Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia/Ikterus neonatorum merupakan salah satu fenomena klinis


yang tersering ditemukan pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses
fisiologis, atau patologis, atau kombinasi keduanya. Ikterus neonatorum pada bayi
baru lahir/hiperbilirubinemia pada neonatus, sering ditemukan pada minggu-minggu
pertama setelah lahir. Angka kejadian ikterus neonatorum di Amerika ditemukan 60%,
di Malaysia 75%, di Indonesia 13,5 85%, Rumah sakit pusat Jakarta, di Surabaya
tahun 2000 sebanyak 30% tahun 2002 sebanyak 13 %. Ikterus neonatorum merupakan
10 penyakit terbesar pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang Intermediated
neonatologi RSU Dr Soetomo Surabaya. Pada tahun 2004 terdapat 412 bayi yang
menderita ikterus neonatorum atau sekitar 30,88%, pada bulan Agustus sampai
Oktober 2005 tercatat 23,1. Berbagai faktor penyebab ikterus neonatorum
patologis/hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo Jakarta antara lain: hemolisis, inkompatibilitas Rhesus,
imkompatibilitas golongan darah A,B,O, defisiensi enzim glukosa-6-fosfat
dehidroginase, perdarahan tertutup, infeksi, sepsis/meningitis, lain-lain:
hipoksi/sindrom distres pernapasan, asidosis metabolik, hipoglikemia, polisitemia. Di
negara yang sedang berkembang maka penyebab utama ikterus neonatorum patologis
ialah: infeksi dan hipoksia, kemudian menyusul proses hemolisis karena defisiensi
enzim glukosa-6-fosfat dehidroginase.
Definisi hipoglikemia hingga saat ini masih kontroversial, karena kurangnya
korelasi yang bermakna antara kadar glukosa plasma, gejala klinis, dan gejala sisa
jangka panjang. Hipoglikemia ditandai oleh nilai yang unik pada masing-masing
individu neonatus dan bervariasi sesuai dengan kematangan fisiologis dan pengaruh
patologisnya. Hipoglikemia pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dL.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hipoglikemia pada neonatus salah
satunya yaitu bayi dari ibu dengan diabetes. Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol
memiliki kadar glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga
merangsang pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar glukosa darah tibatiba turun karena pasokan dari plasenta berhenti, padahal kadar insulin masih tinggi,
sehingga terjadi hipoglikemia. Faktor lainnya adalah bayi besar untuk masa
kehamilan (BMK). Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi glukosa yang
abnormal.
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan suatu sindrom yang sering
ditemukan pada neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat
lahir rendah (BBLR); sehingga SGNN disebut juga sebagai penyakit membran hialin
(PMH) karena PMH merupakan bagian terbesar dari sindrom gawat nafas pada masa
neonatus. Penyakit membran hialin umumnya terjadi pada bayi prematur. Angka
1

kejadian PMH pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar 60%80%, pada usia kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia kelahiran 32-36
minggu sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai. Di negara maju PMH
terjadi pada 0,3-1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian
neonatus. Di Amerika Serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup.

BAB II
LAPORAN KASUS

NAMA LENGKAP
Bayi
Ayah
Ibu
Alamat

: By. Ny. J
: Tn. TM
: Ny. J
: Jl. SMA 48 RT 012/01 No. 53, Pinang Ranti

KELUARGA
Ibu
Umur sekarang
Perkawinan ke
Pekerjaan
Pendidikan

: 33 tahun
:1
: Pegawai swasta
: S1

Ayah Umur sekarang


Perkawinan ke
Pekerjaan
Pendidikan

: 36 tahun
:1
: Pegawai swasta
: S1

KEHAMILAN SEKARANG
G2P0A1
Pemeriksaan antenatal:

Pemeriksaan teratur
Pemeriksaan tidak teratur

Terdaftar
Tidak terdaftar

Hari pertama haid terakhir


partus..
Penyakit-penyakit selama hamil

Taksiran

Komplikasi kehamilan

Anemia
Hipertensi
Diabetes
Lain-lain.

Vitium cordis
Tuberkulosis
Lues

Perdarahan
Eklampsi
Toksemi
Disproporsi feto-pelvik
Lain-lain.
3

Pemeriksaan terakhir waktu hamil

:
Golongan darah ibu
Ayah
Hb
Leukosit
Trombosit
Masa perdarahan
Masa pembekuan
HbsAg
WR/VDRL/KAHN
Gula darah
Kadar estriol urine
Lain-lain

:B
:: 11, 4 g%
: 8.000/mm3
: 170.000 /UL
: 1,30 menit
: 13,30 menit
: Non reaktif
:: 133 mg%
:: Ht: 33,3 %,

Kebiasaan ibu waktu hamil


:
Anamnesis makanan
:
Kualitatif
: Nasi + lauk pauk
Kuantitatif
: Makan 2-3 x sehari diselingi biskuit
Obat-obatan yang dimakan: Osofit 1x1, Inlacta DHA 1x1
Jamu-jamuan : Merokok
:Lain-lain
:-

RIWAYAT PERSALINAN
Berat badan ibu
Tinggi badan ibu
Persalinan di

Jenis persalinan
Indikasi
Lamanya pesalinan

: 82 kg
: 152 cm
:
RS UKI
Rumah bersalin
Lain-lain
: SC
: Letak sungsang
:
Kala I :
Kala II :
-

Komplikasi persalinan

Medikasi waktu persalinan


Obat anestesi
Obat analgesic
Obat sedative

Dipimpin oleh :
Dokter
Bidan
Lain-lain..

Jam
Jam

:
Ibu
:Fetus : :
: Bupivacain 20 mg
:
:
4

Lamanya ketuban pecah


Kondisi air ketuban
Volume air ketuban

:
: Jernih
: 500 cc

KEADAAN BAYI SAAT LAHIR


Lahir tanggal
Jenis kelamin

: 22/2/2016
:
Laki-laki
Perempuan

Jam

: 16.10

Kelahiran tunggal
Kelahiran kembar/multiple
Kondisi saat lahir

Hidup
Mati

Sebelum persalinan
Dalam persalinan

APGAR SCORE
Tanda

Frekuensi
jantung
Usaha
bernafas
Tonus otot

Tidak
ada
Tidak
ada

Lumpuh
Tidak
bereaksi

Biru/pucat

<100

> 100

Refleks
Warna

Jumlah
nilai
7/10

Lambat
Ekstremita
s fleksi sedikit
Gerakan
sedikit
Tubuh
kemerahan, tangan
dan kaki biru

Menangis
kuat
Gerakan,
aktif
Reaksi
melawan
Kemerahan

Penilaian 1 menit sesudah lahir lengkap


Penilaian 5 menit sesudah lahir lengkap
KISAH RESUSITASI
Tindakan/ventilasi :
Pembersihan jalan nafas
Perangsangan
Pemberian O2 biasa (Frog breathing)
Pemberian O2 dengan tekanan tidak langsung
Pemberian O2 dengan tekanan langsung
External cardiac massage
5

