15/378535/SA/17814
Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti angin
Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit
Airmatanya memurnikan arus sungai itu bak kilatan api memurnikan dosa
/2/
Di sebuah pantai seorang bocah lain memungut topi yang didamparkan arus
Ketika pertama kali memakainya seketika ia menjadi tua
Kerut merut di dahinya berlintasan bagai jalan-jalan sepi kota lama
Matanya rabun karna terlalu letih menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buahan khuldi dari pohon terlarang
Nasib menisiknya terus menerus seperti ujung jarum menisik kulit sepatu tua
Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi lembaran cermin
Yang memantulkan wajah buruknya menjadi ribuan wajah buruk yang sama
Semuanya serempak balik memandangnya dengan sorot yang ganjil
Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari lari...
Di jalan ia bersua seekor kerbau yang tengah tertatih memikul bola bumi
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat bola bumi,
Dan menangis.
Saat itulah bocah tua itu ingat bahwa topi yang dikenakannya bukan miliknya
Maka, ia tinggalkan bola bumi itu terjelempah di tepi jalan,
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai
Hanya untuk menemukan bocah pemilik topi yang tak lain kembarannya sendiri.
2010 (Tia Setiadi, antologi Tangan yang Lain, hlm. 33-36, terbit tahun 2016)
Analisis puisi Dua Bocah Kembar melalui dua lapis tahap, yakni lapis bunyi dan
lapis kata. Selanjutnya, ditelusuri hubungan antaraunsur dalam puisi kemudian
simpulan. Puisi ini terdiri dari dua fragmen, ditandai dengan /1/ dan /2/.
1. Lapis Bunyi
Orkestrasi Bunyi
a. Efoni
o Bait Pertama Fragmen Pertama
Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Ia melepas topinya dan melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai dituliskan
Bait di atas terdapat kombinasi bunyi-bunyi vokal: a, e, i, u,
dan o; bunyi-bunyi konsonan bersuara: b,
d, g, j; bunyi
d, g, j; bunyi
c. Aliterasi
o Bait Pertama Fragmen Pertama
Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Ia melepas topinya dan melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai dituliskan
Pada bait pertama fragmen pertama di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi konsonan: k, t, r, l, s, b, p, d, dan h.
o Bait Keempat Fragmen Pertama
Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah
memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang
bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit
Pada bait keempat fragmen pertama di atas terdapat kombinasi
bunyi-bunyi konsonan: k, t, g, r, l, s, b, p, d, dan h. Bunyibunyi ini menggambarkan suasana ganjil, kehidupan stagnan
tanpa dinamika yang dialami bocah.
d. Asonansi
o Bait Kedua Fragmen Pertama
Kitab-kitab mendatanginya, buku-buku menuturkan rahasianya
Namun ia hanya mengutip kata-kata yang mengalir dalam
cahaya
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya
Simbol Bunyi
a. Peniru Bunyi atau Onomatope
o Larik Ketiga Bait Kedua Fragmen Pertama
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Larik di atas terdapat peniru suara keadaan bisikan dan suara
kebahagiaan yang disimbolkan dengan musik para pecinta
bergema.
o Larik Ketiga Bait Kedua Fragmen Pertama
Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Larik di atas menirukan suara dawai yang berbunyi nyaring.
b. Lambang Rasa
o Larik Keempat Bait Kedua Fragmen Kedua
Maka, ia tinggalkan bola bumi itu terjelempah di tepi jalan,
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai
Bait di atas terdapat bunyi konsonan b pada bola bumi, g pada
goa-goa, gelap, gemintang, mega mencerminkan rasa gundah
dan kalut mengarungi perjalanan baru.
Persajakan/Rima
a. Sajak Depan
o Larik Kedua dan Ketiga, Bait Ketiga Fragmen Kedua
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu
jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tepi jalan sambil memeluk erat-erat
bola bumi,
Pada dua larik di atas, terdapat pengulangan bocah tua itu.
