Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis alergi adalah kelainan inflamasi dari mukosa nasal, yang ditandai dengan
pruritus, bersin-bersin, rhinorrhea, dan kongesti nasal. Rhinitis alergi dimediasi oleh respon
hipersensitivitas fase cepat dan fase lambat sama dengan asma alergik terhadap alergen
lingkungan indoor dan outdoor.
Meskipun sering dianggap sebagai penyakit yang mengganggu hanya dalam musimmusim tertentu, rhinitis alergi dapat menyebabkan inflamasi persisten pada mukosa, yang
sinergis dengan inflamasi karena infeksi. Sehingga individu dengan rhinitis alergi juga mudah
terkena infeksi viral.
Penelitian dan studi epidemiologi menunjukkan bahwa rhinitis alergi adalah bagian
dari proses inflamasi sistemik dan berhubungan dengan kelainan inflamasi lain dari membran
mukosa, termasuk asma, rhinosinusitis, dan konjungtivitis alergik. Sebagian besar individu
dengan asma alergik dan non-alergik memiliki rhinitis. Asma yang tidak terkontrol dikaitkan
dengan derajat keparahan rhinitis sedang-berat, yang seharusnya dapat diidentifikasi dan
diterapi. Prevalensi asma yang tinggi didapatkan pada individu dengan rhinitis persisten dan
berat.
Rhinitis alergi mempengaruhi kehidupan sosial, performa di sekolah dan produktivitas
kerja, terutama pada pasien dengan rhintis alergi berat. Gejala rhinitis menyebabkan
penurunan performa akademik. Pencapaian di sekolah semakin terganggu dengan pemakaian
farmakoterapi, terutama antihistamin yang memberikan efek sedasi. Hilangnya produktivitas
dan biaya langsung berhubungan dengan pengobatan rhinitis alergi yang menimbulkan biaya
substansial untuk masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi yang dituliskan oleh Von Pirquet, 1986, rinitis alergi adalah penyakit inflamasi
yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Sedangkan definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinintis and Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah selainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang terperantarai oleh Ig E.

2.2 Epidemiologi
Rata-rata umur pasien yang didiagnosa dengan rhinitis alergi adalah antara 9 sampai
11 tahun. Meskipun kebanyakan didiagnosa sebelum usia 6 tahun, gejala muncul sekitar
umur 10-40 tahun. Insiden rinitis alergi pada anak meningkat kurang lebih 2 kali lipat dalam
satu dekade. Rinitis alergi mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Pasien
dengan rinitis alergi mengeluh sulit berkonsentrasi,

kelelahan, dan gangguan dalam

hubungan interpersonal. Anak dengan rinitis alergi memiliki kesulitan dalam belajar dan
mudah lelah di sekolah. Pasien dengan rinitis alergi memiliki kualitas hidup yang lebih buruk
dibandingkan dengan individu tanpa rinitis alergi.

2.3 Etiologi
Alergen adalah substansi asing yang dapat menimbulkan respon imun yang dimediasi
oleh IgE. Alergen dapat dikategorikan menjadi tipe indoor dan outdoor. Alergen outdoor
seperti serbuk sari menyebabkan rinitis alergi musiman. Sedangkan alergen indoor yang
umum adalah tungau debu rumah, kecoa, danbulu binatang.

Kategori alergen lain membagi berdasarkan cara masuk alergen, yaitu:


-

Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan: tungau debu rumah, kecoa,

serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, jamur


Alergen ingestan, yang masuk ke dalam saluran cerna: makanan seperti susum sapi, telur,

coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan


Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan: penisilin, sengatan lebah
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa: bahan
kosmetik, perhiasan.

2.3 Patofisiologi
Rinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktif) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
MHCkelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig E). Ig E disirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukosit D4 (LT
D4). Leukotrien C4 (LT C4), bradikin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin.
IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll,
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan terus
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada hidung. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derivided
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Perixidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang
tinggi.