Penghisapan cairan lambung


Lain-lain yang perlu dilaporkan:
Diagnosa
: Bayi bugar
Tatalaksana :
1. IMD
2. Bayi dihangatkan
3. Injeksi Vit k 1 mg/0,5 cc

4. Tetes mata Cendofenikol ODS

PEMERIKSAAN FISIK
Umur
Panjang
BB
Suhu
Frekuensi nafas
Frekuensi jantung

: 4 jam
: 50 cm
: 4300 gram
: 36.5 C
: 60 x/menit
: 140 x/menit

BALLARD SCORE

Neuromuscular score: 15

Physical score: 20

Gestations by dates
35

38 Weeks
7

Birth date
22/2/206

Hour

APGAR
7/10

1 MIN
7

5 MIN
10

KLASIFIKASI NEONATUS MENURUT BATTAGLIA & LUBCHENCO (1967)

RESUME
S/

Mekonium (+) pada saat lahir

O/

KU: Menangis kuat, gerakan aktif, sianosis (-), ikterik (-), edema (-)
8

Frekuensi nafas
Frekuensi jantung

: 60 x/menit
: 140 x/menit

Suhu

: 36,9C (Aksila)

A/

NCB BMK

P/

Rawat gabung bersama ibu


ASI ad libitum
Jemur pagi 30 menit antara pukul 07.00 08.00
Obs. frekuensi jantung, frekuensi nafas dan suhu

25/02/2016

26/02/2016

27/2/2016

28/02/2016

HP : 3

HP : 4

HP: 5

HP : 6

S : Muntah (+)

S : Muntah 4x

09.45 WIB
S : Muntah (+),

O : BB 3850 gr

O : BB 3600 gr

kuning (+),

kuning (+)

KU: Tampak

KU: Tampak aktif,

O : BB 3900 gr

O : BB tidak

aktif, sianosis (-), menangis kuat (+)

KU: Menangis

ditimbang

merintih (+)

Sianosis (-)

kuat, bergerak

KU: Tampak aktif

FJ: 140 x/mnt

Merintih (-)

aktif, Sianosis (-),

(+) sianosis (-)

RR: 85 x/mnt

kuning (+)

merintih (-)

FJ: 120 x/mnt RR:

S: 36,5 C

FJ: 130 x/mnt RR:

ikterik (+)

45 x/mnt

SPO2: 90%

54 x/mnt

FJ: 150 x/mnt RR: S: 36,4 C

Downe score: 3

S: 36,5 C GDS

54 x/mnt

Thoraks: Retraksi

GDS 83

72

S: 36 C

(-)

Thoraks:

Bil. Neo 16

Thoraks: Retraksi

Integumen:

Retraksi (+)

Thoraks: Retraksi

(-)

Kramer 5

A : NCB-BMK +

Integumen:

A : NCB-BMK +

hipoglikemia +

Integumen: Ikterik

Kramer 5

hipoglikemia +

distress

+ (Kramer 5)

Bil. indirek

distress pernapasan

pernapasan dd/

A : NCB-BMK +

15,3

TTN, sepsis

Hipoglikemia +

A : NCB-BMK +

hiperbilirubinemia

P : O2 Nk 2-3

distress

hipoglikemia +

P : IVFD: Tridex

lpm

pernapasan dd/

distress

plain + KCL 5 meq

Ivfd: D10% 6

sepsis, TTN +

pernafasan +

27 tpm (mikro)

tpm (mikro)

defisiensi vit k +

hiperbilirubinemi

Diet: ASI/PASI

Pasang OGT

hiperbilirubinemia

8x30 cc

Inj. Ampicilin

P : O2 NK 2 lpm

P : Diet ASI +

O2 2 lpm/inkubator

2x200 mg

Diet 10 cc/ 3 jam

PASI 8x20 cc

Gentamicin 20

stop

IVFD: D5 NS +

O2 2 LPM

mg/36 jam

Inj. Ceftazidime

KCL 5 meq 12

/inkubator

Ceftazidime 2x200

2x200 mg

tpm (mikro)

IVFD: Tridex

mg

Foto thoraks

Inj. Gentamicin 20

plain + KCL 5

Bluelight

mg /36 jam

meq 27 tpm

Inj. Ceftazidime

(mikro)

2x200 mg (2x)

Inj. Gentamicin

GDS, BilTot, bil,

20 mg /36 jam

indirek

(2x)

S : Muntah (+)

Inj. Ceftazidime
2x200 mg (3x)
Blue light 3x24
jam

10

23/02/2016

23/03/2016

23/02/2016

24/02/2016

HP : 1

HP : 1

HP: 1

HP : 2

08.00 WIB
S : ASI (-)

18:40 WIB
S : Muntah (+) 1x

22.00 WIB
S : Muntah (+),

S : Muntah (+) 3x

Reflek

O : FJ: 130 x/mnt

nafas cepat (+)

O : BB 3900 gr

hisap

RR: 60 x/mnt

O : BB 1,5 kg

KU: tampak aktif,

belum kuat

S: 36.6 C

S: FJ: 140 x/mnt

menangis kuat,

O : BB

GDS 71

RR: 85 x/mnt

sianosis (-), merintih

4200 gr

Bil. Neo 15

S: 37,6 C

(+)

KU:

A : NCB-BMK

SPO2: 95

FJ: 140 x/mnt RR:

menangis

P : Diet ASI PASI

GDS (12:00) 40

92 x/mnt

kuat,

Inj Vit K 1 mg

mg/dl

S: 36,5 C

bergerak

Px: DL, APTT,

Bil. Neo 12

SPO2: 84 % GDS

aktif,

CRP

A : NCB-BMK +

66

kuning (-)

hipoglikemia dalam A : NCB-BMK +

FJ: 130

perbaikan + obs.

Hipoglikemia +

x/mnt RR:

takipnea

distress pernapasan

56x/mnt

CRP kuantitaif 7 P : O2 nasal kanul 2-

S: 37,3 C

P : rawat ruang

3 lpm

GDS

perinatologi

D 10% 16 tpm

(15:40)

Obs. Takipnea

(mikro)

66 mg/dl

O2 nasal kanul 2-3

Ampicilin 2x200 mg

Bil. Neo

Lpm

18
A : NCBBMK
P : Diet
ASI
Periksa
GDS
Imunisasi
hepatitis b
Instruksi
spesialis
anak:
Jika bayi
belum mau
minum ASI
pantau
GDS per
12 jam

11

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 23 Februari 2016
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit

Hasil

Nilai Rujukan

16.8
49,1
4,80

14-16 gr/dL
40-48 %
4-5 juta sel/mm3
150-400 rb/mm3

Trombosit

204

Leukosit

18.5

MCV
MCH
MCHC
Ratio

102.2
35,0
34,2
0,09

5-10 rb/mm3
82-92 fl
27-31 pg
32-36 %
Normal: <0,15
Boderline: 0,15-0,20
Sepsis: >0,20