Pengulangan ini bertujuan untuk menggambarkan urutan
peristiwa yang dialami bocah tua itu.
o Larik Keempat, Kelima, dan Keenam, Bait Keempat
Fragmen Kedua
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai
Pada ketiga larik di atas, terdapat pengulangan ia. Pengulangan
ini bertujuan untuk menceritakan perjalanan-perjalanan yang
dilalui oleh si ia.
b. Sajak Tengah
o Larik Keempat, Bait Pertama Fragmen Kedua
Matanya rabun karna terlalu letih menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buahan khuldi dari
pohon terlarang
Pada larik di atas, terdapat pengulangan kata karna.
Pengulangan ini bertujuan sebagai pelukisan alasan mengapa
bocah matanya rabun dan jemarinya terkulai.
ini
bertujuan
menerangkan
bahwa
ia
ini
menerangkan
bahwa
nasib
bocah
begitu
menyakitkan dengan dibandingkan jarum yang menusuknusuk kulit sepatu tua. Secara tersirat, kulit sepatu tua
menandai hal yang usang.
b. Metafora
o Larik Ketiga Bait Pertama Fragmen Pertama
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Pada larik di atas, terdapat metafora mati yaitu anak sungai.
Sungai dianggap memiliki cabang sehingga disebut anak
sungai.
o Larik Pertama Bait Kedua Fragmen Kedua
...dan laut pun menjadi lembaran cermin
Pada larik di atas, terdapat metafora laut yang dipersamakan
dengan lembaran cermin.
c. Alegori
Puisi ini tergolong alegori, yaitu puisi yang melukiskan kiasan.
Cerita dalam puisi ini dikiaskan tentang dua anak yang berbeda
sifatnya, yang satu melepas topinya kemudian hidupnya menjadi
hambar, sedangkan yang satu menemukan topi bukan miliknya lali
hidupnya kacau.
d. Personifikasi
o Larik Pertama, Bait Kedua Fragmen Kedua
Kitab-kitab
rahasianya
mendatanginya,
buku-buku
menuturkan
Citraan
a. Visual
o Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Larik di atas menggunakan kata melihat langit yang menandai
citraan visual.
o Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa
batas
Larik di atas menggunakan kata siang, malam, garis, dan batas
yang menandai citraan visual.
o Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah
memutih,
Larik di atas menggunakan kata memutih yang menandai
citraan visual.
o Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Larik di atas menggunakan kata bungkuk dan wajahnya
bersinar yang menandai citraan visual.
o Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar
seorang bocah
Larik di atas menggunakan kata wajah segar yang menandai
citraan visual.
o Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Larik di atas menggunakan frasa tatapan matanya yang
menandai citraan visual.
b. Auditoris
o Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta
bergema
Larik di atas menggunakan larik secara keseluruhan menandai
citraan auditoris.
o Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya
Larik di atas menggunakan kata menyimak secara keseluruhan
menandai citraan auditoris.
o Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Larik di atas menggunakan larik secara keseluruhan menandai
citraan auditoris.
c. Kinestetik
o Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Larik di atas menggunakan kata naik menandai citraan
kinestetik.
o Dari alir sungai bocah itu menciptakan ribuan dawai
Larik di atas menggunakan frasa menciptakan menandai
citraan kinestetik.
o Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
Larik di atas menggunakan kata tengadah dan menyentuh
menandai citraan kinestetik.
o Di sebuah pantai seorang bocah lain memungut topi yang
didamparkan arus
Larik di atas menggunakan kata memungut menandai citraan
kinestetik.
d. Alam
Citraan alam dapat ditemukan pada larik-larik berikut:
o Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
o Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
o Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap
harinya
o Dari cahaya kata bocah itu menumbuhkan kota-kota baru
o Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti
angin
o Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi
lembaran cermin
o Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan
sungai
Kata-kata langit, lembah, sungai, kota, fajar, laut, pepohonan,
dan mega mendeskripsikan alam yang menjadi latar puisi
tersebut.
