Anda di halaman 1dari 16

Iklan Politik, Potret Kegagalan

Pers Indonesia
Paper Journalist Day
Wajah Pers Indonesia Dibalik Pesta Demokrasi
(Sub Tema : Berpihak Secara Terang-Terangan: Sah?)

Oleh Tim Bulaksumur :


Nur Mazhariya Ulmi
Rosa Latifah
Alifah Fajariah

Yogyakarta, 2014

ABSTRAK
Diberlakukannya independensi membebaskan pers dari kekangan pemerintah
sehingga pers dapat berdiri sendiri tanpa intervensi pihak manapun. Namun
independensi ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki
andil dalam pers sehingga bukannya bebas, pers hanya beralih dari menjadi
corong pemerintah ke penguasa kapital. Terutama dalam menyongsong pemilihan
umum 2014, pers tidak lagi menunjukan eksistensinya sebagai media masyarakat.
Banyaknya pengusaha media yang berkecimpung dalam percaturan politik
Indonesia membuat independensi pers semakin dipertanyakan. Akibatnya marak
terjadi pelanggaran baik itu dari segi epistemologi jurnalistik, kode etik, hingga
peraturan pemilihan umum 2014. Hal ini disebabkan membludaknya iklan politik
di media tayang yang kerap kali tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada.

BAGIAN I
PENDAHULUAN

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, ruang dan waktu seakan tak
memiliki kuasa lagi. Informasi dapat dengan mudah diakses dimanapun dan
kapanpun. Karenanya, beberapa dekade terakhir pers1 mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Terlebih sejak diberlakukannya independensi pers 2 di Indonesia
pada tahun 1999.
Pers yang mulanya corong bagi penguasa negara karena berada dibawah tekanan
pemerintah, seketika menyeruak begitu disahkan UU No 40 Tahun 1999 tentang
pers. Bagaimana tidak, di masa pemerintahan yang diktator dan sangat membatasi
kebebasan pendapat, pers mengalami tekanan. Sering kali terjadi pembredelan
pers yang bahkan diikuti dengan menghilangnya wartawan. Karena berada di
bayang-bayang ketakutan disertai tekanan yang tak kunjung henti pers bukannya
menjadi media yang menyampaikan berita, melainkan sebagai kaki tangan
pemerintah untuk mempromosikan program.
1

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara


berkala.Secara
etimologis,
kata Pers (Belanda),
atau Press (inggris),
atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere,
yang berarti tekan atau cetak, definisi terminologisnya adalah media
massa cetak atau media cetak.
Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara
manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau
sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian
pesan antar manusia.
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
2

Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi
terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional. Artinya
pers berdiri sendiri tanpa intervensi pihak asing.

Setelah melewati masa suram pada zaman orde baru tersebut, pers mulai
dimanjakan dengan independensinya. Akibatnya, dewasa ini pers berada di
singgasana kejayaannya, ditandai dengan banyaknya penerbitan pers baru yang
bermunculan. Hingga sekarang pers masih mengenyam segarnya udara bebas
dibalik tameng independensi.

Hanya saja, apakah penerapan independensi

tersebut telah benar? Atau justru independensi tersebut dimanfaatkan oleh para
pemilik kapital?
Menyongsong pemilihan umum 2014, televisi memiliki andil yang penting dalam
percaturan politik Indonesia. Televisi dijadikan ajang perkenalan diri dan
kampanye oleh partai politik. Berbagai iklan dan program acara yang merujuk
pada kampanye membanjiri stasiun televisi tanah air.
Tentunya iklan-iklan yang berindikasi kampanye tersebut ditayangkan di stasiunstasiun TV berjaringan nasional. Selain karena cakupannya luas, stasiun TV
tersebut juga cukup diminati masyarakat. Namun ada pula beberapa partai yang
memiliki kuasa di media televisi sehingga dengan bebas mengobral iklan
politiknya. Pariwara-pariwara tersebut tidak lain dimaksudkan agar perkenalan
mereka lebih maksimal dan mendapat simpati dari masyarakat. Adapun stasiun
TV tersebut adalah :
1.1 Tabel stasiun TV dan jumlah iklan politik yang ditayangkan dari 1 Maret
hingga 11 Maret 20143
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Stasiun TV
RCTI
MNC TV
Global TV
TV One
ANTV
Metro TV
Trans TV
SCTV
TVRI
Indonesia Net.

Jumlah spot iklan yang ditayangkan


291 spot iklan
137 spot iklan
133 spot iklan
239 spot iklan
184 spot iklan
220 spot iklan
306 spot iklan
172 spot iklan
7 spot iklan
194 spot iklan

Diolah dari berbagai sumber oleh tim.