32
41
2
12
14
20

27-42
25-42
1-3
10-16
10-16
10-16

HEMOSTASIS
APTT kontrol
APTT Pasien
Masa pendarahan
Masa Pembekuan
Masa Protorombin
Kontrol
Pasien

12

BAB III
ANALISA KASUS

Bedasarkan data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien merupakan bayi NCB-BMK
dengan hipoglikemia, sindrom gawat nafas, dan hiperbilirubinemia.
Pasien merupakan bayi laki-laki lahir yang lahir secara sectio caesarea (SC)
dengan BBL 4300 gram yang dapat disebabkan karena ibu memiliki riwayat diabetes
mellitus terkontrol. Terdapat dua kelompok neonatus dengan risiko tinggi mengalami
hipoglikemia, yaitu bayi lahir dari ibu diabetik (IDM) dan bayi IUGR. Seperti yang
dipaparkan pada teori, hipoglikemia memiliki manifestasi yang simptomatik dan
asimptomatik. Walaupun hipoglikemia sering diklasifikasikan dalam simptomatik dan
asimptomatik, penggolongan tersebut sebenarnya merefleksikan ada atau tidaknya
tanda-tanda fisik yang menyertai kadar glukosa darah yang rendah. Pada keadaan bayi
yang lahir dengan berat 4300 gram dan riwayat ibu yang memiliki diabetes mellitus
menimbulkan permasalahan pada sekresi insulin pankreas yang tinggi karena paparan
glukosa maternal dalam konsentrasi tinggi selama di dalam uterus. Transportasi
glukosa plasenta meningkat, berakibat pada hiperglikemia janin, yang pada akhirnya
akan menstimulasi sekresi insulin oleh pankreas janin.
Berbagai tanda dapat terlihat pada kasus hipoglikemia berat atau
berkepanjangan dan pada bayi yang mengalami hipoglikemia ringan sampai sedang
yang berkepanjangan serta pada bayi yang mengalami stres fisiologis. Tanda-tanda
klinis yang ditemukan merupakan tanda nonspesifik dan merupakan akibat dari
13

gangguan pada lebih dari satu aspek fungsi sistem saraf pusat. Meliputi pola
pernapasan abnormal, seperti takipnea, apnea, atau distress napas; tanda-tanda
kardiovaskuler, seperti takikardia atau bradikardia, dan manifestasi neurologis seperti
jitterness, letargis, kemampuan mengisap yang lemah, instabilitas suhu tubuh, dan
kejang. Hasil laboratorium gula darah sewaktu pasien menunjukan tanda ke arah
hipoglikemia yaitu sebesar 40 mg/DL. Hipoglikemia pada neonatus didefinisikan
sebagai kondisi dimana glukosa plasma di bawah 30 mg/dL (1.65 mmol/L) dalam 24
jam pertama kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL (2.5 mmol/L) setelahnya.
Pemberian Dextrose 10% dengan perhitungan 2 x Berat Badan sesuai kebutuhan
dapat mengembalikan kadar glukosa dalam darah mencapai > 40 mg/dL
Pada perawatan hari keempat, timbul perubahan warna kulit pada pasien
menjadi kuning. Keadaan seperti ini dikenal sebagai Ikterus pada bayi atau yang
dikenal dengan istilah ikterus neonatorum. Keadaan klinis pada bayi yang ditandai
oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Kuning terdapat di daerah wajah hingga telapak kaki yang
dalam penilaian Kramer mencapai Kramer 5. Ikterus pada bayi yang baru lahir akan
muncul bila kadarnya >10 mg/dl. Dengan pemeriksaan bilirubin neonatus yang
mencapai 18 mg/dL semakin mendukung ke arah diagnosa hiperbilirubinemia.
Peningkatan kadar bilirubin dapat dilihat berdasarkan usia (jam) seperti pada grafik
dibawah
ini:

Fototerapi
dan transfusi tukar diindikasikan kepada pasien dengan
pertimbangkan umur sebagai berikut:

14

Keadaan distress pernapasan yang ditemukan pada bayi yang lahir diatas 4000
gram disebabkan oleh Clearence cairan paru janin yang terlambat yang
dikarenakan oleh gangguan fungsi saluran limfe paru dan peningkatan
tekanan vena sentral. Selain terdapat faktor lain penyebab Sindrom Gawat
Nafas pada kasus ini diantaranya akibat keadaan hipoglikemia dan riwayat bayi

yang lahir dengan SC (Sectio Caesarea). Untuk mengatasi SGNN setiap penderita
hampir selalu membutuhkan bantuan CPAP (Continues Positive Airways Pressure)
terutama pada keadaan berat.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

HIPOGLIKEMIA
A. Definisi
Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa serum secara signifikan lebih
rendah daripada rentang pada bayi normal dengan usia postnatal yang sesuai.
Walaupun hipoglikemia dapat terjadi dengan gejala neurologis, seperti letargi, koma,
apnea, seizure atau simpatomimetik, seperti pucat, palpitasi, diaforesis, yang
merupakan manifestasi dari respon terhadap glukosa, banyak neonatus dengan serum
glukosa rendah menunjukkan tanda hipoglikemia nonspesifik.3
Serum glukosa pada neonatus menurun segera setelah lahir sampai 1-3 hari
pertama kehidupan. Pada bayi aterm yang sehat, serum glukosa jarang berada di
bawah nilai 35 mg/dL dalam 1 - 3 jam pertama kehidupan, di bawah 40 mg/dL dalam
3-24 jam, dan kurang dari 45 mg/dL (2.5 mmol/L) setelah 24 jam.3
Hipoglikemia pada neonatus didefinisikan sebagai kondisi dimana glukosa
plasma di bawah 30 mg/dL (1.65 mmol/L) dalam 24 jam pertama kehidupan dan
15

