bernegara. Hal ini juga telah dibingkai dan dibungkus dalam Pasal 1 ayat (3) Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum
merupakan legitimasi tertinggi yang akan menjadi sumber ketertiban hukum dalam menjalankan
ketatanegaraan di Indonesia. Muatan konstitusi ini juga akan berdampak pada sistem hukum
yang dianut oleh Indonesia.
Sistem hukum eropa kontinental telah mengalami dinamisasi dan proses perjalanan yang
sangat panjang mengingat jiwa revolusioner yang telah mengiringi perjalanannya. Bersamaan
dengan itu pula sifat yang administratif prosedural juga menjadi titik sentral dalam sistem ini.
Perlu dingat juga bahwa sistem anglo saxon memiliki makna yang berbanding terbalik yaitu
jiwanya yang evolusioner dan lebih mengedepankan makna justice sebagai kunci law
enforcement nya. Perdebatan antara tujuan hukum yang akan dicapai apakah kepastian hukum
atau kah keadilan selalu menjadi titik point dalam penerapannya. Lalu kemannfaatan ada
dimana? Berbagai perspektif banyak menempatkan letak kemanfaatan itu sendiri dan bahkan
bisa berdiri sendiri.
Persamaan dalam hukum (equality before the law) berkaitan dengan adanya persamaan
kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan
dilaksankan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini segala sikap dan tindakan
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang
terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan
affirmative action guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau
kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh
lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui
affirmative action yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok
masyarakat suku terasing atau kelompok hukum tertentu yang kondisinya terbelakang.
Sedangkan kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan
bersifat diskriminatif, misalnya adalah kaum wanita atau pun anak-anak terlantar (Jimly
Asshidiqie, 2008:35). Negara Indonesia adalah negara berkonstitusi dengan menempatkan
otoritas hukum sebagai sumber hukum tertulis menjadi panglima tertinggi dalam proses
penyelenggaraan tata negara. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia lebih dekat dengan konsep
rechtsstaat yang menjadikan aturan tertulis baik dalam konstitusi maupun dalam peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi dalam praktek baik secara formal dan prosedural telah
mengalami metamorphosis ke dalam konsep rule of law. Dasar hukum pada tahapan tersebut
telah terakomodir dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang terdapat dogma equality before the law padahal dogma ini merupakan praktek
dalam sistem hukum anglo-saxon sedangkan Indonesia menganut sistem eropa kontinental.
Sistem campuran ini telah menimbulkan sistem yang menurut Penulis bersifat hermafrodit atau
jenis kelamin ganda. Konsekuensi logisnya adalah ada baik dan buruk jika dipraktekan dalam
proses ketatanegaraan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah paradigma equality before the law sebagai alat represif negara?
2. Bagaimanakah praktek taktis-strategis equality before the law terhadap rechtsstaat di
Indonesia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma equality before the law sebagai alat represif negara
Pemaknaan alat represif negara Menurut Penulis berawal dari adanya paradigma
bahwa proses pembuatan hukum adalah berasal dari negara. Penulis mencoba
memberikan pandangan positivism yang mengatakan bahwa hukum adalah apa pun yang
telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membuatnya (whatever is enacted by the
law making agency is the law in society) (Moh Mahfud MD, 2009:358). Tipe negara
hukum terdapat kedaulatan hukum (C.S.T Kansil, 1986:83). Menurut Muladi penegakan
hukum adalah suatu usulan untuk mencegah dan sekaligus nilai-nilai yang ada di
belakang norma-norma tersebut. Penegakan hukum yang ideal harus disertakan kesadaran
hukum bahwa sub sistem sosial (Nurul Akhmad, 2010:21). Sistem hukum anglo saxon
rule of law dipelopori oleh A.V Dicey. Menurut doktrin ini konsep rule of law diiukur
dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut; Pertama, supremasi hukum (supremation of
law). Kedua, persamaan dihadapan hukum (equality before the law). Ketiga, konstitusi
yang didasarkan atas hak-hak perorangan (constution based on individual rights ) (Titik
Triwulan Tutik, 2006:96). Equality before the law merupakan ciri khas dari sistem hukum
dari rule of law, akan tetapi adopsi dan transformasi dogmanya tersebut masuk
terinfiltrasi pada muatan konstitusi di Indonesia.
Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 disebutkan Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada
kecualinya. Perlu diketahui bahwa pada Pasal 28D ayat (1) juga terdapat klausula
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selanjutnya dalam ayat (3) ada juga klausula
persamaan yang sama dalam pemerintahan. Dua paradigma dalam Pasal 28D ini
merupakan anak dari substansi dari Pasal 27 ayat (1) dan telah berimplikasi terhadap
bahwa negara wajib mempunyai korelasi terhadap tanggung jawabnya terhadap warga
negara tanpa terkecuali. Dogma berupa hukum positif wajib ditaati oleh semua warga.