Dari tabel di atas dapat kita lihat seberapa besar pers, khususnya media televisi
dijadikan alat oleh partai politik. Diakui bahwa pers nasional merupakan wadah
serta pusat komunikasi dan informasi yang mampu membentuk opini publik,
begitu pula dengan opini pemilihan umum 2014. Karenanya banyak partai politik
yang memanfaatkan media ini. Oleh sebab itu, pelaksanaan pemilihan umum 2014
dapat dijadikan indikator guna menilai profesionalitas dan kualitas pelaksanaan
tugas pers nasional, khususnya media tayang.

BAGIAN II
PEMBAHASAN

2. 1 Hubungan Jumlah Iklan yang Ditayangkan dengan Pemilik Stasiun TV


Jika ditelaah lebih dalam, ternyata terdapat hubungan antara banyaknya iklan
partai politik yang ditayangkan dalam suatu stasiun televisi dengan pemilik
stasiun televisi tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bila tidak sedikit
pengusaha yang berpartisipasi dalam partai politik. Bahkan banyak dari mereka
ikut andil dalam pemilihan umum 2014 mendatang. Sebagian besar dari
pengusaha tersebut merupakan pengusaha bidang multimedia yang memiliki
stasiun televisi di tanah air. Nama mereka sudah tidak asing lagi di telinga
masyarakat karena mereka kerap kali muncul di pemberitaan media. Nama-nama
tersebut antara lain:
Tabel 2. 1 Pengusaha pemilik media yang berkecimpung dalam partai politik4
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.

Nama Pengusaha

Stasiun televsi yang Keikutsertaan dalam partai

RCTI
MNC TV
Global TV
TV One
ANTV
Metro TV

dimiliki
Harry Tanoe
Harry Tanoe
Harry Tanoe
Abu Rizal Bakrie
Abu Rizal Bakrie
Surya Paloh

politik/pemilihan umum
Perindo / Hanura
Perindo / Hanura
Perindo / Hanura
Golkar
Golkar
Nasdem

Bukan hanya pemilik, nama-nama lain yang memiliki posisi di suatu media ada
pula yang berkecimpung di dunia perpolitikan Indonesia. Sebut saja Arief
Suditomo yang selama ini dikenal sebagi Pemimpin Redaksi (Pemred) RCTI,
bergabung dalam partai Hanura dan masih banyak contoh lainnya. Jika kita lihat
dalam media yang ditayangkan sehari-hari, acap kali kita temui suatu partai
politik mendominasi iklan politik di media tertentu. Sebagai contoh iklan Hanura
yang mengusung capres Wiranto dan cawapres Harry Tanoe selaku pengusaha
media, merajai di tiga stasiun televisi yaitu RCTI, MNC, dan Global TV. Selain
itu, ada pula iklan partai Golkar yang menjagokan Bakrie sebagai capres selaku
pemilik ANTV dan TV One. Begitu pula dengan kandidat lainnya.
4

Diolah dari berbagai sumber oleh tim.

Disini terlihat adanya intervensi dari pemilik media tersebut. Dengan begitu, tidak
ada perbedaan antara pers zaman dahulu dengan pers saat ini. Jika zaman dahulu
pers dijadikan corong bagi penguasa negara, dewasa ini pers dijadikan corong
bagi penguasa media pers tersebut.
Jelas

bahwa pers kala ini tidak lagi independen karena telah berpihak pada

pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok tertentu. Sebagai pihak yang


independen apakah pers dapat bebas memilih satu pihak untuk diunggulkan?
Tentu tidak. Hal ini justru mengundang munculnya berbagai pelanggaran. Baik itu
pelanggaran kode etik maupun pelanggaran dalam aturan pemilihan umum.
2. 2 Pelanggaran Iklan Kampanye di Stasiun Televisi
a. Pelanggaran kode etik jurnalistik.
Diberlakukannya independensi pers melalui UUD No. 40 tahun 1999
tentang Pers menjadikan pers lembaga yang bebas dari campur tangan
pihak lain. Namun yang terjadi belakangan ini, kebebasan tersebut
dijadikan alat untuk mendukung pihak-pihak tertentu dalam pemilihan
umum 2014. Tidak lain yang menggunakan kesempatan tersebut adalah
pemilik media sendiri yang berkecimpung dalam politik seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya.
Secara harfiah pers memang diberi kebebasan untuk menjalankan
medianya. Hanya saja independensi tersebut harus disertai dengan sikap
netral pada setiap persoalan yang ada. Peraturan tersebut tertera dalam
kode etik jurnalistik pasal 1. Disana menyebutkan bahwa wartawan
Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk. Dalam penafsiran pasal ini
disebutkan pula bahwa independen berarti memberitakan peristiwa atau
fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Disana jelas ditegaskan bahwa jurnalistik haruslah bersifat netral.
Bukankah pers dan media merupakan bagian dari jurnalistik sehingga

