Anda di halaman 1dari 43

BRONKIALE ASTMA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya penyakit saluran pernapasan di masyarakat, kita akan
mendapati lebih banyak pasien hamil dengan penyalit saluran pernapsan daripada
sebelumnya. Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk
saluran pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran
pernapasan selama kehamilan. Perawatan pasien dengan penyakit saluran pernapasan
sebaiknya dilakukan bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal, perlu dipahami penyakit saluran pernapasan dan
pengaruhnya terhadap kehamilan serta penatalaksanaannya berdasarkan evidenced
based selama kehamilan, persalinan, dan nifas.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Memahami definisi penyakit asma
2. Memahami etiologi penyakit
3. Memahami morfologi penyakit
4. Memahami gejala penyakit
5. Memahami patogenesis penyakit
6. Memahami diagnosis dan manifestasi klinis penyakit
7. Memahami efek penyakit
8. Memahami komplikasi penyakit
9. Memahami penanganan dan pengobatan
10. Memahami pencegahan
11. Memahami peran bidan dalam kehamilan
C. Manfaat
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini adalah
meningkatnya pemahaman bidan terhadap konsep penyakit asma pada kehamilan.
Dengan demikian, strategi untuk memberikan dampak positif terhadap pengurangan
angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi dapat dipraktikkan secara langsung dalam

pelaksanaan asuhan kebidanan yang secara khusus dapat dilaksanakan dalam program
yang komprehensif.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi
reversible dari spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap
stimuli. (Varney, Helen. 2003)
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman,
1990).
Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel,
dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. (Sylvia
Anderson (1995 : 149)
Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel
netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan,
batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair,
1994)
Asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau
hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran
nafas disertai infliltrasi sel eosinofil. (Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994)
Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme
bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M.
Black,1996).

Asma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi
peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel. (Crocket (1997)
ETIOLOGI
Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam reaksi alergi.
Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap allergen, yakni zat-zat yang tidak berbahaya bagi
kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang yang peka.
Alergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir menjadi
menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi
membengkak. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang
diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila
penderita mengalami stres dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik,
sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang
menurun akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat
kambuh. (Ilmu Penyakit Dalam)
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma atau sering disebut sebagai faktor
pencetus adalah:
Alergen
Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan
asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus)
spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.

Infeksi Saluran Nafas


Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor
pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga
penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas
(Sundaru, 1991).
Stress
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress
yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno
corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol
dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan
kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu
bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.
Olah raga/ kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila melakukan
olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah
menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan jasmani (Exercise
induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan
jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga.
Obat obatan
Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti
penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.

Polusi udara
Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok,
asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.
Lingkungan Kerja
Diperkirakan 2 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja
(Sundaru, 1991).
A. ASMA DALAM KEHAMILAN
SISTEM PERNAFASAN SELAMA KEHAMILAN
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh
perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk
mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin,
plasenta dan uterus.
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil
yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang
menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %.
Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi
saluran

nafas

dan

dengan

meningkatkan

sensitifitas

pusat

pernapasan

terhadap

karbondioksida.
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan kedua
kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional,
yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama
kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%.

Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah.
Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan
pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme
sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH
darah tidak mengalami perubahan.
Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 103,5 selama kehamilan.
Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan
diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini
menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal
yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen
maternal selama kehamilan.
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningkatan
konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi
paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen
terbatas dan mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal
distress dapat terjadi.
PENGARUH PERUBAHAN HORMONAL SELAMA KEHAMILAN
Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan
mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan
memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh
awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya
hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat
dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron selama kehamilan karena

peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan
dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan.
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan
bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena
meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan
pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik
glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi
relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol.
Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol
plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan
penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita
hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali
lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh
progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama
kehamilan.
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama
menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit
prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar
10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama
persalinan.
Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap
stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar
mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum
membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang ditimbulkannya.

PREVALENSI
Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5 - 6 % dari populasi. Prevalensi asma dalam
kehamilan sekitar 3,7 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan
yang biasa ditemukan dalam kehamilan.
GEJALA
Penilaian secara subyektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat asma. Gejala klinik
bervariasi mulai dari wheezing ringan sampai bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan,
hipoksia dapat dikompensasi hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi
kelelahan yang menyebabkan retensi O 2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,
ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus,
ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis sentral, sampai
gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversible dan dapat ditoleransi. Namun, pada
kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.
Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada, wheezing, dan batuk
malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa kasus. Pasien melaporkan gejala
seperti gangguan tidur dan nyeri dada.
Batuk yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut terus,
dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk yang menjadi progresif lebih
sesak, dan kemudian bunyi wheezing terjadi. Ada pula yang berbeda, beberapa penderita
asma hanya dimulai wheezing tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi
hanya batuk selama serangan asma terjadi.

Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar, sebagian karena cepat,
beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan asma. Mucus juga menjadi lebih kental
karena sel-sel mati terkelupas.
Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit atau konstriksi. Hal ini
disebut brokokonstriksi yang memperbesar obstruksi yaitu asma.
Dengan demikian ada derajat asma :
1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus.
2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa
kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak
ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma
3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun
maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada
pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan
napas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa
serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa
dipakai.
Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut :
1. Asma akut intermiten :

Di luar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap
normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya
sangat jarang memerlukan kortikosteroid.
2. Asma akut dan status asmatikus:
Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila
serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut
status asmatikus.
3. Asma kronik persisten (asma kronik):
Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan
pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena saluran nafas penderita
terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus.
Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP) yaitu :
1.

