PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan subyek hukum dan aset bangsa, sebagai bagian dari
generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai generasi penerus suatu
bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan
suatu bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional
untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak
sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hakhak yang dimilikinya. 1Anak juga merupakan harapan dan tumpuan orang tua,
harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet
pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat
khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan dan
perlindungan dari sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluasluasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan
periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang
dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan
karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota
Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun X, Januari, 2005, hlm. 24.
kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan. 2 Selain itu, karena
anak baik secara rohani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk
berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban generasi yang terdahulu untuk
menjamin, memelihara dan mengamankan anak3, bahkan Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on The Right of The Child) Resolusi PBB Nomor 40/25
tanggal 20 November Tahun 1989 secara tegas menyatakan jaminan-jaminan
hukum yang harus diberikan oleh negara-negara peserta terhadap anak pelaku
tindak pidana. Tak seorang anak pun boleh mengalami siksaan atau perlakuan
yang kejam, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan
martabat, hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak akan dijatuhkan
tanpa kemungkinan pembebasan untuk kejahatan yang dilakukan oleh anak.
Tak seorang pun anak terampas kemerdekaannya secara tidak sah atau
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman seorang
anak harus sesuai dengan hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir
dan untuk jangka waktu yang paling pendek.
Akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, masyarakat Indonesia
dikejutkan dengan pemberitaan media massa mengenai adanya anak-anak
atau remaja-remaja yang terlibat dengan perbuatan kriminal, mulai dari
pencurian sampai dengan penganiayaan dan pembunuhan. Media massa
mengutip pemberitaan di luar negeri, di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, negara-negara Eropa dan Jepang, dan negara-negara lain yang lebih
dahulu diresahkan oleh anak-anak berhadapan dengan hukum pidana sejalan
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Bandung, Refika Aditama,2008, hlm. 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 222.
Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perlindungan anak. Aspek kedua,
menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.5
Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem
peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile
Justice (SMR-JJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan anak (Aims
of Juvenile Justice), sebagai berikut :
The juvenile Justice Sistem shall emphasize wel-being of the juvenile
an shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in
proportion to the circumstances of both the offender and offence.( Sistem
Peradilan pidana bagi anak / remaja akan mengutamakan kesejahteraan
remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggarpelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaankeadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran
hukumnya).6
Dalam Standard Minimum Rules Juvenile Justice (SMR-JJ) atau The
Beijing Rules, juga ditegaskan beberapa prinsip sebagai pedoman dalam
mengambil keputusan, yakni dalam Rule 17.1, yang menyatakan bahwa
dalam mengambil keputusan harus berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai
berikut :
a. Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang diambil selamanya harus
diseimbangkan tidak hanya pada keadaan-keadaan dan keseriusan/berat
ringannya tindak pidana (the circumstances and the gravity of the
juvenile) tetapi juga pada keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan si
5
Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau,
Pekanbaru, 2008, hlm. 121.
Abintoro Prakoso dan Vage Normen, Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang Belum diterapkan
oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April 2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, UII
Yogyakarta, 2010, hlm. 251.
anak (the circumstances andof the juvenile) serta pada kebutuhankebutuhan masyarakat (the needs ofthe society);
b. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanya
dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal
mungkin;
c. Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak
melakukan tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau
terus menerus melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada
bentuk sanksi lain yang lebih tepat;
d. Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam
mempertimbangkan kasus anak.
M.Musa, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Alternatif Sistem Peradilan Anak Indonesia,
Jurnal Mahkamah, Vol.19 No.2, Oktober 2007, Pekan Baru, 2007, hlm. 169.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM.
nasional yang harus mendapat perhatian khusus. Namun, hingga saat ini
pemerintah masih memperlakukan pelaku tindak pidana anak seperti
memperlakukan pelaku tindak pidana dewasa. Hal ini dapat dilihat dari data
lapangan, dimana sebagian besar atau 57 persen dari narapidana anak
tergabung dengan tahanan orang dewasa atau berada di rumah tahanan dan
lapas untuk orang dewasa. Kondisi ini akan menempatkan anak pada situasi
rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Berdasarkan hasil
pemetaan anak berhadapan dengan hukum tahun 2009 hingga 2012
menunjukkan mayoritas kasus diselesaikan melalui pengadilan. Sebanyak 90
persen diantaranya dijatuhi hukuman pidana dan dipenjarakan 10.
Adanya kasus-kasus kenakalan anak yang ditangani melalui sistem
peradilan pidana, sudah tentu memerlukan penanganan dan perhatian khusus
yang berbeda dengan orang dewasa. Hal tersebut disebabkan karena tindak
pidana yang dilakukan seorang anak didasarkan oleh latar belakang yang
berbeda dengan yang dilakukan oleh orang dewasa.
Dalam praktik proses sistem peradilan pidana terdapat manifestasi
ambivalensi sebagai konsekuensi perkembangan
hukum
modern
yang
prosedural
http://m.antaranews.com/berita/1270440109/jumlah-tahanan-anak-di-lapas-terus-meningkat
diakses pada hari selasa tanggal 22 April 2013 pukul 20.00 wib
proses
peradilan
perkara, pemikirannya
persidangan
asas dan doktrin yang telah ditetapkan, sehingga keadilan yang diperoleh
bukan
diukur
11
12
terhadap
demikian,
secara
tegas
diungkapkan
pula bahwa
10
tentang
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, 1989, hlm. 33.
Nandang Sambas, Op.Cit., hlm. 10.
11
memahami tuduhan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang tua atau
wali, hak untuk bertemu berhadapan dan menguji silang kesaksian
atas
anak
yang
meliputi:
1. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tatacara persidangan dan
kasusnya.
2. Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan.
3. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan
mengenai dirinya (transpor, perawatan kesehatan).
4. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial.
5. Hak untuk menyatakan pendapat.
6. Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakuan yang menimbulkan
penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam KUHAP (Pasal 1 ayat (2)2).
7. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang
positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia
seutuhnya.
17
12
komponen,
yaitu
19
Arif Gosita, Pengembangan Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana: (Beberapa
Catatan), Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 51-54.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,
Jakarta, 1997, hlm. 84.
13
14
20
United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice (The Beijing
Rules) Adopted by General Assembly Resolutions 40/30 tanggal 29-11-1985.
15
Anak,
Penuntut
Umum
Anak,
Hakim
Anak,
Petugas
bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
21
22
16
anak,
diperlukan
dukungan,
baik
yang
menyangkut
17
Dalam
dan
kekuatan-kekuatan
kenyataannya
hal
ini
manusia
belum
serta
dilaksanakan
23
Sri Widoyati Wiratmo Soekito. Anak dan wanita dalam Hukum. Jakarta. LP3S. 1983, hlm.71.
18
UU No. 3
mengetahui
hambatan-hambatan
dan
usaha
24
Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI), Monitoring Kasus Anak, Medan: 1998, hlm 9.
19
ini
mengambil
sudut
pandang
Kebijakan
Formulasi
20
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat di identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan aplikasi Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Dengan uraian diatas, tujuan penelitian dapat dirumuskan secara
ringkas sebagai berikut :
1. Untuk mengatahui, mengkaji serta menganalisis bagaimana kebijakan
formulasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam
pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.
2. Untuk mengatahui, mengkaji serta menganalisis bagaimana kebijakan
aplikasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem
peradilan pidana anak di Indonesia.
21
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara teoritis maupun
secara praktis. Kegunaan teoritis, diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
kajian akademik tentang pentingnya penanganan terhadap anak, khususnya
anak yang terlibat dalam perkara pidana dan juga sebagai kontribusi kepada
pemegang kebijakan untuk penyempurnaan kebijakan formulasi dalam sistem
peradilan pidana anak.
Kegunaan Praktis, diharapkan dapat memberikan masukan kepada
berbagai pihak, baik para praktisi/aparat penegak hukum yang secara
langsung maupun tidak langsung menangani masalah anak berhadapan
dengan hukum.
E. Kerangka Pikir
Permasalahan utama dalam penelitian ini terfokus pada kebijakan
kriminal perlindungan anak dalam pembaruan sistim peradilan pidana anak
di Indonesia, yaitu usaha-usaha yang memungkinkan dalam menangani anak
yang berhadapan dengan hukum yang secara khusus menyangkut sistem
peradilan yang dapat memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak.
Kebijakan itu sendiri diartikan sebagai suatu keputusan yang
menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai
suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif.25 Dihubungkan dengan
25
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang CV. Ananta, 1994, hlm. 63.
22
penelitian
tentang
kebijakan
kriminal
perlindungan
anak
dalam
23
26
Manna Khalil Al-Qaththan, Wujud Tathbiq Asy-syariah, Tahun dan Penerbit tidak diketahui.
hlm, 301.
24
2.
Masyarakat (Umat)
3.
25
27
28
26
29
30
Ibid.
B. Arief Sidharta. Op.Cit., hlm. 180.
27
Hukum
pidana
di
satu
pihak
bermaksud
melindungi
32
28
33
34
29
Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapatkan rahmat. (QS al-Hujurat [49]: 10).
35
36
Barda Nawawi Arief, kebijakan Hukum Pidana (penal policy), tanpa tahun dan penerbit.
Sudarto, Kapita Sekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 159.
30
37
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 20.
31
Barda Nawawi Arief, Artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum
di Indonesia, edisi keempat, Komisi Judisial, Jakarta, 2009, hlm. 2.
32
39
40
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Putra Bardin, Jakarta, 1996, hlm,
33.
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.
35.
33
satu antara lain. Bahkan lebih jauh bentuk pendekatan tersebut saling
mempengaruhi dalam bentuk tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi
kejahatan.41 Dimana pendekatan normatif memandang keempat aparatur
penegak
hukum
(kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
lembaga
manusiawi,
diantaranya
dengan mengedepankan
Ibid.
Idem., hlm. 39.
34
terbaik
bagi
anak;
hak
untuk
hidup,
kelangsungan
hidup
dan
F. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Sifat penelitian
deskriptif karena penelitian ini dilakukan untuk mencari data seteliti
mungkin dan lengkap tentang karakteristik suatu keadaan atau
gejala-gejala yang dapat membantu mengkaji teori lama untuk
membangun teori baru mengenai kebijakan perlindungan anak
khususnya dalam sistem peradilan pidana. Bersifat deskriftif
bertujuan untuk membuat deskrifsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
43
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (pengembangan konsep diversi dan restoratif
justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 10.
35
Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang
sepenuhnya mempergunakan data sekunder. 44 Penelitian hukum
yang normatif menekankan pada langkah-langkah spekulatifteoritis dan analisis normatif-kualitatif. 45
3.
4.
44
45
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Pers, 1984, hlm. 10.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 3.
Kartini Kartono, Pengantar Metedologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju, 1990. hlm. 207.
36
BAB II
NEGARA HUKUM, HAK ASASI MANUSIA,
DAN KEADILAN
A. Negara Hukum
Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum
klasik, dan negara hukum materiel atau negara hukum modern. 47 Negara
hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit,
yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in
a Changing Society membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu
dalam arti organized public power, dan rule of law dalam arti materiel yaitu
the rule of just law. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu
sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara
kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya
pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan
terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Friedman juga
mengembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa dalam
47
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962, hlm. 9.
37
pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih
esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan
dalam arti sempit. Istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian
yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of
law yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di
zaman sekarang. Adanya hasrat yang kuat dari para pendiri negara Republik
Indonesia untuk menyusun UUD adalah dengan maksud ingin menunjukkan
dan merealisasikan dalam kehidupan bernegara bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum. 48 Menurut Arief Sidharta ciri-ciri negara
hukum adalah sebagai berikut;49 Negara hukum adalah negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan hukum dan bersaranakan
hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas
dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintahan.
Menurut pendapat Sri Soemantri ada empat unsur penting negara
hukum, yaitu ;50
1. Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
48
38
51
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Alumni,
2003,hlm.51.
52
Azhary Tahir, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Jakarta :
Kencana, 2003,hlm.83.
39
Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Jakarta : Erlangga , 1980. hlm.34.
Tamanaha, Brian Z, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press,
Edisi Keempat, 2006,hlm.91-100.
40
penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukum itu sendiri, dan tidak
berkaitan dengan apakah hukum itu hukum yang baik atau jelek. Konsepsi
substantif dari negara hukum bergerak lebih dari itu, dengan tetap mengakui
atribut formal yang disebut di atas. Hak-hak dasar atau derivasinya adalah
menjadi dasarnya konsep negara hukum substantif. Konsep tersebut dijadikan
sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk membedakan antara hukum
yang baik yang memenuhi hak-hak dasar tersebut dan hukum yang buruk
yang mengabaikan hak-hak dasar. Konsep formal negara hukum fokus pada
kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya sementara konsep
substantif juga termasuk persyaratan tentang isi dari norma hukum.Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah
perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Semula istilah negara hukum hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang
menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats),
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Persoalannya apakah yang
dimaksud dengan rechtstaat dalam konsepsi UUD 1945 dan bagaimana
impelementasinya dalam kehidupan negara. Dari landasan pemikiran itulah
yang melahirkan konsep negara hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh
Julius Stahl seperti dikutip Jimly Asshiddiqie, yang mengemukakan empat
elemen penting dari negara hukum yang diistilahkannya dengan rechtstaat,
yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan pemerintahan
41
Dicey
yang
dianggap
sebagai
teoretisi
pertama
yang
55
56
42
57
58
43
Karena terinspirasi dari konsep negara hukum barat dalam hal ini
rechtstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun
rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia. Bahkan
secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan negara
yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan Penjelasan UUD
mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan
negara oleh hukum. Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara
hukum Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar
belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan
kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan
negara. Dari kajian dan pemahaman itu, akan sampai pada suatu kesimpulan
bahwa konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi
juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat,
rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno
Adji, antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila
memiliki similarity dan divergency. Jika konsep negara hukum dalam
pengertian rechtstaat dan rule of law berpangkal pada dignity of man yaitu
liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu (individualisme) serta prinsip
pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang
lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk
bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang
bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya
44
kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip Ketuhanan adalah elemen paling utama
dari elemen negara hukum Indonesia. Unsur-unsur negara hukum Indonesia
sebagai sebuah konsep seperti telah diuraikan di atas adalah nilai yang dipetik
dari seluruh proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum
negara Indonesia. Dengan demikian posisi Pembukaan ini menjadi sumber
hukum yang tertinggi bagi negara hukum Indonesia. Perubahan UUD 1945
(dalam Perubahan Keempat) mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan
antara Pembukaan dengan Pasal -Pasal UUD 1945.
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan bahwa UUD 1945
terdiri dari Pembukaan dan Pasal -Pasal. Hanya Pasal -Pasal saja yang dapat
menjadi objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak dapat menjadi objek
perubahan. Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang sangat tinggi
sehingga hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar bagi
arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung dalam
pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan PasalPasal UUD 1945 sehingga tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi
dasar falsafah dan cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif,
bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara
harus dilihat pada Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang
terkandung dalam Pasal-Pasal UUD yang menjadi kaedah penuntun bagi
pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi
melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan
45
undang-undang,
pengujian
undang-undang
maupun
59
46
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Titik rawan dari pembentukan hukum agar sejalan dengan prinsipprinsip negara hukum Indonesia adalah pada pengaruh dan perkembangan
ketentuan dari negara lain serta pandangan akademisi yang sangat
47
dipengaruhi oleh kerangka teori yang hanya bersumber dari negara lain.
Pengaruh itu dapat diperoleh dari studi banding ke negara lain maupun
pandangan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Pernyataan ini
tidak dimaksudkan sebagai keengganan untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan negara-negara lain atau perkembangan internasional atau teori
yang berkembang dari luar, akan tetapi lebih dimaksudkan sebagai kehatihatian dan kecermatan agar hukum yang dibuat sesuai dengan kondisi
Indonesia dan cita negara hukum Indonesia. Karena itu alat ukur dan
verifikasi terakhir atas seluruh pembentukan hukum harus dilihat dalam
kerangka elemen prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung
dalam Pembukaan disamping Pasal -Pasal UUD 1945.
Negara hukum dalam perspektif Pancasila yang dapat diistilahkan
sebagai negara hukum Indonesia atau negara hukum Pancasila disamping
memiliki elemen-elemen yang sama dengan elemen negara hukum dalam
rechtstaat maupun rule of law, juga memiliki elemen-elemen yang spesifik
yang menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara
hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai
yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945
yang didalamnya
48
60
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif ,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Op.Cit., hlm
53.
61
A.Muhammad Asrun, Op.Cit., hlm.40
62
Karen G.Turner, et.al.(eds), The limits of the Rule of Law in China, Seattle:University of
Washington Press, 2000,.hlm.5
63
Muhammad Tahir Ashary, Op.Cit., hlm.73.
49
penegakan
hukum
sangat
terkait
dengan
63
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia ,Jakarta : Penerbit Rajawali, 1985, hlm.25.
John Rawls, A Theory of Justice, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press
Cambridge, 1971,hlm.235.
65
Ibid.
64
50
perintah yang di tujukan kepada segenap subjek hukum, maka sistem hukum
bagi dia adalah kumpulan peraturan.66
H.L.A. Hart juga melihat hukum merupakan suatu sistem yang memuat
sekumpulan peraturan ,dimana satu peraturan dengan peraturan lainnya
berhubungan dalam suatu hierarki dan memiliki struktur yang kompleks. 67
Hans Kelsen memahami lebih jauh pengertian undang-undang sebagai suatu
perintah yang lebih khusus, karena perintah merupakan manifestasi kehendak
pribadi.68 Kelsen memunculkan pengertian undang-undang tersebut dikaitkan
dengan suatu ororitas yang diberikan kepada individu pemberi perintah
tersebut.69
Sejarah proses penegakan hukum juga mencatat peranan penting dari
instrument perjanjian atau konvensi internasional sebagai landasan hukum
bagi perlindungan hak asasi manusia. Piagam Magna Charta dicatat sebagai
piagam pertama bangsa-bangsa yang memberikan pengakuan terhadap hak
asasi manusia, di mana raja Inggris menjamin tidak merintang pelaksanaan
kebebasan manusia, kecuali melalui pertimbangan-pertimbangan hukum.70
Jaminan terhadap kebebasan manusia dapat dilihat dalam konteks praktik
hukum, yaitu dalam rangka penegakan hukum. Karena itu, tidak ada
seorangpun yang dapat dihukum tanpa proses hukum (due process of law),
66
Joseph Raz, the Concept of a Legal Sistem , An Introduction to the Theory of a Legal Sistem,
Oxford Claredon Press, 1970,hlm.7.
67
John N.Adams dan Roger Brownsword, Understanding Law, London : Fortana Press,
1992,hlm.3.
