Anda di halaman 1dari 23

Portofolio

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL

Disusun Oleh :
dr. Kuntum Putri Unzila

Pendamping :
dr. Eva Trijaniarti

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAYUNG LENCIR


SUMATERA SELATAN
PROGRAM DOKTER INTERNSIP KEMENTRIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2016

PORTOFOLIO

Kasus 1
Topik: Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD)
Tanggal (Kasus) : 25 Maret 2016
Presenter : dr. Kuntum Putri Unzila
Tanggal Presentasi : 31 Mei 2016
Pendamping : dr. Eva Trijaniarti
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RSUD Bayung Lencir
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran

Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Neonatus
Deskripsi : Perempuan, 42 tahun, Penyakit Refluks Gastroesofageal
Tujuan : Diagnosis dan penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Bahasan :
Pustaka
Cara membahas
Diskusi
Presentasi dan
Email
Pos
diskusi
Data
Pasien:

Nama : Ny. R Umur : 42 tahun Pekerjaan : tidak


No. Reg :
bekerja
040466
Alamat : Tungkal Jaya Agama : Islam
Bangsa :
Indonesia
Nama RS: RSUD Bayung
Telp :
Terdaftar sejak : 25 Maret 2016
Lencir
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Penyakit Refluks Gastroesofageal/ Keadaan
Umum Sakit ringan
2. Riwayat Pengobatan : 3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih 4
bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada. Rasa
panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat berbaring
dan sehabis makan. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan
sering merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring. Pasien
tidak mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menelan, penurunan berat badan
yang tidak diketahui sebabnya, muntah darah dan BAB beradarah. Riwayat
penggunaan obat penghilang nyeri dalam jangka waktu yang lama tidak ada.
Riwayat keluarga dengan keganasan lambung atau esofagus tidak ada.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan : pasien tidak bekerja
6. Lain-lain : Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
Daftar Pustaka:
1.

Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the

2.

3.
4.
5.

6.

7.
8.
9.
10.

11.
12.

13.
14.

management of gastroesophageal reflux disease: update. J Gastroenterol


Hepatol 2008;23:8-22
Armstrong D, Gittens S, Vakil N. The Montreal consensus and the
diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD): A central American
need
analysis.CDDW
2008.
Available
from
URL:
http//www.pulsus.com/cddw2008/abs/195.htm.
Jung HK. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia : A
systematic review. J Neurogastroenterol Motil 2011; 17: 14-27.
Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging
Disease in Asia. J Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23.
Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2009.hal.481-95
Rosaida MS, Goh KL. Gastro-oesophageal reflux disease, reflux
oesophagitis and non-erosive reflux disease in a multiracial Asian
population: a prospective, endoscopy based study. Eur J Gastroenterol
Hepatol 2004;16:495-501.
Arif, Mansjoer, dkk,. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 4. FKUI,
Jakarta: Medica Aesculpalus; 2014
American Gastroenterological Association (AGA) Institute. AGA medical
position statement on the management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology. 2008: 135: 1383-91.
Sifrim D, Castell D, Dent J, Kahrilas PJ. Gastro-oesophageal reflux
monitoring: review and consensus report on detection and definitions of
acid, non-acid, and gas reflux. Gut 2004;53:1024-31
Hongo M, Kinoshita Y, Shimozuma K, Kumagai Y, Sawada M, Nii M.
Psychometric validation of the Japanese translation of the quality of life in
reflux and dyspepsia questionnaire in patients with heartburn. J
gastroenterol 2007; 42: 802-15.
DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and
treatment of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol
2005;100:190-200
Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American Gastroenterological
Association Medical Position Statement on the management of
gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology 2008;135:1383-91, 91
e1-5
Sifrim D, Castell D, Dent J, Kahrilas PJ. Gastro-oesophageal reflux
monitoring: review and consensus report on detection and definitions of
acid, non-acid, and gas reflux. Gut 2004;53:1024-31.
Hirano I, Richter JE. ACG practice guidelines: esophageal reflux testing.
Am J Gastroenterol 2007;102:668-85

15.