Hukum dibuat untuk memberikan kepastian hukum dengan penerapan sanksi yang tegas
terhadap para pelanggarnya. Tujuan hukum adalah untuk mencipatakan kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum hanya berlandaskan pada aturan yang kaku
terhadap hukum positif yang dibuat negara. Sedangkan keadilan dan kemanfaatan lebih
cenderung menerobos sekat-sekat yang terdapat di dalam hukum positif. Terkait substansi
aturan tersebut tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negaranya baik perlakuan
maupun pemberian sanksinya. Kaum yang marginal juga wajib dilindungi tanpa ada
diskriminasi keadilan.
Menurut J.B.J.M ten Berge prinsip-prinsip negara hukum adalah adanya azas
legalitas, perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah terikat pada hukum,
monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum, dan pengawasan oleh
hakim yang berbeda. Sedang prinsip-prinsip negara demokrasi adalah perwakilan politik,
pertanggung jawaban politik, pemencaran kewenangan, pengaawasan dan kontrol,
3
kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum, dan rakyat diberi kemungkinan
untuk mengajukan keberatan (Ridwan HR, 2006:9).
Sifat terbuka dari ideologi sistem politik demokrasi memungkinkan dan bahkan
menghendaki komunikasi politik mengembangkan dialog yang wajar dan sehat serta arah
timbal balik secara vertikal maupun horizontal (Alfian, 1993:13). Sebagaimana yang
telah dikutip oleh Robert Dahl yang banyak menaruh perhatian terhadap demokrasi
kontemporer. Dalam makna democratic political order sangatlah bermanfaat untuk
dijadikan kerangka acuan untuk mengamati ada dan tidaknya demokrasi diwujudkan
dalam suatu pemerintahan Negara (Affan Gafar, 2004:6). Pemaknaan demokrasi sepintas
memang buah pikiran dari kebijakan politik negara. Demokrasi lebih cenderung sebagai
upaya dalam memberikan kebebasan terhadap warga negara dalam menyalurkan
aspirasinya baik dari fakta hukum maupun sosial. Affirmative action merupakan salah
satu cara untuk memberikan pembatasan yang berkeadilan terhadap kebebasan
berdemokrasi. Equality before the law dalam penerapannya tidak terlepas dari wujud
guna merealisasikan konsep demokrasi agar kaum yang termarginalkan dapat tersentuh
dan dapat dilindungi kepentingan hukumnya. Negara memiliki kewajiban penuh dalam
menjaga equality before the law agar dapat dijalankan pada setiap warga negaranya.
dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh dirubah-rubah (NiMatul Huda dkk,
2007:291). Anthon F. Susanto sebagaimana mengutip dari Joseph R.Gusfied tentang
development justice atau pembangunan keadilan akan membedakan hukum dalam
instrument dan simbolis (Anthon F. Susanto, 2004:49). Hal ini menjadi tolak ukur
terhadap adanya saling kontrol dan bahkan saling adu citra dan adu gengsi antara
lembaga negara. Pelanggaran hak asasi manusia di Bima dan Mesuji merupakan fakta
hukum bahwa negara belum dapat menjunjung martabat warga negaranya. Aturan tertulis
hanya dijadikan alat penguasa dalam transaksional hukum di parlemen. Selain itu
terobosan hukum masih bersifat retro aktif dan salah dalam menggunakan logika dan
penafsiran hukum. Nilai-nilai hukum baik prosedural dan substansial dicampur adukan
dalam elaborasi hukum yang otonom dan tidak memihak pada upaya menciptakan
kepastian hukum. Aksiomatik hukum dibuat permainan dan hanya digunakan oleh para
penegak hukum dalam memberikan penafsiran terhadap aturan undang-undang. Azas
legalitas hanya dijadikan alat dalam mencipatakan hukum baru. Proses pengembanan
hukum (recht boevening), pembentukan hukum (recht vorming), penemuan hukum (recht
vinding) dan sampai pada penciptaan hukum (recht cepping). Hukum yang bersifat
emansipatoris dan kritis hanya dijadikan perlengkapan hukum agar seolah-olah dapat
mencapai kepastian hukum. Nilai dan etika masih di overlapping kan dalam penegakan
hukumnya. Nilai sosial diagungkan demi meraih nilai kepastian hukum padahal jauh dari
kenyataan dan realitas sosial.
Tujuan hukum berupa keadilan akan selalu berjalan dengan kemanfaatan yang
merupakan ibarat dua keeping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tujuan hukum ini
telah menerobos benteng dari konsepsi rechtsstaat yang akan lebih mengedepankan
kepentingan yang lebih luas. Kebebasan dan ekspresi dari warga negara akan dijadikan
prioritasisasi agar kepentingan kaum marginal dapat terakomodir. Demokrasi menurut
Penulis merupakan salah satu tangan panjang dan blue print dari praktek equality before
the law yang telah mendarah daging serta telah dibingkai dalam sebuah konstitusi negara
di Indonesia.