kurang dari 45 mg/dL (2.5 mmol/L) setelahnya. Estimasi rata-rata kadar glukosa
darah pada fetus adalah 15 mg/dL lebih rendah daripada konsentrasi glukosa
maternal. Konsentrasi glukosa akan kemudian berangsur-angsur menurun pada
periode postnatal. Konsentrasi di bawah 45 mg/dL didefinisikan sebagai
hipoglikemia. Dalam 3 jam, konsentrasi glukosa pada bayi aterm normal akan stabil,
berada di antara 50-80 mg/dL. Terdapat dua kelompok neonatus dengan risiko tinggi
mengalami hipoglikemia, yaitu bayi lahir dari ibu diabetik (IDM) dan bayi IUGR.2
Dalam jurnal American Acssociation of Pediatrics, McGowen (2003)
menyatakan pada survei terakhir yang dilakukan oleh para ahli pediatrik di Inggris
menunjukkan bahwa tidak ada konsensus untuk nilai kadar glukosa darah yang
didefinisikan sebagai hipoglikemia. Dengan catatan, konsentrasi yang berada pada
nilai 1 mmol/L (20 mg/dL) sampai 4 mmol/L (70 mg/dL) merupakan batas bawah
normal. Definisi hipoglikemia yang selama ini digunakan dibuat berdasarkan populasi
penelitian pada konsentrasi glukosa darah selama 48-72 jam pertama kehidupan,
dengan hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah kurang dari 2 standar
deviasi di bawah rata-rata normal. Secara fisiologis, hipoglikemia terjadi ketika
ambilan glukosa tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan glukosa dan dapat terjadi
melebihi rentang kadar glukosa normal. Sebagai contoh, bayi aterm sehat berusia 2
jam dengan kadar glukosa darah 30 mg/dL dapat tidak mengalami gangguan fungsi
organ, tetapi pada stressed infant dapat menunjukkan gejala fisiologis hipoglikemia
pada kadar glukosa darah 50 mg/dL jika laju hantaran glukosa pada organ spesifik,
seprti otwak, kurang dari kecepatan metabolisme glukosa. Belum ada penelitian yang
menyatakan kosentrasi glukosa absolut yang mengakibatkan adanya disfungsi organ
baik jangka pendek maupun panjang. Pada eksperimen dengan hewan percobaan,
konsentrasi glukosa kurang dari 1 mmol/L (<20 mg/dL), jika terjadi lebih dari 1 jam
dapat mengakibatkan lesi otak permanen. Tetapi tanpa adanya bukti yang
menunjukkan nilai batas kadar glukosa absolut, tidak ada standar nilai glukosa darah
yang dapat digunakan untuk mendefinisikan hipoglikemia fisiologis.4
Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang paling sering ditemukan
pada neonatus. Pada anak, hipoglikemia terjadi pada nilai glukosa darah kurang dari
40 mg/dL. Sementara pada neonatus, hipoglikemia adalah kondisi dimana glukosa
plasma kurang dari 30 mg/dL pada 24 jam pertama kehidupan dan kurang dari 45
mg/dL setelahnya.1

B. Insidensi
Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada definisi
kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi diestimasikan
sebanyak 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini dapat lebih tinggi pada
populasi dengan risiko tinggi. Sebagai contoh, 8% neonatus BMK umumnya berasal
dari ibu diabetik (IDM) dan 15% bayi preterm dan bayi IUGR dilaporkan mengalami
hipoglikemia; insidensi pada seluruh populasi risiko tinggi diperkirakan sebesar 30%.4
16

Kesuluruhan insidensi hipoglikemia simtomatis pada neonatus bervariasi,


antara 1.3-3 kejadian dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi tersebut bervariasi
tergantung dengan definisi yang digunakan, populasi, metode, dan waktu pemberian
asuan, dan tipe penilaian glukosa. Prevalensi hipoglikemia meningkat pada kelompok
neonatus risiko tinggi. Pemberian asupan nutrisi lebih awal dapat menurunkan
insidensi hipoglikemia. Kelainan metabolisme yang dapat mengakibatkan
hipoglikemia pada neonatus jarang ditemui, tetapi dapat dideteksi sejak masa
neonatus. Insidensi dari kondisi-kondisi ini adalah:4

Carbohydrate metabolism disorders (>1:10,000)

Fatty acid oxidation disorders (1:10,000)

Hereditary fructose intolerance (1:20,000 to 1:50,000)

Glycogen storage diseases (1:25,000)

Galactosemia (1:40,000)

Organic acidemias (1:50,000)

Phosphoenolpyruvate carboxykinase deficiency (rare)

Primary lactic acidosis (rare)

Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa lebih dari 80% neonatus yang masuk ke
NICU, penyebabnya adalah apnea atau hipoglikemia pada neonatus yang lahir pada
usia kehamilan 35-36 minggu.1
C. Etiologi
Penyebab hipoglikemia pada neonatus, meliputi:
1.

Persistent Hyperinsulinemic Hypoglicemia of Infancy

2.

Penyimpanan glikogen yang terbatas (misalnya pada prematur dan IUGR)

3.

Peningkatan penggunaan glukosa (seperti pada kasus hipotermia, polisitemia,


sepsis, defisiensi hormon pertumbuhan)

4.

Penurunan glikogenolisis, gluokoneogenesis, atau penggunaan substrat alternatif


(misalnya pada gangguan metabolisme dan insufisiensi adrenal)

5.

Penurunan penyimpanan glikogen (seperti pada stress akibat asfiksia perinatal,


dan starvation)

17

Pada hipoglikemia ketotik, penyimpanan glikogen mudah berkurang, dan


dikombinasi dengan produksi glukosa melalui gluconeogenesis yang tidak adekuat,
berakibat pada terjadinya hipoglikemia. Jadi, oksigenasi asam lemak diperlukan
dalam menyediakan substrat untuk gluconeogenesis dan ketogenesis. Keton, yang
merupakan hasil samping dari metabolisme asam lemak, diekskresikan melalui urin
dan menunjukkan kondisi kelaparan (starved state).1.

D. Patogenesis
a. Bayi dari Ibu Diabetik (Infants of Diabetic Mother)
Beberapa kelompok bayi memiliki risiko tinggi untuk mengalami
hipoglikemia karena adanya perubahan pada fungsi enzim hepatik sehingga
mengganggu glikogenolisis, gluconeogenesis, atau keduanya. Fungsi hepatik dapat
dipengaruhi oleh sejumlah gangguan endokrin dan metabolik, yang paling umum
terjadi adalah hiperinsulinisme. IDM memiliki sekresi insulin pancreas yang tinggi
karena paparan glukosa maternal dalam konsentrasi tinggi selama di dalam uterus.
Transportasi glukosa plasenta meningkat, berakibat pada hiperglikemia janin, yang
pada akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin oleh pancreas janin. Sekeresi insulin
pancreas pada IDM jaug lebih tinggi dibandingkan dengan nonIDM. Perubahanperubahan yang diinduksi oleh diabetes pada metabolisme maternal, seperti
perubahan pada asam amino serum, berperan pada perubahan metabolik yang terjadi
pada IDM.4
Setelah lahir, konsentrasi glukosa darah yang tinggi sudah tidak ada, tetapi
kondisi hiperinsulinemia menetap, sehingga mengakibatkan rasio insulin:glucagon
tinggi pada postnatal. Akibatnya, glikogenolisis dan lipolysis terhambat, enzim
glukoneogenik tidak terinduksi, dan glukosa hepatik tetap pada kadar yang rendah
dalam kondisi glukosa darah yang rendah. Insulin juga meningkatkan penggunaan
glukosa perifer pada jaringa-jaringan sensitif insulin, seperti otot rangka, yang
berkontribusi pada penurunan glukosa secara cepat. Kombinasi efek dari peningkatan
penggunaan glukosa dan terbatasnya produksi glukosa hepatik mengakibatkan
hipoglikemia, yang dapat menetap selama 24-72 jam sebelum pola sekresi insulin
ternormalisasi.4
b. Hiperinsulinisme
Hipoglikemia yang menetap lebih dari 5-7 hari jarang terjadi dan paling
sering disebabkan oleh hiperinsulinisme. Beberpa neonatus yang IUGR atau asfiksia
akan mengalami hiperinsulinemia yang menetap selama 4 minggu, tetapi kasus seprti
ini relatif jarang terjadi. Beberapa tipe hiperinsulinisme kongenital disebutkan
merupakan penyebab utama hipoglikemia yang menetap sampai melebihi 1 minggu
pertama kehidupan.4

