Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara hukum dan paham demokrasi tedapat dalam alinea ke-4 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksankan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan penegasan tersebut diatas, maka
Indonesia sudah mengikrarkan dirinya sebagai negara hukum yang selayaknya menjunjung
tinggi prinsip-prinsip dari suatu negara hukum. Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 juga ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Pasca Perubahan UUD 1945, kedaulatan rakyat diwujudkan dengan prinsip
pemisahan kekuasaan (separation of power) yang membagi kekuasaan lembaga negara secara
horizontal, sehingga lembaga-lembaga negara menjadi kekuasaan yang sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances. Sebelum adanya
perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri berpuncak pada
Mahkamah Agung. Dengan Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 pada tahun 2001,
Indonesia telah mendirikan satu mahkamah lain yang berada diluar Mahkamah Agung dan
lembaga tersebut mempunyai kedudukan sederajat dengan Mahkamah Agung yang disebut
dengan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan kewenangan khusus yang merupakan salah
satu bentuk judicial control dalam kerangka sistem checks and balances tersebut di antara
cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Perubahan Ketiga UUD
Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 24 ayat (2) yang mengatur kewenangan lembaga
peradilan atau kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan
ini menunjukan bahwa Indonesia berusaha untuk konsisten dalam menerapkan prinsip
prinsip sebagai negara hukum. Ketentuan tersebut juga menunjukan bahwa Mahkamah
Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum
dan keadilan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia 1945. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru dalam menyelenggarakan
peradilan. Mahkamah Konstitusi harus mendasarkan pada ketentuan hukum acara
sebagaimana badan peradilan lain yang juga melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Sebagai lembaga yang baru dalam ketatanegaraan Indonesia, maka Mahkamah
Konstitusi tentunya memiliki peran yang strategis dan sangat diperlukan bagi berjalanannya
kehidupan bernegara di Indonesia. Dari uraian tersebut, maka penulis membuat tulisan
dengan judul Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Ditinjau Dari
Perspektif Hak Yuridisnya Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menyusun rumusan masalah
sebagai berikut:
1) Bagaimana kedudukan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Konstitusi Indonesia ?
2) Bagaimana Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Ditinjau Dari
Perspektif Hak Yuridisnya ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia.
Konstitusi memuat peraturan-peraturan pokok (fundamental) mengenai soko-soko
guru atau sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama
negara tetap berdiri (M. Solly Lubis, 2002:50) . Di antara konstitusi-konstitusii yang
ada di dunia, ada konstitusi yang tertulis (written constitution) dan ada konstitusi yang
tidak tertulis (unwritten constitution). Yang tertulis itu ialah Undang-undang Dasar
(Grondwet), sedangkan yang tidak tertulis ialah konstitusi berupa konvensi atau
kebiasaan dalam ketatanegaraan. Menurut Sri Soemantri M yang dikutip oleh Dahlan
Thaib, Jazim Hamidi dan (Nimatul Huda, 2003: 8) mengemukakan di negara-negara
yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution
yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktek
dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-undang Dasar, tetapi ada juga yang
menyamakan dengan pengertian Undang-undang Dasar.
Dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia konstitusi adalah suatu
naskah yang memuat suatu bangunan negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan
negara. Dengan mengacu pada pengertian ini, maka ada perbedaan konstitusi dengan
Undang-Undang Dasar. Konstitusi sebagai naskah tertulis (UUD) dan dalam konteks
negara modern memang suatu keharusan tidak boleh tertinggal atau senantiasa
diupayakan relevansinya (up to date) oleh para penyelenggara negara (Sobirin Malian,
2001:40). Menurut Herman Heller, konstitusi tidak hanya bersifat yuridis, melainkan juga
sosiologis dan politis, (Sobirin Malian, 2001:40). Dengan demikian konstitusi merupakan
hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya,
karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otoritas bentukbentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peratuan-peraturan yang tingkatannya