harus mengikuti aturan kode etik jurnalistik yang ada. Sedangkan yang
terjadi saat ini dimana pers lebih condong pada salah satu pihak. Artinya,
beberapa media televisi telah melanggar kode etik jurnalistik pasal 1.
Padahal ukuran perilaku seorang pelaku profesi adalah etik yang berfungsi
sebagai landasan aktivitas teknis. Suatu kegiatan atau lembaga yang tidak
didasari oleh etik sama saja dengan kegiatan pabrik. Bukan suatu hal yang
memiliki makna secara sosial. Hanya membentuk sesuatu berdasarkan
keinginan si pemilik kuasa. Dengan kata lain pers dewasa ini hanya
menjadi suatu alat yang tidak memiliki makna sosial.
b. Pelanggaran peraturan pemilihan umum
1. Peraturan moratorium5 iklan partai politik (UU no. 8 tahun 2012)
Moratorium iklan politik yang merupakan kesepakatan bersama Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Informasi
Pusat (KIP) pada 28 Februari 2014 lalu banyak menuai pelanggaran.
Masih terdapat partai politik peserta pemilihan umum menayangkan
iklan yang terindikasi kampanye.

Tabel 2. 2 jumlah spot iklan di stasiun televisi oleh partai politik pada
masa moratorium6.

5
6

No

Partai politik peserta Jumlah spot iklan

1.
2.

pemilihan umum
Golkar
NasDem

478 spot iklan


378 spot iklan

Menurut KBBI penundaan, penangguhan, pemberhentian sementara.


Diolah dari berbagai sumber oleh tim.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

2.

Demokrat
Hanura
Gerindra
PDI Perjuangan
PKB
PKPI
PAN
PKS
PBB
PPP

8 spot iklan
80 spot iklan
305 spot iklan
273 spot iklan
90 spot iklan
42 spot iklan
67 spot iklan
9 spot iklan
0 spot iklan
0 spot iklan

Peraturan PKPU No 1 Tahun 2013


Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilihan
umum telah mengeluarkan PKPU No. 1 Tahun 2013 yang mengatur
iklan dan pemberitaan kampanye. Peraturan ini menyatakan bahwa
masa tahapan kampanye akan dimulai pada tanggal 16 Maret 5 April
2014. Disini partai politik diberi kesempatan iklan sebanyak 10 iklan
per hari untuk tiap stasiun televisi dengan lamanya iklan 30 detik.
Namun pada kenyataannya, masih terdapat beberapa partai politik
peserta pemilihan umum yang melakukan pelanggaran. Yaitu
menayangkan iklan kampanye lebih dari 10 kali, diantaranya adalah :
Tabel 2. 3 jumlah rata-rata iklan partai politik/hari di stasiun televisi
setelah masa moratorium7

Jumlah iklan tayang RCTI MNC Global TV


di TV / partai
Hanura
Nasdem
Gerindra
Golkar

13

TV
13

TV
13

ANTV Indosiar Metro Trans

One

TV

TV

12
14
14

15

16

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kebanyakan pelanggaran


dalam hal ini dilakukan oleh partai politik yang kadernya memiliki
7

Diolah dari berbagai sumber oleh tim.

stasiun televisi (lihat tabel 2.1). Hanura yang menggandeng Harry


Tanoe sebagai cawapres melanggar dan unggul di tiga stasiun TV
milik Harry. Begitu pula dengan Golkar dan Nasdem.
2. 3 Pers Berpihak? Salahkah?
Dari data-data yang telah disebutkan diatas bahwa wajah pers telah berpaling dari
kode etik yang harusnya dijadikan pedoman. Lebih parah lagi, pers terlibat dalam
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik. Lalu dimanakah
epistemologi dari jurnalisme itu sendiri? Epistemolologi pers adalah dasar-dasar
dan batas-batas pers serta asal muasal kode etik jurnalisme.

