melawan hukum, baik perbuatan yang bersifat melawan hukum
yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht inactu), maupun perbuatan melawan
hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).130 Perhatian dan
penggarapan perbuatan melawan hukum yang terjadi dan yang mungkin akan
terjadi tersebut merupakan penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan
sisi lain dari pembentukan hukum. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak
129
130

Sudarto, Hukum Pidana I A, FH UNDIP, Semarang , 1975, hlm. 7.


Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 187

93

dapat dipisahkan. Hukum dapat mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai


perbuatan yang sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasinya sebagai
perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum membawa
konsekuensi bagi pembuatnya, yang akan digarap oleh hukum dengan
mengenakan sanksi.
Tata hukum dibedakan menjadi tiga sistem penegakan hukum, dimana
setiap sistem hukum didukung oleh alat perlengkapan negara yang
mempunyai ketentuan sendiri. Yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem
penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Dalam
ketiga sistem hukum tersebut terdapat tiga sistem sanksi yaitu sanksi hukum
perdata, sanksi hukum pidana dan sanksi hukum administrasi. Sanksi hukum
pidana merupakan sanksi paling berat, karena selain dapat dikenakan
terhadap harta (pidana denda), badan (pidana perampasan kemerdekaan)
bahkan nyawa (pidana mati) pelaku atau pembuatnya. Terjadinya berbagai
tindak pidana dalam masyarakat mencerminkan bahwa korban demi korban
terus berjatuhan dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan.
Kerugian yang timbul akibat kejahatan tersebut dapat diderita oleh korban itu
sendiri secara langsung, maupun oleh orang lain secara tidak langsung,
misalnya sanak saudara ataupun orang-orang lain yang menggantungkan
hidupnya kepada korban.
Menurut Sudarto, hukum pidana mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi
umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana adalah mengatur
hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hal ini

94

berarti dengan hukum pidana diharapkan hubungan antar anggota masyarakat


berjalan dengan tertib dan tidak ada pihak yang dirugikan dalam hubungan
tersebut. Fungsi khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum
terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya yaitu dengan sanksi pidana
dimana sifat sanksi dalam hukum pidana lebih tajam dari sanksi dalam
cabang hukum lainnya. Hal ini karena sanksi dalam hukum pidana berupa
penderitaan atau nestapa yang dikenakan pada pelanggar undang-undang,
baik terhadap harta (dalam hal ini sanksi pidana denda) maupun badan
pelanggar (dalam hal ini sanksi pidana mati, penjara dan kurungan).131
Fungsi umum dan khusus hukum pidana tersebut dapat dilaksanakan
atau diwujudkan dengan membuat suatu kebijakan hukum pidana yang
memungkinkan peraturan hukum pidana positif dirumuskan secara lebih baik
dan memberi pedoman, baik kepada pembuat undang-undang, kepada
pengadilan sebagai penerap undang-undang serta kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana memerlukan
pendekatan yuridis normatif, pendekatan yuridis faktual berupa pendekatan
sosiologis,

historis dan komparatif serta pendekatan yang bersifat

komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya.


Sudarto berpendapat bahwa politik hukum adalah sebagaiberikut : 132
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Politik atau kebijakan
hukum pidana berarti melakukan pemilihan untuk menghasilkan
perundang-undangan pidana yang adil dan berdayaguna di masa kini
maupun dimasa yang akan datang.
131
132

Sudarto, Op.Cit., hlm.9.


Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kabijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm. 27.

95

2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk


menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bias digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Perundangundangan pidana harus memenuhi syarat keadilan, maksudnya
perundang-undangan pidana harus memperhatikan hak-hak pelaku
tindak pidana dan korban tindak pidana yang selama ini terabaikan.
Perundang-undangan pidana harus berdayaguna, maksudnya adalah
perundang-undangan pidana harus dapat mencegah dan menanggulangi
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dengan mengenakan sanksi
pidana maupun tindakan.
Dengan perundang-undangan pidana yang berkeadilan dan berdayaguna
diharapkan dapat memberikan perlindungan pada masyarakat yang pada
akhirnya dapat mencapai kesejahteraan masyarakat seperti yang dicita-citakan
bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Marc Ancel berpendapat bahwa kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari hukum pidana modern, disamping kriminologi dan hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana merupakan ilmu dan seni yang memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberi pedoman
kepada pembuat undang-undang, kepada pengadilan sebagai lembaga yang
menerapkan undang-undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan agar bekerjasama untuk menghasilkan suatu kebijakan
pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju serta sehat. 133 Kebijakan
hukum pidana merupakan pekerjaan teknik perundang-undangan yang
dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, pendekatan
yuridis faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif serta

133

Idem., hlm. 23.

96

pendekatan yang bersifat komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial


lainnya.
Kebijakan hukum pidana bila dikaitkan dengan pendapat Prof.Sudarto
mengenai politik hukum, kebijakan hukum pidana merupakan usaha dalam
mengadakan pemilihan atau mewujudkan perundang-undangan pidana yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi padasuatu waktu dan di masa yang
akan datang, melalui badan-badan yang berwenang menetapkan peraturanperaturan yang dapat mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan dalam politik hukum pidana tidak
dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau kebijakan
kriminal. Dengan demikian kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
usaha penegakan hukum pidana. Dengan kata lain bahwa kebijakan hukum
pidana dengan pembuatan undang-undang merupakan bagian integral dari
usaha perlindungan masyarakat dengan kebijakan sosialnya yang diartikan
sebagai upaya yang rasional untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat
dan melindungi masyarakat.
Kebijakan hukum pidana dilakukan dengan berbagai macam cara, yang
salah satunya dengan mengadakan pembaruan hukum pidana. Pembaruan
hukum pidana dilakukan dengan mengadakan reorientasi dan reformasi
hukum pidana sehingga sesuai dengan nilai-nilai sentral politik, filosofi dan
budaya yang terdapat pada masyarakat Indonesia. Dengan pembaruan hukum
pidana diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah sosial untuk mencapai
masyarakat yang sejahtera. Disamping itu dengan pembaruan hukum pidana

97

diharapkan dapat melindungi masyarakat dari kejahatan dan memperbaharui


substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
Dengan pendekatan nilai diharapkan pembaruan hukum pidana dapat
melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai politik, filosofi, dan
budaya masyarakat yang melandasi substantif hukum pidana. Masalah pokok
dalam kebijakan hukum pidana selain masalah kriminalisasi, adalah sanksi
yang akan dikenakan kepada pelanggar.
Dalam penjatuhan pidana hendaknya mempertimbangkan efektifitas
sanksi pidana itu sendiri. Sanksi pidana dikatakan efektif apabila pidana itu
benar-benar dapat mencegah terjadinya tindak pidana, disamping itu pidana
tersebut tidak menyebabkan timbulnya keadaan syang lebih merugikan atau
berbahaya daripada apabila sanksi pidanatidak dijatuhkan, disamping itu tidak
ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian atau
bahaya yang lebih kecil.
Jeremy Bentham berpendapat bahwa pidana jangan digunakan apabila
groundless,needless, unprofitable or inefficacious.134 Menurut Bassiouni,
tujuan pengenaan pidana adalah mewujudkan kepentingan-kepentingan sosial
yaitu
(1) memelihara ketertiban dalam masyarakat,
(2) melindungi masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya yang
ditimbulkan oleh pelaku,
(3) memasyarakatkan kembali si pelaku,
(4) mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

134

Idem., hlm. 39.

98

2. Teori Politik Hukum Pidana


Politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Politik hukum menurut Sudarto adalah:
1. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bias digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung di dalam
masyarakat dan apa yang dicita-citakan.
2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik, sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu.135
Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara yang dikutip dalam Bukunya
Mulyana W. Kusumah mengajukan pandangan tentang politik hukum
nasional yaitu: Politik hukum nasional secara harfiah diartikan sebagai
kebijaksanaan hukum (Legal policy) yang hendak diterapkan atau
dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu.
Politik Hukum Nasional tersebut meliputi:
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.
2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap
ketentuan hukum yang telah ada yang dianggap usang dan menciptakan
ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi perkembangan
masyarakat.
3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan
pembinaan anggotanya.
4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi
kelompok elit pengambil kebijakan.136

135

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 19.

99

Dengan demikian, sebagai bagian dari politik hukum, maka politik


hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang-undangan yang baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Menurut Marc Ancel, Modern Criminal
Science terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1.
2.
3.

Criminology
Criminal Law
Penal Policy

Mengutip

pendapat

Sutherland

and

Cressey

di

dalam

buku

Introduction To Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior)


There are four characteristic of criminal law:
1. It is assumed by political authority. The state assumes the role of
plaintiff or the party bringing forth charges. Murder, for example, is no
longer just an offense against a person, but against the state. In fact, the
state prohibits individual revenge in such matters, perpetrators must
pay their debt to society, not to the individual wronged (Hal ini
diasumsikan oleh otoritas politik. Negara mengasumsikan peran
penggugat atau pihak menelorkan biaya. Pembunuhan, misalnya, tidak
lagi hanya sebuah pelanggaran terhadap seseorang, tetapi melawan
negara. Bahkan, Negara melarang aksi balas dendam individual dalam
masalah seperti itu, pelaku harus membayar utang mereka kepada
masyarakat, bukan pada individu dirugikan)
2. It must be specific, defining both the offense as well as the proscribed
punishment.(Iniharusspesifik, mendefinisikan baik pelanggaran serta
hukuman dilarang.)
3. The law is uniformly applied. That is, equal punishment and fairness to
all, irrespective of social position, is intended (Hukum adalah seragam
diterapkan. Artinya, hukuman yang sama dan keadilan untuk semua,
terlepas dari posisi sosial, dimaksudkan)
4. The law contains penal sanctions enforced by punishment administered
by the state.137 (Undang-undang memiliki sanksi pidana ditegak kan
oleh hukuman dikelola oleh negara).

136

137

Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta,1986.


hlm.42
Hagan, Frank E. Introduction to Criminology, Nelson Hall, Chicago, 1986, hlm.12.

100

Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik,
dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan
juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat
dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa
penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik
hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap
sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak
dipersoalkan.
Permasalahannya

sekarang

adalah,

garis-garis

kebijakan

atau

pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya ditempuh dalam menggunakan


hukum pidana.
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana
terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan
atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya
Packer menyatakan bahwa :
1. (The criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the
foreseeable future get along, without it). Sanksi pidana sangatlah
diperlukan; tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan
datang, tanpa pidana .
2. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing
with gross & immediate harms and threats from harms).Sanksi pidana
merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang miliki untuk

101

menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta


untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener
of human freedom. Used provedently and humanely, it is Guarantor;
used indiscriminately and, it is coercively threatener) Sanksi pidana
suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia.
Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan
secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa. 138
Dengan demikian Packer berpendapat bahwa menggunakan sanksi
pidana untuk menanggulangi kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati,
sebab bukan tidak mungkin penggunaan sanksi pidana itu akan menjadi
semacam bumerang, dalam arti justru akan menimbulkan bahaya dan
meningkatkan jumlah kejahatan dalam masyarakat.
3. Kebijakan Penggunaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana
Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak
pidana. Perdebatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan
ini, menurut Inkeri Antilla, telah berlangsung beratus-ratus tahun. 139
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada
pula yang menyebutnya sebagai older Philosophy of crime control140
Namun demikian, cara ini pun masih sering dipersoalkan. Oleh karena itu
terdapat dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama adalah pendapat
138

139

140

Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press,
1967, hlm. 344-346.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang, Ananta, 1994, hlm. 17.
Ibid., hlm.18.

102

yang tidak setuju sanksi pidana digunakan untuk menanggulangi tindak


pidana sedangkan pendapat kedua yang setuju tentang sanksi pidana ini
dalam penanggulangan tindak pidana.

Pendapat

pertama umumnya

mengatakan, bahwa terhadap pelaku tindak pidana atau para pelanggar


hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini
pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban masa lalu ( a vestigeof our
savage past)141 yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya
didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan
atau pengenaan penderitaan yang kejam. Memang sejarah hukum pidana
menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai
perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan
melampaui batas. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaruan
pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris terutama justru merupakan reaksi
humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas pandangan yang demikian
pulalah kiranya ada pendapat bahwa teori retributif atau teori pembalasan
dalam hal pemidanaan merupakan

arelic of barbarism

142

(sebuah

peninggalan dari kebiadaban).


Dasar pemikiran lainnya ialah adanya paham determinisme yang
menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam
melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktorfaktor biologis dan faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian
kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang
141

142

Herbert L. Packer, The Limits of Criminal of Criminal Sanction, California, Standford


University Press, 1968, hlm.3.
Barda Nawawi Arief., Op. Cit., hlm.18.

103

yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan
atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat
merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan
mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi
yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan
memperbaiki. 143
Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat
mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan tokohnya antara
lain Lombroso, Garafalo dan Feri. Menurut Alf Ross, pandangan inilah yang
kemudian berlanjut pada gerakan modern mengenai penghapusan sanksi
pidana. Kampanye anti pidana ini masih terdengar di abad XX ini dengan
slogan barunya yang terkenal : thestruggle against punishment atau
abolision of punishment. Pandangan ini dikemukakan oleh seorang ahli
psikiatri forensic dan kriminolog Swedia, Olof Kinberg, yang pada Tahun
1946 mengeluarkan tulisan berjudul Le droit de punir. Menurut Kinberg,
kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan ketidaknormalan atau
ketidakmatangan si pelanggar (the expression of an offenders abnormality
orimmaturity) yang lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment) dari
pada pidana. Seorang kriminolog lainnya bernama Karl Menninger
menerbitkan pula sebuah buku yang dramatis pada Tahun 1966 dengan judul
The Crime of Punishment. Menurut Menninger, sikap memidana

143

Idem., hlm. 18.

104

(punitive attitude) harus diganti dengan sikap mengobati (therapeutic


attitude).
Gagasan penghapusan pidana dikemukakan pula oleh Fiippo Gramatica,
seorang tokoh ekstrim dari aliran defence sociale yang merupakan
perkembangan lebih lanjut dari aliran modern. Menurut Gramatica, hukum
perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang.
Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan
individu ke dalam tertib sosial, bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban
pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang
perbuatan anti sosial. 144
Pendapat kedua adalah yang setuju penanggulangan tindak pidana
dengan sanksi pidana. Tokoh-tokohnya antara lain Roeslan Saleh, Van
Bemmelen, Alf Ross, Herbert L Packer.
Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum
pidana seperti dikemukakan di atas menurut Roeslan Saleh adalah keliru.
Beliau mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih
perlunya pidana dan hukum pidana. Adapun inti alasannya adalah sebagai
berikut :145
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan
tujuan yang hendak di capai, tetapi terletak pada persoalan seberapa
jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan;
144
145

Ibid., hlm. 19.


Ibid., hlm. 20.

105

Persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam
pertimbangan antara nilai dan hasil itu dan nilai dari batas-batas
kebebasan pribadi masing-masing;
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti
sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu
reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu
dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja ;
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditunjukan
pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak
jahat yaitu warga masyarakat untuk mentaati norma-norma masyarakat.
Van Bemmelen mengemukakan. 146 Jika mendekati hukum pidana tidak
dari sudut pidana, akan tetapi dari sudut peraturan pemerintah dan larangan
dan untuk menegakkan peraturan itu (menegakkan hukum) dan terutama juga
dari sudut hukum acara pidana,

akan semakin kurang cenderung untuk

menghapuskan hukum pidana begitu saja. Jika mendekati dari sudut peraturan
pemerintah dan larangan, dengan mudah akan dapat mengerti bahwa ada
perbuatan tertentu dianggap melanggar hukum, yang tidak diizinkan sama
sekali dapat terjadi oleh masyarakat, makar (membunuh kepala negara) sama
sekali tidak akan diizinkan oleh negara. Juga tidak dapat dibayangkan, bahwa
masyarakat akan mengizinkan seseorang dengan sesuka hatinya membunuh
orang

lain

atau

seseorang

akan

dengan

sengaja

menghancurkan,

menghilangkan ataupun malahan mengambil barang berharga milik orang


146

Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan
Hasnan, Binacipta,Bandung, 1987, hlm. 22-23.

106

lain tanpa seizin pemilik barang itu. Jadi, peraturan pidana harus tetap ada.
Juga akan selalu terjadi pelanggaran peraturan itu tidak mungkin diserahkan
oleh negara kepada individu masing-masing.
Alf Ross juga termasuk golongan yang tidak setuju dengan aliran yang
bertujuan menghapuskan sanksi pidana. Menurut Alf Ross concept of
Punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:147
1. Punishment is aimed at inflicting suffering upon the person upon whom
it is imposed.
2. The punishment is an expression of disapproval of the action for which
it is imposed.
Herbert L Packer juga mengatakan : 148
a. The criminal Law Sanction is indispensable , we cauld not, now or in
the foresable future, without it ;
b. The criminal law sanction is the best available divice we have for
dealing with gross and immediate harms and threats of harm;
c. The criminal sanction is at prime guarantor and primethreatener of
human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used
indiscriminately and coercively, it is treatment.
a) Pendekatan Integral Antara Kebijakan Penal dan Non-Penal
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan
menggunakan sarana-sarana yang non-penal.

147
148

Ibid., hlm. 21.


Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press, California,
1968, hlm. 244-268.

107

Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial


dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat;
penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama
dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja;
kegiatan patrol dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan
aparat keamanan lainnya dan sebagainya. 149
Usaha-usaha non-penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas
sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.Tujuan utama dari usaha-usaha nonpenal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Namun, secara
tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan
demikian, dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif
yang non-penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis,
memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
Kegagalan dalam menggarap posisi ini justru akan berakibat sangat
fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.Oleh karena itu, suatu kebijakan
kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh
kegiatan preventif yang non-penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan Negara
yang teratur dan terpadu.
Sehubungan dengan ini Radzinowics, menyatakan :criminal policy
must combine the various preventive activities and adjust them so as to form

149

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung,
2010, hlm. 159.

108

a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an


organized sistem of activity.150
Dengan demikian, masalah utamanya adalah mengintegrasikan dan
mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non-penal dan penal itu ke arah
penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh suburnya
kejahatan. Dengan pendekatan kebijakan yang integral inilah diharapkan
social defence panning benar-benar dapat berhasil. Dan dengan demikian,
diharapkan pula tercapainya hakikat tujuan kebijakan sosial yang tertuang
dalam rencana pembangunan nasional yaitu kualitas lingkungan hidup yang
sehat dan bermakna. 151
b) Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai dalam Penggunaan
Hukum Pidana
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan
sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penuntutan:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar. 152
Penganalisian terhadap dua masalah sentral ini hemat kami dapat
dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian intrgral
dari kebijakan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas

150

151
152

Karl O. Christiansen, Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy.


Resource Material Series, No. 7, 1974, UNAFEI, Tokyo, hlm. 74.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 160.
Ibid.

109

harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan


sosial yang telah ditetapkan.153
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan
dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy orientad approach).154
Berdasar pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah
kiranya

Sudarto

berpendapat

bahwa

dalam

menghadapi

masalah

kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:155


1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini
maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan

dan

mengadakan

pengukuran

terhadap

tindakan

penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman


masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau
spirituil) atas warga masyarakat;

153

Sehubungan dengan hal ini, R. Cross & PA. Jones, An Introduction to Criminal Law, 1953.
Hlm. iii, berpendapat:
the criminal law may be used not only for the prevention of wrongs which are obviously
deserving of punishment, but also for the archievment of the policy of the government of the
day.
154
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
155
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1977, hlm. 44-48.

110

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya


dan hasil (cost-benefit principle);
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan
dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam faktor, termasuk:156
1. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya
dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai (the proportionality of
the means used in relationship to the outcome obtained);
2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang dicari (the cost analysis of the outcome in
relationship to the objectives sought);
3. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam
kaintannya dengan prioritas-prioritasi lainnya dalam pengalokasian
sumber-sumber tenaga manusia (the appraisal of the objectives sought
in the relationship to other priorities in the allocation of resources of
human power);
4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan
dengan (dipandang dari segi) pengaruh-pengaruhnya yang sekunder

156

M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Penerbit dan tempat tidak tercantum, 1978.
Hlm. 82.

111

(the social impact of criminalization and decriminalization in terms of


its secondary effects).
Selanjutnya, dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis
dan kuatitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktorfaktor yang subyektif, misalnya niali-nilai, ke dalam proses pembuatan
keputusan.157
Namun demikian, pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini
menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific
device dan digunakan sebagai alternative dari pendekatan yang secara
emosional diorientasikan pada pertimbangan nilai (the emosionally value
judgment approach) yang kebanyakan diikuti oleh badan-badan legislatif.
Dikemukakan pula bahwa perkembangan dan a policy oriented
approach ini lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk
pendekatan yang demikian. Masalahnya, antara lain terletak pada sumbersumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu.Kelambanan yang
demikian ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa
didasarkan pada pernilaian-pernilaian yang teruji dan tanpa suatu evaluasi
mengenai
timbulnya:

pengeruhnya
(a)

krisis

terhadap

keseluruhan

kelebihan

sistem,

kriminalisasi

mengakibatkan

(the

crisis

of

overcriminalization), dan (b) krisis pelampauan batas dari hukum pidana (the
crisis of overreach of the criminal law). Yang pertama mengenai banyaknya
157

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 162.

112

atau melimpahnya

jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang

dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan


dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang efektif. 158
Menurut G. P. Hoefnagels suatu politik kriminal harus rasional, kalau
tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the
responses to crime.159
Di samping itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan
kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan
secara emosional. 160
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang
seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan
konsekuensi

logis,

karena seperti dikatakan oleh Sudarto,

dalam

melaksanakan politik, orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan


dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.161 Ini berarti, suatu politik
kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan
suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. 162
Dengan demikian, memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai
sarana

untuk

menanggulangi

kejahatan

harus

benar-benar

telah

memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau


bekerjanya (hukum) pidana itu dalam kenyataannya. Jadi, diperlukan pula

158

159
160
161
162

Karl O. Christiansen, Op. Cit., Hlm. 75. Menyatakan: the characteristic of a rational
criminal policy is nothing more than the application of rational methods.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 163.
Ibid.
Sudarto, Op. Cit., Hlm. 161.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 164.

113

pendekatan yang fungsional; din inipun merupakan pendeketan yang melekat


(inherent) pada setiap kebijakan yang rasional. 163
Telah pula dilakukan di atas bahwa menurut Seminar Kriminologi ke-3
tahun 1976, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu
sarana untuk social defence.164
Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat ini pun membawa
konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh J.
Andenaes sebagai berikut :165
apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan
masyarakat/social
defence,
maka
tugas
selanjutnya
adalah
mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus
dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum
penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan
pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan
efektivitas dari bermacam-macam sanksi.
Dari apa yang dikemukakan J. Andenaes di atas jelas terlihat bahwa
pendekatan kebijakan yang rasional berkaitan erat pula dengan pendekatan
ekonomis dalam penggunaan sanksi pidana. 166
Pendekatan ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk
mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat
dengan

hasil

yang

ingin

dicapai;

akan

tetapi

juga

dalam

arti

mempertimbangkan efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri. 167

163
164

165

166
167

Ibid.
Summary Report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh
UNAFEI di Tokyo th. 1973.
J. Andenaes, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press, 1974. Hlm. 162163.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 165.
Ibid.

114

Sehubungan dengan ini, Ted Honderich berpendapat bahwa suatu


pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis apabila dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:168
1.

Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

2.

Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih


berbahaya/merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu
tidak dikenakan;

3.

Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang

berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum
pidana. 169
Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada
umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung
nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.
Kepentingan-kepentingan sosial menurut Bassiouni ialah: 170
1.

Pemeliharaan ketertiban masyarakat;

2.

Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

3.

168
169
170

Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

Ted Hoderich, Punishment, 1971, hlm. 59.


Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
Cherif Bassiouni, Op. Cit., hlm. 78.

115

4.

Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan


dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan
keadilan individu.
Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi pidana harus disepadankan

dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingankepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang
berguna bagi masyarakat; suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat
dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, batas-batas sanksi
pidana ditetapkan pula berdasar kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai
yang mewujudkannya. Berdasar pandangan yang demikian, maka menurut
Bassiouni disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga suatu
disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai.
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bassiouni,
dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga
pendekatan yang berorientasi pada nilai. Hanya, menurut hemat kami, antara
pendekatan-kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan
terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan-kebijakan
sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Kebijakan
kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih bagi
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangun
nasionalnya bertujuan membentuk Manusia Indonesia Seutuhnya. Apabila
pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka

116

pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya
karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan
(human problem), tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri
mengandung unsur nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. 171
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya
berarti bahwa pidana yang dikenakan pada si pelanggar harus sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang beradab; tetapi juga harus dapat membangkitkan
kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan
hidup bermasyarakat.172
Sehubungan dengan hal terakhir ini, patut kiranya dikemukakan
konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence (the penal policy of
social defence) menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi
pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini perlu dikemukakan, karena
istilah perlindungan masyarakat atau social defence yang dikaitkan
dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering digunakan di
Indonesia seperti yang terlihat misalnya pada Seminar Kriminologi ke-3
tahun 1976 dan Simposium Pembaruan Hukkum Pidana Nasional pada tahun
1980 di Semarang. Menurut Marc Ancel, pertanggungjawaban yang
didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang
utama dari proses penyesuaian-sosial (the main driving force of the process of
social readaption). Diakui olehnya bahwa masalah determinisme dan
indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar ruang
171
172

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 167.


Ibid.

117

lingkup kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi, ditegaskan bahwa
kebijakan pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan
individu. Tujuan utama dari setiap perlakuan re adaptasi-sosial harus
diarahkan pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu,
masalah pertanggungjawaban seharusnya tidak boleh diabaikan, malahan
justru harus diperkenalkan kembali sebagai sautu pertanggungjawaban
pribadi. Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada
konsepsi pertanggungjawaban pribadi. Pertanggungjawaban yang dimaksud
oleh Marc Ancell berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya
sebagai pertanggungjawaban moral secara murni (the purely moral
responsibility), dan berbeda pula dengan pandangan positivist yang
mengartikannya sebagai pertanggungjawaban menurut

hukum atau

pertanggungjawaban objektif (legal or objective view of responsibility).


Pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) menurut Marc Ancel
menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh
karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab/kewajiban sosial
terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk
menyadari

moralitas

sosial.

Pengertian

yang

demikian

merupakan

konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai


gejala kemanusiaan (human phenomenon) yaitu kejahatan merupakan suatu
manifestasi dari kepribadian si pelaku.173

173

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, 1982, hlm. 27.

118

Perlu kiranya dikemukakan bahwa pendekatan humanistis yang


bertolak dari konsepsi kejahatan sebagai a personal disease atau a human
or individually pathological phenomenon harus pula diseimbangkan dengan
pendekatan humanistis yang bertolak dari konsepsi kejahatan sebagai a
socially disease atau sebagai a socially pathological phenomenon.174

D. Pembaruan Hukum Pidana


Pembaruan hukum pidana merupakan permasalahan serius yang
dihadapi bangsa Indonesia, terutama dalam mengupayakan terbentuknya
hukum pidana nasional yang sesuai dengan tatanan nilai masyarakat
Indonesia dan perkembangan zaman. Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang
bersumber dari hukum nasional Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada
praktiknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
KUHP yang merupakan warisan Undang-Undang Hukum Pidana Kerajaan
Belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSvNI)
diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Soedarto
menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa
Belanda.175 Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin
maupun Orde Baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk
pula hatzaai artikelen (Pasal -Pasal penyebar kebencian) terhadap pimpinan

174

175

Norval Morris & Donald Buckle, The Humanitarian Theory of Punishment A Reply to c.x.
levis, dalam buku Stanley E. Grupp, Op. Cit.,hlm. 309-316.
Sudarto, Satu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 1974, hlm. 3.

119

politik, pejabat atau golongan etnis. Pengaturan dalam hukum pidana


merupakan pencerminan dari ideology politik suatu bangsa di mana hukum
itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh
bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan
konsisten. Kenyataan-kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk
melakukan pembaruan hukum pidana (Penal reform) di Indonesia. Kebutuhan
untuk melakukan pembaruan hukum pidana juga sejalan dengan hasil kongres
PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku
kejahatan (The Preventrion of Crimeand the Treatment of Offenders). Dalam
kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di
berbagai Negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman colonial
yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolute and unjustice) serta
ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and
unreal), karena tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsive terhadap
kebutuhan sosial masa kini. Oleh karena itu, dalam menentukan urutan
prioritas pembaruan hukum nasional tidak ada pilihan lain yang harus
didahulukan adalah pembaruan hukum pidana. Hal tersebut disebabkan
karena cabang hukum pidana merupakan alat untuk melindungi masyarakat
dari kejahatan yang timbul dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.
1. Alasan Pembaruan Hukum Pidana
Dari berbagai pendapat para ahli hukum pidana tentang perlu
dilakukannya pembaruan hukum pidana di Indonesia sekurang-kurangnya

120

dilandasi oleh tiga alasan, yaitu alasan politik, alasan sosiologis, dan alasan
praktis (kebutuhan dalam praktik).176 Dipandang dari sudut politik, KUHP
yang berlaku dewasa ini berasal dari masa penjajahan Hindia Belanda. Ia
diciptakan untuk suatu masyarakat kolonial, dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan kebutuhan pada masanya. KUHP yang
setelah kemerdekaan diganti namanya dari Wetboek van Strafrecht(WvS)
menjadi Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), naskah resminya hingga
kini masih berbahasa Belanda, sedangkan isinya mengikuti Wetboek van
Strafrecht Voor Nederlands (WvSvNI) tahun 1886 sebagai akibat asas
konkordasi, meskipun di sana sini ada penyesuaian dengan keadaan serta
kebutuhan spesifik daerah jajahan. Oleh karena itu, Negara Indonesia yang
sudah merdeka wajar memiliki KUHP yang diciptakan sendiri. KUHP ciptaan
sendiri dapat dipandang sebagai simbol serta merupakan suatu kebanggaan
dari suatu Negara yang telah merdeka. KUHP dari suatu Negara yang
dipaksakan untuk diterapkan di suatu Negara, bisa dipandang sebagai simbol
dari penjajahan oleh Negara yang membuat KUHP tersebut.
Berbagai ketentuan yang mewujudkan politik hukum pidana pada masa
lampau, atau yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat pada masa seabad
yang lalu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, kiranya patut
dipertanyakan tentang keserasiannya dengan kebutuhan masyarakat pada
masa kini. Sejalan dengan adanya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat.
Sejalan dengan adanya perubahan nilai-nilai mungkin pula terjadi perubahan

176

Sudarto, Hukum dan Perkembangan, Op. Cit., 1983, hlm. 66.

121

dalam hal yang tadinya perbuatan terlarang, dalam perkembangan selanjutnya


merupakan perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum, begitu juga
sebaliknya. Oleh karena itu, sukar untuk mempertahankan terus-menerus
KUHP dari masa lampau untuk masa kini dan masa yang akan datang. Atas
dasar alasan itu pula kini sudah waktunya bagi Negara Indonesia untuk
memiliki KUHP nasional sebagaimana dicita-citakan seluruhnya masyarakat
Indonesia, khususnya para tokoh hukum pidana yang telah merintis sejak
dahulu. Alasan ke dua, adalah dari sudut sosiologis. Sebagaimana telah
diungkapkan

bahwa

pengaturan

dalam

hukum

pidana

merupakan

pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa di mana hukum itu


berkembang. Mengandung arti bahwa nilai-nilai sosial dan kebudayaan suatu
bangsa mendapat tempat dalam pengaturan hukum pidana. Ukuran untuk
mengkriminalisasikan suatu perbuatan tergantung dari nilai-nilai dan
pandangan kolektif yang terdapat di dalam masyarakat tentang apa yang baik,
yang benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Dengan demikian, pandangan
masyarakat tentang kesusilaan dan agama sangat berpengaruh dalam
pembentukan hukum, khususnya hukum pidana. Selain masalah kriminalisasi
dari perbuatan tertentu, tidak kalah pentingnya pandangan masyarakat
menyangkut pula masalah pertanggungjawaban pidana dari pembuat, serta
masalah pidananya sendiri. Kesimpulan yang diungkapkan oleh Van
Vallenhopen, Terhaar dan Idema menyangkut persoalan ini menyatakan,
bahwa KUHP yang ada sudah tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Secara
tegas bahwa ada perbuatan-perbuatan yang menurut ukuran bangsa Indonesia

122

harus diancam pidana, namun dalam KUHP tidak dipidana, begitu pula
sebaliknya.Alasan ke tiga, merupakan alasan yang dipandang dari sudut
praktik sehari-hari. Tidak banyak orang menyadari sekarang ini, bahwa teks
resmi KUHP yang dimiliki adalah tetap teks resmi yang ditulis berbahasa
Belanda. Teks yang tercantum dalam KUHP baik yang ditulis oleh
Moeljatno, R. Susilo, terjemahan bersifat partikelis dan bukan terjemahan
resmi yang disahkan oleh suatu undang-undang. Oleh karena itu, wajar
apabila

terdapat

perbedaan

pengguna

istilah

pada

pengertian-

pengertian/ketentuan-ketentuan tertentu, sesuai dengan pemahaman/persepsi


para penerjemah. Hal tersebut sudah barang tentu ada perbedaan dengan
maksud yang sesungguhnya dalam pengertian bahasa Belanda. Oleh karena
itu, apabila ingin menerapkan KUHP secara tepat sesungguhnya harus
mengerti betul bahasa Belanda. Namun, rasanya akan menimbulkan kesulitan
bagi bangsa yang sudah merdeka serta memiliki bahasa nasionalnya sendiri
untuk tetap terikat oleh bahasa bangsa lain yang nota bene bahasa bangsa
yang pernah menjajah. Atas dasar hal tersebut sangatlah tepat dan menjadi
alasan untuk segera memiliki KUHP nasional.
Selain tiga alasan sebagaimana diuraikan di atas, Muladi menambahkan
satu alasan yang didasarkan pada kajian komprehensif. Alasan ini tidak kalah
penting dari ketiga alasan tersebut yang menurut pendapatnya lebih
didasarkan pada kondisi masa lalu. Alasan dimaksud adalah alasan yang
bersifat adaptif, yaitu bahwa KUHP nasional di masa-masa yang akan datang
harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan-perkembangan baru.

123

Khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh


masyarakat beradab. Sepanjang berkaitan dengan alasan sosiologis, hal
tersebut dapat mencakup baik yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
ideologis, hal tersebut dapat mencakup baik yang berkaitan dengan hal-hal
yang bersifat ideologis yang bersumber pada falsafah bangsa Pancasila,
maupu hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi
Indonesia, sepanjang hal-hal tersebut tetap dalam kerangka bagian budaya
bangsa (subculture) dan bukan merupakan bagian budaya bangsa (subculture)
dan bukan merupakan budaya tandingan (counter culture). Perkembangan
internasional dimaksud pada hakikatnya mencakup perkembangan dari
berbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern criminal
science), baik dalam kebijakan pidana, kriminologi maupun dalam bidang
hukum pidana.177
Dari aspek masalah pembangunan hukum nasional (BANGKUMNAS),
terdapat dua masalah besar sehingga perlunya dilakukan pembaruan hukum
pidana, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Masalah internal yang
utama antara lain, karena masih rendahnya kualitas penegak hukum serta
belum tutasnya pembangunan sistem hukum pidana nasional. Karena masalah
yang dihadapi dalam penegakan hukum bukan hanya masalah penegakan
hukum in congkrito (law enforcement), tetapi juga masalah penegakan
hukum in abstracto (law making and law reform). Adapun masalah

177

Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, Sabtu, 24 Februari 1990, hlm. 3.

124

eksternal, terutama dalam menghadapi perkembangan globalisasi yang multi


kompleks, baik di bidang IPTEK, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan,
ideologi, komunikasi, informasi dan lain sebagainya. Internasionalisasi
hukum pidana, globalisasi atau transnasionalisasi kejahatan, bahkan masalah
cyber crime terus berkembang. Hal itu merupakan tantangan tersendiri yang
seharusnya dikaji dalam kebijakan pembaruan hukum nasional.
Alasan-alasan lain pembaruan/rekontruksi hukum pidana Indonesia
dikemukakan pula oleh Barda Nawawi Arief, sebagai berikut :
1) Sebagai tuntutan atau amanat nasional, di mana salah satu tujuan
pendidikan tinggi adalah tugas pengembangan ilmu (science reform
and development) yang merupakan tugas nasional (national duty).
2) Merupakan bagian dari pembangunan nasional atau merupakan
bagian

dari

pembangunan

hukum

nasional

yang

sudah

diamanatkan, terutama setelah adanya era reformasi dan empat


kalik amandemen UUD 1945.
3) Sesuai dengan hakikat/fungsi ilmu hukum sebagai normative
maatschappij wetenshap. Yang harus diubah apabila kondisi
factual dan ide konsepsional atau ide dasarnya berubah, baik
kondisi nasional maupun global.
4) Dalam rangka mempersiapkan generasi baru hukum pidana
Indonesia, sebagai sistem hukum Indonesia era reformasi dan
digital atau mempersiapkan the lawyer of tomorrow (meminjam

125

istilah Nicholas J. Gervassis sewaktu mengomentari Human Right


in the Digital Age, Edited by Mathias Klang and Andrew
Murray).178

2. SasaranPembaruan Hukum Pidana


Melakukan pembaruan terhadap kodifikasi hukum pidana yang telah
berumur lebih dari 100 tahun bukanlah pekerjaan yang mudah. Nederlands
Wetboek van Strafrecht lahir berdasarkan Undang-Undang tanggal 2 Maret
1881 Stb. 35 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886 atas dasar UndangUndang pengesahan (invoeringswet) tanggal 15 April 1886 Stb. 64). KUHP
Belanda ini mempengaruhi hukum pidana Indonesia secara mendasar melalui
tiga jalur, yaitu; (a) melalui asas konkordinasi zaman Hindia Belanda; (b)
melalui doktrin hukum yang berkembang pada saat KUHP tersebut disusun
(Memorie van Toelichting/MvT); dan (c) melalui text book hukum pidana
yang ditulis oleh para sarjana hukum Belanda serta melalui kajian
yurisprudensi.
Di samping itu tak dapat dikesampingkan perkembangan dalam suasana
kemerdekaan

pasca

Undang-Undang

Nomor

Tahun

1946,

dan

perkembangan akibat harmonisasi dengan perkembangan internasional. Di


era reformasi criminal law reform mendapat misi baru, yaitu melakukan
demokratisasi hukum pidana, seperti promosi dan perlindungan HAM dan
sebagainya.

178

Idem., hlm. 3.

126

Sebagaimana telah diungkapkan pada uraian terdahulu, bahwa upaya


pembaruan hukum pidana yang dilakukan selama ini lebih bersifat parsial dan
tidak tuntas. Padahal ketahui bahwa objek dari pembaruan mencakup suatu
sistem atau bangunan hukum yang lebih besar dan fundamental. Program
Pembanguan Hukum Nasional yang merupakan tuntutan nasional, meliputi
pembangunan bidang substansi hukum, budaya hukum, serta struktur hukum.
Adapun ruang lingkup Pembaruan Sistem Hukum Pidana (sistem penegakan
hukum pidana), meliputi di dalamnya:
1. Substansi Hukum (sistem substansial), tercakup pembaruan bidang
hukum pidana materiil, hukum pidana formal, serta hukum pelaksanaan
pidana.
2. Budaya Hukum (sistem kultural), tercakup pembaruan bidang moral
perilaku, serta pendidikan hukum ilmu hukum pidana.
3. Struktur Hukum (sistem struktural), tercakup di dalamnya pembaruan
badan penyidik, badan penuntut, badan pengadilan, serta badan
pelaksana pidana.179
a. Pendekatan dalam Pembaruan Hukum Pidana
Dalam melakukan upaya pembaruan hukum pidana dari aspek substansi
hukum (legal substance), dilakukan dengan beberapa model pendekatan.
Pendekatan-pendekatan dimaksud antara lain:
1) Pendekatan Evolusioner, yaitu upaya pembaruan dilakukan melalui
pelbagai amandemen Pasal -Pasal yang ada di dalam KUHP, baik yang
179

Ibid., hlm. 4.

127

berupa kriminalisasi maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi


adanya Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Dalam Pasal
tersebut dinyatakan, bahwa :
Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang
tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik
Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi,
harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
Pasal tersebut dikategorikan sebagai Pasal penguji terhadap peraturan
hukum pidana yang ada, apakah masih sesuai dengan kondisi negara RI,
sehingga bisa diberlakukan atau sudah tidak sesuai lagi dengan negara RI,
sehingga tidak beralaku bagi negara RI. Sebagai contoh upaya amandemen
yang bersifat evolusioner, antara lain dapat dilihat dengan ditambahkannya
Pasal 156a KUHP Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965;
2) Pendekatan Semi-Global. Upaya pembaruan dengan pendekatan semiglobal, dilakukan bukan dengan mengubah atau menambah Pasal yang
ada dalam KUHP, melainkan dengan cara membuat undang-undang
khusus di luar KUHP, upaya pembaruan seperti itu antara lain dengan
munculnya pelbagai undang-undang tindak pidana khusus di luar
KUHP. Pendekatan Kompromi, dengan pengaturan suatu Bab baru
dalam KUHP sebagai akibat ratifikasi konvensi internasional yang
signifikan. Sebagai contoh penambahan Bab XXIX A KUHP Jo.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi
terhadap Konvesi-konvensi Montreal, Tokyo dan Konvesi The Haque
tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana
Penerbangan;

128

3) Pendekatan

Komplementer,

dengan

munculnya

hukum

pidana

administratif (administrative penal law) di mana sanksi hukum pidana


digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi. Upaya
pembaruan dengan pendekatan komplementer, antara lain dapat dilihat
dengan adanya Undang-Undang Pers, Undang-Undang tentang HAKI,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan sebagainya.
Sepanjang berkaitan dengan upaya pembaruan hukum pidana di
Indonesia, pendekatan yang dilakukan adalah bersifat menyeluruh dan bukan
bersifat amandemen dengan maksud untuk menggantikan undang-undang
warisan Belanda dengan Hukum Pidana Nasional Baru, sehingga pendekatan
yang dilakukan adalah pendekatan global (global approach), yang tidak
mungkin bisa dipahami secara sepotong-sepotong (fragmented) seperti yang
bersifat dalam polemik di masyarakat akhir-akhir ini.
Karakteristik pendekatan global ini tampak terutama dalam pengaturanpengaturan yang mendasar, baik yang berkaitan dengan asas-asas hukum
pidana (criminal law principles) sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP,
maupun dalam pengaturan 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana, yaitu
pengaturan tentang pelbagai perbuatan yang bersifat melawan hukum
(criminal responsibility) serta pengaturan-pengaturan tentang sanksi, baik
yang berupa pidana (punishment, straf) maupun tindakan (treatment,
maatregel).

129

l. Cara Pembaruan Hukum Pidana


Masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan seteleah perang dunia II
mengalami perkembangan di segala bidang, baik politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan.

Secara

sadar

diusahakan

pembaruan-pembaruan

untuk

meninngkatkan kualitas hidup masyarakat denga perencanaan pembangunan


nasional. Dalam kerangka perencanaan ini tidak boleh ditinggalkan suatu
perencanaan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan yang menyertai
pembangunan itu sendiri. Perencanaan pencegahan dan pengendalian
kejahatan (crime prevention and crime control) merupakan bagian integral
dari perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan dan pengendalian
kejahatan masuk dalam dalam politik kriminal yang harus dijalankan oleh
penguasa, termasuk pembentuk undang-undang/badan legislatif, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan aparat eksekusi/pelaksanaan pidana. Pembentuk
undang-undang harus dapat menghasilkan produk legislasi yang dapat
mensingkronkan fungsi-fungsi yang terlibat dalam politik kriminal. Dalam
pada itu harus pula disadari bahwa politik kriminal merupakan bagian dari
politik sosial.
Sebagaimana telah diterapkan dalam uraian terdahulu, KUHP yang
sekarang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan kesadaran hukum dalam
masyarakat yang berlandaskan pada Pancasila yang sekarang sedang dan akan
terus berkembang kearah modesnisasi. Juga adanya pluriformitas hukum yang
hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat hukum adat maupun
yang bersifat religious yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana.

130

Terjadinya perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan


fungsi masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung pula perubahan nilai, sikap
dan pola tingkah laku masyarakat. Perubahan nilai, sikap dan pola tingkah
laku

masyarakat,

juga

menyebabkan

adanya

perubahan pandangan

kriminologi terhadap sejumlah perbuatan tertentu dalam kehidupan dan


penghidupan masyarakat. Hal ini pula yang merupakan salah satu factor
pemikiran utama dalam usaha kea rah pembaruan hukum pidana. Atas dasar
hal tersebut, pembaruan hukum pidana di Indonesia dilakukkan dengan
beberapa cara, sebagai berikut:
1) Kriminalisasi, perubahan nilai menyebabkan sejumlah perbuatan yang
tadinya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut
pidana, ini merupakan delik baru yang bila dihadapkan kepada KUHP
yang ada sekarang (sebagai hukum pidana lama) sama sekali tidak
dapat dituntut, meskipun masyarakat pada umumnya memandang
sebagai perbuatan jahat (delik) yang patut dipidana. Secara singkat
dapat pula dikatakan bahwa kriminalisasi dimaksudkan sebagai proses
penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat
dipidana. Proses tersebut diakhiri dengan terbentuknya undang-undang
di mana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi yang berupa
pidana. 180
2) Dekriminalisasi,

yaitu

perubahan penelitian

terhadap

sejumlah

perbuatan yang diancam pidana menjadi perbuatan yang dipandang

180

Sudarto, Op. Cit.,hlm. 31-32.

131

sebagai bukan kejahatan yang perlu dipidana. Dekriminalisasi


mengandung arti suatu proses dihilangkan sama sekali sifat dapat
dipidanya

suatu

perbuatan.

Dekriminalisasi

dibedakan

dengan

Depenalisasi, yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang semula


diancam pidana, ancaman pidana ini dihilangkan akan tetapi masih
dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain, yaitu melalui
hukum perdata atau hukum administrasi. 181
3) Rekriminalisasi, perubahan penilaian terhadap sejumlah perbuatan yang
diancam pidana menjadi perbuatan yang dipandang sebagai bukan
kejahatan yang perlu dijadikan delik kembali. Sebagai contoh adanya
Undang-Undang Nomor 1 Prp Tahun 1971, maka persoalan cek kosong
diselesaikan menurut hukum perdata. Karena di dalamnya ada unsurunsur tindak pidana, maka perbuatan itu dituntut melalui Pasal 378
KUHP tentang Penipuan. Tetapi ternyata tidak sedikit orang yang
menjadi korban penarikan cek kosong, sehingga sebagian warga
masyarakat

mendukung

kriminalisasi

kembali

(rekriminalisasi)

terhadap penarikan cek kosong dengan jalan mengaturnya dalam suatu


peraturan hukum yang dapat memidana pelaku tersebut.
4) Mitigering, adalah mengubah ketentuan sanksi pidana yang berat
menjadi sanksi pidana yang lebih ringan, atau pengurangan beratnya
suatu sanksi dalam kategori sanksi yang sama, termasuk di dalamnya
dari sanksi pidana menjadi sanksi keperdataan atau sanksi administratif.

181

Ibid.

132

Mengenai ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara doktrinal


harus berpedoman pada hal-hal, sebagai berikut:
a) Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan over kriminalisasi
yang masuk kategori the misuse of criminal sanction;
b) Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
c) Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik aktual
maupun potensial;
d) Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan
prinsip ultimum remidium;
e) Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable;
f) Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik;
g) Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialiteit (mengakibatkan
bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali);
h) Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan
pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan
kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.
Sepanjang

menyangkut

dekriminalisasi,

disamping

pedoman

kriminalisasi tersebut yang secara terbalik bisa dimanfaatkan, kiranya perlu


diingat bahwa Pasal

V Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 yang

memberlakukan WvS di seluruh wilayah Indonesia juga memberikan ukuran


sebagai berikut : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian
sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI

133

sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap
seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
E. Sistem Peradilan Pidana
Setiap sistem mempunyai tujuan. Sistem ketatanegaraan, sistem
pembangunan nasional, sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan hukum
dan sebagianya juga mempunyai tujuan (dikenal dengan istilah visi dan misi).
Demikian pula dengan sistem hukum (termasuk sistem peradilan militer),
sehingga tepatlah dikatakan apabila sistem hukum merupakan suatu sistem
yang bertujuan (purposive sistem).182 Sistem hukum pidana identik dengan
sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub sistem hukum pidana
materil. Sub sistem hukum pidana formil dan sub sistem pelaksaaan
pidana. 183
Sistem peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum
yang berlaku di suatu negara, yang menurut Sunaryati Hartono, di Indonesia
penekanannya diletakkan pada hukum sebagai rangkaian kaidah, peraturan
dan tata aturan (proses dan prosedur).184 Ketiga komponen tersebut yakni
substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum inilah digerakkan oleh
sistem peradilan pidana untuk mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah
sosial. 185 Hulsman mengatakan bahwa sistem peradilan pidana itu merupakan
182

Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan: Perspektif Pembaruan Hukum dan
Perbandingan Beberapa Negara, Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro,2009,
hlm.9.
183
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekontruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Semarang : Penerbit Pustaka Magister, 2007, hlm.1.
184
Sunaryati Hartono,
185
Jan Remelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal -Pasal penting dari b Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam b Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm,5-6.

134

masalah sosial. 186 Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana. 187 Namun demikian kelembagaan substansial
harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. 188
Pengertian dan batasan sistem peradilan pidana terpadu menurut
Sukarton Marmosudjono adalah sebagai berikut: sistem peradilan pidana
terpadu yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan
dan pola penyelenggaraan peradilan pidana secara keseluruhan dan kesatuan
(administration

of

justice)

pelaksaaan

peradilan

dan

lembaga

pemasyarakatan. Integrated criminal justice sistem adalah suatu usaha untuk


mengintegrasikan semua komponen tersebut di atas sehingga peradilan dapat
berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.189 Keterpaduan dari sistem hukum
tersebut selayaknya dilakukan secara simultan, integral dan pararel. 190
Cakupan tugas dari sistem peradilan pidana ini memang luas karena
didalamnya termasuk (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b)
menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar
mereka

186

yang

pernah

melakukan

kejahatan

tidak

mengulangi

lagi

Muladi , Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Op.Cit.,hlm.1.


Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986,hlm.22.
188
Muladi, Kapita Selekta, Ssitem Peradilan Pidana, Op.Cit,hlm.4
189
Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Jakarta: Pustaka Kartini,
1989,hlm.30.
190
Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan HukumPidana,hlm.386.
187

135

perbuatannya. 191 Sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) memang


diharapkan dapat menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batasbatas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian
besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban
kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang
pengadilan dan diputuskan bersalah sehingga mendapat hukuman pidana.
Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan, semua komponen dalam
sistem ini diharapkan bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan
nama Integrated criminal justice sistem. Hal ini jelas karena menurut Hyman
Gross penanggulangan kejahatan sendiri mendapat tempat yang terpenting
diantara berbagai persoalan yang menjadi perhatian pemerintah di setiap
negara. 192 Sistem peradilan pidana (terpadu)193 bisa berdimensi internal
maupun bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian
ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal
lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial
yang lebih luas.Yang terakhir ini akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan sistem peradilan dalam pencapaian tujuannya, termasuk di sini

191

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku
Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994, hlm. 140
192
Hyman Gross, A Theory of Criminal, dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II,
New York : Columbia University, 1972, hlm. 54
193
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan,
Jakarta : Sinar Grafika, 1997, hlm. 43.Selanjutnya dikatakan bahwa penanganan suatu proses
pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakan dasar-dasar bagi
tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat serta saling mendukung satu sama lain. Oleh
karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan sebagai suatu integrated criminal
justice sistem (sistem peradilan pidana terpadu) yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan
persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan

136

budaya hukum kekuasaan dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi,


sosial, iptek, pendidikan dan sebagainya. 194 Karakter sistem peradilan yang
bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum,
yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai
tujuan yang sama. Dalam kerangka itu secara internal sistem peradilan harus
berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatannya
harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi
dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan
menciptakan

nilai

tertentu

(value

transformation),

keterkaitan

dan

ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka


pengendalian secara terpadu.195 Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem
pada dasarnya merupakan open sistem, suatu sistem yang di dalam geraknya
mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun jangka
panjang sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang
kehidupan manusia, maka Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan
selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)
dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi, serta sub sistem dari sistem peradilan
pidana itu sendiri (sub sistem of criminal justice).196

194

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta :
LP3ES, 1990, hlm 119. Dikatakan; Budaya hukum merupakan suatu konsep baru dimana
budaya hukum ini, mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-nilai
yang berkait dengan hukum dan proses hukum.
195
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan, Jakarta : Pusat Studi Peradilan
Pidana Indonesia, 2000, hlm. 6
196
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro,1995,hlm.vii.

137

La Patra mengatakan :197


Many different societal sistem have an impact on an individual before he
contact with the criminal justice sistem. He is born with certain mental and
physical abilities and particular tendencies that my be inherited. In the
course of his life he comes contact with various groups, such as the family,
wich play important roles in his life. Other societal sistem,economics,
educational, technological and political, among others have a substansial
influence on his life.
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses
penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan
perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif
maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada
dasarnya merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan
diwujudkan dalam penegekan hukum in concreto.198
Hukum

acara

pidana

merupakan

peraturan

yang

mengatur,

menyelenggarakan dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana


(materieel strafrecht) guna mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran
materil atau yang sesungguhnya. 199 Demikian pula Wolf Middendorf
menyatakan bahwa keseluruhan efektifitas peradilan pidana bergantung pada

197

La Patra, Analyzing the Criminal Justice Sistem, Toronto: Lexiton Books.D.C.Heath and
Company Lexiton, Massachusets, 1978,hlm.85. The economic sistem inflences the
income,health care,transportation,housing,job recreation,and other attributes of his life. The
education sistem mold his aptituted and mental endowments and shrapnes his skills and
earning potential. The technological sistem represents the states of the art, methods and
equipment used in conversion processes and mainly affects his life at work. The political sistem
allocates resources and establishes priorities through the formation of policies and law.
Indirectly the political sistem influences the evolution of societal norma and values.
198
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,Bandung : Alumni,
, 1992,hlm.197.Bandingkan dengan J.W. La Patra dalam Analyzing the Criminal Justice Sistem
,1978, yang mengatakan bahwa, ketidakberhasilan SPP menekan pertumbuhan dan
peningkatan kejahatan ini lah yang dilihat sebagai salah satu faktor timbulnya kritik yang keras
terhadap setiap unsur SPP. Dinyatakan oleh La Patra bahwa: every element of the criminal
justice (in America) has come under harsh criticism)
199
Liliek Muladi, Hukum Acara Pidana suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi
dan Putusan Peradilan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, , 1996,hlm.4.

138

tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik
(good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain
enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and
uniform sentencing).200
Berjalannya proses peradilan tersebut berhubungan erat dengan
substansi yang diadili, yaitu berupa perkara perdata atau perkara pidana.
Keterlibatan lembaga-lembaga dalam proses peradilan secara penuh hanya
terjadi pada saat mengadili perkara pidana. Dalam perkembangannya,
menjumpai

adanya

diferensiasi

dalam

forum

pengadilan,

sehingga

terbentuklah berbagai fora pengadilan, seperti pengadilan agama, pengadilan


militer, dan pengadilan tata usaha negara. Tidak ada struktur universal dalam
kelembagaan pengadilan ini, sehingga pada negara-negara di dunia dijumpai
fora pengadilan yang berbeda-beda.201

Dalam sistem peradilan pidana harus mencakup makna sinkronisasi.


Istilah sinkronisasi mengandung makna keserempakan dan keselarasan.
Sinkronisasi dalam hal ini sesuai dengan makna dan ruang lingkup dapat
bersifat fisik dalam arti sinkronisasi structural (structural syncronization),
dapat pula bersifat substansial (substancial synchronization) dan dapat pula
bersifat cultural (cultural sycronization). Dalam hal sinkronisasi struktural
keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi
peradilan (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar
200

Harold D. Hart. Ed. Punishment For and Against, New York : Hart Publishing Company Inc,
1971,hlm.22.
201
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit.,hlm.183.

139

lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka


keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam
kaitannya dengan hukum positip yang berlaku, sedangkan sinkronisasi
kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 202
Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu: keberhasilan
sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi
terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya
kejahatan; dan keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan
kesejahteraan sosial Indeks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM,
berorientasi tidak hanya kepada model rehabilitatif tetapi juga kepada model
restoratif.203
Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa diartikan
sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang berkaitan dengan
organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan peradilan.
Kedua, dalam arti administration of justice yang mencakup proses
penanganan perkara (caseflow management) dan prosedur serta praktek
litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power). 204
Administrasi keadilan tidak lain mengandung pengertian, bahwa

202

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit, hlm.2.


Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The
Habibie Center, 2002, hlm. 35
204
Muladi,Kapita ,Selekta Hukum Pidana, Op.Cit. hlm.36.
203

140

penerapan keadilan dalam masyarakat itu membutuhkan pengelolaan, tidak


dapat hanya diserahkan kepada masyarakat begitu saja. Diserahkan kepada
masyarakat

artinya

dipercayakan

kepada

masing-masing

anggota

masyarakat.205
Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan proses penegakan
hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab
yudisial yang mengandung tiga dimensi yaitu:
1. tanggung jawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan
organisasi, administrasi dan pengaturan finansial;
2. tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum
acara yang digunakan;
3. tanggung jawab substantif yang yang berhubungan dengan ketepatan
pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku. 206
Pada administrasi keadilan keadaannya cukup berbeda. Salah satu ciri
yang menonjol adalah bahwa pada administrasi ini badan-badan yang terlibat
cukup banyak dan oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang seksama
Masalah yang paling rumit adalah bagaimana mengorganisasikan badanbadan ke dalam satu satuan kerja, sedang masing-masing mempunyai
wewenang dan tugas yang berbeda-beda.207
205

Diaz,R.W.M.,Jurisprudence, London: Butterwoths,1967, hlm.88.


Muladi, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung jawab, Jakarta : The Habibie
Centre, 2002, hlm. 224. Tanggung jawab mengandung dimensi hal-hal yang yang harus
dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat responsif (peka terhadap
kebutuhan masyarakat),bersifat representatif (yang menuntut sikap jujur dan tidak
diskriminatif) dan bersifat ekonomis (kesadaran adanya pengawasan publik,khususnya
berkaitan dengan dana-dana masyarakat yang digunakan.
207
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum ,Op. Cit., hlm.185.Dikatakan perbedaan-perbedaan tersebut
belum berarti apa-apa, tetapi apabila diingat, bahwa semua badan itu mengurusi orang yang
206

141

Untuk mengemban fungsinya hukum membutuhkan peningkatan


kapasitas dalam bentuk pembangunan dan pembaruan. Pembangunan dan
pembaruan

dapat

berbentuk

rekontruksi,

intensifikasi

fungsi

dan

pengembangan fungsi. Rekontruksi dapat berbentuk penggantian, penataan,


pengelolaan dan pengembangan hukum. Penggantian hukum dilakukan
terhadap hukum yang telah kekurangan atau kehabisan daya dukungnya.
Penataan hukum dilakukan terhadap hukum yang berada dalam kondisi
miskoordinasi, berbatas substansi tidak jelas, atau yang bertumpang tindih
fungsi dan substansi. Pengelolaan hukum dilakukan terhadap hukum yang
daya dukungnya telah memadai dan pengembangan hukum dilakukan
terhadap hukum yang daya dukungnya telah baik berdasarkan kebutuhan
kondisi. 208
Dalam Laporan Komisi I Kongres PBB ke-6, 1980 dikatakan ; Often
lack of consistency between laws and reality was criminogenic; the farther
the law was removed from the feeling and the values shared by the
community, the greater was the lack of confidence and trust in the efficacy of
the legal sistem. (Acapkali, ketiadaan konsistensi antara undang-undang
dengan kenyataan merupakan faktor kriminogen; semakin jauh UU bergeser
dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, semakin besar
ketidak percayaan akan keefektifan sistem hukum itu).
Pada tataran stuktur politik pembangunan nasional diarahkan kepada

208

sama, yaitu tersangka, terdakwa atau terhukum, maka keadaannya bisa lain. Apabila misalnya
masing-masing badan tersebut memegang teguh birokrasinya, maka efisiensi dari
administrasinya bisa sangat terganggu.
Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putera, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,
2003,hlm.178.

142

melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan


dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas
sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem
peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh
masyarakat dan memastikan hukum dapat diterapkan secara adil dan
memihak. Pada tataran budaya hukum politik pembangunan hukum nasional
diarahkan kepada meningkatkan budaya hukum antara lain melalui
pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta
perilaku keteladanan kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan
menaati hukum serta penegakan supremasi hukum.
Pembangunan hukum nasional (BANGKUMNAS) jelas merupakan
masalah dan sekaligus tantangan yang juga harus dihadapi oleh dunia
pendidikan hukum pidana. Pembangunan hukum nasional menghadapi dua
masalah besar yaitu intern dan ekstern: 209
1. Masalah internal yang utama, masih rendahnya kualitas penegak hukum
(pidana) dan belum mantap dan tuntasnya pembaruan/pembangunan
sistem hukum nasional, khususnya sistem hukum pidana nasional
(SPHN). Masalah yang dihadapi dalam penegakan hukum, tidak hanya
masalah penegakan hukum in concreto (law enforcement) tetapi juga
masalah penegakan hukum in abstracto (law making dan law reform).
Sementara itu masalah yang dihadapi dalam pembangunan sistem hukum
pidana nasional tidak hanya masalah pembangunan/pembaruan substansi
209

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan/Rekontruksi Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Hukum


Pidana dalam Konteks Wawasan Nasional dan Global, Makalah Disajikan pada Seminar
Aspehupiki, Bandung, 17 Maret, 2008, hlm.2.

143

(criminal substance reform) dan struktur hukum pidana (criminal


structure reform) tetapi juga masalah budaya hukum pidananya, terutama
masalah pembaruan ilmu dan pendidikan hukum pidananya (criminal
science and education reform)
2. Masalah

eksternal,

menghadapi

perkembangan

globalisasi

yang

multikompleks (di bidang IPTEK, ekonomi, politik, hukum kebudayaan,


ideologi,

komunikasi,informasi

.Internasionalisasi

hukum

pidana,

globalisasi/transnasionalisasi kejahatan. Hal ini tentunya merupakan


tantangan tersendiri yang sepatutnya dikaji dalam kebijakan pembangunan
nasional dan pembangunan hukum nasional.
Upaya pembangunan hukum nasional adalah merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 .210
Untuk mencapai amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
memerlukan upaya segenap bangsa Indonesia untuk mewujudkan peran,
fungsi, dan tugas tiap-tiap komponen bangsa serta dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh.
Pertahanan negara merupakan salah satu upaya bangsa Indonesia
dalam mencapai tujuan nasional . 211 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal
30 menegaskan tugas TNI selaku alat negara adalah mempertahankan,
melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan bangsa, sedangkan
substansi kedudukan TNI diatur secara rinci dalam Undang-Undang tentang
210
211

Lihat PenjelasanUmum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer


Lihat Penjelasan Umum Undang-undang Negara Republik IndonesiaNomor 34 Tahun 2004
Tentang Tentara Nasional Indonesia.

144

Sistem Pertahanan Negara yang dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 3


Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang Nomor 34
Tahun 2004 Tentang TNI Kedudukan TNI ditempatkan sebagai komponen
utama dalam menghadapi ancaman militer didukung komponen cadangan dan
komponen pendukung. Sebagai kekuatan utama dalam sistem Pertahanan
Negara, Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang bertugas
mempertahankan, dan memelihara serta melindungi keutuhan dan kedaulatan
negara.212 TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan, dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara
yaitu kebijakan dan keputusan politik yang dilakukan oleh Pemerintah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan dirumuskan melalui mekanisme kerja
antara Pemerintah dan DPR, seperti Rapat Konsultasi dan Rapat Kerja sesuai
dengan perundang-undangan.213

F. Peradilan Pidana Anak di Beberapa Negara


1. Inggris
Di Inggris, instansi yang bertanggungjawab melakukan pencegahan dan
pemberantasan kejahatan adalah Home Office (Departemen Dalam Negeri)
dengan melibatkan Jawatan Kepolisian, Jawatan Kepenjaraan, Jawatan
Probation, Jawatan Urusan Anak-anak, Jawatan Kepolisian selain bertugas
mencegah dan memberantas kejahatan, juga bertugas sebagai penuntut
umum. Jawatan kepolisian bertugas menyelenggarakan dan mengurus
212
213

Ibid.
Doktrin Tentara Nasional Indonesia, Tri Dharma Eka Karma. Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/2/I/2007, 12 Januari, 2007, hlm.28.

145

lembaga Attendence Centre yaitu suatu lembaga latihan bagi para pemuda
atas perintah hakim sebagaisuatu tindakan dalam jangka waktu pendek.214
Jawatan kepenjaraan merupakan instansi yang disusun secara sentral dan
vertikal dalam Home Office selainmengurus penjara, baik untuk orang dewasa
maupun pemuda, juga menguruslembaga bagi anak-anak yang melanggar
hukum. Lembaga ini disebut Detention Centre dan Bostal, yaitu suatu tempat
yang merupakan pusat pembinaan Narapidana Anak.
Jawatan Probation pada mulanya mempunyai tugas membantu hakim
mengawasi pelanggar hukum yang menjalani percobaan dan mencari
keterangan bagi hakim mengenai terdakwa, pada akhirnya berdiri sendiri
sebagai jawatan karena meluasnya tugas/pekerjaan yang diembannya.
Tugasnya adalah: l. Mengawasi para pelanggar hukum yang khusus
dikenakan tindakan probation oleh hakim; 2. Mengawasi orang-orang yang
dilepas dengan perjanjian atau dibebaskan dengan perjanjian; 3. Membantu
pengadilan, baik pengadilan Magistrate maupun pengadilan Juvenile mencari
keterangan-keterangan mengenai terdakwa, yang diperlukan untuk memutus
perkara; 4. Mengurus lembaga-lembaga Probation Home dan Probation
Hostel; yaitu tempat latihan anak-anak atau tempat tinggal pemuda-pemuda
yang dikenakan tindakan probation jika dikenakan syarat harus tinggal dalam
lembaga tersebut tetapi bersekolah atau bekerja di luar.
Jawatan urusan anak-anak pusat (terdapat dalam Home Office)
menentukan kebijaksanaan umum tetapi Jawatan Daerah menentukan
214

R. A. Koesnoen, Peradilan Anakdi Negara-Negara Maju,Lokakarya tentang Peradilan


Anak,Binacipta dan BPHN, Jakarta, 1979, hlm. 94.

146

kebijaksanaan sehari-hari, 215 baik personalianya maupun pembiayaannya.


Jawatan Urusan Anak-anak di daerah mengurus Anak Nakal dan terlantar
serta menampungnya dalam lembaga yang diurusnya seperti: Nursery, Foster
Home, Children Home, Children Hostel, Approved School. Untuk
menentukan tempat Anak Nakal atau anak terlantar adalah Badan Urusan
Anak dari Pemerintah Daerah yang mempunyai kekuasaan seperti pengadilan.
Selain menampung Anak Nakal dan terlantar, Jawatan Urusan Anak juga
menerima anak pelanggar hukum dan diputus oleh hakim (biasanya masuk
Approved School). Suatu lembaga disediakan khusus untuk menahan anak,
baik yang diajukan ke pengadilan maupun yang sudah diputus dan menunggu
pengirimannya ke lembaga latihan atau pendidikan (Remand Home), menjadi
tanggungjawab Jawatan Urusan Anak-anak. Personal personal untuk
mendukung tugas-tugas tersebut diperlukan: a. pegawai yang mengurus anakanak; b. Polisi khusus anak-anak untuk membantu pegawai pengurus anakanak: c. inspektur, pengawas jalannya pekerjaan mengurus anak-anak
sekaligus sebagai penasihat dan petunjuk dari pegawai pengurus anak-anak.
Di Inggris Peradilan Juvenile adalah Pengadilan Anak-anak yang
mengadili Anak Nakal dan terlantar. Pengadilan Juvenile berupa Mahkamah
dengan seorang hakim ketua, dua orang hakim anggota di mana salah seorang
wanita. Para hakim Juvenile berasal dari Pengadilan Magistrate.
Pelaku pelanggaran hukum dibedakan usianya: yang berumur 17 (tujuh
belas) tahun ke atas tuntutan dilakukan di muka Pengadilan Magistrate dan

215

Idem., hlm. 95.

147

penahanannya dapat dilakukan di kantor polisi, penjara lokal atau Remand


Centre jika masih berusia antara 17 (tujuh belas) tahun sampai dengan 2l (dua
puluh satu) tahun. Tugas polisi di samping menuntut juga memberi
keterangan mengenai pelanggaran yang pernah dibuat berdasarkan dokumen
pelanggaran hukum yang teliti dan lengkap. Jika hakim merasa belum puas
dengan semua keterangan, baik yang diperoleh dalam pemeriksaan atau
berdasarkan keterangan terdakwa, makadapat memerintahkan pegawai
probation mencari keterangan secara langsung.
Hakim dapat memberikan kesempatan mengadakan penyelidikan dan
pemeriksaan dan

memerintahkan penahanan

lebih

lanjut.

Biasanya

keterangan-keterangan ini diminta jika terdakwa dalam pemeriksaan pertama


sudah nyata bersalah, dalam hal ini hakim dapat memutuskan sesuai dengan
keadaan terdakwa yang bersangkutan.
a. Pengadilan Magistrate
Putusan Pengadilan Mugistrate dapat berupa:
a) Pembebasan sama sekali; Hal ini diputuskan dengan pertimbangan
pelanggarannya dan keadaan si pelanggar hukum yang dianggap oleh
Hakim cukup diberikan teguran dan petuah saja. Walaupun terbukti
bersalah hanya dikenakan tindakan berupa pembebasan siuna sekali.
b) Pembebasan dengan perjanjian Terdakwa yang sudah terbukti bersalah
dibebaskan dengan perjanjian dalam waktu tidak lebih dari 12 (dua
belas) bulan. Dalam waktu tersebut pelanggar hukum harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan Hakim. Syarat-syarat umum biasanya

148

pelanggar hukum selama 12 (dua belas) bulan tidak boleh melanggar


hukum dan syarat khusus biasanya ditentukan macamnya, misalnya
tidak boleh melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Jika dalam masa
perjanjian tersebut pelanggar hukum dapat berhasil menyelesaikan
hukuman percobaannya, maka ia menjadi bebas. Tetapi jika ia
melanggar syarat-syarat tersebut maka diajukan lagi ke Pengadilan
untuk diputus mengenai pelanggarannya baik yang lama dan juga yang
baru.
c) Tindakan probation. Dalam hal ini Hakim beranggapan bahwa terhadap
pelanggaran hukum tidak perlu dimasukkan dalam penjara melainkan
cukup diawasi dalam kehidupannya sehari-hari, dibantu dan dibimbing
oleh pegawai probation untuk jangka waktu tertentu 1 (satu) tahun atau
3 (tiga) tahun. Tindakan probation ini bagi terdakwa yang berusia 14
(empat belas) tahun, terlebih dahulu harus diminta persetujuannya.216
Syarat pembebasan dengan perjanjian selama jangka waktu pengawasan
berlangsung harus memenuhi syarat umum dan khusus. Syarat khusus
ini dapat berupa: Pelanggar hukum harus tinggal dalam Probation
Hostel jika sudah bekeja atau masih sekolah. Pelanggar hukum harus
ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa selama 1 (satu) tahun. Perbedaannya
dengan poin 2 di atas adalah : 1) Jika dalam waktu pengawasan,
pelanggar hukum melanggar syarat umum atau khusus maka pegawai
probation membawanya ke dalam Pengadilan untuk diputus mengenai

216

Idem., hlm. 98.

149

pelanggarannya yang baru, sedang putusan yang lama tetap berlaku.


Putusan yang baru ini dapat berupa tindakan probation lagi, yang
berarti bahwa putusan lama bertambah jangka waktunya. Tetapi jika
putusan yang baru berupa pidana masuk ke suatu lembaga tertentu,
maka putusan lama hapus; 2) Karena khawatir akan melanggar hukum
kembali, maka pegawai probation dapat membawanya ke depan
pengadilan untuk mendapat putusan lain atau memperpanjang waktu
pengawasan yang telah diputuskan bersama.
d) Tindakan ganti rugi, hal ini lebih menitikberatkan pada segi
keperdataan. Di Inggris tindakan ini di samping dapat sebagai syarat
khusus dalam hal pembebasan dengan perjanjian, dapat pula dikenakan
sebagai putusan yang berdiri sendiri.
e) Pidana denda, dapat dibayarkan kepada negara secara anggur dalam
jangka waktu tertentu jika terhukum tidak sanggup membayarkannya
sekaligus. Pengadilan dapat mementahkan pegawai probution untuk
menarik angsuran untuk mencegah penunggakan angsuran.
f) Pidana pengiriman ke Rumah Sakit Jiwa selain dapat sebagai syarat
tindakan probation juga dapat sebagai tindakan berdiri sendiri: terutama
terhadap pelanggaran hukum yang disebabkan karena kelainan jiwa
sipelakunya. Dalam hal demikian, hakim harus mendapat keterangan
tertulis dan dokter jiwa. Putusan mengirim/ merawat pelanggar hukum
ke Rumah Sakit Jiwa paling lama jangka waktunya adalah 12 (dua

150

belas) bulan, tetapi pengeluarannya dari Rumah Sakit Jiwa tergantung


pendapat dokter yang merawatnya.
g) Pidana pencabutan kebebasan, dapat untuk sementara waktu atau untuk
selama hidup, hakim hanya memutus lamanya pidana, selanjutnya
mengenai pemeliharaannya dan penempatannya di penjara sentral atau
lokal. Pengadilan Magistrate hanya berwenang mengenakan pidana
penjara maksimum 6 (enam) bulan. Jika mengenai perkara yang
dipidananya lebih dan 6 (enam) bulan harus dikirim ke pengadilan
Quarter Session dengan sistem juri. Pengadilan Quarter Session yang
mempunyai wilayah hukum satu propinsi, mengadili perkara perdata
dan pidana baik yang baru atau yang tidak diadili oleh Pengadilan
Magistrate atau Pengadilan Juvenile.

b. Pengadilan Juvenile
Sejak tahun 1908 Pengadilan Juvenile di Inggris telah mengadili anakanak yang melanggar hukum, Anak Nakal. Anak terlantar atau anak di luar
penilikan orang tuanya. Hakim di sini harus majelis dengan paling sedikit
seorang ketua dan seorang anggota atau lebih, dengan ketentuan seorang
harus wanita. Ketentuan lain bahwa persidangan harus terpisah dengan
Pengadilan Magistrate, paling tidak kamarnya terpisah atau bergantian atau
harinya yang bergantian. Dalam praktik, satu kamar dipakai dengan
bergantian antara Pengadilan Magistrate dan Pengadilan Juvenile.217 Pada

217

Idem., hlm. 100.

151

pengadilan Juvenile dapat hadir: l) Pegawai Pengadilan, Polisi atau Dokter; 2)


Terdakwa, orang tua terdakwa, wali, wakil dari

lembaga, dan lain-lain;

3)Saksi; 4) Pejabat-pejabat probution danurusan anak-anak; 5) Wartawanwartawan surat kabar yang ditunjuk; 6) Pihak lainyang diijinkan Pengadilan.
Berkaitan dengan identitas anak tidak boleh disebut dalam surat kabar,
kecuali perlu menurut Home Office.
c. Proses Sidang
Sidang dilaksanakan secara sederhana, bagi anak yang pada saat
diajukan ke depan sidang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun diperbolehkan
memilih akan diadili oleh Pengadilan Juvenile atau di pengadilan dengan juri,
atau Pengadilan Juvenile yang mengirimkan ke Pengadilan dengan juri.
Tuduhan harus dengan kata-kata sederhana sesuai dengan usia dan daya
tangkap anak tersebut. Pengadilan berkewajiban membantu anak atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, kepada orang tua, saksi maupun
wali, demikian pula dengan pembelanya. Sebelum putusan dijatuhkan,
pemeriksaan yang memerlukan penahanan, penundaan penahanannya,
penundaan penahanannya tidak boleh lebih dari 8 (delapan) hari untuk tiap
kali penahanan. Jika terbukti ada kesalahan anak, maka penahanan dapat
dilakukan selama 3 (tiga) minggu. Maksud penahanan adalah agar pegawai
probution dapat mengadakan penyelidikan tentang tindakan yang akan
dikenakan. Penahanan ini berupa: l) Tahanan luar yang disertai jaminan
sejumlah uang; 2) Anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun dapat
ditahan dalam Reception Centre yang dekat dengan Pengadilan; 3) jika

152

sudahberumur 12 (dua belas) tahun sampai 17 (tutuh belas) tahun penahanan


padaRemand Home;4) Yang berusia l7 (tujuh belas) tahun sampai 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih dalam Remand Centre dapat pula diserahkan
pada orang baik-baik yang bertanggungjawab

pengawasannya. Menurut

peneliti jenis penahanan yang didasarkan pada umur anak ini, sebaiknya
diberlakukan di Indonesia.
Apabila dalam penahanan di atas tidak dapat dikendalikan maka anakanak dimasukkan sebagai tahanan di dalam penjara. Penahanan yang
dilakukan orang baik-baik tidak boleh lebih dari 28 (dua puluh delapan) hari
tiap kali. Putusan Pengadilan Juvenile dapat berupa: 1) Pembebasan sama
sekali disertai dengan petuah-petuah/nasihat-nasihat; 2) Pembebasan dengan
perjanjian; 3) Tindakan Probation; 4) Tindakan ganti rugi; 5) Pidana denda;
6) pengiriman ke Rumah Sakit Jiwa; 7) Pidana pencabutan kebebasan.
Mengenai jenis pidana dan tindakan ini, telah diatur dalam Rancangan KUHP
Nasional (Tahun 1999-2000). Pemberantasan kejahatan anak di Inggris sangat
diperhatikan, namun disadari bahwa memasukkan Narapidana Anak ke
penjara lokal tidak memberikemungkinan baik, oleh karena itu Narapidana
Anak di bawah 21 (dua puluh satu) tahun harus dipisahkan dari golongangolongan lain, apapun tindak pidana yang diperbuat. Pemisahan ini dilakukan
oleh Young Prisoners Centre, yaitu suatu bagian dari penjara yang digunakan
sebagai tempat tinggal anak dengan putusan hakim. Pemisahan ini
sedemikian rupa sehingga Narapidana Anak tidak mungkin bertemu dengan
yang dewasa. Jenis lain dari putusan/tindakan pengadilan Juvenile adalah

153

tindakan terhadap orang tua yang anaknya melakukan pelanggaran dengan


memerintahkan agar mendidik anaknya hingga berkelakuan baik. Berkaitan
dengan anak yang ditelantarkan, pengadilan dapat memerintahkan untuk
memelihara dan mendidik atau diserahkan kepada orang lain untuk
menghapus hak dan kekuasaan orang tua. Tetapi pihak ketiga yang mendapat
perintah dan penampungannya untuk jangka waktu tertentu mendapat hak dan
kekuasaan seperti orang tua, yang berlaku paling lama sampai anak berusia
18 (delapan belas) tahun, dan setiap saat dapat dihentikan atau dicabut.
Melalui putusan Hakim, anak yang melanggar hukum dapat diserahkan
kepada pemerintah (Country) dan jika pemerintah atas pertimbangan
kepentingan anak dapat menyerahkan kembali anak tersebut ke orang tuanya
tanpa melalui pengadilan. Sejak penangkapan, penahanan, pemeriksaan di
muka pengadilan dan setelah ada putusan hakim, perlakuan terhadap anak
sedapat mungkin memperhatikan kepentingan anak baik segi fisik, mental
maupun sosial.

2. Perancis
Di Perancis dikenal peradilan khusus untuk anak-anak yaitu Les
Juridictionaris pour enfants.218 Peradilan anak ini merupakan peradilan
khusus yang merupakan peradilan tersendiri di luar peradilan umun. Hakimhakim yang bertugas pada peradilan khusus untuk anak-anak, adalah hakimhakim yang sudah mengkhususkan diri yang dipilih dari hakim-hakim
218

Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat Dari Peradilan , Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. l9.

154

pengadilan negeri yang mempunyai minat serta kegemaran-kegemaran


khusus terhadap kaun remaja dan anak-anak. Mereka diangkat untuk masa
jabatan 3 (tiga) tahun menurut ketentuan yang ada, dan pengangkatan mereka
diperbaharui kalau sudah habis waktunya. Hakim ini didampingi oleh dua
orang yang bukan hakim (magistrat), yang dipilih dari anggota-anggota
masyarakat yang mempunyai pekerjaan/kegiatan sehari-hari di bidang
pembinaan remaja dan anak-anak; misalnya guru sekolah, pimpinan klub
pemuda, pimpinan klub olah raga dan dari lainnya. Dalam mengambil
keputusan Hakim mempertimbangkan pendapat/saran mereka. Perkara yang
dianggap ringan atau anak baru pertama kali melakukan suatu kejahatan
cukup disidangkan di ruang kerja hakim untuk menghindari tekanan
psikologis. Persidangan tersebut dengan hakim tunggal dan dihadiri oleh oleh
Jaksa, Panitera dan Penasihat Hukum. Sistem persidangan ini disebut
Chambre du Clounseil. Tugas Hakim Peradilan Khusus untuk anak terbagi
atas 3 (tiga) bagian yaitu: l. Dalam bidang kejahatan (la delinquence); adalah
menyidangkan perkara-perkara kejahatan yang telah terlanjur dilakukan oleh
anak-anak remaja. Keputusan yang diambil dalam hal ini adalah: a.
Mengembalikan kepada orang tuanya; b. Menempatkan di bawah pengawasan
orang lain (pengawas/wali); c. Bebas dibawah pengawasan; d. Hukuman yang
sama jenisnya dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap orang dewasa atau
dengan mengurangi separuh dari hukuman yang dijatuhkan terhadap orang
dewasa. 2. Dalam bidang usaha-usaha preventif (la prevention Jurisdiciaire);
Mengambil tindakan untuk mencegah hal-hal yang dianggap menjerumuskan

155

anak tersebut ke dalam tindak kejahatan. Tindakan yang dilakukan dapat


berupa pemisahan seorang anak dan pengawasan orang tuanya yang satu
(laki-laki), kepada orang tuanya yang lain (perempuan), yang dianggap lebih
mampu melakukan pengawasan yang baik. Menempatkan anak atau remaja
pada rumah yayasan khusus untuk penampungan anak dan remaja; atau
dengan mengawasi kegiatan anak atau remaja tersebut dan orang tua atau
asisten-asisten sosial (Assistans Sociaux) dari pengadilan. 3. Pengawasan
sikap-sikap dan perlakuan-perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya (la
tutelle aux prestations familiales at socials), Adalah pengawasan atas sikap
dan perlakuan orang tua terhadap anaknya, antara lain: Apakah terhadap anak
cukup diberikan kebutuhan-kebutuhan makanan sehari-hari yang bergizi,
kondisi kamar-kamar tidur yang memenuhi syarat kesehatan, dan kondisikondisi kesehatan yang baik dan sebagainya. Bidang pengawasan ini terutama
ditujukan terhadap penggunaan sumbangan negara untuk kepentingan anakanak (Allocateoius familial), dipergunakan oleh orang tua dengan baik atau
disalahgunakan.
Dalam menjalankan tugasnya Hakim selain dibantu oleh staf
kepaniteraanjuga dibantu oleh Assistants Sociaux, les deleques dan
educateurs (Petugas Sosial, wali-wali pengawas dan pembimbing sosial/
pendidik khusus). Educateursterutama bertugas untuk mengawasi para remaja
dan anak-anak yang perkaranya sudah diputus oleh pengadilan ataupun dalam
tindakan preventif, di samping itumereka juga berkewajiban untuk
memberikan sumbangan materiil kalau memang diperlukan, dan melakukan

156

pengawasan penggunaan sumbangan negara untuk kepentingan anak


(allocateurs) oleh pihak orang tua dan lain-lain.
Tugas Hakim Pengadilan Khusus untuk anak-anak, sebelum fase
persidangan dapat diambil tindakan-tindakan antara lain:
l.

Penahanan

sementara

(ditention

provisoire).

Perkara

berupa

pembunuhan atau perkara yang diancam dengan hukuman yang lama;


dan tindak pidana pencurian, penipuan, penggelapan dan sebagainya.
2.

Pengawasan atas terdakwa (controle judiciaire); Adalah suatu tindakan


pengawasan yang dilakukan terhadap terdakwa yang berdasarkan
pertimbangan tertentu tidak perlu ditahan, namun diawasi oleh hakim
atau petugas pengadilan yang menetapkan yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan. Tindakan Pengawasan ini dibedakan antara: a.
larangan, misalnya larangan untuk pergi ke suatu tempat tertentu;
larangan bertemu dengan orang tertentu; larangan mengunjungi rumah
tertentu dan sebagainya, pengawasan pelaku (terdakwa) diharuskan
melapor kepada polisi, panitera dan sebagainya. Dalam hal ini harus ada
yang memberikan jaminan. b. Tindakan untuk membantu pelaku/
terdakwa supaya berubah menjadi baik. Dalam bidang ini sebenarnya
bukan lagi bersifat pengawasan melainkan lebih condong membantu;
misalnya memasukkan terdakwa ke sekolah, merawat di rumah sakit
atau mencarikan pekerjaan kalau dianggap perlu. 219

219

Idem.,hlm. 63.

157

Berkaitan dengan hukuman dan sanksi yang dijatuhkan hakim


bervariasi, antara lain:
l. Perluasan hukuman atau sanksi (elargissement de la gamme des
sanctions); a. Hukuman percobaan yang dapat dibedakan atas: hukuman
percobaan biasa dan hukuman percobaan dengan ditentukan jangka
waktunya); b. Hukuman pengganti hukuman penjara. Hukuman
pengganti ini hanya berfungsi semata-mata sebagai pengganti saja,
dalam hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan. Hukuman
tersebut dapat berupa: larangan untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu, mencabut SIM, dan lain-lain; c. Dispensasi: juga merupakan
variasi dari hukuman, terdakwa tidak dijatuhi hukuman sama sekali
melainkan hanya diberi dispensasi. Hal ini terjadi dalam hal tindak
pidana yang tidak begitu berat, dengan pertimbangan jika di jatuhkan
hukuman, kemungkinannya akan lebih parah akibatnya bagi terdakwa;
2. Hukuman atau sanksi yang ringan (assouplissement des peines), juga
bervariasi seperti semiliberte (separuh bebas). Rasionya adalah agar
putusan pengadilan tersebut, jangan sampai merusak kehidupan dan
masa depan seseorang.220 Khususnya bagi remaja, pelajar atau
mahasiswa yang mempunyai kerwajiban tertentu (sekolah atau bekerja).
Hukuman separuh bebas ini artinya kepada terhukum dengan
pertimbangan tertentu diperkenankan untuk bekerja, pergi sekolah dan
lain-lain seperti biasa pada siang hari, dan kembali ke penjara pada

220

Ibid.

158

malam hari. Rumah penjara yang khusus untuk semi liberte ini pun
tidak sama dengan rumah penjara biasa, disebut dengan center the semi
liberte. Menurut peneliti hukuman atau sanksi separuh bebas (semi
liberte) ini sebaiknya diatur dan diberlakukan di Indonesia, demi masa
depan anak.
3. Peranan hakim dalam proses pemeriksaan pendahuluan; Dalam hal ini
polisi khusus (Police Judiciaire) begitu mengetahui adanya suatu
kejahatan di suatu tempat, adanya laporan bahwa telah terjadi
kejahatan, mereka langsung mendatangi tempat tersebut untuk
menyelidiki dan mengambil tindakan sementara yang diperlukan,
kemudian melaporkan ke Jaksa, dan selanjutnya menunggu tindakan
yang dilakukan. Dalam hal pelaku kejahatan tersebut adalah anak di
bawah umur 18 (delapan belas) tahun, maka Jaksa wajib segera
membuat surat penuntutan agar Hakim mengadakan pemeriksaan
pendahuluan

atasnya.221

Permintaan

agar

hakim

mengadakan

pemeriksaan pendahuluan atas suatu kejahatan anak, tidak hanya datang


dan pihak kejaksaan saja melainkan bisa terjadi dan pihak lain seperti:
saksi korban, wali, pengawas atau dari anak sendiri kalau ia sudah
mampu.
Setelah hakim menyatakan bahwa pemeriksaan pendahuluan telah
selesai, ada dua kemungkinan yang timbul, yaitu:

221

Idem., hlm. 96

159

1. Kalau ia berpendapat bahwa terhadap tersangka cukup alasan untuk


melakukan penuntutan maka ia mengirimkan/meneruskan berkas tadi
kepada Pengadilan untuk disidangkan (Ordonance de Renvoi).
2. Apabila hakim berpendapat bahwa tersangka tidak cukup alasan untuk
melakukan penuntutan, maka ia menyatakan dalam sebuah ordonansi
dan membebaskan tersangka (Ordonance de non lieu).

Hakim

mepunyai

hak

untuk

menentukan

seseorang

diajukan

kepersidangan atau tidak. Keputusan-keputusan hakim dalam penentuan


tersebut sebenarnya sudah merupakan proses pemeriksaan pendahuluan, yang
merupakan permulaan dan persidangan secara tidak langsung.

160

G. Diversi
Standar Internasional yang dimaksud dalam paper ini adalah United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ)
atau The Beijing Rules (Resolusi Majlis Umum PBB 40/33 tanggal 29
November 1985), dimana diversi diatur dalam rule 11.1 sampai dengan 4,
17.4 dan 18.1. Dalam hal ini dikutip beberapa prinsip diversi sebagaimana
tercantum dalam beberapa rule tersebut.
Selain itu, juga diuraikan prinsip-prinsip diversi sebagaimana tercantum
dalam General Comment No. 10 (tahun 2007) of the Committe on the Right of
the Child on Childrens rights in juvenile justice (Peraturan Umum No. 10
Tahun 2007 dari Komite Hak Anak mengenai hak-hak anak dalam peradilan
anak). Peraturan umum ini merupakan penafsiran resmi terhadap isu-isu
tertentu dalam Konvensi hak Anak yang dibuat oleh Komite Hak Anak telah
mempublikasikan dua belas General Comments, empat diantaranya memuat
referensi khusus tentang diversi dan program-program alternatif. Referensi
khusus tentang diversi dalam General Comment No. 10 (2007) antara lain
dalam paragraph 27.
1. Diversi Dalam SMRJJ
Standard

Minimum

Rules

for

the

Administration

of

Juvenile

Justicesebenarnya dikembangkan dari paper Mr. Dahn Batchelor yang


dipresentasikan pada United Nations Sixth Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders di Caracas, Venezuela, tahun
1980. Pembahasan mendalam selanjutnya dilakukan di Beijing, China

161

dan akhirnya disetujui dalam the United Nations Seventh Congress on


the Prevevtion of Crime and the Treatment of Offenders in Milan. Italy,
pada September 1985. Prinsip-prinsip diversi sebagaimana tercantum
dalam rule 11.1 sampai dengan 4, 17.4 dan 18.1. dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Prinsip perlunya melakukan usaha, apabila mungkin, untuk
mengenai anak/remaja yang melanggar hukum tanpa melalui
proses peradilan pidana formal.
b. Prinsip bahwa polisi, penuntut umum dan lembaga lain yang
berkaitan dengan penanganan kasus-kasus tersebut berdasarkan
Diskresi, sesuai dengan masing-masing sistem hukum dan sesuai
dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam beijing rules.
c. Prinsip bahwa diversi berupa pengiriman kembali anak pelanggar
hukum ketengah masyarakat dalam rangka melakukan pelayanan
masyarakat, harus mendapat persetujuan dari anak yang melanggar
hukum atau orang tua.
d. Prinsip bahwa untuk mempasilitasi diskresi pada kasus-kasus
pelanggaran hukum, perlu di tawarkan program-program seperti
pengawasan dan bimbingan sementara waktu, restitusi dan
kompnsasi kepada korban
e. Prinsip bahwa kekuasaan yang kompoten harus mempunyai
kewenangan

untuk

setiap

saat

tidak

pemeriksaan anak yang melanggar hukum

meneruskan

proses

162

f. Prinsip bahwa untuk menghindari institusionalisme.


2. Diversi dalam General Comment No. 10 (2007).
Paragrap 27 dari general comments no.10 (2007) menjabarkan bahwa
diversi adalah merupakan diskresi dari negara untuk menentukan bentuk
dan isi dan dari cara-cara menangani anak yang melanggar hukum
melalui aternatif lain tanpa membawa ke proses peradilan pidana formal.
Untuk tujuan ini negara harus melakukan langkah-langkah legislasi dan
langkah lain yang relevan guna mengimplementasikan diskresi tersebut.
didalam paragraf ini komite hak anak juga menjabarkan tentang
pengembangan cara-cara penanganan anak

yang melanggar hukum

melalui alternatif lain di luar pengadilan di kalangan negara-negara yang


meratifikasi konvensi hak anak. Alternatif lain ini berupa variasi dari
program-program berbasis masyarakat, misalnya pelayanan kepada
masyarakat, bimbingan dan pengawasan oleh pekerja sosial dan bentukbentuk keadilan restoratif seperti pemberian restitusi dan pembayaran
konpensasi kepada korban
Dengan merujuk kepada Pasal 40 konvensi hak anak

menjabarkan

prinsip-prinsip diversi sebagai berikut :


d.

Diversi harus digunakan hanya apabila terdapat bukti-bukti yang


kuat bahwa anak telah melanggar hukum dan anak tersebut bersedia
secara sukarela untuk memikul tanggung jawab atas perbuatannya,
artinya kesediaan bertanggung jawab dari anak tersebut didapatkan
bukan dari intimidasi atau paksaan. Pengakuan dari pelaku anak

163

tidak akan atau dapat digunakan sebagai bukti yang memperberat


dirinya dalam prosedur hukum yang akan datang .
e.

Anak harus memberikan persetujuan secra bebas dan sukarela dalam


perumusan diversi, dimana persetujuan ini diberikan setelah anak
diberikan informasi secara spesifik dan akurat tentang bentuk, isi
dan durasi dari alternatif program.

f.

Harus dirumuskan aturan hukum secara spesifik menentukan


tentang dalam hal apa saja diversi dimungkinkan untuk diterapkan,
kewenangan polisi, penuntut umum dan/ pihak lain dalam
memutuskan diversi, harus diatur secara baik dan harus direvisi
khususnya melindungi anak dari diskriminasi.

g.

Kepada pelaku anak harus diberi kesempatan untuk mendapatkan


bantuan hukum dalam konteks diversi khususnya dalam rangka
untuk menilai kelayakan diversi yang diberikan oleh otoritas yang
berkompeten.

h.

Pelaksanaan diversi secara lengkap oleh pelaku anak mengakibatkan


kasus tersebut ditutup secara pasti dan final. Catatan mengenai
diversi anak tidak dianggap sebagai: catatan kriminal pelaku anak
yang telah selesai menjalani alternatif program.

164

H. Restorative Justice
1. Variasi Penerapan Restorative Justice
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran
hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama
berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan
kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya
mengenai tindakan yang telah dilakukannya.
Pihak pelaku sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima
dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan
tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya pelaku
juga memaparkan tentang sebagaimana dirinya bertaggungjawab terhadap
korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak
pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebabsebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib
mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak
korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu,
juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil
masyarakat

tersebut

memberikan

gambaran

tentang

kerugian

yang

diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam

paparannya tersebut

masyarakat

mengharapkan agar

pelaku

melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali


keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.

165

Di Indonesia praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan


yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan.
Praktik yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat
atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari contoh atau pilot project
yang diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar
peradilan. Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar prinsip restorative
justice yang telah diakui di banyak negara yang mana dalam pelaksanaannya
kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara.
Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa,
Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokkan
dalam empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative justice
di beberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation, Conferencing/Family
Group Conferencing, Cirlcles dan Restorative Board/Youth Panels.
a) Victim Offender Mediation (selanjutnya disingkat VOM)
Proses restorative justice terbaru yang bertama adalah VOM. Program
VOM pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara
dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia. 222
VOM di negara bagian Pennylvania Amerika Serikat menjalankan
program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah
tanggung jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan

222

Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999). Conferencing, Circles, Board, and Mediations:
Restorative justice and Citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida:
University of Minnesota,hlm. 6.

166

sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam


hukuman mati. 223
Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama lima tahun dengan
kerangka pengertian dan pemahaman konsep restorative justice yang
memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog di mana korban
dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang
ditimbulkan berupa trauma dari kejahatan dan menerima jawaban dan
informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan
kesempatan bagi korban untuk mendengar dan memberikan kepada pelaku
sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan
mengungkapkan perasaannya tentang kejahatan dan konsekuensi yang harus
diterimanya.224
Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan usulan
korban dan kehendak korban. Peserta dari pihak korban harus berumur 18
tahun atau lebih. Peserta pihak pelaku harus dijelaskan dengan bantuan
lembaga psikolog. Mediator atau Fasilitator adalah kelompok sukarela yang
telah menjalani training intensif. Kebanyakan mediasi melibatkan comediator terhadap kasus-kasus yang membutuhkan persiapan banyak dan luas
sebelum menghadirkan kedua belah pihak bertemu dalam mediasi secara
lengsung. Dialog secara tidak langsung juga dimungkinkan sebagai pilihan
dalam program VOM.

223

224

Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim
Sensitive Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing Needs, Approaches, and
Implications. London: Office for Victims of Crime U.S. Department of Justice, hlm. 14.
Ibid.

167

VOM di negara bagian Texas Amerika Serikat dilaksanakan di lembaga


victim service (pelayanan korban) Texas. Tujuannya memberikan kesempatan
bagi korban kejahatan kekerasan bertemu secara langsung, aman, resmi dan
teratur dengan pelaku, memberikan perlindungan terhadap lingkungan tempat
tindak pidana. Selanjutnya upaya penyembuhan dan penghapusan kerusakan
yang terjadi akibat perbuatannya. Upaya penyembuhan dan menghilangkan
trauma yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif agak lama yaitu
menunggu pihak korban untuk bersedia melakukan perdamaian dan berniat
ikut serta dalam program restorative justice yang akan dilaksanakan. Pelaku
diundang untuk ikut berpartisipasi harus dengan sukarela. 225
Proses pertemuan berlangsung dengan lancar. Pertemuan langsung
secara nyata diyakini sebagai satu bagian penting sepanjang perhatian yang
terus-menerus

dari

titik

penyerahan,

persiapan

pertemuan,

sampai

pelaksanaan setelah selesai mediasi. Persiapan akan selesai dalam waktu lebih
kurang enam bulan dan bahkan lebih lama. Para peserta diumpamakan seperti
baterai yang terpasang seri dan dirancang dengan sistem protokol untuk
memfasilitasi kedatangan mereka kepada pegangan atas ketakutan dan
kegagalan dan membantu mereka menjalani proses penyembuhan dan
penghapusan.
Mediator bekerja sama dengan protokol dengan sangat teliti dan cermat
mempersiapkan proses pemanduan pertemuan antara korban dengan pelaku.
Mediator menaksir kesiapan korban dan pelaku untuk bermusyawarah dan
225

Mark S. Umbreit and Robert B. Coates. (1992). Victim Offender Mediation an Analysis of
Program in Four States of The US. U.S.: Center for restorative justice and Mediation. hlm. 3.

168

mempersiapkan secara rinci daftar nama pihak yang mengikuti pertemuan,


namun yang paling penting membiarkan pertemuan korban dan pelaku
mengalir dengan sendirinya tanpa arahan dan pembatasan. Banyak juga
mediator yang membayar jasa staf, walaupun presentase mediator sukarela
sudah dilatih dengan baik, harus lebih banyak disbanding yang pemula.
VOM dimulai sekitar tahun 1960 dan yang mana pada tahun 1970
dilaksanakan pada tingkatan lokal. Pada saat dilakukan di tingkat lokal itulah
banyak orang direkrut untuk menjadi mediator. Banyak juga yang ditangani
oleh Lawyer atau sarjana hukum sukarela dan belum melakukan pertemuan
tatap muka.226
Pada kasus perusakan barang oleh pelaku atau kasus yang didiversikan
dari sistem peradilan pidana atau yang dialihkan dari pemenjaraan. Kasus
yang masuk adalah hasil diversi dari hakim, lembaga pemasyarakatan,
pengacara korban, pengacara pelaku, penuntutdan polisi. Mediasi ini dapat
dilakukan atas diversi penuntut atau bahkan setelah jatuhnya putusan bersalah
atas pelaku. Mediasi juga dapat menjadi bagian dari proses di lembaga
pemasyarakatan jika korban menginginkannya.
Tujuan pelaksanaannya VOM adalah memberi penyelesaian terhadap
peristiwa yang terjadi, di antaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi
pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran
yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan

226

Ibid., Hlm. 123.