berada dibawah UUD dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2005: 23).
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimna
telah diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan
rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan. Isinya mencakup dasardasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political
reform) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan
zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform),
serta sarana perekayasaan (tool of social and political engineering) ke arah cita-cita
kolektif bangsa. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai negara di
dunia, yang menjadikan Undang-undang Dasar hanya sebagai konstitusi politik, maka
Undang-undang Dasar ini juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi
dan demokrasi sosial. Karena itu, Undang-undang Dasar ini dapat disebut sebagai
konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan
cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya
dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar
(rechsidee).
Prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu tidak lagi dianut oleh
UUD 1945. Meskipun bukan dalam pengertian trias politica, Negara Indonesia menganut
paham pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances antarlembagalembaga negara. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU. Sementara
yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah tingkatan dan
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika
lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu
lebih rendah lagi tingkatannya (Jimly Asshiddiqie, 2006:42-43). Sistem konstitusi di
Indonesia tidak lagi mengenal lembaga tertinggi negara, maka perlu disediakan
mekanisme untuk mengatasi kemungkinan persengketaan di antara sesama lembaga
tinggi negara yang telah menjadi sederajat dan saling mengendalikan. Terkait hal ini
Mahkamah Konstitusi diamahkan dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Mahkamah

Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang
diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasaan yang mendalam, cermat, dan
demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya
Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD
1945 pada tanggal 9 November 2001. Dengan problematik pasca dibentuknya Mahkamah
Konstitusi, megakibatkan keberadaannya telah mendapat pengakuan secara yuridis dalam
sistem hukum di Indonesia. Adapun kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
berikut:
Gambar Struktur Ketatanegaraan setelah Perubahan UUD 1945
UUD 1945
B.

DPD

MPR

DPR

Bank Sentral
KPU

TNI

Presiden dan Wakil Presiden

Mentri Negara

Kejaksaan Agung

DPP

MA

MK

BPK

KY

Polri
KPK

Komnas HAM

Lembaga Daerah

Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung seperti halnya


dalam sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah
Agung. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya
adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dengan perubahan UUD 1945, maka selain Mahkamah Agung sebagai
puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan yang berada di

bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan
Mahakamh Agung. Kedua lembaga tersebut adalah memiliki fungsi yang sama sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yurisdiksi atau kompetensinya.
Mengenai susunan, dan kekuasaan Mahkamah Konstitusi beserta pengangkatan dan
pemberhentian hakim Konstitusi, dan lain-lain diatur lebih lanjut dalam Undang-undang
nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan beberapa Peraturan Mahkamah
Konstitusi sebagai pearaturan pelaksanaannya. Pengaturan ini diharapkan sebagai sistem
kontrol penyelenggaraan Mahkamah Konstitusi, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat luas.

B. Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Hak


Yuridisnya
Kewenangan adalah kemampuan bertindak berdasarkan hukum, baik bagi perseorangan
maupun lembaga hukum dan lembaga negara sejak negara dianggap sebagai suatu status
hukum (state) ataupun masyarakat hukum (legal society) yang dibentuk dengan suatu
perjanjian masyarakat (social contract) (Josef Riwo Kaho, 1990:91). Hal tersebut juga sesuai
dengan pendapat JJ. Rousseau kewenangan-kewenangan negara ialah kewenangan
pembentuk hukum atau legislatif dan kewenangan menerapkan hukum atau eksekutif serta
kewenangan menegakkan hukum atau yudikatif. Ketiga kewenangan ini kemudian dikenal
sebagai Trias Politica. Kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan. Sementara
itu, kekuasaan menurut Miriam Budiarjdo adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah
laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Perlu dibedakan antara scope of power
dan domain of power. Scope of power atau ruang lingkup kekuasaan menunjuk pada
kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek dari
kekuasaan. Sementara istilah domain of power, jangkauan kekuasaan, menunjuk pada
pelaku, kelompok, atau kolektivitas yang terkena kekuasaan (Firmansyah Arifin, dkk. 2005:
16). Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang
memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule and the ruled). Berdasarkan pengertian

