Disusun Oleh :
dr. Kuntum Putri Unzila
Pendamping :
dr. Eva Trijaniarti
PORTOFOLIO
Kasus 1
Topik: Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD)
Tanggal (Kasus) : 25 Maret 2016
Presenter : dr. Kuntum Putri Unzila
Tanggal Presentasi : 31 Mei 2016
Pendamping : dr. Eva Trijaniarti
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RSUD Bayung Lencir
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Neonatus
Deskripsi : Perempuan, 42 tahun, Penyakit Refluks Gastroesofageal
Tujuan : Diagnosis dan penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Bahasan :
Pustaka
Cara membahas
Diskusi
Presentasi dan
Email
Pos
diskusi
Data
Pasien:
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Am J Gastroenterol 2007;102:668-85
17.
Wang WH, Huang JQ, Zheng GF, Wong WM, Lam SK, Karlberg J, et.al. Is
Proton Pump Inhibitor Testing an Effective Approach to Diagnose
Gastroesophageal Reflux Disease in Patients with Noncardiac Chest Pain?
Arch Intern Med 2005;165:1222-1228
18.
19.
20.
21.
22.
J.Dent, Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia, gut
2002; 50(Suppl 4): iv 17-iv20.
23.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Penyakit Refluks Gastroesofageal
2. Etiologi dan faktor resiko Penyakit Refluks Gastroesofageal
3. Mekanisme terjadinya Penyakit Refluks Gastroesofageal
4. Penatalaksanaan yang tepat pada Penyakit Refluks Gastroesofageal
1. Subjektif :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
4 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring. Pasien
tidak mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menelan, penurunan berat
4
badan yang tidak diketahui sebabnya, muntah darah dan BAB berdarah.
Riwayat penggunaan obat penghilang nyeri dalam jangka waktu yang lama
tidak ada. Riwayat keluarga dengan keganasan lambung atau esofagus
tidak ada.
2. Objektif :
o Gejala Klinis :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
4 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring. Pada
umumnya, gambaran klinis GERD berupa heartburn yaitu rasa panas,
terbakar di dada serta gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan
pahit di lidah). Gejala tersebut timbul karena adanya mekanisme transient
lower esophageal spinchter relaxation (TLESR), menurunnya bersihan
esofagus, disfungsi sfingter esofagus, dan pengosongan lambung yang
lambat. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya regurgitasi isi lambung ke
dalam esofagus sehingga timbullah rasa panas atau terbakar (heatburn)
yang dirasakan naik dari ulu hati ke dada, begitu juga dengan rasa asam
dan pahit di mulut.
Pasien tidak mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menelan,
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, muntah darah dan
BAB beradarah. Riwayat penggunaan obat penghilang nyeri dalam jangka
waktu yang lama tidak ada. Riwayat keluarga dengan keganasan lambung
atau esofagus tidak ada. Pada pasien yang menunjukkan gejala GERD
perlu ditanyakan adanya Alarm sign yaitu disfagia progresif, odinofagia,
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, anemia awitan baru,
hematemesia dan/atau melena, riwayat keluarga dengan keganasan
lambung dan atau esofagus, penggunaan OAINS kronik, dan usia lebih
Keadaan Spesifik
o Kepala
Mata
Hidung
o Thorak
Paru
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak
ada yang tertinggal
Palpasi : stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal kanan = kiri, ronkhi (-) kedua
paru , wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di linea axilaris anterior sinistra ICS V
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea para sternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICS V
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II normal regular, Murmur (-), S3
Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-), benjolan (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-) epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
o Genital (tidak diperiksa)
o Ekstremitas
Ekstremitas atas : deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik, pergerakkan
aktif dan pasif luas.
Ekstremitas bawah:
Dextra : deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik, deformitas (-),
edema (-), jaringan parut (-),
Assessment :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
4 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring.