169

membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang


mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan.
Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan terhadap korban dengan
menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara
sukarela serta member kesempatan pada pelaku belajar terhadap akibat dari
perbuatannya dan mengambil tanggung jawab langsung atas perbuatannya itu
serta membuat rencana penyelesaian kerugian yang terjadi.
Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban (secara
sukarela), pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak, orang tua/wali
dari kedua pihak dan orang yang dianggap penting bila diperlukan. Serta
mediator yang dilatih khusus.227
Tata cara pelaksanaannya, tahapan awal dari VOM mediator melakukan
mediasi mempersiapkan korban dan pelaku bertemu. Persiapan awal mediasi
atau pramediasi minimal sekali pertemuan dalam tatap muka secara langsung
dan hal ini sangat membantu untuk tercapainya kesepakatan yang maksimal
pada mediasi sesungguhnya nanti.228 Dalam pertemuan pramediasi ini
mediator mendengarkan bagaimana peristiwa

tersebut

telah terjadi,

mengidentifikasi hal-hal yang penting untuk dibicarakan, mengundang


partisipasi mereka untuk hadir, menjelaskan proses acara victim offender
mediation sehingga meminimalkan kecemasan dan meningkatkan peran
mereka dalam dialog sehingga peran mediator tidak terlalu banyak lagi. Peran

227
228

Contoh kasus: dikutip Gordon Bazemore dan Mark Umbreit. Op. Cit.,hlm. 1.
Mark Umbreit and S. Stacy (1995). Family Group Conferencing Comes to the U.S.: A
Comparison With Victim Offender Mediation. U.S.: Juvenile and Famili Court Journal 1995,
47(2), hlm. 29-39.

170

dari

pramediasi

ini

sangat

menentukan

kesuksesan

mediasi

yang

sesungguhnya.
Pertemuan mediasi dimulai dengan korban menceritakan pengalaman
yang dialaminya akibat kejahatan yang dialaminya dan apa yang menjadi
kerugian fisik, emosional, dan materi pada dirinya. Pelaku menjelaskan apa
yang dilakukannya dan mengapa dia melakukannya, dan juga pelaku bersedia
memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh korban.
Pada saat korban dan pelaku sedang mengutarakan pembicaraan
masing-masing, mediator akan membantu mereka mempertimbangkan jalan
keluar dan pemecahannya. Di beberapa negara Eropa proses mediasi tidak
melibatkan pertemuan secara langsung antara pihak-pihak. Mediator
melaksanakan negosiasi dengan setiap pihak yang terkait dalam proses victim
offender mediation sampai dicapai persetujuan/kesepakatan termasuk ganti
rugi bila ada. Dengan demikian, sebuah pendekatan pemuasan dalam
beberapa prinsip restorative justice, namun tidak dengan melakukan
pertemuan secara langsung. 229
Di

negara

lain

khususnya

di

Amerika

Utara

VOM

dalam

pelaksanaannya meningkatkan keterlibatan pihak yang juga terkena pengaruh


dari suatu tindak pidana yang terjadi ataupun orang yang memiliki keinginan
yang sama dengan pihak-pihak yang berdialog. Pauld McCold dalam
tulisannya memaparkan victim offender mediation secara lebih detail lagi
tentang proses restorative justice. Mark Umbreit, Robert Coates dan Betty

229

Ibid., Hlm. 124.

171

Vos menguraikan bahwa dari sisi korban telah mendapatkan hasil yang lebih
baikketika seseorang melakukan restorative justice. Mereka mencotohkan
dalam pelbagai tempat dan budaya korban yang memilih berpartisipasi
merasa puas dengan proses yang dijalaninya dan hasil yang menjadi
persetujuannya. Elmar G.M. Weitekamp dalam tulisannya tentang perspektif
Eropa mengatakan victim offender mediation (atau di Jerman disebut
Offender Victim Mediation) punya sejarah panjang yang menjadi sarana
mempertemukan keinginan korban.
Victim offender mediation adalah satu proses yang menyediakan
kemauan korban sebagai pokok dari kejahatan dan kekerasan untuk bertemu
dengan pelaku, dalam suasana aman dan teratur dengan tujuan membuat
tanggug jawab langsung dari pelaku dengan adanya bentuk kompensasi
kepada

korban.

Dengan

bantuan dan dukungan

mediator,

korban

memberitahu pelaku tentang bagaimana kejahatan melukainya, untuk


menerima jawaban atau bertanya kepada pelaku, dan dilibatkan secara
langsung menyusun sebuah rencana ganti rugi kepada pelaku atas kehilangan
dan kerugian yang diterima korban. Pelaku dapat bertanggungjawab secara
langsung atas kelakuannya, belajar mendapat akibat atas apa yang
diperbuatnya dan untuk membangun rencana untuk membuat ganti rugi
kepada orang yang dilukai. Pada Victim offender reconciliation beberapa
program victim offender mediation disebut victim offender meeting, atau
victim offender dialogue.230

230

Ibid.

172

Beberapa program kasus yang dibuat dalam victim offender mediation


merupakan pelimpahan dari (diversi) putusan peradilan yang telah lengkap.
Dalam program lain victim offender mediation diambil setelah adanya
pengakuan bersalah diterima oleh pengadilan dengan mediasi sebagai kondisi
percobaan (jika korban setuju), kadang juga victim offender mediation
diambil setelah diversi dan tingkat setelah penjatuhan keputusan hakim.
Kebanyakan kasus kriminalitas anak, namun ada juga untuk kasus orang
dewasa. Pada semua tingkatan seperti hakim, jaksa, petugas LP, pengacara,
korban, jaksa, pembela, atau polisi dapat membuat keputusan diversi kepada
victim offender mediation.
Sekali pelaku dan korban memutuskan untuk melakukan mediasi,
secara khusus mediator akan menemui masing-masing pihak sekali atau lebih
sebelum acara yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mendengar cerita
masing-masing individu secara terpisah, mengundang partisipasi mereka dan
jika mereka mau untuk proses sharing dengan mereka, acara dengan bentuk
seperti apa yang diharapkan untuk membantu peserta mencapai harapannya,
untuk menyaring jika cocok individu mana yang tidak pantas ikut dalam
mediasi.
Sesi mediasi termasuk korban, pelaku, mediator, dan anggota keluarga
pihak korban atau pelaku. Survey national terbaru (USA) yang dilakukan
Umbreit and Greenwood pada tahun 1999, menemukan 92 % dari program
victim offender mediation yang disurvei, orang tua atau seseorang pendukung
selalu datang. Mediator bertugas menfasilitasi sebuah diskusi antara korban

173

dan pelaku sehingga pertanyaan mereka dan hal-hal yang berkenaan akan
disepakati. Jika muncul rencana (plan) ganti rugi, mediator sering akan
menulis secara terperinci dalam sebuah kontrak untuk peserta. Dalam
kebanyakan peradilan, mediator akan mengembalikan kontrak kepada
program, dan staf program akan mengirim fotocopy sumber referensi.
Victim offender mediation berbeda dengan tipe mediator yang lain.
Mediasi digunakan pada situasi konflik yang meningkat seperti perceraian
dan tahanan, perselisihan masyarakat, perselisihan bisnis, dan konflik di
pengadilan sipil lainnya. Dalam situasi tersebut para pihak disebut pendebat
dengan anggapan kuat mempunyai sumbangan baik terhadap kontrak yang
nantinya akan ditandatangani. Mediasi dengan keadaan seperti ini sering
dititikberatkan pada tercapainya sebuah pertanggungjawaban dengan sedikit
perhatian terhadap akibat dari konflik tersebut terhadap kehidupan/keadaan
para pihak yang ikut terlibat.
Dalam victim offender mediation para pihak yang ikut tidak menjadi
berdebat. Seseorang yang secara jelas melakukan sebuah kejahatan dan telah
mengakui perbuatannya sehingga korban merasa dihormati. Selanjutnya isu
bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender
mediation, juga tidak mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi
dan mengharap lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk
mengembalikan kerugiannya.

Kalau jenis

mediasi yang lain lebih

menitikberatkan pertanggungjawaban (settlement driver) tapi victim offender


mediation mendasarinya dengan dialog (dialogue driver) dengan perhatian

174

kepada

penyembuhan

korban

dan

pertanggungjawaban

pelaku

dan

mengembalikan kerugian. Hal tersebut didasarkan pada model dan cara bukan
menggunakan perintah langsung kepada seseorang (non directive humanistic
model). Menurut Mark Umbreit dalam penelitiannya tahun 2001, mediasi
adalah suatu proses yang memperhatikan pada terciptanya sebuah suasana
damai. Pengelolaan emosi yang baik oleh peserta, untuk korban dan pelaku
dapat berbicara langsung satu sama lain dengan intervensi minimal dari
mediator.
b) Family Group Conferencing (selanjutnya disingkat FGC)
Conferencing dikembangkan pertama kali di negara New Zealand pada
tahun 1989 dan di Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan
refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang
diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa Maori. Proses yang
dilakukan masyarakat bangsa Maori ini terkenal dengan sebutan wagga
wagga dan telah dipakai untuk menyelesaikan permasalahan dalam
masyarakat tradisional dan merupakan tradisi yang telah ada sejak lama.
Karena minat negara yang besar untuk mencari alternative bentuk
penyelesaian perkara, maka tradisi masyarakat ini diangkat ke permukaan
untuk diteliti dan dibuat pilot prodectnya bagi penyelesaian perkara pidana di
negara tersebut. Pada kesempatan berikutnya bentu penyelesaian secara
tradisional ini dapat diterima sebagai sebuah proses resmi di negara tersebut
dengan sebutan conferencing. Menurut terjemahan penulis conferencing
adalah konferensi, perundingan atau musyawarah. Dalam perkembangan

175

selanjutnya conferencing telah dibawa ke luar dari negara asalnya New


Zealand dan dipakai di banyak negara lain seperti, Australia, Asia, Afrika
Selatan, Amerika Utara dan Eropa. Conferencing tidak hanya melibatkan
korban utama (primary victim) dan pelaku utama (primary offender) tapi juga
korban sekunder (secondary victim) seperti anggota keluarga dan teman
korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena dampak
atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang terjadi dan juga
karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku utama. Mereka dapat
juga berpartisipasi dalam bentuk menyampaikan dan menjelaskan secara
persuasive hasil kesepakatan agar dapat dilaksanakan oleh kedua belah pihak
yakni korban dan pelaku.
Tujuannya mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan
member semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban,
melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban
bersama.
Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat
secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai
pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta
mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang
terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya
kepada orang lain serta member kesempatan pelaku bertanggung jawab penuh
atas perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku dapat bersamasama menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasi

176

berlangsung. Terakhir adalah memberikan kesempatan korban dan pelaku


untuk saling berhubungan dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat
yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap
korban.
Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah
anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari
korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap
permasalahan anak.
Tata cara pelaksanaan diawali dengan pihak mediator menghubungi
para peserta pertemuan yaitu, korban, pelaku, anggota masyarakat, serta
lembaga yang bersimpati melalui telepon. Tindakan ini untuk memastikan
kehadiran mereka dalam mediasi nantinya. Bila tidak memungkinkan melalui
telepon maka mediator harus bertemu langsung dengan pihak peserta
teresebut.
Pada acara mediasi yang sebenarnya, para anggota fasilitator dalam
conferencing bertugas mengatur pertemuan yaitu tempat dan waktunya dan
memastikan setiap peserta untuk dapat berpartisipasi penuh secara aktif dalam
acara, namun para fasilitator ini tidak dapat memutuskan secara sepihak atau
memaksakan keputusan yang sifatnya subtantif sebagai hasil dalam artian
hanya sebagai controlling dan facilitating jalannya conferencing. Beberapa
daftar isian (form) conferencing yang menjadi agenda dan berita acara ditulis
oleh fasilitator secara benar dengan maksud para peserta harus tetap
mengikuti sebuah pola ketentuan dan aturan yang baku dalam menjalankan

177

diskusi dalam conferencing. Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi ini
adalah korban, pelaku, pihak yang tersimpan terhadap kedua pihak, orang
tua/wali dari kedua pihak dan orang yang dianggap penting bila diperlukan
serta mediator yang dilatih khusus. Syarat utamaa bagi pelaku untuk dapat
ikut dalam pelaksanaan victim offender mediation adalah pengakuan
bersalahnya.
Ada jenis conferencing lain yang bekerja dalam panduan sebuah filosofi
umum yaitu mengizinkan conferencing untuk mengambil berbagai bentuk
dan tata cara prosesnya tergantung budaya setempat atau harapan dari para
peserta yang ikut. Sebagai sasaran dapat diwujudkan suatu sistem peradilan
pidana yang berpihak kepada semua masyarakat yang terlibat dengan
kejahatan tersebut.
Praktik diskusi dimulai oleh mediator sebagai penengah dengan
memberikan kesempatan kepada pelaku menjelaskan apa yang dia lakukan
dan bagaimana pendapatnya atas penderitaan orang lain akibat perbuatannya.
Pada kesempatan berikutnya adalah kesempatan korban menceritakan
pengalaman yang dialaminya dan dampak kerugian yang dialaminya akibat
perbuatan pelaku. Setelah pelaku dan korban berbicara, kesempatan
berikutnya adalah untuk para pendukung korban (victims supporters) yaitu
anggota keluarganya atau para teman akrabnya dapat berbicara dan setelah itu
kesempatan berbicara diberikan kepada keluarga pelaku dan para temannya
(offenders supporters). Kesempatan berbicara ini, baik oleh pihak pelaku
maupun pihak korban adalah dengan tujuan mencari dan menemukan kondisi

178

sebenarnya yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Pembicaraan


dilakukan dengan terbuka dan dalam suasana nyaman dan bersahabat bagi
anak seperti tanpa tekanan dari salah satu pihak. Mediator tetap memberikan
arahan dan bimbingan dalam mediasi terebut agar tetap dalam suasana
kondusif. Kesempatan diatur dalam waktu yang sama. Kemudian secara
bersama-sama kelompok memutuskan apa yang semestinya dilakukan para
pelaku untuk memperbaiki kerugian dan apakah yang perlu dilakukan oleh
para pihak pelaku dalam ikut menjadi pihak yang bertanggung jawab. Semua
usulan dari kelompok dicatat dan diagendakan oleh petugas pencatat mediator
untuk nantinya disimpulkan secara bersama-sama. Kesepakatan yang diambil
dicatat dan ditandatangani semua pihak yang ikut dan duplikat yang sama
(copy) dari kesepakatan itu dikirim kepada peradilan pidana pemerintah
secara resmi untuk dijadikan keputusan resmi.
c) Circles
Pelaksanaan circles pertama kali ser tahun 1992 di Yukon, Canada.
Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaannya
memperluas prinsip para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan
pelaku utama. Pihak keluarga dan pendukung dapat diikutsertakan sebagai
peserta peradilan pidana. Di samping itu, juga dalam pelaksanaan proses
circles ada beberapa anggota masyarakat sebagai pihak yang ikut serta.
Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang terkena dampak dari tindak
pidana yang terjadi sehingga merasa tertarik dengan kasus yang ada untuk

179

ambil bagian dalam proses mediasi, sehingga dalam circles, parties with a
stake in the offence didefinisikan secara lebih diperluas.
Tujuannya membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan
mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang
berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana.
Sasaran yang ingin dicapai melalui circles adalah terlaksananya
penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan member
kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya dengan tanggung
jawab penyelesaian kesepakatan. Masyarakat digugah untuk peduli terhadap
permasalahan anak yang ada di sernya dan mengawasi penyebab tindakan
yang dilakukan oleh anak.
Orang yang menjadi peserta dalam circles adalah, korban, pelaku,
lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Untuk kasus
yang serius dihadirkan juga hakim dan jaksa. Kehadiran aparat penegak
hukum tersebut untuk menjamin kelancaran pelaksanaan proses sesuai
dengan prinsip restorative justice dan bukan untuk mencampuri atau
melakukan intervensi pada proses yang sedang dijalankan.
Tata cara pelaksanaan circles pada awalnya diambil dari praktik
pelaksanaan yang ada di negara Canada dengan tetap menjaga kemurniannya.
Sebelum pelaksanaan circles yang sebenarnya, maka mediator melakukan
pertemuan secara terpisah dengan korban dan pelaku sebagai perioritas utama
kehadirannya untuk menjelaskan proses yang akan dilaksanakan dan apa yang
menjadi tujuannya. Dalam praktik pelaksanaan circles semua peserta duduk

180

secara melingkar. Caranya pelaku memulai dengan menjelaskan tentang


semua yang dilakukannya. Selanjutnya semua peserta yang duduk melingkar
diberikan kesempatan untuk berbicara. Diskusi berjalan dari peserta yang satu
ke peserta lainnya secara berkeliling dengan menyampaikan apa yang
menjadi

harapannya.

Diskusi

berlanjut

sampai

semua

yang

ingin

mengemukakan harapannya selesai. Akhir dari diskusi apabila tercapai


kesepakatan dan penyelesaian yaitu restitusi atau ganti rugi atau sanksi
lainnya atau bahkan tanpa sanksi tapi pemaaf pelaku oleh masyarakat dan
korban. Seseorang bertugas untuk menjaga jalannya proses circles (keeper of
the circles) melakukan tugasnya seperti hanya mediator dan fasilitator dalam
proses victim offender mediation dan conferencing. Tugas penjaga circles
mengamankan dan menjaga proses circles berjalan sesuai dengan harapan.
Ada seorang talking piece yaitu seorang pendamai yang dengan sopan dan
santun akan selalu mengatur jadwal peserta bicara dalam circles. Petugas
tersebut berjalan mengelilingi circles dan hanya orang yang diberikan izin
olehnya yang boleh menyampaikan harapannya. 231
d) Reparative Board/Youth Panel
Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada tahun
1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance setelah
melihat respon yang baik dari warga negara terhadap studi yang dibuat oleh
Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan masyarakat dalam
program reparatif tersebut dan sifat perbaikan yang menjadi dasarnya.

231

Allison Morris and Garbielle Maxwell, Op. Cit.,hlm. 9.

181

Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak


dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim,
jaksa dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tapat bagi
pelaku dan ganti rugi bagi korban dan masyarakat.
Sasarannya adalah peran serta aktif anggota masyarakat secara langsung
dalam proses peradilan tindak pidana, kemudian memberi kesempatan kepada
korban dan anggota masyarakat melakukan dialog secara langsung dengan
pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut pelaku melakukan
pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan yang telah dilakukannya.
Pesertanya yaitu, mediator yang mendapatkan pelatihan yang baik,
lembaga yang memperhatikan masalah anak, korban, pelaku, anggota
masyarakat dan untuk kasus yang serius menghadirkan hakim, jaksa dan
pengacara.
Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfasilitasi pertemuan ini
adalah orang-orang yang sudah diberi pendidikan khusus mediasi. Pertemuan
dilaksanakan secara tatap muka semua peserta dan dihadiri juga oleh pihak
pengadilan. Selama pertemuan para peserta berdiskusi dengan pelaku tentang
perbuatan negatifnya dan konsekuensi yang harus ditanggung. kemudian para
peserta merancang sebuah sanksi yang didiskusikan dengan pelaku dalam
jangka waktu tertentu untuk membuat perbaikan atas akibat tindak pidananya.
Setelah dirasakan cukup dan disepakati maka hasilnya dilaporkan kepada
pihak pengadilan untuk disahkan. Setelah itu maka keterlibatan board
terhadap pelaku berakhir.

BAB III
KEBIJAKAN FORMULASI DAN APLIKASI
PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA

A. Kebijakan Formulasi Peradilan Pidana Anak


1. Sistem Peradilan Pidana
Istilah Criminal Justice Sistem atau Sistem Peradilan Pidana (SPP)
menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah
sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga :
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan
tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah232 :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana.
232

Marjono Reksodipoetro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan


Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994. Hlm. 33

182

183

b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni
pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal
(Criminal Policy).
c. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial
(Social Policy).
Selanjutnya menurut Muladi233, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai
dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti
sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural
(cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan
dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana
dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal
sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik
vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang
berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono
mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice Sistem.
233

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Semarang : Badan Penerbit Universitas


Diponegoro,1995. Hlm 28

184

Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan


terdapat tiga kerugian yaitu :
a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap
instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi
maka

setiap

instansi

tidak

terlalu

memperhatikan

efektivitas

menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.


Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan
bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan
bagaimana Hakim menerapkannya. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1. Susbtansi.
Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981.
2. Struktur.
Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

185

3. Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan
kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan
Pidana.
Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas
memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula.
Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan
proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara
dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun
dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan
suatu open sistem, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya
akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)
dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem
Peradilan Pidana itu sendiri (subsistem of criminal justice sistem).

2. Manfaat Sistem Peradilan Pidana


Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekuen
dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain
dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
1.

Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu


yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan

186

sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminal secara terpadu


untuk penanggulangan kejahatan.
2.

Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu


dalam penanggulangan kejahatan.

3.

Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi


pemerintah dalam kebijakan sosial.

4.

Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun


masyarakat.

3. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana


Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana
dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi,
penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para
pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak
bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan
seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat
tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah
diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal
yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang
terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan
sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana.
Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-processoutput. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan
tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang

187

diambil

pihak

Kepolisian,

Kejaksaan,

Pengadilan

dan

Lembaga

Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.


Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat
yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila
salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan
mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem
itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.
4. Pendekatan Sistem Dalam Peradilan Pidana
Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan merupakan mekanisme
bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses enyelidikan dan
penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di
sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim, dan
petugas lembaga pemasyarakatan yang berrarti pula berprosesnya atau
bekerjanya hukum acara pidana. Usaha-usaha ini dilakukan, demi untuk
mencapai tujuan dari peradilan pidana.
Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut,
masing-masing petugas hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) meskipun tugasnya
berbeda-beda namun mereka selalu bekerja dalam satu kesatuan sistem secara
fungsional. Karena seperti yang diketahui bahwa penyelenggaraan peradilan
tersebut, adalah merupakan suatu sistem, yaitu keseluruhan terangkai yang
terdiri dari atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional.
Dalam hal ini, peradilan pidana dipandang sebagai suatu sistem. Karena
masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidangnya serta

188

peraturan yang berlaku. Walaupun dalam peradilan pidana itu harus dibangun
dari proses-proses sosial didalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana
dalam hal ini harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat ada sejumlah sistem dan subsistem yang dapat
mempengaruhi kehidupan manusia termasuk sistem peradilan pidana itu
sendiri. Dalam hal ini Jw LaPatra234 mengatakan:
Banyak sistem yang berada dalam bermasyarakat, yang mempunyai
suatu dampak pada perorangan sebelum ia mempunyai hubungan dengan
sistem peradilan pidana. Ia adalah pembawaan sejak lahir mental tertentu
adalah pisik kemampuan dan kecenderungan tertentu yang boleh menerima
warisan. Selama hidupnya ia datang dalam hubungan berbagai kelompok,
seperti keluarga. Peran penting yang mana dalam hidupnya yang lain sistem
ekonomi, teknologi politis dan bermasyarakat antar orang lain mempunyai
suatu substansial mempengaruhi pada hidupnya.
Menurut Lawrence Meir Fridman, bahwa sistem hukum itu harus
memenuhi: Struktut (stuccture), substansi (Subtance), dan Kultur Hukum
(Legal Culture) :
Pertama sistem hukum mempunyai stuktur, dalam hal ini sistem hukum
terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang
berbeda, dan bagian yang berubah tidak secepat bagian secepat bagian
tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan stuktur
sistem hukum, dengan kata lain adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang
234

J W LaPatra, Analizing The Criminal Justice Sistem, Lexington Books, Toronto, 1978, hlm 85.

189

tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan. Kedua, sistem hukum mempunyai substansi, yang dimaksud
dengan swustansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang
nyata dalam sistem hukum. Ketiga, sistem hukum mempunyai kultur (budaya
hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum,
didalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.
5. Masalah Pertimbangan Pidana dan Perlakuan Terhadap Anak dalam
Menjatuhkan Putusan Pidana di Pengadilan
Pemisahan sidang anak dan sidang yang mengadili perkara tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa memang mutlak adanya, karena
dengan dicampurnya peradilan anak dan dewasa tidak akan menjamin
terwujudnya kesejahteraan anak. Sejak adanya sangkaan atau diadakan
penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut,
anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang
anak dalam sidang.
Pembuatan laporan sosial yang dilakukan oleh social worker ini
merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah berjalan ialah
pembuatan Case Study oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan
dan Pengentasan Anak).
Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan si
anak, berupa :
1.

Masalah sosialnya ;

2.

Kepribadiannya;

190

3.

Latar belakang kehidupannya, misalnya :


-

Riwayat sejak kecil ;

Pergaulannya di luar dan di dalam rumah ;

Keadaan rumah tangga si anak ;

Hubungan antara Bapak, Ibu dan si anak ;

Hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain ;

Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.;

Semua itu didapat dari keterangan si anak sendiri, orang tuanya,


lingkungan sernya (guru, RT/RW dan lurah setempat). Dalam mengumpulkan
bahan-bahan Case Study ini petugas BISPA tidak kenal lelah. Mereka
mendatangi rumah-rumah orang tua si anak di pelosok-pelosok daerah,
namun kekurangan tenaga dan sarana untuk mencapai tujuan yang diharapkan
merupakan masalah yang perlu di atasi. Oleh karena itu, diharapkan lembagalembaga sosial dan semua lapisan masyarakat ikut pula membantu
terlaksananya pembuatan Case Study ini demi hari depan si anak.
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada si anak ditentukan dalam Pasal
24 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, yaitu :
a. Si anak dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
b. Si anak akan diserahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja.
c. Si anak diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja.

191

Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada si anak terdapat di dalam


Pasal 23 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana Pokok meliputi:
1) Pidana Penjara
2) Pidana Kurungan
3) Pidana Denda, dan
4) Pidana Pengawasan
Adapun Pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu
dan/ atau pembayaran ganti rugi.
Dalam hal Hakim memutus untuk memberikn pidana pada anak maka
ada tiga hal yang perlu diperhatikan :

6.

a.

Sifat Kerjahatan yang dijalankan,

b.

Perkembangan jiwa si anak,

c.

Tempat dimana ia harus menjalankan huumannya.

Sejarah Peradilan Pidana Anak di Indonesia


Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban
manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah
putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak
memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik,
mental dan spiritualnya secara maksimal.
Sejak tahun 1901, didalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa
ketentuan pidana yang baru khusus mengatur masalah tindak pidana anak
yang dilakukan oleh anakanak beserta akibat hukumnya. Ketentuan-

192

ketentuan pidana itu oleh para penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana
anak. Ternyata ketentuanketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah
dimasukan kedalam KUHP, sebagaimana diatur dalam PasalPasal 45, 46,
dan 47 KUHP. Sebelum lahir Undangundang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hukum pidana anak diatur dalam
KUHP hanya meliputti tiga Pasal tersebut diatas, sedangkan Undangundang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit sekali menyinggung tentang
anak, yaitu Pasal 153 (3), 153 (5), 171 sub a.235
Anak-anak memiliki hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional
semenjak tahun 1924 ketika Deklarasi tentang Hak-hak Anak Internasional
pertama diadopsi oleh liga bangsa-bangsa. Instumen-instrumen hak-hak azasi
berikutnya dari PBB, seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia
1948. Hak-hak ini berlaku bagi setiap orang termasuk anak-anak, dan
dikembangkan lebih jauh dalam kovenan internasional mengenai Hak-hak
Politik dan Hak-hak Sipil 1966. 236
Konvensi hak-hak anak dalam beberapa hal meningkatkan standar
internasional mengenai hak-hak anak. Konvensi ini menjelaskan dan
mengikat secara hukum beberapa hak-hak anak yang dicantumkan pada
instrumen-instrumen sebelumnya. Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan
baru yang berkaitan dengan anak, misalnya yang berkaitan dengan hak untuk
berpartisipasi, dan prinsip bahwa semua keputusan mengenai anak haruslah
235

236

Maidin Gultom, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2008, hlm. 8.
Muh. Ali Amran, Sinkronisasi Hukum Perlindungan Anak Nasional terhadap Standar
Internasional Perlindungan Anak, http://justitia1.wordpress.com/2010/10/17/sinkronisasihukum-nasional-terhadap-standar-internasional-perlindungan-anak/ diakses pada 8 Mei 2013.

193

kepentingan yang terbaik bagi anak yang diutamakan. Konvensi juga untuk
pertama kalinya membentuk suatu badan internasional yang bertanggung
jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni Komite Hakhak Anak (Commite of the Rights of Child).
Pengakuan hak-hak atas perlindungan tidak hanya terbatas pada
konvensi hak-hak anak. Ada sejumlah instrumen baik berupa instrumen PBB
maupun instrumen dari badan internasional lainnya, yang juga memasukkan
hak-hak ini. Instrumen-instrumen itu meliputi: 237
1.

Piagam afrika tentang hak-hak kesejahteraan anak, tahun 1993.

2.

Konvebsi-konvensi jenewa mengenai hukum humaniter internasional


(1949) dan protokol tambahannya (1977).

3.

Konvensi buruh internasional No. 138 (1973), yang menyatakan bahwa


secara umum seorang yang berusia di bawah 18 tahun tidak boleh
dipekerjakan di dalam bidang-bidang pekerjaan yang berbahaya bagi
kesehatan dan perkembangan mereka, dan konvensi organisasi buruh
internasional No. 182 (1999) mengenai pelarangan dan tindakan segera
untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

4.

Protokol bagi konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang kejahatan


transnasional terorganisasi untuk mencegah, menekan dan menghukum
perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak.
Anak dalam Pasal 1 konvensi mengenai hak-hak anak adalah; seorang

yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali di bawah undang-undang yang


237

Ibid.

194

berlaku bagi anak, usia dewasa dicapai lebih awal. Ada beberapa hak dalam
konvensi yang berlaku bagi anak yang berusia di bawah 18 tahun yakni
meliputi pelarangan diberlakukannya hukuman mati, dan dalam protokol
pilihan konvensi tersebut terdapat pelarangan mengerahkan anak yang berusia
di bawah 18 tahun dalam angkatan bersenjata.
Instrumen internasional lainnya juga menggunakan 18 tahun sebagai
batasan untuk menentukan kapam seseorang kehilangan haknya atas
perlindungan khusus yang menjadi hak seorang anak. Lebih jauh UNICEF
dan organisasi internasional utama menggunakan usia 18 tahun sebagai batas
pasti untuk bekerja. 238
Keseluruhan hal-hal yang menjadi perlindungan anak di dalam
konvensi-konvensi internasional adalah:
1.

Perlindungan terhadap praktek atau tradisi-tradisi yang dapat


merugikan kesehatan anak;

2.

Perdagangan anak;

3.

Eksploitasi seksual terhadap anak;

4.

Perburuhan terhadap anak (bentuk-bentuk pekerjaan buruk bagi


anak);

238

Ibid.

5.

Perlindungan anak dalam keadaan perang;

6.

Hak atas kebangsaan;

7.

Hak atas identitas;

8.

Hak berkedudukan;

195

9.

Perlindungan atas kekerasan fisik dan kekerasan emosional;

10. Penerlantaran dan pengabaian;


11. Adopsi sebagai perlindungan anak;
12. Mencegah kenakalan anak;
13. Hak kerahasiaan bagi korban anak;
14. Hak untuk santunan terhadap korban anak;
Perlakuan-perlakuan terhadap anak yang melakukan kriminalitas dalam
konvensi-konvensi internasional yakni sebagai berikut:
1.

Pelarangan diberlakukannya hukuman mati;

2.

Pelarangan pemenjaraan anak secara soliter;

3.

Pelarangan mendapatkan perlakuan atau hukuman yang tidak


manusiawi dan menistakan anak;

4.

Perlakuan yang berperikemanusiaan selama proses persidangan.

Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No.P.1/20, tanggal


30 Maret 1951 menjelaskan bahwa Anak Nakal adalah mereka yang menurut
hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia
16 (enam belas) tahun. Dalam surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa
menghadapkan anakanak ke depan pengadilan, hanya sebagai langkah
terakhir (ultimum remedium). Bagi anak nakal masih dimunginkan ada
penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak faedahnya. Lembaga
yang dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor Pejabat

196

Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh
Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana. 239
Tahun 1979 bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-20 Deklarasi
Hak-Hak Anak dicanangkan sebagai Tahun Anak Internasional, Pemerintah
Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan
standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat
secara yuridis. Indonesia menyambut baik resolusi tersebut dengan
melahirkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. 240
Lahirnya Undangundang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak
nakal, selain itu undangundang ini ditujukan untuk memperbaiki hukum
pidana anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik
dan bekualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak
dimasa yang akan datang. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis
maupun filofofis dibentuknya undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi
penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi
pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan
pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya,
serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka dan bangsa di masa depan. Termasuk, munculnya fenomena
239
240

Roeslan Saleh, Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,hlm. 34.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009,hlm. 72.

197

penyimpangan perilaku di kalangan

anak, bahkan perbuatan melanggar

hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun masyarakat.
Menurut Soedarto pemidanaan anak meliputi segala aktifitas
pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak.
Menurut analisis sejarah Eropa dan Amerika, ikut campurnya pengadilan
dalam kehidupan anak dan keluarga ditujukan kepada menanggulangi
keadaan buruk, seperti kriminalitas anak dan terlantarnya anak. 241
Peradilan pidana anak meliputi:
(1) sebelum sidang peradilan;
(2) selama pada saat sidang peradilan;
(3) setelah sidang peradilan.
Perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar anak
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi.
Perwujudannya

berupa

pembinaan,

pembimbingan,

pendampingan,

penyertaan, pengawasan, pencegahan, pengaturan, penjaminan yang edukatif


yang mendidik konstruktif, integratif, kreatif yang positif dan usaha ini tidak
mengabaikan aspek aspek mental, fisik dan sosial anak.
Tindak pidana anak atau anak nakal batas usia pertanggungjawaban
pidana anak, sesuai Pasal 1 Undang undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pasal 1
Dalam Undang - undang ini yang dimaksud dengan :
241

Made Sadhi Astuti, Pemidanaan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana, IKIP, Malang,
1997. hlm. 64.

198

1.

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas


umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang
pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar
peraturan pidana.
Dalam Pasal 1 ayat (2), dijelaskan mengenai anak nakal :
Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik

menurut

peraturan

perundang-undangan

maupun

menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem peradilan pidana


terhadap anak nakal berbeda dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, di
Indonesian juga terdapat kekhususan, dalam hal hukum acaranya, anak yang
diduga melakukan tindak pidana dilakukan penahaanan ditempat yang
berbeda dengan orang dewasa, ini bertujuan agar tidak terpengaruh orang
dewasa, karena anakanak cenderung meniru dan cepat mempelajari hal yang
tidak diketahuinya. Sesuai Pasal 1, Penyidik yang melakukan penyidikan
terhadap anak adalah penyidik anak, Penuntut Umum adalah penuntut umum
anak, Hakim adalah hakim anak (maupun hakim banding dan kasasi). Dalam

199

Pasal 6 disebutkan: Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat


Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau
pakaian dinas, serta Pasal 8 (1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang
tertutup, tujuannya adalah agar anak lebih rileks dan tidak tertekan secara
mental/psikologis serta bersedia menceritakan kejadian/hal yang di alami/
diketahuinya.
Dalam pemeriksaan anak nakal, Penyidik wajib memeriksa tersangka
dalam suasana kekeluargaan, proses penyidikan terhadap perkara anak nakal
wajib dirahasiakan (Pasal 42).
Pengadilan yang berwenang mengadili kasus anak adalah Pengadilan
Anak, Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada
di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 2 UUPA), artinya bahwa Pengadilan
Anak itu adalah bagian dari Badan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara anak nakal dan bermuara
pada Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi. Undang
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan
landasan kerangka hukum Indonesia. Pasal 18 ayat (1) Undang undang
Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,
dapat dijatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal :
Pasal 23

200

1.
2.

3.

4.

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok
dan pidana tambahan.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
Masa penahanan terhadap anak yang melakukan tindak pidana lebih

singkat (Pasal 44-49), hukumannya lebih ringan, maksimum hukuman 10


tahun (Pasal 22-32). Peran petugas Kemasyarakatan yang terdiri dari
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Pekerja Sosial Sukarela
dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan, berperan penting dalam peradilan
anak (Pasal 34-39).

201

Sistem peradilan pidana anak di Indonesia terhadap anak berbeda


dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, tentunya disini ada perbedaan
tujuan atau sasaran tertentu yang ingin dituju dari peradilan pidana terhadap
anak, seperti yang tercantum dalam pertimbangan lahirnya Undangundang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, peradilan pidana anak
bertujuan: Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan
perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut
kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai,
oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak
perlu dilakukan secara khusus.
Hukum pidana untuk anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap belum memberikan
perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan dan dasar
pemikiran dari peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan
utama mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan
bagian integral dari kesejahteraan sosial.
Penerapan hukum pidana untuk menanggulangi anak nakal sampai saat
ini belum mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap menurunnya
tingkat kenakalan anak di Indonesia. Melihat fakta yang ada, tampaknya
esensi dikeluarkannya undang-undang Pengadilan Anak sebagai wujud
perlindungan terhadap anak bermasalah sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Lady Wotton, menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah
terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah

202

untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang


lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah
menempatkan mens rea ditempat yang salah. 242
Marlina, menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk
menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat
perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak sematamata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan
menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan aatau telah
melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa
yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu
penjatuhan pidana bukanlah satu - satunya upaya untuk memproses anak yang
telah melakukan tindak pidana. 243
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan
tugas pokok badan peradilan menurut Undangundang. Peradilan tidak hanya
mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa
depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak.
Filsafat Peradilan Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak,
sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan Pidana Anak dengan
Undang undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Peradilan Pidana Anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan,
pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam
Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi psikologi bertujuan agar anak
242
243

Ibid.
Marlina, Op. Cit., hlm. 82.

203

terhindar kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak


senonoh, kecemasan dan sebagainya.

Teori dalam pemidanaan, biasanya digunakan berbagai macam teori. Dari mulai
teori pembalasan, teori tujuan sampai ke teori gabungan. Pertama, dalam teori
pemidanaan dikenal Teori absolut, atau teori retributif, atau teori pembalasan
(vergerldingstheorien). Menurut teori ini, pidana dimaksudkan untuk membalas
tindakan pidana yang dilakukan seseorang. Jadi, pidana dalam teori ini hanya
untuk pidana itu sendiri. Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan mempunyai
pengikut-pengikutnya dengan jalan pikirannya masing-masing, seperti: Imanuel
Kant, Hegel, Herberet, dan Sthal.
Pada dasarnya aliran teori ini dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya
ditujukan pada kesalahan pembuat karena tercela. Dan corak objektif yang
pembalasannya dilakukan oleh orang yang bersangkutan. 244
Paul Moedikno (dalam Romli Atmasasmita) sebagaimana dikutip Setiady Tolib,
memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile Deliquency, yaitu sebagai
berikut :
a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh
hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, mambunuh dan sebagainya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat.

244

Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976. Hlm: 27-28.

204

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,


termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain. 245

Dalam hukum pidana, pengertian anak pada hakikatnya menunjuk kepada


persoalan

batas

usia

pertanggungjawaban

pidana

(criminal

liability

toerekeningvatsbaarheid). Dalam Undang-undang Pengadilan Anak, batas usia


pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 8 sampai 18 tahun. Adanya
rentang batasan usia dalam Undang-undang Pengadilan Anak tersebut, diakui
sebagai suatu kemajuan bila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam
KUHP yang sama sekali tidak mengatur batas usia minimum. Apabila ditelusuri
ketentuan instrumen internasional, ditentukannya batas usia antara 8 sampai 18
tahun sudah sejalan dengan apa yang ditegaskan dalam Standard Minimum Rule
For The Administration of Juvenile justice (The Beijing Rules).
Adanya perbedaan menentukan batas usia minimal maupun usia maksimal dalam
pertanggungjawaban pidana anak, sesungguhnya bukan suatu hal yang tidak
mungkin. Sebab, penentuan kriteria tersebut disesuaikan dengan situasi, kondisi,
dan latar belakang sejarah serta kebudayaan masing-masing negara. Sebagaimana
ditegaskan dalam Rules 4 Beijing Rules bahwa di dalam sistem hukum yang
mengenal batas usia pertanggungjawaban bagi anak, permulaan batas usia
pertanggungjawaban itu janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat
faktor kematangan emosional, mental dan intelektualitas anak.

245

Ibid, hlm. 177.

205

Dengan melihat berbagai ketentuan batas usia minimum baik yang berlaku di
beberapa negara maupun pedoman sebagaimana diatur dalam instrumen
internasional;5 mengingat pula kondisi objektif negara Indonesia yang tergolong
sebagai negara berkembang, maka perkembangan masyarakat pada umumnya baik
di bidang sosial, politik, maupun ekonomi, relatif masih terbelakang. Baik secara
langsung maupun tidak, hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbu-han
dan perkembangan anak pada umumnya. Oleh karena itu, batas usia minimum 8
(delapan) tahun bagi anak yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana
dirasakan masih terlalu rendah. Dengan demikian, penentuan batas usia yang
terlalu rendah tidak sejalan dengan hakikat memberikan perlindungan terhadap
anak. Begitu juga hak anak untuk memperoleh perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat

pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar, tidak berjalan dengan baik, sesuai dengan apa
yang diharapkan.246
Di lihat dari aspek perkembangan psikologis, sebagaimana diungkapkan para ahli,
pada umumnya telah membedakan tahap perkembangan antara anak dan
remaja/pemuda secara global masa remaja/pemuda berlangsung antara usia 12
sampai 21 tahun. E.J. Monks dan kawan-kawan mengungkapkan dalam bukubuku Angelsaksis, istilah pemuda (youth), yaitu suatu masa peralihan antara masa

246

Article 3 Konvensi Hak-hak Anak (IRC), menyatakan bahwa: In all actions concerning
children, whether undertaken by public or privat social welfare institutions, courts of law,
administrative authorities or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary
consideration.

206

remaja dan masa dewasa. Dipisahkan pula antara adolesensi usia antara 12 sampai
18 tahun, dan masa pemuda usia antara 19 sampai 24 tahun. 247
Begitu juga pendapat Kartini Kartono,248 ia mengatakan bahwa seseorang baru
memiliki sikap yang logis dan rasional kelak ketika mencapai usia 13-14 tahun.
Pada usia ini emosionalitas anak jadi semakin berkurang, sedangkan unsur
intelektual dan akal budi (rasio pikir) jadi semakin menonjol. Minat yang objektif
terhadap dunia sekitar menjadi semakin besar. Namun demikian, ia juga
mengatakan bahwa pada masa ini anak tidak lagi banyak dikuasai oleh
dorongandorongan endogen atau impuls-impuls intern dalam perbuatan dan
pikirannya akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh stimulus-stimulus dari luar.
Menyangkut perkembangan fungsi pengarnatan anak, Willimni Stern dalam
teorinya mengungkapkan empat stadium dalam pcrkern bangan fungsi
pengamatan anak, yaitu:
1) Stadium-keadaan, 0-8 tahun. Di samping mendapatkan gambararl total yang
samar-samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa orang secara
teliti;
2) Stadium-perbuatan, 8-9 tahun. Anak menaruh terhadap pekerjaan dan
perbuatan orang dewasa serta tingkah laku binatang;
3) Stadium-hubungan, 9-10 tahun dan selanjutnya. Anak mengamati
relasi/hubungan dalam dimensi ruang dan waktu; juga hubungan kausal dari
benda-benda dan peristiwa;

247
248

Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa:
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 135

207

4) Stadium-perihal (sifat): anak mulai menganalisa hasil pengamatannya,


dengan mengkonstranstir ciri-ciri dari benda. 249
Oswald Kroh,10 dalam bukunya: "Die Psykologie des Grundschulkindes"
(Psikologi Anak Dasar Sekolah), sebagaimana dikutip Kartini Kartono
menyatakan adanya empat periode dalam perkembangan fungsi kematangan anak,
yaitu:
1) Periode sintese-fantasi, 7-8 tahun. Artinya bahwa segala hasil pengamatan
merupakan kesan totalitas, sifatnya masih samar--samar. Selanjutnya, kesankesan ini dilengkapi dengan fantasi anak. Asosiasi dengan ini anak suka sekali
pada dongeng-dongeng, sage, mythe, legende, kisah-kisah dan cerita khayal;
2) Periode realisme naif, 8-10 tahun. Anak sudah bisa membedakan bagian, tetapi
belum mampu menghubung-hubungkan satu dengan lainnya dalam hubungan
totalitas. Unsur fantasi sudah banyak diganti dengan pengamatan konkrit.
3) Periode pengamatan kritis, 10-12 tahun. Pengamatannya bersifat realistis dan
kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintesa logis, karena pengertian, wawasan
dan akalnya sudah mencapai taraf kematangan. Anak kini bisa menghubungkan
bagaian-bagian jadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur;
4) Fase subjektif, 12-14 tahun. Unsur emosi atau perasaan muncul kembali, dan
kuat sekali mempengaruhi penilaian anak terhadap semua pengamatannya.
Masa ini dibatasi oleh gejala pubertas kedua (masa menentang kedua).

249

Ibid, hlm. 137.

208

Memperhatikan usia perkembangan anak dari aspek psikologis, tampaknya


seorang anak usia di bawah 12 tahun masih berada dalam kondisi yang belum
stabil. Walaupun anak sudah dapat berpikir rasional, dapat melakukan penilaian
terhadap sesuatu, namun pemikiran serta pandangannya masih bersifat parsial
belum secara totalitas. Namun, anak usia di atas 12 tahun pun tidak berarti sudah
matang secara rasional maupun emosional, karena unsur dari luar lebih besar
berpengaruh terhadap kondisi emosi atau perasaan. Oleh karena itu merekapun
belum sepenuhnya dapat mempertanggungjawabkan segala akibat dari tindakan
dan perbuatan yang dilakukannya.
Apabila diperhatikan Pasal 2 Undang-undang Nomor 168 Tahun 1948 tentang
Undang-undang Anak di Jepang, seorang dikategorikan "anak" atau "shoonen"
orang yang berumur kurang dari 20 tahun. Sedangkan pengertian anak yang dapat
diajukan ke sidang Pengadilan Keluarga, meliputi:
1. Anak kejahatan ("hanzaishoonen/ juvenalie offender"), yaitu anak yang
berumur sekurang-kurangnya 14 tahun dan tidak lebih dari 20 tahun yang
melakukan kejahatan.
2. Anak pelaku pelanggaran hukum ("shokuho oshoonen/children offender"),
yaitu anak yang berumur kurang dari 14 tahun yang melakukan kejahatan.
3. Anak pre-delinquen (guhan-shoonen/pre-delinquent juvenile), yaitu anak
yang memiliki kecenderungan berperilaku nakal, serta dapat dipandang
akan melakukan pelanggaran hukum.

209

Dalam ketentuan Undang-undang Anak Jepang, walaupun anak di bawah 14 tahun


dapat diajukan ke peradialan keluarga, namun anak tersebut tidak dapat dipidana.
Menurut Undang-undang Hukum Pidana Jepang, orang yang berumur kurang dari
14 tahun dianggap belum mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, sehingga
terhadap anak tersebut diperlakukan secara berbeda dalam peradilan anak. 250 Atas
dasar hal itu, agar hakikat hukum pidana anak yang bertujuan memberikan
jaminan perlindungan dapat tercapai, maka penentuan batas minimum
pertanggungjawaban anak yang saat ini berlaku pada hukum positif harus dikaji
dan ditinjau kembali, sehingga ditetapkan sekurang-kurangnya sampai usia 12
tahun. Penetapan usia minimum 12 tahun sejalan dengan konsep hukum islam, dia
tidak dikategorikan Mumayiz (anak kecil) namun ia pun belum dikategorikan
balig walaupun sudah memiliki tanda-tanda balig yaitu laki-laki yang sudah
mimpi basah dan wanita sudah haid. Kondisi demikian masuk kategori remaja
yaitu perubahan dari akhir masa anak-anak memasuki masa dewasa antara usia 12
tahun sampai 21 tahun. Sejalan pula dengan rancangan sebagaimana ditegaskan
pada Pasal 113 Konsep KUHP. Batas usia minimum 12 tahun diharapkan bisa
ditetapkan sebagai perubahan dalam Konsep Hukum Pidana Anak yang baru.

B. Kebijakan Aplikasi Peradilan Anak


1. Kebijakan Aplikasi dalam Proses Penyidikan dan Penyelidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

250

Ibid, hlm. 140.

210

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. 251 Penyidikan yang
dilakukan oleh pejabat kepolisian negara RI bertujuan untuk mengumpulkan
bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan
peristiwa pidana, dengan penyidikan juga diajukan untuk menemukan
pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan
penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP) yang berlaku
sejak tanggal 31 Desember 1981 dimuat dalam Lembaran Negara No. 76
Tahun 1981 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yang diundangkan sejak tanggal 3 Januari 1997 termuat dalam Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 3. Polisi dalam melakukan penyelidikan
terhadap anak pelaku tindak pidana harus memperhatikan berbagai ketentuan
mengenai upaya penanganan anak mulai dari penangkapan sampai proses
penempatan. Berikut penjelasan prosedur yang dilakukan untuk anak pelaku
tindak pidana, yaitu :
a. Penangkapan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang b Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, mengatur wewenang polisi dalam melakukan
penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut

251

Pasal 1 Ayat (2)b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

211

menjadi pedoman bagi setiap anggota kepolisian RI dalam menjalankan tugas


dan fungsinya. Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum, di samping juklak dan juknis yang dimiliki,
polisi juga memiliki buku saku untuk polisi. 252Dalam buku saku untuk
polisi tersebut terdapat panduan penanganan terhadap anak, seperti:
1. Tindakan penangkapan diatur Pasal 16 sampai 19 KUHAP. Menurut
Pasal

16 untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah

penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.