68
Hans Kelsen , General Theory of Law and State , terjemahan Anders Wedberg, New York
:Russel and Russel, 1945,hlm.30-31.
69
Ibid.
70
Francis A. Allen, the Habits of Legality ,Criminal Justice and Rule of Law, Oxford: University
Press 1996,hlm.3.
51
berdasarkan
administrasi. 72
Kasman
rechtsstaat
dapat
undang-undang
Singodimendjo
melahirkan
dan
melihat
konsekuensi
bagi
adanya
peradilan
penerapan
gagasan
pemerintah
dalam
52
berdasarkan
peraturan-peraturan
(wetmatigheid
van
bestuur),
4. adanya peradilan tata usaha negara.76
Dalam hukum diatur rambu-rambu sebagai berikut:
1.
75
76
menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights
and freedoms of others);
Idem,hlm.57.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta, 1999, hlm.22.
53
2.
Asas legalitas;
Asas negara hukum;
Asas penghormatan terhadap martabat kemanusiaan;
Asas bahwa segala pembatasan HAM merupakan perkecualian;
Asas persamaan dan non diskriminasi;
Asas non-retro aktivitas (peraturan tidak berlaku surut),
Asas proporsionalitas.77
Pengakuan terhadap hak negara untuk mengatur dalam kerangka
dan
pengaturan tersebut
keserasianantara
kepentingan
negara,
kepentingan
77
54
baik
dalam
bentuk
perundang-undangan
maupun
yurisprudensi;
g. Tidak bersifat transsendental atau melampaui alam kenyataan dan dapat
disaksikan oleh pancaindera;
h. Artikulasi dan pembabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisikondisi
sosial,
sehingga
open-ended,
multi-interpretable
dan
relatif
otonom,
melandasi
fungsi
pengendalian
55
hukum
penentuannya
mempunyai
berdasarkan
keberlakuan
padakaidah
yuridis
yang
lebih
apabila
tinggi
c.
56
79
Dalam
Rangka
Pembangunan
57
1. Bagian terbesar warga dalam suatu sistem sosial telah menerima norma
tersebut;
2. norma-norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga
sistem sosial tersebut;
3. norma tersebut bersanksi. 80
Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkan kekuasaan
kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan
negara lainnya, dengan sendirinya menuntut berbagai konsekuensi antara lain:
80
1.
2.
3.
4.
58
6.
diperhatikan,
yaitu
kepastian
hukum
(rechtsicherheid),
kemanfaatan
81
82
59
dan
proses
(perilaku
birokrasi
pemerintahan
dan
warga
masyarakat).86
Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan
masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu:
a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial
yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek
ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk
penanggulangan kejahatan.
b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya
seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan
memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan
83
84
85
86
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999. Hlm. 181.
Franz Magnis Suseno,Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 79.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Loc.Cit.
B. Arief Sidharta,Op. Cit., hlm. 180.
60
pembangunan
dan
penegakan
hukum
yang
dituntut
87
88
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 13-14.
Idem., hlm. 17-18.
61
harus ditujukan pada kualitas substansif seperti terungkap dalam beberapa isu
sentral yang dituntut masyarakat saat ini. yaitu antara lain:
a. Adanya perlindungan HAM;
b. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan
antar sesama;
c. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan;
d. Bersih dari praktik favoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi dan
nepotisme dan mafia peradilan;
e. Tewujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang
merdeka dan tegaknya kode etik/kode profesi;
f. Adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. 89
Penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan
kebijakan melalui beberapa tahap :
a) Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang;
b) Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini
dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif;
c) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secarakonkrit
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat juga disebut tahap
kebijakan eksekutif atau administratif. 90
90
62
63
91
92
93
64
hukum
nasional
yang
satu
atau
menyatukan
dengan
65
96
97
66
Phipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsip, Penanganan Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.80.
67
Ibid.
Muladi,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro,
Semarang, 1995, hlm. 45.
68
undang-
undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dari konsideran dan penjelasan
undang-undang.101
HAM merupakan alat untuk memungkinkan warga masyarakat dengan
tugasnya dengan baik.102 Kemungkinan ini harus diselenggarakan oleh negara
dengan jalan membentuk atau peraturan-peraturan hukum. Kewajiban
tersebut merupakan tugas penting negara, karena kebebasan dijamin demi
kepentingan masyarakat. Kaidah hukum yang memungkinan anggota
masyarakat mengembangkan bakatnya bermanfaat bagi perkembangan
hukum dan tercapainya tertib hukum.
Pengertian HAM dapat dipahami sebagai berikut :
l. Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan
dalam naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam
konstitusi nasional maupun dalam perjanjian intemasional;
2. Definisi politis HAM, yang menunjuk pada pengertian politik, yaitu
proses dinamis dalam arti luas berkembangnya masyarakat suatu
masyarakat tertentu. Termasuk di dalamya keputusan-keputusan yang
diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya
101
102
Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty,
Yogyakarta, 1982, hlm. 10-11.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta, 1983,hlm.
76.
69
103
104
70
agama. Menurut agama manusia tidak otonom melainkan dalam segalagalanya di bawah kehendak dan hukum Tuhan. 105
Sebenamya paham HAM adalah pewaris teori hukum Abad
Pertengahan. Menurut teori ini, hukum negara (hukum manusia, lex humana)
hanya mengikat sejauh sesuai dengan hukum kodrat (lex naturalis). Tetapi
hukum kodrat sendiri mendapat daya ikat dari pengakarannya dalam hukum
abadi (lex aetema), yaitu dalam kebijaksanaan Allah Pencipta. Allah Pencipta
sendiri memberikan hukum kodrat kepada ciptaannya, suatu hukum ciptaan
manusia atau negara harus sesuai dengan hukum kodrat. Paham itu
melahirkan paham adanya hak-hak asasi yang diterima manusia langsung dari
Tuhan dan karena itu tidak dapat diganggu gugat oleh negara. Sumber paham
HAM justru theistik dan bukan antroposentrik. 106
HAM secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori: Hak-hak yang
hanya dimiliki oleh para warga negara dari negara yang bersangkutan (hakhak warga negara). Hak-hak yang pada dasamya dimiliki semua yang
berdomisili di negara yang bersangkutan.107Dari sudut pengalaman dan
praktik, pembelaan, peninjauan dan perlindungan terhadap HAM, tergantung
pada tiga hal: pertama ialah pengakuan penuh atas nilai kemanusiaan setiap
individu, kedua perumusan hukum atas pengakuan kemanusiaan itu; dan
ketiga ialah jaminan politik bagi status hukum atas pengakuan kemanusiaan
itu. Paradigma kenegaraan harus merefleksikan ketiga prinsip dari doktrin-
105
106
107
71
doktrin HAM, yakni: pertama nilai final dari setiap individu manusia; kedua,
ekspresi
hukum
dan
nilai
itu;
dan
ketiga,
jaminan
politik
dan
institusionalnya.108
Pendirian bangsa Indonesia mengenai HAM berlandaskan sila II:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh sila-sila
lainnya. Maksudnya adalah HAM itu harus:
1 ) Sesuai dengan kodrat manusia. Menurut kodratnya, manusia itu adalah
makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial.
2) HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya setiap
orang dan golongan hendaknya memperoleh haknya.
3) Tidak tanpa arti adanya istilah dan beradab. Maksudnya ialah: HAM
yang diterima dan dijunjung tinggi itu tidak tanpa batas. Batasnya
adalah:
a) penggunaan HAM itu harus dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sila I);
b) harus meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa (Sila III);
c) harus tetap dalam suasana dan iklimyang demokratis (Sila IV);
d) harus menunjang kesejahteraan umum (Sila V);
e) HAM oleh tujuan-tujuan negara: untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan
kesejahteraan umum, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. 109
2. Hubungan HAM dan Ilmu Hukum
Dari aspek filsfat hukum, hukum terkait dengan moral, karena
dalam hukum ada yang disebut dengan pesan moral. Hukum melindungi
moral, sehingga dapat dikatakan bahwa perbuatan moral adalah perbuatan
yang kejam atau barbar. Karena itu, menegakan hukum berarti pula
108
109
Mazuki Darusman, Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam MajalahHukum Pro
Justitia Tahun XVII Nomor4 Oktober 1999, Bandung: FH Unpar, hlm.6.
Idem., hlm. 57-58.
72
bertindak
dalam
bentuk
alat/instrumen
saja
dan
dalam
73
74
dan korelatif/komutatif.
75
76
hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana) kiranya tidak akan
memperoleh gambaran menyeluruh dan sistematik, sehingga perlu dikaji
secara utuh mencakup administrasi peradilan pidana (administration of
criminal justice) yang memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari kebijakan
peradilan pidana (criminal justice policy), hak dan kewajiban serta etika
penguasa dalam memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi dan korban,
pelbagai pembatasan terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan
keseimbangan terhadap efisiensi dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan dengan jaminan terhadap hak-hak individual, tata cara mengajukan
keberatan
sampai
dengan
penanggulangan kejahatan
perlunya
kerjasama
internasional,
dalam
semakin
dalam
kerangka
kesepakatan-kesepakatan
internasional
77
110
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 67-68.
78
hasil
yang
memadai
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
79
perlindungan
hukum
bagi
anak,
diperlukan
mengerti
guna
didapat
pengertian
yang
tepat
mengenai
suatu
80
81
mendapat ijin dari hakim dengan catatan identitas anak tidak boleh
diumumkan.
h. Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetapi memakai
pakaian bebas resmi.
i. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya
persiapan yang matang sebelum sidang dimulai.
j. Berita acara dibuat rangkap 4 (empat) yang masing-masing untuk
hakim, jaksa, petugas Bispa dan untuk arsip.
k. Jika hakim memutus perkara anak harus masuk ke Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau Panti Asuhan, maka perlu diperthatikan
hak-haknya.
Proses peradilan pidana adalah merupakan suatu proses yuridis, dimana
hukum ditegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan mengeluarkan
pendapat dan pembelaan dimana keputusannya diambil dengan mempunyai
suatu motivasi tertentu.112
Hak-hak yang kiranya perlu diperhatikan dan diperjuangkan adalah:
a. Hak diperlukan sebagai yang belum terbukti bersalah.
b. Hak-hak
mendapat
perlindungan
dari
tindakan-tindakan
yang
112
82
kesadaran
bahwa
permasalahan
anak
adalah
113
83
84
pengentasan
pendahuluan
dan
lembaga-lembaga
85
yang
merasa
berkewajiban secara
moral untuk
114
86
didukung pula oleh hukum positif yang memiliki sanksi atas pelanggarannya.
Dengan didasarkan kepada kesadaran akan masalah anak di negara yang
merupakan salah satu masalah pokok yang perlu diperhatikan dan dipikirkan
pemecahannya, khususnya dalam rangka perlindungan dan perlakuan
terhadap anak dalam bidang peradilan. Oleh karena itu, peradilan pidana anak
perlu memfokuskan titik perhatiannya pada 2 (dua) hal, yaitu :
a. Masa depan pelanggar hukum yang berusia muda atau belum dewasa.
b. Akibat-akibat sosiologis dan psikologis akibat diterapkannya suatu jenis
hukuman.
Dengan demikian, diharapkan bahwa hal tersebut di atas selalu
melatarbelakangi
tindakan-tindakan
yang
diberikan
Hakim
dalam
ekonomi,
subversi,
korupsi
dan
narkotika).
Hal
demikian
87
dimungkinkan
karena
dalam
pemidanaan
bagi
anak
haruslah
C. Politik Hukum
Mengenai arah pembangunan hukum nasional, terfokus pada persoalan
politik hukum tentang pembangunan sistem hukum nasional, menurut Padmo
Wahyono; Politik hukum adalah kebijaksanaan dasar dari penyelenggara
negara yang menentukan bentuk, isi maupun arah-arah daripada hukum yang
akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
(membuat norma) pada sesuatu (ius constituendum).116Sedangkan menurut
Soedarto; Politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan. 117
Soetandyo Wignjosoebroto; mengatakan: Politik hukum (bahasa
Belanda = Rechtpolitiek) adalah kebijakan di bidang hukum dan perundang-
115
116
117
Ibid.
Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan Perundangan, Niagara, Jakarta,
1985. Hlm. 8.; bandingkan dengan Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet.ke-2, 1986, hlm. 7
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Hukum Pidana,
Sinar Baru, Bandung, 1983,hlm. 20
88
Teuku
yang
Mohammad
berkaitan
Radie;
dengan
Politik
pembentukan
hukum
hukum
adalah
dan
119
120
121
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Suatu Kajian Dinamika
Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (18401990), Grafindo Persada, Jakata, 1995,hlm. 6
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Centre, Jakarta, 2002, hlm. 269.
Solly Lubis. M, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, Cet.ke-1, 1989. hlm.
100.
Teuku Mohammad Radie, Memantapkan Kerangka Landasan Tata Hukum Nasional, BPHN,
Jakarta, 1980. Hlm. 16.; bandingkan apakah yang berlaku sebagai Hukum Positif sekarang
masih dapat dipertahankan, bagaimanakah secara de jure constituendo harus dicapai dan apa
yang dapat direalisasikan mengenai ius constituendo, dalam Asikin Kusumah Atmadja. Z,
Politik Hukum Nasional, tulisan dalam, Abd. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari (ed.),
Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, Cet.ke-1, 1980.
hlm. 15.
89
122
123
124
90
125
126
127
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Hartono,C.F.G Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung,
1991,hlm. 1.
Moh. Mahfud MD, Op. Cit.,hlm. 3.
91
128
92
berupa pidana. Pada dasarnya hukum pidana mempunyai dua hal pokok yaitu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana.129
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah perbuatan yang
dilakukan orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan
demikian disebut perbuatan yang dapat dipidana. Sedang pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi pidana dalam KUHP
diatur dalam Pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok meliputi pidana mati,
penjara, kurungan dan denda. Disamping pidana pokok ada pidana tambahan
yang boleh dijatuhkan bersama dengan pidana pokok. Pidana tambahan
meliputi pencabutan hak-hak tertentu, parampasan barang-barang tertentu,
pengumuman putusan Hakim.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh
dilakukan. Hukum menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan
apa yang bersifat melawan hukum. Hukum tidak membiarkan perbuatan yang
bersifat melawan hukum, hukum akan menggarap secara intensif perbuatan
yang bersifat melawan hukum, baik perbuatan yang bersifat melawan hukum
yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht inactu), maupun perbuatan melawan
hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).130 Perhatian dan
penggarapan perbuatan melawan hukum yang terjadi dan yang mungkin akan
terjadi tersebut merupakan penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan
sisi lain dari pembentukan hukum. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak
129
130
93
94
95
133
96
97
134
98
135
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 19.
99
Criminology
Criminal Law
Penal Policy
Mengutip
pendapat
Sutherland
and
Cressey
di
dalam
buku
136
137
100
Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik,
dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan
juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat
dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa
penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik
hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap
sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak
dipersoalkan.
Permasalahannya
sekarang
adalah,
garis-garis
kebijakan
atau
101
139
140
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press,
1967, hlm. 344-346.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang, Ananta, 1994, hlm. 17.
Ibid., hlm.18.
102
Pendapat
pertama umumnya
arelic of barbarism
142
(sebuah
142
103
yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan
atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat
merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan
mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi
yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan
memperbaiki. 143
Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat
mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan tokohnya antara
lain Lombroso, Garafalo dan Feri. Menurut Alf Ross, pandangan inilah yang
kemudian berlanjut pada gerakan modern mengenai penghapusan sanksi
pidana. Kampanye anti pidana ini masih terdengar di abad XX ini dengan
slogan barunya yang terkenal : thestruggle against punishment atau
abolision of punishment. Pandangan ini dikemukakan oleh seorang ahli
psikiatri forensic dan kriminolog Swedia, Olof Kinberg, yang pada Tahun
1946 mengeluarkan tulisan berjudul Le droit de punir. Menurut Kinberg,
kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan ketidaknormalan atau
ketidakmatangan si pelanggar (the expression of an offenders abnormality
orimmaturity) yang lebih memerlukan tindakan perawatan (treatment) dari
pada pidana. Seorang kriminolog lainnya bernama Karl Menninger
menerbitkan pula sebuah buku yang dramatis pada Tahun 1966 dengan judul
The Crime of Punishment. Menurut Menninger, sikap memidana
143
104
105
Persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam
pertimbangan antara nilai dan hasil itu dan nilai dari batas-batas
kebebasan pribadi masing-masing;
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti
sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu
reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu
dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja ;
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditunjukan
pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak
jahat yaitu warga masyarakat untuk mentaati norma-norma masyarakat.
Van Bemmelen mengemukakan. 146 Jika mendekati hukum pidana tidak
dari sudut pidana, akan tetapi dari sudut peraturan pemerintah dan larangan
dan untuk menegakkan peraturan itu (menegakkan hukum) dan terutama juga
dari sudut hukum acara pidana,
menghapuskan hukum pidana begitu saja. Jika mendekati dari sudut peraturan
pemerintah dan larangan, dengan mudah akan dapat mengerti bahwa ada
perbuatan tertentu dianggap melanggar hukum, yang tidak diizinkan sama
sekali dapat terjadi oleh masyarakat, makar (membunuh kepala negara) sama
sekali tidak akan diizinkan oleh negara. Juga tidak dapat dibayangkan, bahwa
masyarakat akan mengizinkan seseorang dengan sesuka hatinya membunuh
orang
lain
atau
seseorang
akan
dengan
sengaja
menghancurkan,
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan
Hasnan, Binacipta,Bandung, 1987, hlm. 22-23.
106
lain tanpa seizin pemilik barang itu. Jadi, peraturan pidana harus tetap ada.
Juga akan selalu terjadi pelanggaran peraturan itu tidak mungkin diserahkan
oleh negara kepada individu masing-masing.
Alf Ross juga termasuk golongan yang tidak setuju dengan aliran yang
bertujuan menghapuskan sanksi pidana. Menurut Alf Ross concept of
Punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:147
1. Punishment is aimed at inflicting suffering upon the person upon whom
it is imposed.
2. The punishment is an expression of disapproval of the action for which
it is imposed.
Herbert L Packer juga mengatakan : 148
a. The criminal Law Sanction is indispensable , we cauld not, now or in
the foresable future, without it ;
b. The criminal law sanction is the best available divice we have for
dealing with gross and immediate harms and threats of harm;
c. The criminal sanction is at prime guarantor and primethreatener of
human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used
indiscriminately and coercively, it is treatment.
a) Pendekatan Integral Antara Kebijakan Penal dan Non-Penal
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan
menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
147
148
107
149
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung,
2010, hlm. 159.
