Anda di halaman 1dari 25

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015

15/378535/SA/17814

DUA BOCAH KEMBAR


: untuk Afrizal Malna
/1/
Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Ia melepas topinya dan melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai dituliskan

Kitab-kitab mendatanginya, buku-buku menuturkan rahasianya


Namun ia hanya mengutip kata-kata yang mengalir dalam cahaya
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta bergema
Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap harinya

Dari cahaya kata bocah itu menumbuhkan kota-kota baru


Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa batas,
Dari alir sungai bocah itu menciptakan ribuan dawai
Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun memetiknya

Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti angin
Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit

Airmatanya memurnikan arus sungai itu bak kilatan api memurnikan dosa

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

/2/
Di sebuah pantai seorang bocah lain memungut topi yang didamparkan arus
Ketika pertama kali memakainya seketika ia menjadi tua
Kerut merut di dahinya berlintasan bagai jalan-jalan sepi kota lama
Matanya rabun karna terlalu letih menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buahan khuldi dari pohon terlarang
Nasib menisiknya terus menerus seperti ujung jarum menisik kulit sepatu tua

Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi lembaran cermin
Yang memantulkan wajah buruknya menjadi ribuan wajah buruk yang sama
Semuanya serempak balik memandangnya dengan sorot yang ganjil
Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari lari...

Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih memikul bola bumi
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat bola bumi,
Dan menangis.

Saat itulah bocah tua itu ingat bahwa topi yang dikenakannya bukan miliknya
Maka, ia tinggalkan bola bumi itu terjelempah di tepi jalan,
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai

Hanya untuk menemukan bocah pemilik topi yang tak lain kembarannya sendiri.
2010 (Tia Setiadi, antologi Tangan yang Lain, hlm. 33-36, terbit tahun 2016)

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Analisis puisi Dua Bocah Kembar melalui dua lapis tahap, yakni lapis bunyi dan
lapis kata. Selanjutnya, ditelusuri hubungan antaraunsur dalam puisi kemudian
simpulan. Puisi ini terdiri dari dua fragmen, ditandai dengan /1/ dan /2/.
1. Lapis Bunyi

Orkestrasi Bunyi
a. Efoni
o Bait Pertama Fragmen Pertama
Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Ia melepas topinya dan melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai dituliskan
Bait di atas terdapat kombinasi bunyi-bunyi vokal: a, e, i, u,
dan o; bunyi-bunyi konsonan bersuara: b,

d, g, j; bunyi

likuida: r, l; dan sengau: m, n, ng, ny menimbulkan bunyi


berirama (efoni). Bunyi-bunyi yang ditimbulkan dalam bait
tersebut berfungsi untuk melukiskan suasana bahagia. Suasana
bahagia dianggap sebagai permulaan untuk mengawali kisah
dalam puisi ini.
o Bait Kedua Fragmen Pertama
Kitab-kitab mendatanginya, buku-buku menuturkan rahasianya
Namun ia hanya mengutip kata-kata yang mengalir dalam
cahaya
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Bait di atas terdapat kombinasi bunyi-bunyi vokal: a, e, i, u,


dan o; bunyi-bunyi konsonan bersuara: b,

d, g, j; bunyi

likuida: r, l; dan sengau: m, n, ng, ny menimbulkan bunyi


berirama (efoni). Bunyi-bunyi yang ditimbulkan dalam bait
tersebut berfungsi untuk melukiskan suasana gembira. Suasana
gembira ini becerita tentang kisah seorang anak yang seolaholah disambut bahagia oleh alam. Terdapat frasa musik para
pecinta bergema yang menjadi tanda suatu suasana gembira.
b. Kakofoni
o Bait Ketiga dan Keempat Fragmen Pertama
Dari cahaya kata bocah itu menumbuhkan kota-kota baru
Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa
batas,
Dari alir sungai bocah itu menciptakan ribuan dawai
Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah
memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang
bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit
Pada dua bait di atas terdapat kombinasi bunyi-bunyi k, p, t,
dan s. Bunyi-bunyi yang ditimbulkan dalam bait tersebut
berfungsi untuk melukiskan kekacauan, bahkan terasa hambar.
Suasana hambar tersebut terasa bahwa kehidupan bocah
setelah melempas topinya dan melemparkannya ke arus