2.

Asma Ringan

Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu.

Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.

Asma Sedang

Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu

Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya

Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari

Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume ekspirasi berkisar


antara 60-80%.

3.

Asma Berat

Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari

Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari 60%
dengan variasi luas

Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala.

PATOFISIOLOGI ASMA PADA KEHAMILAN


Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos
saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan
menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam
sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan
berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut.
Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial termasuk interaksi
antara banyak sel dan mediator radang. Sel infiltrate saluran pernapasan yang radang
termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah eosinofil dan limfosit T H2. Karena
alasan inilah, agen anti-inflamasi merupakan hal pokok dalam pengawasan asma persisten.
Walaupun kortikosteroid mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma atau
dengan rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien, leukotriene modifiers and
antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi
antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai
mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini
menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler

bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin


PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reaksi
peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping
kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga
meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia.
Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya diperantarai
oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan antara tonus
simpatis

dan parasimpatis. Saraf simpatis

dengan reseptor beta-2 menimbulkan

bronkodilatasi, sedangkan saraf parasimpatis menimbulkan bronkokontriksi.


Patofisiologi asma yang terbaru berbicara mengenai konsep inflamasi saluran pernapasan
mutakhir dan strategi terapeutik di masa mendatang.
Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini berhubungan
dengan perubahan hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi oleh
progesteron serta peningkatan kadar kortisol serum bebas merupakan salah satu perubahan
fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, sedangkan prostaglandin F2 dapat
memperburuk gejala asma karena efek bronkokonstriksi yang ditimbulkannya (Nelson and
Piercy, 2001).

Pengaruh kehamilan pada asma


Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung , sinus dan paru.
Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung, terutama selama
trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan
peningkatan laju pernapasan (ACAAI, 2002).

Beecroft dkk mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat mempengaruhi serangan asma
pada kehamilan. Pada studi prospektif blind, ditemukan 50% ibu bayi perempuan mengalami
peningkatan gejala asma selama kehamilan dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki.
Ibu dengan bayi laki-laki menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu
pun ibu dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung janin laki-laki dapat meringankan
gejala asma (Frezzo et al., 2002).
Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada
asma ringan 13 % mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma
berat 50 %. Sebanyak 20 % dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan
intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio
sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per vaginam.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama,
bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan
kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu
sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan
asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera
diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan
prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang
melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus membaik
dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan
22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil

yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10%
akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18
kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan
pervaginam
Pengaruh asma pada kehamilan
Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan asma berat
dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga berefek pada
janin (Nelson and Piercy, 2001). Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma
pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan.
Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada
kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria (Liu et al.,2000; Bhatia and
Bhatia,2000).
DIAGNOSIS DAN PEMANTAUAN PENYAKIT
Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan nafas, yang bersifat
reversibel atau reversibel sebagian. Derajat berat asma dapat dikelompokkan sebagai asma
intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat, tergantung
pada frekwensi dan derajat berat gejalanya, termasuk gejala malam, episode serangan dan
faal paru (Sharma, 2004).
Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) berpendapat
bahwa pasien asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan.
Evaluasi termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas,
serangan dan penggunaan obat ), auskultasi paru, serta faal paru (NAEPP, 2005).
Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan dengan pemantauan
rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak flow meter
biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya

asma pada kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko
yang lebih tinggi (NAEPP, 2005).
Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth Retardation
(IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan waktu kehamilan
secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester pertama. Menurut pendapat kelompok
kerja NAEPP, evaluasi aktivitas dan perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin
dipertimbangkan bagi : 1) wanita dengan asma terkontrol; 2) wanita dengan asma sedang
sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32; 3) wanita setelah pulih dari serangan asma
berat (NAEPP, 2005).
DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Bronchitis kronis
Bronchiectasis
Hypogammaglobulinemia
Emfisema
Obstruksi laring
Endobronchial space-occuping lesion
Disfungsi glottis
Occult cardiac disease
Multiple pulmonary emboli
Eosinophilic pneumonia syndromes
Systemic vasculitis
Gastroesophageal reflux
Cough secondary to drigs
Carcinoid

PENATALAKSANAAN ASMA PADA KEHAMILAN


Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara dokter
kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani asma dan ibu hamil itu
sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak
hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita asma
tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi

inflamasi (Nelson and Piercy, 2001). Pentingnya pengobatan asma adalah mencegah
kematian, kegagalan pernapasan, status asmatikus, perawatan di ruang emergensi, dan cacat
wheezing.

Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut.

Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin


Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 550 liter/menit. Tiap pasien
memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan.
Menghindari faktor pencetus asma
Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan ibu
dengan kebutuhan medikasi yang minimal (NAEPP, 2005). Asma dapat dicetuskan oleh
berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi,
kelembaban, emosi (Kramer, 2001; ACAAI, 2002). Di samping itu, pencetus terkemuka
serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan
hormone. Pada umumnya kucing merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma.
Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma, termasuk
kecoak.
Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi pada hampir 1/3
wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat disebabkan oleh aspirasi isi lambung
kedalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal
dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi (Kahrilas, 1996).
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau serta
iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok berhubungan dengan peningkatan risiko

wheezing dan kejadian asma pada anaknya (Blaiss, 2004; Nelson and Piercy, 2001; NAEPP,
2005).

Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus
mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah
hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat
mengendalikan faktor-faktor pencetus asma (NAEPP, 2005).
Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi
dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi (tabel.1). Prednison, teofilin,
antihistamin, kortikosteroid inhalasi, 2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra
indikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama
laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan (NAEPP, 2005). Terapi asma
modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi
kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat
teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti
metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat
dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan
muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak diketahui.(Greenberger, 1985).
Tahap 1: Asma Intermitten
Bronkodilator kerja singkat, terutama 2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai
pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi utama 2 agonis
adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus 2 reseptor,
sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah 2

agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang membuktikan
kejadian cidera janin pada penggunaan 2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra
indikasi selama menyusui (NAEPP, 2005).
Tahap 2 : Asma Persisten Ringan
Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma persisten ringan
adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan
bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya
serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan
napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding jalan napas (NAEPP, 2005).
Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan
pelepasan mediator inflamasi (NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi
asma dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy, 2001).
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak digunakan
pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid
inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid
inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol dengan
baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan formulasi dapat
membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005).
Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur
dan berat bayi lahir rendah (Nelson and Piercy, 2001; Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005;
Sharma,2004). Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan
janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan
(Nelson and Piercy, 2001). Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk mengontrol
gejala asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan
oksigenasi janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997).

Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan
tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan
janin ataupun kematian neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson
and Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997)
Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang efektif
dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila dibandingkan
dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi,
mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi
alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan (NAEPP, 2005).
Antagonis

reseptor

leukotrien

(montelukast

dan

zafirlukast)

digunakan

untuk

mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok
kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor
leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma
persisten ringan (NAEPP, 2005).
Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi rendah
teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan. Teofilin memiliki potensi
toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal
dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang
hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 12
mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan
pada asma persisten ringan (NAEPP, 2005).
Tahap 3 : Asma Persisten Sedang
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan 2 agonis
inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium.
Data yang menunjukkan keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini

selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada orang
dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan 2 agonis inhalasi kerja lama pada
kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya
meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005).
Profil farmakologi dan toksikologi 2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir sama,
terdapat justifikasi bahwa 2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil keamanan yang sama
dengan salbutamol, dan 2 agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan.
Contoh 2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP, 2005).
Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat
lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan 2
agonis inhalasi kerja lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck
and Gluck, 2005).
Tahap 4 : Asma Persisten Berat
Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan tambahan
terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta
penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka
dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005). Dosis kortikosteroid
sistemik sebagai pengontol jangka panjang selama kehamilan dan laktasi dapat dilihat pada
Tabel.3.

Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut.


Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non-hamil, tetapi hospitaliyy threshold
lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemberian masker
oksigen, pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran FEV 1 (forced expiratory volume in one
second), PEFR, pulse oximetry, dan fetal monitoring.

Penanganan lini pertama adalah adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi) loading dose 4
6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar
terapeutik dalam plasma sebesar 10 20 g/ml, Dan kortikosteroid, metilprednisolon 40- 60
mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung pada pemantauan respons hasil terapi.
Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 60 menit dimasukkan dalam
kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini, serta penggunaan
ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki
morbiditas dan mortalitas.
PENATALAKSANAAN ASMA PADA PERSALINAN
Serangan asma akut selama kelahiran dan persalinan sangat jarang ditemukan. Ibu hamil
dapat melanjutkan penggunaan inhaler rutin sampai persalinan. Pada ibu dengan asma yang
selama kehamilan telah menggunakan steroid oral (>7,5 mg prednisolon setiap hari selama
lebih dari 2 minggu) saat awal kelahiran atau persalinan harus mendapatkan steroid parenteral
(hidrokortison 100mg setiap 6-8 jam) selama persalinan, sampai ia mampu memulai kembali
pengobatan oralnya.
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri
awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter
klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid dependen,
karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah pertumbuhan
janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan
untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapa i 20 l/menit, maka persalinan harus
berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang
berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu
persalinan.

Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang
sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg
intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama
persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti
telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita
asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika
dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional
daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang
berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam,
memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat.
Prostaglandin E2 adalah suatu bronkodilator yang aman digunakan sebagai induksi persalinan
untuk mematangkan serviks atau untuk terminasi awal kehamilan. Prostaglandin F2 yang
diindikasikan untuk perdarahan post partum berat, harus digunakan dengan hati-hati karena
menyebabkan bronkospasme (Nelson and Piercy, 2001).
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan
histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas
histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka
sebaiknya anestesi cara spinal.
Selama kehamilan semua bentuk penghilang rasa sakit dapat digunakan dengan aman,
termasuk analgetik epidural. Hindarkan penggunaan opiat pada serangan asma akut. Bila

dibutuhkan tindakan anestesi, sebaiknya menggunakan epidural anestesi daripada anestesi


umum karena peningkatan risiko infeksi dada dan atelektasis. Ergometrin dapat menyebabkan
bronkospasme, terutama pada anestesi umum. Sintometrin (oksitosin/ergometrin) yang
digunakan untuk mencegah perdarahan post partum, aman digunakan pada wanita asma.
Sebelum menggunakan obat-obat analgetik harus ditanyakan mengenai sensitivitas pasien
terhadap aspirin atau NSAID (Nelson and Piercy, 2001).