Dari gejala yang dikeluhkan pasien, kita dapat menilai bahwa
pasien mengalami penyakit refluks gastroesofageal atau GERD. GERD
merupakan suatu gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara
berulang ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua
keluhan klasik, yaitu heartburn dan/atau regurgitasi. Dua gejala khas
refluks esofagus adalah heartburn dan regurgitasi. Heartburn adalah rasa
terbakar di daerah ulu hati yang naik hingga ke retrosternal atau di
dan/atau
regurgitasi
yang
mengganggu
tanpa
disertai
pemeriksaan penunjang. Pasien dengan tanda bahaya atau Alarm sign yaitu
disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui
sebabnya, anemia awitan baru, hematemesia dan/atau melena, riwayat
Farmakologi :
Sistemik
-
Prognosis
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Refluks Gastroesofageal
1. Definisi Penyakit Refluks Gastroesofageal
GERD didefinisikan sebagai suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala
dan/atau komplikasi yang mengganggu. Pernyataan ini diajukan oleh Konsensus
Asia Pasifik mengenai GERD tahun 2008, di mana penekanan diberikan kepada
kata mengganggu, oleh karena menandakan adanya gangguan terhadap kualitas
hidup dan menyarikan pendapat umum yang menyatakan bahwa apabila refluks
esofageal ingin dinyatakan sebagai penyakit, maka kelainan tersebut harus
mempengaruhi kualitas hidup pasien.1 Gastro oesophageal reflux disease
( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam
bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup
penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas
yang
bermakna.
10
11
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).5
Pada penyakit refluks gastroesofageal fungsi LES ini terganggu, baik karena
relaksasi LES transien (transient LES relaxation/TLESR) ataupun karena turunnya
tekanan LES secara menetap akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor
hormonal, nikotin atau kelainan struktural seperti hiatus hernia. TLESR adalah
penyebab yang paling sering ditemui, yaitu relaksasi yang berlangsung singkat
(<5 detik), spontan (tidak didahului proses menelan), dan berulang. Mekanisme
bersihan esofagus yang terdiri dari faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus,
bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva yang dapat menetralisir suasana
asam. Bila peristaltik esofagus terganggu, saliva dan bikarbonat berkurang,
esofagus akan terpajan lebih lama dengan cairan lambung yang lama-kelamaan
dapat menyebabkan esifagitis. Refluks di malam hari lebih berbahaya karena
posisi tidur berbaring menyebabkan tidak ada pengaruh gravitasi dan bersihan
esofagus menurun di malam hari sehingga pajanan terhadap cairan lambung lebih
lama.7
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1).
Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang
mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan
intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah
anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan
faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan
terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.5 Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam
patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada.
Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari
gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.5 Tingginya angka
infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya
12
telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota
dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat
keparahan esofagitis refluks d engan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan
insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada
pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia.
4
4. Klasifikasi
Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokkan penyakit ini menjadi dua
kelompok berdasarkan lokalisasi gejala, yaitu sindrom esofageal dan sindrom
ekstraesofageal.
Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi struktural,
atau pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural belum
dilakukan. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua keluhan klasik,
yaitu heartburn dan/atau regurgitasi. Pasien dengan sindrom nyeri dada karena
refluks mengeluhkan nyeri dada non kardiak yang dominan tanpa adanya gejala
refluks tipikal. Sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks,
striktur, esofagitis Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Esofagitis ditemukan
pada kurang dari 50% pasien dengan refluks esofagus sementara striktur terjadi
pada <5% pasien. Refluks gastroesofageal dalam jangka lama dapat menyebabkan
keluhan ekstra-esofageal, baik yang telah dapat dijelaskan hubungan sebabakibatnya, maupun yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam
lambung pada esofagus, laring dan mulut menyebabkan batuk, laringitis, asma
dan erosi dental, baik melalui kontak langsung atau refleks neural.8
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
13
14
15
16
PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan
pada manometri.
A. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA)
Standar baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif adalah dengan
menggunakan endoskopi SCBA dan ditemukan adanya mucosal break pada
esofagus. Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada endoskopi
pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive
Reflux Disease (NERD).
Endoskopi pada pasien GERD terutama ditujukan pada individu dengan
gejala alarm (disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan yang tidak
diketahui sebabnya, anemia awitan baru, hematemesis dan/atau melena, riwayat
keluarga dengan keganasan lambung dan/atau esofagus, penggunaan OAINS
kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi )
dan yang tidak berespons terhadap terapi empirik dengan PPI dua kali sehari.1,11,12
Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali,
oleh karena GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik.
Peran endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur,
esofagus Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan
SCBA lainnya.
Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifikasi Los
Angeles modifikasi atau Savarry-Miller.
Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya esofagus Barrett
atau keganasan.
B. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan
adanya metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang
17
diperlukannya pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan
datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi
resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD.
C. Pemeriksaan pH-metri 24 jam
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia)
dalam diagnosis NERD adalah:13,14
Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan terapi PPI .
Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum
terapi PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI.
Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk evaluasi
gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.
D. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan
adanya metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang
diperlukannya pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan
datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi
resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD.
E. Pemeriksaan pH-metri 24 jam
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia)
dalam diagnosis NERD adalah:16
Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan Terapi PPI.
Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum
terapi
PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI.
Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk evaluasi
gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.
F. PPI test
18
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan
gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau risiko esofagus Barrett. Tes ini
dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa
didahului dengan pemeriksaan endoskopi. Jika gejala menghilang dengan
pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis
GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis
dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%.1,11,15
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas
sebesar 80% dan spesifitas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien
GERD dengan nyeri dada non kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat
dipertimbangkan sebagai strategi yang berguna dan memiliki kemungkinan nilai
ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada non kardiak tanpa tanda bahaya
yang dicurigai memiliki kelainan esofagus.17
G. Penunjang diagnosis lain
Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain pemeriksaan endoskopi
dan pH metri yaitu:
a) Esofagografi barium
Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan endoskopi,
yaitu pada kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal.
b) Manometri esofagus
Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasien- pasien NERD
dan untuk tujuan penelitian.
c) Tes impedans
Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui
perubahan resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat
cairan dan/atau gas bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna
untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak membaik dengan terapi PPI , di
mana dokumentasi adanya refluks non-asam akan merubah tatalaksana.11
d) Tes Bilitec
19
Tes
ini
dapat
mendeteksi
adanya
refluks
gastroesofageal
dengan
20
21
Saat ini terapi untuk refluks non-asam (NAR) masih berkembang. Studi
dengan Baclofen (sebuah agonis GABA-B) memberikan hasil yang menjanjikan,
namun masih memerlukan data lebih lanjut untuk dapat direkomendasikan
rutin.23,24
Terapi yang disarankan termasuk menghindari makan besar dan terlalu
malam, mempertahankan posisi tegak sampai 3 jam setelah makan, penurunan
berat badan dan tidur dengan kepala ditinggikan. Namun demikian masih belum
ada yang memastikan bahwa tindakan-tindakan ini bermakna secara klinis
22
Intervensi gaya hidup lainnya seperti menghentikan merokok dan alkohol serta
merubah pola diet mampu mengurangi gejala GERD secara bermakna. Modifikasi
gaya hidup digunakan sebagai terapi lini pertama seperti penurunan berat badan,
mengurangi merokok, pengosongan lambung lebih dari 3 jam sebelum tidur
malam.1
Sebuah studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa
dari semua intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan berat badan
dan meninggikan kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala GERD secara
bermakna.
C.
Penatalaksanaan endoskopik
Komplikasi GERD seperti Barrets esophagus, striktur, stenosis ataupun
bedah
mencakup
tindakan
pembedahan
antirefluks
kembung,
kesulitan
bersendawa
dan
gangguan
usus
pascapembedahan.1,10,22
23