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

menjadi hambar dan stagnan. Kehidupan yang stagnan ini jelas


aneh, tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang
tak sedih.
o Bait Pertama Fragmen Kedua
Di sebuah pantai seorang bocah lain memungut topi yang
didamparkan arus
Ketika pertama kali memakainya seketika ia menjadi tua
Kerut merut di dahinya berlintasan bagai jalan-jalan sepi kota
lama
Matanya rabun karna terlalu letih menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buahan khuldi dari
pohon terlarang
Nasib menisiknya terus menerus seperti ujung jarum menisik
kulit sepatu tua
Pada bait pertama fragmen kedua di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi k, p, t, dan s. Bunyi-bunyi yang ditimbulkan
dalam bait tersebut berfungsi untuk melukiskan kekacauan dan
tidak menyenangkan. Suasana kekacauan dan memuakkan
tersebut terasa bahwa kehidupan bocah setelah memungut topi
yang didamparkan arus menjadi menegrikan.. Kehidupan
bocah berubah drastis seketika ia menjadi tua, kerut merut di
dahinya..., matanya rabun..., jemarinya terkulai... sehingga
menjadi sangat buruk.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Bait Kedua Fragmen Kedua


Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi lembaran
cermin
Yang memantulkan wajah buruknya menjadi ribuan wajah
buruk yang sama
Semuanya serempak balik memandangnya dengan sorot yang
ganjil
Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari lari...
Pada bait kedua fragmen kedua di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi k, p, t, dan s. Bunyi-bunyi yang ditimbulkan
dalam bait tersebut berfungsi untuk melukiskan suasana ganjil.
Suasana keganjilan tersebut muncul sebab bocah melihat
wajah buruknya di segala sudut.
o Bait Ketiga Fragmen Kedua
Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih memikul
bola bumi
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu
jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat
bola bumi,
Dan menangis.
Pada bait kedua fragmen kedua di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi k, p, t, dan s. Bunyi-bunyi yang ditimbulkan
dalam bait tersebut berfungsi untuk melukiskan suasana
kesedihan. Suasana kesedihan tersebut dikisahkan bahwa
bocah menaiki kerbau yang tengah tertatih memikul bola bumi
yang kemudian kerbau itu jatu dan mati, sehingga bocah itu
menangis.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

c. Aliterasi
o Bait Pertama Fragmen Pertama
Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Ia melepas topinya dan melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai dituliskan
Pada bait pertama fragmen pertama di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi konsonan: k, t, r, l, s, b, p, d, dan h.
o Bait Keempat Fragmen Pertama
Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah
memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang
bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit
Pada bait keempat fragmen pertama di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi konsonan: k, t, g, r, l, s, b, p, d, dan h. Bunyibunyi ini menggambarkan suasana ganjil, kehidupan stagnan
tanpa dinamika yang dialami bocah.
d. Asonansi
o Bait Kedua Fragmen Pertama
Kitab-kitab mendatanginya, buku-buku menuturkan rahasianya
Namun ia hanya mengutip kata-kata yang mengalir dalam
cahaya
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Pada bait kedua fragmen pertama di atas terdapat kombinasi