PENANGANAN ASMA POST PARTUM


Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan dan
penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum. Pada
wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang
diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti
halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi
yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN
Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan penurunan asupan oksigen
ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan
komplikasi baik bagi ibu maupun janin (OSUMC, 2005).
Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu
Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu. Komplikasi asma tak
terkontrol bagi ibu termasuk : 1) Preeklampsia (11 %), ditandai dengan peningkatan
tekanan darah, retensi air serta proteinuria; 2) Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah
tinggi selama kehamilan; 3) Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat

badan turun serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; 4) Perdarahan pervaginam Induksi
kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (OSUMC, 2005).
Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan
gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, dan aritmia jantung.
Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik. Penyulit yang mengancam nyawa
adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, dan
kelelahan otot disertai henti napas. Angka kematian secara substantive meningkatkan apabila
asmanya memerlukan ventilasi mekanis. (Obstetri Williams, 1376-1377)
Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin
Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan janin, termasuk :
1) Kematian perinatal; 2) IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim
menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya; 3) Kehamilan preterm (12 %); 4)
Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel; 5) Berat bayi lahir rendah (OSUMC,
2005).
Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat episode
wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita
asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang mendukung seperti
perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma (Murphy et al., 2003; Clifton et
al., 2001).
Plasenta memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan janin dengan memberi
suplai nutrisi dan oksigen dari ibu. Plasenta juga mencegah transfer konsentrasi kortisol
dalam jumlah besar dari ibu ke janin. Enzim plasenta 11-hidroksisteroid dehidrogenase tipe2 (11-HSD2) berperan sebagai barier dengan memetabolisme kortisol menjadi kortison
inaktif, sehingga dapat menghambat perkembangan janin (NAEPP, 2003; Clifton et al.,
2001).

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain factor lingkungan, faktor genetik ikut
menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakiit asma. Penyakit ini dapat dijumpai pada
ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan (Blaiss,
2004).

EKSASERBASI ASMA
Istilah eksaserbasi asma adalah sama dengan serangan asma atau asma akut yaitu episode
meningkatnya secara prodresif gejala asma seperti sesak nafas, batuk, mengi atau rasa
tertekan di dada atau kombinasi gejala-gejala tadi yang umumnya diikuti juga dengan
penurunan fungsi paru.
Eksaserbasi asma pada kehamilan perlu diobati secara agresif, pengawasan yang ketat,
terlebih lagi bila berat karena tidak sengaja dapat mengancam nyawa ibu tetapi juga janin.
Meskipun kematian karena asma jarang, ada beberapa resiko, kondisi yang berkaitan dengan
kematian pada asma, yaitu21 :
Riwayat eksaserbasi asma yang hampir fatal sampai memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanis.
Setahun terakhir dirawat atau mendapat pertolongan darurat karena asma.
Sedang memakai atau baru saja menghentikan pemakaian kortikosteroid oral.
Akhir-akhir ioni tidak memakai kortikosteroid inhalasi.
Bergantung pada agonis 2 inhalasi aksi cepat, terutama yang memakai lebih dari satu
canister/bulan.
Riwayat gangguan psikiatrik atau psikososial, termasuk penggunaan obat-obat sedative.
Riwayat ketidakpatuhan terhadap rencana obat.

Pasien-pasien yang mempunyai resiko ini memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan
dianjurkan mencari pertolongan segera bila mengalami eksaserbasi.

Berikut ini disampaikan rekomendasi NAEPP tentang penatalaksanaan asma pada


kehamilan20, terutama yang berkaitan dengan eksaserbasi asma baik di rumah maupun di
rumah sakit.

Pengobatan Awal
Inhalasi MDI 2-4 semprot
atau nebulizer boleh samapi
3x dengan selang waktu 15

Respon Baik
-

Eksaserbasi ringan
APE > 80% prediksi
Tidak ada mengi / sesak napas
Respons terhadap inhalasi
agonis 2 bertahan selama 4 jam
Aktivitas janin wajar*

Respon Tidak Baik


-

Eksaserbasi sedang
APE 50-80%
prediksi
Mengi / sesak napas
menetap
Aktivitas janin
menurun

Pengobatan
-

Agonis 2 inhalasi setiap 3-4


jam untuk 1-2 hari
Pada
pasien
yang
telah
menggunakan
kortikosteroid
inhalasi dosis ditingkatkan 2x

nya untuk 7-10 hari

Hubungi dokter untuk instruksi


berikutnya

Pengobatan
- Tambahkan
kortikosteroid oral
- Teruskan inhalasi
agonis 2 aksi
pendek

Hubungi dokter untuk


instruksi berikutnya

Respons Buruk
-

Eksaserbasi berat
APE <50% prediksi
Mengi / sesak napas
menonjol
Aktivitas janin menurun

Pengobatan
-

Tambahkan kortikosteroid
oral
Ulangi inhalasi agonis 2
segera
Bila distress pernapasan
berat dan tidak responsive
segera hubungi dokter dan
pergi ke IGD

Kunjungi segera Instalasi


Gawat Darurat

MDI : Metode-dose inhaler


*Aktifitas janin di pantau melalui observasi jumlah tandangan janin apakah menurun sesuai dengan
berjalannya waktu

Gambar 2. Penatalaksanaan eksaserbasi asma selama kehamilan dan laktasi : pengobatan di rumah 20

Untuk penatalaksanaan di rumah sakit dapat di gambarkan sebagai berikut :


Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan eksaserbasi asma selama kehamilan dan laktasi : di
Ruang Gawat Darurat dan Rumah Sakit20

Penilaian Awal
Anamnesis, Pemeriksaan fisik (frekuensi napas, denyut jantung, penggunaan otot napas tambahan, auskultasi). APE atau VPE 1,
saturasi oksigen dan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi. Mulai pemeriksaan janin (pergunakan alat pemantau janin elektronik
secara kontinyu dan atau profil biofisk bila kehamilan telah mencapai viabilitas janin.
VEP 1 atau APE > 50%

VEP 1 atau APE < 50%

Agonis 2 kerja singkat dengan MDI


atau nebulizer sampai dengan 3
dosis pada jam pertama
Oksigen untuk mencapai saturasi >
95%
Steroid oral bila tidak respons segera
atau pasien telah minum steroid oral
sebelumnya

Ancaman / actual henti napas

(Eksaserbasi Berat)
Agonis 2 kerja singkat dosis tinggi setiap
20 menit atau terus menerus selama 1 jam
+ ipatropium bromide inhalasi
Oksigen untuk mencapai saturasi > 95%
Steroid oral sistemik

Intubasi dan ventilasi mekanik


dengan O2 100%
Agonis 2 kerja singkat +
ipatropium bromide dengan
nebulizer
Steroid intravena

Rawat ICU

PENILAIAN ULANG
Gejala, pemeriksaan fisik, APE, saturasi oksigen dan tes
lainnya sesuai indikasi. Lanjutkan penilaian janin.

Eksaserbasi Sedang

Eksaserbasi Berat

VEP atau APE 50-80% prediksi terbaik. Pemeriksaan


fisik : gejala sedang

VEP atau APE < 50% prediksi terbaik Pemeriksaan


fisik : gejala sesak berat pada istirahat, penggunaan
otot napas tambahan, retraksi dinding dada.

Agonis 2 kerja singkat setiap 60 menit


Steroid sistemik
42untuk
mmHg
Oksigen
mempertahankan saturasi O2 > 95%
Lanjutkan terapi selama 1-3 jam, sampai ada
perbaikan
Respons Baik

VEP 1 atau APE > 70%


Respons bertahan 60 menit setelah
pengobatan terakhir
Tidak ada distress pernapasan
Pemeriksaan fisik normal
Pastikan kembali keadaan janin

o
o
o
o
o

Lanjutkan terapi dengan agonis


2 kerja singkat
Lanjutkan steroid oral
Mulai atau lanjutkan steroid
inhalasi sampai follow up
selanjutnya
Edukasi pasien
Tinjau ulang penggunaan obat
Tinjau ulang / mulai rencana
tindakan
Dianjurkan untuk tindak lanjut
secara ketat

Agonis 2 kerja singkat setiap jam atau terus


menerus + ipatropium bromide inhalasi
Oksigen
Steroid sistemik

Respons Tidak Komplit

VEP 1 atau APE > 50% tapi <


70%
Gejala ringan sedang
Lanjutkan penilaian janin

Respons Buruk

VEP 1 atau APE < 50%


PCO2 >42 mmHg
Pemeriksaan fisik : sesak hebat,
bingung, mengantuk
Lanjutkan penilaian janin

Keputusan perawatan berdasarkan


tiap individu

Dipulangkan ke rumah
o

Rawat di ICU

Rawat di Rumah Sakit


o
o
o
o

Inhalasi agonis 2 kerja singkat +


ipatropium bromide
Steroid oral atau intravena
Oksigen
Pantau VEP 1 atau APE, saturasi
oksigen, nadi
Lanjutkan penilaian janin sampai
pasien stabil

PERBAIKAN

o
o
o
o
o

Inhalasi agonis 2 kerja singkat


setiap jam atau terus menerus +
inhalasi ipapropium bromide
Steroid intravena
Oksigen
Pikirkan kemungkinan intubasi
dan ventilasi mekanik
Lanjutkan penilaian janin sampai
pasien stabil

Tabel 1. Langkah penanganan asma pada kehamilan


Sebelum
kehamilan
Selama kehamilan

Saat persalinan

Pascapersalian

Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta pengobatan.


Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi fungsi respirasi,
Hindari factor pencetus, alergen.
Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.
Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar teofilkin dalam
darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang
lebih tinggi.
Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini bila terjadi serangan.
Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek sistemik pada janin.
Pemeriksaan fungsi paru ibu.
Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester II/awal trimester
III.
Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.
Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan diulang bila timbul
gejala.
Pemberian oksigen adekuat.
Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam) diberika 4
minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance diberikan selama persalinan.
Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan. Pada persalinan
operatif lebih baik digunakan anestesi regional untuk menghindari rangsangan
pada intubasi trakea. Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya
menggunakan uterotonika atau PGE2 karena PGE dapat merangsang
bronkospasme.
Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru, latihan pernapasan untuk
mencegh atau meminimalisasi atelektasis, mnulai pemberian terapi
maintenance.
Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapat obat
antiasma termasuk prednisone.
(Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nd ed, 2005)