Lebih jauh, epistemologi jurnalisme dapat digambarkan dalam diagram sebagai


berikut8 :
Konteks hasil kerja
Etika
(wilayah kehormatan)
Konteks perbuatan

Epistemologi
jurnalisme
Metodologi
(wilayah kebenaran)

Faktualitas
Obyektifitas

Diambil dari Ashadi Siregar (Dari Kode Etik Wartawan Indonesia Ke Dewan
Pers)
Keadilan/Fairness

Ketidakberpihakan

Akurasi
Kelengkapan fakta

Dari diagram tersebut kita dapat melihat begitu banyak pelanggaran yang
dilakukan oleh pers nasional.

Sebagai lembaga yang independen, tidak

seharusnya pers condong ke salah satu pihak. Hal tersebut telah diatur dalam kode
etik jurnalistik dan lebih dalam, hal itu juga telah diatur dalam epistemologi
jurnalisme.
Dengan demikian, jelas terlihat bahwa apa yang telah dilakukan oleh pers nasional
dalam menyambut pemilihan umum 2014 adalah salah. Selain telah melanggar
dasar-dasar jurnalisme, pers juga ikut berkontribusi dalam berbagai pelanggaran
pemilihan umum.

Meskipun teguran telah dilayangkan oleh berbagai pihak,

namun pers selalu mencari celah untuk memberi dukungan pada pilihannya. Baik
itu karena intervensi sang pemilik media maupun atas prakarsa pers itu sendiri.
2. 4 Penyelesaian Masalah
Persoalan antara media dengan partai politik memang sebuah pelik yang cukup
mencoreng pers nasional. Namun ia akan menjadi semakin rusak jika tidak diobati
dan mungkin dapat membunuh jati diri pers nasional itu sendiri. Hal ini akan terus
berlanjut jika tidak ada tindakan tertentu yang dilakukan. Tentu saja, tindakan
tersebut tidak bisa terwujud jika masing-masing pihak saling berpangku tangan.
Bukankah pemilihan umum 2014 nantinya akan menjadi penentu nasib kita dan
bangsa ini selama lima tahun kedepan? Karenanya saatnya kita bahu membahu
demi terciptanya pemilihan umum seperti yang diidam-idamkan.

Pertama kali yang dapat dilakukan sebagai masyarakat adalah ikut mengontrol
media massa dengan bersikap kritis dan obyektif dalam memilih informasi.
Karena pada dasarnya, media masa khususnya iklan memiliki pengaruh yang
besar. Yuni Retnowati dalam jurnalnya yang berjudul Efektivitas Iklan dalam
Meraih Partisipasi Politik menjelaskan bahwa pakar politik menemukan
kenyataan jika opini publik dibentuk oleh mood, emosi dan perasaan individu.
Oleh sebab itu, iklan politik belakangan ini pada umumnya lebih mengeksplorasi
faktor emosi daripada menjual isu-isu maupun kebijakan kandidat.

Hal ini

disinggung pula dalam psikologi politik dalam teori pilihan yang rasional
(Rational Choice Theory). Teori ini menjelaskan bahwa seseorang memutuskan
memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya. Sejauh
mana

program-program

yang

disodorkan

oleh

kandidat

tersebut

akan

menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Dengan demikian


hendaknya masyarakat tidak lagi menelan mentah-mentah informasi yang didapat
dari iklan politik di televisi. Richard R. Lau menyatakan bahwa pengambil
keputusan (pemilih) harus mengumpulkan informasi yang cukup mengenai semua
hal yang masuk akal untuk dievaluasi.
Setelah itu, masyarakat mesti membentuk suatu organisasi masa maupun
kelompok kecil yang mewakili khalayak umum untuk menyuarakan keluhannya
pada pihak-pihak terkait, yaitu KPU, Bawaslu, KPI, KIP. Meskipun saat ini telah
disediakan kotak keluhan bagi responden, namun kekuatan 1 orang jauh lebih
lemah daripada kekuatan satu kelompok. Dengan bergabungnya suara-suara
tersebut dalam maka kekuatan yang terhimpun akan lebih besar sehingga
mendapat perhatian.
Selanjutnya dari pihak-pihak yang mengatur dan mengawasi jalannya pemilihan
umum 2014 sepatutnya bertindak tegas terhadap pelanggaran yang ada. Meskipun
telah berkali-kali mengirim teguran, hal tersebut dirasa belum cukup. Diperlukan
suatu sanksi tegas yang nantinya membuat jera dan menjadi pelajaran bagi partai
politik lainnya. Seperti pencopotan izin kampanye dalam kurun waktu tertentu
ataupun contoh lainnya. Serta tak lupa hukuman bagi media pers itu sendiri yang
dapat berupa denda maupun pencabutan izin menayangkan iklan sementara.