bunyi-bunyi vokal: a, i, u, dan e. Bunyi-bunyi ini
menggambarkan suasana kebahagiaan yang dialami oleh ia
(bocah).
o Bait Ketiga Fragmen Kedua
Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih memikul
bola bumi
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu
jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat
bola bumi,
Dan menangis.
Pada bait ketiga fragmen kedua di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi vokal: a, i, u, o, dan e. Bunyi-bunyi ini
menggambarkan suasana kesedihan bocah yang melihat kerbau
yang dinaikinya jatuh dan mati, bocah pun menangis.
o Bait Keempat Fragmen Kedua
Saat itulah bocah tua itu ingat bahwa topi yang dikenakannya
bukan miliknya
Maka, ia tinggalkan bola bumi itu terjelempah di tepi jalan,
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai
Pada bait keempat fragmen kedua di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi vokal: a, i, u, o, dan e. Bunyi-bunyi ini
menggambarkan suasana kesadaran bocah bahwa keburukan
dan kekacauan yang bocah alami disebabkan ia mengambil
barang yang bukan haknya.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Simbol Bunyi
a. Peniru Bunyi atau Onomatope
o Larik Ketiga Bait Kedua Fragmen Pertama
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Larik di atas terdapat peniru suara keadaan bisikan dan suara
kebahagiaan yang disimbolkan dengan musik para pecinta
bergema.
o Larik Ketiga Bait Kedua Fragmen Pertama
Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Larik di atas menirukan suara dawai yang berbunyi nyaring.
b. Lambang Rasa
o Larik Keempat Bait Kedua Fragmen Kedua
Maka, ia tinggalkan bola bumi itu terjelempah di tepi jalan,
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai
Bait di atas terdapat bunyi konsonan b pada bola bumi, g pada
goa-goa, gelap, gemintang, mega mencerminkan rasa gundah
dan kalut mengarungi perjalanan baru.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Persajakan/Rima
a. Sajak Depan
o Larik Kedua dan Ketiga, Bait Ketiga Fragmen Kedua
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu
jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat
bola bumi,
Pada dua larik di atas, terdapat pengulangan bocah tua itu.
Pengulangan ini bertujuan untuk menggambarkan urutan
peristiwa yang dialami bocah tua itu.
o Larik Keempat, Kelima, dan Keenam, Bait Keempat
Fragmen Kedua
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai
Pada ketiga larik di atas, terdapat pengulangan ia. Pengulangan
ini bertujuan untuk menceritakan perjalanan-perjalanan yang
dilalui oleh si ia.
b. Sajak Tengah
o Larik Keempat, Bait Pertama Fragmen Kedua
Matanya rabun karna terlalu letih menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buahan khuldi dari
pohon terlarang
Pada larik di atas, terdapat pengulangan kata karna.
Pengulangan ini bertujuan sebagai pelukisan alasan mengapa
bocah matanya rabun dan jemarinya terkulai.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Larik Keempat dan Kelima, Bait Keempat Fragmen


Kedua
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Pada kedua larik di atas, terdapat pengulangan yang paling.
Pengulangan

ini

bertujuan

menerangkan

bahwa

ia

berpetualangan sedemikian dahsyatnya, sehingga pengarang


mengulang kata paling yang diikuti kata sifat gelap dan
rahasia.
c. Sajak Dalam
o Larik Kedua, Bait Pertama Fragmen Pertama
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Pada larik di atas, terdapat pengulangan /t/ pada melihat dan
langit, pengulangan /h/ pada merendah dan lembah-lembah.
Pengulangan ini terdengar merdu.
o Larik Kedua, Bait Ketiga Fragmen Pertama
Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa
batas
Pada larik di atas, terdapat pengulangan kata tanpa pada tanpa
malam, tanpa garis, tanpa batas. Pengulangan ini bertujuang
untuk menegaskan bahwa kota-kota memiliki kehidupan hirukpikuk sedemikian sibuknya karena siang dan malam tidak ada
batas.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Larik Kelima, Bait Keempat Fragmen Pertama


Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Pada larik di atas, terdapat pengulangan kata tak. Pengulangan
ini bertujuan sebagai penegasan bahwa tatapan matanya
hambar dan ganjil karena menerima tidak, menolak tidak,
senang tidak, dan sedih pun tidak.
d. Belakang
o Larik Pertama dan Kedua, Bait Pertama Fragmen
Pertama
Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Pada kedua larik di atas, terdapat pengulangan kata bunyi /ar/
pada besar dan hampar. Pengulangan ini bertujuan untuk
mendeskripsikan betapa luasnya pemandangan di sekitar
bocah.
2. Lapis Kata
Gaya Bahasa
a. Simile
o Larik Ketiga, Bait Keempat Fragmen Pertama
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar
seorang bocah
Pada larik di atas, terdapat kata perbandingan bagaikan. Fungsi
bagaikan ini menerangkan bahwa wajah segar seorang bocah
dibandingkan dengan tak tersentuh waktu. Frasa tak tersentuh
waktu secara tersirat menandakan bahwa tidak tua, sehingga
bocah tetap memiliki wajah segar.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Larik Keenam, Bait Keempat Fragmen Pertama