Tabel 2. Terapi farmakologi asma selama kehamilan dan laktasi

Tahap 4
Persisten Berat

Tahap 3
Persisten
Sedang

Derajat Penyakit : Gambaran Klinis sebelum terapi


atau kontrol
Gejala harian
APE atau VEP1
Gejala malam
Variabilitas APE
Terus menerus
60%
Sering
>30%

setiap hari
> 1 malam dlm 1
minggu

<60%-<80%
>30%

Pengobatan yang dibutuhkan untuk


memelihara efek jangka panjang
Pengobatan harian
Terapi yang dianjurkan :
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi,
dan
-2 Agonis inhalasi kerja lama, dan
jika perlu
Kortikosteroid tablet atau sirup
(2mg/kg/hari, tidak>60mg/hari)
Terapi alternatif :
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi,
dan
Teofilin lepas lambat sampai kadar
serum 5-12mcg/mL
Terapi yang dianjurkan :
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah,
dan
-2 Agonis inhalasi kerja lama
atau :
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang,
jika perlu

( terutama pada pasien serangan


berat berulang)
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang
dan
-2 Agonis inhalasi kerja lama
Terapi alternatif :
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
dan
Teofilin atau antagonis reseptor
leukotrien, jika perlu
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang
dan
Teofilin atau antagonis reseptor
leukotrien
Tahap 2
Persisten
Ringan

Tahap 1
Intermitten

>2 hari dalam 1


minggu
tetapi < setiap
hari
>2 malam dalam
1 bulan

2 hari dalam 1
Minggu
2 malam dalam
1 bulan

80%
20%-30%

80%
20%

Terapi yang dianjurkan :


Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
Terapi alternatif :
Kromolin
Antagonis reseptor leukotrien, atau
Teofilin lepas lambat sampai kadar
serum 5-12mcg/mL
Tidak diperlukan pengobatan harian
Bila terjadi serangan asma berat,
dianjurkan
pemberian kortikosteroid sistemik
untuk jangka waktu singkat
Pelega cepat
Bronkodilator kerja singkat : 2-4
semprot -2 agonis inhalasi kerja
singkat,untuk mengatasi gejala
semua pasien
Intensitas terapi tergantung pada
berat serangan, jika intensitasnya
lebih dari 3
pengobatan dalam interval waktu 20
menit atau memerlukan terapi
inhalasi, maka
dianjurkan pemberian kortikosteroid
sistemik
Penggunaan -2 agonis inhalasi kerja
singkat lebih dari 2 kali dalam 1
minggu pada asma intermitten
(setiap hari,atau kebutuhan inhaler
yang meningkat pada asma persisten)
menandakan peningkatan kebutuhan
terapi kontrol jangka lama
Dikutip dari (NAEPP, 2005)

Tabel 3. Dosis pengobatan kontrol jangka lama selama kehamilan dan laktasi
Jenis Obat
Sediaan
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Metilprednisolon

tablet 2,4,8,16,32 mg

Prednisolon

tablet 5 mg
5 mg/ 5 cc

Prednison

Beta-2 agonis inhalasi kerja lama


Salmeterol
Formoterol
Obat Kombinasi
Fluticasone/
Salmeterol
Kromolin
Kromolin
Antagonis Reseptor Leukotrien
Montelukast
Zafirlukast
Metilxantin
Teofilin

15 mg/ 5 cc
tablet 1, 2,5, 5, 10, 20,
50 mg
5 mg/ cc
5 mg/ 5 cc
MDI 21 mcg/puff
DPI 50 mcg/puff
DPI 12 mcg/ kapsul
sekali pakai

Dosis Dewasa

7,5-60 mg perhari sebagai dosis


tunggal di pagi hari
short course "burst" sebagai
kontrol
40-60 mg perhari dosis tunggal
atau dosis terbagi
untuk 3-10 hari

2 puff setiap 12 jam


1 blister setiap 12 jam
1 kapsul setiap 12 jam

DPI 100, 250 atau 500 mcg/50 mcg


1 puff 2 kali sehari : dosis
tergantung pada derajat berat asma
MDI 1 mg/puff
Nebulisasi 20 mg/ampul
tablet 10 mg
tablet 10 atau 20 mg

2-4 puff 3-4 kali sehari


1 ampul 3-4 kali sehari
10 mg qhs
40 mg perhari (20 mg tablet bid)

cair, tablet lepas lambat dan kapsul


dosis dimulai 10 mg/kg/hari
sampai maks. 300 mg
biasanya maksimum 800
mg/hari
Dikutip dari (NAEPP,2005)

BAB III
KONSEP ASUHAN KEBIDANAN
I. Pengkajian
Jam:

Tanggal:

A. Data Subyektif
1. Biodata
a. Nama klien :

Ny. x

b. Usia klien

28 th

2. Keluhan Utama
Ibu mengatakan ini adalah kehamilannya yang pertama, saat ini usia
kehamilan sudah 7 bulan, mengeluh sering sesak napas dan batuk pada
malam hari
3. Riwayat Obstetri
a. Riwayat kehamilan saat ini
Ibu mengatakan selama hamil sudan periksa lebih dari 4x sesuai jadwal
yang dibuat bersama bidan, imunisasi TT sudah lengkap.
Selama TM I mengeluh sering mual muntah tapi membaik setelah bulan
ke 4, TM II tidak ada keluhan, dan sejak 2 minguu yang lalu mengeluh
sering sesak napas dan batuk pada malam hari, ibu mempunyai riwayat
asthma sebelumnya.
HPHT : 23 11 1009
4. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatanyang lalu
Ibu punya riwayat penyakit asma sejak sebelum hamil, kambuh bila ibu
makan ikan laut atau kedinginan, tapi jarang kambuh karena ibu selalu
menghindari factor alergen. Penyakit menurun, menular lainnya tidak
ada.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Selama 2 minggu ini asma ibu sering kambuh walau tidak ada factor
allergen, dan batuk pada malam hari.

c.