Sesuai dengan Pasal

18 KUHAP perintah penangkapan dilakukan

terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana


berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan menunjukkan surat
perintah penangkapan kecuali tertangkap tangan. Adapun waktu
perintah penangkapan paling lama satu hari. 253 Perlindungan terhadap
hak-hak anak tersangka pelaku tindak pidana diatur juga dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
2. Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, polisi memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan
tindakan perlindungan terhadap anak, seperti :
a.

Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah.

b.

Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak


seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa.

252

253

Apong Herlina et al.,Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku
Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004. Hlm. 34.
Baca b Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 19.

212

c.

Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua


dan walinya.

d.

Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau


walinya.

e.

Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang


bertanggung jawab, polisi atau masyarakat berdasar pada asas
kewajiban.

f.

Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka bukan


karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap pertama
pertemuan antara anak dengan polisi. Tahap ini penting bagi
seorang polisi menghindarkan pengalaman-pengalaman traumatik
yang

akan

dibawanya

seumur

hidup.

Untuk

itu

polisi

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :


1) Menunjukkan surat perintah penangkapan legal kepada anak
yang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan bertanggung
jawab. Cara yang ramah memberi rasa nyaman terhadap anak
dari pada rasa takut.
2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan hindari penggunaan
kendaraan yang bertanda/berciri khas polisi untuk menghindari
tekanan mental anak akibat simbol-simbol polisi yang terkesan
membahayakan dan mengancam diri anak.
3) Petugas

yang

melakukan

penangkapan

tidak

boleh

menggunakan kata-kata kasar dan bernada tinggi yang akan

213

menarik perhatian orang-orang yang berada di sekeliling anak.


Penggunaan kata-kata yang bersahabat akan mempermudah
anak menjalani setiap prosesnya dengan tenang tanpa rasa
takut dan tertekan.
4) Membawa anak dengan menggandeng tangannya untuk
menciptakan rasa bersahabat, hindari perlakuan kasar dan
menyakitkan seperti memegang kerah baju atau bahkan
menyeret dengan kasar.
5) Petugas tidak memerintahkan anak melakukan hal-hal yang
mempermalukannya dan merendahkan harkat dan martabatnya
sebagai manusia, seperti menyuruh membuka pakaian. Akan
tetapi memberikan perlindungan mental dan jiwa anak saat
ditangkap.
6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak
perlu melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol
terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan membuat
trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau tetangganya.
7) Media masa tidak boleh melakukan peliputan proses
penangkapan tersangka anak demi menjaga jati diri dan
identitas anak.
8) Pemberian pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan
fisik dan psikis anak sesegera setelah penangkapan. Berkas

214

pemeriksaan medis dan pengobatan anak menjadi bagian


catatan khusus anak yang berhadapan dengan hukum.
9) Penangkapan yang dilakukan diinformasikan kepada orang
tua/walinya dalam waktu tidak lebih dari 24 jam dan kesediaan
orang tua/wali mendampingi anak dalam pemeriksaan di
kantor polisi.
10) Pemberitahuan penangkapan anak tersangka kepada petuga
Bapas di wilayah setempat atau pekerja sosial oleh polisi.
Pemberitahuan dilakukan dalam waktu secepatnya tidak lebih
dari 24 jam.
11) Polisi melakukan wawancara atau pemeriksaan di ruangan
yang layak dan khusus untuk anak guna memberikan rasa
nyaman kepada anak.
Tahap wawancara dan penyidikan polisi penting untuk kasus tindak
pidana yang dilakukan oleh anak. Wawancara terhadap anak tersangka pelaku
tindak pidana dilakukan secara berkesinambungan antara orang tua, saksi, dan
orang-orang lain yang diperlukan atau berkaitan dengan kasus tersebut. Anak
yang sedang diperiksa saat wawancara dilakukan harus didampingi orang
tua/wali, orang terdekat dengan anak, dan atau orang yang paling dipercaya
oleh anak seperti orang tua angkat, saudara, pengasuh, pekerja sosial, dan
sebagainya. Saat wawancara dengan anak seorang pendamping dihadirkan
bertujuan membantu kelancaran wawancara dan memberikan perlindungan
terhadap anak. Bahasa yang dipergunakan polisi saat wawancara dengan anak

215

mudah

dimengerti,

baik

oleh

anak

yang

bersangkutan

maupun

pendampingnya, jika anak dan pendampingnya kesulitan dalam menggunakan


bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia, maka polisi harus menghadirkan
penerjemah bahasa. Hal ini bertujuan agar pesan yang disampaikan oleh
polisi dapat benar-benar dipahami oleh anak dan pendampingnya. Wawancara
terhadap anak dilakukan pada kesempatan pertama, di antara wawancara
dengan pihak lain seperti pendamping atau orang yang hadir saat itu. Untuk
menjaga perasaan anak, polisi menghindari penekanan kebohongan,
intimidasi atau perlakuan keras atau kasar terhadap anak selama wawancara
berlangsung. Tempat wawancara dilakukan dalam suasana ruangan yang
nyaman dan terpisah dengan orang dewasa lainnya, sehingga anak tidak
merasa ketakutan.
Teknik wawancara yang dilakukan seseorang polisi terhadap pelaku
anak pertama-tama polisi menginformasikan kepada orang tua atau wali anak
segera

sebelum

wawancara

dimulai,

selanjutnya

polisi

juga

menginformasikan bahwa anak berhak mendapatkan bantuan hukum dari


pihak pengacara atau advokat. Polisi juga menyampaikan kepada anak dan
orang tua atau walinya mengenai pentingnya anak didampingi oleh penasihat
hukum dan pekerja sosial yang kompeten, dan bagaimana cara mengakses
bantuan-bantuan tersebut.
Selanjutnya polisi dalam pemeriksaan terhadap anak, memperlakukan
anak dengan pertimbangan keterbatasan kemampuan ataupun verbal
dibandingkan dengan diri polisi itu sendiri. Tindakan yang salah terhadap

216

anak membuat rasa trauma pada diri anak di masa depan. Oleh karena itu,
polisi dalam melakukan pemeriksaan mengupayakan terciptanya suasana
yang akrab di antara penyidik yang sedang mewawancarai dan anak yang
sedang diperiksa.
Polisi berusaha tidak melakukan hal-hal yang membentuk tingkah laku
anti sosial pada anak sehingga anak-anak putus asa menghadapi masalahnya
yang menyebabkan rasa kehilangan masa depan. Justru sebaiknya penyidik
dan pendamping memberikan motivasi guna membangun rasa percaya anak.
Selain itu, upaya lain dalam membangun rasa percaya anak dengan sikap
peka pada kebutuhan anak dan berusaha mempermudah anak mendapatkan
informasi.
Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang polisi dalam
melakukan penyidikan terhadap anak, yaitu :
a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhadap anak.
Hal ini dapat menimbulkan trauma pada anak.
b. Memberi label buruk pada anak, seperti pencuri, maling,
pembohong, dan lain-lain.
c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam
melakukan wawancara terhadap anak.
d. Penyidik tidak boleh melakukan kekuatan badan atau fisik atau
perlakuan kasar lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan
pada anak.

217

e. Membuat catatan atau mengetik setiap perkataan yang dikemukakan


oleh anak pada saat penyidik melakukan wawancara dengan anak.
Seharusnya petugas mencatat poin-poin penting dari hasil wawancara
tersebut. Oleh karena itu,

sebaiknya penyidik menggunakan alat

perekam yang tersembunyi untuk membantu mengingatnya.


Dalam kasus yang tidak memerlukan tindak lanjut atau kasus ringan
yang cukup mendapatkan peringatan (cautioning) saja, laporan harus dibuat
dengan benar dan secepatnya, dan terpisah dengan laporan bagi kasus-kasus
yang memerlukan tindak lanjut.
Sebelum melakukan penyidikan tentu harus diketahui terlebih dahulu
apakah telah terjadi suatu tindak pidana. Jalur untuk mengetahui adanya suatu
tindak pidana adalah melalui pengaduan,254 laporan,255 atau tertangkap
tangan. 256
Menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

254

255

256

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan yang merugikannya, Pasal 1 ayat (2)5 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh orang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Pasal 1 ayat (2)4Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana,
atau dengan segera setelah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian
padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
membantu melakukan tindak pidana itu. Pasal 1 ayat (1)9 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

218

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun


pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan menurut Pasal

KUHAP adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.


Kewajiban penyidik dalam proses penyelidikan, antara lain sebagai
berikut:257
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana. Selanjutnya mencari keterangan dan barang bukti atau laporan atau
pengaduan yang diterimanya. Dalam mengumpulkan bukti-bukti seorang
penyidik mempunyai hak untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai
untuk dimintai keterangan dan mengetahui identitasnya dan mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Disamping itu, juga
atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa :
penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan,
pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret
seseorang, membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik, penyelidik
membuat dan menyampaikan laporan hasil dilaksanakan tindakan sebagaiman
tersebut di atas kepada penyidik. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik
atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. 258
Dengan melakukan penyelidikan maka dapat ditentukan bahwa suatu
peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana, maka dilanjutkan dengan tahap
penyidikan. Menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.259
Pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik.
Menurut Pasal 1 Ayat 4 penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

257
258
259

Pasal 5 KUHAP.
Pasal 16 ayat (1) KUHAP.
Pasal 1 Ayat 3 KUHAP

219

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan


penyidikan. Penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan sebagai
berikut :260
Setelah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana, selanjutnya penyidik melakukan tindakan pertama pada
saat di tempat kejadian yaitu menyuruh berhenti seseorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka, melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan
penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,
mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, dalam melakukan
tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Selanjutnya
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 penyidik juga mempunyai kewajiban
untuk membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan. Sesuai dengan
Pasal 75, berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang pemeriksaan
tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah,
penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan di
tempat kejadian, pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan dan
pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam b Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang berlaku. Terhadap berita acara tindakan tersebut
dibuat atas kekuatan sumpah jabatan, untuk itu dalam berita acara tersebut
selain ditandatangani oleh pejabat yang berwenang ditandatangani pula oleh
semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut, 261 setelah pembuatan
berita acara tindakan penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum, penyerahan berkas perkara dilakukan dengan dua tahapan.Pertama
penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; kedua, dalam hal penyidikan
sudah dianggap selesai penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti kepada penuntut umum. Selanjutnya sesuai dengan
ketentuan Pasal 110 ayat (2) KUHAP, penyidik melakukan penyidikan
tambahan, jika penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum dan penyidikan
dianggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan. Sesuai dengan Pasal 31 ayat (1), atas
permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang
berdasarkan syarat yang ditentukan, dan Pasal 31 ayat (2),karena jabatannya
hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal
tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang sudah ditentukan.Penyidikan
260
261

Ibid., Pasal 7.
Baca ketentuan Pasal 75 KUHAP.

220

tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, jika penuntut umum
mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi sesuai dengan Pasal 110
ayat 3 KUHAP. Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana
sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib
memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan
hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat
hukum sesuai dengan Pasal 114 KUHAP.
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan penyelidikan dan
penyidikan melakukan serangkaian tindakan untuk kepentingan penyidikan
yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan
pemeriksaan surat.
Hasil penelitian menunjukkan 25 orang (69.5%) informasi yang terdiri
dari kepolisian, jaksa, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, masyarakat dan
lembaga swadaya berpendapat terhadap anak pelaku tindak pidana ditangkap;
sisanya 11 orang (20.5%) berpendapat anak tidak ditahan.
Adapun yang menjadi alasan penangkapan terhadap anak pelaku tindak
pidana. Pertama, khawatir anak akan melarikan diri. Kedua, anak akan
menghilangkan barang bukti. Ketiga, demi keselamatan anak dan kemudahan
dalam melakukan proses penyelidikan.
Penangkapan yang disusul dengan penahanan tidak hanya terjadi dalam
proses peradilan pidana anak di Indonesia, akan tetapi tindakan tersebut juga
terjadi di negara lain seperti di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat menurut
penelitian yang dilakukan oleh Richard D. Schwartz, dikatakan bahwa

221

penangkapan terhadap anak pelaku tindak pidana menimbulkan konsekuensi


bagi polisi untuk menahan anak.262
Akibat dari penangkapan ini yang paling membahayakan bagi anak
yaitu sifat polisi yang selalu ingin menahan anak yang ditangkapnya. Selain
itu, bahaya bagi anak tidak hanya karena kecendrungan polisi untuk menahan
pelaku, tapi juga ancaman terhadap anak menjadi kehilangan status sosial,
pembatasan pendidikan, kesempatan kerja,

dan bahaya lain atas proses

penegakan hukum berikutnya. 263


Menurut beberapa kriminolog, stigmatisasi yang dihasilkan sebagai
akibat dari penangkapan yang dilanjutkan dengan penahanan oleh polisi pada
kenyataannya memaksa penyimpangan perilaku pada seseorang. Stigmatisasi
ini menjadi faktor perantara dan penguat untuk karir delikuensi pada anak di
masa mendatang. Akibatnya anak yang ditahan mempunyai sifat atau perilaku
delikuensi di masa depan.264
Di New South Wales (NSW), Australia, riset yang dilakukan Bacon dan
Irwin pada tahun 1990 menemukan bahwa polisi dalam melakukan
penangkapan dan pemeriksaan melakukan tindakan kekerasan. Tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh polisi yang terjadi di negara bagian New
South Wales (NSW) Australia seperti, dipukul, ditendang, ditempeleng,
dibenturkan di tembok, dipukul dengan pena, dan kekerasan berhubungan
262

263

264

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Ckolnick, Two Studies of Legal Stigma, Social Problems,
dalam tulisan Irving Piliavin dan Scott Briar, Police Encouters with Jubeniles, dalam buku
Rose Giallombardo, Juvenile Deliquency a Book of Readings, John Wiley and Sons, Inc.,
Canada 1971, Hlm. 371.
Rose Giallombardo, Juvenile Deliquency a Book of Readings, John Wiley and Sons, Inc.,
Canada 1971, Hlm. 371.
Ibid.

222

dengan seksual. Kekerasan polisi banyak terjadi pada anak perempuan.


Tindakan kekerasan tersebut mencerminkan buruknya perlakuan terhadap
anak yang menjalani penangkapan dan pemeriksaan oleh polisi. Tindakan
tersebut terjadi terutama terhadap anak gelandangan yang tertangkap
melakukan tindak pidana.265
Menurut Linda Hancock, terhadap penanganan kasus anak, polisi dapat
melakukan tindakan diskresi atau tanpa melakukan proses lanjutan dengan
hanya memberikan peringatan lisan saja. Tindakan pembebasan terhadap
anak dilakukan berdasarkan pertimbangan kesejahteraan anak tanpa
pemenjaraan, sehingga anak dapat kembali hidup normal tanpa harus
dipenjara.266
Di samping itu, ada beberapa pelanggaran yang sering dilakukan polisi
dalam penanganan kasus anak yang melakukan tindak pidana, di antaranya
kekerasan fisik/excessive force, kekerasan mental, kekerasan terhadap hak
hukum anak. Kekerasan secara mental di antaranya bahasa yang digunakan
untuk mencerca anak perempuan mengenai gender, bahasa bersifat rasis.
Setelah ditangkapnya anak oleh pihak kepolisian, anak langsung dibawa
ke kantor polisi. Alasan membawa anak yang diduga melakukan tindak
pidana ke kantor polisi adalah untuk dilakukan proses selanjutnya yaitu
penyidikan. Sedangkan dibawa ke tempat lain dengan alasan mengusahakan
agar perkaranya tidak dilanjutkan ke penyidikan atau diselesaikan secara
damai.
265

266

Linda Hancock, Police, Youth and Violence, dalam buku Joy Wundersitz et al., Juvenile Justice
Debating the Issues, Allen & Unwin Pty Ltd., Australia 1993, hlm. 91.
Linda Hancock, Op.Cit.,hlm. 92.

223

Di Australia, polisi dalam menangani anak yang ditangkap karena


melakukan suatu tindak pidana mempersiapkan tiga alternatif tindakan yang
diambil. Tindakan polisi tersebut termasuk dalam tindakan diversi yaitu
peringatan informal, peringatan formal, dan perundingan. Berkenaan dengan
pelaku anak, polisi dianjurkan untuk melakukan tindakan terbaiknya yaitu
peringatan informal.
Tindakan polisi berupa peringatan informal yaitu dengan memberikan
kesempatan kepada anak untuk kembali ke tempat tinggalnya semula tanpa
diberi tindakan apa pun. Untuk tindakan yang lebih serius polisi memilih 2
alternatif yang lain yaitu peringatan formal dan perundingan. Peringatan
formal polisi berupa melakukan pemaafan, meminta ganti rugi, dan kerja
bakti sosial.
Di Indonesia tindakan alternatif yang dilakukan oleh polisi dalam
melaksanakan tugasnya yaitu peringatan informal, peringatan formal, dan
perundingan. Tindakan berupa tindakan informal yaitu dilakukan polisi
dengan memberikan peringatan secara lisan setelah terhadap anak diberikan
nasihat-nasihat. Tindakan peringatan lisan ini diberikan terhadap tindak
pidana yang ringan seperti anak yang tidak sengaja melempar rumah orang
dengan batu. Tindakan berupa peringatan formal yaitu peringatan yang
mewajibkan pihak pelaku untuk membuat surat pernyataan tidak akan
melakukan tindakan pelanggaran lagi. Tindakan peringatan formal ini
dilakukan terhadap tindak pidana perkelahian antara anak sekolah yang tidak
menyebabkan terjadinya luka. Tindakan yang ketiga yaitu tindakan yang

224

diambil oleh polisi berdasarkan perundingan antara korban, pelaku, dan


polisi. Bentuk tindakannya seperti anak akan disekolahkan atau anak akan
diberikan pendidikan alternatif seperti terhadap anak pelaku tindak pidana
yang putus sekolah dan tidak memiliki orang tua.
b. Penahanan
Penahanan anak merupakan penegakan fisik sementara terhadap
seorang anak berdasarkan putusan pengadilan atau selama anak dalam proses
peradilan pidana.
Seorang anak pelaku tindak pidana saat penahanan harus mendapatkan
pendampingan guna mendapatkan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan
kejiwaan anak.
Sesuai dengan butir 7 The Beijing Rules, anak yang dalam proses
peradilan pidana berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan hak-haknya
sesuai kebutuhan anak. Pemenuhan hak-hak anak pada saat dilakukan proses
hukum adalah sama dengan keperluan hak-hak orang dewasa dalam teori
delinquency yaitu psikologi. Berdasarkan hal inilah kebutuhan anak dalam
memenuhi kebutuhannya memerlukan bantuan yang sangan diperlukan
seperti, pendampingan psikolog, pekerja sosial, dan orang tua atau walinya.
Hak-hak inilah yang masih sering diabaikan oleh aparat penegak hukum
dalam proses hukum terhadap anak. Menurut Trojanowicz, metode individu
terhadap anak seperti psikiater, psikolog, pekerja sosial, sekolah, guru, dan
teknik yang benar dalam menangani anak akan menjadi terapi terhadap
tindakan menyimpang yang dilakukannya.

225

Butir 7 The Beijing Rules menjelaskan hak dasar yang harus diberikan
kepada anak pelaku tindak pidana adalah praduga tak bersalah, hak untuk
tetap diam, hak akan pengacara, hak akan kehadiran orang tua/wali, hak
untuk dihadapkan para saksi yang memberatkan dan meringankan, dan hak
untuk naik banding. Dengan mengacu pada ketentuan butir 7 Beijing Rules
bahwa anak mempunyai hak-hak praduga tak bersalah, artinya selama belum
ada kekuatan hukum yang tetap tentang tindak pidana yang dilakukan maka
seorang tidak dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang
dilakukannya.
Dalam menangani kasus anak, polisi harus melakukan pertimbangan
yang matang untuk menahan seorang anak yang menurut penyidikan awal
sebagai tersangka pelaku tindak pidana. Polisi dapat melakukan tindakan
penyidikan tanpa harus melakukan penahanan kepada seorang anak dengan
melakukan pengawasan terhadap anak dan mewajibkan anak untuk
melaporkan diri secara berkala kepada aparat kepolisian selama penyidikan
dilakukan terhadap dirinya. Polisi dapat merujuk kasus anak kepada pilarpilar lain dalam sistem peradilan anak sehingga berbagai intervensi terhadap
kasus anak dapat segera dilaksanakan. Upaya penghindaran penahanan
terhadap anak dapat dilakukan dengan tetap memberikan kebebasan terhadap
anak dalam pengawasan orang tuanya atau orang lain yang tepat dan
bertanggung jawab, seperti polisi, penuntut umum, pengadilan, balai
pemasyarakatan, depsos, dan lain-lain. Pengawasan yang diberikan terhadap
anak dilakukan untuk menjamin bahwa anak yang berada dalam penyidikan

226

yang dibebaskan tanpa penahanan tidak sekedar terlepas dari penahanan saja,
akan tetapi mendapat pembinaan dan pengawasan serta perlindungan dari
tindakan korban atau keluarga korban.
Undang-Undang nasional memberikan peluang dilakukan penahanan
terhadap anak pelaku tindak pidana. Pasal

43 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa


penangkapan anak nakal dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk
paling lama 1 (satu) hari. Pasal 44 ayat (2) menyebutkan bahwa penahanan
hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. Ayat 3 menyebutkan
bahwa apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum
yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. Selanjutnya ayat 4
menyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas
perkara yang bersangkutan kepada penuntut umum. Jika jangka waktu 30
(tiga puluh) hari polisi belum menyerahkan berkas perakara kepada pihak
penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Selama anak ditahan anak harus berada di tempat khusus dengan kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
Uraian Pasal 34 dan 44 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
pengadilan anak di atas menggambarkan bahwa seorang anak sebelum proses
ke pengadilan telah mengalami lamanya penahanan. Ketentuan ini jelas
memberikan suatu peluang bahwa seolah-olah anak yang tersangka sebagai

227

pelaku tindak pidana sebelum sampai pada pengadilan harus menjalani


penahanan. Hal ini terjadi karena secara hukum tidak ada ketentuan secara
tegas mengatur bahwa terhadap anak untuk dihindarkan dari penahanan dan
adanya upaya untuk menghilangkan kasus ke proses informal sebagaimana
ditentukan dalam butir 11 The Beijing Rules.
Butir 11 The Beijing Rules mengatur tentang pengalihan (diversion).
Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa terhadap pelanggar hukum muda
harus mendapatkan pertimbangan, bilamana layak, maka penanganannya
dapat tanpa menggunakan peradilan formal oleh pihak berwenang yang
berkompeten. Kewenangan polisi, penuntut umum, atau badan-badan lain
yang menangani perkara anak untuk memutuskan perkara anak menurut
kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan awal yang formal,
sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam sistem hukum masing-masing
dan juga sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam peraturan-peraturan
ini.Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayananpelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan anak
atau orang tua walinya dengan syarat keputusan merujuk perkara tergantung
pada kajian pihak berwenang yang berkompeten atas permohonan, agar
mempermudah pelulusan kebebasan membuat keputusan pada perkaraperkara anak. Pada akhirnya Butir 11 angka 4 diatur mengenai upaya-upaya
akan

diambil

untuk

mengadakan

persiapan

bagi

program-program

masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, pemulihan dan


ganti rugi.

228

2. Kebijakan Aplikasi dalam Proses Penuntutan


Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu
tahapan penuntutan, yang dijalankan oleh penuntut umum. b Undang-Undang
Hukum Acara Pidana memuat wewenang penuntut umum untuk menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu. Setelah menerima dan memeriksa berkas perkara, penuntut
berkawajiban mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan oleh pihak penyidik, dengan memberi petunjuk dan arahan apa
saja yang mesti mendapat penyempurnaan berkas penyidikan dari penyidik.
Apa bila diperlukan untuk proses penyidikan penuntut dapat melakukan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan
atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh pihak
penyidik.
Setelah berkas yang diterima dari penyidik telah sempurna selanjutnya
penuntut harus membuat surat dakwaan. Setelah surat dakwaan diselesaikan
dengan sempurna seterusnya dilakukan pelimpahan perkara ke pangadilan.
Sebagai tindak lanjut pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, penuntut
berkewajiban menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan dengan disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan. Tugas selanjutnya setelah waktu persidangan
dimulai adalah melakukan penuntutan, menuntut perkara guna kepentingan

229

hukum dan mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini seperti
penetapan hakim. Jika terdakwa meminta kepada penuntut umum untuk
dilakukan penangguhan penahanan dengan atau tanpa syarat jaminan uang
atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan, maka penuntut dapat
melakukan penangguhan penahanan.
Dalam keadaan yang dibutuhkan untuk kepentingan penuntutan,
penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
Penahanan tersebut dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari. Jika dalam
jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai, penuntut umum meminta
untuk dapat memperpanjang penahanan oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari. Dalam waktu 25 (dua
puluh lima) hari, penuntut umum harus melimpahkan berkas perkara anak
kepada pengadilan negari. Jika dalam jangka waktu tersebut berkas perkara
belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan
dari tahanan demi hukum.
Setelah penuntutan, dilanjutkan ke tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan yang menghadirkan semua pihak yang terkait seperti terdakwa,
saksi, pembela, hakim dan semua berkas yang diperlukan.
Penuntutan dikaitkan dengan prapenuntutan terlihat adanya hubungan
yang erat antara jaksa penuntut umum dengan pihak penyidik dalam
penanganan kasus pidana. Jaksa penuntut umum berwenang mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik dengan tujuan penyempurnaan penyidikan

230

yang disebut dengan prapenuntutan. Tugas penyidik selesai apabila berkas


perkara dinyatakan sudah lengkap (telah diterbitkan PK 21), berakhirlah masa
prapenuntutan menjadi penuntutan. Hubungan jaksa penuntut umum sejak
penuntutan adalah dengan hakim dalam penyidangan perkara. Setelah
penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, penuntut umum segera menentukan apakah berkas
perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan (Pasal 139 KUHAP). Dalam hal penuntut umum berpendapat dari
hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (1)
KUHAP. Dalam hal penuntut umum memintakan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan sebagaimana diatur
dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.
Penghentian penuntutan termasuk wewenang penuntutan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 14 KUHAP huruf h yang berbunyi penuntut umum
berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum, akan tetapi dalam
praktik ada keengganan atau keragu-raguan bagi jaksa penuntut umum
menghentikan penuntutan dihubungkan dengan surat pemberitahuan hasil
penyidikan sudah lengkap, yang sesuai dengan format formulir P. 21
tidaklah mungkin perkara dihentikan penuntutannya karena dengan
dikeluarkannya P. 21 akan terjadi penyerahan tahap kedua yaitu penyerahan

231

berkas perkara, barang bukti dan terdakwa. Tanpa ada penyerahan tahap
kedua tidak mungkin perkara bisa dihentikan penuntutannya. Hal yang
menjadi persoalan mengenai kalimat pembertahuan hasil penyidikan sudah
lengkap, kalimat ini menimbulkan persoalan seharusnya diganti dengan
pembertahuan hasil penyidikan sudah maksimum karena dalam praktiknya
tidak semua hasil penyidikan yang sudah dinyatakan jaksa lengkap telah
memenuhi unsur-unsur yang didakwakan. Meskipun pada umumnya hasil
penyidikan yang sudah dinyatakan jaksa penuntut umum lengkap, telah
memenuhi unsur-unsur yang didakwakan dan bisa dilimpahkan, akan tetapi
dalam pelaksanaannya terkadang hasil penyidikan sudah maksimum dan
jaksa penuntut umum telah mengirimkan petunjuk-petunjuk kepada penyidik
untuk melengkapinya akan tetapi tidak ditemukan unsur-unsurnya. Bilamana
dari hasil penyidikan berkas perkara sesuai dengan Pasal 139 KUHAP dan
Pasal 140 KUHAP, jaksa penuntut umum berpendapat tidak cukup unsur
(bukti) atau kadaluarsa maka penuntut umum menghentikan penuntutan dan
menuangkan dalam surat ketetapan. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut
disimpulkan bahwa hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh jaksa
penuntut umum bukan selamanya mengadung arti bahwa perkara harus
dimajukan atau dilimpahkan ke persidangan; tetapi sekalipun dinyatakan hasil
penyidikan

sudah

lengkap

ada

kemungkinan

perkara

dihentikan

penuntutannya karena tidak memenuhi unsur atau kadaluarsa atau meninggal


dunia, dan sebagainya.

232

Perkara dihentikan demi kepentingan hukum adalah perkara yang


dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
bukanmerupakan tindak pidana. Dalam penghentian penuntutan ini ada dua
persoalan, pertama dihentikan penuntutannya, demi kepentingan hukum.
Perkara

dihentikan

penuntutannya

demi

kepentingan

hukum

mengandung arti agar kepastian hukum dan wibawa hukum terjamin. Perkara
yang sejak awal sudah diketahui oleh jaksa penuntut umum, berdasarkan
berkas perkara tidak cukup bukti atau perkara bukan merupakan tindak
pidana dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sudah dapat
diperkirakan putusan yang akan dijatuhkan hakim adalah putusan bebas
murni. Putusan bebas murni sudah tentu menyangkut kepentingan hukum,
oleh karena itu untuk apa dimajukan ke persidangan kalau sejak awal sudah
dapat diperkirakan bahwa putusan bebas. Untuk menjaga kemurnian hukum
itu agar jaksa penuntut umum dan penyidik tidak sewenang-wenang
melakukan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, maka
kepada pihak ketiga yang berkepentingan diberikan hak untuk mengajukan
praperadilan terhadap penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
tujuannya adalah bahwa tindakan penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan benar demi kepentingan hukum belaka.
Berdasarkan saran-saran, Kajari mengajukan permohonan kepada Jaksa
Agung RI agar Jaksa Agung RI menyampingkan perkara tersebut. Tindakan
penyampingan perkara demi kepentingan hukum harus benar-benar demi
kepentingan hukum. Hal ini berarti bahwa tidak dituntutnya seseorang anak

233

oleh jaksa penuntut bukan pertimbangan terhadap kepentingan anak sehingga


anak tidak dituntut akan tetapi dikembalikan kepada orang tua atau wali atau
diserahkan kepada pihak lembaga sosial. Akan tetapi dikarenakan bukti-bukti
yang dimiliki belum lengkap sehingga belum cukup bukti untuk dilakukan
penuntutan.
Kondisi yang cukup mengkhawatirkan untuk segera dicermati adalah
selama anak dalam pelimpahan pihak penyidik kepada kejaksaan, pihak
kejaksaan pula melakukan hal yang sama yaitu melakukan penahanan.
Penahanan yang dilakukan merupakan suatu tindakan yang seharusnya
dihindarkan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak. Secara
internasional upaya untuk menghindarkan penahanan yang dilakukan
terhadap anak dalam proses peradilan anak diatur dalam butir 13 The Beijing
Rules. Pendapat informan mengenai tindakan jaksa melakukan penahanan
terhadap tersangka anak pelaku tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak bahwa proses penahanan oleh pihak penuntut untuk
kepentingan penuntutan yaitu 10 (sepuluh) hari. Apabila dalam waktu 10
(sepuluh) hari tidak selesai maka akan dilakukan perpanjangan hingga 15
(lima belas) hari. Dalam waktu 25 (dua puluh lima) hari penuntut umum
harus melimpahkan berkas perkara anak kepada pengadilan negeri. Apabila
dalam jangka waktu tersebut berkas perkara belum dilimpahkan ke
pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.

234

Ketentuan penahanan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 3


Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, jika pada saat anak di kepolisian telah
dilakukan penahanan menurut batas maksimal penahanan oleh pihak
kepolisian selama 30 (tiga puluh) hari, maka sampai pada saat akhir batas
penahanan di pihak penuntutan (kejaksaan) berarti anak telah menjalani
penahanan selama 55 (lima puluh lima) hari.
Ironisnya proses penahanan sebelum pengadilan berlangsung ketika
kasus anak tersebut dilimpahkan kepada pihak pengadilan. Pihak pengadilan
juga melakukan hal yang sama yaitu melakukan penahanan.

3. Kebijakan Aplikasi dalam Proses Persidangan


Menurut ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim sidang
pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak untuk
paling lama 15 (lima belas) hari, jika belum selesai diperpanjang penahanan
hingga 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari keluar
demi kepentingan hukum.
Lamanya proses pengadilan seorang anak untuk dibuktikan bersalah
atau tidaknya, anak berada dalam penahanan menjadi renungan bagi semua
pihak

untuk

memikirkan

kembali

tentang

kondisi

kejiwaan

dan

perkembangan anak. Lamanya proses pengadilan ini membuktikan bahwa


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum sesuai
dengan The Beijing Rules sebagi pedoman peradilan anak di dunia. Oleh

235

karena itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


dilakukan perubahan. Selain panjangnya proses pengadilan yang dijalankan,
proses tahapan persidangan yang akan dilalui oleh anak dalam persidangan,
menambah penjangnya penderitaan yang akan dihadapi anak. Mulai dengan
pembukaan sidang pengadilan, dimana hakim memanggil terdakwa dan
memeriksa identitas terdakwa dengan teliti sampai proses pembacaan putusan
ada ser 11 kali sidang.
Sama halnya dengan proses penyelesaian kasus orang dewasa, setelah
terdakwa menerima vonis atau putusan hakim ia masih memiliki upaya
hukum untuk mencari keadilan. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
terdakwa, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya
hukum biasa adalah suatu upaya hukum yang dapat dilakukan, baik oleh
terdakwa maupun penuntut umum terhadap putusan pengadilan melalui
banding, kasasi dan perlawanan, baik perlawanan terhadap putusan hakim
yang bersifat penetapan maupun perlawanan terhadap putusan verstek. Upaya
hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan
hukum.
Hakim yang melangsungkan persidangan yaitu hakim anak, yang
ditetapkan melalui surat keputusan Mahkamah Agung atas usul ketua
pengadilan yang bersangkutan melalui ketua Pengadilan Tinggi. Syarat
ditunjuk sebagai hakim anak yaitu, berpengalaman sebagai hakim di
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan mempunyai minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

236

Hakim dalam memberi keputusan terhadap anak masih menetapkan


putusan pidana penjara terhadap anak. Hal ini dikarenakan tuntutan yang
dilakukan oleh penuntut umum masih mengajukan tuntutan pidana terhadap
pelaku anak. Anak pelaku tindak pidana dihindarkan dari pidana penjara
dengan mencari alternatif tindakan sebagaimana diatur dalam butir 7 angka 1,
2, 3 dan 4 The Beijing Rules. Putusan pidana berupa pidana penjara dalam
jangka waktu tertentu terhadap anak. Adapun alasan pengadilan melakukan
pemutusan pidana adalah pertama, karena telah terbukti memenuhi unsurunsur tindak pidana yang telah dituntutkan kepadanya. Kedua, anak telah
ditahan selama proses pengadilan, mulai saat penyidikan, penuntutan sampai
pada saat persidangan, sehingga dengan diputus pidana maka putusan pidana
kurungan dapat dikurangi atau hampir sama dengan masa penahanan yang
telah dilakukannya. Tindakan pemutusan pidana penjara ini dilakukan karena
untuk menutupi tindakan yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam melakukan proses penyidikan dan pemeriksaan terhadap kasus anak
pelaku tindak pidana. Akan tetapi sebaiknya seorang anak tidak diputus
pidana, apabila anak tersebut masih sekolah, pertama kali melakukan tindak
pidana ringan, orang tua dan wali masih mampu melakukan pembinaan dan
anak tersebut masih bisa dibina.
Pertimbangan pemutusan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam
proses persidangan yaitu, jika tindakan pidana yang dilakukan anak tergolong
ringan, jaksa menuntut pidana di bawah 1 (satu) tahun. Terhadap tuntutan
jaksa tersebut, hakim akan mempertimbangkan berdasarkan bukti dan saksi

237

yang ada. Hakim akan memutuskan pidana penjara terhadap seorang anak
seringan-ringannya adalah 4 (empat) bulan, dipotong masa tahanan 3 (tiga)
bulan, jadi anak akan menjalankan pidana penjaranya tinggal 1 (satu) bulan
lagi.

4. Kebijakan Aplikasi dalam Proses Pelaksanaan Hukuman


Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga pelaksanaan pembinaan para
terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan
menjadi masyarakat yang baik dan taat hukum. Namun ternyata program
pembinaan

tersebut

belum

sepenuhnya

dapat

dilaksanakan

karena

keterbatasan baik sarana, prasarana maupun kemampuan intelektual para


pembina dalam mengembangkan proses pembinaan narapidana anak yang
menunjukkan keberhasilan.
Program pemasyarakatan bagi narapidana anak bertujuan agar anak
dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya
dan tetap dapat menjalani kehidupan secara normal. Program yang dibuat
dalam lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan
aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan anak di masa depan.
Para pelaku anak yang melakukan tindak pidana serius yang berada di
lembaga pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan
kemampuan seperti hobi, pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan
kegiatan mental lainnya semaksimal sesuai dengan kemampuan lembaga.
Untuk pendidikan disediakan sekolah khusus di dalam lembaga. Tujuannya

238

agar anak tetap dapat menjalankan sekolahnya dan mempersiapkan


keterampilan kerja untuk bekal selesai manjalani pembinaan.
Seyogianya hukum pidana untuk anak bukan merupakan hukuman
anak-anak, melainkan merupakan suatu tindakan pendidikan yang terpimpin
yang menempatkan anak tahanan, anak negara, anak napi dan anak sipil
dalam

lembaga

pemasyarakatan

anak

bukan

sebagai

subjek

pembalasan/hukuman melainkan dengan pembinaan dan bimbingan, sesuai


dengan The Beijing Rules.
Dalam perkembangan pemidanaan terhadap anak, banyak yang
mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara sebagai salah
satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan anak; yang sering
dipersoalkan adalah masalah apakah pidana penjara yang dijatuhkan pada
anak adalah suatu tindakan yang tepat untuk kepentingan perkembangan anak
menuju perbaikan dalam masa pertumbuhannya? karena menurut penulis,
pidana penjara yang diberikan pada anak tidak menjamin anak yang keluar
dari lembaga menjadi baik, karena menurut hasil penelitian dijumpai adanya
residivis, jadi menurut penulis pidana penjara termasuk pidana yang relatif
kurang efektif. Pendapat serupa pernah dikatakan oleh R. M. Jackson, yang
menyatakan bahwa pidana penjara termasuk pidana yang kurang efektif. Dari
hasil studi yang dilakukannya mengenai perbandingan efektifitas pidana,
Jackson menyatakan bahwa angka perbandingan rata-rata pengulangan atau
penghukuman kembali (reconviction rate) bagi si pelaku reconviction yang
tinggi, terlihat pada anak-anak, yaitu mencapai 50%. Untuk yang pernah

239

dipidana, angka tertinggi terlihat dengan usia 21 (dua puluh satu) tahun ke
depan, yaitu mencapai 70%. Lebih tegas lagi Jackson mengatakan bahwa
reconviction rate menjadi tinggi lagi setelah seseorang dijatuhi pidana penjara
dibanding bukan pidana penjara.267

267

Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung 1992, hlm. 43.

BAB IV
ANALIS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Anak yang Berhadapan


dengan Hukum
1. Peradilan Pidana Anak Dalam Negara Hukum
Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Peraturan
hukum yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang
berdiri kokoh/ kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan
isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam
undang-undang dan peraturan hukum lainnya. Peradilan juga merupakan
instansi yang merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan
menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hakdan kewajibannya menurut
hukum. 268
Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat
demokrasi, masih tetap diandaikan:
1. Sebagai katup
2. penekan atau pressure valve atas segala pelanggaran hukum,
ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum;
3. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort
yakni sebagai tempat terakhir mencapai kebenaran dan keadilan,
sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi
menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and
justice).269
268
269

SriWidoyati Wiratmo Soekito, Op. Cit., hlm. 143


M Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.237.

240

241

Kedudukan dan keberadaan peradilan sebagai pressure valve dan the


last resort peradilan masih tetap diakui memegang peran, fungsi dan
kewenangan sebagai :
a. Penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom of
society),
b. Dianggap pula sebagai wali masyarakat (are regarding as custodian
of society),
c. Juga dianggap sebagai pelaksana penegakan hukum yang lazim
disebut dalam ungkapan judiciary as the upholders of the rule of
law.270
Peradilan yang adil memberikan penghargaan yang besar terhadap
HAM, baik sebagai tersangka. terdakwa maupun sebagai terpidana. Tobias
dan Peterson mengatakan bahwa:
Due process oflaw is constitutional guaranty that no person will
bedeprived of life, liberty or property for reasons that are arbitrary protect
the citizen against arbitrary actions of te government.271

Secara sosiologis peradilan merupakan lembaga kemasyarakatan


atausuatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Peradilan
disebut sebagai lembaga sosial merupakan himpunan dari kaidah-kaidah dari
segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam
kehidupan masyarakat. Kaidah-kaidah atau norma-norma ini meliputi
peraturan yang secara hierarki tersusun dan berpuncak pada pengadilan untuk
memenuhi kebutuhan pokok kehidupan masyarakat, yaitu hidup tertib dan
tenteram. Untuk memberikan suatu keadilan, Peradilan melakukan kegiatan
270
271

Ibid., Hlm. 238.


Dalam Mardjono Reksodiputro, Hak AsasiManusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum U.I , Jakarta, 1994, Hlm.27.

242

dan tindakan secara sistematis dan berpatokan pada ketentuan undang-undang


yang berlaku. Secara sosiologis peradilan sebagai suatu sistem lembagalembaga kemasyarakatan yang berpuncak pada lembaga pengadilan,
berproses secara konsisten dan bertujuan memberikan keadilan dalam
masyarakat. Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang
berbentuk badan peradilan. Dalam peradilan terkait beberapa lembaga yaitu :
kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum,
dalam mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga negara. B.
Arief Sidharta mengatakan bahwa peradilan adalah pranata (hukum) untuk
secara

formal,

imparsial-obyektif serta adil

manusiawi,

memproses

penyelesaian defenitif yang hasilnya dirumuskan dalam bentuk sebuah


putusan yang disebut vonnis, dan yang implimentasinya dapat dipaksakan
dengan menggunakan aparat negara (artinya: mengikat semua pihak secara
hukum) terhadap konflik antar-subyek hukum, termasuk konflik antara warga
masyarakat dan badan hukum publik (pemerintah). Pandangan filosofis
peradilan berhubungan erat dengan konsepsikeadilan. Keadilan pada dasarnya
merupakan nilai tertinggi di antara segala nilai yang ada dalam hubungan
antara manusia dan masyarakat. Keadilan merupakan integrasi dari berbagai
nilai kebijaksanaan yang telah, sedang dan selalu diusahakan untuk dicapai
pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi. Konsepsi
ini berkembang selaras dengan berkembangnya rasa keadilan dunia dan
peradaban bangsa.

243

Penerapan kebijakan/ kewenangan penjatuhan pidana (yang pada


hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum
pidana) melalui beberapa tahap/proses, yaitu:
a.
b.
c.
d.

penerapan kebijakan/ kewenangan penyidikan:


penerapan kebijakan/ kewenangan penuntutan.
penerapan kebijakan/ kewenangan pemidanaan;
penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.
Keempat tahap/proses itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan
hukum pidana yang integral. 272
Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana

itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang


integral. 273
Kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti kekuasaan mengadili
(kekuasaan menegakkan hukum oleh badan-badan pengadilan), tetapi
mencakupkekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan
hukum. Dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana kekuasaan kehakiman
(kekuasaan penegakan hukum) di bidang hukum pidana mencakup seluruh
kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan
penyidikan (badan, lembaga penyidik), kekuasaan penuntutan (oleh
badan/lembaga penuntut umum), kekuasaan mengadili (oleh badan
pengadilan) dan kekuasaan pelaksana putusan/pidana (oleh badan/lembaga
eksekusi).274 Berdasarkan uraian ini dapatdiketahui bahwa pada hakekatnya
Sistem Peradilan Pidana merupakan implementasi atau aplikasi dan
272

273
274

B. Ariel Sidharta,Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum, MakalahDisampaikan Pada


Pertemuan Pimpinan Fakultas Hukum Anggota Asosiasi Perguruan TinggiKatolik Indonesia,
Unpar, Bandung, 2000, hlm. 3.
Barda Nawawi Arief,Op. Cit., hlm. 31.
Ibid., hlm 27-28.

244

kekuasaan kehakiman di bidang peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana


adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lermbaga-lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. 275
Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat beberapa komponen yang
bekerja samasatu sama lain. Komponen-komponen yang bekerjasama dalam
sistem ini

yaitu:

kepolisian,

kejaksaan,

pengadilan dan (lembaga)

pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk


suatu integrated criminal justice administration.276 Ciri peradilan pidana
sebagai suatu sistem ialah :
1) Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
2) Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana;
3) Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara;
4) Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menetapkan the
administration of justice.277

Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan maka ada


dua kerugian yang dapat diperkirakan :
1) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2) kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai sub-sistem dari Sistem Peradilan Pidana); dan
3) karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas
terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas
menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana. 278

275

276
277
278

Mardjono Reksodiputro,Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada kejahatan dan


penegakan hukum dalam batas-batas toleransi),Pidato Pengukuhan PenerimaanJabatan Guru
Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,1993. Hlm. l.
Marjono Reksodiputro,Op. Cit., hlm. 85.
Romli Atmasasmita,Op. Cit., hlm. 9-10.
Mardjono Reksodiputro,Op. Cit., hlm. 85.

245

Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas peradilan terkait dengan


berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan/penegakan hukum.
Berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual sumber daya manusia,
kualitas

institusional/kelembagaan,

tatakerja/manajemen,

kualitas

kualitas

sarana/prasarana,

mekanisme
kualitas

dan

substansi,

perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi,


politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat).279
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) adalah sistem
penanggulangan kejahatan, berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar
beradadalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil
apabila sebagian besar dari laporan atau keluhan masyarakat yang menjadi
korba kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke
sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapatkan pidana.280
Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. baik hukum pidana
materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 281 Sistem
Peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda, di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan
kejahatan pada tingkatan tertentu (crime containment sistem), di lain pihak
Sistem Peradilan Pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder
(secondary prevention), yakni mencoba mengurangi krimininalitas di

279

280
281

Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan.


Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 33.
Mardjono Reksodipuro,Op. Cit., hlm. 84.
Muladi,Op. Cit., hlm. 4.

246

kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang
bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan
pelaksanaan pidana. 282
Karena itu tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai:
a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c) mengusakan agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.283

Negara yang sudah maju mempunyai susunan hukum acara pidana


yangberciri untuk menyelenggarakan proses perkara pidana dengan cepat,
sederhana dan biaya murah. Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan
cepat diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural, agar
tercapai efisiensi kerja mulai dan kegiatan penyelidikan sampai dengan
penerapannya keputusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat.
Proses perkara pidana yang sederhana diartikan penyelenggaraan administrasi
terpadu agar perberkasan perkara dari masing-masing instansi yang
berwenang, berjalan dalam satu kesatuan yang tidak memberikan peluang
saluran bekerja (circuit court) secara berbelit-belit. Dari dalam berkas
tersebut terungkap pertimbangan serta kesimpulan penerapan hukum yang
mudah dimengerti oleh pihak yang berkepentingan. Proses perkara pidana
dengan biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem administrasi
perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban

282
283

Ibid., hlm.21-22.
Ibid., hlm. 84-85.

247

biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak
sebanding, yaitu biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang
diharapkan lebih kecil. 284 Proses perkara pidana dengan cepat, sederhana dan
biaya murah dapat diwujudkan dengan bantuan sarana penunjang yang
berupa:
a. kerjasama yang koordinatif dan tindakan yang sinkron di antara para
petugas;
b. membentuk badan koordinasi yang bersifat fungsional untuk
pengawasan;
c. proses verbal interogasi dan surat tuduhan disusun dengan singkat dan
mudah dimengerti;
d. meningkatkan diferensiasi jenis kejahatan atau perkara disertai
intensifikasi pembidangan tugas penyelesaian perkara. 285
Kerjasama yang koordinatif dan tindakan yang sinkron di antara
petugas-petugas

yang

bersangkutan

dalam

pemeriksaan

permulaan

(penyidikan dan penuntutan) dan pemeriksaan akhir di persidangan,


diperlukan planning board yang memuat perencanaan dan penyelesaian
tugas, sebagai alat pengendali pekerjaan bersama. Para petugas hukum dapat
membentuk koordinasi yang bersifat fungsional untuk pengawasan dan
menyelenggarakan tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan,
dan pelaksanaan putusan perkara pidana. 286
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Pengadilan Anak
adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan
Peradilan Umum. Istilah peradilan menunjukkan kepada lingkungan badan
peradilan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 10 ayat (1) UUNo.14 Tahun 1970
284
285
286

Bambang Poernomo,Op. Cit.,hlm. 16-17.


Ibid., hlm. 18.
Ibid.

248

tentang

Ketentuan-ketentuan

Pokok

Kekuasaan

Kehakiman,

yang

menetapkan adanya empat lingkungan badan peradilan,yaitu:


a.
b.
c.
d.

Peradilan Umum;
Peradilan Agama;
Peradilan Militer;
Peradilan Tata Usaha Negara.

Sedang istilah pengadilan pengertiannya lebih mengacu kepada


fungsi

badan

peradilan,

karena

suatu

badan

peradilan

fungsinya

menyelenggarakan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkaraperkara yang diajukan kepadanya. Dalam lingkungan badan peradilan tidak
ditutup kemungkinan adanya pengkhususan, misalnya dalam peradilan
umum, berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan
Ekonomi Niaga, Pengadilan HAM, dan sebagainya yang diatur oleh undangundang. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice Sistem) berbeda
dengan Sistem peradilan Pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi.
Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara pidana yang menyangkut anak. Menekankan atau memusatkan pada
kepentingan anak harus merupakan pusat perhatian dalam pemeriksaan
perkara pidana anak. Soedarto mengatakan bahwa peradilan anak meliputi
segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut
kepentingan anak. 287Encyclopedia Americana menyebutkan bahwa peradilan
anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-penjahat muda,

287

Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 14.