Sarana Retorika
a. Paralelisme
o Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak
sedih
Larik di atas menggunakan pengulangan kata tak dengan
maksud tujuan sama, yaitu mnerangkan jika tatapan matanya
kosong.
o Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa
batas,
Larik di atas menggunakan pengulangan kata tanpa dengan
maksud tujuan sama, yaitu mnerangkan jika kota-kota
demikian luasnya tanpa ada jeda dan batas.
b. Retorik Retisense
o Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari lari...
Larik di atas menggunakan titik-titik banyak untuk
mengungkapkan kengerian bocah yang tidak terhingga.
c. Paradoks
o Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun
memetiknya
Larik di atas memiliki paradoks yaitu perlawanan antara dawai
yang berbunyi nyaring padahal tidak ada seorang pun
memetiknya. Kondisi ini paradoks karena dawai tidak akan
berbunyi jika tidak dipetik.
3. Faktor Ketatabahasaan
Pemendekan Kata
Dalam puisi ini terdapat pemendekan kata tidak menjadi tak.
Sudah puluhan tahun, tapi rambut bocah itu tak pernah memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak bersentuh waktu: masih saja wajah segar seorang bocah
Pemendekan ini bertujuan untuk menghemat kata.
Penghilangan Imbuhan
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Pada dua larik di atas terdapat penghilangan imbuhan masuki dari kata
memasuki dan arungi dari kata arungi. Penghilangan imbuhan ini
untuk mendapatkan irama, kata masuki seirama dengan kata dan
arungi seirama dengan jeram makna.
Simpulan
Secara keseluruhan, puisi Dua Bocah Kembar ini memiliki banyak
kelebihan. Kelebihan tersebut bisa didapatkan hasil analisis di atas, hampir
seluruh unsur yang menjadi kriteria penilaian dapat dipenuhi dengan baik.
Puisi ini tergolong dalam puisi epik, sebuah puisi yang menceritakan kisah
tentang dua bocah.
Cerita yang dikisahkan dalam puisi ini menarik, mengenai dua bocah
yang memiliki dua kehidupan yang berbeda. Perbedaan kehidupan yang
dialami oleh kedua bocah tersebut bermula dari bocah pertama yang melepas
topinya dan diikuti cerita tentang bocah kedua yang menemukan topi
kembarannya. Secara dangkal, pembaca awam dapat menangkap maksud
puisi ini. Lalu jika ditelusuri lebih jauh, puisi ini ternyata memiliki makna
yang dalam. Topi yang dijadikan atribut utama sebagai permulaan masalah
kehidupan yag dialami kedua bocah tersebut merupakan suatu simbol.
Menurut penyusun, topi adalah simbol kekuasaan. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa kekuasaan menjadi salah satu problematika yang masih, tetap,
dan akan ada di dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang diperebutkan
dengan cara baik maupun tidak baik. Puisi ini seolah-olah membahas sesuatu
yang krusial dalam kehidupan manusia dengan peyajian yang sederhana.
Kesederhanaan tersebut dilambangkan dengan subjek bocah.
Adapun kekurangan dari puisi ini yaitu penggunaan kata-kata yang
masih dilekati imbuhan. Menurut penyusun, akan lebih terperas inti kata-kata
jika menggunakan pemendekan kata, meskipun telah digunakan tak daripada
tidak. Kemudian kurangnya sarana retorika seperti hiperbola, sehingga kesan
ekspresivitas perasaan yang dialami bocah kurang menyentuh jiwa pembaca.
Maka, penggunaan pemendekan kata dan penambahan sarana retorika dapat
menjadi saran untuk membangun puisi Dua Bocah Kembar yang dahsyat ini.
DAFTAR PUSTAKA
TEORI PUISI:
ANALISIS PUISI DUA BOCAH KEMBAR KARYA TIA SETIADI
Dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Teori Puisi
Disusun oleh :
Nur Fahmia
15/378535/SA/17814