18

Bentuk autosomal resesif dari hiperinsulinisme kongenital dihubungkan pada


adanya defek reseptor sulfonylurea atau kanal K+-ATP. Sebuah mutasi pada lengan
pendek kromosom 11 banyak terjadi populasi Yahudi Ashkenazi, tetapi kasus yang
sama pada kelompok etnis yang lain juga dilaporkan disertai oleh adanya mutasi pada
lokasi yang sama. Telah dilaporkan juga adanya bentuk autosomal dominan dari
hiperinsulinisme. Mutasi yang menyebabkan terjadinya bentuk autosomal dominan
dari hiperinsulinisme belum dapat diidentifikasi, tetapi kelainan ini berbeda dengan
bentuk autosomal resesif yang dicurigai merupakan akibat dari abnormalitas fungsi
reseptor
sulfonylurea.
Sindrom
hiperinsulinemia
kongenital
dan
hiperammonemiadisertai dengan adanya mutasi gen glutamat dehydrogenase.
Sindrom Beckwith-Weidemann disertai dengan adanya hyperplasia organ multipel.,
termasuk pancreas, dengan konsekuensi dari peningkatan sekresi insulin. Jarang
terjadi hiperinsulinemia yang merupakan akibat suatu adenoma lokal sel pulau
pancreas pada pancreas yang normal.4

E. Manifestasi Klinis
Walaupun hipoglikemia sering diklasifikasikan dalam simtomasis dan
asimtomatis, penggolongan tersebut sebenarnya merefleksikan ada atau tidaknya
tanda-tanda fisik yang menyertai kadar glukosa darah yang rendah. Berbagai tanda
dapat terlihat pada kasus hipoglikemia berat atau berkepanjangan dan pada bayi yang
mengalami hipoglikemia ringan sampai sedang yang berkepanjangan serta pada bayi
yang mengalami stres fisiologis. Tanda-tanda klinis yang ditemukan merupakan tanda
nonspesifik dan merupakan akibat dari gangguan pada lebih dari satu aspek fungsi
sistem saraf pusat. Meliputi pola pernapasan abnormal, seperti takipnea, apnea, atau
distress napas; tanda-tanda kardiovaskuler, seperti takikardia atau bradikardia, dan
manifestasi neurologis seperti jitteriness, letargis, kemampuan mengisap yang lemah,
instabilitas suhu tubuh, dan kejang. Banyak dari tanda-tanda tersebut merupakan
akibat dari gangguan neonatus yang lain, seperti sepsis, hypokalemia, dan pendarahan
intracranial. Hipoglikemia harus dipertimbangkan pada bayi yang menunjukkan satu
atau lebih dari gejala-gejala tersebut, karena hipoglikemia yang tak segera diatasi
dapat mengakibatkan konsekuensi serius, dan penatalaksanaan hipoglikemia pun
cepat, relatif mudah, dan memiliki efek samping minimal. Tetapi, pada standar
penatalaksanaan neonatus yang ada saat ini, sebagian besar kasus hipoglikemia
terdiagnosis selama pemeriksaan rutin pada bayi yang dipertimbangkan berisiko
namun dalam evaluasi tampak normal secara fisiologis.4
Lucile Packard Childrens Hospital, 2013, memaparkan bahwa tanda-tanda
hipoglikemia pada neonatus meliputi:3

jitterness

cyanosis (blue coloring)


19

apnea (stopping breathing)

hypothermia (low body temperature)

poor body tone

poor feeding

lethargy

seizures

F. Penatalaksanaan

20

Beberapa agen lain telah digunakan untuk penatalaksanaan hipoglikemia


refraktori, dan paling sering digunakan untuk penatalaksanaan pada salah satu kondisi
hiperinsulinemia. Kortikosteroid, hidrokortison 5-15 mg/kgBB per hari dalam dua
atau tiga dosis terbagi, atau prednisone 2 mg/kgBB perhari. Pemberian agen-agen
tersebut diikuti dengan adanya penurunan penggunaan glukosa perifer dan
peningkatan konsentrasi glukosa darah, tetapi efek samping dari agen tersebut
terhadap sistem metabolisme lainnya harus dijadikan bahan pertimbangan. Pemberian
kortikosteroid sebagai tambahan dari pemberian glukosa intravena bermanfaat dalam
kondisi ketika kebutuhan glukosa lebih besar daripada 15 mg/kgBB2.

SINDROM GAWAT NAFAS PADA NEONATUS


21

A. DEFINISI
Dalam Literatur Anglo Saxon, Sindrom Gawat Nafas pada Neonatus (SGNN)
disebut sebagai Respiratory Distress Syndrome6. Nama lain yang digunakan adalah
Idiopatihc Respiratory Distress Syndrome atau IRDS, bahkan ada yang menyebutnya
sebagai IRDS type one dengan pengertian IRDS type two adalah Transient Tachypnea
of The Newborn (TTN) atau Wet Lung Disease 6. Namun semenjak diketahuinya
penyebab RDS pada bayi-bayi prematur, maka istilah IRDS mulai ditinggalkan 12. Jadi
sindrom gawat nafas pada neonatus, khususnya RDS adalah keadaan dimana terdapat
kumpulan gejala yang terdiri atas dispne, sianosis, takipneu, penggunaan otot-otot
bantu nafas dan adanya merintih6.

B. FAKTOR RISIKO
SGNN bisa diramalkan dengan mengenali faktor-faktor risiko terjadinya
SGNN pada kehamilan, kelahiran dan pada bayi 6. Faktor risiko utama SGNN adalah
prematuritas13. Secara umum dapat kita ketahui bahwa faktor risiko SGNN adalah
sebagai berikut6 :
Faktor pada kehamilan :
1. Kehamilan kurang bulan.
2. Kehamilan dengan penyakit Diabetes Melitus.
3. Kehamilan dengan gawat janin.
4. Kehamilan dengan penyakit kronis ibu.
5. Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat.
6. Kehamilan lebih bulan.
7. Infertilitas.
Faktor pada partus :
1. Partus dengan infeksi intra partum.
2. Partus dengan tindakan
3. Partus dengan penggunaan obat sedatif.
Faktor pada bayi :
1. Skor apgar yang rendah.
2. Bayi berat lahir rendah.
3. Bayi kurang bulan.
4. Berat lahir lebih dari 4000 gram.
5. Cacat bawaan.
6. Frekwensi pernafasan dengan 2 kali observasi lebih dari 60/menit.