Yamada T, et al. Principles of Clinical Gastroenterology. Oxford :


Blackwell Publishing Ltd; 2008

16.

Hirano I, Richter JE. ACG practice guidelines: esophageal reflux testing.


3

Am J Gastroenterol 2007;102:668-85
17.

Wang WH, Huang JQ, Zheng GF, Wong WM, Lam SK, Karlberg J, et.al. Is
Proton Pump Inhibitor Testing an Effective Approach to Diagnose
Gastroesophageal Reflux Disease in Patients with Noncardiac Chest Pain?
Arch Intern Med 2005;165:1222-1228

18.

Kaltenbach T, Crockett S, Gerson LB. Are lifestyle measures effective in


patients with gastroesophageal reflux disease? An evidence-based
approach. Arch Intern Med 2006;166:965-71.

19.

M. Storr, A. Meining, HD. Allescher, Pathopysiology and Pharmalogical


Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, Digestive Disease 2000;
18:93-102.

20.

Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American Gastroenterological


Association Institute Medical Review on The Management of
Gastroesophageal Reflux Disease. Gastroenterology 2008;135:1392-1413.

21.

John M. Inadomi, Roula Jamal, Glen H. Murata, Richard M. Hoffman,


Laurence A. Lavezo, Justina M. Vigil, Kathleen M. Swanson, Amnon
Sonnenberg, Step down management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroeneterology 2001; 121(5): 1095-100

22.

J.Dent, Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia, gut
2002; 50(Suppl 4): iv 17-iv20.

23.

Ip S, Bonis P, Tatsioni A, et al. Comparative Effectiveness of Management


Strategies For Gastroesophageal Reflux Disease. Comparative
Effectiveness Review 2005;Number 1.

Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Penyakit Refluks Gastroesofageal
2. Etiologi dan faktor resiko Penyakit Refluks Gastroesofageal
3. Mekanisme terjadinya Penyakit Refluks Gastroesofageal
4. Penatalaksanaan yang tepat pada Penyakit Refluks Gastroesofageal
1. Subjektif :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
4 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring. Pasien
tidak mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menelan, penurunan berat
4

badan yang tidak diketahui sebabnya, muntah darah dan BAB berdarah.
Riwayat penggunaan obat penghilang nyeri dalam jangka waktu yang lama
tidak ada. Riwayat keluarga dengan keganasan lambung atau esofagus
tidak ada.
2. Objektif :
o Gejala Klinis :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
4 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring. Pada
umumnya, gambaran klinis GERD berupa heartburn yaitu rasa panas,
terbakar di dada serta gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan
pahit di lidah). Gejala tersebut timbul karena adanya mekanisme transient
lower esophageal spinchter relaxation (TLESR), menurunnya bersihan
esofagus, disfungsi sfingter esofagus, dan pengosongan lambung yang
lambat. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya regurgitasi isi lambung ke
dalam esofagus sehingga timbullah rasa panas atau terbakar (heatburn)
yang dirasakan naik dari ulu hati ke dada, begitu juga dengan rasa asam
dan pahit di mulut.
Pasien tidak mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menelan,
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, muntah darah dan
BAB beradarah. Riwayat penggunaan obat penghilang nyeri dalam jangka
waktu yang lama tidak ada. Riwayat keluarga dengan keganasan lambung
atau esofagus tidak ada. Pada pasien yang menunjukkan gejala GERD
perlu ditanyakan adanya Alarm sign yaitu disfagia progresif, odinofagia,
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, anemia awitan baru,
hematemesia dan/atau melena, riwayat keluarga dengan keganasan
lambung dan atau esofagus, penggunaan OAINS kronik, dan usia lebih

dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi. Jika ditemukan


alarm sign, maka harus dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk
memastikan ada tidaknya esofagus Barret atau keganasan.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Keadaan sakit
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu

: tampak sakit ringan


: compos mentis
: 130/70 mmHg
: 86 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
: 20 kali per menit
: 36,8o C (aksila)

Keadaan Spesifik
o Kepala
Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Nafas cuping hidung (-/-)

o Thorak
Paru
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak
ada yang tertinggal
Palpasi : stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal kanan = kiri, ronkhi (-) kedua
paru , wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di linea axilaris anterior sinistra ICS V
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea para sternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICS V
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II normal regular, Murmur (-), S3
Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-), benjolan (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-) epigastrium, hepar dan lien tidak

teraba
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
o Genital (tidak diperiksa)
o Ekstremitas
Ekstremitas atas : deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik, pergerakkan
aktif dan pasif luas.
Ekstremitas bawah:
Dextra : deformitas (-), edema (-), jaringan parut (-), tidak
panas pada perabaan, CRT < 2 detik, deformitas (-),
edema (-), jaringan parut (-),

tidak panas pada

perabaan, CRT < 2 detik


Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan darah rutin
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Kimia Darah
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Radiologi
Tidak dilakukan
3.

Assessment :
Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas sejak kurang lebih
4 bulan SMRS. Rasa panas dirasakan dari ulu hati dan naik ke arah dada.
Rasa panas di dada tidak disertai penjalaran dan terutama dirasakan saat
berbaring. Pasien juga mengeluh rasa pahit dan asam di lidah dan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring.
Dari gejala yang dikeluhkan pasien, kita dapat menilai bahwa
pasien mengalami penyakit refluks gastroesofageal atau GERD. GERD
merupakan suatu gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara
berulang ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua
keluhan klasik, yaitu heartburn dan/atau regurgitasi. Dua gejala khas
refluks esofagus adalah heartburn dan regurgitasi. Heartburn adalah rasa
terbakar di daerah ulu hati yang naik hingga ke retrosternal atau di

belakang tulang dada. Regurgitasi menyebabkan pasien merasakan sensasi


asam atau pahit di dalam mulut. Kedua gejala ini biasanya terjadi setelah
makan atau saat berbaring.
Penyakit refluks esofageal terjadi akibat ketidakseimbangan antara
pertahanan esofagus dengan refluksat lambung. Pertahanan esofagus
meliputi sfingter esofagus bagian bawah, mekanisme bersihan esofagus,
dan epitel esofagus. Esofagus dan lambung dipisahkan oleh LES
bertekanan tinggi yang mencegah aliran retrogad dari lambung ke
esofagus. Pada penyakit refluks gastroesofageal fungsi LES ini terganggu,
baik karena relaksasi LES transien (transient LES relaxation/TLESR)
ataupun karena turunnya tekanan LES secara menetap akibat penggunaan
obat-obatan, makanan, faktor hormonal, nikotin atau kelainan struktural
seperti hiatus hernia. Mekanisme bersihan esofagus terdiri dari faktor
gravitasi, gaya peristaltik esofagus, dan bikarbonat dalam saliva yang
dapat menetralisir suasana asam. Bila peristaltik esofagus terganggu, saliva
dan bikarbonat berkurang, esofagus akan terpajan lebih lama dengan
cairan lambung. Sementara itu, faktor yang memicu terjadinya refluks
cairan lambung adalah (1) distensi lambung dan pengosongan lambung
yang terlambat, (2) tekanan intragastrik meningkat, (3) serta keadaan yang
menyebabkan tekanan intraabdomen meningkat, baik hamil, obesitas dan
pakaian yang terlalu ketat.
Pasien tidak mengeluh adanya nyeri dan kesulitan menelan,
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, muntah darah dan
BAB berdarah. Riwayat penggunaan obat penghilang nyeri dalam jangka
waktu yang lama tidak ada. Riwayat keluarga dengan keganasan lambung
atau esofagus tidak ada. Pada pelayanan kesehatan primer, diagnosis
sindrom refluks tipikal dapat didasarkan hanya pada gejala klinis berupa
heartburn

dan/atau

regurgitasi

yang

mengganggu

tanpa

disertai

pemeriksaan penunjang. Pasien dengan tanda bahaya atau Alarm sign yaitu
disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui
sebabnya, anemia awitan baru, hematemesia dan/atau melena, riwayat

keluarga dengan keganasan lambung dan atau esofagus, penggunaan


OAINS kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker
lambung tinggi perlu dirujuk untuk pemeriksaan endoskopi.
4. Plan :
Diagnosis : Penyakit Refluks Gastroesofageal
Penatalaksanaan :
Non farmakologi :
-