Ia menampung segalanya ibarat langit
Pada larik di atas, terdapat kata perbandingan ibarat. Fungsi
ibarat ini menerangkan bahwa ia dibandingkan dengan langit
yang mampu menampung segalanya. Menampung di sini
maksudnya secara tersirat jika langit dianggap tempat
menampung segala beban manusia.
o Larik Tunggal Bait Kelima Fragmen Pertama
Airmatanya memurnikan arus sungai itu bak kilatan api
memurnikan dosa
Pada larik di atas, terdapat kata perbandingan bak. Fungsi bak
ini menerangkan bahwa airmatanya memurnikan arus sungai
dibandingkan dengan kilatan api memurnikan dosa.
o Larik Ketiga Bait Pertama Fragmen Kedua
Kerut merut di dahinya berlintasan bagai jalan-jalan sepi kota
lama
Pada larik di atas, terdapat kata perbandingan bagai. Fungsi
bagai ini menerangkan bahwa kerut merut di dahinya (dahi
bocah) dibandingkan dengan jalan-jalan sepi kota lama.
Secara tersurat, maksudnya ialah dahi bocah seolah-olah
seperti orang tua.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Larik Ketiga Bait Pertama Fragmen Kedua


Nasib menisiknya terus menerus seperti ujung jarum menisik
kulit sepatu tua
Pada larik di atas, terdapat kata perbandingan seperti. Fungsi
seperti

ini

menerangkan

bahwa

nasib

bocah

begitu

menyakitkan dengan dibandingkan jarum yang menusuknusuk kulit sepatu tua. Secara tersirat, kulit sepatu tua
menandai hal yang usang.
b. Metafora
o Larik Ketiga Bait Pertama Fragmen Pertama
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Pada larik di atas, terdapat metafora mati yaitu anak sungai.
Sungai dianggap memiliki cabang sehingga disebut anak
sungai.
o Larik Pertama Bait Kedua Fragmen Kedua
...dan laut pun menjadi lembaran cermin
Pada larik di atas, terdapat metafora laut yang dipersamakan
dengan lembaran cermin.
c. Alegori
Puisi ini tergolong alegori, yaitu puisi yang melukiskan kiasan.
Cerita dalam puisi ini dikiaskan tentang dua anak yang berbeda
sifatnya, yang satu melepas topinya kemudian hidupnya menjadi
hambar, sedangkan yang satu menemukan topi bukan miliknya lali
hidupnya kacau.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

d. Personifikasi
o Larik Pertama, Bait Kedua Fragmen Kedua
Kitab-kitab
rahasianya

mendatanginya,

buku-buku

menuturkan

Larik di atas menggambarkan jika kitab-kitab mendatanginya


dan buku-buku menuturkan rahasianya padahal kegiatan
mendatangi dan menuturkan dilakukan oleh manusia.
o Larik Pertama, Bait Kedua Fragmen Kedua
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Larik di atas menggambarkan jika peri penggoda berbisik,
yaitu kegiatan yang dilakukan oleh manusia.
o Larik Pertama, Bait Kedua Fragmen Kedua
Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih
memikul bola bumi
Larik di atas menggambarkan jika kerbau memikul bola bumi,
jelas itu mustahil. Kegiatan memikul hanya dilakukan oleh
manusia.
e. Metonimia
o Larik Pertama, Bait Kedua Fragmen Kedua
Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih
memikul bola bumi
Larik di atas menggunakan atribut kerbau untuk mewakili
rakyat kecil. Seperti telah kita ketahui bahwa kerbau ialah
binatang yang digunakan untuk membantu petani membajak
sawah.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Citraan
a. Visual
o Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Larik di atas menggunakan kata melihat langit yang menandai
citraan visual.
o Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa
batas
Larik di atas menggunakan kata siang, malam, garis, dan batas
yang menandai citraan visual.
o Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah
memutih,
Larik di atas menggunakan kata memutih yang menandai
citraan visual.
o Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Larik di atas menggunakan kata bungkuk dan wajahnya
bersinar yang menandai citraan visual.
o Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar
seorang bocah
Larik di atas menggunakan kata wajah segar yang menandai
citraan visual.
o Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Larik di atas menggunakan frasa tatapan matanya yang
menandai citraan visual.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Ketika pertama kali memakainya seketika ia menjadi tua