Demokrasi delibratif dapat menjadi alternatif untuk mengisi kekosongan
mekanisme sanksi politik diantara rentang periode kekuasaan pemimpin politik. Hal ini
disebabkan karena mekanisme formal tidak memungkinkan pemimpin politik digantikan
kecuali bila melakukan pelanggaran konstitutional, maka kontrol terhadap penggunaan
kekuasaan tetap dapat dilakukan melalui dibukanya ruang-ruang publik bagi pertarungan
wacana (Dede Mariana dan Caroline Paskarina, 2008:58). Desentralisasi politik harus
diikuti dengan demokratisasi dalam tataran kelembagaan maupun prosedural (Tim
Lapera, 2000:xxx). Demokrasi dan persamaan di depan hukum telah berdampak terhadap
resistensi setiap warga negara tidak ada yang kebal dengan hukum bahkan terhadap
pejabat negara. Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah memberikan ruang gerak terhadap hukum dalam penjatuhan presiden dan/atau wakil
presiden.
Adanya fixed term terkait periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
selama 5 tahun. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak dapat
dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hukum berdasarkan hal-hal yang
tercantum dalam konstitusi. Prosedur dalam konstitusi yang popule disebut dengan
5
Adopsi sistem hukum anglo saxon berupa equality before the law telah berada
dalam konstitusi negara dan telah melembaga menjadi sebuah recht verfussing hukum
sebagai landasan dalam penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya dalam demokrasi
dan perlindungan terhadap kaum marginal dalam sistem peradilan juga ada percampuran
dengan sistem ini. Hakim yang menjadi kreator hukum dalam anglo saxon dalam
beberapa kasus di pengadilan juga telah teradaopsi baik melalui interpretasi, konstruksi
dan sistemisasi hukum. Bahkan jurisprudence juga menjadi parameter dalam sistem ini
juga diterapkan di Indonesia. Peraturan Presiden (Perpres) No.9 Tahun 2012 sebagai
pengisi kekosongan hukum atas fatwa Mahkamah Agung (MA) dalam pengusutan asset
hasil tindak pidana korupsi juga menjadi tolak ukur penerapan sistem hukum ini di
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa induk dari konsepsi equality before the law telah teradopsi dalam Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
derivatifnya ada di Pasal 28D ayat (1) dan (3). Konsepsi ini merupakan bukti bahwa
sistem hukum anglo saxon dengan ciri rule of law telah dikukuhkan dalam muatan
konstistusi. Jaminan hukum agar dalam praktek tetap terjaga substansi hukum demi
kepentingan keadilan dan kemanfaatan rakyat kecil.
2. Bahwa dalam praktek yang bersifat taktis dalam kehidupan sehari-hari
ketatanegaraan di Indonesia gado-gado sistem hukum telah berlaku. Konsepsi
equality before the law dapat dipraktekan dalam kehidupan politik, demokrasi dan
pada sistem pengadilan di Indonesia. Sistem percampuran ini tidak akan berdampak
secara sistemik pada konstitusi negara dan juga tidak akan memberikan dampak
buruk terhadap praktek kehidupan sehari-hari. Justru dengan gado-gado ini akan
lebih memberikan rasa keadilan pada rakyat kecil dan tidak ada warga negara satu
pun yang kebal terhadap hukum.
B. Saran
1. Dalam praktek demi mengedepankan kepentingan rakyat kecil dan marginal di
rechtsstaat tidak boleh dimaknai hanya dalam tataran teoretis, akan tetapi konsep
rule of law walaupan bukan menjadi ciri khas dari rechtsstaat seharusnya keadilan
dan kemanfaatan wajib diprioritaskan.
2. Seharusnya jaminan konstitusi yang telah memberikan keberadaan dari equality
before the law harus dijalankan oleh segenap lapisan masyarakat tanpa terkecuali
agar kemanfaatan dan keadilan dapat tercapai.
3. Praktek equality before the law seharusnya tidak boleh dicampuri dan disimpangi
dengan politisasi dalam segala lini kehidupan ketatanegaraan agar tujuan hukum
yang dicari bagi pencari keadilan dapat terwujud.
7
Abstract
Indonesia adopted the written rules concept of rechtsstaat both in the constitution and the
laws that make the law as the supreme commander of the Indonesian state affairs. However, in
practice both formal and procedural has undergone metamorphosis into the concept of the rule of
law. The legal basis on the stage has been accommodated in Article 27 paragraph (1) of the
Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, which contained the dogma of equality
before the law, on the other hand this dogma is the practice in the anglo-saxon legal system while
Indonesia is adopting continental Europe. The situation is as mixed, but in practice the mixing
statehood will actually give more justice to the little people and no one citizen is immune to the
law.
Abstrak
Indonesia menganut konsep rechtsstaat yang menjadikan aturan tertulis baik dalam
konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan yang menjadikan hukum sebagai
panglima tertinggi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi dalam praktek baik
secara formal dan prosedural telah mengalami metamorphosis ke dalam konsep rule of law.
Dasar hukum pada tahapan tersebut telah terakomodir dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdapat dogma equality before the law
padahal dogma ini merupakan praktek dalam sistem hukum anglo-saxon sedangkan Indonesia
menganut sistem eropa kontinental. Keadaan tersebut seperti bercampur, namun dalam praktek
kehidupan bernegara percampuran tersebut justru akan lebih memberikan rasa keadilan pada
rakyat kecil dan tidak ada warga negara satu pun yang kebal terhadap hukum.