22

C. ETIOLOGI
Penyebab SGN pada bayi yang lahir dengan berat badan lebih dari 4000 gram dan
lahir cukup masa kehamilan belum diketahui secara pasti namun dicurigai melalui
sebuah proses yaitu penyerapan cairan paru janin terganggu disebabkan oleh
gangguan penyerapan cairan paru janin dari sistem limfatik paru dan gangguan
mekanik, pada bayi yang lahir secara sectio caesar. Volume cairan yang meningkat
menyebabkan penurunan fungsi paru-paru dan meningkatkan resistensi saluran
napas sehingga menyebabkan takipnea dan retraksi dinding dada.10
D. PATOFISIOLOGI
Segera setelah janin lahir dan mulai menarik nafas terjadi inflasi paru yang
mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolik yang menyebabkan cairan berpindah
ke interstitial. Volume darah paru juga meningkat pada saat bayi menarik nafas,
tetapi cairan dalam paru belum mulai berkurang sampai 30-60 post natal dan
lengkap diabsorbsi dalam 24 jam.12
Masuknya udara ke paru saat menarik napas tidak hanya mendorong cairan ke
interstitial tetapi juga mengakibatkan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi paru
menurun dan meningaktkan aliran darah paru sehingga secara keseluruhan akan
meningkatkan luas permukaan vaskular yang efektif untuk mendrainase cairan.
Pernapasan spontan juga akan menurunkan tekanan intra thorakal sehingga
menurunkan tekanan vena sistemik yang akhirnya meningkatkan drainase melalui
sistem limfatik.11
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir
terutama pada umur 6-8 jam10,12. Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24-72
jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan 10.
Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama 14.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi
paru yang menurun9,14. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis
seperti6,8,9,10,11:
- Dispnea.
- Merintih saat ekspirasi (grunting).
- Takipnea (frekwensi pernafasan > 60/menit).
- Pernafasan cuping hidung.
- Retraksi dinding thoraks (suprasternal, epigastrium atau interkostal) pada
saat inspirasi.
- Sianosis.
Gejala-gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah bayi lahir dengan
gradasi yang berbeda-beda. Namun yang selalu ada ialah dispnea, sehingga
23

dapat kita katakan bahwa kita menghadapi sindrom gawat nafas bila kita
menemukan adanya dispnea. Dispnea adalah kesulitan ventilasi paru. Pada
ventilasi paru yang normal tidak dibutuhkan frekuensi ventilasi ekstra atau
bantuan otot pernafasan tambahan. Sehingga kalau telah ada dispnea maka
akan terjadi takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan
sianosis. Jadi praktisnya bila kita melihat adanya dispne pada neonatus pada
dasarnya kita berhadapan dengan SGNN6. Selain tanda gangguan pernafasan,
ditemukan gejala lain misalnya brakikardia, hipotensi, kardiomegali, pitting
oedema terutama di dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot menurun dan
terdapatnya gejala sentral. Semua gejala tambahan ini sering ditemukan pada
PMH yang berat atau yang sudah mengalami komplikasi 14. Gejala-gejala dan
tanda-tanda penyakit ini dapat mencapai puncaknya dalam waktu 3 hari,
kemudian akan mulai terjadi perbaikan yang berangsur-angsur. Kematian
jarang terjadi setelah 3 hari, kecuali pada bayi yang perjalanan penyakitnya
fatal9.

F. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis SGNN kita tegakkan kalau kita tegakkan kalau kita telah
menemukan sindrom sebagai berikut8,10,12 :
- Dispnea.
- Merintih (grunting).
- Takipne.
- Pernafsan cuping hidung.
- Retraksi dinding toraks.
- Sianosis.
Namun bila pada bayi terdapat faktor risiko terjadinya PMH maka bila dalam 2 kali
observasi frekuensi pernafasan selalu di atas 60 per menit dalam keadaan bayi tidak
menangis maka harus dibuat foto polos. Toraks anteriposterior untuk menegakkan
diagnostik dan untuk menentukan sikap selanjutnya 6,10 . Di rumah sakit rujukan
tindakan diagnostik dikerjakan untuk mengetahui diagnosis anatomik dan fungsional
pada suatu saat. Prosedur diagnostik yang dilakukan tergantung pada keadaan
penderita kemampuan penderita dan fasilitas yang tersedia6. Tindakan diagnostik yang
disebut di bawah ini disusun menurut prioritas berdasarkan keadaan penderita6 :
1. Radiologi toraks.
2. Analisa gas darah.
3. Glukosa darah.
4. Elektrolit darah.
5. Darah tepi le\ngkap.
24

6. EKG.
7. USG otak.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Pemeriksaan foto rontgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam
menentukan diagnosis yang tepat10 (5). Pemeriksaan ini juga untuk menyingkirkan
penyakit lain dengan gejala yang sama dengan SGNN seperti pneumothorax, hernia
diafragmatika, dan lain-lain10,12 (5,7). Gambaran klasik yang ditemukan pada foto
rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrat retrikulogranukor pada
parenkim disertai adanya tabung-tabung udara bronkus (air bronchogram). Kadangkadang disertai dengan gambaran perselubungan yang kasar akibat edema
alveolar8,10,11,13.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksan laboratorium diantaranya ialah
pemeriksaan darah14 :
- Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg %,
prognosis lebih buruk.
- Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat
badan sama.
- Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya doksigenasi di dalam paru dan
karena adanya pirau arteri vena.
- Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai
akibat atelektasis paru.
- PH darah menurun dan defisit basa meningkat akibat adanya asiodosis respiratorik
dan metabolik dalam tubuh.
Juga diperlukan pemeriksaan12 :
- Hb dan hematokrit untuk petunjuk perlu tidaknya plasma espander bila bayi jatuh
dalam syok.
- Pencarian ke arah sepsis, termasuk darah tepi lengkap, termasuk trombosit, kultur
darah, cairan amnion dan urin, CRP.
- Elektrolit.
- Golongan darah.
- Serum glukosa (dapat rendah atau tinggi)