249

Anak Nakal dan anak-anak terlantar.288 Menurut peneliti yang dimaksud


dengan Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan
anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan Anak,
Penuntutan Anak, Pengadilan Anak, Pemasyarakatan Anak.
Landasan tindakan penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana
adalah :
l.

2.

Pendekatan yang manusiawi, yaitu menegakkan hukum dengan cara


yang manusiawi yang menjunjung tinggi human dignity. Hal ini
mewajibkan para penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara
penditeksian yang ilmiah atau dengan metoda scientific crime
detection, yakni cara pemeriksaan tindak pidana berlandaskan
kematangan ilmiah. Menjauhkan diri dari cara pemeriksaan
konpensional dalam bentuk tangkap dulu, dan peras pengakuan dengan
jalan pemeriksaan fisik dan mental. Sudah saatnya para penegak hukum
mengasah jiwa, perasaan dan penampilan serta gaya mereka dibekali
dengan kehalusan budi nurani yang tanggap atas rasa keadilan
atausense ofjustice.
Memahami rasa tanggungjawab, hal ini sangat penting disadari para
penegak hukum, sebab yang mereka hadapi adalah manusia
sebagaimana dirinya sendiri, yakni manusia yang memiliki jiwa dan
perasaan. Sudah semestinya para penegak hukum merenungkan arti
tanggungjawab dalam menangani setiap manusia yang dihadapkan
kepadanya. Ketebalan rasa tanggungjawab atau sense of responsibility
yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi para penegak hukum harus
mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap diri sendiri,
pertanggungjawaban kepada masyarakat serta pertanggungjawaban
kepada TuhanYang Maha Esa. 289

Landasan-landasan inilah yang mampu menopang kewibawaan dan


citra penegakan hukum. Landasan dan sikap ini mampu mengembalikan citra
kemurnian penegakan hukum, yang selama ini sering dituding tercela oleh
sebagian kelompok anggota masyarakat. Mulai dari tudingan perampasan
288
289

Ibid., hlm. 6.
M. Yahya Harahap, Pembahasan
PustakaKartini,Jakarta, 1993, hlm.5-6.

Permasalahan

dan

Penerapan

KUHAP,

250

HAM, pemaksaan, penganiayaan dan sikap acuh tak acuh. Hal ini
mengindikasikan seolah-olah hukum di Indonesia hanya menggilas tersangka
atau terdakwa yang miskin dan lemah, tapi sebaliknya hukum dan penegakan
hukum itu diatur oleh mereka yang kaya atau law grind the poor and rich
men rule the law, atau hukum dan penegakan hukum seolah-olah sarang labalaba yang hanya mampu menjerat kaum yang lemah akan tetapi dengan
mudah dihancurkan oleh yang kuat.
Ani Abas Manopo menegaskan beberapa prinsip dan hak yang penting
ditegakkan dalam proses peradilan pidana Indonesia, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

asas legalitas;
asas praduga tak bersalah;
hak-hak dalam penangkapan dan pendakwaan;
hak-hak dalam penahanan sementara;
hak minimal tersangka/ terdakwa dalam mempersiapkan pembelaan;
hak-hak dalam pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang;
perlunya pengadilan yang bebas dan cara menyelenggarakan peradilan
di muka umum; dan
banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan. 290
Sehubungan dengan hal ini Steenhuis juga mengemukakan bahwa bila

dilihat dari individu sebagai warga pelanggar hukum dikelilingi banyak


perlindungan, seperti:
a.
b.
c.
d.

e.

290

harus ada asas praduga tak bersalah yang beralasan;


seorang tersangka berhak untuk tidak menjawab pertanyaan selama
dalam penyidikan;
seorang tersangka berhak untuk didampingi panasihat hukum, jika
dianggap perlu tidak perlu membayar;
seorang tersangka hanya boleh ditahan dan diperiksa untuk selamalamanya 6 (enam) jam. Seorang tersangka harus segera dibebaskan
seketika batas waktu ini selesai;
seorang tersangka berhak untuk diberi kesempatan untuk memiliki
berkas hasil pemeriksaan atas dirinya;

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994, hlm. 27 .

251

f.
g.
h.
i.

j.
k.
l.

m.

seorang tersangka berhak untuk mengajukan banding terhadap putusan


hakim yang menempatkan tersangka tetap berada dalam tahanan;
penerapan tindakan yang bersifat memaksa tidak dibenarkan menurut
undang-undang;
Seorang tersangka tidak boleh dituntut dua kali untuk kejahatan yang
sama;
Setiap perintah dan tuntutan harus memenuhi persyaratan yang sangat
ketat. Kesalahan kecil dapat mengakibatkan batalnya perintah dan
tuntutan tersebut;
seorang tersangka juga berhak untuk tidak menjawab pertanyaan selama
pemeriksaan di muka sidang pengadilan;
pelaksanaan perintah/tuntutan juga dikenai persyaratan yang ketat,
kesalahan kecil saja dapat mengakibatkan pelaksanaan menjadi batal;
seorang tersangka berhak untuk didengar/diperiksa perkaranya secara
penuh oleh dua pengadilan, sekalipun ia memilih untuk tidak hadir
dalam persidangan pertama;
seorang terdakwa setiap waktu dapat mengajukan permintaan ampun
sehingga pelaksanaan pidana bagi dirinya ditangguhkan, kecuali dalam
perkara-perkara di mana pidana penjara yang didahului oleh penahanan
oleh hakim. 291
b Undang-undang Hukum Acara Pidana termasuk UU No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak pada prinsipnya memiliki tujuan:


1.
2.
3.
4.
5.

perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau


terdakrwa);
perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan;
kodifikasi dan unifikasi acara pidana;
mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum;
mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945.292
Untuk mencapai tujuan ini Hukum Acara Pidana menetapkan 10

(sepuluh) asas yang merupakan pedoman, yaitu:


1.
2.

291

292

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi

Romli Atmasasmita,Sistem Peradilan Pidana Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme,


Binacipta,Jakarta, 1996, hlm. 11.
Ibid., hlm. 77.

252

wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara
yang diatur dengan undang-undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yane diterapkan, wajib
diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan, dan para
pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan
atau dikenakan hukuman administrasi;
5. Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak, diterapkan secara konsekuen dalam
semua tingkat peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya, termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang,
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan. 293
Arti peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan
hukum/peraturan perundang-undangan formal. Dalam pengertian peradilan
yang adil ini, terkandung penghargaan hak kemerdekaan seorang warga
negara. Keadilan adalah suatu kondisi di mana setiap orang dapat
melaksanakan hak dan kewajiban secara rasional, bertanggung jawab dan
bermanfaat.294 Hal ini sesuai dengan Alinea I Pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Meskipun
293
294

Ibid., hlm. 77-78.


Agung Wahjono dan Siti Rahayu,Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar
Grafika,Jakarta, 1993, hlm. 17.

253

seorang warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan pidana tindak


pidana, hak-haknya sebagai warga negara tidaklah seluruhnya hapus atau
hilang. Dalam proses hukum yang adil (due process of law) mencakup
sekurang-kurangnya : (a) perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang
dari pejabat negara, (b) bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah
tidaknya terdakwa, (c) bahwa sidang terbuka untuk umum (tidak
bolehbersifat rahasia) kecuali sidang menyangkut anak atau kesusilaan, (d)
bahwa tersangka, terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela diri
sepenuhnya.295 Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa selain dari fungsi
politis prosedur pidana untuk melindungi hak-hak dari perbuatan sewenangwenang dan campur tangan yang tidak adil dari negara, fungsi sosial yang
berdiri sendiri berikut ini dapat dihubungkan dengannya.
a.
b.

Prosedur pidana memberikan peluang dan tempat untuk menyalurkan


dan menghaluskan emosi yang bersifat agresif dan destruktif;
Informasi harus dihasilkan sedemikian rupa sehingga keputusan
pengadilan dapat dinilai. 296
Pendekatan sistem dan pendekatan fungsional dalam peradilan pidana

termasuk Peradilan Pidana Anak, memungkinkan tercapainya suatu keadilan.


Pendekatan sistem dalam peradilan pidana mempunyai ciri: a. Titik berat
pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan), b. Pengawasan dan
pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana, c.
Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan, lebih utama dari efisiensi
295
296

Mardjono Reksodipuro,Op. Cit., hlm.36.


Soedjono Dirdjosisworo,Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1981,
hlm. 67

254

penyelesaian perkara, d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk


memantapkan the administration of justice. Dalam masyarakat terdapat dua
macam individu, yaitu: the lawabiding citizen (warga taat hukum) dan the
lawbreaker (warga pelanggarhukum). Pemerintah (negara) dalam hal ini
para penegak hukum memperlakukan kedua individu tersebut, diperhatikan
hak-haknya, sebagaimana dijamin hukum. 297 Perlindungan hak-hak individu
yang dijabarkan secara tegas dalam konstitusi, undang-undang, berbagai
peraturan dan jurisprudensi yang diikuti dengan pelaksanaan dan pengawasan
serta tindakan yang tegas terhadap penegak hukum yang menyeleweng akan
berpengaruh terhadap perilaku yang baik, tegas dan bertanggungjawab para
aparat penegak hukum dalam proses administrasi peradilan pidana.
Perwujudan keadilan sejati yang didambakan dan merupakan citra
masyarakat relatif dapat tercermin dalam sikap perilaku pribadi-pribadi
pelaksana penegakan hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim dan
Petugas

Lembaga

Pemasyarakatan

dan

rehabilitasi

sosial.

Dalam

perkembangan ke arah perlindungan hak-hak pribadi yang lebih meluas juga


peran profesi hukum umumnya terutama advokat dan pengacara, merupakan
penegak hukum yang besar perannya. 298
Penempatan kata anak dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan
atas perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan yaitu perkara anak. Proses
memberi keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badanbadan peradilan disesuaikan dengan bentuk-bentuk serta kebutuhan anak.
297
298

Romli Atmasasmita,Op. Cit., hlm. 9-10.


Soedjono Dirdjosisworo,Op. Cit., hlm. 5l.

255

Peradilan Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara


yang menyangkut kepentingan anak. Ruang lingkup Peradilan Anak yang
meliputi: a. segala aktivitas pemeriksaan; b. pemutusan perkara; c. hal-hal
yang menyangkut kepentingan anak. Menurut sistem hukum aktivitas
pemeriksaan terhadap perkara pidana melibatkan: kepolisian, selaku penyidik
melakukan serangkaian tindakan penyidikan, penangkapan, penahanan serta
pemeriksaan pendahuluan; kejaksaan selaku penuntut umum, sebagai
penyidik atas tindak pidana khusus yang kemudian melimpahkan perkara ke
pengadilan; pemeriksaan di depan pengadilan kemudian mengambil
keputusan. Dalam Peradilan Pidana Anak, perkara-perkara yang diperiksa
adalah perkara pidana anak yang menyangkut kenakalan anak.
Peradilan Pidana Anak diselenegarakan dengan memperhatikan
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak itu penting karena: a. Anak adalah
potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah diletakkan oleh
generasi sebelumnya; b. Agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab
tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang
secara wajar; c. Bahwa di dalam masyarakat terdapat anak-anak yang
mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi; d.
anak belum mampu memelihara dirinya; e. Bahwa menghilangkan hambatan
tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh apabila usaha
kesejahteraan anak terjamin. 299

299

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Op. Cit., hlm. 39

256

Dalam Sistem Peradilan pidana Anak terkait beberapa unsur yang


merupakan satu kesatuan yaitu: penyidik Anak, penuntut Umum Anak,
Hakim Anak dan Petugas Lembaga pemasyarakatan Anak. Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan

yang

mengatur

tentang

Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan


peraturan perundang-undangan tersebut. Ini berarti juga bahwa Peradilan
pidana Anak yang adil memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak,
baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun sebagai terpidana/narapidana,
sebab perlindungan terhadap hak-hak anak merupakan tonggak utama dalam
Peradilan Pidana Anak dalam negara hukum. Filsafat Peradilan Pidana Anak
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak, karena itu hukum merupakan
landasan, pedoman dan sarana tercapainya kesejahteraan dan kepastian
hukum guna menjamin perlakuan maupun tindakan yang diambil; khususnya
bagi Anak Nakal. Dalam proses hukum yang melibatkan anak sebagai subjek
delik, tidak mengabaikan masa depannya dan tetap menegakkan wibawa
hukum demi keadilan.
2.

Gambaran Umum Peradilan pidana Anak di Indonesia


a.

Kedudukan Peradilan Pidana Anak

Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai


baik perkara perdata maupun perkara pidana. Tidak tertutup kemungkinan
adanya

pengkhususan

(diferensiasi/spesialisasi)

dalam

masing-masing

lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan


berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak. Pengadilan Niaga dan

257

sebagainya. Sebagaimana disebut di atas, bahwa perbedaan istilah Peradilan


Umum dengan Peradilan Khusus ini terutama disebabkan oleh adanya
perkara-perkara atau golongan rakyat tertentu. Peradilan Khusus mengadili
perkara-pekara atau menyangkut golongan rakyat tertentu. Golongan rakyat
tertentu misalnya dalam Peradilan Agama adalah tentang nikah, talak, rujuk
dan lain-lain bagi yang beragama Islam. Peradilan Militer menyangkut
perkara-perkara pidana dan disiplin militer bagi yang berstatus militer.
Badan-badan Peradilan Khusus di samping Badan-badan Peradilan
yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan undang-undang. Sesuai dengan
Pasal 10 dan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 beserta penjelasannya,
Pengadilan Anak merupakan Pengadilan Khusus, merupakan spesialisasi dan
diferensiasinya dibawah Peradilan Umum. Peradilan Anak diatur dalam UU
No. 3 Tahun 1997, yang merupakan ketentuan yang khusus. Pasal 2 UU No.
3 Tahun 1997 menentukan bahwa Pengadilan Anak adalah pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Di
Indonesia belum ada tempat bagi suatu Pengadilan Anak yang berdiri sendiri
sebagai peradilan yang khusus. Pengadilan Anak masih di bawah ruang
lingkup Peradilan Umum. Secara intern dilingkungan Peradilan Umum dapat
ditunjuk hakim yang khusus mengadili perkara-perkara anak. Pengadilan
Anak melibatkan anak dalam proses hukum sebagai subyek tindak pidana
dengan tidak mengabaikan masa depan anak tersebut, dan menegakkan
wibawa hukum sebagai pengayom, pelindung serta mencipatakan iklim yang
tertib untuk memperoleh keadilan. Perlakuan yang harus diterapkan oleh

258

aparat penegak hukum, yaitu pada kenyataannya secara biologis, psikologis


dan sosiologis, kondisi fisik, mental dan sosial anak menempatkannya pada
kedudukan khusus.
b. Tujuan Peradilan Pidana Anak
Peradilan Anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak,
tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya keadilan. Tujuan
Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan
lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970
yang menentukan sebagai berikut:
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam Pasal 1
diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undangundang, dengan tugas pokok untuk menerima memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan :


Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak,
bertugasdan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.
Kata terpenting dalam ketentuan di atas adalah mengadili. Perbuatan
mengadili berintikan mewujudkan keadilan. Hakim melakukan kegiatan dan
tindakan-tindakan. Pertama-tama menelaah lebih dahulu kebenaran peristiwa
yang

diajukan

kepadanya.

Setelah

itu

mempertimbangkan

dengan

memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan


hukum yang berlaku, kemudian memberikan kesimpulan dan menjatuhkan
putusan terhadap peristiwa tersebut. Dalam mengadili, Hakim berusaha
menegakkan kembali hukum yang dilanggar. Salah satu usaha penegakan

259

hukum itu adalah melalui Peradilan Anak sebagai suatu usaha perlindungan
anak untuk mendidik anak tanpa mengabaikan tegaknya keadilan. Peradilan
anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan
memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan
perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Perlindungan terhadap
kepentingan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan
pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosialisasi menjadi landasan
peradilan anak.
Pasal 1 butir 1 a UU No.4 Tahun 1979 menentukan :
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan
tugas pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya
mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa
depan anak merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak.
Filsafat Peradilan Pidana Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak,
sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan Anak dengan UndangUndang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 Tahun 1979). Peradilan Pidana Anak
hendaknya memberi pengayoman bimbingan, pendidikan melalui putusan
yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam Peradilan Pidana Anak
ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan,
keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan
dan sebagainya. Mewujudkan halini perlu ada hukum yang melandasi,

260

menjadi pedoman dan sarana tercapainya kesejahteraan dan kepastian hukum


guna menjamin perlakuan maupun tindakan yang diambil terhadap anak.
Dalam usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak, anak perlu diadili oleh
suatu badan peradilan tersendiri. Usaha mewujudkan kesejahteraan anak
adalah bagian dan meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat.
Hal ini tidak terlepas dari usaha untuk melanjutkan dan melestarikan
peradaban bangsa Indonesia, penting bagi masa depan bangsa dan negara.
Menegakkan keadilan terhadap Anak Nakal merupakan usaha membina anakanak. Kesejahteraan anak itu penting karena: a. Anak merupakan potensi dan
penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah diletakkan oleh generasi
sebelumnya; b. Agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab, ia
mendapat kesempatan tumbuh dan berkembang secara wajar; c. Dalam
masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan
rohani, jasmani, sosial dan ekonomi; d. Anak belum mampu memelihara
dirinya sendiri; e.

Menghilangkan hambatan tersebut

hanya dapat

dilaksanakan dan diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak terjamin.


b.

Sejarah Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Surat Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P. 1/ 20, tanggal


30Maret 1951 menjelaskan tentang Anak Nakal adalah mereka yang menurut
hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16
(enam belas) tahun. Dalam surat ini Jaksa Agung menekankan bahwa
menghadapkan anak-anak ke depan pengadilan hanya sebagai langkah
terakhir (ultimum remedium). Bagi Anak Nakal masih dimungkinkan ada

261

penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak faedahnya. Lembaga


yang dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor Pejabat
Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh
Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana. Pra Yuwana
adalah lembaga yang ditugaskan membantu pelaksanaan peradilan anak.
Tujuan lembaga ini melindungi anak dan mencegah anak-anak lainnya agar
tidak melakukan pelanggaran hukum dankesusilaan dan membimbing anakanak. Selain sebagai social worker, PraYuwana sekaligus berfungsi sebagai
Lembaga Counseling yang memberikan bantuan/nasihat, pengawasan serta
tindakan selanjutnya bagi kliennya apakah dimasukkan ke panti asuhan
Pendidikan atau dikirim ke pengadilan.300
Penanganan perkara pidana anak di samping berlaku Pasal 45, Pasal
46 dan Pasal 47 KUHP, beberapa ketentuan dipergunakan sebagai pedoman
yaitu: Peraturan Menteri Kehakiman No. M.06-UM.01tahun 1983, tanggal
16September 1983 yang mengatur tata tertib persidangan anak. Persidangan
dilakukan tertutup untuk umum sementara putusan dinyatakan dalam sidang
terbuka untuk umum. Juga ditentukan bahwa hakim, jaksa penuntut umum
dan penasihat hukum bersidang tanpa toga, dan pemeriksaan dilakukan
dengan kehadiran orang tua/wali/ orang tua asuh. Surat Edaran Mahkamah
Agung No.: 6 Tahun 1987, tanggal 17 Nopember 1987 tentang Tata Tertib
Sidang Anak menentukan bahwa dalam perkara pidana anak diperlukan
penelitian

300

pendahuluan

mengenai

unsur-unsur

Agung Wahjono dan SitiRahayu,Op. Cit, hlm.2-3.

tindak

pidana

yang

262

didakwakan, menyangkut lingkungan, pengaruh dan keadaan anak yang


melatar belakangi tindak pidana itu. Juga diharapkan agar hakim
memperdalam pengetahuan melalui literatur, diskusi dan sebagainya.

3. Prinsip-Prinsip Peradilan Pidana Anak


Kompetensi absolut Pengadilan Anak ada pada Badan Peradilan
Umum, artinya bahwa Pengadilan Anak itu adalah bagian dari Badan
Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk
memeriksa perkara Anak Nakal dan bermuara pada Mahkamah Agung
sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi. Dalam hal terjadi koneksitas, seorang
anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa yang berstatus militer,
penyidangan perkaranya harus dipisah. Maksudnya anak diadili dalam sidang
Pengadilan Anak dan pelaku tindak pidana yang sudah dewasa yang berstatus
militer diadili oleh Pengadilan Militer.
Kompetensi relatif Pengadilan Anak, adalah sesuai dengan tempat
kejadian kenakalan anak. Maksudnya pengadilan yang berwenang mengadili
perkara itu adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kejadian tindak pidana yang terjadi. Undang-Undang Pengadilan Anak dalam
Pasal-Pasal nya menganut beberapa asas yang membedakannya dengan
sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah
sebagai berikut:
3.

Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Pengadilan Anak); Orang yang dapat disidangkan dalam acara
pengadilan anak ditentukan secara liminatif, yaitu minimum berumur 8

263

(delapan) tahun dan maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun dan


belum pernah kawin.
4. Ruang Lingkup masalah dibatasi; Masalah yang diperiksa di Sidang
Pengadilan Anak, hanyalah menyangkut perkara Anak Nakal saja.
Sidang anak hanya berwenang memeriksa perkara pidana, jadi masalahmasalah lain di luar pidana bukan wewenang Pengadilan Anak. Sidang
pengadilan Anak hanya berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara Anak Nakal (Pasal
21 Undang-Undang
Pengadilan Anak).
5. Ditangani pejabat khusus; Perkara Anak Nakal ditangani pejabat
khusus yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak.
6. Peran Pembimbing Kemasyarakatan; Undang-Undang Pengadilan
Anak mengakui peranan Pembimbing Kemasyarakatan, pekerja Sosial,
dan pekerja Sosial Relawan.
7. Suasana Pemeriksaan dan kekeluargaan; pemeriksaan perkara di
pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, karena itu Hakim,
penuntut umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum tidak memakai toga.
8. Keharusan splitsing; Anak tidak boleh bersama orang dewasa baik yang
berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan pidana
bersama dengan orang dewasa, maka anak diadili dalam sidang biasa,
atau apabila ia berstatus militer di Peradilan Militer.
9. Acara pemeriksaan tertutup; Acara pemeriksan di Pengadilan Anak
dilakukan secara tertutup. Ini demi kepentingan anak sendiri, akan
tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
(Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) UU No. 3 tahun
1997
10. Diperiksa hakim tunggal; Hakim yang memeriksa perkara di pengadilan
Anak, baik di tingkat pertama, banding atau kasasi dilakukan dengan
hakim tunggal. Apabila tindak pidananya diancam dengan pidana
penjara di atas 5 (lima) tahun dan pembuktiannya sulit, maka
berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 perkara diperiksa
dengan hakim majelis. Pasal 11 ayat (2) tersebut selain dalam hal
tertentu yaitu tentang ancaman hukuman dan pembuktian tersebut,
juga dipandang perlu. Undang-undang ini tidak menjelaskan yang
dimaksud dengan dipandang perlu. Bila hal ini ditinjau dari segi
perlindungan anak, dapat diketahui bahwa Pasal 11 ayat (2) UU No. 3
Tahun 1997 tidak memberikan perlindungan hukum terhadap anak,
karena ketidaktegasan pengaturan tentang waktu diwajibkannya hakim
majelis di dalam pemeriksaan perkara pidana Anak Nakal. Bisa saja
Ketua Pengadilan memandang bahwa perkara tersebut perkara yang
tidak sulit pembuktiannya, namun kenyataannya sulit, hal ini akan
mempengaruhi kualitas perlindungan anak yang tercermin dari
keputusan hakim atas perkara pidana Anak Nakal. Dalam hal ini anak
menjadi korban ketidaktegasan UU No. 3 Tahun 1997.
11. Masa penahanan lebih singkat; Masa penahanan terhadap Anak Nakal
lebih singkat yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 dibandingkan

264

dengan masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tentu
memberikan perlindungan terhadap anak, sebab dengan penahanan
yang tidak begitu lama, tidak akan berpengaruh besar terhadap
perkembangan fisik, mental dan sosial anak.
12. Hukum lebih ringan; Hukuman yang dijatuhkan terhadap Anak Nakal
(Pasal 22-32 UU No. 3 Tahun 1997), lebih ringan dari ketentuan yang
diatur dalam KUUHP. Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah
10 (sepuluh) tahun. Hal ini juga bila ditinjau dari aspek perlindungan
anak, bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, telah
mencerminkan perlindungan terhadap anak. Hakim Pengadilan Anak
harus dengan jeli mempertimbangkan dan memahami bahwa
penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum
remediun/ the last resort).

4. Perkembangan Formulasi Undang-undang Nomor 3 tahun 1997


Tentang Pengadilan Anak dengan Undang-undang Nomor 11
Tentang Sistem Peradilan Anak.
Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama
perlindungan khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan,
telah terdapat 2 (dua) undang-undang yang mengatur khusus tentang
peradilan anak. Yang pertama adalah Undang-undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak yang berganti menjadi Undang-undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya
dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR pada
akhir bulan juli 2012 lalu dibanding dengan Undang-undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tujuannya adalah untuk semakin
efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya

265

Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (integrated criminal justice


sistem) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah
ada sebelumnya.
Sebuah upaya yang patut diapresiasi oleh

bahwa Pemerintah

telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaruan undangundang atau substansi hukum (legal substance reform), tetapi juga yang
lebih diharapkan lagi adalah terciptanya pembaruan struktur hukum
(legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal culture
reform) yang termasuk di dalamnya juga pembaharuan etika hukum dan
ilmu/pendidikan hukum (legal ethic and legal science/education
reform).301
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak terdapat perubahan-perubahan dibandingkan
dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
diantaranya :
a) Definisi anak
b) Lembaga-lembaga anak
c) Asas-asas
d) Sanksi pidana

a)

Definisi Anak

Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

terdapat definisi Anak, Anak Nakal, dan Anak Didik Pemasyarakatan.

301

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010. Hlm.6

266

1.

Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2.

Anak Nakal
Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

3.

Anak Didik Pemasyarakatan


Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim
Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah
Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim
Pengamat
Pemasyarakatan,
dan
Klien
Pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.
Sedangkan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak diperluas lagi, dan


cenderung kepada penggunaan anak dalam sistem peradilan, yaitu Anak
yang Berhadapan dengan Hukum, Anak yang Berkonflik dengan
Hukum, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, dan Anak yang
Menjadi Saksi Tindak Pidana, hal ini juga tidak terlepas dengan adanya
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban sehingga mempengaruhi definisi anak dalam Undang-undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
1.

Anak yang Berhadapan dengan Hukum


Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

2.

Anak yang Berkonflik dengan Hukum

267

Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut


Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
3.

Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana


Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya
disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

4.

Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana


Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri.

b)

Lembaga-Lembaga Anak

Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

tidak disebutkan secara rinci tentang lembaga-lembaga apa saja yang


terdapat dalam SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak), tetapi lebih
cenderung ke arah pemasyarakatan atau lebih tepatnya dialihkan kepada
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hal ini
terbukti dengan adanya bunyi Pasal 1 poin ke-3 :
Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim
Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah
Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim
Pengamat
Pemasyarakatan,
dan
Klien
Pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.
Tetapi dalam perkembangannya dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat lembagalembaga antara lain: Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA),

268

Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga


Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
1.

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)


Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat
LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa
pidananya.

2.

Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)


Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya
disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses
peradilan berlangsung.

3.

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)


Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya
disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

c)

Asas-Asas

Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak

menyebut secara khusus bahwa pengadilan anak didasarkan atas asasasas apa saja, tetapi dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 yang
berbunyi:
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
pelindungan;
b.
keadilan;
c.
nondiskriminasi;
d.
kepentingan terbaik bagi Anak;
e.
penghargaan terhadap pendapat Anak;
f.
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g.
pembinaan dan pembimbingan Anak;
h.
proporsional;
i.
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir; dan
j.
penghindaran pembalasan.

269

Asas-asas tersebut dicantumkan dalam Pasal

2 adalah demi

terjaminnya hak-hak anak dalam Sistem Peradilan.

d)

Sanksi Pidana

Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak memuat sanksi pidana, baik pokok maupun tambahan, antara lain:

a.
b.
c.
d.

Undang-undang No. 3
Tahun 1997

Undang-undang
No. 11 Tahun 2012

Pidana Pokok

Pidana Pokok

pidana penjara;
pidana kurungan;
pidana denda; atau
pidana pengawasan.

a.
b.

c.
d.
e.
Pidana Tambahan
a. perampasan barang-barang
tertentu dan atau
b. pembayaran ganti rugi.

pidana peringatan;
pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar
lembaga;
2) pelayanan
masyarakat;atau
3) pengawasan.
pelatihan kerja;
pembinaan dalam
lembaga; dan
penjara.
Pidana Tambahan

a.

b.

perampasan
keuntungan yang
diperoleh dari tindak
pidana; atau
pemenuhan kewajiban
adat.

270

B. Kebijakan Aplikasi Hukum Pidana Terhadap Anak yang Berhadapan


dengan Hukum
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Penyidikan
a. Penangkapan dan Penahanan
Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam
Undang-Undang Pengadilan Anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan
KUHAP (Pasal 43 UU No.3 Tahun 1997). Berdasarkan Pasal 16 KUHAP
dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan
penyelidikan dan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Pelaksanaan tugas
penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara RI dengan
memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat-surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan
alasan

penangkapan,

dan

uraian

singkat

perkara

kejahatan

yang

dipersangkakan serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa (Pasal 18


KUHAP).
Dalam melakukan tindakan penangkapan asas praduga tak bersalah,
harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak.
Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami
masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan
terhadap anak yang diduga melakukan kenakalan, didasarkan pada bukti yang
cukup dan jangka waktunya terbatas dalam satu hari. Dalam melakukan

271

penangkapan diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka seperti hak


mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara
yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54 KUHAP). KUHAP tidak
mengatur secara tegas tentang pengertian bukti yang cukup, sehingga dalam
praktik sulit menilai bukti cukup atau tidak. Menurut peneliti hal ini tidak
mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur
secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan.
Penahanan ialah penempatan tersangka atau terdakwa ke tempat tertentu oleh
Penyidik Anak atau Penuntut Umum Anak atau Hakim Anak dengan
penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
UU No. 3 Tahun1997 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau
terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah dapat ditahan berarti penahanan
anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharapkan
betul-betul mempertimbangkan apabila mau melaksakan penahanan anak.
Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP alasan penahanan adalah karena ada
kekhwatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang
bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut Hukum Acara Pidana
menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi
untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan
seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Pasal 44 ayat ( 1 ) UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa untuk
kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penahanan anak

272

yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti


permulaan yang cukup. Dasar diperkenankan suatu penahanan anak adalah
adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa anak melakukan
tindak pidana (kenakalan). Penahanan dilakukan apabila anak melakukan
tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas, atau tindak
pidana-tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam
hal ini muncul persoalan dalam menentukan diduga keras dan bukti
permulaan, sebab bisa saja Penyidik salah duga atau menduga-duga saja. Hal
ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban
ketidak cermatan atau ketidaktelitian Penyidik. Menentukan bukti yang cukup
sebagai bukti permulaan-dalam KUHAP juga tidak diatur dengan tegas, hal
ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Bisa saja menurut Penyidik bukti
permulaan telah cukup padahal Hakim dalam pra-peradilan (apabila diajukan
pra-peradilan oleh Anak Nakal/penasihat hukumnya) memutuskan bahwa
penahanan tidak sah, anak sudah dirugikan terutama dari segi mental, anak
merasa tertekan dan trauma atas pengalaman-pengalaman tersebut. Menurut
peneliti, untuk menjamin agar ketentuan mengenai dasar penahanan ini
diindahkan, diadakan institusi pengawasan baik yang dilaksanakan oleh
atasan di instansi masing-masing yang merupakan built in control maupun
pengawasan sebagai sistem checking antara penegak hukum.
Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama
adalah 20 (dua puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka

273

waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut. Penyidik harus sudah menyerahkan


berkas perkara kepada penuntut umum. Jangka waktu penahanan Anak Nakal,
lebih singkat daripada penahanan orang dewasa. Menurut peneliti hal ini
positif dari segi aspek perlindungan anak, sebab anak tidak perlu terlalu lama
berada dalam tahanan, sehingga tidak mengganggu pertumbuhan anak baik
secara fisik, mental maupun sosial. Apabila seorang anak ditangkap dan atau
ditahan, dan ia berpendapat bahwa penangkapan/penahanannya dilakukan
secara tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undangundang, maka tersangka/ terdakwa atau keluarganya atau penasihat
hukumnya dapat meminta pemeriksaan dan putusan oleh Hakim tentang
sahnya penangkapan penahanan dalam sidang praperadilan. Pasal 45 ayat (1)
UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa penahanan dilakukan setelah
dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau
kepentingan masyarakat. Penyidik yang melakukan tindakan penahanan harus
terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan
penahanan,

dari

segi

kepentingan

anak,

seperti pertumbuhan

perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial. Selain

dan
itu

dipertimbangkan dengan matang kepentingan masyarakat, misalnya dengan


ditahannya tersangka/ Anak Nakal akan membuat masyarakat menjadi aman
dan tenteram. Menurut peneliti hal ini sulit di dalam penerapannya, sebab
dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi dengan melakukan
penahanan tidak mudah. Hal ini akan menyulitkan pihak penyidik yang
melakukan tindakan penahanan. Dalam melakukan tindakan penahanan,

274

Penyidik harus melibatkan pihak yang berkompeten, seperti pembimbing


Kemasyarakatan, Psikolog, Kriminolog dan ahli lain yang diperlukan,
sehingga Penyidik Anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan
penahanan.
Pasal 45 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa alasan
penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan. Pelanggaran/ kelalaian atas Pasal 45
ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 ini tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya,
sehingga dapat

merugikan anak.

Penahanan anak didasarkan atas

pertimbangan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat, yang harus


dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Keharusan ini tidak
ada akibat hukumnya, manakala pejabat yang berwenang melakukan
penahanan lalai memberikan pertimbangan dalamsurat perintah penahanan.
Sanksi yang dapat diberikan kepada Penyidik Anak tersebut tidak diatur atau
akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan
hukum di bidang Pengadilan Anak ini semakin menunjukkan kelemahan
KUHAP terutama menyangkut pra-peradilan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dalam praktiknya
dasar pertimbangan dilakukan penahanan anak belum dipahami pihak
kepolisian

secara

tepat.

Mereka

masih

menganggap

bahwa

dasar

pertimbangan dilakukan penahanan anak adalah karena anak melakukan


tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
dikhawatirkan melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi tindak pidana.

275

Bila dipahami secara mendalam dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan


penahanan anak menurut Pasal 45 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 adalah
kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Jika kepentingan anak
menghendaki dilakukan penahanan, maka anak tersebut ditahan. Tetapi
apabila kepentingan anak tidak menghendaki, walaupun anak melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,
maka tidak dilakukan penahanan. Kepentingan anak dalam hal ini ialah
dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap perkembangan fisik,
mental dan sosial anak. Apabila penahanan mengganggu perkembangan fisik,
mental dan sosial anak, maka penahanan anak tidak dilakukan. Penahanan
dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan terakhir (ultimum remedium) dan
dalam jangka waktu singkat/pendek. Mempertimbangkan kepentingan anak
ini

dilibatkan

Balai

Pemasyarakatan

yang

melakukan

penelitian

kemasyarakatan terhadap Anak Nakal, dapat juga dilibatkan ahli-ahli lain


seperti Kriminolog, Psikolog, Pemuka Agama (Rohaniawan) dan lain-lain.
Tempat penahanan anak harus dipisah dari tempat penahanan orang
dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak
harus tetap dipenuhi (Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 1997).
Penahanan anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, yang
tempatnya terpisah dari Narapidana Anak. Hal ini dilatar belakangi oleh
pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang
ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan dengan
Narapidana

Anak

dikhawatirkan

dapat

menularkan

pengalaman-

276

pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi


perkembangan

mentalnya.

Berdasarkan

hasil

penelitian,

dalam

pelaksanaannya masih banyak tahanan anak digabung dengan orang dewasa,


dengan alasan bahwa tempat penahanan di lembaga Pemasyarakatan orang
dewasa sudah penuh. Menurut peneliti hal ini sangat berbahaya dan tidak
mencerminkan perlindungan anak. Narapidana Anak dan tahanan anak
terpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja
mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum
pernah dia dengar dan dia lakukan, atau bahkan anak dapat menjadi korban
pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.
b. Proses Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan
pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana. Tindakan ini
meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan barang bukti,
penggeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka,
penangkapan,

penahanan.

Penyidikan

adalah

serangkaian

melakukan
tindakan

penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga


sebagai peristiwa pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan dengan cara yang diatur dalam undang-undang ( KUHAP).
Menurut peneliti dalam melakukan penyidikan Anak Nakal diusahakan
dilaksanakan oleh polisi wanita, dan dalam beberapa hal jika perlu dengan
bantuan polisi pria. Penyidik Anak juga harus mempunyai pengetahuan
seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, antropologi, juga harus

277

mencintai anak dan berdedikasi, dapat menyilami jiwa anak dan mengerti
kemauan anak.
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
(Pasal 12 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini menghendaki bahwa
pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik.
Efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama,
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak
tersangka

memberikan

keterangan

yang

sejelas-jelasnya.

Simpatik

maksudnya pada waktu pemeriksaan penyidik bersifat sopan dan ramah serta
tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya ialah agar pemeriksaan berjalan
dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi
Penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan keterangan yang
benar dan sejelas-jelasnya. Pada waktu memeriksa tersangka Penyidik tidak
memakai pakaian seragam. Jadi melakukan pendekatan secara simpatik, serta
tidak melakukan pemaksaan, intimidasi, yang bisa menimbulkan ketakutan
atau trauma pada. Penyidikan merupakan salah satu dari tindakan
pemeriksaan pendahuluan menurut KUHAP. Tahap ini tidak saja merupakan
dasar bagi pemeriksaan di muka pengadilan tetapi juga pencerminan tindakan
Kepolisian (Penyelidik, Penyidik dan Penyidik Pembantu) terhadap
tersangka/terdakwa, yang merupakan ukuran perlindungan HAM dan
penegak hukum.
Ketentuan Pasal 42 ayat (1) ini mencerminkan perlindungan hukum
terhadap anak apabila dilakukan oleh penyidik sebagaimana mestinya.

278

Namun apabila Penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana


kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya.
Apabila penyidik melalaikan kewajiban memeriksa tersangka tidak dalam
suasana kekeluargaan, maka seharusnya ada akibat hukumnya, baik terhadap
pejabat yang memeriksa maupun hasil pemeriksaannya.
Dalam praktik, penyidikan anak dengan suasana kekeluargaan dapat
dikatakan telah cukup difahami oleh para penyidikdan menurut pemahaman
mereka suasana kekeluargaan itu berarti bahwa tersangka tidak merasa takut
atau ditakut-takuti, diusahakan suasana yang menenangkan, atau membuat
rasa aman, sabar, ramah, tidak menciptakan suasana yang menegangkan, dan
para penyidik tidak memakai pakaian dinas. Dalam melakukan penyidikan
Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari
Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama,
atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 42 ayat (2)UU No. 3 Tahun
1997). Laporan Penelitian Kemasyarakatan dipergunakan oleh Penyidik Anak
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan,
mengingat bahwa Anak Nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan
penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama Peneliti Kemasyarakatan
(Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar. Kegunaan dan
manfaat Laporan Penelitian Kemasyarakatan ini adalah: a. Sebelum sidang
pengadilan (Pre Adjudication); Sebelum Anak Nakal dihadapkan ke
persidangan, harus melalui beberapa proses pemeriksaan dari instansi yang

279

terkait dalam proses tata peradilan dengan harapan untuk memperoleh hasil
yang baik. Penelitian kemasyarakatan terhadap anak perlu dilakukan,
sehingga keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif baik
bagi Anak Nakal maupun terhadap pihak yang dirugikan serta untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Penelitian kemasyarakatan terhadap Anak
Nakal bertujuan agar hasil pemeriksaan sesuai dengan keadaan yang
sebenamya. Berdasarkan Laporan Penelitian Kemasyarakatan, Penyidik Anak
dapat mempertimbangkan berkas perkara/Berita Acara pemeriksaan (BAP)
diteruskan

kepada

pihak

kejaksaan

atau

tidak.

Dalam

penelitian

kemasyarakatan dilakukan penelitian tentang latar belakang kehidupan dan


lingkungan sosial, ekonomi serta hal-hal lain yang ada kaitannya dengan
tersangka. Penelitian ini paling tidak harus dapat mengungkapkan seseorang
itu melakukan perbuatan itu karena terpaksa atau akibat dipaksa orang lain
atau situasi/kondisi lingkungan yang memungkinkan dilakukan kejahatan dan
faktor victim (korban), juga dapat mendorong orang melakukan pelanggaran
hukum dan faktor lain yang dapat dijadikan pertimbangan bagi proses
perkaranya.
Pasal 42 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa dalam
melakukan penyidikan Anak Nakal,
Kemasyarakatan. Pasal

Penyidik dibantu Pembimbing

34 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1997

menentukan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas membantu


memperlancar

penyidikan

dengan

membuat

Laporan

Penelitian

Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan harus siap memberikan

280

pertimbangan atau saran yang diperlukan oleh penyidik. Hal ini


mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak. Bila penyidikan
dilakukan tanpa melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan, penyidikan batal
demi hukum.
Proses penyidikan Anak Nakal wajib dirahasiakan (Pasal 42 ayat (3)
UUNo. 3 Tahun 1997. Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan
dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan sampai
dengan tahap penyidikan wajib dilakukan secara rahasia. UU No. 3 Tahun
1997 tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap Penyidik apabila
kewajiban ini dilanggar, dan tidak mengatur akibat hukum terhadap hasil
penyidikan. Menurut peneliti hal ini mempengaruhi kualitas kerja pihak
Penyidik dan sangat berpengaruh terhadap perlindungan anak. Anak dapat
menjadi korban ketidaktegasan UU No. 3 Tahun 1997. Hal ini dapat
mengakibatkan kerugian fisik, mental, sosial anak, karena dapat menghambat
perkembangan fisik, mental dan sosial anak dalam pergaulan hidupnya.
Pelanggaran kerahasiaan proses penyidikan Anak Nakal tidak dapat digugat
melalui sidang pra-peradilan, karena pelanggaran tersebut bukan tergolong
alasan untuk diajukan pra peradilan. Dalam menanggulangi pelanggaran
tersebut, ketika perkara anak diperiksa di persidangan, terdakwa atau
penasihat hukum dapat menyampaikan keberatan (Pasal

156 ayat (1)

KUHAP) terhadap surat dakwaan. Alasan keberatan adalah bahwa surat


dakwaan tidak memiliki landasan hukum yang benar karena dibuat
berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sah, yang pada waktu proses

281

penyidikan tidak dirahasiakan oleh Penyidik. Keberatan tersebut didukung


oleh bukti-bukti yang dapat meyakinkan Hakim dalam mengambil keputusan
selanya, apabila hakim sependapat dengan terdakwa/ penasihat hukumnya.
Pertimbangan penyidikan anak

dilakukan secara

rahasia

agar

perkembangan fisik, mental dan sosial anak tidak terhambat atau terganggu,
sebab secara fisik, mental dan sosial, anak masih lemah sehingga diperlukan
kehati-hatian dalam penanganannya.
Perkara Anak Nakal dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah
perkara Anak Nakal yang berumur minimal 8 (delapan) tahun dan maksimum
belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan yang belum pernah
kawin. Namun Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 masih memungkinkan
dilakukan penyidikan anak yang berumur di bawah 8 (delapan) tahun, pada
hal berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang
belum berumur 8 (delapan) tahun yang diduga melakukan kenakalan adalah
untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana
seorang diri atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan
melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain, yang dalam hal
ini yang berumur 8 (delapan) tahun ke atas dan atau dengan orang dewasa.
Apabila anak yang bermur 8 (delapan) tahun melakukan tindak pidana
dengan yang berumur 8 (delapan) tahun, maka penyidikannya dilakukan lebih
lanjut. Apabila anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan
orang dewasa, maka penyidikannya terpisahdengan anak, dan berkasnya

282

dipisah, penuntutan dan persidangannya dengan Anak Nakal juga dipisah.


Penyidikan anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun tetap menjunjung
tinggi asas praduga tak bersalah. Menjadi masalah adalah apabila hal ini
dikaitkan dengan tindakan penahanan. UU No. 3 Tahun 1997 tidak mengatur
dengan tegas, anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana dapat ditahan atau tidak. Dalam kedudukannya
sebagai tersangka, bila dirujuk dengan Pasal 44 ayat (1) UU No. 3 Tahun
1997, Penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras
melakukan kenakalan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Syarat
penahanannya sama dengan Anak Nakal yang berumur 8 tahun atau lebih,
yaitu sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau
kepentingan masyarakat (Pasal 45ayat(1) UU No. 3 Tahun 1997). Jadi secara
yuridis anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun dapat dilakukan
penahanan.
Menurut peneliti bila ditinjau dari aspek perlindungan anak ketentuan
UUNo. 3 Tahun 1997 yang berkaitan dengan kemungkinan penahanan anak
yang belum berumur 8 (delapan) tahun yang diduga keras melakukan tindak
pidana, tidak mencerminkan/memberikan perlindungan hukum tehadap anak.
Terhadap anak yang bersangkutan dapat dilakukan penyidikan, namun
seharusnya tidak dilakukan penahanan. Mengingat anak masih kecil dan
perkaranya tidak dilanjutkan ke persidangan/ pengadilan dan mengingat
tujuan penyidikannya untuk mengetahui keterlibatan pihak lain (Anak Nakal
atau orang dewasa), demi kepentingan anak/perlindungan anak, sebaiknya

283

anak yang berumur di bawah 8 (delapan) tahun yang diduga keras melakukan
tindak pidana tidak ditahan oleh Penyidik.
Pasal 5 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa bila menurut
hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat
dibina oleh orang tua/wali/orang tua asuhnya, maka Penyidik mengembalikan
anak tersebut kepada orang tua/wali/orang tua asuhnya untuk dibina. Menurut
peneliti hal ini wajar dan logis sebab anak yang belum berumur 8 (delapan)
tahun bahkan anak yang umurnya 8 (delapan) tahun atau lebih, lebih baik
dibina kembali oleh orang tua/wali/orang tua asuhnya, sebab merekalah yang
mengetahui karakter anak tersebut. Keputusan pengembalian anak kepada
orang tua/wali/orang tua asuhnya dilakukan oleh Penyidik dengan terlebih
dahulu

mendengar

pembimbing

pertimbangan-pertimbangan

Kemasyarakatan

yang

telah

yang

diberikan

melakukan

oleh

penelitian

kemasyarakatan terhadap anak tersebut dan pertimbangan-pertimbangan ahliahli lainnya.


Pasal 5 ayat (3) UU No.3 Tahun 1997 menentukan bahwa apabila
menurut penyidik, yang bersangkutan tidak dapat dibina kembali oleh orang
tua/wali/orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkannya kepada
Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan

dan

atau

pertimbangan

pertimbangan-pertimbangan

kriminolog,

pertimbangan-pertimbangan

kemasyarakatan

ahli-ahli

psikolog.
yang

lainnya,
Menurut
diberikan

seperti
peneliti
oleh

Pembimbing Kemasyarakatan ditinjau dari berbagai aspek, karena sebagai

284

peneliti

kemasyarakatan tidak

mungkin

menjerumuskan anak

yang

bersangkutan ke keadaan/nasib yang lebih buruk, tetapi dengan sungguhsungguh memperhatikan pembinaan anak demi kepentingan kesejahteraan
anak yang bersangkutan.
c. Syarat Melakukan Penyidikan Anak
Penyidik membuat laporan mengenai kasus anak, sebab-sebab
melakukan kenakalan, latar belakangnya, dengan cara wawancara secara
sabar dan halus. Harus dijauhkan tindakan kekerasan atau penyiksaan,
tindakan yang sifatnya sugestif dengan tekanan-tekanan. Diciptakan suasana
sedemikian rupa agar anak merasa aman, tidak takut sehingga anak dengan
lancar memberikan jawaban-jawaban, mengerti dan menghayati yang telah
dilakukan. Dalam proses penyidikan anak harus dihindarkan hal-hal yang
dapat merugikan anak. Dalam penyidikan dihindarkan gertakan-gertakan,
kekerasan fisik dan sebagainya. Orang tuanya mendampingi dan ikut
menginsyafi kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan kewajibannya
kepada anaknya dan dapat berjanji untuk memperbaikinya Polisi lain yang
tidak ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut, tidak ikut menginterview
supaya tidak membingungkan anak dan orang tua/wali/orang tua asuhnya.
Laporan interview tersebut dilengkapi dengan penyelidikan terhadap orang
tua/walinya/orang tua asuhnya tentang keadaan kehidupannya sehan-hari,
keadaan anak di sekolah, keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi jiwa
dan kehidupan anak, sehingga merupakan laporan yang komplit yang
diajukan ke Jaksa untuk dibahas, diteliti, dan diajukan ke sidang pengadilan.