108
150
151
152
109
Sudarto
berpendapat
bahwa
dalam
menghadapi
masalah
dan
mengadakan
pengukuran
terhadap
tindakan
153
Sehubungan dengan hal ini, R. Cross & PA. Jones, An Introduction to Criminal Law, 1953.
Hlm. iii, berpendapat:
the criminal law may be used not only for the prevention of wrongs which are obviously
deserving of punishment, but also for the archievment of the policy of the government of the
day.
154
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
155
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1977, hlm. 44-48.
110
156
M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Penerbit dan tempat tidak tercantum, 1978.
Hlm. 82.
111
pengeruhnya
(a)
krisis
terhadap
keseluruhan
kelebihan
sistem,
kriminalisasi
mengakibatkan
(the
crisis
of
overcriminalization), dan (b) krisis pelampauan batas dari hukum pidana (the
crisis of overreach of the criminal law). Yang pertama mengenai banyaknya
157
112
atau melimpahnya
logis,
dalam
untuk
menanggulangi
kejahatan
harus
benar-benar
telah
158
159
160
161
162
Karl O. Christiansen, Op. Cit., Hlm. 75. Menyatakan: the characteristic of a rational
criminal policy is nothing more than the application of rational methods.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 163.
Ibid.
Sudarto, Op. Cit., Hlm. 161.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 164.
113
hasil
yang
ingin
dicapai;
akan
tetapi
juga
dalam
arti
163
164
165
166
167
Ibid.
Summary Report dari 34th International Training Course yang diselenggarakan oleh
UNAFEI di Tokyo th. 1973.
J. Andenaes, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press, 1974. Hlm. 162163.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,hlm. 165.
Ibid.
114
2.
3.
Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang
berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum
pidana. 169
Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada
umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung
nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi.
Kepentingan-kepentingan sosial menurut Bassiouni ialah: 170
1.
2.
Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
3.
168
169
170
115
4.
dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingankepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang
berguna bagi masyarakat; suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat
dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, batas-batas sanksi
pidana ditetapkan pula berdasar kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai
yang mewujudkannya. Berdasar pandangan yang demikian, maka menurut
Bassiouni disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga suatu
disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai.
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bassiouni,
dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga
pendekatan yang berorientasi pada nilai. Hanya, menurut hemat kami, antara
pendekatan-kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan
terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan-kebijakan
sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Kebijakan
kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih bagi
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangun
nasionalnya bertujuan membentuk Manusia Indonesia Seutuhnya. Apabila
pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka
116
pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya
karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan
(human problem), tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri
mengandung unsur nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. 171
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya
berarti bahwa pidana yang dikenakan pada si pelanggar harus sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang beradab; tetapi juga harus dapat membangkitkan
kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan
hidup bermasyarakat.172
Sehubungan dengan hal terakhir ini, patut kiranya dikemukakan
konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence (the penal policy of
social defence) menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi
pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini perlu dikemukakan, karena
istilah perlindungan masyarakat atau social defence yang dikaitkan
dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering digunakan di
Indonesia seperti yang terlihat misalnya pada Seminar Kriminologi ke-3
tahun 1976 dan Simposium Pembaruan Hukkum Pidana Nasional pada tahun
1980 di Semarang. Menurut Marc Ancel, pertanggungjawaban yang
didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang
utama dari proses penyesuaian-sosial (the main driving force of the process of
social readaption). Diakui olehnya bahwa masalah determinisme dan
indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar ruang
171
172
117
lingkup kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi, ditegaskan bahwa
kebijakan pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan
individu. Tujuan utama dari setiap perlakuan re adaptasi-sosial harus
diarahkan pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu,
masalah pertanggungjawaban seharusnya tidak boleh diabaikan, malahan
justru harus diperkenalkan kembali sebagai sautu pertanggungjawaban
pribadi. Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada
konsepsi pertanggungjawaban pribadi. Pertanggungjawaban yang dimaksud
oleh Marc Ancell berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya
sebagai pertanggungjawaban moral secara murni (the purely moral
responsibility), dan berbeda pula dengan pandangan positivist yang
mengartikannya sebagai pertanggungjawaban menurut
hukum atau
moralitas
sosial.
Pengertian
yang
demikian
merupakan
173
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, 1982, hlm. 27.
118
174
175
Norval Morris & Donald Buckle, The Humanitarian Theory of Punishment A Reply to c.x.
levis, dalam buku Stanley E. Grupp, Op. Cit.,hlm. 309-316.
Sudarto, Satu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 1974, hlm. 3.
119
120
dilandasi oleh tiga alasan, yaitu alasan politik, alasan sosiologis, dan alasan
praktis (kebutuhan dalam praktik).176 Dipandang dari sudut politik, KUHP
yang berlaku dewasa ini berasal dari masa penjajahan Hindia Belanda. Ia
diciptakan untuk suatu masyarakat kolonial, dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan kebutuhan pada masanya. KUHP yang
setelah kemerdekaan diganti namanya dari Wetboek van Strafrecht(WvS)
menjadi Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), naskah resminya hingga
kini masih berbahasa Belanda, sedangkan isinya mengikuti Wetboek van
Strafrecht Voor Nederlands (WvSvNI) tahun 1886 sebagai akibat asas
konkordasi, meskipun di sana sini ada penyesuaian dengan keadaan serta
kebutuhan spesifik daerah jajahan. Oleh karena itu, Negara Indonesia yang
sudah merdeka wajar memiliki KUHP yang diciptakan sendiri. KUHP ciptaan
sendiri dapat dipandang sebagai simbol serta merupakan suatu kebanggaan
dari suatu Negara yang telah merdeka. KUHP dari suatu Negara yang
dipaksakan untuk diterapkan di suatu Negara, bisa dipandang sebagai simbol
dari penjajahan oleh Negara yang membuat KUHP tersebut.
Berbagai ketentuan yang mewujudkan politik hukum pidana pada masa
lampau, atau yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat pada masa seabad
yang lalu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, kiranya patut
dipertanyakan tentang keserasiannya dengan kebutuhan masyarakat pada
masa kini. Sejalan dengan adanya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat.
Sejalan dengan adanya perubahan nilai-nilai mungkin pula terjadi perubahan
176
121
bahwa
pengaturan
dalam
hukum
pidana
merupakan
122
harus diancam pidana, namun dalam KUHP tidak dipidana, begitu pula
sebaliknya.Alasan ke tiga, merupakan alasan yang dipandang dari sudut
praktik sehari-hari. Tidak banyak orang menyadari sekarang ini, bahwa teks
resmi KUHP yang dimiliki adalah tetap teks resmi yang ditulis berbahasa
Belanda. Teks yang tercantum dalam KUHP baik yang ditulis oleh
Moeljatno, R. Susilo, terjemahan bersifat partikelis dan bukan terjemahan
resmi yang disahkan oleh suatu undang-undang. Oleh karena itu, wajar
apabila
terdapat
perbedaan
pengguna
istilah
pada
pengertian-
123
177
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, Sabtu, 24 Februari 1990, hlm. 3.
124
dari
pembangunan
hukum
nasional
yang
sudah
125
pasca
Undang-Undang
Nomor
Tahun
1946,
dan
178
Idem., hlm. 3.
126
Ibid., hlm. 4.
127
128
3) Pendekatan
Komplementer,
dengan
munculnya
hukum
pidana
129
Secara
sadar
diusahakan
pembaruan-pembaruan
untuk
130
masyarakat,
juga
menyebabkan
adanya
perubahan pandangan
yaitu
perubahan penelitian
terhadap
sejumlah
180
131
suatu
perbuatan.
Dekriminalisasi
dibedakan
dengan
mendukung
kriminalisasi
kembali
(rekriminalisasi)
181
Ibid.
132
menyangkut
dekriminalisasi,
disamping
pedoman
133
sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap
seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
E. Sistem Peradilan Pidana
Setiap sistem mempunyai tujuan. Sistem ketatanegaraan, sistem
pembangunan nasional, sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan hukum
dan sebagianya juga mempunyai tujuan (dikenal dengan istilah visi dan misi).
Demikian pula dengan sistem hukum (termasuk sistem peradilan militer),
sehingga tepatlah dikatakan apabila sistem hukum merupakan suatu sistem
yang bertujuan (purposive sistem).182 Sistem hukum pidana identik dengan
sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub sistem hukum pidana
materil. Sub sistem hukum pidana formil dan sub sistem pelaksaaan
pidana. 183
Sistem peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum
yang berlaku di suatu negara, yang menurut Sunaryati Hartono, di Indonesia
penekanannya diletakkan pada hukum sebagai rangkaian kaidah, peraturan
dan tata aturan (proses dan prosedur).184 Ketiga komponen tersebut yakni
substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum inilah digerakkan oleh
sistem peradilan pidana untuk mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah
sosial. 185 Hulsman mengatakan bahwa sistem peradilan pidana itu merupakan
182
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan: Perspektif Pembaruan Hukum dan
Perbandingan Beberapa Negara, Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro,2009,
hlm.9.
183
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekontruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Semarang : Penerbit Pustaka Magister, 2007, hlm.1.
184
Sunaryati Hartono,
185
Jan Remelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal -Pasal penting dari b Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam b Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm,5-6.
134
masalah sosial. 186 Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana. 187 Namun demikian kelembagaan substansial
harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. 188
Pengertian dan batasan sistem peradilan pidana terpadu menurut
Sukarton Marmosudjono adalah sebagai berikut: sistem peradilan pidana
terpadu yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan
dan pola penyelenggaraan peradilan pidana secara keseluruhan dan kesatuan
(administration
of
justice)
pelaksaaan
peradilan
dan
lembaga
186
yang
pernah
melakukan
kejahatan
tidak
mengulangi
lagi
135
191
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku
Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994, hlm. 140
192
Hyman Gross, A Theory of Criminal, dalam W. Friedman, Law in A Changing Society, ed.II,
New York : Columbia University, 1972, hlm. 54
193
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan,
Jakarta : Sinar Grafika, 1997, hlm. 43.Selanjutnya dikatakan bahwa penanganan suatu proses
pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakan dasar-dasar bagi
tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat serta saling mendukung satu sama lain. Oleh
karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan sebagai suatu integrated criminal
justice sistem (sistem peradilan pidana terpadu) yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan
persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan
136
nilai
tertentu
(value
transformation),
keterkaitan
dan
194
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta :
LP3ES, 1990, hlm 119. Dikatakan; Budaya hukum merupakan suatu konsep baru dimana
budaya hukum ini, mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-nilai
yang berkait dengan hukum dan proses hukum.
195
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan dan Pergulatan, Jakarta : Pusat Studi Peradilan
Pidana Indonesia, 2000, hlm. 6
196
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro,1995,hlm.vii.
137
acara
pidana
merupakan
peraturan
yang
mengatur,
197
La Patra, Analyzing the Criminal Justice Sistem, Toronto: Lexiton Books.D.C.Heath and
Company Lexiton, Massachusets, 1978,hlm.85. The economic sistem inflences the
income,health care,transportation,housing,job recreation,and other attributes of his life. The
education sistem mold his aptituted and mental endowments and shrapnes his skills and
earning potential. The technological sistem represents the states of the art, methods and
equipment used in conversion processes and mainly affects his life at work. The political sistem
allocates resources and establishes priorities through the formation of policies and law.
Indirectly the political sistem influences the evolution of societal norma and values.
198
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,Bandung : Alumni,
, 1992,hlm.197.Bandingkan dengan J.W. La Patra dalam Analyzing the Criminal Justice Sistem
,1978, yang mengatakan bahwa, ketidakberhasilan SPP menekan pertumbuhan dan
peningkatan kejahatan ini lah yang dilihat sebagai salah satu faktor timbulnya kritik yang keras
terhadap setiap unsur SPP. Dinyatakan oleh La Patra bahwa: every element of the criminal
justice (in America) has come under harsh criticism)
199
Liliek Muladi, Hukum Acara Pidana suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi
dan Putusan Peradilan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, , 1996,hlm.4.
138
tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik
(good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain
enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and
uniform sentencing).200
Berjalannya proses peradilan tersebut berhubungan erat dengan
substansi yang diadili, yaitu berupa perkara perdata atau perkara pidana.
Keterlibatan lembaga-lembaga dalam proses peradilan secara penuh hanya
terjadi pada saat mengadili perkara pidana. Dalam perkembangannya,
menjumpai
adanya
diferensiasi
dalam
forum
pengadilan,
sehingga
Harold D. Hart. Ed. Punishment For and Against, New York : Hart Publishing Company Inc,
1971,hlm.22.
201
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit.,hlm.183.
139
202
140
artinya
dipercayakan
kepada
masing-masing
anggota
masyarakat.205
Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan proses penegakan
hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab
yudisial yang mengandung tiga dimensi yaitu:
1. tanggung jawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan
organisasi, administrasi dan pengaturan finansial;
2. tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum
acara yang digunakan;
3. tanggung jawab substantif yang yang berhubungan dengan ketepatan
pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku. 206
Pada administrasi keadilan keadaannya cukup berbeda. Salah satu ciri
yang menonjol adalah bahwa pada administrasi ini badan-badan yang terlibat
cukup banyak dan oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang seksama
Masalah yang paling rumit adalah bagaimana mengorganisasikan badanbadan ke dalam satu satuan kerja, sedang masing-masing mempunyai
wewenang dan tugas yang berbeda-beda.207
205
141
dapat
berbentuk
rekontruksi,
intensifikasi
fungsi
dan
208
sama, yaitu tersangka, terdakwa atau terhukum, maka keadaannya bisa lain. Apabila misalnya
masing-masing badan tersebut memegang teguh birokrasinya, maka efisiensi dari
administrasinya bisa sangat terganggu.
Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putera, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,
2003,hlm.178.
142
143
eksternal,
menghadapi
perkembangan
globalisasi
yang
komunikasi,informasi
.Internasionalisasi
hukum
pidana,
144
Ibid.
Doktrin Tentara Nasional Indonesia, Tri Dharma Eka Karma. Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/2/I/2007, 12 Januari, 2007, hlm.28.
145
lembaga Attendence Centre yaitu suatu lembaga latihan bagi para pemuda
atas perintah hakim sebagaisuatu tindakan dalam jangka waktu pendek.214
Jawatan kepenjaraan merupakan instansi yang disusun secara sentral dan
vertikal dalam Home Office selainmengurus penjara, baik untuk orang dewasa
maupun pemuda, juga menguruslembaga bagi anak-anak yang melanggar
hukum. Lembaga ini disebut Detention Centre dan Bostal, yaitu suatu tempat
yang merupakan pusat pembinaan Narapidana Anak.
Jawatan Probation pada mulanya mempunyai tugas membantu hakim
mengawasi pelanggar hukum yang menjalani percobaan dan mencari
keterangan bagi hakim mengenai terdakwa, pada akhirnya berdiri sendiri
sebagai jawatan karena meluasnya tugas/pekerjaan yang diembannya.
Tugasnya adalah: l. Mengawasi para pelanggar hukum yang khusus
dikenakan tindakan probation oleh hakim; 2. Mengawasi orang-orang yang
dilepas dengan perjanjian atau dibebaskan dengan perjanjian; 3. Membantu
pengadilan, baik pengadilan Magistrate maupun pengadilan Juvenile mencari
keterangan-keterangan mengenai terdakwa, yang diperlukan untuk memutus
perkara; 4. Mengurus lembaga-lembaga Probation Home dan Probation
Hostel; yaitu tempat latihan anak-anak atau tempat tinggal pemuda-pemuda
yang dikenakan tindakan probation jika dikenakan syarat harus tinggal dalam
lembaga tersebut tetapi bersekolah atau bekerja di luar.
Jawatan urusan anak-anak pusat (terdapat dalam Home Office)
menentukan kebijaksanaan umum tetapi Jawatan Daerah menentukan
214
146
215
147
memerintahkan penahanan
lebih
lanjut.
Biasanya
148
216
149
150
b. Pengadilan Juvenile
Sejak tahun 1908 Pengadilan Juvenile di Inggris telah mengadili anakanak yang melanggar hukum, Anak Nakal. Anak terlantar atau anak di luar
penilikan orang tuanya. Hakim di sini harus majelis dengan paling sedikit
seorang ketua dan seorang anggota atau lebih, dengan ketentuan seorang
harus wanita. Ketentuan lain bahwa persidangan harus terpisah dengan
Pengadilan Magistrate, paling tidak kamarnya terpisah atau bergantian atau
harinya yang bergantian. Dalam praktik, satu kamar dipakai dengan
bergantian antara Pengadilan Magistrate dan Pengadilan Juvenile.217 Pada
217
151
3)Saksi; 4) Pejabat-pejabat probution danurusan anak-anak; 5) Wartawanwartawan surat kabar yang ditunjuk; 6) Pihak lainyang diijinkan Pengadilan.
Berkaitan dengan identitas anak tidak boleh disebut dalam surat kabar,
kecuali perlu menurut Home Office.
c. Proses Sidang
Sidang dilaksanakan secara sederhana, bagi anak yang pada saat
diajukan ke depan sidang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun diperbolehkan
memilih akan diadili oleh Pengadilan Juvenile atau di pengadilan dengan juri,
atau Pengadilan Juvenile yang mengirimkan ke Pengadilan dengan juri.
Tuduhan harus dengan kata-kata sederhana sesuai dengan usia dan daya
tangkap anak tersebut. Pengadilan berkewajiban membantu anak atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, kepada orang tua, saksi maupun
wali, demikian pula dengan pembelanya. Sebelum putusan dijatuhkan,
pemeriksaan yang memerlukan penahanan, penundaan penahanannya,
penundaan penahanannya tidak boleh lebih dari 8 (delapan) hari untuk tiap
kali penahanan. Jika terbukti ada kesalahan anak, maka penahanan dapat
dilakukan selama 3 (tiga) minggu. Maksud penahanan adalah agar pegawai
probution dapat mengadakan penyelidikan tentang tindakan yang akan
dikenakan. Penahanan ini berupa: l) Tahanan luar yang disertai jaminan
sejumlah uang; 2) Anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun dapat
ditahan dalam Reception Centre yang dekat dengan Pengadilan; 3) jika
152
pengawasannya. Menurut
peneliti jenis penahanan yang didasarkan pada umur anak ini, sebaiknya
diberlakukan di Indonesia.
Apabila dalam penahanan di atas tidak dapat dikendalikan maka anakanak dimasukkan sebagai tahanan di dalam penjara. Penahanan yang
dilakukan orang baik-baik tidak boleh lebih dari 28 (dua puluh delapan) hari
tiap kali. Putusan Pengadilan Juvenile dapat berupa: 1) Pembebasan sama
sekali disertai dengan petuah-petuah/nasihat-nasihat; 2) Pembebasan dengan
perjanjian; 3) Tindakan Probation; 4) Tindakan ganti rugi; 5) Pidana denda;
6) pengiriman ke Rumah Sakit Jiwa; 7) Pidana pencabutan kebebasan.