2.4 Klasifikasi
Dahulu Rinitis Alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (parenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu atau kurang dari 4
minggu
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan atau lebih dari 4 minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolah raga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang atau berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesa
Rinitis dikarakteristikan dengan gejala berikut: gatal pada hidung, bersin-bersin,
obstruksi atau kongesti nasal, rinorrhea (anterior atau posterior), dan penurunan fungsi
penghidu (hiposmia). Pada paparan dengan alergen, gejala rhinitis alergi muncul dalam
hitungan menit dan dapat bertahan sampai 1-2 jam sebelum perbaikan. Gejala lambat
meliputi obstruksi nasal, hiposmia, sekresi mukus, dan hiper-reaktivitas nasal.
Selain gejala nasal, pasien juga sering mengeluh gatal dan berair pada mata, gatal
pada faring dan batuk. Beberapa gejala lainnya adalah peningkatan lakrimasi dan hiperemis
pada mata. Gejala-gejala tersebut tidak spesifik.
Pada anamnesa, penting untuk ditanyakan paparan terhadap kemungkinan alergen
sebelum terjadinya gejala. Selain itu, harus dicari tahu terapi sebelumnya, respon terhadap
terapi dan adanya komplikasi. Riwayat rinitis alergi pada keluarga meningkatkan
kemungkinan pasien memiliki alergi.
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencapai
diagnosis yang tepat karena rinitis alergi memiliki kesamaan dengan kelainan nasal lainnya.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena periorbital akibat obstruksi kronik nasal. Gejala ini
disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
-

Skin Test

Skin test adalah metode in vivo efektif untuk memeriksa sensitivitas terhadap suatu
allergen. Tes ini mengevaluasi antibody spesifik IgE pada sel mast di kulit, reaktivitas sel
tersebut dan reaksi pelepasan mediator. Keuntungannya adalah sensitivitas tinggi, hasil
didapat dengan cepat dan biaya murah. Kerugian dari metode ini adalah tidak dapat dilakukan
pada pasien dengan dermatografisme, ekzema yang ekstensif, dan pada pasien yang
mengkonsumsi antihistamin.
Skin test diawali dengan meneteskan ekstrak alergen pada kulit lalu kulit ditusuk
sehingga dermis terpapar dengan alergen. Respon positif didapat setelah 10-15 menit bila
terjadi indurasi dan eritema disekitarnya. Respon tersebut dinilai dengan membandingkannya
dengan respon terhadap histamine.
-

Pemeriksaan in vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan yang lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
RAST berguna untuk pasien dengan dermografisme, dermatitis atopik berat atau pasien yang
tidak bisa atau tidak mau menghentikan penggunaan antihistamin. Kerugiannya adalah hasil
didapat setelah beberapa hari dan biayalebih mahal. Semua hasil tes IgE harus
diinterpretasikan dengan riwayat penyakit pasien, karena false-positive dan false-negative
dapat terjadi.

2.6 Tatalaksana
Pendekatan

terapi

yang berhasil untuk


rhinitis alergi harus
meliputi:

edukasi

pasien, pencegahan
kontak alergen atau
iritan, farmakoterapi
dan

pertimbangan

imunoterapi.

Non-Farmakologi
- Edukasi pasien
Pasien harus diedukasi tetnang penyakit alergi, progresi penyakit dan pentingnya terapi (yang
mungkin perlu dilakukan jangka panjang dan reguler). Terapi medikal bertujuan untuk
mengurangi gejala atau merubah sistem imun untuk menginduksi toleransi, atau keduanya.
Informasi tentang tujuan terapi, keuntungan dan kemungkinan efek samping harus diberikan
untuk mencegah ekspektasi palsu dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Pasien harus diinformasikan mengenai faktor yang memperburuk gejala nasal. Teknik
untuk pemberian obat nasal harus dijelaskan agar terapi efektif.
-