25

G. PENATALAKSANAAN
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam
suasana fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan
paru dan organ lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap
sekitarnya10. Penatalaksanaan penderita SGNN tergantung dari berat ringannya
penyakit, sehingga penatalaksanaan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum
dan tindakan khusus10. Tujuan penatalaksanaan umum ini ialah mengusahakan agar6 :
- Kebutuhan konsumsi O2 dapat diusahakan seminimal mungkin sehingga fungsi
pernafasan dapat berlangsung optimal.
- Kebutuhan makanan bayi dapat terpenuhi.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan dengan baik.
- Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan baik dan kalau perlu intervensi dapat
dilakukan sedini mungkin.
Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai tindakan
penunjang pada penderita berat10. Tindakan umum yang perlu dikerjakan ialah :
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agar tetap dalam batas normal (36,5 C-37 C) dengan meletakan bayi dalam
inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70-80 %)6,14.
2. Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang
disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan
untuk memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi,
mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan
keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang
diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hr. Dengan
pemberian secara ini diharapkan kalori yang dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hr) untuk
mencegah katabolisme tubuh dapat dipenuhi10.
Tindakan khusus meliputi :
1. Pemberian O2
Setiap penderita SGNN hampir selalu membutuhkan O2 tambahan. Pemberian
O2 ini perlu dilakukan secara hati-hati, karena O2 punya pengaruh yang kompleks
terhadap bayi baru lahir10. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi
retrolental) dan lain-lain. Untuk mencegah komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2
yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100
mgHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada,O2 dapat
diberikan sampai gejala sianosis hilang14.
Untuk mencapai tekanan, O2 ini kadang-kadang diperlukan konsentrasi O2
sampai 100 %. Konsentrasi demikian biasanya hanya dapat dicapai apabila O2
diberikan dengan sungkup dan tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2
26

melalui kateter hidung biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang
diperlukan ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator 6. Tindakan ini
dilakukan apabila bayi yang telah mendapatkan O2 dengan konsentrasi 100% masih
memperlihatkan PaO2 kurang dari 40 mmHg, PCO2> 70 mmHg, PH darah < 7,2 atau
masih adanya serangan apneu berulang10. Dasar ventilasi mekanis adalah
mengusahakan agar O2 yang diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh.
Beberapa cara pemberian ventilasi mekanis ini adalah10 :
a. Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan Continues positive
airway pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan memberikan tekanan positif
terhadap udara yang masuk atau mengadakan tekanan negatif yang konstans terhadap
dinding toraks. Pemberian secara ini akan mengurangi terjadinya atelektasis alveolus
disertai perbaikan PaO2 darah.
b. Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten (Intermittent
Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara ini keseimbangan pertukaran gas
tubuh dapat diatur.
c. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan bermacam
cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent negative pressure
ventilation, dan lain-lain.
2. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita SGNN perlu mendapat antibiotika untuk menegah terjadinya
infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit14 (9). Antibiotik diberikan selama
bayi mendapat cairan intravena sampai gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi.
Sebaiknya antibiotik yang dipilih adalah yang mempunyai spektrum luas 10. Antibiotik
yang biasa diberikan adalah penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr) atau ampicilin
(100 mg/KgBB/hr) dengan gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr)14. Bila pemeriksaan kultur
tidak memungkinkan, antibiotik dapat diberikan 5-7 hari. Antibiotik yang dipilih bisa
juga kombinasi ampisilin/sefalosporin dengan aminoglikosid/kemisitin6.
3. Pemberian NaHCO3
Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki
dengan pemberian NaHCO3 secara intravena14 (9). Pemeriksaan keseimbangan asam
basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar NaHCO3 dapat disesuaikan dengan
rumus10,14
(5,9) :
Konsentrasi NaHCO3 yang diberikan biasanya antara 7,5-8,4 % dan kebutuhan yang
diperlukan sebagian dapat diberikan langsung intravena dan sisanya diberikan secara
tetesan10. Tujuan pemberian NaHCO3 adalah untuk mempertahankan PH darah antara
7,35-7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam basa tidak ada,
NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang digunakan berupa campuran
larutan glukosa 5-10 % dengan NaHCO3 1,5 % dalam perbandingan. 4 : 1. Pada

27

asidosis yang berat penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah
basa yang diberikan sudah cukup adekuat14.
Kebutuhan NaHCO3 = Defisit basa x 0,3 x BB(Kg)

H. PENCEGAHAN
Usaha pokok penanganan SGNN ini harus dipusatkan pada usaha
pencegahan11. Yang paling penting adalah mencegah terjadinya prematuritas,
termasuk menghindari faktor risiko untuk terjadinya SGNN 6. Pencegahan yang bisa
dilakukan diantaranya :
1. Mencegah kelahiran bayi dengan IUGR (Intra Growth Retardation)6.
2. Antenatal ultrasound untuk lebih dapat menentukan gestasi secara akurat dan
mendeteksi keadaan fetus12.
3. Fetal monitoring yang berkelanjutan untuk mendeteksi keadaan fetus dan
mengetahui perlunya intervensi segera bila terjadi fetal distress12.
4. Menentukan pematangan paru sebelum persalinan dengan pemeriksaan L/S
rasio12,14.
5. Pengendalian kadar gula ibu hamil yang menderita DM6.
6. Optimalisasi kesehatan ibu hamil6.
7. Menghindari SC yang sebenarnya tidak diperlukan9.
8. Prevensi dan intervensi persalinan prematur dengan tokolitik dan glukokortikoid
untuk merangsang pematangan paru12.
Pemberian kortikosteroid pada wanita hamil 48-72 jam sebelum persalinan
dengan janin masa gestasi 34 minggu menurunkan insidens dan mortalitas akibat
SGNN12,13. Dengan demikian layak memberikan 1-2 dosis betametason atau
deksametason secara IM kepada wanita hamil yang lesitinnya dalam cairan ketuban
memberi petunjuk adanya imaturitas paru janin dan yang kemungkinan besar akan
melahirkan bayi antara 48-72 jam atau yang persalinannya dapat ditunda selama 48
jam atau lebih9.
Di samping kortikosteroid telah banyak dilaporkan beberapa obat yang
dinyatakan dapat merangsang maturitas paru. Salah satu obat yang dianggap lebih
baik dari kortikosteroid adalah ambroxol. Pemberian sebanyak 1000 mg/hr selama 5
hari berturut-turut pada persalinan prematur yang mempunyai risiko menderita PMH,
dapat menurunkan angka kematian bayi. Selanjutnya terdapat obat lain seperti
aminofilin, tiroksin, isoxsuprine, dan lain-lain10.

28

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat SGNN adalah :
1. Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat
terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-kadang
disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik, terutama pada
pembuluh darah kapiler di daerah periventrikular dan dapat juga di ganglia bavalis
dan jaringan otak lainnya10.
2. Pada intubasi trakea bisa terjadi asfiksasi akibat obstruksi pipa, penghentian
jantung (cardiac arrest) selama intubasi atau penyedotan dan timbulnya stenosis
subglotis di kemudian hari9.
3. Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apreu, gerakan
bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya8.
4. Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi
yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan yang
tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara
pernafasan yang memasuki rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum10.
5. Pada SGNN yang berat sering ditemukan koagulasi intravaskular diseminata.
Beberapa penderita juga memperlihatkan gangguan faktor koagulasi (PT dan PTT
memanjang) dan trombositopenia yang merupakan ciri karakteristik penyakit tersebut.
Komplikasi ini terutama ditemukan pada penderita PMH yang disertai dengan sepsis
oleh kuman gram negatif atau didahului oleh asfiksia berat10.
6. Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan keadaan payah
jantung yang sulit untuk ditanggulangi10.
J. PROGNOSIS
Prognosis SGNN tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit 14.
Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 dan
pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna10. Pada penderita yang lanjut mortalitas
diperkirakan 20-40 %10,14. Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan
terbaru mortalitas ini dapat menurun10. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan.
Kelainan yang timbul dikemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi
pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri10. Pada fungsi paru
yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari SGNN, prognosisnya
sangat baik9.