ini dapat terjadi kakuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum oleh Henc Van Maarseven disebut sebagai blote match (Abdul
Rasyid Thalib, 2006: 207). Terkait dengan adanya pemisahan negara yang dianut oleh
Indonesia telah melahirkan kewenangan dan kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan tugasnya yang termanivestasi dalam visi dan misinya yaitu sebagai berikut:
Visi Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat
Misi Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan yang
modern dan terpercaya, Membangun konstitusional Indonesia dan budaya sadar
berkonstitusi (www.mahkamahkonstitusi.go.id)
Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max weber disebut sebagai
wewenang rasional atau legal yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini
dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan
bahkan yang diperkuat oleh negara. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Dalam hukum publik, wewenang
berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang
karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah kekuasaan
formal (Abdul Rasyid Thalib, 2006: 208). Dengan dimikian jika diharmonisasikan terkait
aturan khusus Berdasarkan pasal 1 ayat (6) Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor
08/pmk/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara, pengertian kewenangan konstitusional lembaga negara adalah
kewenangan yang dapat berupa wewenang/ hak dan tugas/ kewajiban lembaga negara yang
diberikan oleh UUD 1945.
Tugas dan kewenangan merupakan simbolisasi hubungan antara lembaga dan
aktifitasnya. Gabungan tugas yang dilakukan sebuah lembaga adalah operasionalisasi dari
sebuah fungsi yang sifatnya ke dalam. Penggunaan kata tugas tidak dapat dipisahkan dari
wewenang. Oleh karenanya, sering digunakan secara bersama-sama, yaitu tugas dan
wewenang. Jika dibandingkan dengan fungsi, ataupun tugas, kata wewenang lebih
mempunyai makna yang berkaitan dengan hukum secara langsung. Dengan dinyatakannya
sebuah lembaga mempunyai wewenang, timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan
eksklusif. Kategorial merupakan unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai

wewenang dan yang tidak mempunyai wewenang. Eksklusif berarti menjadikan lembagalembaga yang tidak disebut merupakan lembaga yang tidak diberi wewenang. Sebagai
konsekuensinya, atas seluruh akibat keluar yang ditimbulkan oleh aktivitas serupa yang
dilakukan lembaga yang tidak diberi wewenang tidak mempunyai akibat hukum. Sifat
kategorial-eksklusif ini berlaku secara horizontal, artinya menyangkut hubungan dengan
lembaga lainnya yang kedudukannya sederajat. Di samping itu, mempunyai sifat
subordinatif yang bersifat vertikal, yakni menumbuhkan kewajiban bagi mereka yang
berada di bawah lembaga tersebut untuk tunduk kepada lembaga yang diberi wewenang
(Firmansyaf Arifin, 2005:114-115).
Pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel
van wetmatighheid van bestuur)3, berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa

wewenang

pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi


pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu
atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini, H.D. Van
Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
1. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintah).
2. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander,
(delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya).
3. Maandat : een bestuursorgaan laat sijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een
ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan
oleh organ lain atas namanya).
Kewenangan dan kekuasaan terkait hak yuridis yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi mempunyai beberapa karakteristik yaitu sebagai berikut: Pertama, hak untuk
membuat keputusan-keputusan yang berkepastian hukum. Hal itu sangat berkaitan dengan
pelaksanaan

kewenangan

yang

ditelurkannya

sebagai

bagian

dari

pelaksanaan

kewenangannya. Potensi konflik pelaksanaan kewenangan lembaga negara sangat mungkin


lahir dari adanya produk hukum yang dikeluarkan sebuah lembaga negara dan kemudian