Penghindaran alergen dan iritan

Penghindaran alergen dapat menghentikan gejala rhinitis alergi contoh, individu


yang alergi terhadap serbuk sari akan asimptomatik saat tidak ada serbuk sari. Tetapi, dalam
penelitian dari reduksi alergen (contoh, tungau), penghindaran komplit tidak dapat dicapai.
Pada placebo-controlled study, filter nasal (yang mencegah akses serbuk sari ke mukosa
nasal) menurunkan gejala rhinitis pada orang yang alergi dengan serbuk sari. Rhinitis okupasi
dapat disembuhkan dengan menghindari alergen secara cepat atau dengan implementasi
kontrol yang adekuat. Pendekatan ini penting untuk mencegah progresi asma okupasional.
Banyak pasien dengan rhinitis alergi mempunya hiper-reaktivitas nasal terhadap
stimuli non spesifik contoh, perubahan temperatur, polusi, dan asap rokok. Paparan dengan
stimulus harus dihindari jika memungkinkan.
Farmakoterapi
-

Antihistamin

Antihistamin generasi pertama efektif dalam terapi rinitis alergi tetapi memiliki efek samping
sedasi sehingga menurunkan performa kerja dan akademis. Antihistamin generasi kedua tidak
memiliki efek samping sedasi.
Antihistamin paling efektif untuk gejala bersin-bersin, pruritus nasal dan okular dan
rinorrhea, tetapi memiliki efek kecil atau tidak ada efek pada kongesti nasal. Maka sering
dikombinasikan dengan dekongestan oral.

Dekongestan

Dekongestan bekerja dengan stimulasi reseptor alfa adrenergik. Reseptor ini terdapat
pada pembuluh darah. Peningkatan stimulasi simpatis menyebabkan vasokonstriksi sehingga
mengurangi kongesti nasal.
Dekongestan topikal efektif dalam mengurangi kongesti nasal. Pemakaian dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan rinitis medikamentosa, yaitu penurunan durasi efek
dekongestan dan rebound kongesti nasal.
-

Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal adalah medikasi poten untuk rinitis alergi. Kortikosteroid intranasal
dapat digunakan untuk rhinitis sedang-berat, bahkan untuk anak-anak.
Kortikosteroid topikal bekerja dengan mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah peningkatan permeabilitas. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan alergen. Kortikosteroid topikal juga efektif dalam mengurangi gejala
konjungtival.
-

Imunoterapi

Imunoterapi

bertujuan

untuk

merubah

imun

sistem

dan

mungkin

dapat

menyembuhkan rhinitis alergi. Imunoterapi subkutan efektif pada pasien rhinitis alergi dan
dapat mencegah sensitisasi baru dan asma
Imunoterapi subkutan dilakukan dengan injeksi berulang dengan ekstrak alergen.
Digunakan untuk pasien dengan rhinitis alergi berat yang gejalanya tidak dapat dikontrol
dengan farmakoterapi atau mendapat efek samping obat. Meskipun imunoterapi alergen
subkutan efektif, tetapi risiko menginduksi reaksi alergi sistemik mungkin terjadi pada 0,1%
dari pasien yang diterapi. Pasien hanya diberikan imunoterapi alergen subkutan di klinik yang
disupervisi oleh dokter yang terlatih dan terampil dalam memberikan dosis imunoterapi.
Karena adanya risiko efek samping sistemik yang buruk, pasien harus diobservasi selama 60
menit setelah injeksi, dan injeksi hanya boleh diberikan di tempat yang memiliki peralatan
resusitasi dan tenaga medis yang kompeten.

Imunoterapi sublingual dimana hanya dosis inisial yang memerlukan supervisi


medis juga efektif untuk dewasa dan anak-anak. Imunoterapi ini lebih aman dari
imunoterapi subkutan karena efek samping yang biasanya hanya di saluran napas atas dan
traktus gastrointestinal; jarang episode anafilaktik, tidak pernah ada kasus kematian yang
dilaporkan. Efek imunologis dan klinis dari imunoterapi subllingual menetap sampai 3 tahun
setelah penggunaan berulang, sama dengan imunoterapi subkutan.

2.6 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung biasanya
tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis
yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda
patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5
yang berperan meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia.
Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa
yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia
sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun
seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatab rasionalnya adalah
pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila
perlu operatif.

DAFTAR PUSTAKA
Greiner AN, et al. Allergic Rhinitis. Lancet. 2011; 378:2112-2122.
Soepardi,Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi ketujuh . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2012

Anda mungkin juga menyukai