Larik di atas menggunakan kata tua yang menandai citraan
visual.
o Kerut merut di dahinya berlintasan bagai jalan-jalan sepi kota
lama
Larik di atas menggunakan frasa kerut merut di dahi yang
menandai citraan visual.
o Matanya rabun karna terlalu letih menatap kejalangan dunia
Larik di atas menggunakan frasanya matanya rabun yang
menandai citraan visual.
o Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi
lembaran cermin
Larik di atas menggunakan kata memandang yang menandai
citraan visual.
o Yang memantulkan wajah buruknya menjadi ribuan wajah
buruk yang sama
Larik di atas menggunakan kata memantulkan yang menandai
citraan visual.
o Semuanya serempak balik memandangnya dengan sorot yang
ganjil
Larik di atas menggunakan kata sorot yang menandai citraan
visual.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

b. Auditoris
o Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Larik di atas menggunakan larik secara keseluruhan menandai
citraan auditoris.
o Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya
Larik di atas menggunakan kata menyimak secara keseluruhan
menandai citraan auditoris.
o Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Larik di atas menggunakan larik secara keseluruhan menandai
citraan auditoris.
c. Kinestetik
o Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Larik di atas menggunakan kata naik menandai citraan
kinestetik.
o Dari alir sungai bocah itu menciptakan ribuan dawai
Larik di atas menggunakan frasa menciptakan menandai
citraan kinestetik.
o Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
Larik di atas menggunakan kata tengadah dan menyentuh
menandai citraan kinestetik.
o Di sebuah pantai seorang bocah lain memungut topi yang
didamparkan arus
Larik di atas menggunakan kata memungut menandai citraan
kinestetik.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

o Ketika pertama kali memakainya seketika ia menjadi tua


Larik di atas menggunakan kata memakainya menandai citraan
kinestetik.
o Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buahan khuldi dari
pohon terlarang
Larik di atas menggunakan kata menjamah menandai citraan
kinestetik.
o Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari lari...
Larik di atas menggunakan kata berpaling dan lari menandai
citraan kinestetik.
o Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih memikul
bola bumi
Larik di atas menggunakan frasa tertatih memikul menandai
citraan kinestetik.
o Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau
itu jatuh dan mati
Larik di atas menggunakan kata menaikinya menandai citraan
kinestetik.
o Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat
bola bumi,
Larik di atas menggunakan kata tergeletak dan memeluk
menandai citraan kinestetik.
o Saat itulah bocah tua itu ingat bahwa topi yang dikenakannya
bukan miliknya
Maka, ia tinggalkan bola bumi itu terjelempah di tepi jalan,
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan
sungai
Bait di atas menggunakan kata tinggalkan, masuki, arungi,
tasrifkan menandai citraan kinestetik.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

d. Alam
Citraan alam dapat ditemukan pada larik-larik berikut:
o Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
o Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
o Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya
o Dari cahaya kata bocah itu menumbuhkan kota-kota baru
o Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
o Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi
lembaran cermin
o Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan
sungai
Kata-kata langit, lembah, sungai, kota, fajar, laut, pepohonan,
dan mega mendeskripsikan alam yang menjadi latar puisi
tersebut.
Sarana Retorika
a. Paralelisme
o Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Larik di atas menggunakan pengulangan kata tak dengan
maksud tujuan sama, yaitu mnerangkan jika tatapan matanya
kosong.
o Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa
batas,
Larik di atas menggunakan pengulangan kata tanpa dengan
maksud tujuan sama, yaitu mnerangkan jika kota-kota
demikian luasnya tanpa ada jeda dan batas.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

b. Retorik Retisense
o Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari lari...
Larik di atas menggunakan titik-titik banyak untuk
mengungkapkan kengerian bocah yang tidak terhingga.
c. Paradoks
o Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Larik di atas memiliki paradoks yaitu perlawanan antara dawai
yang berbunyi nyaring padahal tidak ada seorang pun
memetiknya. Kondisi ini paradoks karena dawai tidak akan
berbunyi jika tidak dipetik.
3. Faktor Ketatabahasaan

Pemendekan Kata
Dalam puisi ini terdapat pemendekan kata tidak menjadi tak.
Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang bocah
Pemendekan ini bertujuan untuk menghemat kata.