Modifikasi berat badan berlebih dan meninggikan kepala lebih kurang


15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan lain seperti
menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan
obat-obatan yang merangsang asam lambung dan menyebabkan
refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling
lambat 3 jam sebelum tidur.

Farmakologi :
Sistemik
-

Omeprazole 1x 20 mg selama 2 minggu

Prognosis
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Refluks Gastroesofageal
1. Definisi Penyakit Refluks Gastroesofageal
GERD didefinisikan sebagai suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala
dan/atau komplikasi yang mengganggu. Pernyataan ini diajukan oleh Konsensus
Asia Pasifik mengenai GERD tahun 2008, di mana penekanan diberikan kepada
kata mengganggu, oleh karena menandakan adanya gangguan terhadap kualitas
hidup dan menyarikan pendapat umum yang menyatakan bahwa apabila refluks
esofageal ingin dinyatakan sebagai penyakit, maka kelainan tersebut harus
mempengaruhi kualitas hidup pasien.1 Gastro oesophageal reflux disease
( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam
bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup
penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas

yang

bermakna.

Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and


classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence based
consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease
/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks

10

kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang


mengganggu di esofagus maupun ekstraesofagus dan/atau komplikasi.2
2. Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada
populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan
peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 %
(tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia
Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di
seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama;
di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat
dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data
epidemiologi di Indonesia.3,4 Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus
esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas
dasar dispepsia.5
Beberapa faktor risiko untuk kejadian GERD telah dievaluasi pada populasi
Asia-Pasifik, beberapa di antaranya termasuk usia lanjut, jenis kelamin pria, ras,
riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa tubuh, dan
merokok. Bukti terkuat untuk keterkaitan faktor risiko tertentu dengan kejadian
GERD pada populasi Asia-Pasifik ditemukan untuk peningkatan indeks massa
tubuh, lebih dari 25 studi klinis mendukung korelasi tersebut.6
3. Etiologi dan Patogenesis
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1) Terjadi kontak dalam
waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2)Terjadi
penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus.5
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada

11

individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).5
Pada penyakit refluks gastroesofageal fungsi LES ini terganggu, baik karena
relaksasi LES transien (transient LES relaxation/TLESR) ataupun karena turunnya
tekanan LES secara menetap akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor
hormonal, nikotin atau kelainan struktural seperti hiatus hernia. TLESR adalah
penyebab yang paling sering ditemui, yaitu relaksasi yang berlangsung singkat
(<5 detik), spontan (tidak didahului proses menelan), dan berulang. Mekanisme
bersihan esofagus yang terdiri dari faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus,
bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva yang dapat menetralisir suasana
asam. Bila peristaltik esofagus terganggu, saliva dan bikarbonat berkurang,
esofagus akan terpajan lebih lama dengan cairan lambung yang lama-kelamaan
dapat menyebabkan esifagitis. Refluks di malam hari lebih berbahaya karena
posisi tidur berbaring menyebabkan tidak ada pengaruh gravitasi dan bersihan
esofagus menurun di malam hari sehingga pajanan terhadap cairan lambung lebih
lama.7
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1).
Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang
mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan
intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah
anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan
faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan
terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.5 Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam
patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada.
Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari
gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.5 Tingginya angka
infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya

12

telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai
dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota
dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat
keparahan esofagitis refluks d engan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan
insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada
pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia.
4