Mengenai jenis pidana dan tindakan ini, telah diatur dalam Rancangan KUHP
Nasional (Tahun 1999-2000). Pemberantasan kejahatan anak di Inggris sangat
diperhatikan, namun disadari bahwa memasukkan Narapidana Anak ke
penjara lokal tidak memberikemungkinan baik, oleh karena itu Narapidana
Anak di bawah 21 (dua puluh satu) tahun harus dipisahkan dari golongangolongan lain, apapun tindak pidana yang diperbuat. Pemisahan ini dilakukan
oleh Young Prisoners Centre, yaitu suatu bagian dari penjara yang digunakan
sebagai tempat tinggal anak dengan putusan hakim. Pemisahan ini
sedemikian rupa sehingga Narapidana Anak tidak mungkin bertemu dengan
yang dewasa. Jenis lain dari putusan/tindakan pengadilan Juvenile adalah
153
2. Perancis
Di Perancis dikenal peradilan khusus untuk anak-anak yaitu Les
Juridictionaris pour enfants.218 Peradilan anak ini merupakan peradilan
khusus yang merupakan peradilan tersendiri di luar peradilan umun. Hakimhakim yang bertugas pada peradilan khusus untuk anak-anak, adalah hakimhakim yang sudah mengkhususkan diri yang dipilih dari hakim-hakim
218
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat Dari Peradilan , Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. l9.
154
155
156
Penahanan
sementara
(ditention
provisoire).
Perkara
berupa
219
Idem.,hlm. 63.
157
220
Ibid.
158
malam hari. Rumah penjara yang khusus untuk semi liberte ini pun
tidak sama dengan rumah penjara biasa, disebut dengan center the semi
liberte. Menurut peneliti hukuman atau sanksi separuh bebas (semi
liberte) ini sebaiknya diatur dan diberlakukan di Indonesia, demi masa
depan anak.
3. Peranan hakim dalam proses pemeriksaan pendahuluan; Dalam hal ini
polisi khusus (Police Judiciaire) begitu mengetahui adanya suatu
kejahatan di suatu tempat, adanya laporan bahwa telah terjadi
kejahatan, mereka langsung mendatangi tempat tersebut untuk
menyelidiki dan mengambil tindakan sementara yang diperlukan,
kemudian melaporkan ke Jaksa, dan selanjutnya menunggu tindakan
yang dilakukan. Dalam hal pelaku kejahatan tersebut adalah anak di
bawah umur 18 (delapan belas) tahun, maka Jaksa wajib segera
membuat surat penuntutan agar Hakim mengadakan pemeriksaan
pendahuluan
atasnya.221
Permintaan
agar
hakim
mengadakan
221
Idem., hlm. 96
159
Hakim
mepunyai
hak
untuk
menentukan
seseorang
diajukan
160
G. Diversi
Standar Internasional yang dimaksud dalam paper ini adalah United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ)
atau The Beijing Rules (Resolusi Majlis Umum PBB 40/33 tanggal 29
November 1985), dimana diversi diatur dalam rule 11.1 sampai dengan 4,
17.4 dan 18.1. Dalam hal ini dikutip beberapa prinsip diversi sebagaimana
tercantum dalam beberapa rule tersebut.
Selain itu, juga diuraikan prinsip-prinsip diversi sebagaimana tercantum
dalam General Comment No. 10 (tahun 2007) of the Committe on the Right of
the Child on Childrens rights in juvenile justice (Peraturan Umum No. 10
Tahun 2007 dari Komite Hak Anak mengenai hak-hak anak dalam peradilan
anak). Peraturan umum ini merupakan penafsiran resmi terhadap isu-isu
tertentu dalam Konvensi hak Anak yang dibuat oleh Komite Hak Anak telah
mempublikasikan dua belas General Comments, empat diantaranya memuat
referensi khusus tentang diversi dan program-program alternatif. Referensi
khusus tentang diversi dalam General Comment No. 10 (2007) antara lain
dalam paragraph 27.
1. Diversi Dalam SMRJJ
Standard
Minimum
Rules
for
the
Administration
of
Juvenile
161
untuk
setiap
saat
tidak
meneruskan
proses
162
menjabarkan
163
f.
g.
h.
164
H. Restorative Justice
1. Variasi Penerapan Restorative Justice
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran
hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama
berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan
kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya
mengenai tindakan yang telah dilakukannya.
Pihak pelaku sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima
dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan
tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya pelaku
juga memaparkan tentang sebagaimana dirinya bertaggungjawab terhadap
korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak
pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebabsebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib
mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak
korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu,
juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil
masyarakat
tersebut
memberikan
gambaran
tentang
kerugian
yang
diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam
paparannya tersebut
masyarakat
mengharapkan agar
pelaku
165
222
Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999). Conferencing, Circles, Board, and Mediations:
Restorative justice and Citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida:
University of Minnesota,hlm. 6.
166
223
224
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim
Sensitive Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing Needs, Approaches, and
Implications. London: Office for Victims of Crime U.S. Department of Justice, hlm. 14.
Ibid.
167
dari
titik
penyerahan,
persiapan
pertemuan,
sampai
pelaksanaan setelah selesai mediasi. Persiapan akan selesai dalam waktu lebih
kurang enam bulan dan bahkan lebih lama. Para peserta diumpamakan seperti
baterai yang terpasang seri dan dirancang dengan sistem protokol untuk
memfasilitasi kedatangan mereka kepada pegangan atas ketakutan dan
kegagalan dan membantu mereka menjalani proses penyembuhan dan
penghapusan.
Mediator bekerja sama dengan protokol dengan sangat teliti dan cermat
mempersiapkan proses pemanduan pertemuan antara korban dengan pelaku.
Mediator menaksir kesiapan korban dan pelaku untuk bermusyawarah dan
225
Mark S. Umbreit and Robert B. Coates. (1992). Victim Offender Mediation an Analysis of
Program in Four States of The US. U.S.: Center for restorative justice and Mediation. hlm. 3.
168
226
169
tersebut
telah terjadi,
227
228
Contoh kasus: dikutip Gordon Bazemore dan Mark Umbreit. Op. Cit.,hlm. 1.
Mark Umbreit and S. Stacy (1995). Family Group Conferencing Comes to the U.S.: A
Comparison With Victim Offender Mediation. U.S.: Juvenile and Famili Court Journal 1995,
47(2), hlm. 29-39.
170
dari
pramediasi
ini
sangat
menentukan
kesuksesan
mediasi
yang
sesungguhnya.
Pertemuan mediasi dimulai dengan korban menceritakan pengalaman
yang dialaminya akibat kejahatan yang dialaminya dan apa yang menjadi
kerugian fisik, emosional, dan materi pada dirinya. Pelaku menjelaskan apa
yang dilakukannya dan mengapa dia melakukannya, dan juga pelaku bersedia
memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh korban.
Pada saat korban dan pelaku sedang mengutarakan pembicaraan
masing-masing, mediator akan membantu mereka mempertimbangkan jalan
keluar dan pemecahannya. Di beberapa negara Eropa proses mediasi tidak
melibatkan pertemuan secara langsung antara pihak-pihak. Mediator
melaksanakan negosiasi dengan setiap pihak yang terkait dalam proses victim
offender mediation sampai dicapai persetujuan/kesepakatan termasuk ganti
rugi bila ada. Dengan demikian, sebuah pendekatan pemuasan dalam
beberapa prinsip restorative justice, namun tidak dengan melakukan
pertemuan secara langsung. 229
Di
negara
lain
khususnya
di
Amerika
Utara
VOM
dalam
229
171
Vos menguraikan bahwa dari sisi korban telah mendapatkan hasil yang lebih
baikketika seseorang melakukan restorative justice. Mereka mencotohkan
dalam pelbagai tempat dan budaya korban yang memilih berpartisipasi
merasa puas dengan proses yang dijalaninya dan hasil yang menjadi
persetujuannya. Elmar G.M. Weitekamp dalam tulisannya tentang perspektif
Eropa mengatakan victim offender mediation (atau di Jerman disebut
Offender Victim Mediation) punya sejarah panjang yang menjadi sarana
mempertemukan keinginan korban.
Victim offender mediation adalah satu proses yang menyediakan
kemauan korban sebagai pokok dari kejahatan dan kekerasan untuk bertemu
dengan pelaku, dalam suasana aman dan teratur dengan tujuan membuat
tanggug jawab langsung dari pelaku dengan adanya bentuk kompensasi
kepada
korban.
Dengan
mediator,
korban
230
Ibid.
172
173
dan pelaku sehingga pertanyaan mereka dan hal-hal yang berkenaan akan
disepakati. Jika muncul rencana (plan) ganti rugi, mediator sering akan
menulis secara terperinci dalam sebuah kontrak untuk peserta. Dalam
kebanyakan peradilan, mediator akan mengembalikan kontrak kepada
program, dan staf program akan mengirim fotocopy sumber referensi.
Victim offender mediation berbeda dengan tipe mediator yang lain.
Mediasi digunakan pada situasi konflik yang meningkat seperti perceraian
dan tahanan, perselisihan masyarakat, perselisihan bisnis, dan konflik di
pengadilan sipil lainnya. Dalam situasi tersebut para pihak disebut pendebat
dengan anggapan kuat mempunyai sumbangan baik terhadap kontrak yang
nantinya akan ditandatangani. Mediasi dengan keadaan seperti ini sering
dititikberatkan pada tercapainya sebuah pertanggungjawaban dengan sedikit
perhatian terhadap akibat dari konflik tersebut terhadap kehidupan/keadaan
para pihak yang ikut terlibat.
Dalam victim offender mediation para pihak yang ikut tidak menjadi
berdebat. Seseorang yang secara jelas melakukan sebuah kejahatan dan telah
mengakui perbuatannya sehingga korban merasa dihormati. Selanjutnya isu
bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender
mediation, juga tidak mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi
dan mengharap lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk
mengembalikan kerugiannya.
Kalau jenis
174
kepada
penyembuhan
korban
dan
pertanggungjawaban
pelaku
dan
mengembalikan kerugian. Hal tersebut didasarkan pada model dan cara bukan
menggunakan perintah langsung kepada seseorang (non directive humanistic
model). Menurut Mark Umbreit dalam penelitiannya tahun 2001, mediasi
adalah suatu proses yang memperhatikan pada terciptanya sebuah suasana
damai. Pengelolaan emosi yang baik oleh peserta, untuk korban dan pelaku
dapat berbicara langsung satu sama lain dengan intervensi minimal dari
mediator.
b) Family Group Conferencing (selanjutnya disingkat FGC)
Conferencing dikembangkan pertama kali di negara New Zealand pada
tahun 1989 dan di Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan
refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang
diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa Maori. Proses yang
dilakukan masyarakat bangsa Maori ini terkenal dengan sebutan wagga
wagga dan telah dipakai untuk menyelesaikan permasalahan dalam
masyarakat tradisional dan merupakan tradisi yang telah ada sejak lama.
Karena minat negara yang besar untuk mencari alternative bentuk
penyelesaian perkara, maka tradisi masyarakat ini diangkat ke permukaan
untuk diteliti dan dibuat pilot prodectnya bagi penyelesaian perkara pidana di
negara tersebut. Pada kesempatan berikutnya bentu penyelesaian secara
tradisional ini dapat diterima sebagai sebuah proses resmi di negara tersebut
dengan sebutan conferencing. Menurut terjemahan penulis conferencing
adalah konferensi, perundingan atau musyawarah. Dalam perkembangan
175
176
177
diskusi dalam conferencing. Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi ini
adalah korban, pelaku, pihak yang tersimpan terhadap kedua pihak, orang
tua/wali dari kedua pihak dan orang yang dianggap penting bila diperlukan
serta mediator yang dilatih khusus. Syarat utamaa bagi pelaku untuk dapat
ikut dalam pelaksanaan victim offender mediation adalah pengakuan
bersalahnya.
Ada jenis conferencing lain yang bekerja dalam panduan sebuah filosofi
umum yaitu mengizinkan conferencing untuk mengambil berbagai bentuk
dan tata cara prosesnya tergantung budaya setempat atau harapan dari para
peserta yang ikut. Sebagai sasaran dapat diwujudkan suatu sistem peradilan
pidana yang berpihak kepada semua masyarakat yang terlibat dengan
kejahatan tersebut.
Praktik diskusi dimulai oleh mediator sebagai penengah dengan
memberikan kesempatan kepada pelaku menjelaskan apa yang dia lakukan
dan bagaimana pendapatnya atas penderitaan orang lain akibat perbuatannya.
Pada kesempatan berikutnya adalah kesempatan korban menceritakan
pengalaman yang dialaminya dan dampak kerugian yang dialaminya akibat
perbuatan pelaku. Setelah pelaku dan korban berbicara, kesempatan
berikutnya adalah untuk para pendukung korban (victims supporters) yaitu
anggota keluarganya atau para teman akrabnya dapat berbicara dan setelah itu
kesempatan berbicara diberikan kepada keluarga pelaku dan para temannya
(offenders supporters). Kesempatan berbicara ini, baik oleh pihak pelaku
maupun pihak korban adalah dengan tujuan mencari dan menemukan kondisi
178
179
ambil bagian dalam proses mediasi, sehingga dalam circles, parties with a
stake in the offence didefinisikan secara lebih diperluas.
Tujuannya membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan
mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang
berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana.
Sasaran yang ingin dicapai melalui circles adalah terlaksananya
penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan member
kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya dengan tanggung
jawab penyelesaian kesepakatan. Masyarakat digugah untuk peduli terhadap
permasalahan anak yang ada di sernya dan mengawasi penyebab tindakan
yang dilakukan oleh anak.
Orang yang menjadi peserta dalam circles adalah, korban, pelaku,
lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Untuk kasus
yang serius dihadirkan juga hakim dan jaksa. Kehadiran aparat penegak
hukum tersebut untuk menjamin kelancaran pelaksanaan proses sesuai
dengan prinsip restorative justice dan bukan untuk mencampuri atau
melakukan intervensi pada proses yang sedang dijalankan.
Tata cara pelaksanaan circles pada awalnya diambil dari praktik
pelaksanaan yang ada di negara Canada dengan tetap menjaga kemurniannya.
Sebelum pelaksanaan circles yang sebenarnya, maka mediator melakukan
pertemuan secara terpisah dengan korban dan pelaku sebagai perioritas utama
kehadirannya untuk menjelaskan proses yang akan dilaksanakan dan apa yang
menjadi tujuannya. Dalam praktik pelaksanaan circles semua peserta duduk
180
harapannya.
Diskusi
berlanjut
sampai
semua
yang
ingin
231
181
BAB III
KEBIJAKAN FORMULASI DAN APLIKASI
PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
182
183
b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni
pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal
(Criminal Policy).
c. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial
(Social Policy).
Selanjutnya menurut Muladi233, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai
dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti
sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural
(cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan
dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana
dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal
sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik
vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang
berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono
mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice Sistem.
233
184
setiap
instansi
tidak
terlalu
memperhatikan
efektivitas
185
3. Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan
kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan
Pidana.
Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas
memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula.
Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan
proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara
dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun
dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan
suatu open sistem, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya
akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)
dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem
Peradilan Pidana itu sendiri (subsistem of criminal justice sistem).
186
3.
4.
187
diambil
pihak
Kepolisian,
Kejaksaan,
Pengadilan
dan
Lembaga
188
peraturan yang berlaku. Walaupun dalam peradilan pidana itu harus dibangun
dari proses-proses sosial didalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana
dalam hal ini harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat ada sejumlah sistem dan subsistem yang dapat
mempengaruhi kehidupan manusia termasuk sistem peradilan pidana itu
sendiri. Dalam hal ini Jw LaPatra234 mengatakan:
Banyak sistem yang berada dalam bermasyarakat, yang mempunyai
suatu dampak pada perorangan sebelum ia mempunyai hubungan dengan
sistem peradilan pidana. Ia adalah pembawaan sejak lahir mental tertentu
adalah pisik kemampuan dan kecenderungan tertentu yang boleh menerima
warisan. Selama hidupnya ia datang dalam hubungan berbagai kelompok,
seperti keluarga. Peran penting yang mana dalam hidupnya yang lain sistem
ekonomi, teknologi politis dan bermasyarakat antar orang lain mempunyai
suatu substansial mempengaruhi pada hidupnya.
Menurut Lawrence Meir Fridman, bahwa sistem hukum itu harus
memenuhi: Struktut (stuccture), substansi (Subtance), dan Kultur Hukum
(Legal Culture) :
Pertama sistem hukum mempunyai stuktur, dalam hal ini sistem hukum
terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang
berbeda, dan bagian yang berubah tidak secepat bagian secepat bagian
tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan stuktur
sistem hukum, dengan kata lain adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang
234
J W LaPatra, Analizing The Criminal Justice Sistem, Lexington Books, Toronto, 1978, hlm 85.
189
tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan. Kedua, sistem hukum mempunyai substansi, yang dimaksud
dengan swustansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang
nyata dalam sistem hukum. Ketiga, sistem hukum mempunyai kultur (budaya
hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum,
didalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.
5. Masalah Pertimbangan Pidana dan Perlakuan Terhadap Anak dalam
Menjatuhkan Putusan Pidana di Pengadilan
Pemisahan sidang anak dan sidang yang mengadili perkara tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa memang mutlak adanya, karena
dengan dicampurnya peradilan anak dan dewasa tidak akan menjamin
terwujudnya kesejahteraan anak. Sejak adanya sangkaan atau diadakan
penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut,
anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang
anak dalam sidang.
Pembuatan laporan sosial yang dilakukan oleh social worker ini
merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah berjalan ialah
pembuatan Case Study oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan
dan Pengentasan Anak).
Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan si
anak, berupa :
1.
Masalah sosialnya ;
2.
Kepribadiannya;
190
3.
191
6.
a.
b.
c.
192
ketentuan pidana itu oleh para penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana
anak. Ternyata ketentuanketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah
dimasukan kedalam KUHP, sebagaimana diatur dalam PasalPasal 45, 46,
dan 47 KUHP. Sebelum lahir Undangundang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hukum pidana anak diatur dalam
KUHP hanya meliputti tiga Pasal tersebut diatas, sedangkan Undangundang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit sekali menyinggung tentang
anak, yaitu Pasal 153 (3), 153 (5), 171 sub a.235
Anak-anak memiliki hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional
semenjak tahun 1924 ketika Deklarasi tentang Hak-hak Anak Internasional
pertama diadopsi oleh liga bangsa-bangsa. Instumen-instrumen hak-hak azasi
berikutnya dari PBB, seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia
1948. Hak-hak ini berlaku bagi setiap orang termasuk anak-anak, dan
dikembangkan lebih jauh dalam kovenan internasional mengenai Hak-hak
Politik dan Hak-hak Sipil 1966. 236
Konvensi hak-hak anak dalam beberapa hal meningkatkan standar
internasional mengenai hak-hak anak. Konvensi ini menjelaskan dan
mengikat secara hukum beberapa hak-hak anak yang dicantumkan pada
instrumen-instrumen sebelumnya. Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan
baru yang berkaitan dengan anak, misalnya yang berkaitan dengan hak untuk
berpartisipasi, dan prinsip bahwa semua keputusan mengenai anak haruslah
235
236
Maidin Gultom, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2008, hlm. 8.