Riwayat kesehatan keluarga


Di keluarga pasien ada keturunan penyakit asma, penyakit menular dan
menurun lainnya tidak ada.

5. Pola Kebiasaan Sehari-hari


a. Pola istirahat tidur

Tidur siang normalnya 1 2 jam/hari.

Tidur malam normalnya 6 7 jam/hari.

Akhir akhir ini tidur malam sering terganggu karena batuk.

b. Pola aktifitas.
c. Pola eliminasi
d. Pola nutrisi
Makan: 3x/hari dengan menu seimbang (nasi, sayur, lauk pauk, buah),
dan menghindari ikan laut karena alergi
Minum: 8 gelas/hari (teh, susu, air putih).
e. Pola personal hygiene
f. Pola kebiasaan
g. Pola seksualitas
h. Pola rekreasi.
B. Data Obyektif
a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum

: baik

TD

: 110/ 70 mmHg

Suhu

: 36, 4 C

Nadi

: 84x/ menit

RR

: 24x/ menit, wheezing (+)

BB

: 64 kg

TB

: 153 cm

Lila

: 24 cm

HPL

: 30-09-2010

b. Pemeriksaan khusus
Inspeksi
Palpasi.
Abdomen
Leopold I

: TFU 3 setengah px - pusat, teraba satu bagian bayi,


besar, lunak, kurang bulat, dan tidak melenting.

Leopold II

: teraba satu bagian tubuh janin, keras dan


memanjang seperti papan pada sisi kiri perut ib, dan
teraba bagian bagian kecil janin pada sisi kanan
perut ibu.

Leopold III

: teraba satu bagian janin, bulat, keras dan masih


dapat digoyang (bagian terendah belummasuk PAP).

Leopold IV
Dada

: kedua tangan dalam keadaan konvergenAuskultasi

: terdengar suara wheezing pada saat ibu bernafas.

Abdomen : DJJ terdengar jelas pada perut ibu sebelah kiri disekitar pusat
frekuensi 144 x/ menit (dengan dopler), intensitas kuat, irama teratur.
Perkusi
Refleks patella (+)/(+).
II.

Identifikasi Diagnosa dan Masalah


Dx

G1 P00000 UK: 30 minggu, tunggal, hidup, intrauterin, letak kepala,


keadaan umum ibu baik dengan asthma.

Ds

: ibu mengatakan ini adalah kehamilannya yang ertama, saat ini usia
kehamilannya sudah 7 bulan, mengeluh asma dan batuk pada malam
hari sejak 2 minggu yang lalu
HPHT: 23 11 2009

Do

: Keadaan umum
TD

: baik

: 110/ 70 mmHg

Suhu

: 36, 4 C

Nadi

: 84x/ menit

RR

: 24x/ menit, wheezing (+)

BB

: 64 kg

TB

: 153 cm

Lila

: 24 cm

Abdomen
Leopold I

: TFU 3 setengah px - pusat, teraba satu bagian bayi,


besar, lunak, kurang bulat, dan tidak melenting.

Leopold II

: teraba satu bagian tubuh janin, keras dan


memanjang seperti papan pada sisi kiri perut ib, dan
teraba bagian bagian kecil janin pada sisi kanan
perut ibu.

Leopold III

: teraba satu bagian janin, bulat, keras dan masih


dapat digoyang (bagian terendah belummasuk PAP).

Leopold IV

: kedua tangan dalam keadaan konvergenAuskultasi

Dada

: terdengar suara wheezing pada saat ibu bernafas.

Abdomen

: DJJ terdengar jelas pada perut ibu sebelah kiri disekitar


pusat frekuensi 144 x/ menit (dengan dopler), intensitas kuat,
irama teratur

Masalah

: berkurangnya perfusi ksigen ke janin karena asma ibu yang sering


kambuh seiring dengan bertambahnya usia kehamilan

Kebutuhan : konseling mengenai penyakit ibu dan penanganan asma.


III.

Intervensi
Jam:

Tanggal:

Dx

G1 P00000 UK: 30 minggu, tunggal, hidup, intrauterin, letak kepala,


keadaan umum ibu baik dengan asthma.

Tujuan

Setelah dilakukan asuhan kebidanan selama 30 menit diharapkan


klien dapat mengerti dan memahami kondisinya saat ini.

Kriteria :
- klien dapat mengulang kembali penjelasan yang diberikan dan akan melakukan
sesuai penjelasan yang diberikan petugas kesehatan.
- DJJ dalam batas normal 120 160x/ menit.
Intervensi:
1. Lakukan pendekatan terapeutik pada klien.
R/ dengan pendekatan terapeutik akan terjalin kerjasama yang kooperatif antara
klien dan petugas kesehatan.
2. Jelaskan pada klien tentang keadaan kehamilannya saat ini.
R/ klien bisa lebih tenang dengan keadaannya dan benar benar menjaga
kehamilannya.
3. Lakukan Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
R/ Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat
disesuaikan.
4. Anjurkan pada ibu untuk menghindari factor pencetus
R/ Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan
kesejahteraan ibu
5. Lakukan edukasi pada ibu terkait asma yang diderita
R/ Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin
6. Lakukankolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi farmakologi selama
kehamilan
R/ terapi farmakologis dapat mempekecil kemungkinan asma untuk kambuh selama
kehamilan.
7. Jelaskan juga pada klien tentang tanda bahaya kehamilan dan persalinan.
R/ klien bisa lebih mengerti dan lebih waspada dengan deteksi dini adanya kelainan.
8. Jelaskan dan ajarkan kembali cara perawatan payudara sewaktu hamil.