285

Jika kasus anak tidak begitu berat, maka disarankan supaya Penyidik
menangani sendiri dan anak cukup diberi teguran, nasihat dan lain-lain dan
orang tua/wali/orang tua asuhnya berjanji untuk mendidiknya dengan baik.
Jika diperlukan penahanan, dipisahkan dari orang dewasa dan Rutan (Rumah
Tahanan Negara) merupakan tempat pengamatan (observation home atau
remand home). Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir atas dasar
pertimbangan kepentingan anak.
Diversi (pengalihan) suatu mekanisme yang memungkinkan anak
dialihkan dari proses pelayanan sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak
dalam proses peradilan sebetulnya telah mengalami proses stigmatisasi.
Penerapan mekanisme ini di semua tingkatan pemeriksaan akan sangat
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan itu.
Menurut

peneliti penyidikan anak

merupakan pangkal tolak

yang

mempengaruhi kepribadian anak, ia dapat menjadi baik atau sebaliknya,


karena itu diperlukan adanya suatu kesatuan khusus kepolisian, yang terlatih
dalam melanyani dan menangani anak. Bila ada penundaan sidang anak,
diusahakan agar tidak terjadi penahanan anak hanya semata-mata karena
penundaan sidang.
Ada kalanya Anak Nakal memberikan keterangan yang berbelit-belit,
sehingga sulit memperoleh keterangan. Dalam hal ini pihak penyidik selalu
bersikap kekeluargaan dan tidak pernah melakukan kekerasan, karena hal ini
dapat membuat anak menjadi merasa takut. Apabila anak masih sekolah dan
baru pertama kali melakukan kenakalan, dan kenakalan yang dilakukannya

286

termasuk kenakalan ringan, maka pihak penyidik dapat mengambil inisiatif


tidak melakukan penahanan di Rutan, tetapi dilakukan penahanan luar.
Penyidikan diupayakan

mewujudkan kesejahteraan anak,

yang

dilaksanakan atas dasar asas proporsionalitas. Asas ini ditekankan sebagai


sarana untuk mengekang sanksi yang bersifat punitif. Asas yang
menginginkan tanggapan dan reaksi masyarakat yang proporsional terhadap
Anak Nakal dilandaskan pada bobot perbuatan, lingkungan anak, seperti
status sosial, keadaan keluarga dan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab
timbulnya kenakalan anak. Esensi reaksi yang diberikan pada perbuatan
kenakalan anak hendaknya cukup adil dan dilihat kasus per kasus. Bila
Penyidik sudah membuat laporan tertulis mengenai keterangan-keterangan
tersangka dan saksi-saksi, dokumen-dokumen dihimpun, laporan resmi ini
bersama-sama dengan catatan-catatan berkas kejahatan dan segala informasi
lain yang dikumpulkan dari penyidikan, diserahkan kepada kejaksaan.
d. Penghentian Penyidikan
Penyidikan

merupakan

kompetensi

penyidik,

termasuk

menghentikannya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP Alasan pemberian wewenang


penghentian penyidikan ada 2 (dua) yaitu : a. untuk menegakkan prinsip
penegakan hukum yang cepat, tepat dan biaya ringan. dan sekaligus untuk
tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Kalau Penyidik
berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti
atau alasan untuk menuntut tersangka ke persidangan, penyidik secara resmi
menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian

287

segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada
tersangka dan masyarakat; b. Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan
tuntutan ganti kerugian, kalau perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup
bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya
memberi hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian
berdasar Pasal 95 KUHAP.
Dalam menghentikan penyidikan, ada beberapa alasan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
a. Tidak diperoleh bukti yang cukup; Seringkali penyidik tidak
memperhatikan atau mengabaikan kekuatan bukti-bukti yang
mendukung perkara yang ditangani dan diajukan ke penuntut umum
tanpa bukti yang cukup. Mengajukan bukti perkara dengan sekedarnya
akan menyulitkan menegakkan keadilan.
b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; Jika
memang kasus hukum yang disangkakan bukan termasuk perkara
pidana materiil (sebagaimana yang diatur oleh KUHP atau peraturan
hukum pidana khusus lainnya) yang jelas normatifnya termasuk perkara
hukum perdata, maka sudah seharusnya jika pemeriksaan perkara itu
dihentikan;
c. Penghentian penyidikan demi hukum; Kepentingan hukum harus
memperoleh perhatian dalam praktik beracara pidana, artinya hak-hak
seseorang yang terkait dengan kasus hukum tidak boleh dimarginalkan.
Penghentian atas dalih demi hukum pada pokoknya sesuai dengan
alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan
pidana. Menegakkan asas nebis in idem (seseorang tidak boleh dituntut
untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama), terhadap suatu
perkara seseorang sudah pernah diadili dan telah diputus perkaranya
oleh hakim atau pengadilan yang berwenang, dan putusan itu telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila tersangka meninggal
dunia, maka perkaranya harus dihentikan dan lain-lain alasan
penghentian penyidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan penghentian penyidikan
adalah: delik yang terjadi adalah delik aduan yang dapat dilakukan
pencabutannya; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;

288

anak masih sekolah dan masih dapat dibina oleh orang tuanya sehingga anak
tersebut dikembalikan kepada orang tuanya dan kasusnya tidak dilimpahkan
ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke persidangan. Penghentian
penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak Anak Nakal
dengan korban. Menurut peneliti hai ini merupakan penyimpangan, karena
perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana. Seyogianya penghentian
pendikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak terlepas dan ada
perdamaian atau tidak. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut teryata masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi. Setelah Penyidik menerima berkas perkara tersebut, Penyidik
wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo l4 (empat belas)
hari setelah pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum, Penyidik
sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan (disempurnakan) dan
diserahkan lagi kepada Penuntut Umum Pasal 110 ayat ( 1 ) KUHAP).
Penyidikan

dianggap

selesai

dan

lengkap

apabila

telah

ada

pemberitahuan dari Penuntut Umum yang menyatakan bahwa berkas perkara


telah lengkap atau apabila tenggang waktu 14 (empat belas) dan sejak tanggal
penerimaan berkas, Penuntut Umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa
dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada Penyidik. Terhitung
sejak tenggang waktu tersebut dengan sendirinya menurut hukum penyerahan
berkas perkara sudah sah dan sempurna beralih kepada Penuntut Umum tanpa
memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas

289

seluruh perkara yang bersangkutan dari Penyidik kepada Penuntut Umum.


Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggungjawab hukum
atas tersangka dan tanggungjawab hukum atas segala barang bukti atau benda
yang disita.
Hambatan-hambatan

dalam

melakukan

penyidikan

anak

pada

praktiknya adalah penyidikan anak tidak selalu dilakukan oleh penyidik


Anak. Hal ini disebabkan minimnya polisi yang memenuhi syarat untuk
diangkat menjadi Penyidik Anak.
Hasil penelitian menunjukkan kurangnya koordinasi antar instansi
terkait didalam melakukan penyidikan anak seperti kerjasama Bapas (Balai
pemasyarakatan). Apabila pihak kepolisian lalai/ terlambat meminta bantuan
Bapas untuk melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap Anak Nakar,
maka penyidikan tidak akurat dan terkesan buru-buru, sebab hasil penelitian
kemasyarakatan juga dilakukan buru-buru karena masa penahanan anak pada
tahap penyidikan adalah singkat yaitu paling lama 20 (dua puluh) hari dan
dapat diperpanjang selama (sepuluh) hari lagi. Pemahaman Kepolisian
Penyidik Anak tentang UU No. 3 Tahun 1997 masih belum memadai, seperti
pemahaman tentang batas umur anak,masih ditemukan kesalahan.
Penyidik yang memahami bahwa anak adalah yang berumur 18
(delapan belas) tahun ke bawah.Pasal

angka 2 UU No. 3 Tahun 1997,

menentukan bahwa Anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pemah kawin. Menurut peneliti apabila pemahaman

290

UU No. 3 Tahun 1997 dan peraturan lain, yang berkaitan dengan Peradilan
Pidana Anak tidak benar, maka penerapannya dalam melakukan tindakantindakan yang berkaitan dengan penyidikan juga tidak benar, dan hal ini
sangat merugikan anak atau menjadikan anak sebagai korban ketidaktahuan
penyidik. Sumber daya manusia penyidik perlu ditingkatkan melalui
pendidikan/studi lanjut, melalui penataran-penataran/seminar atau lokakarya
yang berkaitan dengan peradilan anak dan yang berkaitan dengan
perlindungan anak.
e. Hak-hak Tersangka
Hak-hak tersangka meliputi: Hak untuk mendapatkan surat perintah
penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim (Pasal 21 ayat(2)
KUHAP. Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau
penahanan lanjutan atau penerapan Hakim (Pasal 21 ayat (3) KUHAP; Hak
untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29
ayat (7) KUHAP); Hak untuk menerima ganti kerugian (Pasal 30 KUHAP);
Hak segera mendapatkan pemeriksaan Penyidik (Pasal 50 ayat (1) jo Pasal
122 KUHAP); Hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan
diadili (Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP); Hak meminta penjelasan
yang disangkakan (Pasal 5l huruf a); Hak untuk memberikan keterangan
secara bebas (Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP); Hak untuk mendapatkan
bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP); Hak untuk menghubungi dan meminta
kunjungan dokter pribadi (Pasal

5 KUHAP); Hak untuk diberitahukan

tentang penahanan terhadap dirinya (Pasal

59 KUHAP); Hak untuk

291

menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga/yang mempunyai


hubungan kekeluargaan (Pasal

60 KUHAP); Hak untuk menerima atau

mengirim surat kepada penasehat hukum atau sanak keluarganya (Pasal 62


ayat (1) KUHAP); Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan
rohaniawan (Pasal 63 KUHAP); Hak untuk meminta turunan Berita Acara
Pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP); Hak untuk meminta pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan (Pasal 79 dan Pasal 124
KUHAP); Hak untuk mengajukan keberatan atas penahanan dan jenis
penahanan (Pasal 123 ayat (1) KUHAP); Hak-hak anak yang menjadi sorotan
utama dalam proses ini, sebagai berikut : sebagai tersangka: hak-hak yang
diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan
(fisik, psikologis dan kekerasan); hak untuk didampingi pengacara; hak untuk
mendapat fasilitas. Sebagai saksi korban: (viktim) hak untuk dilayani karena
penderitaan fisik, mental, dan sosial ataupenyimpangan perilaku sosial; hak
didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan- pengaduan dan
tindakan lanjutan dan proses pemeriksaan;hak untuk dilindungi dari bentukbentuk ancaman kekerasan dari akibat laporandan pengaduan yang diberikan.

292

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Penuntutan


a. Penuntut Umum Anak
Syarat-syarat Penuntut Umum Anak adalah: a. Berpendidikan Sarjana
Hukum ditambah pengetahuan psikologi, psikiatri, sosiologi, pendidikan
sosial, antropologi; b. Menyintai anak, berdedikasi; c. Dapat menyilami dan
mengerti jiwa anak. Pasal 53 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa
Penuntut Umum Anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut Umum Anak
adalah yang memenuhi syarat telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; mempunyai minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Pada prinsipnya UU No. 3
Tahun 1997 menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki Penuntut
Umum Anak untuk menangani Anak Nakal. Tetapi apabila Kejaksaan Negeri
tidak mempunyai penuntut Umum Anak, karena belum ada yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan, atau karena pindah/mutasi, maka tugas
penuntutan perkara Anak Nakal dibebankan kepada Penuntut Umum yang
melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa. Bila hal ini ditinjau dari aspek perlindungan anak, maka dapat
dikatakan bahwa anak tidak mendapat perlindungan. Bila penuntutan
terhadap Anak Nakal dilakukan oleh yang bukan Penuntut Umum Anak,
dikhawatirkan sasaran-sasaran perlindungan anak diabaikan. Penuntut Umum
yang bersangkutan tidak memahami masalah anak, dikhawatirkan tindakantindakan hukum yang dilakukan dalam penuntutan tidak mencerminkan

293

prinsip-prinsip

perlindungan

anak.

Apabila

Penuntut

Umum

Anak

dimutasi/pindah, maka sebelumnya dipersiapkan penggantinya dan apabila


belum ada penggantinya maka penuntut Umum Anak yang bersangkutan
diurungkan untuk dimutasi/dipindah Tingkat pendidikan Penuntut Umum.
Penuntut Umum Anak dalam melakukan tugasnya, meneliti berita acara
yang diajukan oleh Penyidik, sehingga jika perlu dan dengan persetujuan
Hakim Anak tidak usah diajukan ke Pengadilan. Anak cukup dikembalikan
kepada orangtuanya dengan teguran, nasihat, orang tua/ wali/ orang tua asuh
anak perlu diperingati, dinasihati dan sebagainya. Atas ijin Hakim, dapat
diminta bantuan dari para ahli, atau membentuk tim tersendiri untuk
menangani anak Hal ini atas pertimbangan bahwa anak membutuhkan
perhatian, cinta kasih, asuhan, perlindungan, pembinaan, pendidikan dan rasa
aman, tenteram rohani dan jasmaninya. Petugas-petugas sosial seperti dan
Balai Pemasyarakatan, dilibatkan dalam menangani dan membina anak. Juga
orang tua/wali orang tua asuh anak.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui pemahaman aparat kejaksaan
terhadap UU No. 3 Tahun 1997 tidak memadai. Hal ini terlihat dengan
beberapa alasan seperti: Pemahaman tentang pengertian anak, masih ada yang
memahami bahwa anak adalah yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke
bawah, bahkan memahami bahwa anak adalah yang berumur 16 (enam belas)
tahun ke bawah.

294

Pemahaman tentang jangka waktu penahanan yang singkat, para aparat


Kejaksaan belum memahami tujuan penahanan singkat terhadap anak, yaitu
atas pertimbangan kepentingan pertumbuhan fisik, mental dan sosial anak.
Kemudian yang menjadi hambatan lain adalah kurangnya pemahaman
aparat tentang pemeriksaan anak secara kekeluargaan dan secara rahasia, ada
yang memahami bahwa pemeriksaan perkara pidana anak tidak perlu
dirahasiakan sebab anak perlu diberi pelajaran dan menjadi contoh bagi
masyarakat agar tidak ditiru. Kurangnya pengetahuan tentang perlindungan
anak, kurangnya koordinasi antar instansi terkait seperti dengan Kepolisian,
Bapas dan pengadilan, sehingga sulit menciptakan peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya murah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya
manusia yang ahli di bidang peradilan anak maupun di bidang perlindungan
anak. Banyak Penuntut Umum Anak yang tidak pernah menerima pendidikan
khusus berupa penataran/lokakarya berkaitan perlindungan anak/ hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak anak.
b. Penghentian Penuntutan
Dalam sidang anak ada kemungkinan penyampingan perkara. Terdapat
dua alasan penyampingan perkara, yaitu: penyampingan perkara berdasarkan
asas opportunitas karena alasan demi kepentingan umum; dan penyampingan
perkara karena alasan demi kepentingan hukum.

Terhadap proses

peyampingan perkara yang ditutup demi hukum tidak sama dengan perkara
yang ditutup demi kepentingan umum, karena: a. demi hukum tidak sama
pengertiannya dengan Demi Kepentingan Umum sebab hukum juga

295

mengatur kepentingan individual selain kepentingan umum: b. Perkara yang


ditutup demi hukum, tidak dideponeer secara definitif, tetapi masih dapat
dituntut bilamana ada alasan baru sedangkan perkara yang ditutup definitif
demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali walaupun cukup alat
buktinya.
Terdapat tiga alasan tidak melakukan penuntutan, yaitu demi
kepentingannegara; demi kepentingan masyarakat; demi kepentingan pelaku/
tersangka. Kategori-kategori kepentingan negara, dapat terjadi apabila dari
suatu perkaraakan memperoleh tekanan yang tidak seimbang, sehingga
kecurigaan rakyat dalam keadaan tersebut menyebabkan kerugian besar
negara, maka terhadap perkara tersebut tidak dilakukan penuntulan. Kategorikategori kepentingan masyarakat, dilakukan atas pemikiran-pemikiran yang
telah atau sedang berubah dalam masyarakat, umpamanya pendapat-pendapat
yang dapat berubah atau sedang berubah tentang pantas tidaknya dihukum
beberapa perbuatan delik susila. Seperti diketahui bahwa landasan berlakunya
hukum adalah kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Hukum
yang

berlaku

itu

berorientasi pada kenyataan-kenyataan sehari-hari

masyarakat, semua kaidah hukum bersenyawa dengan peristiwa hukum dan


selalu meyelaraskan tatanan hidup dengan lingkungan sernya. Kategori
kepentingan

tersangka/pelaku

tidak

menghendaki

penuntutan

karena

menyangkut persoalan-persoalan yang merupakan perkara kecil, atau jika


melakukan tindak pidana telah membayar kerugian, dan dalam keadaan ini
masyarakat tidak mempunyai cukup kepentingan dengan penuntutan atau

296

penghukuman. Bagi pelaku sendiri kepentingan-kepentingan pribadinya lebih


diutamakan dibandingkan dengan kemungkinan hasil proses pidana demi
kepentingan umum tidak akan bermanfaat. Keuntungan yang diperoleh dari
penuntutan adalah tidak seimbang dengan kerugian-kerugian yang timbul
terhadap terdakwa dan masyarakat.
Kejaksaan harus menunjuk Jaksa Khusus sebagai Penuntut Umum
untuk perkara anak. Surat dakwaan harus dibuat sederhana mungkin, agar
tidak menyulitkan anak untuk memahami dan mengikuti persidangan.
c. Hak-hak Anak Dalam Proses Penuntutan
Hak-hak anak dalam proses penuntutan meliputi hak-hak sebagai
berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi
pemeriksaan; membuat

dakwaan yang dimengerti anak; secepatnya

melimpahkan perkara ke pengadilan; melaksanakan ketetapan hakim dengan


jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak
pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut: hak untuk mendapat
keringanan masa/ waktu penahanan; hak untuk mengganti status penahanan
dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi berada dalam
tahanan rumah atau tahanan kota; hak untuk mendapat perlindungan dari
ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara; hak untuk
mendapat fasilitas dalam rangka pemeriksaan dan penuntutan; hak untuk
didampingi oleh penasihat hukum.

297

d. Pelimpahan Perkara ke Pengadilan


Apabila Penuntut Umum sudah selesai mempelajari berkas perkara
hasil penyidikan dan Penuntut Umun berpendapat bahwa tindak pidana yang
disangkakan dapat dituntut, maka menurut ketentuan Undang-Undang
Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997) sejalan dengan ketentuan Pasal
140 ayat (l) KUHAP, Penuntut Umum dalam waktu secepatnya membuat
surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana
yang juga merupakan dasar Hakim melakukan pemeriksaan. Setelah Penuntut
Umum membuat surat dakwaan, dilimpahkan ke Pengadilan dengan membuat
surat pelimpahan perkara. Dalam surat pelimpahan perkara dilampirkan surat
dakwaan, berkas perkara dan surat permintaan agar Pengadilan Negeri yang
bersangkutan segera mengadilinya. Fotocopi surat pelimpahan perkara
tersebut disampaikan kepada tersangka atau kuasanya dan kepada Penyidik.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Persidangan


a. Hakim Pengadilan anak
Hakim Anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung
atas usul Ketua Pengadian Negeri yang bersangkutan melalui Ketua
Pengadilan Tinggi. Berdasarkan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 1997, Hakim
Anak harus mempunyai kualifikasi yang berpendidikan sarjana hukum
ditambah dengan pengetahuan tentang psikologi, psikiatri, sosiologi, sosial
pedagogi dan andragogi.

298

Mencintai anak, dapat menyilami jiwa anak, ingin ikut membina dan
membantu terutama anak yang dalam kesulitan. Menurut peneliti berkaitan
dengan Pasal 10UU No. 3 Tahun 1997 ini, perlu dibuat peraturan pelaksanaan
yang mengatur tentang syarat-syarat menjadi Hakim Anak. Seperti tentang
pengalaman menjadi hakim perlu ditegaskan di samping pendidikanpendidikan khusus yang perlu ditempuh. Hal ini didasarkan pertimbangan
bahwa Hakim Anak merupakan hakim khusus yang memiliki keahlian khusus
dalam rangka perlindungan anak.
Hakim Anak untuk tingkat pertama (Pengadilan Negeri) memeriksa dan
memutus perkara sebagai hakim tunggal, tetapi dalam hal-hal tertentu apabila
ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan
pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya,
dimungkinkan diperiksa oleh hakim majelis. Untuk memeriksa perkara di
tingkat banding, dilakukan oleh Hakim Banding Anak, yang ditetapkan
berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan. Syarat untuk diangkat menjadi Hakim Banding
Anak adalah telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam
Peradilan Umum, dan mempunyai dedikasi serta memahami masalah anak
(Pasal 10 Undang-Undang Pengadilan Anak). Hakim Banding Anak dalam
perkara sebagai Hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu dan dipandang
perlu oleh Ketua Pengadilan Tinggi dapat dilakukan pemeriksaan dengan
sidang Majelis Hakim.

299

Pemeriksaan perkara Anak Nakal di tingkat Kasasi, dilakukan oleh


Hakim Kasasi Anak yang diangkat, berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Syarat pengangkatan Hakim Kasasi Anak adalah telah berpengalaman
sebagai Hakim dalam peradilan umum dan mempunyai perhatian, dedikasi,
dan memahami masalah anak. Hakim Kasasi Anak dalam memeriksa dan
memutus perkara Anak Nakal dalam tingkat kasasi adalah hakim tunggal,
tetapi dalam hal-hal tertentu dan dipandang perlu oleh Ketua Mahkamah
Agung dapat dilakukan pemeriksaan dengan sidang Majelis Hakim. Dalam
menjalankan tugasnya Hakim Kasasi Anak dibantu oleh seorang Panitera atau
panitera pengganti.
Menurut peneliti di samping syarat-syarat yang ditentukan di atas, perlu
ditambah persyaratan umur atau lama bertugas di Pengadilan untuk diangkat
menjadi Hakim Anak. Yang cocok menjadi Hakim Anak adalah para hakim
yang telah berumur 45 (empat puluh lima) tahun ke atas dan yang sudah
berkeluarga, atau yang sudah berkeluarga yang telah bertugas sebagai hakim
minimal 15 (lima belas) tahun. Hakim tersebut lebih mempunyai
pengalaman/wawasan yang luas, yang diharapkan lebih arif dan bijaksana di
dalam menangani perkara pidana anak. Menurut peneliti, Hakim Anak
sebaiknya yang mempunyai kualifikasisetingkat S-2 bahkan S-3. Hakim yang
memiliki kualifikasi tersebut diharapkan dapat menganalisis segala hal yang
berkaitan dengan masalah anak, dan dapat memprediksi serta mampu
mengambil tindakan yang akurat berkaitan dengan perkara pidana anak.
Kemampuan memprediksi dan menganalisis dimiliki oleh hakim tersebut

300

dengan pendidikan yang diperoleh, terutama atas pengetahuan Filsafat


Hukum. Apabila para penegak hukum telah dididik secara khusus untuk
menangani perkara pidana anak, maka perlindungan anak dapat diwujudkan,
karena benar-benar dapat memahami anak. Dalam menangani kenakalan
anak, yang paling mendasar adalah memahami keadaan jiwa anak sebelum
menjatuhkan pidana maupun keadaan jiwa anak setelah putusan dijatuhkan.
Dalam hal ini psikologi kriminil, psikiatri sebagai salah satu cabang dari
Psikologi mempunyai peranan yang sangat penting untuk memahami keadaan
jiwa anak. Psikologi kriminal/psikiatri berupaya mencari sebab kejahatan,
cara-cara pencegahannya baik preventif maupun represif serta usaha-usaha
perbaikan secara defenitif perbuatan yang menyimpang (kenakalan) dengan
cara-cara pendekatan Psikologi.
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa pemahaman para Hakim tentang
peradilan anak sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997, masih
belum tepat. Seperti pemahaman tentang pengertian anak, banyak para Hakim
masih memahami bahwa pengertian anak adalah pengertian anak menurut
ketentuan Pasal 45 KUHP, padahal Pasal tersebut tidak berlaku lagi dengan
berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pemahaman para hakim tentang perlindungan anak kurang tepat, dan
mereka jarang bahkan tidak pernah mengikuti lokakarya atau penataran
tentang perlindungan anak. Menurut peneliti hal ini mempengaruhi
penanganan perkara pidana anak. Hakim tidak mampu memprediksi dan
menganalisis kemungkinan yang terjadi bila diambil suatu keputusan tertentu.

301

b. Sidang Perkara Pidana Anak


Sebelum sidang dibuka Hakim Anak memerintahkan Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan
anak. Setelah Laporan Penelitian Kemasyarakatan disampaikan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan, Hakim membuka sidang dan dinyatakan
tertutup untuk umum. Terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang sidang
dengan didampingi orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum,
dan Pembimbing Kemasyarakatan. Perlakuan khusus dalam persidangan
Anak Nakal antara lain: 1 ) Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk
umum; 2) Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dalam suasana
kekeluargaan, oleh karena itu hakim, jaksa, dan petugas lainnya tidak
memakai toga/pakaian, atribut/tanda kepangkatan masing-masing; 3) Adanya
keharusan pemisahan persidangan dengan orang dewasa baik berstatus sipil
maupun militer; 4) Turut sertanya Bapas membuat Laporan Penelitian
Kemasyarakatan terhadap anak; 5) Hukuman lebih ringan.
Di Pengadilan Negeri tidak ada ruangan khusus yang untuk persidangan
perkara pidana anak, seharusnya terdapat ruangan khusus, namun ruang
sidang untuk memeriksa perkara Anak Nakal diusahakan ruangan
yangtenang. Sehubungan dengan jangka waktu penahanan terdakwa, pada
umumnya Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa jangka waktu
penahanan anak terlalu singkat, menyebabkan Hakim mengadakan sidang
sebanyak 2 (dua) kali seminggu dan mengambil keputusan sebelum masa
penahanan terdakwa habis. Menurut peneliti hal ini menunjukkan bahwa

302

Hakim

tersebut

tidak

professional

dan

tidak

memahami

bahwa

mempersingkat masa penahanan adalah demi kepentingan perlindungan anak,


sebab dengan pemeriksaan yang cepat, tepat, anak terhindar dari penahanan
yang lama yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan
sosialnya.
Pada umumnya para Hakim Pengadilan Negeri belum memahami syarat
penahanan anak adalah atas dasar pertimbangan kepentingan anak atau atas
dasar

pertimbangan

kepentingan

masyarakat.

Dasar

pertimbangan

kepentingan anak atau kepentingan masyarakat harus dilampirkan dalam surat


perintah/penetapan penahanan anak. Para Hakim pengadilan Negeri masih
memahami bahwa syarat dan tujuan dilakukan penahanan anak adalah: agar
anak tidak melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi tindak pidana.
Hanya

sedikit

Hakim

Pengadilan Negeri

yang

memahami

bahwa

dasar/tujuandilakukan penahanan anak, atas dasar pertimbangan kepentingan


anak

atau

atas

dasar

pertimbangan-pertimbangan

pertimbangan
tersebut

kepentingan
harus

masyarakat,

terlampir

dalam

dan
surat

perintah/penetapan penahanan anak.


Pada permulaan persidangan Hakim menanyakan kepada penuntut
Umum tentang orang tua wali atau orang tua asuh datang atau tidak.
Kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh anak sangat diperlukan untuk
mengetahui latar belakang kehidupan anak, dan motif anak melakukan tindak
pidana. Bila orang tua, waliatau orang tua asuh tidak hadir maka sidang
ditunda sampai mereka dapat hadir. Apabila tidak dapat hadir maka sidang

303

dapat diteruskan dengan tanpa dihadiri orang tua, wali, atau orang tua asuh
anak.
Hakim memeriksa identitas terdakwa dan setelah itu mempersilakan
Penuntut umum membacakan surat dakwaan. Sesudah itu, terdakwa atau
Penasihat Hukumnya diberi kesempatan untuk mengajukan tangkisan atau
eksepsi atas dakwaan Penuntut Umum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 58
UU No. 3Tahun 1997 pada waktu pemeriksaan saksi, Hakim memerintahkan
agar terdakwa anak dibawa ke luar sidang. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari adanya hal yang dapat mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus
cermat dan teliti terhadap keadaan terdakwa untuk menentukan apakah anak
ke luar sidang pengadilan atau tidak waktu pemeriksaan saksi-saksi. Jika
diperkirakan keterangan saksi dapat mempengaruhi jiwa anak, maka anak
yang bersangkutan harus dikeluarkan dari persidangan dalam rangka
perlindungan anak. Menurut peneliti ketentuan Pasal 58 UU Pengadilan Anak
memberikan perlindungan terhadap anak, yang bila diperhatikan dan
dilaksanakan Hakim sebagaimana mestinya. Setelah pemeriksaan saksi,
dilanjutkan

dengan

pemeriksaan

terdakwa

dan

dalam

melakukan

pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak memakai toga atau pakaian
seragam. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut pada diri anak.
Apabila

Anak

pemeriksaan

Nakal

maka

memberikan

Hakim

keterangan

memberikan

berbelit-belit

peringatan

kepadanya

dalam
dan

memberitahukan akibatnya apabila anak tidak berterus terang di depan


sidang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU No.3 Tahun 1997 ditentukan

304

bahwa sebelum Hakim Pengadilan mengambil keputusan,

memberi

kesempatan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh untuk mengemukakan
hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. Dalam hal ini, orang tua/ wali/ orang
tua asuh diberi kesempatan mengemukakan hal yang menguntungkan bagi
anak, dengan alasan bahwa selama ini kurang memperhatikan anaknya
sehingga melakukan kenakalan. Orang tua/ wali/ orang tua asuh memohon
kepada

Hakim

untuk

tidak

menjatuhkan

putusan

pidana

tetapi

menyerahkannya kepada mereka dengan janji bahwa mereka akan lebih


berupaya mendidik anaknya.
Selesai acara tersebut Penuntut Umum menyampaikan requisatoir
(tuntutan hukum) atas diri terdakwa anak. Selanjutnya, Penasihat Hukum
menyampaikan pledoi (pembelaan) atas terdakwa.
Pada persidangan anak, Hakim harus bersikap seperti yang diatur pada
Pasal 59 ayat ( 1 ) UU No. 3 Tahun 1997, yaitu memberi kesempatan kepada
orang tua/ wali/ orang tua asuhnya untuk mengemukakan segala hal ikhwal
yang bermanfaat bagi anak sebelum mengucapkan keputusannya. Orang
tua/wali/orangtua asuhnya selalu mengikuti jalannya sidang, undang-undang
mengatur bahwasebelum keputusan diambil,diberi kesempatan untuk
mengemukakan keteranganyang bermanfaat bagi anak (terdakwa).
Dalam mengambil keputusan, Hakim wajib mempertimbangkan
Laporan Penelitian Kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada Pasal 59 ayat
(2) UU No. 3 Tahun 1997, namun Undang-undang tersebut tidak menjelaskan
alasan

Laporan

Pembimbing

Kemasyarakatan

ini

diwajibkan

305

dipertimbangkan Hakim dalam mengambil keputusannya. Memang Hakim


tidak terikat penuh pada laporan penelitian tersebut hanya merupakan bahan
pertimbangan bagi Hakim untuk mengetahui latar belakang anak melakukan
kenakalan. Hakim pengadilan dalam mengambil keputusan lebih terfokus
pada hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Jika para pihak (terdakwa
atau Penuntut Umum) merasa tidak puas terhadap keputusan Hakim, maka
mereka berhak mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Jika
merasa tidak puas terhadap keputusan pengadilan tinggi berhak mengajukan
Kasasi ke Mahkamah Agung. Mengenaiupaya hukum ini dalam UU No. 3
Tahun 1997 tidak diatur, sehingga ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
KUHAP. Berdasarkan Pasal

67 KUHAP, yang dapat dimohon pada

pemeriksaan tingkat banding adalah putusan Pengadilan Negeri yang berupa


putusan pemidanaan. Pengajuan banding dilakukan dalam tenggang waktu 7
(tujuh)

hari

setelah

putusan

diucapkan.

Putusan

pengadilan

yang

membebaskan atau melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum tidak dapat
banding. Mengenai hal itu seharusnya diatur dengan tegas oleh UU No. 3
Tahun 1997 atau peraturan lain yang berkaitan demi perlindungan anak.
Putusanbebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat
diterobos dengan upaya hukum. Kenyataannya berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung dimungkinkan upaya hukum untuk menerobos putusan
bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Upaya hukum kasasi terhadap keputusan pengadilan tinggi (tingkat
banding) dapat diajukan oleh terdakwa atau Penuntut Umum berdasarkan

306

Pasal 244 KUHAP ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa. Permohonan tersebut
disertai dengan memori kasasi yang isinya memuat alasan-alasan kasasi,
kalau tidak demikian permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima oleh
Mahkamah Agung dan penolakan ini dituangkan dalam putusannya. Upaya
hukum peninjauan kembali dapat diajukan berdasarkan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yang menentukan bahwa putusan yang dapat diajukan peninjauan
kembali adalah putusan pemidanaan, sedangkan putusan yang membebaskan
maupun yang melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum tidak dapat
diajukan permohonan peninjauan kembali. Alasan-alasan mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali didasarkan pada Pasal 263 ayat(2) KUHAP yaitu:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan, terdapat peryataan bahwa sesuatu
pernyataan telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar
dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jalan memperlihatkan suatu kekhilafan
Hakim susutu kekeliruan yang nyata.
Permohanan upaya hukum peninjauan kembali dapat diajukan kapan
saja, karena KUHAP tidak membatasi jangka waktu permohonan upaya
hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, melalui Pengadilan Negeri
yang memutus perkaranya. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP
ditentukan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali

307

adalah terpidana atau ahli warisnya. KUHAP tidak memberikan kesempatan


kepada Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali,
sebab dapat berakibat merugikan terdakwa. pidana bisa bertambah berat.
Dalam perkara pidana anak, yang dapat mengajukan permohonan upaya
hukum peninjauan kembali (Pasal 20 UU No. 3 Tahun 1997) adalah orang
tua, wali, orang tua asuh atau penasihat hukum anak Berdasarkan hal ini UU
No. 3 Tahun 1997 memperluas pihak-pihak yang dapat mengajukan
peninjauan kembali, namun UU No. 3 Tahun 1997 tidak memberi penjelasan
tentang alasan-alasan perluasannya. Bila ditinjau dari aspek perlindungan
anak, hal ini positif sifatnya sebab dapat difahami bahwa orang tua/ wali/
orang tua asuh atau penasihat hukumnya berkesempatan mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali meskipun mereka bukan pihak yang diadili,
dengan pertimbangan bahwa anak dipandang masih belum cakap/ matang
pengetahuannya dan belum cukup pengalamannya di bidang hukum, sehingga
perlu didampingi oleh orang tua/ wali/ orang tua asuh atau penasihat
hukumnya, melakukan tindakan-tindakan hukum tersebut.
Pengadilan Negeri mengalami hambatan melakukan persidangan anak,
seperti

kurangnya

sarana

dan

prasarana.

Ruangan

khusus

yang

untukmelakukan persidangan perkara pidana anak tidak ada, yang dapat


mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Pada waktu menghadiri sidang atas
dirinya atau sebagai saksi, anak tidak terhindar dari kontak dengan orangorang lain seperti aparat kejaksaan atau hakim lain yang kebetulan melakukan
sidang terhadap orang dewasa pada waktu yang bersamaan. Menurut peneliti

308

sebaiknya diadakan ruangan sidang yang khusus untuk melakukan


persidangan anak, dan waktu melakukan persidangan anak pada hari-hari
tertentu saja yang tidak ada acara sidang lain kecuali sidang tentang perkara
pidana anak. Menyangkut sumber daya manusia Hakim Anak, perlu ditambah
dan dibekali dengan pengetahuan yang mendalam tentang Peradilan Pidana
Anak dan tentang perlindungan anak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa koordinasi antar instansi terkait seperti Kepolisian, Penuntut Umum,
Bapas, dan Hakim Pengadilan belum tercipta dengan baik. Hal ini
mempengaruhi kelancaran persidangan anak. Sidang sering ditunda karena
Penuntut Umum tidak cepat dan tepat atau tidak dapatmenghadirkan saksisaksi. Bisa juga karena Bapas belum dapat membacakan hasil penelitian
kemasyarakatan yang dilakukan terhadap anak, karena belum selesai dengan
alasan permintaan untuk melakukan litmas (penelitian kemasyarakatan)
terlambat. Dalam hal ini terjadi lempar tanggung-jawab antar instansi, hal ini
menunjukkkan bahwa aspek perlindungan anak tidak dicerminkan. Sering
dilakukan penundaan sidang anak, akan mengganggu perkembangan fisik,
mental dan sosial anak, sebab dapat saja anak pada akhirnya diputus bebas,
atau lepas dari segala tuntutan hukum, atau hanya dijatuhi tindakan
mengembalikan kepada orang tua/ wali/ orang tua asuhnya untuk dibina dan
dididik kembali, namun melalui proses persidangan yang lama. Para instansi
terkait perlu semakin memahami kewajiban yang menjadi tanggung-jawabnya
dalam melakukan persidangan anak, apabila hal ini sudah diperhatikan dapat

309

dilahirkan keputusan pengadilan yang mencerminkan perlindungan terhadap


anak dan adil.
c. Dasar Pertimbangan Keputusan Hakim
Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin
mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tuanya, atas
pertimbangan bahwa rumah yang

jelek lebih baik dari Lembaga

pemasyarakatan Anak yang baik (a bad home is better than a good


institution/ prison). Hakim seyogianya benar-benar teliti dan mengetahui
segala latar belakang anak sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil
putusan, hakim harus benar-benar memperhatikan kedewasaan emosional,
mental dan intelektual anak. Dihindarkan putusan hakim yang mengakibatkan
penderitaan bathin seumur hidup atau dendam pada anak, atas kesadaran
bahwa putusan hakim bermotif perlindungan. Dalam mengambil keputusan,
Hakim wajib mendengarkan dan mempertimbangkan hasil penelitian Petugas
Penelitian Kemasyarakatan. Kegunaan Laporan Penelitian Kemasyarakatan
bagi Hakim dalam menjatuhkan putusannya, harus bijaksana dan adil. Hakim
menjatuhkan putusan yang bersifat memperbaiki para pelanggar hukum dan
menegakkan kewibawaan hukum. Hakim yang memeriksa dan mengadili
suatu perkara, sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan, lupa dan aneka
ragam kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain.
Umumnya bila Hakim telah mengetokkan palunya dalam suatu perkara selalu
ada pihak yang dirugikan, hal ini dapat dikategorikan sebagai Onrechtmatige
overheidsdaad. Apabila hal ini terjadi pada tingkat Pengadilan Negeri, maka

310

akan dapat diperbaiki dalam pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung, namun yang sulit adalah apabila kesalahan itu
ada pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap anak,
patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal tersebut
patutdikemukakan sifat kejahatan yang dilakukan; perkembangan jiwa anak,
tempat menjalankan hukuman. Berdasarkan penelitian normatif, diketahui
bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan
putusan, antara lain: keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak
pidana; keadaan psikologis anak setelah dipidana; keadaan psikologis hakim
dalam menjatuhkan hukuman.
1) Keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana.
Hakim harus mengetahui latar belakang dan faktor-faktor penyebab
anak melakukan tindak pidana. Misalnya, anak melakukan tindak pidana
tersebut karena ingin membela diri, anak dalam keadaan emosi, karena faktor
lingkungan atau pergaulan dan faktor-faktor yang demikian memang menjadi
pertimbangan bagi Hakim untuk menjatuhkan hukuman pada anak.
2) Keadaan psikologis anak setelah dipidana
Hakim harus memikirkan dampak atau akibat yang ditimbulkan
terhadap anak setelah dipidana. Pemidanaan anak bukan hanya bertujuan
untuk memidana, melainkan untuk menyadarkan anak agar tidak melakukan
tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang lainnya setelah menjalani
pidana. Perkembangan jiwa anak setelah menjalani pidana menjadi perhatian

311

Hakim dalam menjatuhkan pidana, bila tidak demikian halnya maka


dikhawatirkan perkembangan jiwa anak bukan menjadi semakin baik namun
sebaliknya anak akan menjadi lebih buruk. Dalam menjatuhkan pidana,
Hakim harus mampu mempertimbangkan, memprediksi keadaan psikologis
anak setelah dipidana.
3) Keadaan psikologis Hakim dalam menjatuhkan hukuman
Hakim harus mempertimbangkan berat ringannya kenakalan yang
dilakukan anak. Jika kenakalan yang dilakukan anak menurut pertimbangan
Hakim sudah keterlaluan atau dapat membahayakan masyarakat, maka Hakim
dapat menjatuhkan pidana. Atas pertimbangan kepentingan anak, Hakim
dapat memutuskan agar anak diserahkan ke Departemen Sosial atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan untuk dididik dan dilatih serta dibina.
Hakim juga dapat memutuskan menyerahkan anak ke pesantren atau panti
sosial lainnya sesuai dengan agama yang dianut oleh anak. Apabila Hakim
merasa perbuatan anak tidak terlalu berat atau tidak membahayakan maka
Hakim dapat mengembalikan anak pada orang tua, walinya/ orang tua
asuhnya untuk lebih diperhatikan atau diawasai dan dibina kembali.
Diharapkan orang tua/ wali/ orang tua asuhnya dapat memahami atau
menyadarkan anak agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan
diri, keluarga, dan masyarakat sernya. Pasal 51 ayat (1) Rancangan KUHP
Nasional (Tahun 1999-2000) tentang pedoman pemidanaan menyatakan
bahwa dalam pemidanaan Hakim mempertimbangkan: kesalahan terdakwa,
motif dan tujuan melakukan tindak pidana; cara melakukan tindak pidana;

312

sikap batin pembuat tindak pidana; riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
pembuat tindak pidana; sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
tindak pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan apakah tindak
pidana dilakukan dengan berencana.
Pertimbangan kepribadian pelaku, usia, tingkat pendidikan, jenis
kelamin, lingkungan, perlu mendapat perhatian. Pertimbangan keputusan
disesuaikan dengan kaidah-kaidah, asas-asas dan keyakinan yang kukuh yang
berlaku di dalam masryarakat, karena itu pengetahuan tentang sosiologi,
psikologi perlu dimiliki oleh Hakim. HAM dijadikan sebagai ukuran
seseorang dipandang bertanggungjawab atau tidak bertanggungjawab,
sehingga keadilan tercermin dalam keputusan Hakim. Pedoman penerapan
pidana penjara, sejauh mungkin tidak dijatuhkan dalam hal: a. terdakwa
masih sangat muda, yaitu di bawah 18 (delapan belas) tahun atau sudah
sangat tua, yaitu di atas 70 (tujuh puluh) tahun; b. terdakwa baru pertama kali
melakukan tindak pidana; c. kerugian dan penderitaan korban tindak pidana
tidak terlalu berat; d. terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban; e.
terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu akan
menimbulkan kerugian yang besar; f. tindak pidana terjadi karena hasutan
yang sangat kuat dari orang lain; g. korban tindak pidana mendorong
terjadinya tindak pidana tersebut; h. tindak pidana tersebut merupakan akibat
dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; i. Kepribadian dan

313

perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana


yang lain; j. pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan
yang besar bagi terdakwa maupun bagi keluarganya; k. pembinaan yang
bersifat non-institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri
terdakwa; l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat
beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa; m. tindak pidana terjadi di
kalangan keluarga; atau n. Terjadi karena kealpaan.302
Perhatian yang secara khusus terhadap faktor-faktor yang meringankan,
yang melekat pada pelaku juga diperhatikan, misalnya: a. karakter yang baik;
b. rasa penyesalan yang dalam; c. mengaku salah; d. rekor pekerjaan yang
baik; e. masalah keluarga; f. Umur; g. tidak cakap; h. kemungkinan stress
emosional; i. Kondisi fisik yang cacat; j. pendapatan yang sangat rendah; k.
akibat provokasi. Hal ini ditimbang pula dengan: a. pemidanaan sebelumnya;
b. Perencanaan perbuatan dan sebagainya. Pasal

132 Rancangan KUHP

Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa faktor-faktor yang meringankan


pidana meliputi: a. percobaan melakukan tindak pidana; b. pembantuan
terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang
berwajib setelah melakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan
oleh wanita hamil; e. Pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan
kerusakan secara sukarela akibat tindak pidana yang dilakukan; f. tindak
pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; atau g.
tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam

302

Pasal 71 Konsep RKUHP 2012.

314

Pasal 39 (Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang
dapat dipertanggungawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa,
atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan).
Dalam Pasal 134 Rancangan KUHP Nasional tahun 2012, dirumuskan bahwa
hal-hal yang memperberat pidana adalah: a. pelanggaran suatu kewajiban
jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; b.
penggunaan bendera kebangsaan lagu kebangsaan, atau lambang negara
Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; c. penyalahgunaan keahlian
atau profesi untuk melakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan
orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas)
tahun; e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama
dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; f. tindak
pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; g.
tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya (ayat
( l )); atau ayat (2) Pemberatan pidana berlaku juga terhadap orang yang
melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima tahun sejak: a.
menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b. pidana
pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c. kewajiban menjalani pidana
pokok yang dijatuhkan belum daluarsa.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan Hakim
menjatuhkan pidana terhadap anak adalah latar belakang kehidupan anak

315

yang meliputi keadaan anak baik fisik, psikis, sosial maupun ekonominya,
keadaan rumah tangga orang tua atau walinya, keterangan mengenai anak
sekolah atau tidak, hubungan atau pergaulan anak dengan lingkungannya,
yang dapat diperoleh Hakim dari laporan penelitian dari Peneliti
Kemasyarakatan (Bapas).
Pertimbangan dijatuhkannya pidana adalah dengan harapan selama
beradadi Lembaga Pemasyarakatan Anak, anak yang bersangkutan mendapat
bimbingan dan pendidikan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pelaku
kenakalan yang dijatuhi pidana, agar terhindar dari lingkungan yang tidak
baik.

Dalam

menjatuhkan

pidana

terhadap

Anak

Nakal,

Hakim

memperhatikan hal-hal yang dapat memberatkan dan hal-hal yang dapat


meringankan. Hal-hal yang memberatkan seperti: 1) perbuatan tersebut
belebihan dan bahkan menyamai kejahatan yang dilakukan oleh orang
dewasa; 2) anak pernah dihukum; 3) usianya sudah mendekati dewasa; 4)
anak cukup berbahaya. Hal-hal yang meringankan yaitu: 1) si terdakwa
mengakui terus terang perbuatannya; 2) terdakwa menyesali perbuatannya; 3)
terdakwa belum pernah dihukum; 4) terdakwa masih muda dan masih banyak
baginya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya; 5) bila tindakannya
dilatarbelakangi pengaruh yang kuat dari keadaan lingkungannya, keluarga
berantakan, anak ditelantarkan atau kurang diperhatikan orang tuanya.

316

d. Sanksi Terhadap Anak Nakal


Peradilan Pidana Anak mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga anak
diadili secara tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam Peradilan
Pidana Anak seyogianya dilakukan oleh Penyidik Anak, Penuntut Umum
Anak, Hakim Anak, atau Petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak,
berdasarkan prinsip demi kesejahteraan anak. Hakim menjatuhkan pidana
atau tindakan dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik bagi anak,
tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibawa hukum.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran,
keadilan dan kesejahteraan anak.
Peradilan Pidana Anak pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi,
rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat ia dapat kembali ke kehidupan
masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa
depannya. Menegakkan keadilan terhadap anak dan memperhatikan masa
depan anak merupakan usaha-usaha untuk membina anak sekaligus
melindungi segenap bangsa Indonesia. Penjatuhan pidana atau tindakan
merupakan suatu tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dan dapat
bermanfaat bagi anak. Setiap pelaksanaan pidana atau tindakan diusahakan
tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugian mental, fisik dan sosial.
Pidana dan tindakan bersifat edukatif, konstruktif, tidak destruktif dan
disamping itu harus pula memenuhi kepentingan anak yang bersangkutan.
Demi mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang sifatnya
merugikan, perlu diperhatikan dasar etis bagi pemidanaan tersebut, yaitu:

317

keadilan sebagai satu-satunya dasar pemidanaan; setiap tindakan pemidanaan


dinilai tidak hanya berdasarkan sifat keadilannya saja, melainkan juga akibat
sifat kerukunan yang akan dicapainya karena dalam kerukunan tercermin pula
keadilan; pemidanaan merupakan tindakan terhadap Anak Nakal yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya; penilaian Anak Nakal tidak selalu
didasarkan pada kualitas kemampuan rohaniah dan psikis pada waktu
kenakalan dilakukan, tetapi terutama didasarkan pada kemampuan mereka
untuk menerima pidana dan tindakan. Apabila setelah dipertimbangkan
ternyata mereka kurang/tidak mampu menerima pidana tersebut, maka
mereka berhak untuk diberi pelayanan dalam bentuk pembinaan sebagai Anak
Negara. Pasal 54 Rancangan KUHP Nasional menentukan bahwa tujuan
pemidanaan adalah: (1) untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan

norma

memasyarakatkan

hukum

terpidana

demi
dengan

pengayoman
mengadakan

masyarakat;

(2)

pembinaan-sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna; (3) menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan

oleh

tindak

pidana,

memulihkan

keseimbangan

dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; (4) membebaskan rasa bersalah


pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
Pertimbangan-pertimbangan psikologis dan mengingat masa depan
anak, jika Hakim memutuskan anak tersebut dikembalikan ke orang tua atau
wali atau orang tua asuhnya, maka orang tua/ wali/orang tua asuhnya
mengoreksi atau introspeksi diri atau keluarga untuk mengetahui latar

318

belakang anak melakukan kenakalan. Tindakan selanjutnya, orang tua atau


wali atau orang tua asuhnya diharapkan melakukan suatu perbuatan yang
memungkinkan tercipta kembali keharmonisan keluarganya, dapat berupa
perhatian terhadap perkembangan jasmani maupun rohani anak, sehingga
kejadian yang menimpa anaknya tersebut tidak terulang. Jika anak itu
diserahkan kepada negara atau pejabat sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan, maka anak tersebut dididik dengan berbagai upaya untuk
menghilangkan tabiat buruk dan berbuat baik, serta sadar berdisiplin.
Diharapkan setelah anak tersebut keluar dari tempat didikannya, mampu
kembalike masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya. Apabila Hakim
menilai bahwa perbuatan yang dilakukan anak itu dipandang berat serta
mengakibatkan kegelisahan dalam masyarakat, maka anak itu dijatuhi pidana.
Hakim Anak tidak menjatuhkan pidana semata-mata sebagai imbalan atau
pembalasan atas perbuatan anak. Hakim melihat masa depan anak atau
mempertimbangkan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Seorang
anak yang belum sepenuhnya dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya,
lingkungan bisa memberikan peluang padanya untuk melakukan pelanggaran
itu. Menurut peneliti hukuman percobaan (Probatian) bagi anak lebih banyak
manfaatnya dari pada hukuman bentuk lain, sambil diberikan peringatan
keras bahwa orang tua/ wali/ orang tua asuh akan mempertanggungjawabkan
tingkah lakunya. Penanganan yang salah dalam proses pengadilan anak, dapat
menimbulkan pertumbuhan mentalitas atau kejiwaan anak negatif dan
berbahaya bagi penciptaan generasi muda untuk masa mendatang. Tujuan

319

pemidanaan

bukan

untuk

menghukum

mereka,

dicanangkan

untuk

memberikan pendidikan agar mereka tidak terjerumus menjadi penjahat


kaliber setelah menjalani hukuman.
Hakim tidak boleh menjatuhkan kumulasi hukuman kepada terdakwa,
artinya pidana dan tindakan tidak boleh dijatuhkan sekaligus. Namun dalam
perkara Anak Nakal dapat dijatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan
sekaligus, misalnya pidana penjara dan ganti rugi. Dalam menjatuhkan pidana
atau tindakan, Hakim harus memperhatikan berat ringannya tindak pidana
atau kenakalan yang dilakukan oleh anak. Hakim wajib mempertimbangkan
keadaan anak, keadaan rumah tangga, orang tua/ wali/ orang tua asuhnya,
hubungan anggota keluarga, keadaan lingkungan, dan Laporan Pembimbing
Kemasyarakatan.
Berdasarkan Pasal 23 dan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, sanksi yang
dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal dapat berupa: pidana dan tindakan.
Pidana dapat berupa: pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda; atau
pidana pengawasan (pidana pokok), perampasan barang-barang tertentu dan
atau pembayaran gantirugi (pidana tambahan). Tindakan dapat berupa
pengembalian kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;
atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja. Rancangan KUHP mengatur jenis ancaman sanksi bagi anak sbb:
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:

320

a. Pidana verbal:
1. pidana peringatan; atau
2. pidana teguran keras;
b. Pidana dengan syarat:
1. pidana pembinaan di luar lembaga;
2. pidana kerja sosial; atau
3. pidana pengawasan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pembatasan kebebasan:
1. pidana pembinaan di dalam lembaga;
2. pidana penjara; atau
3. pidana tutupan.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.303

Ketentuan Rancangan KUHP Nasional ini mengatur lebih luas serta


lebih melindungai anak tentang altematif pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap anak. Ancaman pidana tersebut lebih mendidik anak dibandingkan
dengan jenis pidana yang diatur oleh UU No. 3 Tahun 1997. Oleh sebab itu
peneliti mengharapkan agar segera diberlakukan KUHP Nasional tersebut
dalam rangka perlindungan anak.
1) Pidana
Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Menurut
ketentuan Pasal 10 KUHP hukuman itu terdiri dari pidana pokok dan pidana
303

Pasal 116 Konsep Rancangan KUHP tahun 2012.