4. Klasifikasi
Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokkan penyakit ini menjadi dua
kelompok berdasarkan lokalisasi gejala, yaitu sindrom esofageal dan sindrom
ekstraesofageal.
Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi struktural,
atau pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural belum
dilakukan. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua keluhan klasik,
yaitu heartburn dan/atau regurgitasi. Pasien dengan sindrom nyeri dada karena
refluks mengeluhkan nyeri dada non kardiak yang dominan tanpa adanya gejala
refluks tipikal. Sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks,
striktur, esofagitis Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Esofagitis ditemukan
pada kurang dari 50% pasien dengan refluks esofagus sementara striktur terjadi
pada <5% pasien. Refluks gastroesofageal dalam jangka lama dapat menyebabkan
keluhan ekstra-esofageal, baik yang telah dapat dijelaskan hubungan sebabakibatnya, maupun yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam
lambung pada esofagus, laring dan mulut menyebabkan batuk, laringitis, asma
dan erosi dental, baik melalui kontak langsung atau refleks neural.8
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
13

rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia


(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Heartburn tidak mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia, sehingga
anamnesis perlu dilakukan dengan cermat. Namun demikian, saat ini pemahaman
masyarakat mulai meningkat dan penjelasan menggunakan bahasa lokal dapat
membantu penyampaian pesan, misal rasa panas dari ulu hati dan naik ke arah
dada. Selain itu, masyarakat Asia nampaknya lebih mudah memahami regurgitasi
asam, yang diartikan sebagai perasaan adanya cairan asam di dalam mulut.1
Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Disfagia yang timbul saat makan
makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi
ulserasi esofagus yang berat.9 Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi
faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di
daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang
menurunkan tonus LES Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering
dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan
hubungan antara gangguan tidur dan GERD.3
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan
utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata
heartburn mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata
yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk
bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata
-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada
mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di
Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan angin yang
merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi
di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non
cardiac chest pain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada
survei yang dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang
sama juga sering ditemui di Indonesia.4

14

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena


gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,
penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial.
Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey , menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun,
serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit
kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik.10
6. Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang seksama. Anamnesis yang cermat merupakan cara utama
untuk menegakkan diagnosis GERD. Gejala spesifik untuk GERD adalah
heartburn dan/atau regurgitasi yang timbul setelah makan.1
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24
jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes
penghambat pompa proton (tes supresi asam).
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah
mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu :10
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien
masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko
untuk Barrets esophagus , atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini
diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi
dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi
harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk
mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)

15

c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk


konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas
maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk
memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang
menjalani terapi. (Level of Evidence : III)
d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan
probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya
pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association
(AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position
Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12
pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas
uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD
sebagai berikut :10
a) Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup
area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak
dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel
untuk esofagitis eosinofilik.)
b) Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2
kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia,
displasia, atau malignansi.
c) Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD
yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan
gambaran endoskopinya normal.
d) Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless- pH
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien
dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa

16

PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan
pada manometri.
A. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA)
Standar baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif adalah dengan
menggunakan endoskopi SCBA dan ditemukan adanya mucosal break pada
esofagus. Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada endoskopi
pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive
Reflux Disease (NERD).
Endoskopi pada pasien GERD terutama ditujukan pada individu dengan
gejala alarm (disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan yang tidak
diketahui sebabnya, anemia awitan baru, hematemesis dan/atau melena, riwayat
keluarga dengan keganasan lambung dan/atau esofagus, penggunaan OAINS
kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi )
dan yang tidak berespons terhadap terapi empirik dengan PPI dua kali sehari.1,11,12
Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali,
oleh karena GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik.
Peran endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur,
esofagus Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan
SCBA lainnya.
Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifikasi Los
Angeles modifikasi atau Savarry-Miller.
Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya esofagus Barrett
atau keganasan.
B. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan
adanya metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang

17

diperlukannya pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan
datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi
resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD.
C. Pemeriksaan pH-metri 24 jam
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia)
dalam diagnosis NERD adalah:13,14
Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan terapi PPI .
Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum
terapi PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI.
Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk evaluasi
gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.
D. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan
adanya metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang
diperlukannya pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan
datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi
resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD.
E. Pemeriksaan pH-metri 24 jam
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia)
dalam diagnosis NERD adalah:16
Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan Terapi PPI.
Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum
terapi
PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI.
Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk evaluasi
gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.
F. PPI test

18

PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan
gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau risiko esofagus Barrett. Tes ini
dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa
didahului dengan pemeriksaan endoskopi. Jika gejala menghilang dengan
pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis
GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis
dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%.1,11,15
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas
sebesar 80% dan spesifitas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien
GERD dengan nyeri dada non kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat
dipertimbangkan sebagai strategi yang berguna dan memiliki kemungkinan nilai
ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada non kardiak tanpa tanda bahaya
yang dicurigai memiliki kelainan esofagus.17
G. Penunjang diagnosis lain
Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain pemeriksaan endoskopi
dan pH metri yaitu:
a) Esofagografi barium
Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan endoskopi,
yaitu pada kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal.
b) Manometri esofagus
Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasien- pasien NERD
dan untuk tujuan penelitian.
c) Tes impedans
Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui
perubahan resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat
cairan dan/atau gas bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna
untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak membaik dengan terapi PPI , di
mana dokumentasi adanya refluks non-asam akan merubah tatalaksana.11
d) Tes Bilitec

19

Tes

ini

dapat

mendeteksi

adanya

refluks

gastroesofageal

dengan

menggunakan sifat-sifat optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk


evaluasi pasien dengan gejala refluks persisten, meskipun dengan paparan asam
terhadap distal esofagus dari hasil pH-metri adalah normal.11
f) Tes Bernstein
Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan memasang
selang trans-nasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1
N dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap pemantauan
pH esofagus 24 jam pada pasien dengan gejala tidak khas dan untuk keperluan
penelitian.
7. Tatalaksana
a) Penatalaksanaan non-farmakologik
Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan
meninggikan kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor
tambahan lain seperti menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi
makanan dan obat-obatan yang merangsang asam lambung dan menyebabkan
refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam
sebelum tidur.18
b. Penatalaksanaan farmakologik
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida,
prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.19
Lihat tabel 2 mengenai efektivitas masing-masing golongan obat.
Tabel 1. Efektivitas Terapi Obat untuk GERD 18

20

Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam


menghilangkan gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI
terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi esofagitis serta menghilangkan gejala
GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI
tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.20,21,22
Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik,
penggunaan H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna
untuk memberikan peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna
sebagai terapi tambahan.1
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD
ditegakkan. Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan
selama 2 sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD

21

(PPIfailure), sebaiknya PPI diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda


sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan sampai
4-8 minggu.
Tabel 2. Dosis PPI untuk Pengobatan GERD

Saat ini terapi untuk refluks non-asam (NAR) masih berkembang. Studi
dengan Baclofen (sebuah agonis GABA-B) memberikan hasil yang menjanjikan,
namun masih memerlukan data lebih lanjut untuk dapat direkomendasikan
rutin.23,24
Terapi yang disarankan termasuk menghindari makan besar dan terlalu
malam, mempertahankan posisi tegak sampai 3 jam setelah makan, penurunan
berat badan dan tidur dengan kepala ditinggikan. Namun demikian masih belum
ada yang memastikan bahwa tindakan-tindakan ini bermakna secara klinis

22

Intervensi gaya hidup lainnya seperti menghentikan merokok dan alkohol serta
merubah pola diet mampu mengurangi gejala GERD secara bermakna. Modifikasi
gaya hidup digunakan sebagai terapi lini pertama seperti penurunan berat badan,
mengurangi merokok, pengosongan lambung lebih dari 3 jam sebelum tidur
malam.1
Sebuah studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa
dari semua intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan berat badan
dan meninggikan kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala GERD secara
bermakna.
C.