Muh. Ali Amran, Sinkronisasi Hukum Perlindungan Anak Nasional terhadap Standar
Internasional Perlindungan Anak, http://justitia1.wordpress.com/2010/10/17/sinkronisasihukum-nasional-terhadap-standar-internasional-perlindungan-anak/ diakses pada 8 Mei 2013.
193
kepentingan yang terbaik bagi anak yang diutamakan. Konvensi juga untuk
pertama kalinya membentuk suatu badan internasional yang bertanggung
jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni Komite Hakhak Anak (Commite of the Rights of Child).
Pengakuan hak-hak atas perlindungan tidak hanya terbatas pada
konvensi hak-hak anak. Ada sejumlah instrumen baik berupa instrumen PBB
maupun instrumen dari badan internasional lainnya, yang juga memasukkan
hak-hak ini. Instrumen-instrumen itu meliputi: 237
1.
2.
3.
4.
Ibid.
194
berlaku bagi anak, usia dewasa dicapai lebih awal. Ada beberapa hak dalam
konvensi yang berlaku bagi anak yang berusia di bawah 18 tahun yakni
meliputi pelarangan diberlakukannya hukuman mati, dan dalam protokol
pilihan konvensi tersebut terdapat pelarangan mengerahkan anak yang berusia
di bawah 18 tahun dalam angkatan bersenjata.
Instrumen internasional lainnya juga menggunakan 18 tahun sebagai
batasan untuk menentukan kapam seseorang kehilangan haknya atas
perlindungan khusus yang menjadi hak seorang anak. Lebih jauh UNICEF
dan organisasi internasional utama menggunakan usia 18 tahun sebagai batas
pasti untuk bekerja. 238
Keseluruhan hal-hal yang menjadi perlindungan anak di dalam
konvensi-konvensi internasional adalah:
1.
2.
Perdagangan anak;
3.
4.
238
Ibid.
5.
6.
7.
8.
Hak berkedudukan;
195
9.
2.
3.
4.
196
Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh
Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana. 239
Tahun 1979 bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-20 Deklarasi
Hak-Hak Anak dicanangkan sebagai Tahun Anak Internasional, Pemerintah
Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan
standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat
secara yuridis. Indonesia menyambut baik resolusi tersebut dengan
melahirkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. 240
Lahirnya Undangundang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak
nakal, selain itu undangundang ini ditujukan untuk memperbaiki hukum
pidana anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik
dan bekualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak
dimasa yang akan datang. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis
maupun filofofis dibentuknya undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi
penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi
pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan
pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya,
serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka dan bangsa di masa depan. Termasuk, munculnya fenomena
239
240
Roeslan Saleh, Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,hlm. 34.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009,hlm. 72.
197
hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun masyarakat.
Menurut Soedarto pemidanaan anak meliputi segala aktifitas
pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak.
Menurut analisis sejarah Eropa dan Amerika, ikut campurnya pengadilan
dalam kehidupan anak dan keluarga ditujukan kepada menanggulangi
keadaan buruk, seperti kriminalitas anak dan terlantarnya anak. 241
Peradilan pidana anak meliputi:
(1) sebelum sidang peradilan;
(2) selama pada saat sidang peradilan;
(3) setelah sidang peradilan.
Perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar anak
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi.
Perwujudannya
berupa
pembinaan,
pembimbingan,
pendampingan,
Made Sadhi Astuti, Pemidanaan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana, IKIP, Malang,
1997. hlm. 64.
198
1.
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat
menurut
peraturan
perundang-undangan
maupun
menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
199
200
1.
2.
3.
4.
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok
dan pidana tambahan.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
Masa penahanan terhadap anak yang melakukan tindak pidana lebih
201
202
Ibid.
Marlina, Op. Cit., hlm. 82.
203
Teori dalam pemidanaan, biasanya digunakan berbagai macam teori. Dari mulai
teori pembalasan, teori tujuan sampai ke teori gabungan. Pertama, dalam teori
pemidanaan dikenal Teori absolut, atau teori retributif, atau teori pembalasan
(vergerldingstheorien). Menurut teori ini, pidana dimaksudkan untuk membalas
tindakan pidana yang dilakukan seseorang. Jadi, pidana dalam teori ini hanya
untuk pidana itu sendiri. Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan mempunyai
pengikut-pengikutnya dengan jalan pikirannya masing-masing, seperti: Imanuel
Kant, Hegel, Herberet, dan Sthal.
Pada dasarnya aliran teori ini dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya
ditujukan pada kesalahan pembuat karena tercela. Dan corak objektif yang
pembalasannya dilakukan oleh orang yang bersangkutan. 244
Paul Moedikno (dalam Romli Atmasasmita) sebagaimana dikutip Setiady Tolib,
memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile Deliquency, yaitu sebagai
berikut :
a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh
hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, mambunuh dan sebagainya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
244
Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976. Hlm: 27-28.
204
batas
usia
pertanggungjawaban
pidana
(criminal
liability
245
205
Dengan melihat berbagai ketentuan batas usia minimum baik yang berlaku di
beberapa negara maupun pedoman sebagaimana diatur dalam instrumen
internasional;5 mengingat pula kondisi objektif negara Indonesia yang tergolong
sebagai negara berkembang, maka perkembangan masyarakat pada umumnya baik
di bidang sosial, politik, maupun ekonomi, relatif masih terbelakang. Baik secara
langsung maupun tidak, hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbu-han
dan perkembangan anak pada umumnya. Oleh karena itu, batas usia minimum 8
(delapan) tahun bagi anak yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana
dirasakan masih terlalu rendah. Dengan demikian, penentuan batas usia yang
terlalu rendah tidak sejalan dengan hakikat memberikan perlindungan terhadap
anak. Begitu juga hak anak untuk memperoleh perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang dapat
pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, tidak berjalan dengan baik, sesuai dengan apa
yang diharapkan.246
Di lihat dari aspek perkembangan psikologis, sebagaimana diungkapkan para ahli,
pada umumnya telah membedakan tahap perkembangan antara anak dan
remaja/pemuda secara global masa remaja/pemuda berlangsung antara usia 12
sampai 21 tahun. E.J. Monks dan kawan-kawan mengungkapkan dalam bukubuku Angelsaksis, istilah pemuda (youth), yaitu suatu masa peralihan antara masa
246
Article 3 Konvensi Hak-hak Anak (IRC), menyatakan bahwa: In all actions concerning
children, whether undertaken by public or privat social welfare institutions, courts of law,
administrative authorities or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary
consideration.
206
remaja dan masa dewasa. Dipisahkan pula antara adolesensi usia antara 12 sampai
18 tahun, dan masa pemuda usia antara 19 sampai 24 tahun. 247
Begitu juga pendapat Kartini Kartono,248 ia mengatakan bahwa seseorang baru
memiliki sikap yang logis dan rasional kelak ketika mencapai usia 13-14 tahun.
Pada usia ini emosionalitas anak jadi semakin berkurang, sedangkan unsur
intelektual dan akal budi (rasio pikir) jadi semakin menonjol. Minat yang objektif
terhadap dunia sekitar menjadi semakin besar. Namun demikian, ia juga
mengatakan bahwa pada masa ini anak tidak lagi banyak dikuasai oleh
dorongandorongan endogen atau impuls-impuls intern dalam perbuatan dan
pikirannya akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh stimulus-stimulus dari luar.
Menyangkut perkembangan fungsi pengarnatan anak, Willimni Stern dalam
teorinya mengungkapkan empat stadium dalam pcrkern bangan fungsi
pengamatan anak, yaitu:
1) Stadium-keadaan, 0-8 tahun. Di samping mendapatkan gambararl total yang
samar-samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa orang secara
teliti;
2) Stadium-perbuatan, 8-9 tahun. Anak menaruh terhadap pekerjaan dan
perbuatan orang dewasa serta tingkah laku binatang;
3) Stadium-hubungan, 9-10 tahun dan selanjutnya. Anak mengamati
relasi/hubungan dalam dimensi ruang dan waktu; juga hubungan kausal dari
benda-benda dan peristiwa;
247
248
Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa:
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 135
207
249
208
209
250
210
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. 251 Penyidikan yang
dilakukan oleh pejabat kepolisian negara RI bertujuan untuk mengumpulkan
bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan
peristiwa pidana, dengan penyidikan juga diajukan untuk menemukan
pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan
penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP) yang berlaku
sejak tanggal 31 Desember 1981 dimuat dalam Lembaran Negara No. 76
Tahun 1981 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yang diundangkan sejak tanggal 3 Januari 1997 termuat dalam Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 3. Polisi dalam melakukan penyelidikan
terhadap anak pelaku tindak pidana harus memperhatikan berbagai ketentuan
mengenai upaya penanganan anak mulai dari penangkapan sampai proses
penempatan. Berikut penjelasan prosedur yang dilakukan untuk anak pelaku
tindak pidana, yaitu :
a. Penangkapan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang b Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, mengatur wewenang polisi dalam melakukan
penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut
251
211
b.
252
253
Apong Herlina et al.,Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku
Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004. Hlm. 34.
Baca b Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 19.
212
c.
d.
e.
f.
akan
dibawanya
seumur
hidup.
Untuk
itu
polisi
yang
melakukan
penangkapan
tidak
boleh
213
214
215
mudah
dimengerti,
baik
oleh
anak
yang
bersangkutan
maupun
sebelum
wawancara
dimulai,
selanjutnya
polisi
juga
216
anak membuat rasa trauma pada diri anak di masa depan. Oleh karena itu,
polisi dalam melakukan pemeriksaan mengupayakan terciptanya suasana
yang akrab di antara penyidik yang sedang mewawancarai dan anak yang
sedang diperiksa.
Polisi berusaha tidak melakukan hal-hal yang membentuk tingkah laku
anti sosial pada anak sehingga anak-anak putus asa menghadapi masalahnya
yang menyebabkan rasa kehilangan masa depan. Justru sebaiknya penyidik
dan pendamping memberikan motivasi guna membangun rasa percaya anak.
Selain itu, upaya lain dalam membangun rasa percaya anak dengan sikap
peka pada kebutuhan anak dan berusaha mempermudah anak mendapatkan
informasi.
Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang polisi dalam
melakukan penyidikan terhadap anak, yaitu :
a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhadap anak.
Hal ini dapat menimbulkan trauma pada anak.
b. Memberi label buruk pada anak, seperti pencuri, maling,
pembohong, dan lain-lain.
c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam
melakukan wawancara terhadap anak.
d. Penyidik tidak boleh melakukan kekuatan badan atau fisik atau
perlakuan kasar lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan
pada anak.
217
254
255
256
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan yang merugikannya, Pasal 1 ayat (2)5 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh orang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Pasal 1 ayat (2)4Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana,
atau dengan segera setelah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian
padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
membantu melakukan tindak pidana itu. Pasal 1 ayat (1)9 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang b Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
218
257
258
259
Pasal 5 KUHAP.
Pasal 16 ayat (1) KUHAP.
Pasal 1 Ayat 3 KUHAP
219
Ibid., Pasal 7.
Baca ketentuan Pasal 75 KUHAP.
220
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, jika penuntut umum
mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi sesuai dengan Pasal 110
ayat 3 KUHAP. Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana
sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib
memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan
hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat
hukum sesuai dengan Pasal 114 KUHAP.
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan penyelidikan dan
penyidikan melakukan serangkaian tindakan untuk kepentingan penyidikan
yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan
pemeriksaan surat.
Hasil penelitian menunjukkan 25 orang (69.5%) informasi yang terdiri
dari kepolisian, jaksa, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, masyarakat dan
lembaga swadaya berpendapat terhadap anak pelaku tindak pidana ditangkap;
sisanya 11 orang (20.5%) berpendapat anak tidak ditahan.
Adapun yang menjadi alasan penangkapan terhadap anak pelaku tindak
pidana. Pertama, khawatir anak akan melarikan diri. Kedua, anak akan
menghilangkan barang bukti. Ketiga, demi keselamatan anak dan kemudahan
dalam melakukan proses penyelidikan.
Penangkapan yang disusul dengan penahanan tidak hanya terjadi dalam
proses peradilan pidana anak di Indonesia, akan tetapi tindakan tersebut juga
terjadi di negara lain seperti di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat menurut
penelitian yang dilakukan oleh Richard D. Schwartz, dikatakan bahwa
221
263
264
Richard D. Schwartz dan Jerome H. Ckolnick, Two Studies of Legal Stigma, Social Problems,
dalam tulisan Irving Piliavin dan Scott Briar, Police Encouters with Jubeniles, dalam buku
Rose Giallombardo, Juvenile Deliquency a Book of Readings, John Wiley and Sons, Inc.,
Canada 1971, Hlm. 371.
Rose Giallombardo, Juvenile Deliquency a Book of Readings, John Wiley and Sons, Inc.,
Canada 1971, Hlm. 371.
Ibid.
222
266
Linda Hancock, Police, Youth and Violence, dalam buku Joy Wundersitz et al., Juvenile Justice
Debating the Issues, Allen & Unwin Pty Ltd., Australia 1993, hlm. 91.
Linda Hancock, Op.Cit.,hlm. 92.
223
224
225
Butir 7 The Beijing Rules menjelaskan hak dasar yang harus diberikan
kepada anak pelaku tindak pidana adalah praduga tak bersalah, hak untuk
tetap diam, hak akan pengacara, hak akan kehadiran orang tua/wali, hak
untuk dihadapkan para saksi yang memberatkan dan meringankan, dan hak
untuk naik banding. Dengan mengacu pada ketentuan butir 7 Beijing Rules
bahwa anak mempunyai hak-hak praduga tak bersalah, artinya selama belum
ada kekuatan hukum yang tetap tentang tindak pidana yang dilakukan maka
seorang tidak dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang
dilakukannya.
Dalam menangani kasus anak, polisi harus melakukan pertimbangan
yang matang untuk menahan seorang anak yang menurut penyidikan awal
sebagai tersangka pelaku tindak pidana. Polisi dapat melakukan tindakan
penyidikan tanpa harus melakukan penahanan kepada seorang anak dengan
melakukan pengawasan terhadap anak dan mewajibkan anak untuk
melaporkan diri secara berkala kepada aparat kepolisian selama penyidikan
dilakukan terhadap dirinya. Polisi dapat merujuk kasus anak kepada pilarpilar lain dalam sistem peradilan anak sehingga berbagai intervensi terhadap
kasus anak dapat segera dilaksanakan. Upaya penghindaran penahanan
terhadap anak dapat dilakukan dengan tetap memberikan kebebasan terhadap
anak dalam pengawasan orang tuanya atau orang lain yang tepat dan
bertanggung jawab, seperti polisi, penuntut umum, pengadilan, balai
pemasyarakatan, depsos, dan lain-lain. Pengawasan yang diberikan terhadap
anak dilakukan untuk menjamin bahwa anak yang berada dalam penyidikan
226
yang dibebaskan tanpa penahanan tidak sekedar terlepas dari penahanan saja,
akan tetapi mendapat pembinaan dan pengawasan serta perlindungan dari
tindakan korban atau keluarga korban.
Undang-Undang nasional memberikan peluang dilakukan penahanan
terhadap anak pelaku tindak pidana. Pasal
227
diambil
untuk
mengadakan
persiapan
bagi
program-program
228
229
hukum dan mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini seperti
penetapan hakim. Jika terdakwa meminta kepada penuntut umum untuk
dilakukan penangguhan penahanan dengan atau tanpa syarat jaminan uang
atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan, maka penuntut dapat
melakukan penangguhan penahanan.
Dalam keadaan yang dibutuhkan untuk kepentingan penuntutan,
penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
Penahanan tersebut dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari. Jika dalam
jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai, penuntut umum meminta
untuk dapat memperpanjang penahanan oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari. Dalam waktu 25 (dua
puluh lima) hari, penuntut umum harus melimpahkan berkas perkara anak
kepada pengadilan negari. Jika dalam jangka waktu tersebut berkas perkara
belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan
dari tahanan demi hukum.
Setelah penuntutan, dilanjutkan ke tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan yang menghadirkan semua pihak yang terkait seperti terdakwa,
saksi, pembela, hakim dan semua berkas yang diperlukan.
Penuntutan dikaitkan dengan prapenuntutan terlihat adanya hubungan
yang erat antara jaksa penuntut umum dengan pihak penyidik dalam
penanganan kasus pidana. Jaksa penuntut umum berwenang mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik dengan tujuan penyempurnaan penyidikan
230
231
berkas perkara, barang bukti dan terdakwa. Tanpa ada penyerahan tahap
kedua tidak mungkin perkara bisa dihentikan penuntutannya. Hal yang
menjadi persoalan mengenai kalimat pembertahuan hasil penyidikan sudah
lengkap, kalimat ini menimbulkan persoalan seharusnya diganti dengan
pembertahuan hasil penyidikan sudah maksimum karena dalam praktiknya
tidak semua hasil penyidikan yang sudah dinyatakan jaksa lengkap telah
memenuhi unsur-unsur yang didakwakan. Meskipun pada umumnya hasil
penyidikan yang sudah dinyatakan jaksa penuntut umum lengkap, telah
memenuhi unsur-unsur yang didakwakan dan bisa dilimpahkan, akan tetapi
dalam pelaksanaannya terkadang hasil penyidikan sudah maksimum dan
jaksa penuntut umum telah mengirimkan petunjuk-petunjuk kepada penyidik
untuk melengkapinya akan tetapi tidak ditemukan unsur-unsurnya. Bilamana
dari hasil penyidikan berkas perkara sesuai dengan Pasal 139 KUHAP dan
Pasal 140 KUHAP, jaksa penuntut umum berpendapat tidak cukup unsur
(bukti) atau kadaluarsa maka penuntut umum menghentikan penuntutan dan
menuangkan dalam surat ketetapan. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut
disimpulkan bahwa hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh jaksa
penuntut umum bukan selamanya mengadung arti bahwa perkara harus
dimajukan atau dilimpahkan ke persidangan; tetapi sekalipun dinyatakan hasil
penyidikan
sudah
lengkap
ada
kemungkinan
perkara
dihentikan
232
dihentikan
penuntutannya
demi
kepentingan
hukum
mengandung arti agar kepastian hukum dan wibawa hukum terjamin. Perkara
yang sejak awal sudah diketahui oleh jaksa penuntut umum, berdasarkan
berkas perkara tidak cukup bukti atau perkara bukan merupakan tindak
pidana dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sudah dapat
diperkirakan putusan yang akan dijatuhkan hakim adalah putusan bebas
murni. Putusan bebas murni sudah tentu menyangkut kepentingan hukum,
oleh karena itu untuk apa dimajukan ke persidangan kalau sejak awal sudah
dapat diperkirakan bahwa putusan bebas. Untuk menjaga kemurnian hukum
itu agar jaksa penuntut umum dan penyidik tidak sewenang-wenang
melakukan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, maka
kepada pihak ketiga yang berkepentingan diberikan hak untuk mengajukan
praperadilan terhadap penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
tujuannya adalah bahwa tindakan penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan benar demi kepentingan hukum belaka.