Terlalu keras memang, namun watak masyarakat Indonesia yang selalu mencari
celah untuk melanggar sehingga mengharuskan kita memberi pelajaran yang dapat
membuat jera. Jika hal ini terlaksana, ke depannya media massa mampu menjadi
jembatan penghubung dari kehidupan politik untuk mempertemukan pemerintah
dan rakyat. Bukan lagi wadah bagi pemilik kapital untuk mewujudkan
kepentingannya demi keuntungan pribadi.

BAGIAN III
PENUTUP

Pers memang memiliki peran vital dan strategis dalam menyongsong pemilihan
umum 2014. Namun bukan berarti hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak
tertentu demi keuntungan pribadi. Pers merupakan media masyarakat sehingga
dituntut untuk netral.
Untuk memulihkan kembali asas kenetralan pers tersebut, diperlukan kerjasama
dari berbagai pihak. Selain itu masyarakat dituntut berpikir kritis sehingga tidak

serta merta menyerap informasi dari media. Tak kalah penting, pihak-pihak yang
berwenang menangani pemilihan umum harus lebih giat lagi mengawasi dan
memberikan sanksi. Regulasi yang ada saat ini dirasa belum mampu menertibkan
jalannya pemilihan umum 2014. Para peserta pemilihan umum masih terus
mencari celah untuk menyemarakkan kampanye partai politik masing-masing.
Karenanya diperlukan sanksi yang lebih keras sehingga membuat para pelanggar
jera.
Jika hal ini terlaksana maka pers dapat diletakkan di tempat yang semestinya.
Yaitu sebagai media yang mengawasi jalannya pemilihan umum dan sumber
informasi yang relevan bagi masyarakat umum. Dengan demikian kemungkinan
salah pilih dalam pemilihan umum akan mengecil. Pemilihan umum akan
menghasilkan kader-kader bangsa yang memiliki integritas tinggi di dunia nyata,
bukan hanya dalam iklan politik semata.

REFERENSI

BUKU
Sentot Wahyono, Imam. Perilaku Organisasi. Jakarta: Graha Ilmu. 2010.

JURNAL
Budiman, Ahmad. Februari 2014, Fungsi Pendidikan Politik Pers Nasional dalam
Pemilu 2014. Volume 4, No. 3
Siregar, Ashadi. Dari Kode Etik Wartawan Indonesia ke Dewan Pers.
Siregar, Ashadi. Kode Etik Jurnalistik.

Arifianto, S. Kekuasaan dan In-konsistensi Pemberitaan Media Televisi


Komersial. Peneliti Komunikasi dan Budaya Media

SKRIPSI
Setiawati, Endang. Pengusaha Media dan Kepemimpinan Partai Politik (Studi
Kasus: Harry Tanoesoedibjo sebagai Ketua Dewan Pakar Partai NASDEM).
Universitas Airlangga. 2013

HALAMAN INTERNET
Prasetya, Eko. (2014, 8 Maret). http://www.merdeka.com/pemilu-2014/kpi-empatparpol-langgar-jumlah-spot-iklan-kampanye.html. diakses pada Jumat, 28 Maret
2014.
Armando,
Ade.
(2014
1
Maret).
http://www.indonesia2014.com/read/2014/03/01/iklan-politik-di-televisiradio-dilarang#.UzTwr6h_s9B.
Diakses pada Jumat, 28 Maret 2014.

LEMBAR BIODATA
Judul Paper

: Iklan Politik, Potret Kegagalan Pers Indonesia

Nama Peserta

Peserta I

: Nur Mazhariya Ulmi

Tempat, tanggal lahir


25 Desember 1994
Domisili

Bungo,

: Jl. Gejayan, gang jembatan merah III, No

124 A
Condong

Catur,

Yogyakarta.
Email

: nur_ulmi@yahoo.com

Depok,

Sleman,

Telepon

: 085266333140

Peserta II

: Rosa Latifah

Tempat, tanggal lahir


Sukoharjo, 26 Desember 1994
Domisili
Yogyakarta.

: Klebengan, CT 8 E8, Depok, Sleman,

Email

: rosa.latif@gmail.com

Telepon

: 085642217066

Peserta III

: Alifah Fajariah

Tempat, tanggal lahir


Palembang, 3 Agustus 1995
Domisili

: Jl. Baru UGM-UNY, Blok H RT 08 RW 04

No 43
Kuningan, Sleman, Yogyakarta.
Email

: alifahfjrh@gmail.com

Telepon

: 089671874583

Anda mungkin juga menyukai