Penatalaksanaan endoskopik
Komplikasi GERD seperti Barrets esophagus, striktur, stenosis ataupun

perdarahan, dapat dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation,


ligasi, Endoscopic Mucosal Resection , bouginasi, hemostasis atau dilatasi.
Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi
endoskopi untuk GERD di Indonesia.
d. Penatalaksanaan bedah
Penatalaksanaan

bedah

mencakup

tindakan

pembedahan

antirefluks

(fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk


mengatasi komplikasi. Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat
disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau
dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD refrakter). Studi-studi yang ada
menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas pembedahan
antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki efek samping
disfagia,

kembung,

kesulitan

bersendawa

dan

gangguan

usus

pascapembedahan.1,10,22

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen3 halaman
    Daftar Isi
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Bahan
    Bahan
    Dokumen11 halaman
    Bahan
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Klavikula Dekstra 1/3 Medial
    Fraktur Klavikula Dekstra 1/3 Medial
    Dokumen27 halaman
    Fraktur Klavikula Dekstra 1/3 Medial
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Antijamur Topikal
    Antijamur Topikal
    Dokumen14 halaman
    Antijamur Topikal
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Gerd
    Gerd
    Dokumen24 halaman
    Gerd
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Port Gerd
    Port Gerd
    Dokumen23 halaman
    Port Gerd
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Gerd
    Gerd
    Dokumen24 halaman
    Gerd
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Case Fraktur
    Case Fraktur
    Dokumen39 halaman
    Case Fraktur
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Embun Biologi
    Embun Biologi
    Dokumen12 halaman
    Embun Biologi
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Embun Biologi
    Embun Biologi
    Dokumen12 halaman
    Embun Biologi
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Port Gerd
    Port Gerd
    Dokumen23 halaman
    Port Gerd
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Portofolio 2
    Portofolio 2
    Dokumen29 halaman
    Portofolio 2
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Cover Case Syaraf 2
    Cover Case Syaraf 2
    Dokumen3 halaman
    Cover Case Syaraf 2
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Atopik
    Dermatitis Atopik
    Dokumen2 halaman
    Dermatitis Atopik
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Datang
    Datang
    Dokumen1 halaman
    Datang
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKA Din
    DAFTAR PUSTAKA Din
    Dokumen2 halaman
    DAFTAR PUSTAKA Din
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • URETEROLITHIASIS
    URETEROLITHIASIS
    Dokumen3 halaman
    URETEROLITHIASIS
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Mulok
    Mulok
    Dokumen6 halaman
    Mulok
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Baro Trauma
    Baro Trauma
    Dokumen6 halaman
    Baro Trauma
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Soal BPJS Kuntum Putri
    Soal BPJS Kuntum Putri
    Dokumen1 halaman
    Soal BPJS Kuntum Putri
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Jaga THT
    Jadwal Jaga THT
    Dokumen1 halaman
    Jadwal Jaga THT
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Going On
    Going On
    Dokumen6 halaman
    Going On
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Diskusi Miringotomi
    Diskusi Miringotomi
    Dokumen14 halaman
    Diskusi Miringotomi
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • (Awal) Penyakit Pada Telinga
    (Awal) Penyakit Pada Telinga
    Dokumen2 halaman
    (Awal) Penyakit Pada Telinga
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Fungsi Tuba Eustaschius
    Gangguan Fungsi Tuba Eustaschius
    Dokumen2 halaman
    Gangguan Fungsi Tuba Eustaschius
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Dafpus Referat Anes
    Dafpus Referat Anes
    Dokumen4 halaman
    Dafpus Referat Anes
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • CORPUS ALIENUM
    CORPUS ALIENUM
    Dokumen6 halaman
    CORPUS ALIENUM
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Review Ikk
    Review Ikk
    Dokumen1 halaman
    Review Ikk
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat
  • Mioma Uteri
    Mioma Uteri
    Dokumen4 halaman
    Mioma Uteri
    Putri Kuntum Unzila
    Belum ada peringkat