Berdasarkan saran-saran, Kajari mengajukan permohonan kepada Jaksa
Agung RI agar Jaksa Agung RI menyampingkan perkara tersebut. Tindakan
penyampingan perkara demi kepentingan hukum harus benar-benar demi
kepentingan hukum. Hal ini berarti bahwa tidak dituntutnya seseorang anak
233
234
untuk
memikirkan
kembali
tentang
kondisi
kejiwaan
dan
235
236
237
yang ada. Hakim akan memutuskan pidana penjara terhadap seorang anak
seringan-ringannya adalah 4 (empat) bulan, dipotong masa tahanan 3 (tiga)
bulan, jadi anak akan menjalankan pidana penjaranya tinggal 1 (satu) bulan
lagi.
tersebut
belum
sepenuhnya
dapat
dilaksanakan
karena
238
lembaga
pemasyarakatan
anak
bukan
sebagai
subjek
239
dipidana, angka tertinggi terlihat dengan usia 21 (dua puluh satu) tahun ke
depan, yaitu mencapai 70%. Lebih tegas lagi Jackson mengatakan bahwa
reconviction rate menjadi tinggi lagi setelah seseorang dijatuhi pidana penjara
dibanding bukan pidana penjara.267
267
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung 1992, hlm. 43.
BAB IV
ANALIS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
240
241
242
formal,
manusiawi,
memproses
243
273
274
244
yaitu:
kepolisian,
kejaksaan,
275
276
277
278
245
institusional/kelembagaan,
tatakerja/manajemen,
kualitas
kualitas
sarana/prasarana,
mekanisme
kualitas
dan
substansi,
279
280
281
246
kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang
bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan
pelaksanaan pidana. 282
Karena itu tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai:
a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c) mengusakan agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.283
282
283
Ibid., hlm.21-22.
Ibid., hlm. 84-85.
247
biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak
sebanding, yaitu biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang
diharapkan lebih kecil. 284 Proses perkara pidana dengan cepat, sederhana dan
biaya murah dapat diwujudkan dengan bantuan sarana penunjang yang
berupa:
a. kerjasama yang koordinatif dan tindakan yang sinkron di antara para
petugas;
b. membentuk badan koordinasi yang bersifat fungsional untuk
pengawasan;
c. proses verbal interogasi dan surat tuduhan disusun dengan singkat dan
mudah dimengerti;
d. meningkatkan diferensiasi jenis kejahatan atau perkara disertai
intensifikasi pembidangan tugas penyelesaian perkara. 285
Kerjasama yang koordinatif dan tindakan yang sinkron di antara
petugas-petugas
yang
bersangkutan
dalam
pemeriksaan
permulaan
248
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman,
yang
Peradilan Umum;
Peradilan Agama;
Peradilan Militer;
Peradilan Tata Usaha Negara.
badan
peradilan,
karena
suatu
badan
peradilan
fungsinya
menyelenggarakan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkaraperkara yang diajukan kepadanya. Dalam lingkungan badan peradilan tidak
ditutup kemungkinan adanya pengkhususan, misalnya dalam peradilan
umum, berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan
Ekonomi Niaga, Pengadilan HAM, dan sebagainya yang diatur oleh undangundang. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice Sistem) berbeda
dengan Sistem peradilan Pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi.
Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara pidana yang menyangkut anak. Menekankan atau memusatkan pada
kepentingan anak harus merupakan pusat perhatian dalam pemeriksaan
perkara pidana anak. Soedarto mengatakan bahwa peradilan anak meliputi
segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut
kepentingan anak. 287Encyclopedia Americana menyebutkan bahwa peradilan
anak adalah pusat dari mekanisme perlakuan bagi penjahat-penjahat muda,
287
Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 14.
249
2.
Ibid., hlm. 6.
M. Yahya Harahap, Pembahasan
PustakaKartini,Jakarta, 1993, hlm.5-6.
Permasalahan
dan
Penerapan
KUHAP,
250
HAM, pemaksaan, penganiayaan dan sikap acuh tak acuh. Hal ini
mengindikasikan seolah-olah hukum di Indonesia hanya menggilas tersangka
atau terdakwa yang miskin dan lemah, tapi sebaliknya hukum dan penegakan
hukum itu diatur oleh mereka yang kaya atau law grind the poor and rich
men rule the law, atau hukum dan penegakan hukum seolah-olah sarang labalaba yang hanya mampu menjerat kaum yang lemah akan tetapi dengan
mudah dihancurkan oleh yang kuat.
Ani Abas Manopo menegaskan beberapa prinsip dan hak yang penting
ditegakkan dalam proses peradilan pidana Indonesia, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
asas legalitas;
asas praduga tak bersalah;
hak-hak dalam penangkapan dan pendakwaan;
hak-hak dalam penahanan sementara;
hak minimal tersangka/ terdakwa dalam mempersiapkan pembelaan;
hak-hak dalam pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang;
perlunya pengadilan yang bebas dan cara menyelenggarakan peradilan
di muka umum; dan
banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan. 290
Sehubungan dengan hal ini Steenhuis juga mengemukakan bahwa bila
e.
290
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994, hlm. 27 .
251
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
291
292
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
252
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara
yang diatur dengan undang-undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yane diterapkan, wajib
diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan, dan para
pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan
atau dikenakan hukuman administrasi;
5. Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak, diterapkan secara konsekuen dalam
semua tingkat peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya, termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang,
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan. 293
Arti peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan
hukum/peraturan perundang-undangan formal. Dalam pengertian peradilan
yang adil ini, terkandung penghargaan hak kemerdekaan seorang warga
negara. Keadilan adalah suatu kondisi di mana setiap orang dapat
melaksanakan hak dan kewajiban secara rasional, bertanggung jawab dan
bermanfaat.294 Hal ini sesuai dengan Alinea I Pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Meskipun
293
294
253
254
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
rehabilitasi
sosial.
Dalam
255
299
256
yang
mengatur
tentang
pengkhususan
(diferensiasi/spesialisasi)
dalam
masing-masing
257
258
diajukan
kepadanya.
Setelah
itu
mempertimbangkan
dengan
259
hukum itu adalah melalui Peradilan Anak sebagai suatu usaha perlindungan
anak untuk mendidik anak tanpa mengabaikan tegaknya keadilan. Peradilan
anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan
memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan
perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Perlindungan terhadap
kepentingan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan
pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosialisasi menjadi landasan
peradilan anak.
Pasal 1 butir 1 a UU No.4 Tahun 1979 menentukan :
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan
tugas pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya
mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa
depan anak merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak.
Filsafat Peradilan Pidana Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak,
sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan Anak dengan UndangUndang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 Tahun 1979). Peradilan Pidana Anak
hendaknya memberi pengayoman bimbingan, pendidikan melalui putusan
yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam Peradilan Pidana Anak
ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan,
keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan
dan sebagainya. Mewujudkan halini perlu ada hukum yang melandasi,
260
hanya dapat
261
300
pendahuluan
mengenai
unsur-unsur
tindak
pidana
yang
262
Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Pengadilan Anak); Orang yang dapat disidangkan dalam acara
pengadilan anak ditentukan secara liminatif, yaitu minimum berumur 8
263
264
dengan masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tentu
memberikan perlindungan terhadap anak, sebab dengan penahanan
yang tidak begitu lama, tidak akan berpengaruh besar terhadap
perkembangan fisik, mental dan sosial anak.
12. Hukum lebih ringan; Hukuman yang dijatuhkan terhadap Anak Nakal
(Pasal 22-32 UU No. 3 Tahun 1997), lebih ringan dari ketentuan yang
diatur dalam KUUHP. Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah
10 (sepuluh) tahun. Hal ini juga bila ditinjau dari aspek perlindungan
anak, bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, telah
mencerminkan perlindungan terhadap anak. Hakim Pengadilan Anak
harus dengan jeli mempertimbangkan dan memahami bahwa
penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum
remediun/ the last resort).
265
bahwa Pemerintah
telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaruan undangundang atau substansi hukum (legal substance reform), tetapi juga yang
lebih diharapkan lagi adalah terciptanya pembaruan struktur hukum
(legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal culture
reform) yang termasuk di dalamnya juga pembaharuan etika hukum dan
ilmu/pendidikan hukum (legal ethic and legal science/education
reform).301
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak terdapat perubahan-perubahan dibandingkan
dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
diantaranya :
a) Definisi anak
b) Lembaga-lembaga anak
c) Asas-asas
d) Sanksi pidana
a)
Definisi Anak
301
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010. Hlm.6
266
1.
Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2.
Anak Nakal
Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
3.
2.
267
4.
b)
Lembaga-Lembaga Anak
268
2.
3.
c)
Asas-Asas
menyebut secara khusus bahwa pengadilan anak didasarkan atas asasasas apa saja, tetapi dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 yang
berbunyi:
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
pelindungan;
b.
keadilan;
c.
nondiskriminasi;
d.
kepentingan terbaik bagi Anak;
e.
penghargaan terhadap pendapat Anak;
f.
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g.
pembinaan dan pembimbingan Anak;
h.
proporsional;
i.
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir; dan
j.
penghindaran pembalasan.
269
2 adalah demi
d)
Sanksi Pidana
a.
b.
c.
d.
Undang-undang No. 3
Tahun 1997
Undang-undang
No. 11 Tahun 2012
Pidana Pokok
Pidana Pokok
pidana penjara;
pidana kurungan;
pidana denda; atau
pidana pengawasan.
a.
b.
c.
d.
e.
Pidana Tambahan
a. perampasan barang-barang
tertentu dan atau
b. pembayaran ganti rugi.
pidana peringatan;
pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar
lembaga;
2) pelayanan
masyarakat;atau
3) pengawasan.
pelatihan kerja;
pembinaan dalam
lembaga; dan
penjara.
Pidana Tambahan
a.
b.
perampasan
keuntungan yang
diperoleh dari tindak
pidana; atau
pemenuhan kewajiban
adat.
270
penangkapan,
dan
uraian
singkat
perkara
kejahatan
yang
271
272
273
dari
segi
kepentingan
anak,
seperti pertumbuhan
dan
itu
274
merugikan anak.
secara
tepat.
Mereka
masih
menganggap
bahwa
dasar
275
dilibatkan
Balai
Pemasyarakatan
yang
melakukan
penelitian
Anak
dikhawatirkan
dapat
menularkan
pengalaman-
276
mentalnya.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
dalam
penahanan.
Penyidikan
adalah
serangkaian
melakukan
tindakan
277
mencintai anak dan berdedikasi, dapat menyilami jiwa anak dan mengerti
kemauan anak.
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
(Pasal 12 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997). Ketentuan ini menghendaki bahwa
pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik.
Efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama,
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak
tersangka
memberikan
keterangan
yang
sejelas-jelasnya.
Simpatik
maksudnya pada waktu pemeriksaan penyidik bersifat sopan dan ramah serta
tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya ialah agar pemeriksaan berjalan
dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi
Penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan keterangan yang
benar dan sejelas-jelasnya. Pada waktu memeriksa tersangka Penyidik tidak
memakai pakaian seragam. Jadi melakukan pendekatan secara simpatik, serta
tidak melakukan pemaksaan, intimidasi, yang bisa menimbulkan ketakutan
atau trauma pada. Penyidikan merupakan salah satu dari tindakan
pemeriksaan pendahuluan menurut KUHAP. Tahap ini tidak saja merupakan
dasar bagi pemeriksaan di muka pengadilan tetapi juga pencerminan tindakan
Kepolisian (Penyelidik, Penyidik dan Penyidik Pembantu) terhadap
tersangka/terdakwa, yang merupakan ukuran perlindungan HAM dan
penegak hukum.
Ketentuan Pasal 42 ayat (1) ini mencerminkan perlindungan hukum
terhadap anak apabila dilakukan oleh penyidik sebagaimana mestinya.
278
279
terkait dalam proses tata peradilan dengan harapan untuk memperoleh hasil
yang baik. Penelitian kemasyarakatan terhadap anak perlu dilakukan,
sehingga keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif baik
bagi Anak Nakal maupun terhadap pihak yang dirugikan serta untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Penelitian kemasyarakatan terhadap Anak
Nakal bertujuan agar hasil pemeriksaan sesuai dengan keadaan yang
sebenamya. Berdasarkan Laporan Penelitian Kemasyarakatan, Penyidik Anak
dapat mempertimbangkan berkas perkara/Berita Acara pemeriksaan (BAP)
diteruskan
kepada
pihak
kejaksaan
atau
tidak.
Dalam
penelitian
penyidikan
dengan
membuat
Laporan
Penelitian
280
281
dilakukan secara
rahasia
agar
perkembangan fisik, mental dan sosial anak tidak terhambat atau terganggu,
sebab secara fisik, mental dan sosial, anak masih lemah sehingga diperlukan
kehati-hatian dalam penanganannya.
Perkara Anak Nakal dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah
perkara Anak Nakal yang berumur minimal 8 (delapan) tahun dan maksimum
belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan yang belum pernah
kawin. Namun Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 masih memungkinkan
dilakukan penyidikan anak yang berumur di bawah 8 (delapan) tahun, pada
hal berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang
belum berumur 8 (delapan) tahun yang diduga melakukan kenakalan adalah
untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana
seorang diri atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan
melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain, yang dalam hal
ini yang berumur 8 (delapan) tahun ke atas dan atau dengan orang dewasa.
Apabila anak yang bermur 8 (delapan) tahun melakukan tindak pidana
dengan yang berumur 8 (delapan) tahun, maka penyidikannya dilakukan lebih
lanjut. Apabila anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan
orang dewasa, maka penyidikannya terpisahdengan anak, dan berkasnya
282
283
anak yang berumur di bawah 8 (delapan) tahun yang diduga keras melakukan
tindak pidana tidak ditahan oleh Penyidik.
Pasal 5 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa bila menurut
hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat
dibina oleh orang tua/wali/orang tua asuhnya, maka Penyidik mengembalikan
anak tersebut kepada orang tua/wali/orang tua asuhnya untuk dibina. Menurut
peneliti hal ini wajar dan logis sebab anak yang belum berumur 8 (delapan)
tahun bahkan anak yang umurnya 8 (delapan) tahun atau lebih, lebih baik
dibina kembali oleh orang tua/wali/orang tua asuhnya, sebab merekalah yang
mengetahui karakter anak tersebut. Keputusan pengembalian anak kepada
orang tua/wali/orang tua asuhnya dilakukan oleh Penyidik dengan terlebih
dahulu
mendengar
pembimbing
pertimbangan-pertimbangan
Kemasyarakatan
yang
telah
yang
diberikan
melakukan
oleh
penelitian
dan
atau
pertimbangan
pertimbangan-pertimbangan
kriminolog,
pertimbangan-pertimbangan
kemasyarakatan
ahli-ahli
psikolog.
yang
lainnya,
Menurut
diberikan
seperti
peneliti
oleh
284
peneliti
kemasyarakatan tidak
mungkin
menjerumuskan anak
yang
bersangkutan ke keadaan/nasib yang lebih buruk, tetapi dengan sungguhsungguh memperhatikan pembinaan anak demi kepentingan kesejahteraan
anak yang bersangkutan.
c. Syarat Melakukan Penyidikan Anak
Penyidik membuat laporan mengenai kasus anak, sebab-sebab
melakukan kenakalan, latar belakangnya, dengan cara wawancara secara
sabar dan halus. Harus dijauhkan tindakan kekerasan atau penyiksaan,
tindakan yang sifatnya sugestif dengan tekanan-tekanan. Diciptakan suasana
sedemikian rupa agar anak merasa aman, tidak takut sehingga anak dengan
lancar memberikan jawaban-jawaban, mengerti dan menghayati yang telah
dilakukan. Dalam proses penyidikan anak harus dihindarkan hal-hal yang
dapat merugikan anak. Dalam penyidikan dihindarkan gertakan-gertakan,
kekerasan fisik dan sebagainya. Orang tuanya mendampingi dan ikut
menginsyafi kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan kewajibannya
kepada anaknya dan dapat berjanji untuk memperbaikinya Polisi lain yang
tidak ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut, tidak ikut menginterview
supaya tidak membingungkan anak dan orang tua/wali/orang tua asuhnya.
Laporan interview tersebut dilengkapi dengan penyelidikan terhadap orang
tua/walinya/orang tua asuhnya tentang keadaan kehidupannya sehan-hari,
keadaan anak di sekolah, keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi jiwa
dan kehidupan anak, sehingga merupakan laporan yang komplit yang
diajukan ke Jaksa untuk dibahas, diteliti, dan diajukan ke sidang pengadilan.
285
Jika kasus anak tidak begitu berat, maka disarankan supaya Penyidik
menangani sendiri dan anak cukup diberi teguran, nasihat dan lain-lain dan
orang tua/wali/orang tua asuhnya berjanji untuk mendidiknya dengan baik.
Jika diperlukan penahanan, dipisahkan dari orang dewasa dan Rutan (Rumah
Tahanan Negara) merupakan tempat pengamatan (observation home atau
remand home). Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir atas dasar
pertimbangan kepentingan anak.
Diversi (pengalihan) suatu mekanisme yang memungkinkan anak
dialihkan dari proses pelayanan sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak
dalam proses peradilan sebetulnya telah mengalami proses stigmatisasi.
Penerapan mekanisme ini di semua tingkatan pemeriksaan akan sangat
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan itu.
Menurut
yang
286
yang
merupakan
kompetensi
penyidik,
termasuk
287
segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada
tersangka dan masyarakat; b. Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan
tuntutan ganti kerugian, kalau perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup
bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya
memberi hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian
berdasar Pasal 95 KUHAP.