Penghilangan Imbuhan
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Pada dua larik di atas terdapat penghilangan imbuhan masuki dari kata
memasuki dan arungi dari kata arungi. Penghilangan imbuhan ini
untuk mendapatkan irama, kata masuki seirama dengan kata dan
arungi seirama dengan jeram makna.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

Hubungan Antarunsur dalam Puisi


Unsur-unsur lapis bunyi, lapis kata, dan faktor ketatabahasaan dalam
puisi ini saling berhubungan. Pada lapis bunyi, unsur-unsur orkestrasi, simbol
bunyi, dan persajakan digarap dengan lengkap sehingga berirama. Unsurunsur lapis bunyi ini berkaitan dengan lapis kata yang terdiri dari gaya
bahasa, citraan, dan sarana retorika. Kemudian dua lapis tersebut pun
berkaitan dengan faktor ketatabahasan untuk membangun puisi liris Dua
Bocah Kembar ini. Bangunan puisi tersebut terlihat kompleks, sehingga
unsur-unsur tersebut menyatu sama lain. Ketika dibaca sekilas, unsur-unsur
tidak begitu nampak sebab pengarang menulis puisi ini secara liris. Tetapi,
ketika dianalisis per unsurnya, ternyata hampir seluruh unsur-unsur lapis
bunyi, lapis kata, dan faktor ketatabahasan tercantum dalam puisi tersebut.

Simpulan
Secara keseluruhan, puisi Dua Bocah Kembar ini memiliki banyak
kelebihan. Kelebihan tersebut bisa didapatkan hasil analisis di atas, hampir
seluruh unsur yang menjadi kriteria penilaian dapat dipenuhi dengan baik.
Puisi ini tergolong dalam puisi epik, sebuah puisi yang menceritakan kisah
tentang dua bocah.
Cerita yang dikisahkan dalam puisi ini menarik, mengenai dua bocah
yang memiliki dua kehidupan yang berbeda. Perbedaan kehidupan yang
dialami oleh kedua bocah tersebut bermula dari bocah pertama yang melepas
topinya dan diikuti cerita tentang bocah kedua yang menemukan topi
kembarannya. Secara dangkal, pembaca awam dapat menangkap maksud
puisi ini. Lalu jika ditelusuri lebih jauh, puisi ini ternyata memiliki makna

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

yang dalam. Topi yang dijadikan atribut utama sebagai permulaan masalah
kehidupan yag dialami kedua bocah tersebut merupakan suatu simbol.
Menurut penyusun, topi adalah simbol kekuasaan. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa kekuasaan menjadi salah satu problematika yang masih, tetap,
dan akan ada di dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang diperebutkan
dengan cara baik maupun tidak baik. Puisi ini seolah-olah membahas sesuatu
yang krusial dalam kehidupan manusia dengan peyajian yang sederhana.
Kesederhanaan tersebut dilambangkan dengan subjek bocah.
Adapun kekurangan dari puisi ini yaitu penggunaan kata-kata yang
masih dilekati imbuhan. Menurut penyusun, akan lebih terperas inti kata-kata
jika menggunakan pemendekan kata, meskipun telah digunakan tak daripada
tidak. Kemudian kurangnya sarana retorika seperti hiperbola, sehingga kesan
ekspresivitas perasaan yang dialami bocah kurang menyentuh jiwa pembaca.
Maka, penggunaan pemendekan kata dan penambahan sarana retorika dapat
menjadi saran untuk membangun puisi Dua Bocah Kembar yang dahsyat ini.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, Tia. 2016. Tangan yang Lain. Yogyakarta: Diva Press.

Nur Fahmia, Sastra Indonesia UGM 2015


15/378535/SA/17814

TEORI PUISI:
ANALISIS PUISI DUA BOCAH KEMBAR KARYA TIA SETIADI

Dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Teori Puisi

Disusun oleh :
Nur Fahmia
15/378535/SA/17814

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

Anda mungkin juga menyukai