produk tersebut mengikat kepada lembaga negara lainnya. Karakteristik tersebut akan
memetakan potensi konflik dari sudut pandang produk. Kedua, perbedaan pelegitimasian
antara kekuasaan dan kewenangan. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa lembaga negara
yang secara legitimatif kekuasaannya diberikan dalam landasan hukum yang berbeda
dengan landasan hukum kewenangannya. Hal itu dapat menimbulkan perbedaan tafsiran
antara kekuasaan, fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban maupun penjabaran terhadap
unsur-unsur tersebut. Sebuah lembaga negara sering kali memiliki perangkat hukum yang
berbeda baik dalam menentukan unsur-unsur tersebut maupun menjabarkan unsur-unsur
tersebut. Ketiga, aturan hierarkis yang jelas. Asas yang khusus mengesampingkan yang
umum (lex specialis derogat legi generale) ataupun asas kedudukan peraturan yang lebih
tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi inferiori)
memang merupakan asas yang perlu dalam menjamin kepastian hukum, tetapi hierarki ini
dapat membingungkan. Apalagi ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut atau
terhilangkan oleh aturan hierarki yang baru. Keempat, kewenangan yang terbagi. Beberapa
jenis kewenangan dimiliki lembaga negara tidak secara sendirian, tetapi berbagi dengan
lembaga negara lainnya. Patokan jenis atau wilayah yang tidak boleh saling langgar sering
kali menjadi rancu ketika mulai ditafsirkan. Wilayah mana yang merupakan kewenangan
suatu lembaga negara dan wilayah mana merupakan kewenangan lembaga negara yang lain
dan tidak boleh dilanggar.

(Firmansyah Arifin, 2005:115-116)

Dengan disahkannya Undang-undang nomor 24 tahun 2003 (Lembaran Negara


Nomor 98 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, secara lengkap kewenangan
dari Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2),
maka kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a) Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik; dan
d) Memutus Perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden dan/ atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Pengaturan mengenai

kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diatur dalam ketentuan pasal 24C


ayat (1), ayat (2) dan pasal 7B Perubahan Ketiga UUD 1945. Dari beberapa
kewenangan Mahkamah Konstitusi diatas, maka Mahkamah Konstitusi merupakan
peradilan khusus, karena hanya menyelesaikan persoalan-persoalan khusus dan
putusannya bersifat final. Akan tetapi mengingat Mahkamah Konstitusi ini merupakan
lembaga baru, sehingga masih diperlukan pengkajian secara cermat dan mendalam
tentang

bagaimana

kompetensi

Mahkamah

Konstitusi

dalam

pelaksanaan

wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga


negara.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka penulis menarik beberapa kesimpulan,
yaitu sebagai berikut :
1. Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung, tetapi berdiri sendiri
serta terpisah dari Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara
dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan
kehakiman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan perubahan UUD 1945,
maka selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi
yang secara fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak
mempunyai hubungan struktural dengan Mahakamh Agung. Kedua lembaga tersebut
adalah memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun
dibedakan dalam yurisdiksi atau kompetensinya.
2. Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan khusus, karena hanya menyelesaikan
persoalan-persoalan khusus dan putusannya bersifat final. Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:

a) Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik; dan
d) Memutus Perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
B. Saran
1. Bentuk susunan ketatanegaraan pasca amandemen yang menempatkan MK dan MA
tidak dalam satu atap merupakan sesuatu yang harus dipertahankan karena menurut
penulis hal tersebut sudah ideal.
2. Perlu adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai aturan beracara MK.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abdul Latief. 2007. Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan

Negara Hukum

Demokrasi. Yogyakarta: Kreasi Total Media


Abdul Rasyid Thalib. 2006. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Dahlan Thaib. Jazim Hamidi, dan Nimatul Huda, 2003. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. Edisi Revisi. Cetakan Ketiga.
Firmansyah Arifin. dkk, 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). Cetakan Pertama.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945. Cetakan Kedua. Yogyakarta: FH UII Press. Cetakan Kedua.
_______________. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
_______________. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta:
Konstitusi Press. Cetakan Ketiga.
_______________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Konstitusi Press.
Josef Riwo Kaho. 1990. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Maruarar Siahaan. 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press.
M. Solly Lubis. 2002. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Maju.
Nukthoh Arfawie Kurde. 2005. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cetakan Pertama.
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sobirin Malian. 2001. Gagasan Baru Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945.
Jogjakarta: UII Press.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
_______________. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sumber Peraturan Perundang - undangan
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang - Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 03/pmk/2004 tentang Tata Tertib
Persidangan pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 08/pmk/2006 tentang Pedoman
Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Sumber Internet
http//:www.mahkamahkonstitusi.go.id

Anda mungkin juga menyukai