29

HIPERBILIRUBINEMIA

A. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi
sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice)
apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani.15
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatorum adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera
akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin >7 mg/dl. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.16

B. Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus.
Adapun tanda-tanda sebagai berikut:17
1.
2.
3.
4.
5.

Timbul pada hari kedua dan ketiga


Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari
Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai
berikut:17
1.
2.
3.
4.
5.

Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama


Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik

30

C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:18
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa
lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar
dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).19
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
31

masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,


bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin.19
Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2 mg/dl dan
pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7 mg/dl.20
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya atau disebabkan
oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi
saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya
mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5 mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus
atau jaundice.21
E. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6 mg/dl.15 Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin
indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning
muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk)
memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini
hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.22
Gambaran klinis ikterus fisiologis:23
i. Tampak pada hari 3,4
ii. Bayi tampak sehat (normal)
iii. Kadar bilirubin total <12 mg%
iv. Menghilang paling lambat 10-14 hari
v. Tak ada faktor resiko
vi. Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Gambaran klinik ikterus patologis:23


Timbul pada umur <36 jam
Cepat berkembang
Bisa disertai anemia
Menghilang lebih dari 2 minggu
Ada faktor resiko
Dasar: proses patologis

32

F. Diagnosis
Anamnesis:15
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM,
gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
3. Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi
sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar
dan limpa
Pemeriksaan Fisik:15
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit
gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing
tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya.15
33

Zona Indirek

Bagian
Kuning

Tubuh

yang Rata-Rata Serum Bilirubin

Kepala leher

100

Leher pusat

150

Pusat paha

200

Lengan dan tungkai

250

Tangan dan kaki

>250

Tabel 1 Derajat Ikterus menurut Kramer


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi- bayi yang tergolong resiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs
test, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan
bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24
jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin
juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.15
Waktu
Hari ke 1

Hari ke 2 s/d 5

Diagnosis Banding
Anjuran Pemeriksaan
Penyakit hemolitik
Kadar
bilirubin
Inkompatibilitas
serum berkala
Hb, Ht, retikulosit
darah (Rh, ABO)
Sferositosis
Sediaan hapus darah
Anemia
hemolitik
Golongan
darah
nonsferositosis
ibu/bayi
Uji Coomb
(defisiensi G6PD)

Kuning pada bayi


prematur
Kuning fisiologik
Sepsis
Darah ekstravaskular
Polisitemia
Sferositosis

Hitung jenis
Darah lengkap
Urin
mikroskopik
dan biakan urin
Pemeriksaan
terhadap
infeksi
bakteri
Golongan
darah
34

kongenital

Hari ke 5 s/d 10

Sepsis
Kuning karena ASI
Def G6PD
Hipotiroidisme
Galaktosemia
Obat-obatan

Hari ke 10 atau lebih

Atresia biliaris
Hepatitis neonatal
Kista koledokus
Sepsis
(terutama
infeksi
saluran
kemih)
Stenosis pilorik

ibu/bayi
Uji Coomb

Uji fungsi tiroid,


Uji tapis enzim
G6PD
Gula dalam urin
Pemeriksaan
terhadap sepsis
Urin
mikroskopik
dan biakan
Uji serologi TORCH
Alfa fetoprotein, alfa
1 antitripsin
Kolesistografi
Uji Rose-Bengal

Tabel 2 Penegakkan Diagnosis Ikterus Neonatorum berdasarkan Waktu


Kejadian
G. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:15
1. Stimulasi
proses
konjugasi
bilirubin
menggunakan
fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya
bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang
terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah
jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme
bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi)
atau menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi
bilirubin. Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam
plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada
dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis
tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian
makanan oral dini.
35

4. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer


foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh
karena mudah larut dalam air.
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi
tukar. Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi
sebagai berikut:18
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek
20 mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,31mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal
jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14 mg% dan
uji Coombs direk positif
6. Menghambat
produksi
bilirubin.
Metalloprotoporfirin
merupakan kompetitor inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini
masih dalam penelitian dan belum digunakan secara rutin.
7. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara
intravena (500-1000 mg/kg IV) 2 hingga 4 jam telah
digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan
penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui
tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor
pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah
lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.20
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit:20
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas
mungkin dengan membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang
dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina
mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap
jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian
tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi
dengan hemolisis.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Cranmer, H. Neonatal Hypoglycemia. Emedicine Medscape 2013.


2. Hay, W. 2008. The Newborn Infant. Lange Current Diagnosis and Treatment
of Pediatrics.
3. Lucille Packard Childrens Hospital at Stanford. Hypoglycemia in the
Newborn 2013.
4. McGowan,J. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review: American
Associaton of Pediatrics Publication 2003.
5. Sperling, Mark. A. Hypoglycemia. Nelson Pediatrics 2011: 19.
6. Monintja HE, Rulina S, Asril A. Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI 1991: p. 1-7, 55, 656.
7. Harthaway, WE et al. Pediatrics Diagnosis & Treatment 1993: 2: p. 33.
8. Pincus C, Lan R. Kapita Selekta Pediatri 1991: 2: p.45-6.
9. Siregar MR. Nelson Ilmu Kesehatan Anak 1988: 12: p. 622-7.
10. Markum, AH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak 1991: p. 303-6.
11. Klaus & Fanaroff. Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi 1998: 4: p. 286-9.
12. Winarno, dkk. Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus. Simposium Gawat
Darurat Neonatus, Unit Kerja Koordinasi Pediatri Darurat IDAI 1991 p. 1513.
13. Masjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran 2000: 3: p. 507-8.
14. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak 1985.
15. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Kapita Selekta Kedokteran 2000: 312:
p. 503-505.
16. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Buku Ajara Neonatologi 2008:1: p. 147-169.
17. Arief ZR, Kristiyanasari, W. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak 2009.
18. Hassan R. Inkompatibilitas ABO dan ikterus pada Bayi Baru Lahir. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2005: p. 1105-1106, 1109, 1079.
19. Sacher RA, Mc Pherson RA. Widmanns Clinical Interpretation of Laboratory
Tests 2001:11.
20. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Neonatal Hyperbilirubinemia. Manual
of Neonatal Care 2008 : p. 181, 194, 202, 204, 210.
21. Murray RK et al. Biokimia Harper 2009 : 27: p. 299.
22. Stoll BJ, Kliegman RM. Jaundice and hyperbilirubinemia in the newborn.
Nelson Textbook of Pediatrics 2007: 18: p. 756-8, 768, 772.
23. Sarwono, Erwin, et al. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi
La/UPF Ilmu Kesehatan Anak 994 : p. 169, 173.

37

Anda mungkin juga menyukai