Nenek moyang orang Caniago berasal dari Pariangan Padang Panjang
dan gelar yang dibawa adalah Datuk Perpatih, mereka pindah ke Limo Kaum masih dengan gelar Datuk Perpatih, sesudah itu pindah ke Awal Saiyo atau Tanjung Bonai Aur, tiba disana gelar bertukar menjadi Dt. Bandaro Hitam kemudian mereka terus ke Silukah dengan menghilirkan Batang Bengkawas sedangkan di Tanjung Bonai ini masih tinggal anak kemenakan dengan gelar Dt. Bandaro Hitam, di Silukah juga ada gelar Dt. Bandaro Hitam ditinggalkan mereka dan sewaktu di Paru juga ditinggalkan gelar Dt. Bandaro Hitam untuk kemenakan yang tinggal disana kemudian mereka kembali Memudiki Batang Bengkawas menuju Tanjung Bonai Aur, setelah dari Tanjung Bonai Aur menuju ke Sumpur Kudus, melalui Sipuah diatas dan disana Dt. Bandaro Hitam manaruko sawah seluas 10 gantang benih, setelah sampai di Sumpur Kudus melalui Bukik Caliak, lalu tinggal di Koto Tuo dan manaruko Sawah sebanyak 40 gantang benih dan sawah ini diserahkan kepada Rajo sebanyak 30 gantang benih dan 10 gantang benih pada Dt. Bandaro Hitam. Lama kelamaan pindah ke kabun melalui Lubuk Sijak (berawal dari kata diajak) untuk berkebun disana mereka manaruko sawah seluas 30 gantang benih, kemudian mereka beralih ke Pulai, manaruko mulai dari Bawah Dangau Sekarang sampai ke tepi Bantang Sumpu. Kedatangan suku Caniago yang lain Dt. Manggung dari Pariangan Padang Panjang melalui Tanjung Barulak ke Tanjung Bonai Aur, dari Tanjung Bonai Aur dan selanjutnya terus ke Sumpur Kudus dan selanjutnya datang rombongan Dt. Mangkuto Bandaro,Dari Padang Panjang terus ke Jambi dan kembali ke Pintu Batu dan
Tarusan Pangkalan Sarai dan satu ke Sumpur
Kudus, Dt. Bandaro Putih dan
Penghulu Sati. Dalam rombongan Dt.
Manggung Ikut Khatib Marajo.
Rombongan Dt. Rajo Mudo dan Khatib besar datang dari Talawi dan berlindung kepada Dt. Bandaro Hitam. Sedangkan Ulayat yang diwarisi oleh suku Caniago dari Sutan Bagindo Bagok dan Dt. Aguang. Demikianlah sejarah singkat kaum Caniago Sumpur Kudus.