R/ mengaktifkan kelenjar kelenjar payudara yang memproduksi ASI serta


melancarkan saluran ait susu menuju sinus laktiferus sampai puting susu.
9. Ingatkan kembali klien tentang pentingnya senam hamil.
R/ memperkuat elastisitas otot otot dasar panggul, merangsang memperlancar
peredaran darah dan memperlancar proses persalinan.
10. Anjurkan ibu untuk istirahat cukup dan mengurangi aktivitas yang berlebihan.
R/ relaksasi yang sempurna mempengaruhi metabolisme tubuh.
11. Ingatkan ibu untuk tetap mengkonsumsi makanan seimbang ibu hamil.
R/ gizi seimbang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan untuk persiapan
persalinan.
12. Ingatkan ibu tentang personal hygiene yang baik.
R/ kebersihan diri akan meminimalisir bibit penyakit masuk.
13. Anjurkan klien untuk kontrol 1 minggu lagi atau bila ada keluhan.
R/ ibu dapat lebih mengetahui perkembangan kehamilannya.
IV.

Implementasi

V.

Evaluasi
Jam:
S

Tanggal:
: Ibu mengatakan

Sudah mengerti penjelasan bidan tentang kodisinya saat ini


sehubungan dengan asma dalam kehamilan yang dideritanya, apa
yang harus dilakukan serta bagaimana memenuhi kebutuhannya

selama hamil
Telah mendapat obat dari dokter untuk keluhannya.

: Ibu mampu menjelaskan kembali penjelasan dari bidan, dan mengerti cara
mengatasi masalah dan keluhan serta kebutuhannya selama hamil

: Ibu hamil dengan asma telah mendapatkan pelayanan

: Anjurkan ibu kembali untuk control ulang satu minggu lagi atau sewaktu
waktu bila ada keluhan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh
perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk
mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin,
plasenta dan uterus.
Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan
mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan
memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan
pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan
terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan.
Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron
selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan
tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka
diperdebatkan.
B. Saran
Petugas kesehatan khususnya bidan diharapkan untuk lebih meningkatkan
asuhan kebidanan terutama dalam pengembangan kompetensi asuhan yang
komprehensif mengenai penanggulangan dan pencegahan terhadap penyakit saluran
pernapasan pada kehamilan. Dengan demikian diharapkan

dalam memberikan

pelayanan kebidanan selalu berfokus pada KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di
pelayanan kesehatan khusus dan juga di komunitas.
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari bahwa
banyak sekali kekurangan yang ada dalam makalah ini sehingga kritik dan saran yang

membangun sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary. 2006. Obstetric Williams. Ed. 21. Vol. 2. EGC


Price, Sylvia Anderson et al. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jilid 2.
Edisi 4.
Price, Sylvia & Wilson Lorraine. 2006. Buku Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Revisi 20. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Arifin, Laily. 12 Juni 2007. Pregnancy and Tuberculosis. http://lelynursinginfo.blogspot.com/2007/06/Pregnancy-and-tuberculosis/html
Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya : Airlangga University Press.
Mirmayanti, Bernadeta. 21 Desember 2007. Penggunaan Obat Antituberkulosis Pada Ibu
Hamil. http://yosefw.wordpress.com/2007/12/21/Penggunaan-ObatAntituberkulosis-Pada-Ibu-Hamil/
Rao, Sanjay dkk. 2006. Journal : Tuberculosis in Pregnancy and The Impact of Directly
Observed-Short Course (DOTS).
http://www.bhj.org/journal/2006_4802_april/index/htm
Frieri, Marianne. Management of Asthma in Women. 402-412 WOMENS HEALTH IN
PRIMARY CARE. Volume 7 Number 8 September 2004.
Greenberger, Paul A. dan Patterson, Roy. 1985. Management of Asthma during Pregnancy.
(34 36). Obstetrical and Gynecological Survey. Williams and Wilkins (Eds.) Vol. 1
Number 1. January 1986.
Rosenstreich, David L et al. Asthma and the Environment (24-29). JOURNAL OF
ASTHMA Editor David G. Tinkelman, M. D etc. Vol. 40 2003
Subijanto, Achmad Arman Review : Keanekaragaman Genetik HLA-DR dan Variasi
Kerentanan terhadap Penyakit Asma; Tinjauan Khusus pada Asma dalam
Kehamilan. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
BIODIVERSITAS Vol. 8, No. 3, Juli 2008, hal. 237-243
240
Warouw, Najoan Nan. Penyakit Saluran Pernapasan. (810 -813). Abdul Bari Syaifuddun
(Eds.). 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4 Cet. 1. Jakarta : PT Bina
Husada Sarwono Prawirohardjo.

Wray, Betty B. and McCann, William. 1-4, Bronchial Asthma---The Plumbing


JOURNAL OF ASTHMA Editor David G. Tinkelman, M. D etc. Vol. 40 2003
Manuaba, I Bagus Gde. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC
Laksmi, Purwita W dkk. 2008. Penyakit-penyakit pada Kehamilan: Peran Seseorang
Internis. Jakarta: Interna Publishing
http://www.emir-fakhrudin.com/2009/12/hamil-dengan-asma-bronkhial.html

Anda mungkin juga menyukai