Dalam menghentikan penyidikan, ada beberapa alasan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
a. Tidak diperoleh bukti yang cukup; Seringkali penyidik tidak
memperhatikan atau mengabaikan kekuatan bukti-bukti yang
mendukung perkara yang ditangani dan diajukan ke penuntut umum
tanpa bukti yang cukup. Mengajukan bukti perkara dengan sekedarnya
akan menyulitkan menegakkan keadilan.
b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; Jika
memang kasus hukum yang disangkakan bukan termasuk perkara
pidana materiil (sebagaimana yang diatur oleh KUHP atau peraturan
hukum pidana khusus lainnya) yang jelas normatifnya termasuk perkara
hukum perdata, maka sudah seharusnya jika pemeriksaan perkara itu
dihentikan;
c. Penghentian penyidikan demi hukum; Kepentingan hukum harus
memperoleh perhatian dalam praktik beracara pidana, artinya hak-hak
seseorang yang terkait dengan kasus hukum tidak boleh dimarginalkan.
Penghentian atas dalih demi hukum pada pokoknya sesuai dengan
alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan
pidana. Menegakkan asas nebis in idem (seseorang tidak boleh dituntut
untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama), terhadap suatu
perkara seseorang sudah pernah diadili dan telah diputus perkaranya
oleh hakim atau pengadilan yang berwenang, dan putusan itu telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila tersangka meninggal
dunia, maka perkaranya harus dihentikan dan lain-lain alasan
penghentian penyidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan penghentian penyidikan
adalah: delik yang terjadi adalah delik aduan yang dapat dilakukan
pencabutannya; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
288
anak masih sekolah dan masih dapat dibina oleh orang tuanya sehingga anak
tersebut dikembalikan kepada orang tuanya dan kasusnya tidak dilimpahkan
ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke persidangan. Penghentian
penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak Anak Nakal
dengan korban. Menurut peneliti hai ini merupakan penyimpangan, karena
perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana. Seyogianya penghentian
pendikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak terlepas dan ada
perdamaian atau tidak. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut teryata masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi. Setelah Penyidik menerima berkas perkara tersebut, Penyidik
wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo l4 (empat belas)
hari setelah pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum, Penyidik
sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan (disempurnakan) dan
diserahkan lagi kepada Penuntut Umum Pasal 110 ayat ( 1 ) KUHAP).
Penyidikan
dianggap
selesai
dan
lengkap
apabila
telah
ada
289
dalam
melakukan
penyidikan
anak
pada
menentukan bahwa Anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pemah kawin. Menurut peneliti apabila pemahaman
290
UU No. 3 Tahun 1997 dan peraturan lain, yang berkaitan dengan Peradilan
Pidana Anak tidak benar, maka penerapannya dalam melakukan tindakantindakan yang berkaitan dengan penyidikan juga tidak benar, dan hal ini
sangat merugikan anak atau menjadikan anak sebagai korban ketidaktahuan
penyidik. Sumber daya manusia penyidik perlu ditingkatkan melalui
pendidikan/studi lanjut, melalui penataran-penataran/seminar atau lokakarya
yang berkaitan dengan peradilan anak dan yang berkaitan dengan
perlindungan anak.
e. Hak-hak Tersangka
Hak-hak tersangka meliputi: Hak untuk mendapatkan surat perintah
penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim (Pasal 21 ayat(2)
KUHAP. Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau
penahanan lanjutan atau penerapan Hakim (Pasal 21 ayat (3) KUHAP; Hak
untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29
ayat (7) KUHAP); Hak untuk menerima ganti kerugian (Pasal 30 KUHAP);
Hak segera mendapatkan pemeriksaan Penyidik (Pasal 50 ayat (1) jo Pasal
122 KUHAP); Hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan
diadili (Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP); Hak meminta penjelasan
yang disangkakan (Pasal 5l huruf a); Hak untuk memberikan keterangan
secara bebas (Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP); Hak untuk mendapatkan
bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP); Hak untuk menghubungi dan meminta
kunjungan dokter pribadi (Pasal
291
292
293
prinsip-prinsip
perlindungan
anak.
Apabila
Penuntut
Umum
Anak
294
Terhadap proses
peyampingan perkara yang ditutup demi hukum tidak sama dengan perkara
yang ditutup demi kepentingan umum, karena: a. demi hukum tidak sama
pengertiannya dengan Demi Kepentingan Umum sebab hukum juga
295
berlaku
itu
tersangka/pelaku
tidak
menghendaki
penuntutan
karena
296
297
298
Mencintai anak, dapat menyilami jiwa anak, ingin ikut membina dan
membantu terutama anak yang dalam kesulitan. Menurut peneliti berkaitan
dengan Pasal 10UU No. 3 Tahun 1997 ini, perlu dibuat peraturan pelaksanaan
yang mengatur tentang syarat-syarat menjadi Hakim Anak. Seperti tentang
pengalaman menjadi hakim perlu ditegaskan di samping pendidikanpendidikan khusus yang perlu ditempuh. Hal ini didasarkan pertimbangan
bahwa Hakim Anak merupakan hakim khusus yang memiliki keahlian khusus
dalam rangka perlindungan anak.
Hakim Anak untuk tingkat pertama (Pengadilan Negeri) memeriksa dan
memutus perkara sebagai hakim tunggal, tetapi dalam hal-hal tertentu apabila
ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan
pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya,
dimungkinkan diperiksa oleh hakim majelis. Untuk memeriksa perkara di
tingkat banding, dilakukan oleh Hakim Banding Anak, yang ditetapkan
berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan. Syarat untuk diangkat menjadi Hakim Banding
Anak adalah telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam
Peradilan Umum, dan mempunyai dedikasi serta memahami masalah anak
(Pasal 10 Undang-Undang Pengadilan Anak). Hakim Banding Anak dalam
perkara sebagai Hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu dan dipandang
perlu oleh Ketua Pengadilan Tinggi dapat dilakukan pemeriksaan dengan
sidang Majelis Hakim.
299
300
301
302
Hakim
tersebut
tidak
professional
dan
tidak
memahami
bahwa
pertimbangan
kepentingan
masyarakat.
Dasar
pertimbangan
sedikit
Hakim
Pengadilan Negeri
yang
memahami
bahwa
atau
atas
dasar
pertimbangan-pertimbangan
pertimbangan
tersebut
kepentingan
harus
masyarakat,
terlampir
dalam
dan
surat
303
dapat diteruskan dengan tanpa dihadiri orang tua, wali, atau orang tua asuh
anak.
Hakim memeriksa identitas terdakwa dan setelah itu mempersilakan
Penuntut umum membacakan surat dakwaan. Sesudah itu, terdakwa atau
Penasihat Hukumnya diberi kesempatan untuk mengajukan tangkisan atau
eksepsi atas dakwaan Penuntut Umum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 58
UU No. 3Tahun 1997 pada waktu pemeriksaan saksi, Hakim memerintahkan
agar terdakwa anak dibawa ke luar sidang. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari adanya hal yang dapat mempengaruhi jiwa anak. Hakim harus
cermat dan teliti terhadap keadaan terdakwa untuk menentukan apakah anak
ke luar sidang pengadilan atau tidak waktu pemeriksaan saksi-saksi. Jika
diperkirakan keterangan saksi dapat mempengaruhi jiwa anak, maka anak
yang bersangkutan harus dikeluarkan dari persidangan dalam rangka
perlindungan anak. Menurut peneliti ketentuan Pasal 58 UU Pengadilan Anak
memberikan perlindungan terhadap anak, yang bila diperhatikan dan
dilaksanakan Hakim sebagaimana mestinya. Setelah pemeriksaan saksi,
dilanjutkan
dengan
pemeriksaan
terdakwa
dan
dalam
melakukan
pemeriksaan, Hakim dan petugas lainnya tidak memakai toga atau pakaian
seragam. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut pada diri anak.
Apabila
Anak
pemeriksaan
Nakal
maka
memberikan
Hakim
keterangan
memberikan
berbelit-belit
peringatan
kepadanya
dalam
dan
304
memberi
kesempatan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh untuk mengemukakan
hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. Dalam hal ini, orang tua/ wali/ orang
tua asuh diberi kesempatan mengemukakan hal yang menguntungkan bagi
anak, dengan alasan bahwa selama ini kurang memperhatikan anaknya
sehingga melakukan kenakalan. Orang tua/ wali/ orang tua asuh memohon
kepada
Hakim
untuk
tidak
menjatuhkan
putusan
pidana
tetapi
Laporan
Pembimbing
Kemasyarakatan
ini
diwajibkan
305
hari
setelah
putusan
diucapkan.
Putusan
pengadilan
yang
membebaskan atau melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum tidak dapat
banding. Mengenai hal itu seharusnya diatur dengan tegas oleh UU No. 3
Tahun 1997 atau peraturan lain yang berkaitan demi perlindungan anak.
Putusanbebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat
diterobos dengan upaya hukum. Kenyataannya berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung dimungkinkan upaya hukum untuk menerobos putusan
bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Upaya hukum kasasi terhadap keputusan pengadilan tinggi (tingkat
banding) dapat diajukan oleh terdakwa atau Penuntut Umum berdasarkan
306
Pasal 244 KUHAP ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa. Permohonan tersebut
disertai dengan memori kasasi yang isinya memuat alasan-alasan kasasi,
kalau tidak demikian permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima oleh
Mahkamah Agung dan penolakan ini dituangkan dalam putusannya. Upaya
hukum peninjauan kembali dapat diajukan berdasarkan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yang menentukan bahwa putusan yang dapat diajukan peninjauan
kembali adalah putusan pemidanaan, sedangkan putusan yang membebaskan
maupun yang melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum tidak dapat
diajukan permohonan peninjauan kembali. Alasan-alasan mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali didasarkan pada Pasal 263 ayat(2) KUHAP yaitu:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan, terdapat peryataan bahwa sesuatu
pernyataan telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar
dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jalan memperlihatkan suatu kekhilafan
Hakim susutu kekeliruan yang nyata.
Permohanan upaya hukum peninjauan kembali dapat diajukan kapan
saja, karena KUHAP tidak membatasi jangka waktu permohonan upaya
hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, melalui Pengadilan Negeri
yang memutus perkaranya. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP
ditentukan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
307
kurangnya
sarana
dan
prasarana.
Ruangan
khusus
yang
308
309
310
akan dapat diperbaiki dalam pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung, namun yang sulit adalah apabila kesalahan itu
ada pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap anak,
patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal tersebut
patutdikemukakan sifat kejahatan yang dilakukan; perkembangan jiwa anak,
tempat menjalankan hukuman. Berdasarkan penelitian normatif, diketahui
bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan
putusan, antara lain: keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak
pidana; keadaan psikologis anak setelah dipidana; keadaan psikologis hakim
dalam menjatuhkan hukuman.
1) Keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana.
Hakim harus mengetahui latar belakang dan faktor-faktor penyebab
anak melakukan tindak pidana. Misalnya, anak melakukan tindak pidana
tersebut karena ingin membela diri, anak dalam keadaan emosi, karena faktor
lingkungan atau pergaulan dan faktor-faktor yang demikian memang menjadi
pertimbangan bagi Hakim untuk menjatuhkan hukuman pada anak.
2) Keadaan psikologis anak setelah dipidana
Hakim harus memikirkan dampak atau akibat yang ditimbulkan
terhadap anak setelah dipidana. Pemidanaan anak bukan hanya bertujuan
untuk memidana, melainkan untuk menyadarkan anak agar tidak melakukan
tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang lainnya setelah menjalani
pidana. Perkembangan jiwa anak setelah menjalani pidana menjadi perhatian
311
312
sikap batin pembuat tindak pidana; riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
pembuat tindak pidana; sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
tindak pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan apakah tindak
pidana dilakukan dengan berencana.
Pertimbangan kepribadian pelaku, usia, tingkat pendidikan, jenis
kelamin, lingkungan, perlu mendapat perhatian. Pertimbangan keputusan
disesuaikan dengan kaidah-kaidah, asas-asas dan keyakinan yang kukuh yang
berlaku di dalam masryarakat, karena itu pengetahuan tentang sosiologi,
psikologi perlu dimiliki oleh Hakim. HAM dijadikan sebagai ukuran
seseorang dipandang bertanggungjawab atau tidak bertanggungjawab,
sehingga keadilan tercermin dalam keputusan Hakim. Pedoman penerapan
pidana penjara, sejauh mungkin tidak dijatuhkan dalam hal: a. terdakwa
masih sangat muda, yaitu di bawah 18 (delapan belas) tahun atau sudah
sangat tua, yaitu di atas 70 (tujuh puluh) tahun; b. terdakwa baru pertama kali
melakukan tindak pidana; c. kerugian dan penderitaan korban tindak pidana
tidak terlalu berat; d. terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban; e.
terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu akan
menimbulkan kerugian yang besar; f. tindak pidana terjadi karena hasutan
yang sangat kuat dari orang lain; g. korban tindak pidana mendorong
terjadinya tindak pidana tersebut; h. tindak pidana tersebut merupakan akibat
dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; i. Kepribadian dan
313
302
314
Pasal 39 (Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang
dapat dipertanggungawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa,
atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan).
Dalam Pasal 134 Rancangan KUHP Nasional tahun 2012, dirumuskan bahwa
hal-hal yang memperberat pidana adalah: a. pelanggaran suatu kewajiban
jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; b.
penggunaan bendera kebangsaan lagu kebangsaan, atau lambang negara
Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; c. penyalahgunaan keahlian
atau profesi untuk melakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan
orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas)
tahun; e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama
dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; f. tindak
pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; g.
tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya (ayat
( l )); atau ayat (2) Pemberatan pidana berlaku juga terhadap orang yang
melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima tahun sejak: a.
menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b. pidana
pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c. kewajiban menjalani pidana
pokok yang dijatuhkan belum daluarsa.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan Hakim
menjatuhkan pidana terhadap anak adalah latar belakang kehidupan anak
315
yang meliputi keadaan anak baik fisik, psikis, sosial maupun ekonominya,
keadaan rumah tangga orang tua atau walinya, keterangan mengenai anak
sekolah atau tidak, hubungan atau pergaulan anak dengan lingkungannya,
yang dapat diperoleh Hakim dari laporan penelitian dari Peneliti
Kemasyarakatan (Bapas).
Pertimbangan dijatuhkannya pidana adalah dengan harapan selama
beradadi Lembaga Pemasyarakatan Anak, anak yang bersangkutan mendapat
bimbingan dan pendidikan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pelaku
kenakalan yang dijatuhi pidana, agar terhindar dari lingkungan yang tidak
baik.
Dalam
menjatuhkan
pidana
terhadap
Anak
Nakal,
Hakim
316
317
norma
memasyarakatkan
hukum
terpidana
demi
dengan
pengayoman
mengadakan
masyarakat;
(2)
pembinaan-sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna; (3) menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan
keseimbangan
dan
318
319
pemidanaan
bukan
untuk
menghukum
mereka,
dicanangkan
untuk
320
a. Pidana verbal:
1. pidana peringatan; atau
2. pidana teguran keras;
b. Pidana dengan syarat:
1. pidana pembinaan di luar lembaga;
2. pidana kerja sosial; atau
3. pidana pengawasan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pembatasan kebebasan:
1. pidana pembinaan di dalam lembaga;
2. pidana penjara; atau
3. pidana tutupan.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.303
321
tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara dapat
berupa seumur hidup atau sementara waktu, pidana kurungan, dan pidana
tutupan serta hukuman denda. Pidana tutupan diatur dalam UU No. 20 Tahun
1946. Sementara pidana tambahan dapat berupa: pencabutan beberapa hak
tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa terhadap Anak Nakal hanya
dapat dijatuhkan pidana atau tindakan (Pasal 22). Pidana pokok terdiri dari
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan
(Pasal 23 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997). Pidana tambahan terdiri dari:
perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti rugi (Pasal 23 ayat
(3) UU No. 3 Tahun1997). Jenis pidana baru dalam undang-undang ini adalah
pidana pengawasan yang tidak diatur dalam KUHP apabila Anak Nakal yang
ditentukan Pasal l angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997 melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun (Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997). Hal ini juga diatur
dalam Pasal 126 Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012. Anak Nakal tidak
dapat dijatuhi pidana mati ataupun pidana penjara serumur hidup walaupun
melakukan kenakalan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur
hidup.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pidana seumur hidup
pernah dijatuhkan terhadap anak yang melakukan kenakalan. Hal ini terjadi di
Pengadilan Negeri Kabanjahe pada tanggal 18 Agustus 1998, yang
322
323
persidangan
anak
dilakukan
tertutup
untuk
umum
(dirahasiakan).
Ancaman pidana penjara terhadap Anak Nakal yang melakukan
tindakpidana sesuai Pasal 26 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 paling lama 1/2
(satu per dua) dan maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Berdasarkan ketentuan Pasal
ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman hukuman bagi
orang dewasa. Sehubungan dengan hal ini Pasal 124 ayat (1) Rancangan
KUHP Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa: Pidana pembatasan
324
kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau
tindak pidana yang disertai dengan kekerasan; Pidana pembatasan kebebasan
yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum
pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Bagi Anak Nakal yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun, melakukan tindak pidana yang
diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1997, yaitu menyerahkan anak itu
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja
(Pasal 26 ayat (3) UU No. 3 Tahun 1997). Apabila Anak Nakal yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua
belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau
tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 UU No. 3 Tahun 1997, yaitu dapat berupa dikembalikan kepada orang
tua/wali/orang tua asuh, atau menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada
Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Pasal 113 ayat (1)
Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa anak yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku
325
bagi orang yang berumur antara (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas)
tahun yang melakukan tindak pidana.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sesuai
Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997. paling lama 1/2 (satu perdua)
dan maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Pidana denda
yang dapat dijatuhkan bagi Anak Nakal adalah 1/2 (satu per dua) dari
masksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, sedangkan Pasal 123
ayat (1) Rancangan KUHP Nasional Tahun 2012, menentukan bahwa pidana
hanya dapat dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16 (enam belas)
tahun. Apabila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan
wajib latihan kerja paling lama 90 hari kerja dengan jam kerja tidak lebih dan
4 (empat) jam sehari, dan tidak boleh pada malam hari.
Dalam praktiknya di Pengadilan Negeri, sebagian besar putusan
pengadilan berupa pidana penjara, walaupun pelaku kejahatan di bawah usia
18 (delapan belas) tahun; karena lemahnya sistem pidana denda, Hakim lebih
suka menjatuhkan pidana penjara singkat daripada menjatuhkan pidana
denda. Dalam menghadapi perkara pidana yang diancam dengan pidana
penjara
secara
kumulatif/
alternatif
dengan
pidana
denda,
dalam
326
pidana
bersyarat.