321

tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara dapat
berupa seumur hidup atau sementara waktu, pidana kurungan, dan pidana
tutupan serta hukuman denda. Pidana tutupan diatur dalam UU No. 20 Tahun
1946. Sementara pidana tambahan dapat berupa: pencabutan beberapa hak
tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa terhadap Anak Nakal hanya
dapat dijatuhkan pidana atau tindakan (Pasal 22). Pidana pokok terdiri dari
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan
(Pasal 23 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997). Pidana tambahan terdiri dari:
perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti rugi (Pasal 23 ayat
(3) UU No. 3 Tahun1997). Jenis pidana baru dalam undang-undang ini adalah
pidana pengawasan yang tidak diatur dalam KUHP apabila Anak Nakal yang
ditentukan Pasal l angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997 melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun (Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997). Hal ini juga diatur
dalam Pasal 126 Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012. Anak Nakal tidak
dapat dijatuhi pidana mati ataupun pidana penjara serumur hidup walaupun
melakukan kenakalan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
hidup.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pidana seumur hidup
pernah dijatuhkan terhadap anak yang melakukan kenakalan. Hal ini terjadi di
Pengadilan Negeri Kabanjahe pada tanggal 18 Agustus 1998, yang

322

menyidangkan kasus Pidana Register No: 81/Pid.B/1998/PN-Kbj. Putusan


pidana seumur hidup dijatuhkan kepada terdakwa yang benama Legiman,
tempat dan tanggal lahir: Kotapinang/12 oktober 1980, alamat Desa Bunaraya
Kecamatan Tiga Panah, Kabanjahe, Agama Islam, pekerjaan petani,
pendidikan SD. Keputusan ini betul-betul melanggar hak asasi Legiman, yang
pada prinsipnya tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak. Legiman
lahir tanggal 12 Oktober 1990 dan ia melakukan tindak pidana pembunuhan
pada tanggal 12 Nopember 1997, tepatnya pada hari Minggu, pukul 16.00
WIB di perladangan Sari Gin Gin Desa Banuraya Tiga Panah Kabupaten
Karo. Umur Legiman pada waktu melakukan tindak pidana berumur 17 (tujuh
belas) tahun lebih atau belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
UU No 3 Tahun 1997 berlaku efektif sejak tanggal 3 Januari 1998,
artinya sebelum UU tersebut berlaku efektif, segala hal menyangkut proses
pemeriksaan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berumur di
bawah 18 (delapan belas) tahun, digunakan ketentuan Pasal 45, 46, dan 47
KUHP. Setelah tanggal 3 Januari 1998 sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UU
No. 3 Tahun 1997, diketahui bahwa perkara Anak Nakal yang pada saat
berlakunya undang-undang ini (UU No. 3 Tahun 1997): a. Sudah diperiksa
tetapi belum diputus. Terhadap perkara Anak Nakal yang sudah diperiksa
tetapi belum diputus; penyelesaiannya dilaksanakan berdasarkan hukum acara
yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini; b. Sudah dilimpahkan
ke pengadilan tetapi belum diperiksa; Terhadap perkara Anak Nakal yang
sudah dilimpahkan ke pengadilan Negeri tetapi belum diperiksa, penyelesaian

323

selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara pengadilan anak yang


diatur dalam Undang-Undang ini.
Berkas perkara Legiman dilimpahkan ke Pengadilan oleh penuntut
Umumpada tanggal 1 Mei 1998, dengan Surat Dakwaan penuntut Umum No.
Reg.Perkara: PDM-86/KABAN/0398. Seharusnya Majelis Hakim, Jaksa
penuntut umum serta Penasihat Hukum terdakwa menggunakan UU No. 3
Tahun 1997dalam menyidangkan perkara tersebut, tetapi hal itu tidak
dilakukan dan hal ini membawa akibat yang buruk bagi Legiman. Hakim
tidak memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan
bahwa apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan itu
terjadi, maka dipakai ketentuan yang teringan/ yang menguntungkan
terdakwa. Persidangan dilakukan terbuka untuk umum, layaknya seperti
persidangan untuk orang dewasa, hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal
153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997, yang
menghendaki

persidangan

anak

dilakukan

tertutup

untuk

umum

(dirahasiakan).
Ancaman pidana penjara terhadap Anak Nakal yang melakukan
tindakpidana sesuai Pasal 26 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 paling lama 1/2
(satu per dua) dan maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Berdasarkan ketentuan Pasal

26 ini, ketentuan dalam KUHP tentang

ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman hukuman bagi
orang dewasa. Sehubungan dengan hal ini Pasal 124 ayat (1) Rancangan
KUHP Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa: Pidana pembatasan

324

kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau
tindak pidana yang disertai dengan kekerasan; Pidana pembatasan kebebasan
yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum
pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Bagi Anak Nakal yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun, melakukan tindak pidana yang
diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1997, yaitu menyerahkan anak itu
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja
(Pasal 26 ayat (3) UU No. 3 Tahun 1997). Apabila Anak Nakal yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua
belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau
tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 UU No. 3 Tahun 1997, yaitu dapat berupa dikembalikan kepada orang
tua/wali/orang tua asuh, atau menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada
Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Pasal 113 ayat (1)
Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa anak yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku

325

bagi orang yang berumur antara (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas)
tahun yang melakukan tindak pidana.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sesuai
Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997. paling lama 1/2 (satu perdua)
dan maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Pidana denda
yang dapat dijatuhkan bagi Anak Nakal adalah 1/2 (satu per dua) dari
masksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, sedangkan Pasal 123
ayat (1) Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa pidana
hanya dapat dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16 (enam belas)
tahun. Apabila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan
wajib latihan kerja paling lama 90 hari kerja dengan jam kerja tidak lebih dan
4 (empat) jam sehari, dan tidak boleh pada malam hari.
Dalam praktiknya di Pengadilan Negeri, sebagian besar putusan
pengadilan berupa pidana penjara, walaupun pelaku kejahatan di bawah usia
18 (delapan belas) tahun; karena lemahnya sistem pidana denda, Hakim lebih
suka menjatuhkan pidana penjara singkat daripada menjatuhkan pidana
denda. Dalam menghadapi perkara pidana yang diancam dengan pidana
penjara

secara

kumulatif/

alternatif

dengan

pidana

denda,

dalam

kenyataannya Hakim lebih banyak memilih sistem alternatifnya (penjara atau


denda) dan altematif yangdipilih kebanyakan pidana penjara.
Dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan kepada Anak Nakal
maksimal 2 (dua) tahun. Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal
29 UU No. 3 Tahun 1997). Hal itu sepenuhnya tergantung kepada Hakim

326

untuk menjatuhkan pidana bersyarat atau tidak. Apabila dijatuhkan pidana


bersyarat, maka ditentukan syarat umum atau syarat khusus. Syarat umum
adalah bahwa Anak Nakal tidakakan melakukan tindak pidana lagi selama
menjalani

pidana

bersyarat.

Syarat

khusus,

misalnya

tidak

boleh

mengemudikan kendaraan bermotor atau wajib mengikuti kegiatan-kegiatan


yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Masa pidana bersyarat
khusus harus lebih pendek dari syarat umum dan palinglama 3 (tiga) tahun.
Selama masa pidana bersyarat, pengawasan terhadap anak dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum sementara bimbingan dilakukan oleh Balai
pemasyarakatan (Bapas) dan berstatus sebagai klien pemasyarakatan, Anak
Nakal juga mendapat kesempatan sekolah. Pidana pengawasan yang dapat
dijatuhkan terhadap Anak Nakal yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 huruf a
UU No. 3 Tahun 1997. Sesuai dengan ketentuan Pasal 30 UU No. 3 Tahun
1997, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Pidana
pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak, yakni
pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap anak dalam
kehidupan sehari-hari dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan. Laporan penelitian kemasyarakatan sesudah
adanya putusan (vonnis) dan tindakan (beschikking) Hakim, merupakan
bahan untuk menentukan rencana klien Balai Pemasyarakatan, baik yang
berada dalam Lembaga pemasyarakatan Anak, maupun di luar Lembaga
Pemasyarakatan Anak dan para anak yang pengasuhannya diserahkan kepada
orang tua asuh atau instansi lain.

327

Anak Nakal yang diserahkan kepada negara ditempatkan di Lembaga


Pemasyarakatan Anak (Pasal 3l UU No. 3 Tahun 1997). Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan ijin kepada Menteri Kehakiman
agar anak ditempatkan di lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau swasta. Atas dasar pertimbangan kepentingan anak dan masa
depannya, anak tersebut dapat diserahkan kepada panti sosial yang dikelola
oleh pemerintah atau swasta, atau kepada orang tua asuh. Hakim yang
menetapkan bahwa Anak Nakal mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja, ditentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan dan latihan kerja itu
dilaksanakan. Penjatuhan pidana atau tindakan, dipertimbangkan berat atau
ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan. Diperhatikan
keadaan anak, keadaan rumah tangga, orang tua/ wali/ orang tua asuh,
hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungan, pertimbangan
Pembimbing Kemasyarakatan.
2) Tindakan
Anak Nakal yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3
Tahun 1997, yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu dan tidak
diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup tidak dijatuhkan
sanksi pidana akan tetapi berupa sanksi tindakan.
Pasal 129 ayat (2) Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012,
menentukan bahwa tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa
menjatuhkan pidana pokok adalah: a. pengembalian kepada orang tua, wali,

328

atau pengasuhnya; b. penyerahan kepada pemerintah; c. penyerahan kepada


seseorang; d. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta; e. pencabutan surat izin mengemudi; f.
perampasan keuntungan yang diperoleh dan tindak pidana; g. perbaikan
akibat tindak pidana; h. Rehabilitasi; dan atau i. Perawatan di lembaga.
Berdasarkan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, tindakan yang dapat dikenakan
kepada Anak Nakal adalah sebagai berikut: 1) mengembalikan kepada orang
tua, wali, atau orang tua asuh; 2) menyerahkan kepada negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau 3) menyerahkan
kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan, yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Anak Nakal yang dikembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh,
dilakukan apabila menurut penilaian Hakim Anak masih dapat dibina di
lingkungan orang tua/ wali/ orang tua asuh. Anak tersebut berada di bawah
pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.
Apabila menurut penilaian hakim, pendidikan dan pembinaan terhadap
Anak Nakal tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarga (Pasal 24 ayat
lhuruf b UU No. 3 Tahun l997), maka anak tersebut diserahkan kepada
negara. Ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti
pendidikan,pembinaan dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal
keterampilan kepada anak, berupa keterampilan di bidang pertukangan,
pertanian, perbengkelan, dan lain-lain. Selesai menjalani tindakan itu anak
diharapkan mampu hidup mandiri.

329

Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan Hakim kepada Anak Nakal


adalahmenyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja untuk dididik dan dibina. Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan,
latihan kerja diselenggarakan pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak
atau oleh Depertemen sosial akan tetapi dalam hal kepentingan anak
menghendaki, Hakim dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada
organisasi sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial, dan
lembaga sosial lainnya (Pasal 24 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1997).
Anak yang diserahkan kepada organisasi Sosial Kemasyarakatan, harus
diperhatikan agama anak yang bersangkutan. Tindakan disertai teguran dan
syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim sesuai Pasal 24 ayat (2)
UUNo. 3 Tahun 1997. Teguran itu berupa peringatan hakim baik secara
langsung terhadap anak, atau tidak langsung melalui orang tua, wali atau
orang tua asuh.
Maksud teguran ini agar anak tidak mengulangi perbuatannya. Syarat
tambahan seperti kewajiban untuk melapor secara periodik kepada
pembimbing kemasyarakatan. Hakim menjatuhkan pidana dan tindakan,
memperhatikan perbuatan yang dilakukan oleh anak. Dalam menentukan
pidana atau tindakan, Hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana
atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Hakim wajib
memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, orang

330

tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya.


Hakim wajib memperhatikan Laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Apabila anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang baginya,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (Pasal 1 angka 2 huruf
b UU No. 3Tahun 1997), maka terhadap Anak Nakal tersebut, menurut Pasal
25 ayat (2) hanya dapat menjatuhkan tindakan yang ditentukan dalam Pasal
24 UU No. 3Tahun 1997. Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa
tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. mengembalikan
kepada orang tua, wali, orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; c. menyerahkan kepada
Departemen Sosial, atau organisasi sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sanksi hukum
terhadap Anak Nakal berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda
dan pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997; sedangkan sanksi
yang dapat dijatuhkan terhadap Anak Nakal yang ditentukan dalam Pasal 1
angka 2 huruf b hanya berupa tindakan yang diatur dalam Pasal 24 UU No. 3
Tahun 1997. Perbuatan yang dilakukan Anak Nakal dalam Pasal 1 angka 2
huruf b bukanlah perbuatanpidana. Hal ini merupakan masalah yang perlu
dicermati, UU No. 3 Tahun 1997 tidak memberikan penjelasan mengenai
kenakalan yang dapat dijatuhi pidana.UU No. 3 Tahun 1997 hanya mengatur

331

tentang proses Peradilan pidana Anak, sehingga Hakim yang menjatuhkan


sanksi hukum terhadap Anak Nakal sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 huruf
b adalah Hakim Pidana. Berdasarkan hal iniAnak Nakal yang dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf b dapat diproses di Pengadilan. Berkaitan
dengan hal ini kepolisian harus dengan cermat dan teliti mengenai hal ini,
sebab sebenarnya sebagai Penyidik sudah ragu untuk melakukan tindakan
seperti penangkapan, pemeriksaan dan dilakukan pelimpahan berkas perkara
ke Kejaksaan. Terhadap Anak Nakal yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 2
huruf b cukup diselesaikan di tingkat penyidikan saja, untuk menghindarkan
penggunaan waktu yang berlarut-larut, yang dapat merugikan perkembangan
dan pertumbuhan mental, fisik dan sosial anak. Hasil penelitian menyangkut
penjatuhan pidana dan tindakan terhadap anak.

e. Hak-hak Anak Dalam Proses Persidangan


Hak-hak anak dalam proses pemeriksaan persidangan, antara lain
adalah: hak untuk memperoleh pemberitahuan datang ke sidang pengadilan
(Pasal 145 KUHAP); hak untuk menerima surat panggilan guna menghadiri
sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP); hak untuk memperoleh
penjelasan tentang apa yang didakwakan (Pasal 51 huruf b KUHAP); hak
untuk memberikan keterangan secara bebas kepada hakim (Pasal

52

KUHAP); hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53,
Pasal 177, Pasal l78 KUHAP); hak untuk mengusahakan atau mengajukan
saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP); hak untuk mendapatkan

332

turunan surat penetapan yang berkaitan dengan wewenang suatu pengadilan


(Pasal 148 ayat (3) KUHAP); hak untuk mengajukan keberatan terhadap
kewenangan pengadilan atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (l) dan (4) KUHAP); hak untuk
mengajukan pertanyaan kepada saksi (Pasal 165 ayat (2) KUHAP; hak untuk
saling menghadapkan saksi (Pasal

165 ayat(4) KUHAP); hak untuk

mengajukan pembelaan atas tuntutan pidana (Pasal 182 ayat (l) huruf b
KUHAP); hak untuk hadir pada saat dibacakan putusan hakim (Pasal 196
ayat (1) KUHAP); hak untuk mendapatkan penjelasan hak-haknya setelah
putusan dibacakan, yang meliputi: a. hak segera menerima atau menolak
putusan; b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undangundang; c. hak untuk meminta penangguhan pelaksaanaan putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; d. hak untuk meminta
diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan; e. hak
mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini (Pasal 196 ayat (3) KUHAP);
hak untuk meminta penundaan pemeriksaan sidang guna pembelaan (Pasal
203 ayat (3) KUHAP); hak untuk menunjuk wakil (Pasal 213 KUHAP); hak
untuk meminta penjelasan tentang hukum yang berlaku (Pasal 221 KUHAP);
hak untuk menerima petikan surat putusan Pengadilan Pasar 226 KUHAP); di

333

samping hak-hak ini hak-hak anak lainnya adalah: a. hak atas persidangan
yang tertutup untuk umum; b. hak atas adanya laporan hasil penelitian
kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan yang memaparkan tentang
kehidupan anak (pada umumnya laporan tersebut menguntungkan anak); c.
hak untuk didampingi oleh penasihat hukumnya; d. hak atas penasihat hukum
di pengadilan dalam kasus-kasusnya; e. hak atas suasana kekeluargaan selama
proses sidang; f. hak atas hukuman yang bijaksana dan mendidik; g. hak
untuk mengajukan upaya hukum; h. hak untuk mendapat pembinaan dari
petugas sosial.
Selama dalam proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi, seperti
asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam,
hak untuk menghadirkan orang tua/atau wali/orang tua asuh, hak untuk
berhadapan dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding.
Hak anak sebelum persidangan masih dibedakan dalam kedudukannya
sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak sebelum persidangan
dalam kedudukannya sebagai pelaku meliputi: (1) hak diperlakukan sebagai
yang belum terbukti bersalah; (2) hak untuk mendapatkan perlindungan
terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan
mental, fisik, sosial darisiapa saja (ancaman, penganiayaan, cara dan tempat
penahanan); (3) hak untuk mendapatkan pendamping/penasihat hukum dalam
rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan secara prodeo;
(4) hak untuk mendapat fasilitas ikut serta untuk memperlancar pemeriksaan
terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).

334

Hak anak sebelum persidangan dalam kedudukannya sebagai korban


meliputi: (1) hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan mental, fisik
dan sosialnya; (2) hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan
suatu tindakan lanjut yang tanggap dan peka tanpa imbalan (kooperatif); (3)
hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja; (4)
hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan
diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo; (5)
hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan
sebagai pelapor/korban.
Hak anak sebagai saksi sebelum persidangan meliputi: (1) hak
diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang
tanggap peka, tanpa mempersulit para pelapor; (2) hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik,
sosial dari siapa saja karena kesaksiannya; (3) hak untuk mendapatkan
fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai saksi.
Hak

anak

selama

persidangan

masih

dibedakan

lagi

dalam

kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama
persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku: (1) hak mendapatkan
penjelasan mengenai tatacara persidangan dan kasusnya; (2) hak untuk
mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan; (3) hak untuk
mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya;
(4) hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan

335

penderitaan mental, fisik, sosial darisiapa saja; (5) hak untuk menyatakan
pendapat; (6) hak untuk memohon gantikerugian atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; (7) hak untuk mendapatkan
perlakuan

pembinaan/

penghukuman

yang

positif,

yang

masih

mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya; (8) hak akan


persidangan tertutup demi kepentingannya.
Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai korban
meliputi: (1) hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
persidangan sebagai saksi/korban; (2) hak mendapatkan penjelasan mengenai
tata cara persidangan dan kasusnya; (3) hak mendapatkan perlindungan
terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dan siapa
saja; (4) hak untuk menyatakan pendapat; (5) hak untuk memohon ganti
kerugian atas kerugian, penderitaannya; (6) hak untuk memohon persidangan
teitutup; Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi
meliputi: (1) hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi;
(2) hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan; (3)
hak untuk mendapatkan ijin darisekolah untuk menjadi saksi.
Hak anak setelah persidangan dibedakan dalam kedudukannya sebagai
pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak setelah persidangan dalam
kedudukannya sebagai pelaku meliputi: (1) hak untuk mendapatkan
pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila,

336

UUD 1945 dan ide mengenai kemasyarakatan; (2) hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, dan menimbulkan
penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja; (3) hak untuk tetap untuk
dapat berhubungan dengan orang tuanya atau keluarganya.
Hak anak setelah persidangan dalam kedudukannya sebagai korban
meliputi: (1) hak untuk mendapatkan perilindungan terhadap tindakan yang
merugikan, dan menimbulkan penderitaan mental, fisik sosial dari siapa saja;
(2) hak atas pelayanan di bidang mental, fisik dan sosial. Hak anak setelah
persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi yaitu hak untuk mendapatkan
perlindungan dari tindakan-tindakan mental, fisik, sosial dari siapa saja.
Menurut peneliti pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan
pidana merupakan suatu hasil interaksi yang ada dan saling mempengaruhi.
Keluarga, masyarakat dan aparat terkait (aparat penegak hukum) perlu
meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak
anak demi kesejahteraan anak.

4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap pemasyarakatan


a. Petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak
Dalam pembinaan Narapidana dan Anak Didik pemasyarakatan dikenal
10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan, yaitu: l. Ayomi dan berikan bekal agar
mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan
berguna; 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara; 3.
Berikan bimbingan bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat; 4. Negara

337

tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada
sebelum dijatuhi pidana; 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, Napi
dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh
bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja,
pekerjaan di masyarakat dan menunjang usaha peningkatan produksi; 7.
Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan Pancasila; 8. Narapidana dan anak didik sebagai orang
tersesat, adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia,
martabat dan harkatnya sebagai manusia harus dihormati; 9. Narapidana dan
anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya
derita yang dapat dialami; 10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang
dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif sistem
pemasyarakatan.
Sehubungan dengan hal ini dikenal 10 (sepuluh) wajib petugas
pemasyarakatan, yaitu:
1) Menjunjung tinggi hak-hak warga Binaan pemasyarakatan;
2) Bersikap welas asih dan tidak sekali-kali menyakiti Warga Binaan
pemasyarakatan.
3) Berlaku adil terhadap warga Binaan pemasyarakatan;
4) Menjaga rahasia pribadi Warga Binaan Pemasyarakatan;
5) Memperhatikan keluhan Warga Binaan Pemasyarakatan;

338

6) Menjaga rasa keadilan masyarakat;


7) Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan
perilaku;
8) waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan
gangguan keamanan;
9) Bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat;
10) Menjaga keseimbangan kepentingan pembinaan dan keamanan.
Hambatan dalam melakukan pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Anak adalah kurangnya sumberdaya manusia yang betulbetul professional. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petugas
Lembaga Pemasyarakatan Anak lebih dominan yang berpendidikan/lululusan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, seperti lulusan SMPS, SMA (SMU), SMEA
dan lain-lain yang setingkat. Yang berpendidikan Sarjana Muda dan Sarjana
hanya beberapa orang.
Pendidikan yang diemban petugas Lembaga pemasyarakatan Anak,
berpengaruh dalam pemahaman penting atau tidak perlindungan anak.
Pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan Peradilan Pidana Anak, kesejahteraan anak danperaturan
lain yang berkaitan. Pemahaman Petugas Lembaga PemasyarakatanAnak
tentang Pengertian Anak Nakal
Pendidikan yang diemban juga mempengaruhi tingkat kemampuan
untuk melahirkan ide-ide/kebijakan-kebijakan yang diambil dalam rangka

339

perlindungan anak, terutama apabila peraturan perundang-undangan tidak


menentukan secara tegas atau sama sekali tidak mengatur hal-hal tertentu.
Kemampuan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap Narapidana Anak
dalam merubah mental dan perilakunya melalui pembinaan-pembinaan
dipengaruhi tingkat pendidikan yangdiemban petugas. Bila sumber daya
manusia tidak diperhatikan/diperbaiki, maka akan menimbulkan dampak
negatif yang dapat menciptakan narapidana bukan semakin baik tetapi
menjadi monster-monster yang siap melakukan tindak pidana lagi setelah
menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Menurut peneliti
diperlukan pendidikan khusus bagi petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak,
memberikan kesempatan untuk mengikuti penataran-penataran, seminar dan
kursus-kursus

singkat,

sehingga

perlu

dijalin

kerjasama

dengan

lembaga/institusi terkait baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta,


seperti LSM, perguruan tinggi, perusahaan dan lain-lain, sepanjang ada
kaitannya dengan pembinaan Narapidana Anak.
b. Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-haknya
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 1997 jo Pasal 13 PP
No.

31

Tahun

1999

tentang

Pembimbingan

Warga

Binaan

Pemasyarakatan,dikenal 3 (tiga) golongan Anak Didik Pemasyarakatan, yaitu:


a. Anak pidana; b. Anak Negara; dan c. Anak Sipil. Anak pidana yaitu anak
yang

berdasarkanputusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga

Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.


Apabila anak yang bersangkutan telah berumur 18 (delapan belas) tahun

340

tetapi belum selesai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak,


berdasarkan Pasal 61 UU No. 3 Tahun 1997, harus dipindahkan ke Lembaga
pemasyarakatan. Bagi Anak pidana yang ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan karena umurnya sudah mencapai 18 (delapan belas) tahun
tetapi belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun, tempatnya dipisahkan dari
narapidana yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Pihak Lembaga
Pemasyarakatan wajib menyediakan blok tertentu untuk mereka yang telah
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. Narapidana yang telah menjalani
pidana penjara 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan, yang sekurangkurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik, dapat diberikan
pembebasan bersyarat (Pasal 62 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1997), yang
disertai dengan masa percobaan yang lamanya sama dengan sisa pidana yang
harus dijalankannya. Dalam pemberian pembebasan bersyarat dikenal adanya
syarat umum dan syarat khusunya (Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3
Tahun 1997). Syarat umum yaitu bahwa Anak Pidana tidak akan melakukan
tindak pidana lagi selama menjalani pembebasan bersyarat; sedangkan syarat
khusus adalah syarat yang menentukan melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam pembebasan bersyarat, dengan tetap
memperhatikan kebebasan anak. Anak-anak yang memperoleh pembebasan
ini diawasi oleh jaksa dan pembimbingannya dilakukan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan, dan pengamatannya dilakukan
oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan.

341

Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan


diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Status sebagai Anak Negara sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Walaupun umumya telah melewati batas umur tersebut, Anak Negara tidak
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (untuk orang dewasa), karena
Anak Negara tersebut tidak dijatuhi pidana penjara. Anak Negara tetap berada
di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Bila Anak Negara telah menjalani
pendidikannya paling sedikit selama satu tahun, yang dinilai berkelakuan baik
sehingga dianggap tidak perlu lagi dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak,
maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan ijin kepada
Menteri Kehakiman, agar Anak Negara tersebut dikeluarkan dari Lembaga
Pemasyarakatan Anak dengan atau tanpa syarat yang ditetapkan oleh Pasal
29 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 1997.
Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orangtua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan
Anak. Penempatan Anak Sipil di Lembaga Pemasyarakatan Anak, paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Paling lama 6 (enam) bulan
lagi bagi mereka yang belum berumur 14 (empat belas) tahun dan paling lama
1 (satu)tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14
(empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang selama satu tahun
dengan ketentuan paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun (Pasal 32
ayat (3) UU No. 12Tahun 1995). Anak Sipil sebagaimana yang diatur dalam

342

UU No. 12 Tahun 1995tidak dikenal dalam UU No. 3 Tahun 1997. UU No.3


Tahun 1997 maupun UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) tidak mengatur
tentang Anak Sipil, hal ini hanya dikenal dalam persidangan perkara perdata.
Karena Anak Sipil berkaitan dengan Lembaga Pemasyarakatan Anak, maka
kedudukan anak tersebut berkaitan dengan lingkup hukum pidana. Tidak
mungkin permohonan penetapan Anak Sipil diajukan pada peadilan perdata,
sedangkan di lain pihak perkara pidana tidak mengenal acara sidang untuk
menetapkan Anak Sipil. Ketentuan mengenai Anak Sipil ini didalam UU No.
12 Tahun 1995 masih tergolong idealis, karena belum ada peraturan yang
mengatur tentang prosedur pelaksaan penetapan Anak Sipil.
Hak-hak Anak Pidana diatur oleh Pasal 22 ayat (1) UU No. 12
Tahun1995, sebagai berikut: a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun
jasmani; c. mendapat pendidikan dan pengajaran; d. mendapat pelayanan
kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f.
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang; g. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau
orang tertentu lainnya; h. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); i.
mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
j. mendapatkan pembebasan bersyarat; k. mendapatkan cuti menjelang bebas;
l. mendapatkan hak-hak lainsesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

343

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995, ditentukan


bahwa hak-hak Anak Negara adalah: a. melakukan ibadah sesuai dengan
agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani
maupun jasmani;c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f.
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang; g. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya; h. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi

keluarga;

i.

Mendapatkan

pembebasan

bersyarat;

j.

mendapatkan cuti menjelang bebas; k. mendapatkan hak-hak lain sesuai


peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (l) UU No. l2 Tahun 1995, hak-hak Anak
Sipil adalah: a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
itu; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c.
mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan
kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f.
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang; g. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya; h. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga: i. Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

344

c. Pembinaan Narapidana Anak


Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung
keberhasilan negara menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat.
Lembaga Pemasyarakatan Anak berperan dalam pembinaan narapidana yang
memperlakukan narapidana agar menjadi baik. Yang perlu dibina adalah
pribadi narapidana, membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa
tanggungjawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram
dan sejahtera dalam masyarakat, sehingga potensial menjadi manusia yang
berpribadi dan bermoral tinggi.
Pasal 17 ayat (1) PP No. 1 Tahun 1999 menentukan bahwa pembinaan
Anak Pidana dilaksanakan dengan beberapa tahap pembinaan. Tahap
pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) tahap,
yaitu: a. tahap awal; b. tahap lanjutan; c. tahap akhir (Pasal 17 ayat (2) PP
No. 31 Tahun 1999). Berkaitan dengan hal ini Pasal 19 PP No. 31 Tahun
1999 menentukan:
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf a meliputi:
a. masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan palinglama 1
(satu) bulan,
b. perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
c. pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
d. penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf b meliputi:
a. perencanaan program pembinaan lanjutan;
b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

345

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf c meliputi:
a. perencanaan program integrasi;
b. pelaksanaan program integrasi;
c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3)
ditetapkan melalui sidang Tim pengamat pemasyarakatan.
(5) Dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) Kepala Lapas Anak wajib memperhatikan Litmas.
(6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan
sebagaimana dimaksud daram ayat (l), (2), dan(3) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.

Pembinaan Anak Pidana berakhir apabila Anak Pidana yang


bersangkutan: a. masa pidananya telah habis; b. memperoleh pembebasan
bersyarat; c. memperoleh cuti menjerang bebas; atau d. meninggal dunia
(Pasal 59 PP No.31 Tahun 1999).
Pembinaan Anak Negara dititikberatkan pada pendidikan (Pasal 22 PP
No.31Tahun 1999) wujud pembinaan Anak Negara meliputi: a. pendidikan
agama dan budi pekerti; b. pendidikan umum; c. pendidikan kepramukaan; d.
Latihan keterampilan. Sehubungan dengan pembinaan Anak Negara ini, Pasal
23 PP No.3l Tahun 1999 menentukan:
(1) Pembinaan bagi Anak Negara dilaksanakan dengan pentahapan setiap 6
(enam) bulan.
(2) Pembinaan tahap awal bagi Anak Negara dimulai sejak yang
bersangkutan berstatus sebagai Anak Negara sampai dengan 6 (enam)
bulan pertama.
(3) Pembinaan tahap lanjutan dilaksanakan sejak berakhirnya masa
pembinaan tahap awal sampai dengan 6 (enam) bulan kedua.
(4) Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan
sampai dengan paling lama Anak Negara yang bersangkutan mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun.
(5) Apabila masa pembinaan:

346

a.

telah lewat 6 (enam) bulan pertama menurut pertimbangan Tim


Pengamat pemasyarakatan, Anak Negara yang bersangkutan sudah
menunjukkan perkembangan yung baik, pembinaan dapat
dilanjutkan dengan program asimilasi;

b.

telah lewat 6 (enam) bulan kedua menurut pertimbangan Tim


Pengamat Kemasyarakatan, Anak Negara yang bersangkutan sudah
menunjukkan perkembangan yang baik, pembinaan dapat
dilanjutkan dengan program integrasi.

(6) Dalam hal Anak Negara belum memenuhi syarat untuk diberikan
program asimilasi atau integrasi, maka pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilanjutkan dengan pembinaan 6 (enam) bulan
kedua, dan seterusnya sampai Anak Negara yang bersangkutan
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Pembinaan Anak Negara berakhir apabila Anak Negara yang


bersangkutan: a. telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun; b.
memperoleh pembebasan bersyarat; c. memperoleh cuti menjelang bebas; d.
meninggal dunia (Pasal 60 PPNo. 3l Tahun 1999).
Program pembinaan bagi Anak Sipil disesuaikan dengan kepentingan
pendidikan Anak Sipil yang bersangkutan (Pasal 26 ayat (1) PP No. 31
Tahun1999). Jangka waktu pembinaan Anak Sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sesuai dengan penetapan pengadilan. Dalam hal diperlukan
pembinaan tahap lanjutan maka pentahapan program pembinaan bagi Anak
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berlaku juga terhadap Anak
Sipil (Pasal 27 PP No. 31 Tahun 19991). Sehubungan dengan Anak Sipil ini
Pasal 28 menentukan bahwa Anak Sipil sewaktu-waktu dapat dikeluarkan
dari Lembaga Pemasyarakatan Anak, berdasarkan penetapan Menteri
Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk atas permintaan orang tua, wali atau
orang tua asuh Anak Sipil.

347

Pembinaan Anak Sipil berakhir apabila Anak Sipil yang bersangkutan:


a. masa penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan Anak telah selesai
berdasarkan penetapan pengadilan; b. telah mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun; c. dikeluarkan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak
berdasarkan alasan tertentu; atau d. meninggal dunia.
Asas pembinaan/pemasyarakatan adalah: a. pengayoman; b. Persamaan
perlakuan dan pelayanan, c. pendidikan; d. pembimbingan; e. Penghormatan
harkat dan martabat manusia; f. kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan; g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang-orang tertentu (Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1997). Sasaran
Pemasyarakatan dapat dibagi dalam dua bagian yaitu: l. Sasaran Khusus;
Pembinaan terhadap individu Warga Binaan Pemasyarakatan adalah
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan yang meliputi: a.
Kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Kualitas
intelektual; c. Kualitas sikap dan perilaku; d. Kualitas profesionalisme dan
keterampilan; e. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani; 2. Sasaran umum;
Sasaran umum ini pada dasarnya juga merupakan indikator-indikator yang
secara umum digunakan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan. Indikator-indikator tersebut antara lain: a. Menurunnya
secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamaan lainnya; b.
isi

Lembaga

Pemasyarakatan

lebih

rendah

daripada

kapasitas;

c.

meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang


bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi; d. semakin

348

menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis; e. Semakin banyaknya jenis


institusi (Pemasyarakatan) sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/golongan
warga Binaan Pemasyarakatan; f. Secara bertahap perbandingan banyaknya
narapidana yang bekerja di bidang industri; g. Lembaga Pemasyarakatan dan
Rutan (Rumah Tahanan Negara) adalah instansi terbersih di lingkungannya
masing-masing; h. semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang
menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan sebaiknya semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur
penjara dan Lembaga Pemasyarakatan.
Pembinaan pribadi selama waktu tertentu, agar narapidana kemudian
hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku di
dalam masyarakat. Pembinaan narapidana dipengaruhi masyarakat luar, yang
menerima narapidana menjadi anggotanya. Arah pembinaan bertujuan:1)
Membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dalam
menaati peraturan hukum; 2) Membina hubungan antara narapidana dengan
masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan dapat menjadi anggotanya.
Untuk menyelenggarakan usaha pembinaan ini diperlukan sarana baik yang
bersifat materil, struktural dan terutama yang bersifat idil. Idil dalam hal ini
(untuk

membedakan

peralatan/perlengkapan)

khususnya

mengenai

perkembangan sistem masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan Lembaga


Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana adalah: a. Penyuluhan agama
dan depertemen agama; b. Penyuluhan hukum daripihak pengadilan; c.
Penataran tentang penghayatan Pancasila.

349

Lembaga Pemasyarakatan mengundang para pemuka agama dalam


proses pembinaan narapidana setiap bulan. Salah satu program pendidikan
narapidana, memberikan ceramah yang bersifat membangun jiwa narapidana.
Penyuluhan dilakukan oleh Departemen Kehakiman atau Pengadilan sekali
sebulan, seperti:a. ceramah tentang kesadaran hukum (kadarkum); b.
Membuat suatu kelompokdiskusi antar narapidana yang membahas yang
berkaitan dengan hukum; c. Memberikan pandangan yang bersifat
membangun kepada narapidana setelah habis masa pembinaan.
Jenis-jenis pembinaan narapidana dapat digolongkan atas tiga yaitu: 1)
Pembinaan mental; 2) Pembinaan sosial; 3) Pembinaan keterampilan.
1) Pembinaan mental
Pembinaan mental dilakukan mengingat terpidana mempunyai problem
seperti perasaan bersalah, merasa diatur, kurang biasa mengontrol emosi,
merasa

rendah

diri

yang

diharapkan

secara

bertahap

mempunyai

keseimbangan emosi. Pembinaan mental yang dilakukan adalah: memberikan


pengertian agar dapat menerima dan menangani rasa frustasi dengan wajar,
melalui ceramah; memperlihatkan rasa prihatin melalui bimbingan berupa
nasihat;

merangsang

dan

menggugah

semangat

narapidana

untuk

mengembangkan keahliannya; memberikan kepercayaan kepada narapidana


dan menanamkan rasa percaya diri, untuk menghilangkan rasa cemas dan
gelisah dengan menekankan pentingnya agama. Pasal 2 PP No. 32 Tahun
1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan menentukan bahwa setiap narapidana dan Anak Didik

350

Pemasyarakatan berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan


kepercayaannya, yang dapat dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
atau diluar Lembaga Pemasyarakatan Anak sesuai dengan program
pembinaan.
2) Pembinaan sosial
Pembinaan sosial mengembangkan pribadi dan hidup kemasyarakatan
narapidana. Aktivitas yang dilakukan adalah: memberikan bimbingan tentang
hidup bermasyarakat yang baik dan memberitahukan norma-norma agama,
kesusilaan, etika pergaulan dan pertemuan dengan keluarga korban;
mengadakan surat menyurat untuk memelihara hubungan batin dengan
keluarga dan relasinya; kunjungan untuk memelihara hubungan yang
harmonis dengan keluarga.
3) Pembinaan keterampilan
Pembinaan

keterampilan

bertujuan

untuk

memupuk

dan

mengembangkan bakat yang dimiliki narapidana, sehingga memperoleh


keahlian

dan

keterampilan.

Aktivitas

yang

dilakukan

adalah:

menyelenggarakan kursus pengetahuan (pemberantasan buta huruf), kursus


persamaan sekolah dasar; latihan kejuruan seperti kerajinan tangan seperti
membuat kursi, sapu, mengukir; latihan fisik untuk memelihara kesehatan
jasmani dan rohani seperti senam pagi; latihan kesenian seperti seni musik.
Hasil keterampilan seperti: ukiran, kursi dan sapu sebagian dipergunakan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak, sebagian lagi dijual dan hasil penjualan
dipergunakan untuk membeli peralatan yang lebih lengkap.

351

Terhadap Narapidana Anak Lembaga Pemasyarakatan diberikan


pembinaan mental dan keterampilan Pendidikan keterampilan yang
didapatnya dari Lembaga Pemasyarakatan dapat dikembangkan, sehingga
dapat berwiraswasta untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

d. Pengaruh Pidana Penjara Terhadap Perkembangan Jiwa Anak


Setiap keadaan dan situasi berpengaruh terhadap dirimanusia, begitu
jugaanak-anak yang menjalani pidana. Sesuai dengan kondisi jiwanya, anak
sangatmudah dipengaruhi berbagai situasi. Anak yang menjalani pidana,
menjalani perubahan lingkungan. Ruang lingkup bergerak tidak terbatas serta
hidup dalam lingkungan yang terdiri dari keluarga, masyarakat serta kasih
sayang yang didapatnya dari keluarganya, di Lembaga Pemasyarakatan Anak
tidak lagi didapatnya. Situasi demikian akan mempengaruhi jiwa anak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Yang

paling

menyolok

tentang

kehidupan

badan

adalah

kurangnyakebersihan badan dan kurangnya hubungan keluarga anak didik.


Anak didik yangkurang memperhatikan kebersihan badan, berarti kurang
perduli pada diri sendiri. Kurangnya hubungan keluarga sebab mereka berasal
dari keluarga broken home.
Sifat individu anak didik tidak berbeda dengan sifat individu anak
yanghidup secara normal. Sifat egonya lebih kuat dan kurang mau mengakui
kesalahannya. Sifat ini merupakan sifat khas pada anak pada masa puberitas.

352

Pidana mempengaruhi perkembangan jiwa anak sampai mereka dewasa.


Hambatan yang paling menonjol adalah proses mengidentifikasikan diri anak
didik. Mereka lebih terbuka kepada sesama narapidana. Berdasarkan hasil
wawancara dengan petugas dan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Anak, diketahui bahwa pemidanaan membawa pengaruh yang tidak baik
terhadap anak didik. Pemidanaan hanya bersifat memperbaiki pribadianak
dan membuat mereka tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yanglain.
Selama menjalani pidana, jiwa anak didik tertekan karena:
a.

Seorang narapidana selama dipidana kehilangan percaya diri, identitas


diri, akibat peraturan dan tata cara kehidupan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak.

b.

Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas,


merasa tidak aman, merasa selalu dicurigai, dan selalu tidak dapat
berbuat sesuatu atau bertindak, karena takut kalau tindakannya salah,
dapat mengakibatkan dirinya dihukum atau mendapatkan sanksi.
Pengawasan yang dilakukan setiap saat, narapidana menjadi ragu dalam
bertindak, kurang percaya diri, salah tingkah, tidak mampu mengambil
keputusan secara baik. Situasi demikian dapat mengakibatkan
narapidana melakukan tindak kompensasi demi stabilitas jiwanya,
padahal tidak setiap kompensasi berdampak positif. Rasa tidak aman di
dalam Lembaga pemasyarakatan Anak akan tetap terbawa sampai
keluar dari Lembaga pemasyarakatan Anak hilang jika mantan
narapidana telah mampu beradaptasi dengan masyarakat.

c.

Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan membaca surat kabar secara


bebas, melakukan hobi menjadi hilang. Keadaan demikian
menyebabkan jiwa narapidana menjadi tertekan, menyebabkan
Narapidana Anak menjadi pemurung, malas, mudah marah, dan tidak
bergairah terhadap program-program pembinaan bagi diri sendiri.

d.

Kebebasan untuk berkomunikasi terhadap siapa pun juga dibatasi,


narapidana tidak bebas untuk berkomunikasi dengan relasinya.
Keterbatasan ini disebabkan karena setiap pertemuan dengan relasinya
dan keluarganya waktunya sangat terbatas. Begitu juga halnya dengan
surat-surat yang harus disensor lebih dahulu.

e.

Narapidana merasa kehilangan pelayanan, karena narapidana harus


mampu mengurus dirinya sendiri, mencuci pakaian, menyapu ruangan,
mengatur tempat tidurnya sendiri. Begitu juga mengenai menu

353

makanan, semua telah diatur oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan


Anak. Hilangnya pelayanan, menyebabkan narapidana kehilangan kasih
sayang yang biasanya diperoleh dalam keluarganya. Hal ini
menyebabkan Narapidana Anak menjadi garang, cepat marah sebagai
kompensasi jiwanya.
f.

Akibat perampasan kemerdekaan narapidana menjadi kehilangan rasa


percaya diri, yang mengganggu program pembinaan, kreativitas
narapidana tidak dapat tersalurkan dengan sempurna. Rasa percaya diri
sangat penting dalam membina narapidana, kepercayaan dirinya dapat
dicapai jika narapidana telah mengenal diri sendiri.

g.

Selama menjalani pidana, terampas kreativitasnya, ide-idenya, gagasangagasannya, imajinasinya bahkan juga impian, dan cita-citanya.

5. Peranan Balai Pemasyarakatan


Terdapat 3 (tiga) golongan petugas kemasyarakatan, yaitu: a.
Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman; b. Pekerja Sosial
dari Departemen Sosial; c. Pekerja Sosial dan Organisasi Sosial
Kemasyarakatan

(Pasal

33

UU

No.3

Tahun

1997).

Pembimbing

Kemasyarakatan adalah Petugas Pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan


yang melakukan bimbingan Warga Binaan pemasyarakatan (Pasal 1 angka
11 UU No. 3 Tahun 1997). Tugas pembimbing Kemasyarakatan adalah:
membantu memperlancar tugas Penyidik, penuntut Umum, dan Hakim dalam
perkara pidana anak, baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan
membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan; membimbing, membantu
dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi
pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada
negara dan harus mengikuti latihan kerja, anak yang memperoleh
pembebasan bersyarat dan Lembaga Pemasyarakatan Anak (Pasal 34 ayat (1)
UU No. 3 Tahun 1997). Warga Binaan pemasyarakatan yang berada dalam

354

bimbingan Bapas berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (1) UU No.
12 Tahun 1995 adalah: a. terpidana bersyarat; b. Narapidana, Anak pidana,
dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas; c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan,
pembinaannya diserahkan kepada orang tua atau badan sosial; d. Anak
Negara yang berdasarkan keputusan menteri atau pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial; e. Anak asuh yang berdasarkan
penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orangtua atau
walinya. Orang-orang yang berada di bawah bimbingan Bapas disebut klien
pemasyarakatan (Pasal 1 angka 9 UU No. 3 Tahun 1997), mereka dibimbing
ketika sudah tidak berada di Lembaga.pemasyarakatan Anak, tetapi masa
hukumannya belum selesai dijalani. Apabila bimbingan terhadap Anak
Negara diserahkan kepada orang tua/wali/orang tua asuhnya atau badan sosial
(Pasal 42 ayat (1) huruf c, d, dan e UU No. 12 Tahun 1995), maka Bapas
tidak melakukan bimbingan terhadap mereka, melainkan melaksanakan tugas:
a. pengawasan terhadap orang tua atau badan sosial dan orang tua asuh atau
wali sebagai pengasuh dapat dipenuhi; b. memantau perkembangan Anak
Negara dan Anak Sipil yang diasuh.
Petugas Sosial mempunyai tugas membimbing, membantu dan
mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja. Dalam melaksanakan tugas tersebut supaya seragam dan dengan

355

maksud dan tujuan yang sama, berdasarkan Pasal 34 ayat (3) dihendaki agar
Pekerja Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas
dan kewajibannya, mempunyai keterampilan teknis, jiwa pengabdian di
bidang usaha kesejahteraan sosial (Pasal

38 UU No. 3 Tahun 1997).

Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial ini dapat dibantu oleh


Pekerja Sosial Sukarela (Pasal 35 UU No. 3 Tahun 1997) yang berasal dari
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menaruh minat terhadap masalah
kenakalan anak. Berdasarkan Pasal

39 ayat(1) UU No. 3 Tahun 1997

diketahui bahwa Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau


keterampilan khusus dan minat untuk membina, membimbing dan membantu
anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan
perlindungan anak. Pasal 45 ayat (2) PP No. 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menentukan
bahwa syarat-syarat untuk dapat diangkat atau ditunjuk menjadi Pembimbing
Pemasyarakatan Sukarela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a.
Warga Negara Indonesia; b. taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. pendidikan serendahrendahnya sekolah menengah umum atau sekolah kejuruan; e. telah
mengikuti pelatihan bimbingan dan penyuluhan.
Hasil laporan kerja Pekerja Sosial Sukarela wajib disampaikan kepada
Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 39 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997).