Syarat
khusus,
misalnya
tidak
boleh
327
328
329
330
331
52
KUHAP); hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53,
Pasal 177, Pasal l78 KUHAP); hak untuk mengusahakan atau mengajukan
saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP); hak untuk mendapatkan
332
mengajukan pembelaan atas tuntutan pidana (Pasal 182 ayat (l) huruf b
KUHAP); hak untuk hadir pada saat dibacakan putusan hakim (Pasal 196
ayat (1) KUHAP); hak untuk mendapatkan penjelasan hak-haknya setelah
putusan dibacakan, yang meliputi: a. hak segera menerima atau menolak
putusan; b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undangundang; c. hak untuk meminta penangguhan pelaksaanaan putusan dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; d. hak untuk meminta
diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan; e. hak
mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini (Pasal 196 ayat (3) KUHAP);
hak untuk meminta penundaan pemeriksaan sidang guna pembelaan (Pasal
203 ayat (3) KUHAP); hak untuk menunjuk wakil (Pasal 213 KUHAP); hak
untuk meminta penjelasan tentang hukum yang berlaku (Pasal 221 KUHAP);
hak untuk menerima petikan surat putusan Pengadilan Pasar 226 KUHAP); di
333
samping hak-hak ini hak-hak anak lainnya adalah: a. hak atas persidangan
yang tertutup untuk umum; b. hak atas adanya laporan hasil penelitian
kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan yang memaparkan tentang
kehidupan anak (pada umumnya laporan tersebut menguntungkan anak); c.
hak untuk didampingi oleh penasihat hukumnya; d. hak atas penasihat hukum
di pengadilan dalam kasus-kasusnya; e. hak atas suasana kekeluargaan selama
proses sidang; f. hak atas hukuman yang bijaksana dan mendidik; g. hak
untuk mengajukan upaya hukum; h. hak untuk mendapat pembinaan dari
petugas sosial.
Selama dalam proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi, seperti
asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam,
hak untuk menghadirkan orang tua/atau wali/orang tua asuh, hak untuk
berhadapan dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding.
Hak anak sebelum persidangan masih dibedakan dalam kedudukannya
sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak sebelum persidangan
dalam kedudukannya sebagai pelaku meliputi: (1) hak diperlakukan sebagai
yang belum terbukti bersalah; (2) hak untuk mendapatkan perlindungan
terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan
mental, fisik, sosial darisiapa saja (ancaman, penganiayaan, cara dan tempat
penahanan); (3) hak untuk mendapatkan pendamping/penasihat hukum dalam
rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan secara prodeo;
(4) hak untuk mendapat fasilitas ikut serta untuk memperlancar pemeriksaan
terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).
334
anak
selama
persidangan
masih
dibedakan
lagi
dalam
kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama
persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku: (1) hak mendapatkan
penjelasan mengenai tatacara persidangan dan kasusnya; (2) hak untuk
mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan; (3) hak untuk
mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya;
(4) hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan
335
penderitaan mental, fisik, sosial darisiapa saja; (5) hak untuk menyatakan
pendapat; (6) hak untuk memohon gantikerugian atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; (7) hak untuk mendapatkan
perlakuan
pembinaan/
penghukuman
yang
positif,
yang
masih
336
UUD 1945 dan ide mengenai kemasyarakatan; (2) hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, dan menimbulkan
penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja; (3) hak untuk tetap untuk
dapat berhubungan dengan orang tuanya atau keluarganya.
Hak anak setelah persidangan dalam kedudukannya sebagai korban
meliputi: (1) hak untuk mendapatkan perilindungan terhadap tindakan yang
merugikan, dan menimbulkan penderitaan mental, fisik sosial dari siapa saja;
(2) hak atas pelayanan di bidang mental, fisik dan sosial. Hak anak setelah
persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi yaitu hak untuk mendapatkan
perlindungan dari tindakan-tindakan mental, fisik, sosial dari siapa saja.
Menurut peneliti pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan
pidana merupakan suatu hasil interaksi yang ada dan saling mempengaruhi.
Keluarga, masyarakat dan aparat terkait (aparat penegak hukum) perlu
meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak
anak demi kesejahteraan anak.
337
tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada
sebelum dijatuhi pidana; 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, Napi
dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh
bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja,
pekerjaan di masyarakat dan menunjang usaha peningkatan produksi; 7.
Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan Pancasila; 8. Narapidana dan anak didik sebagai orang
tersesat, adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia,
martabat dan harkatnya sebagai manusia harus dihormati; 9. Narapidana dan
anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya
derita yang dapat dialami; 10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang
dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif sistem
pemasyarakatan.
Sehubungan dengan hal ini dikenal 10 (sepuluh) wajib petugas
pemasyarakatan, yaitu:
1) Menjunjung tinggi hak-hak warga Binaan pemasyarakatan;
2) Bersikap welas asih dan tidak sekali-kali menyakiti Warga Binaan
pemasyarakatan.
3) Berlaku adil terhadap warga Binaan pemasyarakatan;
4) Menjaga rahasia pribadi Warga Binaan Pemasyarakatan;
5) Memperhatikan keluhan Warga Binaan Pemasyarakatan;
338
339
singkat,
sehingga
perlu
dijalin
kerjasama
dengan
31
Tahun
1999
tentang
Pembimbingan
Warga
Binaan
340
341
342
343
keluarga;
i.
Mendapatkan
pembebasan
bersyarat;
j.
344
345
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf c meliputi:
a. perencanaan program integrasi;
b. pelaksanaan program integrasi;
c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3)
ditetapkan melalui sidang Tim pengamat pemasyarakatan.
(5) Dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) Kepala Lapas Anak wajib memperhatikan Litmas.
(6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan
sebagaimana dimaksud daram ayat (l), (2), dan(3) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
346
a.
b.
(6) Dalam hal Anak Negara belum memenuhi syarat untuk diberikan
program asimilasi atau integrasi, maka pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilanjutkan dengan pembinaan 6 (enam) bulan
kedua, dan seterusnya sampai Anak Negara yang bersangkutan
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
347
Lembaga
Pemasyarakatan
lebih
rendah
daripada
kapasitas;
c.
348
membedakan
peralatan/perlengkapan)
khususnya
mengenai
349
rendah
diri
yang
diharapkan
secara
bertahap
mempunyai
merangsang
dan
menggugah
semangat
narapidana
untuk
350
keterampilan
bertujuan
untuk
memupuk
dan
dan
keterampilan.
Aktivitas
yang
dilakukan
adalah:
351
paling
menyolok
tentang
kehidupan
badan
adalah
352
b.
c.
d.
e.
353
g.
Selama menjalani pidana, terampas kreativitasnya, ide-idenya, gagasangagasannya, imajinasinya bahkan juga impian, dan cita-citanya.
(Pasal
33
UU
No.3
Tahun
1997).
Pembimbing
354
bimbingan Bapas berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (1) UU No.
12 Tahun 1995 adalah: a. terpidana bersyarat; b. Narapidana, Anak pidana,
dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas; c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan,
pembinaannya diserahkan kepada orang tua atau badan sosial; d. Anak
Negara yang berdasarkan keputusan menteri atau pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan
kepada orang tua asuh atau badan sosial; e. Anak asuh yang berdasarkan
penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orangtua atau
walinya. Orang-orang yang berada di bawah bimbingan Bapas disebut klien
pemasyarakatan (Pasal 1 angka 9 UU No. 3 Tahun 1997), mereka dibimbing
ketika sudah tidak berada di Lembaga.pemasyarakatan Anak, tetapi masa
hukumannya belum selesai dijalani. Apabila bimbingan terhadap Anak
Negara diserahkan kepada orang tua/wali/orang tua asuhnya atau badan sosial
(Pasal 42 ayat (1) huruf c, d, dan e UU No. 12 Tahun 1995), maka Bapas
tidak melakukan bimbingan terhadap mereka, melainkan melaksanakan tugas:
a. pengawasan terhadap orang tua atau badan sosial dan orang tua asuh atau
wali sebagai pengasuh dapat dipenuhi; b. memantau perkembangan Anak
Negara dan Anak Sipil yang diasuh.
Petugas Sosial mempunyai tugas membimbing, membantu dan
mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja. Dalam melaksanakan tugas tersebut supaya seragam dan dengan
355
maksud dan tujuan yang sama, berdasarkan Pasal 34 ayat (3) dihendaki agar
Pekerja Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas
dan kewajibannya, mempunyai keterampilan teknis, jiwa pengabdian di
bidang usaha kesejahteraan sosial (Pasal
356
Tidak diatur dengan tegas dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997
tentang hasil laporan kerja Pekerja Sosial Sukarela yang membantu tugas
pekerja sosial. Tidak diatur dengan tegas kewajiban melaporkan kepada
Pekerja Sosial. Bila dikaitkan dengan aspek perlindungan anak dapat
berbahaya, sebab bisa saja pekerja Sosial Sukarela melakukan tugasnya
menyimpang dari prinsip-prinsip perlindungan anak, yang dikhawatirkan
mempunyai kepentingan tersendiri di balik pekerjaan yang dilakukan
terhadap anak tersebut. Perlu dicermati dengan teliti oleh pekerja Sosial dari
Departemen Sosial tentang tawaran Pekerja Sosial Sukarela membantu tugastugasnya sebagai Pekerja Sosial.
Pembinaan
Narapidana
Anak,
tidak
cukup
melalui
lembaga
Presidium
No:7514/Kep/11/l966
Kabinet
tentang
Ampera
Struktur
tanggal 3
November
Organisasi
dan
1966
Tugas-tugas
357
teknis
sehari-hari
dilakukan
oleh
seorang
Pembimbing
untuk
melakukan
penelitian
kemasyarakatan
yang
melakukan usaha-usaha:
a)
358
c)
Pembimbing
Kemasyarakatan
harus
dapat
masalah
sosial
dankemanusiaan
secara
mendalam
dan
359
2) Penelitian Kemasyarakatan
Pembimbing Kemasyarakatan identik dengan Pekerja Sosial yang
dalam melaksanakan tugasnya menghadapi manusia dan permasalahannya.
Pembimbing
360
betul dapat menjadi baik dan tidak hilang kepercayaan baik kepada diri
sendiri, kepada orang tuanya/wali/orang tua asuhnya. Petugas Pembimbing
Kemasyarakatan
harus
membantu
Hakim
mendapatkan
keterangan-
361
pelanggaran
hukum
yang
dilakukannya.
Upaya
tersebut
362
Mengadakan penelitian
klien,
dan
keadaan
ekonomi
keluarga.
Pembimbing
membutuhkan
(penyidikan,
penuntutan,
persidangan),
yang
singkat;
b.
minimnya
biaya
transport
petugas
penelitian
363
364
Data
disimpulkan
pembimbing
oleh
yang
diperoleh
dianalisis
Kemasyarakatan,
dan
kemudian
diberikan saran/pertimbangan.
(b) Setelah dibuat litmas disusun rencana program bimbingan.
(c) Pelaksanaan program bimbingan disesuaikan dengan rencana yang
disusun.
(d) Penilaian pelaksanaan tahap awal dan penyusunan rencana
bimbingan tahap berikutnya.
(2) Bimbingan tahap lanjutan
Pada bimbingan tahap lanjutan perlu diperhatikan:
(a) Pelaksanaan program bimbingan tahap lanjutan disesuaikan dengan
kebutuhan dan permasalahan klien, pengurangan lapor diri,
kunjungan rumah serta peningkatan bimbingan terhadap klien.
(b) Penilaian terhadap program tahap lanjutan dan penyusunan
program bimbingan tahap akhir.
(3) Bimbingan tahap akhir
Pelaksanaan bimbingan tahap akhir; meneliti dan menilai secara
keseluruhan hasil pelaksanaan program bimbingan; mempersiapkan klien
365
Pemasyarakatan;
c.
menyelenggarakan
pembinaan
klien
366
bekas Anak Negara, Anak Sipil dan narapidana yang memerlukan bimbingan
lanjutan (after care), Anak Nakal atas permintaan keluarganya.
367
meningkatkan
perbaikan
penampilan
(performance
368
dukungan
masyarakat;
c.
Adanya
keterkaitan
dan
305
369
dan tidak
306
Ibid., hlm.247.
370
307
371
372
308
309
310
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Op. Cit.,hlm. 165.
Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary(Sixth Edition), St. Paul Minn West Publicing
Co., 1990, hlm. 477.
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 201.
373
311
The purpose of the Juvenile Diversion Program is to provide youthful offenders with a
posistive alternative to the court sistem. Young offenders in structured activities and group
interactions which are intended to improve their understanding and perception of the legal
sistem and law enforcement, increase their self-esteem
374
Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,Buku Saku
untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004, hlm. 21.
375
kebutuhan korban dan anak, dan kalau mungkin orang tua diminta
bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
d) Diversi formal
Diversi formal dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan,
tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan
merasa perlu mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya mereka,
atau
mereka
ingin
mendengarkan
langsung
dari
anak.
Karena
permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak maka ada baiknya ada
anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun
rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari
perbuatan itu. Proses Diversi formal dimana korban dan pelaku bertemu
muka, secara internasional hal ini disebut sebagai Restorative Justice.
Sebutan-sebutan
lain
Restorative
Justice,
misalnya
Musyawarah
313
Ibid.,hlm. 10.
376
Pasal 108, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini baru akan
mulai dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan (30 Juli 2012). Dengan demikian Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak baru berlaku tahun 2014.314
untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan
dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan
sosial secara Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini
adalah pengatuan secara tegas mengenai keadilan Restoratif dan Diversi
yang dimaksudkan wajar. Pengertian diversi ditentukan dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 7 yaitu pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana.315
Menurut Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak, ditentukan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib
diupayakan diversi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa diversi wajib
diupayakan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana anak mulai dari
penyidikan, penuntutan, persidangan dan pada tahap pelaksanaan putusan
pengadilan. Selanjutnya ketentuan diversi secara lengkap ditentukan dalam
Bab II yang dimulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 15. Berdasar Pasal 6
Undang-Undang
Sistem
Peradilan
Pidana
Anak,
maka
tujuan
315
Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak dan
Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH Unsoed, Makassar, 2013. Hlm. 9.
Ibid.
377
2)
pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak
pidana yang diselesaikan melalui diversi.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak, proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan
anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya. Orang tua
dan wali korban dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah
anak. Pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional
berdasarkan pendekatan keadilan restorative. Dalam hal ini diperlukan
316
378
Kepentingan korban;
2)
3)
4)
Penghindaran pembalasan;
5)
6)
2)
Umur anak;
3)
4)
379
mengenai
Persetujuan
keluarga
Anak
Korban
keluarganya,
pembimbing
kemasyarakatan,
serta
dapat
317
380
381
(2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak
diterimanya kesepakatan diversi. 318
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyidik menerbitkan
penetapan penghentian penyidikan atau penuntut umum menerbitkan
penetapan penghentian penuntutan.
Pasal 13 menentukan, bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan
dalam hal:
1)
2)
sampai
dengan
kemasyarakatan
kesepakatan
wajib
diversi
melakukan
dilaksanakan,
pendampingan,
melaporkannya
kepada
pejabat
yang
bertanggung
jawab
318
382
319
383
384
320
385
386
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam
Undang-undang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum
mengakomodasi prinsip the best interest of the child dalam sistem
peradilan pidana anak, sehingga secara normatif dalam tataran formulasi
belum mencerminkan ide dasar perlindungan terhadap anak. Dengan
demikian, secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan
ide dasar perlindungan hukum terhadap anak. Atas dasar hal itu, tahun
2012 telah disahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti UU no. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sebagai pembaruan sistem peradilan anak di Indonesia.
Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang
nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the
child
dengan adanya
diversi.
387
B. Rekomendasi
1. Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak seyogyanya mengakomodir
prinsip-prinsip diversi sebagaimana diatur dalam standar Internasional.
Dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang baru, segera disosialisasikan baik kepada pihak-pihak
yang terlibat langsung dalam penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum, maupun kepada seluruh masyarakat secara luas.
388
ditindak
lanjuti dengan
mempersiapkan sarana
prasarana
389
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.V.Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, Ninth
Edition, London : MacMilland and CO, 1952.
A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Abd. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari (ed.), Beberapa Pemikiran
Pembangunan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, Cet.ke-1,
1980.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitutional di Indonesia:
Study Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, the Aspiration for
Constitutional Goverment in Indonesia: A Sosio Legal Study of the
Indonesia Konstituante 1956-1959, terjemahan Silvia Tiwon,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Agung Wahjono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,
GhaliaIndonesia, Jakarta, 1986.
Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum, Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004.
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993.
__________, Pengembangan Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan
Pidana: (Beberapa Catatan), Rajawali, Jakarta, 1986.
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia ,Jakarta : Penerbit Rajawali, 1985.
Azhary Tahir, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Jakarta : Kencana, 2003.
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Hukum, Mandar Maju, Bandung,
1999.
__________,Praktisi Hukum dan Perkembangan Hukum,Unpar, Bandung,
2000.
390
391
Christoper
Kebijakan
Aparatur
Negara
dan
392
393
Liliek Muladi, Hukum Acara Pidana suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung : Citra Aditya
Bhakti, , 1996.
Linda Hancock, Police, Youth and Violence, dalam buku Joy Wundersitz et al.,
Juvenile Justice Debating the Issues, Allen & Unwin Pty Ltd.,
Australia 1993
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat Dari
Peradilan , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
PenyelesaianSengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Penerbit dan tempat tidak
tercantum, 1978.
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
__________, Pembahasan Permasalahan
PustakaKartini,Jakarta, 1993.
dan
Penerapan
KUHAP,
394
395
Ekstensialisme
dan
396
Dirdjosisworo,Pertanggungjawaban
Alumni,Bandung, 1981.
Dalam
Hukum
Pidana,
Soerjono
Rangka
397
398
B. Makalah / Jurnal
Abintoro Prakoso dan Vage Normen, Sebagai Sumber Hukum Diskresi yang
Belum diterapkan oleh Polisi Penyidik Anak, Vol.17, No.2, April
2010, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, 2010.
Barda
Nasional
Hak
Asasi
Manusia,Hak
Asasi
Manusi,
GramediaPustakaUtama, Jakarta, 1997.
Mazuki Darusman, Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam
MajalahHukum Pro Justitia Tahun XVII Nomor4 Oktober 1999,
Bandung: FH Unpar.
Moctar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional diMasa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah
Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2April 1997. Bandung, FH
Unpar.
Moctar Kusumaatmadja. Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah
Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2 April 1997, Bandung: FH
Unpar.
Muladi, Proyek Hukum Pidana Materiil Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Sabtu, 24
Februari 1990.
399
Rusly,
Nasab
Dan
Urgensinya
Dalam
http://imamrusly.wordpress.com/2012/04/20/nasab-danurgensinya-dalam-islam/ diakses 11 Juni 2013.
Islam,
400
Indek
teks ................................................. 398,