356

Tidak diatur dengan tegas dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997
tentang hasil laporan kerja Pekerja Sosial Sukarela yang membantu tugas
pekerja sosial. Tidak diatur dengan tegas kewajiban melaporkan kepada
Pekerja Sosial. Bila dikaitkan dengan aspek perlindungan anak dapat
berbahaya, sebab bisa saja pekerja Sosial Sukarela melakukan tugasnya
menyimpang dari prinsip-prinsip perlindungan anak, yang dikhawatirkan
mempunyai kepentingan tersendiri di balik pekerjaan yang dilakukan
terhadap anak tersebut. Perlu dicermati dengan teliti oleh pekerja Sosial dari
Departemen Sosial tentang tawaran Pekerja Sosial Sukarela membantu tugastugasnya sebagai Pekerja Sosial.
Pembinaan

Narapidana

Anak,

tidak

cukup

melalui

lembaga

pemasyarakatan saja, tetapi Juga dilakukan di luar Lembaga pemasyarakatan,


dengan menggunakan metode pekerjaan sosial sebagai metode pembinaan.
Guna menyesuaikan diri dengan sistem pemasyarakatan, berdasarkan
keputusan

Presidium

No:7514/Kep/11/l966

Kabinet
tentang

Ampera
Struktur

tanggal 3

November

Organisasi

dan

1966

Tugas-tugas

Departemen Kehakiman, dibentuk Direktorat Bispa (Balai Bimbingan dan


Pengentasan Anak). Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia tanggal22Mei 1970 No. J.S.1/6/10: didirikan
Kantor-kantor Bispa di Jakarta, Surabaya, Madiun, Malang, Yogyakarta dan
Bandung. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia No.: J.S.4/3/7 tahun 1976 nama Kantor Bispa berubah
menjadi Balai Bispa. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman RI

357

Nomor : M.05.PR.07.03 tanggal 5 September 1997 maka Balai Bispa berubah


namanya menjadi Bapas (Balai Pemasyarakatan).
a. Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan
Pembinaan khusus di luar Lembaga Pemasyarakatan, pelaksanaan
kegiatan

teknis

sehari-hari

dilakukan

oleh

seorang

Pembimbing

Kemasyarakatan. Petugas teknis Balai Pemasyarakatan membuat Laporan


Penelitian Kemasyarakatan dan melakukan bimbingan terhadap klien
pemasyarakatan. Menjadi seorang petugas teknis pada Balai Pemasyarakatan
minimum tamatan SPSA/SMPS dan harusmengikuti kursus selama 3 (tiga)
bulan khusus tentang tugas pembinaan luarLembaga Pemasyarakatan.
1) Penyajian Laporan Penelitian Kemasyarakatan
Setelah Balai Pemasyarakatan menerima Surat Permintaan Pembuatan
laporan penelitian baik dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri,
Lembaga Kemasyaratan atau Instansi yang lain, ditunjuk Pembimbing
Kemasyarakatan

untuk

melakukan

penelitian

kemasyarakatan

yang

melakukan usaha-usaha:
a)

Mengumpulkan data dengan cara memanggil atau mendatangi/


mengunjungi rumah klien dan tempat-tempat lain yang ada hubungan
dengan permasalahan klien.

b) Setelah memperoleh data, Pembimbing Kemasyarakatan menganalisis,


menyimpulkan, memberikan pertimbangan, saran, sehubungan dengan
permasalahan, selanjutnya dituangkan dalam Laporan Penelitian
Kemasyarakatan.

358

c)

Keikutsertaan dalam persidangan, setelah membuat laporan penelitian


kemasyarakatan,

Pembimbing

Kemasyarakatan

harus

dapat

mempertanggungjawabkan isi Laporan Penelitian Kemasyarakatan


tersebut, baik dalam menentukan pidana, maupun dalam sidang Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Lembaga Pemasyarakatan dan di
Balai Pemasyarakatan untuk menentukan rencana pembinaan terhadap
klien baik di Lembaga Pemasyarakatan, dan di Balai Pemasyarakatan.
d) Pembimbing Kemasyarakatan sebagai Pekerja Sosial
Akibat perkembangan zaman yang semakin pesat dan juga kebutuhan
hidup yang semakin meningkat, sedangkan sumber daya yang ada terbatas
maka manusia berIomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pemecahan masalah
akibat disfungsi sosial diperlukan Pembimbing Kemasyarakatan, yang
memahami

masalah

sosial

dankemanusiaan

secara

mendalam

dan

professional, yang dilakukan dengan cara mengadakan pendekatan penelitian.


Dalam menjalankan tugasnya Pembimbing Kemasyarakatan langsung
berhadapan dengan masyarakat yang bermasalah atau pelanggar hukum, yang
ditangani dengan menggunakan teori pendekatan dan metode ilmu pekerjaan
sosial secara professional.

359

2) Penelitian Kemasyarakatan
Pembimbing Kemasyarakatan identik dengan Pekerja Sosial yang
dalam melaksanakan tugasnya menghadapi manusia dan permasalahannya.
Pembimbing

Kemasyarakatan harus bersikap

dan berperilaku tidak

menyinggung perasaan orang lain, cakap dalam mengadakan relationship,


berkomunikasi dan dapat menerima individu apa adanya. Dalam mengadakan
penelitian kemasyarakatan Pembimbing Kemasyarakatan perlu menjaga dan
memelihara hubungan baik dengan klien. Terjadinya hubungan yang baik
antara Pembimbing Kemasyarakatan dengan klien, diharapkan klien dapat
mengemukakan masalah-masalah dengan terus terang tanpa curiga terhadap
Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan harus dapat
memahami dan menjunjung tinggi harkat dan martabat klien sebagai manusia.
Pembimbing Kemasyarakatan tidak boleh memojokkan atau memberi suatu
putusan, artinya Pembimbing Kemasyarakatan harus non judgemental
mengenai baik atau buruk tindakan maupun kejadian yang baru dialami oleh
klien. Pembimbing Kemasyarakatan setidak-tidaknya telah dididik sebagai
pekerja sosial, ditambah pengetahuan tentang hukum, sosial pedagogi, dan
hal-hal yang diperlukan dalam melakukan bimbingan kepada anak. Petugas
Pembimbing Kemasyarakatan memberi keterangan-keterangan dan saransaran kepada pengadilan, bukan membela supaya putusan pidana tidak
menimbulkan akibat jelek bagi perkembangan pribadi anak. Hakim yang
telah menjatuhkan putusan pidana demi perbaikan anak, harus mengetahui
keadaan orang tua, panti-panti atau lembaga pendidikan, sehingga anak betul-

360

betul dapat menjadi baik dan tidak hilang kepercayaan baik kepada diri
sendiri, kepada orang tuanya/wali/orang tua asuhnya. Petugas Pembimbing
Kemasyarakatan

harus

membantu

Hakim

mendapatkan

keterangan-

keterangan tersebut. Pembimbing Kemasyarakatan perlu menunjukkan


kesungguhan dalam mendengarkan yangdiutarakan oleh klien. Pembimbing
Kemasyarakatan harus mengadakan hubungan yang baik dan sifatnya
disengaja dalam mengadakan wawancara dengan klien, keluarga klien dan
masyarakat di lingkungan klien. Pembimbing Kemasyarakatan terlebih
dahulu membuat suatu perjanjian agar diketahui bahwa pertemuan yang
dilaksanakan adalah pertemuan yang disengaja. Ditentukan waktu dan tempat
pertemuan. Pembimbing Kemasyarakatan menciptakan hubungan mesra,
sehingga klien merasa tenang dan dapat menceritakan segala penderitaan
bahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
a. Tugas Peneliti Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis dari
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang merupakan pelaksana Sistem
pemasyarakatan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Salah satu tugasnya adalah
membuat Penelitian Kemasyarakatan. Penelitian Kemasyarakatan atau case
studyini penting sebagai metode pendekatan dalam rangka pembinaan
pelanggar hukum. Mengingat penting dan besarnya kegunaan pembuatan
penelitian kemasyarakatan atau case study dalam membantu Hakim untuk
membuat suatu putusan yang tepatdan seadil-adilnya, dan untuk menentukan
terapi pembinaan, isi Laporan Penelitian Kemasyarakatan ini harus bisa

361

memberikan gambaran tentang latar belakang kehidupan klien, baik dimasa


lalu maupun setelah menjadi klien. Segala masalah yang terkandung di dalam
kehidupannya serta lingkungan sosialnya dapat dicakup dalam isi Laporan
Penelitian Kemasyarakatan.
Penelitian kemasyarakatannya meliputi :
a) Para pelanggar hukum anak-anak atau orang dewasa baik yang
masih status tahanan maupun yang sudah mendapat putusan
(vonnis) hakim dan Anak Nakal yang oleh orang tuanya tidak
sanggup lagi mengasuhnya dan memohon kepada hakim agar
pengasuhannya diserahkan kepada negara, (Anak Sipil).
b)

Terpidana yang akan diusulkan lepas dengan bersyarat.

Bimbingan kemasyarakatan merupakan pembinaan di luar Lembaga


Pemasyarakatan. Bimbingan kemasyarakatan ditujukan kepada seseorang
yangtidak dapat menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Bimbingan
kemasyarakatan adalah daya upaya yang dilakukan terhadap terpidana
bersyarat anak dan anak didik dalam menghindari terjadinya pengulangan
kembali

pelanggaran

hukum

yang

dilakukannya.

Upaya

tersebut

mengikutsertakan unsur-unsur masyarakat untuk menyesuaikan kembali


hubungan antara terpidana dengan keluarganya serta hubungan narapidana
dengan masyarakat.

362

b. Fungsi dan Jenis Bimbingan


a)

Mengadakan penelitian

Penelitian ini dilakukan mengenai masalahnya, sebab dilakukan


kenakalan, riwayat hidup klien, latar belakang keluarga, perkembangan
pendidikan

klien,

dan

keadaan

ekonomi

keluarga.

Pembimbing

Kemasyarakatan melakukan kunjungan ke rumah klien atau mengunjungi


pihak-pihak yang terkait dengan klien. Pembimbing Kemasyarakatan
mengadakan wawancara dengan klien dan oranglain yang berhubungan
dengan klien dan masalahnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bapas yang melakukan penelitian
kemasyarakatan terhadap Anak Nakal, baik untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan maupun untuk kepentingan pemeriksaan persidangan, sering
mengalami hambatan seperti: a. lambatnya permintaan dari instansi terkait
yang

membutuhkan

(penyidikan,

penuntutan,

persidangan),

yang

menyebabkan Petugas Penelitian Kemasyarakatan kewalahan melakukan


penelitian kemasyarakatan. Hal ini berkaitan dengan waktu penahanan anak
yang

singkat;

b.

minimnya

biaya

transport

petugas

penelitian

kemasyarakatan; c. kurangnya pengetahuan orang tua anak/anggota


masyarakat terhadap kegunaan hasil penelitian kemasyarakatan; d. sumber
daya manusia Petugas Penelitian Kemasyarakatan yang kurang memadai,
baik dari segi kemampuan akademis, kemampuan menganalisis, memprediksi
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi apabila mengambil kebijakan
keputusan tertentu menyangkut anak.

363

Petugas Balai Pemasyarakatan Kelas I banyak belum memahami UU


No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, prinsip-prinsip perlindungan
anak, pemahaman yang mendalam tentang keberadaan anak sebagai pelaku
kenakalan, dan belum memahami betul kedudukannya sebagai peneliti
kemasyarakatan.
Petugas penelitian kemasyarakatan dalam mengemban tugasnya,
bersifat netral dalam memberikan saran kepada Penyidik, Penuntut Umum,
Hakim. Saran yang diberikan tidak semata-mata atas dasar pertimbangan
yang menguntungkan Anak Nakal, melainkan juga atas dasar pertimbangan
kepentingan hukum dan keadilan. Tanggungjawab moral sebagai Petugas
Penelitian Kemasyarakatan harus diemban seperti jujur, netral, bijaksana,
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak merendahkan martabat manusia.
b). Mengadakan analisis
Setelah mengadakan penelitian terhadap klien dan masalahnya,
dilakukan klasifikasi masalah-masalah. Data dikumpulkan dan dianalisis
untuk mengetahui latar belakang klien dan masalahnya dan mengetahui akibat
yang timbul dari masalah yang terjadi.
c). Melakukan terapi
Bila data yang dikumpulkan telah dianalisis, maka dapat ditentukan
terapi terhadap klien. Penyembuhan yang dilakukan ini disesuaikan dengan
kebutuhan klien.

364

d). Proses bimbingan


Proses bimbingan yang dilakukan beberapa tahap yaitu :
(1) Bimbingan tahap awal
Dalam bimbingan tahap awal ini, pelaksanaan kegiatan meliputi:
(a) Penelitian kemasyarakatan yang digunakan untuk menentukan
programbimbingan.

Data

disimpulkan

pembimbing

oleh

yang

diperoleh

dianalisis

Kemasyarakatan,

dan

kemudian

diberikan saran/pertimbangan.
(b) Setelah dibuat litmas disusun rencana program bimbingan.
(c) Pelaksanaan program bimbingan disesuaikan dengan rencana yang
disusun.
(d) Penilaian pelaksanaan tahap awal dan penyusunan rencana
bimbingan tahap berikutnya.
(2) Bimbingan tahap lanjutan
Pada bimbingan tahap lanjutan perlu diperhatikan:
(a) Pelaksanaan program bimbingan tahap lanjutan disesuaikan dengan
kebutuhan dan permasalahan klien, pengurangan lapor diri,
kunjungan rumah serta peningkatan bimbingan terhadap klien.
(b) Penilaian terhadap program tahap lanjutan dan penyusunan
program bimbingan tahap akhir.
(3) Bimbingan tahap akhir
Pelaksanaan bimbingan tahap akhir; meneliti dan menilai secara
keseluruhan hasil pelaksanaan program bimbingan; mempersiapkan klien

365

menghadapi akhir masa bimbingan; mempertimbangkan kemungkinan


pelayanan bimbingan tambahan; mempersiapkan surat keterangan akhir masa
pidana klien. Dalam menjalankan tahap-tahap ini, apabila terdapat kasus klien
yang perlu pemecahan, diadakan sidang khusus. Hasil sidang khusus tersebut
dapat dijadikan bahan pertimbangan kebijaksanaan selanjutnya.
Tahap-tahap proses bimbingan klien ditetapkan melalui sidang Tim
Pengamat Pemasyarakatan. Evaluasi dilakukan terhadap: a. perkembangan
bimbingan klien; b. kemungkinan masalah yang dihadapi dalam bimbingan
klien; c. kemungkinan cara lain yang ditempuh untuk melakukan bimbingan
sesuai dengan situasi dan kondisi klien.
Tugas Balai Pemasyarakatan adalah melaksanakan pembinaan klien di
luar Lembaga Pemasyarakatan, di dalam masyarakat. Tugas dan fungsinya
adalah: a. melaksanakan pembuatan penelitian kemasyarakatan: untuk
kepentingan Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, guna proses peradilan dan
untuk sidang Tim Pembimbing Pemasyarakatan dalam rangka penentuan
pembinaan terhadap klien; b. mengikuti sidang di Pengadilan Negeri atau di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas Anak) dan Balai Pemasyarakatan pada Tim
Pengamat

Pemasyarakatan;

c.

menyelenggarakan

pembinaan

klien

pemasyarakatan: Anak yang diputus Hakim dikembalikan kepada orang tua


atau walinya atau orang tua asuhnya dan terpidana bersyarat yang terdiri dari:
Anak Negara yang lepas bersyarat, narapidana yang cuti bersyarat,
narapidana yang lepas bersyarat, Anak Negara yang cuti bersyarat, anak asuh,

366

bekas Anak Negara, Anak Sipil dan narapidana yang memerlukan bimbingan
lanjutan (after care), Anak Nakal atas permintaan keluarganya.

6. Peradilan Pidana Anak yang Ideal


Hukum positif pada dasarnya bertujuan untuk melindungi HAM, namun
ada kalanya kualitas perundang-undangan belum beradaptasi dengan
perkembangan internasional sekalipun dimungkinkan (aspek law making).
Misalnya ratifikasi dokumen internasional HAM yang masih rendah
intensitasnya. Penegakan hukum yang tidak bijaksana yang bertentangan
dengan aspirasi masyarakat, disebabkan kualitas sumber daya manusia yang
kurang baik atau penerapan legal spirit yang ketinggalan zaman. Penggunaan
asas legalitas yang terlalu kaku, yang terlalu menonjolkan kapasitas hukum,
merugikan keadilan. Pendayagunaan aspirasi lain di luar undang-undang
kurang intensif, misalnya yurisprudensi, hukum kebiasaan, doktrin hukum
dan perjanjian intemasional. Rendahnya pengetahuan hukum menimbulkan
kesan tidak professional dan tidak jarang mengakibatkan malpraktik di bidang
hukum (aspek legal illiteracy). Masih banyak praktik main hakim sendiri,
baik antar warga masyarakat maupun oknumpenegak hukum terhadap warga
masyarakat. Masih banyak aparat penegak hukum yang tidak memahami
HAM, atau secara sengaja menganggap kekuasaan sebagai hukum.
Sehubungan dengan hal ini perlu peningkatan profesionalisme aparat penegak
hukum dan aparat pemerintah, agar selalu concerned terhadap perkembangan
masyarakat, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara kepastian hukum

367

dan keadilan. Dalam meningkatkan kesempurnaan sistem peradilan pidana,


dipikirkan sistem rekruitmen dan pembinaan sumber daya manusia yang: a.
memiliki pengetahuan yang berwawasan luas (knowledgable) sesuai
kebutuhan; b. terlatih (a well trained); c, memiliki kecakapan yang
tinggi(high skilled). Tingkat sumber daya yang seperti diuraikan di atas,
diharapkan dapat: meningkatkan pengembangan professional (proffessional
advancement),

meningkatkan

perbaikan

penampilan

(performance

improvement), meningkatkan perbaikan perilaku (improve behavior), dan


mengembangkan karir (careerdevelopment). Dituntut dan hakim: optimalisasi
penggunaan potensi (optimalutilization of human potential), sehingga dari
mereka akan muncul cara bekerja yang efektif dan efisien. Apabila sumber
daya yang ada mampu bekerja efektif dan efisien, maka hasil kerja
menguntungkan (profitable).304 Dalam kenyataannya masih sering terjadi
pelanggaran hak-hak tersangka oleh oknum penegak hukum, misalnya
tentang asas pemeriksaan bebas, tidak boleh ada tekanan/paksaan dan dalam
perkara tertentu wajib didampingi penasihat hukum. Dalam hal ini diperlukan
keberanian Hakim untuk memutus bebas atau menetapkan bahwa tuntutan
Penuntut Umum ditolak karena berita acara yang dibuat penyidik cacat
hukum.
Steenhuis memberikan saran atau resep agar hukum pidana memiliki
tingkat efisiensi tinggi dan mencerminkan sesuatu criminal policy yang
baik, yaitu: a. Peninjauan secara kritis perundang-undangan yang ada untuk
304

M. Yahya Harahap,Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan penyelesaian


Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung,1997, hlm.23-24.

368

menentukan bahwa ketentuan tersebut realistis sebagai suatu perangkat


hukum pidana; b. Penegakan kembali seluruh asas yang telah diatur sebagai
perlindungan masyarakat dari kejahatan, yaitu penuntutan yang efektif dan
efisiensi hukum pidana hanya dapat dicapai jika arah yang dilaksanakan
memperoleh

dukungan

masyarakat;

c.

Adanya

keterkaitan

dan

kesinambungan antara tindakan penyidikan dan kelanjutan tindakan


penuntutan; d. Diperlukan efisiensi dengan memperhatikan kemampuan
peradilan dengan menggunakan sarana penuntutan (formal) dan sarana
penyelesaian (informal); e. Mengembangkan altematif pemidanaan untuk
kejahatan yang sering terjadi terutama dalam proses peneguran dan aturan
pembuktiannya; f. Penegakan hukum yang lebih efisien dan efektif untuk
semua tipe kejahatan. 305
Beberapa kritik yang ditujukan kepada peradilan antara lain: 1.
Penyelesaian sengketa lambat, merupakan penyakit kronis yang pertama
yang berjangkit di peradilan di seluruh dunia. Penyelesaian perkara melalui
litigasi, pada umumnya lambat atau disebut waste on time (buang waktu
lama), hal ini diakibatkan proses pemeriksaan yang sangat formalistis dan
sangat teknis (technically); arus perkara semakin deras, sehingga peradilan
dijejali dengan beban yang terlampau banyak (overloaded); 2. Biaya perkara
mahal, semua pihak menganggap biaya perkara sangat mahal, apalagi jika
dikaitkan dengan lamanya penyelesaian. Semakin lama penyelesaian,
semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan; 3. Peradilan tidak tanggap

305

Romli Atmasasmita. Op.cit., hlm. l2-13.

369

dalam bentuk perilaku: kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan


umum, dalam hal ini mata hati pengadilan sering tertutup dan pada umumnya
tidak memperhatikan kepentingan orangbanyak. Pengadilan dianggap sering
berlaku tidak adil (unfair) karena hanya memberikan pelayanan dan
kesempatan serta keleluasaan kepada lembaga besar dan orang kaya.
Berdasarkan kenyataan peradilan tidak tanggap melayani dan membela
kepentingan rakyat biasa dan golongan miskin (ordinary citizen); rakyat
biasa sering mendapat pelayanan dan perlakuan yang tidak wajar, bahkan
tidak manusiawi; 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah,
putusan pengadilan tidak mampu memberi penyelesaian yang memuaskan
kepada para pihak. Putusan pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan
ketenteraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Putusan pengadilan
membingungkan, putusan pengadilan sering tidak memberikan kepastian
hukum (uncertainty)

dan tidak

bisa diprediksi (unpredictable); 5.

Kemampuan para hakim bersifat generalis. Para hakim dianggap hanya


memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, hanya di bidang hukum, di luar
itu pengetahuan mereka bersifat umum, bahkan awam. Hakim yang
berpengetahuan generalis, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa
yang mengandung kompleksitas berbagai bidang. Seperti sengketa konstruksi,
berkaitan langsung dengan masalah teknologi konstruksi, bidang akutansi,
perkreditan dan sebagainya.306

306

Ibid., hlm.247.

370

Dalam penegakan hukum dihubungkan dengan citra hak asasi manusia,


masih banyak terjadi perkosaan dan pelanggaran, seperti: penangkapan dan
penahanan yang tidak segera dibarengi dengan penyidikan, malah sering tidak
diberitahu kepada pihak keluarga; masih terjadi kekerasan, pemaksaan dan
penganiyaan pada penyidikan, sehingga ada yang meninggal atau mengalami
cacat seumur hidup: masih sering terjadi penganiayaan di Rutan atau di
Lembaga Pemasyarakatan Anak, sehingga ada yang mengalami cacat atau
meningggal dunia. Perlakuan diskriminatif berdasar kekuasaan atau
kekayaan, sehingga masih memantul perbedaan perlakuan (unequal
treatment) baik secara fungsional atau instansional; masih sering terjadi
penyelewengan memidanakan sengketa perdataatau memperdatakan tindak
pidana; proses penyelesaian perkara yang bertentangan dengan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan; hak untuk didampingi penasihat hukum
pada tahap penyidikan; masih kurang mendapat pelayanan yang layak.307
Kebebasan peradilan (independence of judiciary) harus ditegakkan baik oleh
Hakim maupun pejabat-pejabat lain di luar pengadilan. Pengadilan sebagai
kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan eksekutif. Tujuan
utama kebebasan dari pengaruh kekuasaan eksekutif, mempunyai dua sasaran
pokok: a. untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures
afair ond justrial);b. agar peradilan mampu berperan mengawasi semua
tindakan pemerintahan (to enable the judges to exercise control over
government action). Hal ini dalam rangka penegakan spirit yang terkandung

307

Ibid. Hlm. 241-242.

371

dalam kedudukan hukum sebagai bidang pembangunan tersendiri, lepas dari


bidang politik, hukum tidak subordinated pada kekuasaan politik. Segala
bentuk peradilan perlu dibentuk panel khusus yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran-pelanggaran HAM. Jaminan terhadap kebebasan hakim dalam
memutus perkara biasanya diimbangi dengan kekebalan terhadap tuntutan
atas perbuatan yang dilakukannya atas dasar kebebasannya tersebut.

7. Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia


a. Pengertian Diversi
Diversi terdapat dalam United Nation Standard Minimum Rules for
the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules
(Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 Nopember 1985), dalam
Rule 11.1, 11.2 dan Rule 17.4. Berdasar United Nation Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules),
diversi (diversion) adalah pemberian kewenangan kepada aparat hukum
untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau
menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan
formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari
proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada
mayarakat

dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.

Penerapan diversi dapat dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan,

372

dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam


proses peradilan tersebut.308
Di dalam Blacks Law Dictionary, disebutkan tentang diversi yaitu
Divertion dan Divertion Program. Divertion yaitu :
A Turning a side or altering the natural course or route of a thing.
The term is chiefly applied to the an authorized change or alteration of the
water course to the prejudice of a lower riparian, or the authorized use of
funds.309
Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan
hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di
dalam perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati,
antara lain Diversi, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau
mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan
terhadap anak selama proses pemeriksaan di muka sidang. 310
Dengan beberapa uraian di atas secara singkat dapat dikatakan
bahwa diversi adalah pengalihan proses formal pemeriksaan perkara anak
kepada proses informal dalam bentuk program-program diversi, jika
memenuhi syarat-syarat tertentu.

308

309

310

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Op. Cit.,hlm. 165.
Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary(Sixth Edition), St. Paul Minn West Publicing
Co., 1990, hlm. 477.
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 201.

373

b. Tujuan Ide Diversi


Tujuan dari diversi adalah menghindarkan anak tersebut dari
prosedur resmi beracara di pengadilan dan mengurangi kemungkinan
terjadinya bentuk residivisme di masa mendatang. 311 Misi ide diversi bagi
anak-anak menyediakan sebuah alternatif dengan prosedur resmi beracara
di pengadilan untuk memberikan kesempatan kedua bagi para pelaku
tindak pidana ringan di bawah umur yang baru pertama kali melakukan,
melalui kegiatan yang terprogram dan memberikan bentuk pengabdian
sosial secara nyata pada masyarakat, adapun tujuan utama adalah guna
mengarungi residivis bagi peserta program. Dengan adanya kesempatan
ini, para anak muda diberikan kesempatan untuk menjadi sosok baru yang
bersih dari catatan kejahatan.
Di Indonesia tujuan diversi dapat dilihat dalam Manual Pelatihan
untuk Polisi. Di dalam manual tersebut disebutkan tujuan dari diversi
yaitu: untuk menghindari penahanan; untuk menghindari cap jahat/label
sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku;
agar pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; untuk mencegah
pengulangan tindak pidana; untuk mengajukan intervensi-intervensi yang
diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal;
program diversi akan menghindari anak mengikuti proses-proses sistem
pengadilan. Langkah lanjut akan program ini akan menjauhkan anak-anak

311

The purpose of the Juvenile Diversion Program is to provide youthful offenders with a
posistive alternative to the court sistem. Young offenders in structured activities and group
interactions which are intended to improve their understanding and perception of the legal
sistem and law enforcement, increase their self-esteem

374

dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan


tersebut.312
c. Program-program diversi
Jenis-jenis diversi secara garis besar, terdiri dari tiga jenis atau tipe
diversi yaitu: diversi dalam bentuk Peringatan; Diversi informal dan
Diversi formal.
b) Peringatan
Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan oleh Polisi
untuk pelanggaran ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan
meminta maaf pada korban. Polisi mencatat detil kejadian dan
mencatatkan dalam arsip di kantor Polisi. Peringatan seperti ini telah
sering dipraktekkan.
c) Diversi informal
Diversi informal diterapkan terhadap pelanggaran ringan di mana
dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan kepada
pelaku, dan kepada pelaku membutuhkan rencana intervensi yang
komrehensif. Pihak korban harus diajak (dapat dilakukan melalui telepon)
untuk memastikan pandangan mereka tentang diversi informal dan apa
yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus
berdampak positif kepada korban, anak dan keluarganya. Yaitu harus
dipastikan bahwa anak akan cocok untuk diberi diversi informal. Rencana
diversi informal ini anak bertanggungjawab, mengakui kebutuhan312

Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,Buku Saku
untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004, hlm. 21.

375

kebutuhan korban dan anak, dan kalau mungkin orang tua diminta
bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
d) Diversi formal
Diversi formal dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan,
tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan
merasa perlu mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya mereka,
atau

mereka

ingin

mendengarkan

langsung

dari

anak.

Karena

permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak maka ada baiknya ada
anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun
rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari
perbuatan itu. Proses Diversi formal dimana korban dan pelaku bertemu
muka, secara internasional hal ini disebut sebagai Restorative Justice.
Sebutan-sebutan

lain

Restorative

Justice,

misalnya

Musyawarah

Kelompok Keluarganya (Family Group Conference); Musyawarah


Keadilan Restorative (Restorative Justice Conference); Musyawarah
masyarakat (Community Conferencing).313
d. Implikasi Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di
Indonesia
1) Model Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasar

313

Ibid.,hlm. 10.

376

Pasal 108, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini baru akan
mulai dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan (30 Juli 2012). Dengan demikian Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak baru berlaku tahun 2014.314
untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan
dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan
sosial secara Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini
adalah pengatuan secara tegas mengenai keadilan Restoratif dan Diversi
yang dimaksudkan wajar. Pengertian diversi ditentukan dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 7 yaitu pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana.315
Menurut Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak, ditentukan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib
diupayakan diversi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa diversi wajib
diupayakan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana anak mulai dari
penyidikan, penuntutan, persidangan dan pada tahap pelaksanaan putusan
pengadilan. Selanjutnya ketentuan diversi secara lengkap ditentukan dalam
Bab II yang dimulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 15. Berdasar Pasal 6
Undang-Undang

Sistem

Peradilan

Pidana

Anak,

maka

tujuan

penyelenggaraan diversi yaitu :


314

315

Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak dan
Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH Unsoed, Makassar, 2013. Hlm. 9.
Ibid.

377

1) Mencapai perdamaian antara korban dan anak;


2) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Penyelenggaraan diversi wajib diupayakan sejak tingkat penyidikan,
penuntutan dan pada tahap pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan.
Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi dilaksanakan dibatasi dalam tindak
pidana yang dilakukan :316
1)

Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

2)

Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.


Di dalam Penjelasan Pasal 7, dijelaskan bahwa pengulangan tindak

pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak
pidana yang diselesaikan melalui diversi.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak, proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan
anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya. Orang tua
dan wali korban dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah
anak. Pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional
berdasarkan pendekatan keadilan restorative. Dalam hal ini diperlukan

316

Ibid., hlm. 10.

378

musyawarah, maka dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau


masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat antar lain tokoh agama,
guru, dan tokoh masyarakat. Proses diversi wajib memperhatikan :
1)

Kepentingan korban;

2)

Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

3)

Penghindaran stigma negatif;

4)

Penghindaran pembalasan;

5)

Keharmonisan masyarakat; dan

6)

Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 9 menentukan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim


dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan :
1)

Kategori tindak pidana;

2)

Umur anak;

3)

Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

4)

Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Di dalam penjelasan Pasal 9 dijelaskan bahwa kategori tindak pidana


merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin
tinggi prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan
terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan,
pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di
atas 7 (tujuh) tahun. Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk

379

menentukan prioritas pemberian diversi dan semakin muda umur anak


semakin tinggi prioritas diversi. 317
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:
1) Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2) Tindak pidana ringan;
3) Tindak pidana tanpa korban; dan
4) Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Ketentuan

mengenai

Persetujuan

keluarga

Anak

Korban

dimaksudkan dalam hal korban adalah anak di bawah umur. Yang


dimaksud dengan tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10, ditentukan kesepakatan diversi
untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak
pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak
lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
dan/atau

keluarganya,

pembimbing

kemasyarakatan,

serta

dapat

melibatkan tokoh masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud

317

Ibid., Hlm. 11.

380

pada ayat (1) dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing


kemasyarakatan dapat berbentuk :
1) Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
2) Rehabilitasi medis dan psikososial;
3) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
4) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
5) Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 11 menentukan tentang hasil kesepakatan diversi. Hasil
kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:
1) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
3) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4) Pelayanan masyarakat.
Pasal 12 menentukan, bahwa hasil kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi.
Hasil kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggungjawab di
setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah
hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai
untuk memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat

381

(2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak
diterimanya kesepakatan diversi. 318
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyidik menerbitkan
penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan
penetapan penghentian penuntutan.
Pasal 13 menentukan, bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan
dalam hal:
1)

Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau

2)

Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

Pasal 14 menentukan, pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan


kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi
berlangsung
pembimbing

sampai

dengan

kemasyarakatan

kesepakatan
wajib

diversi

melakukan

dilaksanakan,
pendampingan,

pembimbingan, dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak


dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan
segera

melaporkannya

kepada

pejabat

yang

bertanggung

jawab

sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pejabat yang bertanggung jawab

318

Ibid., hlm. 12.

382

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam


waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Pasal 15 mengatur bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan
proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan
peraturan pemerintah.
Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak wajib
diterapkan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana. Penyidik anak,
penuntut umum anak dan hakim anak pada setiap pemeriksaan anak wajib
mengupayakan program diversi dalam proses pemeriksaan perkara anak.
Kewajiban penegak hukum anak untuk mengupayakan diversi diperkuat
dengan adanya sanksi ancaman pidana penjara bagi penegak hukum yang
dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan
diversi. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tersebut.319
Pasal 96 menentukan: Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang
dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengupayakan diversi,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

319

Ibid., hlm. 13.

383

2) Implikasi Model Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2012
Diversi telah disepakati untuk dimaksudkan dalam pembaruan sistem
peradilan pidana anak mendatang, karena implementasi ide diversi
bermanfaat nyata seperti: menghindari stigma pada anak, perdamaian pelaku
dan korban, mengurangi kasus masuk ke pengadilan sehingga akan
mengurangi beban Negara dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Namun
demikian terdapat implikasi yuridis dan implikasi praktis, yang dapat
sebagai kendala implementasi diversi dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tersebut.
Implikasi yuridis, ukuran implementasi diversi masih menekankan
pada terbatas pada jenis tindak pidana yang dilakukan anak, yaitu:
(1) Terhadap tindak pidana yang diancam pidana penjara di bawah 7
tahun;
(2) Tindak pidana yang bukan merupakan pengulangan tindak pidana;
(3) Tindak pidana pelanggaran;
(4) Tindak pidana ringan;
(5) Tindak pidana tanpa korban; dan
(6) Tindak pidana dengan kerugian ringan.
Patokan-patokan tindak pidana yang menjadi ukuran, maka hal ini
menandakan bahwa kondisi kepentingan perlindungan anak bukan
merupakan faktor utama implementasi diversi. Dengan demikian, aspek
model peradilan pidana dengan paradigma retributif masih bersemayam

384

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ini. 320 Penyidik anak,


penuntut umum anak dan hakim anak wajib mengupayakan diversi.
Ketentuan kewajiiban penyidik, penuntut umum dan hakim anak untu
melakukan diversi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) ini,
dikuatkan dengan adanya ketentuan Pasal 96, bahwa penyidik, penuntut
umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
mengupayakan diversi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ketentuan ini menimbulkan permasalahan, karena hal ini dianggap
bertentangan dengan asas kebebasan kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan peradilan guna menetapkan hukum dan keadilan.
Implikasi praktis, Implikasi ide diversi membutuhkan bantuan Peneliti
Kemasyarakatan dari Bapas yang handal untuk mencapai tujuan ide diversi.
Oleh karena itu pembenahan peronil dan kelengkapan sarana dan prasarana
bagi penyelenggaraan penelitian kemasyarakatan sangat diperlukan.
Implementasi diversi memerlukan budaya hukum yang mendukung. Tanpa
adanya bahaya hukum dari penegak hukum dan masyarakat yang
mendukung, maka ide diversi tidak akan dilaksanakan. Budaya hukum
penegak hukum dan budaya hukum masyarakat akan ide diversi, kondisi
sekarang cenderung kurang mendukung. Rasa dendam dan berkeinginan
agar pelaku anak jera masih mendominasi penegak hukum dan masyarakat.
Budaya hukum penegak hukum saat ini tidak mendukung implementasi

320

Ibid., hlm. 15.

385

diversi, yaitu masih kurangnya pandangan asas kepentingan terbaik bagi


anak harus menjadi pertimbangan utama dalam sistem peradilan pidana
anak, dan masyarakat masih mengutamakan membalas terhadap pelaku
anak.
Implementasi diversi memberikan kewenangan penegak hukum untuk
menentukannya (discretionary power), oleh karena itu implementasi diversi
membutuhkan penegak hukum anak yang peka akan kebutuhan anak, dan
handal. Karena besarnya kewenangan yang diberikan kepada penegak
hukum, dapat saja disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau tertentu
dan akan meninggalkan kepentingan terbaik anak.
Program diversi mengikuti pendidikan atau pelatihan ke lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, dan program pelayanan
pada masyarakat, sangat perlu pembenahan struktur dan kelembagaan serta
sarana dan prasarananya.

386

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
1. Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam
Undang-undang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum
mengakomodasi prinsip the best interest of the child dalam sistem
peradilan pidana anak, sehingga secara normatif dalam tataran formulasi
belum mencerminkan ide dasar perlindungan terhadap anak. Dengan
demikian, secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan
ide dasar perlindungan hukum terhadap anak. Atas dasar hal itu, tahun
2012 telah disahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti UU no. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sebagai pembaruan sistem peradilan anak di Indonesia.
Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang
nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the
child

dengan adanya

diversi.

Namun belum ditemukan prinsip

ketersediaan bantuan hukum dalam konteks diversi dan prinsip adanya


kontrol terhadap kewenangan diversi.

Kajian formulasi terhadap

perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem

387

peradilan pidana anak menurut Undang-undang nomor 11 Tahun 2012


telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child antara lain
dengan menitik beratkan penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum melalui tindakan diversi dengan mengedepankan pendekatan
restorative justice.
2. Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak menyangkut masalah
substansial, struktural dan kultural. Paradigma sistem peradilan yang
retributif masih menjadi ide dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997.
Hal tersebut tampak dari mulai penanganan di tingkat penyidikan,
penuntutan dan peradilan maupun dalam proses pembinaan di lembaga
pemasyarakatan. Para penegak hukum masih memperlakukan anak yang
bermasalah dengan hukum sama dengan pelaku dewasa.

B. Rekomendasi
1. Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak seyogyanya mengakomodir
prinsip-prinsip diversi sebagaimana diatur dalam standar Internasional.
Dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang baru, segera disosialisasikan baik kepada pihak-pihak
yang terlibat langsung dalam penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum, maupun kepada seluruh masyarakat secara luas.

388

2. Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan


hukum membutuhkan bantuan peneliti pemasyarakatan dari Balai
Pemasyarakatan untuk mencapai tujuan ide diversi dan memerlukan
budaya hukum yang mendukung serta kepekaan penegak hukum untuk
menentukan adanya (discretionary power). Prinsip-prinsip diversi serta
restorative justice sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 11 Tahun 2012
segera

ditindak

lanjuti dengan

mempersiapkan sarana

prasarana

pendukung maupun persiapan SDM yang lebih baik. Adanya beberapa


kelemahan serta kekurangan baik dalam kebijakan formulatif maupun
kebijakan aplikatif, sebaiknya dikaji ulang serta disempurnakan sebelum
UU baru dilaksanakan pada tahun 2014.

389

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.V.Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, Ninth
Edition, London : MacMilland and CO, 1952.
A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Abd. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari (ed.), Beberapa Pemikiran
Pembangunan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, Cet.ke-1,
1980.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitutional di Indonesia:
Study Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, the Aspiration for
Constitutional Goverment in Indonesia: A Sosio Legal Study of the
Indonesia Konstituante 1956-1959, terjemahan Silvia Tiwon,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Agung Wahjono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,
GhaliaIndonesia, Jakarta, 1986.
Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004.
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993.
__________, Pengembangan Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan
Pidana: (Beberapa Catatan), Rajawali, Jakarta, 1986.
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia ,Jakarta : Penerbit Rajawali, 1985.
Azhary Tahir, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Jakarta : Kencana, 2003.
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Hukum, Mandar Maju, Bandung,
1999.
__________,Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum,Unpar, Bandung,
2000.

390

__________, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera Jurnal


Hukum, Edisi 3, Tahun II, November 2004
__________, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekontruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Semarang : Penerbit Pustaka Magister,
2007.
__________, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan:Perspektif Pembaruan Hukum
dan Perbandingan Beberapa Negara, Semarang : Badan penerbit
Universitas Diponegoro,2009.
Bambang Poernomo,Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara
Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1982.
Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta,
1976
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika,Jakarta, 2008.
Barda Nawawi Arief, Artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai Potret
Penegakan Hukum di Indonesia, edisi keempat, Komisi Judisial,
Jakarta, 2009.
__________,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
__________, Bunga Rampai Kabijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.
__________, kebijakan Hukum Pidana (penal policy), tanpa tahun dan
penerbit.
__________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Semarang CV. Ananta, 1994.
__________,Masalah
Penegakan
Hukum
dan
Kebijakan
PenanggulanganKejahatan. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
__________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010
__________, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung, 1992.

391

Christoper

M.Lakins,Judicial Independence and Democratization:A


Theoritical and Conceptual Analsys,the American Journal of
Comparative Law4,Vol.XLIX (fall 1996).

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan


Perubahan, Jakarta : LP3ES, 1990.
Diaz,R.W.M.,Jurisprudence, London: Butterwoths,1967.
Francis A. Allen, the Habits of Legality ,Criminal Justice and Rule of Law,
Oxford: University Press 1996.
Franz Magnis Suseno,Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.
Gordon Bazemore and Mark Umbreit, Conferencing, Circles, Board, and
Mediations: Restorative justice and Citizen Involvement in the
Response to Youth Crime,University of Minnesota, Florida, 1999.
Hagan, Frank E.,Introduction to Criminology, Nelson Hall, Chicago, 1986.
Hans Kelsen , General Theory of Law and State , terjemahan Anders Wedberg,
New York :Russel and Russel, 1945.
Harold D. Hart. Ed. Punishment For and Against, New York : Hart Publishing
Company Inc, 1971
Hartono,C.F.G Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung, 1991.
Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary (Sixth Edition), St. Paul Minn
West Publicing Co., 1990.
Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press,
California, 1968.
Hyman Gross, A Theory of Criminal, dalam W. Friedman, Law in A
Changing Society, ed.II, New York : Columbia University, 1972.
Indriyanto

Seno Adji, Korupsi,


HukumPidana.

Kebijakan

Aparatur

Negara

dan

Ismail Sunny,Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1982.


J W LaPatra, Analizing The Criminal Justice Sistem, Lexington Books,
Toronto, 1978.

392

J. Andenaes, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press,


1974.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta,
2001.
Jan Remelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal -Pasal penting dari b
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
b Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta :
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
John N.Adams dan Roger Brownsword, Understanding Law, London : Fortana
Press, 1992.
John Rawls, A Theory of Justice, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard
University Press Cambridge, 1971.
Joseph Raz, the Concept of a Legal Sistem , An Introduction to the Theory of a
Legal Sistem, Oxford Claredon Press, 1970.
Joy Wundersitz et al., Juvenile Justice Debating the Issues, Allen & Unwin Pty
Ltd., Australia 1993.
Karen G.Turner, et.al.(eds), The limits of the Rule of Law in China,
Seattle:University of Washington Press, 2000.
Kasman Singodimendjo, Masalah Kedaulatan, Bulan Bintang, 1978.
Karl O. Christiansen, Some Consideration on the Possibility of a Rational
Criminal Policy, Resource Material Series, No. 7, 1974, UNAFEI,
Tokyo.
Kartini Kartono, Pengantar Metedologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju,
1990.
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 135
La Patra, Analyzing the Criminal Justice Sistem, Toronto: Lexiton
Books.D.C.Heath and Company Lexiton, Massachusets, 1978.
Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putera, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar
Maju, 2003.

393

Liliek Muladi, Hukum Acara Pidana suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung : Citra Aditya
Bhakti, , 1996.
Linda Hancock, Police, Youth and Violence, dalam buku Joy Wundersitz et al.,
Juvenile Justice Debating the Issues, Allen & Unwin Pty Ltd.,
Australia 1993
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat Dari
Peradilan , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
PenyelesaianSengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Penerbit dan tempat tidak
tercantum, 1978.
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
__________, Pembahasan Permasalahan
PustakaKartini,Jakarta, 1993.

dan

Penerapan

KUHAP,

M.Musa, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Alternatif Sistem Peradilan


Anak Indonesia, Jurnal Mahkamah, Vol.19 No.2, Oktober 2007,
Pekan Baru, 2007.
Made Sadhi Astuti, Pemidanaan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak
Pidana, IKIP, Malang, 1997.
Maidin Gultom, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Manna Khalil Al-Qaththan, Wujud Tathbiq Asy-syariah, Tahun dan Penerbit
tidak diketahui.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
__________, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.

394

__________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan


Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
__________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan
Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum, 1994.
Mark S. Umbreit and Robert B. Coates, Victim Offender Mediation an Analysis
of Program in Four States of The US. U.S., Center for restorative
justice and Mediation, 1992.
__________, William Bradshaw, And Robert B. Coates, Victim Sensitive
Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing Needs,
Approaches, and Implications, Office for Victims of Crime U.S.
Department of Justice, London, 2001.
Mark Umbreit and S. Stacy. Family Group Conferencing Comes to the U.S. A
Comparison With Victim Offender Mediation. U.S., Juvenile and
Famili Court Journal 1995.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (pengembangan konsep diversi
dan restoratif justice), Refika Aditama, Bandung, 2009.
Mien Rukmini,Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan
Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta, 1978.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, PT.
Alumni, Bandung, 2010.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002.
__________,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
UniversitasDiponegoro, Semarang, 1995.
__________,Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,Bandung : Alumni, ,
1992.

395

__________,, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung jawab,


Jakarta : The Habibie Centre, 2002.
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum,
Rajawali, Jakarta,1986.
Nandang Sambas, Tesis, Tinjauan Terhadap Persidangan Perkara Pidana
Anak Mencari Model Sidang Anak Yang Ideal,Universitas
Diponegoro, Semarang, 1996.
Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Jakarta : Erlangga ,
1980.
Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan Perundangan,
Niagara, Jakarta, 1985.
__________, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta,1986.
Phipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu
Studi Tentang Prinsip-Prinsip, Penanganan Oleh Pengadilan
Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi
Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
R. A. Koesnoen, Peradilan Anakdi Negara-Negara Maju,Lokakarya tentang
Peradilan Anak, Binacipta dan BPHN, Jakarta, 1979.
Richard D. Schwartz dan Jerome H. Ckolnick, Two Studies of Legal Stigma,
Social Problems, dalam tulisan Irving Piliavin dan Scott Briar,
Police Encouters with Jubeniles, dalam buku Rose Giallombardo,
Juvenile Deliquency a Book of Readings, John Wiley and Sons,
Inc., Canada 1971
Roeslan Saleh, Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982.
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
1996.
__________, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Putra Bardin, Jakarta, 1996.
__________,Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Abolisionisme, Binacipta,Jakarta, 1996.

Ekstensialisme

dan

__________, dkk., Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,


1997.

396

Rose Giallombardo, Juvenile Deliquency a Book of Readings, John Wiley and


Sons, Inc., Canada 1971.
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan
Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor
27 Tahun X, Januari, 2005.
S. Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni , 1973.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,1980.
__________, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
__________, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas,
2006.
Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak dan Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH
Unsoed, Makassar, 2013.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986.
__________,, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian
terhadap Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983.
Soedjono

Dirdjosisworo,Pertanggungjawaban
Alumni,Bandung, 1981.

Dalam

Hukum

Pidana,

Soerjono

Soekanto,Beberapa Permasalahan Hukum Dalam


Pembangunan diIndonesia, UI Press, Jakarta, 1986.

Rangka

__________,Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali,Jakarta,


1982.
__________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UIPers, 1984.
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Suatu
Kajian Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum
Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990), Grafindo
Persada, Jakata, 1995.
Solly Lubis. M, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung,
Cet.ke-1, 1989.
Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Jakarta:
Pustaka Kartini, 1989.

397

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:


Alumni, 1992.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito,Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES,
Jakarta, 1983.
Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983.
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.
__________, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,
Bandung, 1983.
__________, Hukum Pidana I A, FH UNDIP, Semarang , 1975.
__________, Kapita Sekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.
__________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penentuan Hukum,


Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
__________, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 1999.
Tamanaha, Brian Z, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge
University Press, Edisi Keempat, 2006.
Teuku Mohammad Radie, Memantapkan Kerangka Landasan Tata Hukum
Nasional, BPHN, Jakarta, 1980.
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal Political Dilemmas of
Indonesia New Order 1966-1990, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan, Jakarta : Pusat
Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar,
1962.
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
Terjemahan Hasnan, Binacipta,Bandung, 1987.
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006.

398

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran,


Bandung, 2009.
Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau,
KPAID Riau, Pekanbaru, 2008.

B. Makalah / Jurnal
Abintoro Prakoso dan Vage Normen, Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang
Belum diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April
2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, 2010.
Barda

Nawawi Arief, Pembaharuan/Rekontruksi Pendidikan dan


Pengembangan Ilmu Hukum Pidana dalam Konteks Wawasan
Nasional dan Global, Makalah Disajikan pada Seminar
Aspehupiki, Bandung, 17 Maret, 2008.

BPHN, Lokakarya tentang Peradilan Anak, Binacipta, Jakarta, 1977.


Doktrin Tentara Nasional Indonesia, Tri Dharma Eka Karma. Keputusan
Panglima TNI Nomor Kep/2/I/2007, 12 Januari, 2007,hlm.28.
Komisi

Nasional
Hak
Asasi
Manusia,Hak
Asasi
Manusi,
GramediaPustakaUtama, Jakarta, 1997.
Mazuki Darusman, Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam
MajalahHukum Pro Justitia Tahun XVII Nomor4 Oktober 1999,
Bandung: FH Unpar.
Moctar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional diMasa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah
Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2April 1997. Bandung, FH
Unpar.
Moctar Kusumaatmadja. Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah
Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2 April 1997, Bandung: FH
Unpar.
Muladi, Proyek Hukum Pidana Materiil Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Sabtu, 24
Februari 1990.

399

Mardjono Reksodiputro,Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada


kejahatan
dan
penegakan
hukum
dalam
batas-batas
toleransi),Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia,1993.
Sudarto, Satu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro,
Semarang, 1974.
C. Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Umum.
The Beijing Rules 1985 mengenai Perlindungan Anak Yang Diperiksa Dalam
Peradilan Anak (The Beijing Rules telah diadopsi PBB)
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (The Beijing Rules). Adopted by General Assembly
Resolutions 40/33, 29-11-1985.
D. Sumber Lain
<http://m.antaranews.com/berita/1270440109/jumlah-tahanan-anak-di-lapasterus-meningkat>diakses pada hari selasa tanggal 22 April 2013
pukul 20.00 wib
Imam

Rusly,
Nasab
Dan
Urgensinya
Dalam
http://imamrusly.wordpress.com/2012/04/20/nasab-danurgensinya-dalam-islam/ diakses 11 Juni 2013.

Islam,

Muh. Ali Amran, Sinkronisasi Hukum Perlindungan Anak Nasional terhadap


Standar Internasional Perlindungan Anak,
http://justitia1.wordpress.com/2010/10/17/sinkronisasi-hukumnasional-terhadap-standar-internasional-perlindungan-anak/ diakses
pada 8 Mei 2013

400

Indek
teks ................................................. 398,

Anda mungkin juga menyukai