Anda di halaman 1dari 15

CEKUNGAN JAWA BARAT SELATAN

20.1 REGIONAL
Nama Cekungan Polyhistory

: Paleogene Fore Arc - Neogene Intra Arc Basin.

Klasifikasi Cekungan

: Cekungan Belum di Eksplorasi

20.1.1 Geometri Cekungan


Cekungan Jawa Barat Selatan berada di Zona Fisografi Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949).
Berbatasan dengan Cekungan Ujung Kulon di sebelah barat, dan dibatasi oleh Tinggian Ciletuh
dan Sesar Cimandiri, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Cekungan Banyumas dan
Jawa Tengah Selatan. Sesar Cimandiri ini bersama-sama dengan Sesar Citanduy, membentuk
busur melengkung (berbentuk seperti bumerang) yang membatasi cekungan ini. Sebelah utara
cekungan berbatasan dengan Cekungan Bogor (Gambar 20.1).
Posisi geografis cekungan berada pada koordinat 106 30 - 108 00BT dan 7 00- 8 00 LS.
Sebagian besar cekungan ini berada di daerah daratan dan hanya sebagian kecilnya berada di
lepas pantai. Luas cekungan 9.048 km2, dengan luas di daratan 7.974 km 2 dan di daerah lautan
1.074 km2. Tebal sedimen rata-rata 1,5 km dan yang paling tebal mencapai 3 km dibagian
baratdaya cekungan.
Penarikan batas cekungan berdasarkan pada nilai isopach yang dideliniasi pada nilai 1.750 m,
juga dibatasi oleh Tinggian Ciletuh dan Tinggian Bayah. Pada peta anomali gaya berat, tidak
terlihat adanya bentukan cekungan yang diharapkan, namun bentukan yang terlihat adalah Zona
Pegunungan

Selatan,

hal

ini

mempengaruhinya (Gambar 20.2).

diperkirakan

akibat

adanya

endapan

volkanik

yang

Gambar 20.1 Lokasi Cekungan Jawa Barat Selatan dan isopach.

Gambar 20.2 Peta anomali gaya berat (Pusat Survei Geologi, 2000).

20.2 TEKTONIK DAN STRUKTUR

Sejarah tektonik Jawa Barat diawali pada Kapur, ditandai oleh subduksi yang menghasilkan
endapan Melange Ciletuh dan busur magmatik di Pantai Utara Jawa (berkomposisi granitis) yang
berumur Kapur Akhir-Eosen Awal (Harland dkk., 1992 dalam Martodjojo, 2003). Selain itu
terbentuk pula struktur-struktur berarah timurlaut-baratdaya, yang sesuai dengan arah umum
Sesar Cimandiri, atau dikenal sebagai Pola Meratus (Gambar 20.3).
Pada saat tersebut, selatan Jawa Barat terbentuk sebagai constructive fore-arc basin, yang terisi
oleh batulempung terlipat kuat dengan sisipan batupasir, batupasir konglomeratan, dan
batugamping. Umumnya berupa endapan turbidit dan endapan gravitasi (Martodjojo, 1998 dalam
Sribudiyani dkk., 2003).
Oligosen - Miosen Awal dikenal sebagai awal dari berkurangnya kecepatan gerak lempeng, dan
pengangkatan di seluruh bagian tenggara Paparan Sunda. Pada saat ini, konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi pada daerah fore-arc dan menyebabkan strktur
inversi di dalam cekungan.
Dalam periode Miosen Tengah-Miosen Akhir, batas subduksi berpindah ke selatan yang diikuti
oleh aktifitas magmatisme yang hampir terjadi di seluruh Pulau Jawa. Di daerah Jawa Barat
Selatan dan Jawa Tengah, sistem sesar utama berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara.
Sesar ini merupakan pasangan sesar mendatar yang nantinya membentuk cekungan di daerah
tersebut.
Pada Kala Pliosen, terutama Pliosen Akhir terjadi perpindahan busur magmatik yang sebelumnya
berada disebelah selatan Pulau Jawa dan pada kala ini berpindah ke tengah Pulau Jawa. Pada saat
itu, Cekungan Bogor telah berubah menjadi jalur magmatik. Pengangkatan akibat pergeseran
penunjaman terus terjadi hingga Pliosen. Pada Kala Plistosen, di daerah utara Jawa terbentuk
Sesar Baribis yang mengakibatkan endapan batuan berumur Plisosen-Plistosen Awal terlipat
kuat.

Gambar 20.3 Evolusi tektonik Indonesia Barat (Sribudiyani dkk., 2003).

20.3 STRATIGRAFI

Batuan dasar di dalam cekungan ini terdiri dari metamorfik terlipat dan tersesarkan kuat, unitunit batuan beku dan sedimen marin dalam dikenal sebagai Kompleks Batuan Melange Ciletuh.
Di bagian atas batuan dasar terdapat Formasi Ciletuh yang terendapkan tidak selaras. Karakter
Formasi Ciletuh menunjukkan bahwa lingkungan pengendapannya didominasi oleh turbidit laut
dalam. Selaras di atas Formasi Ciletuh terdapat Formasi Bayah yang terdiri dari perselingan
batulempung batulanau, batupasir dan lapisan tufa tipis. Bagian paling atas Formasi Bayah
berupa batupasir masif. Di daerah utara Jawa Barat ditemukan Formasi Jatibarang yang berumur
sama dengan Formasi Bayah.
Diatasnya diendapkan Formasi Jampang secara tidak selaras di atas Formasi Bayah. Selanjutnya
diendapkan Formasi Citarum yang menjemarai dengan Formasi Saguling (Formasi Citarum
didominasi oleh endapan volkanik sedangkan Formasi Saguling didominasi oleh breksi).
Diatasnya terdapat Formasi Bantargadung yang terendapkan selaras dan dilanjutkan dengan
Formasi Cinambo.
Dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Cantayan yang seumur dengan Formasi Parigi di
utara. Di daerah cekungan busur depan, Formasi Parigi tidak dapat berkembang, yang
berkembang adalah Formasi Cantayan (terdiri dari endapan breksi). Diatasnya terdapat Formasi
Cisubuh yang juga terdapat di utara Jawa Barat. Selanjutnya berupa endapan volkanik Resen dan
endapan aluvial yang tidak selaras ditas endapan-endapan sebelumnya.

20.3.1 Formasi Ciletuh


Merupakan endapan tertua yang menutupi komplek mlange. Terdiri dari batulempung terlipat
kuat dengan perselingan tipis batupasir (berukuran halus-kerikilan) kuarsa. Bongkah ultrabasa
juga sering dijumpai.

Bagian bawah formasi selalu terlipat dan tersesarkan, namun bagian atas, secara gradasi berubah
menjadi normal/hampir mendatar. Litologinya mulai dari greywacke yang terendapkan di laut
dalam (pada bagian bawah) dan berubah menjadi endapan yang lebih dangkal di bagian atasnya.
Karakter yang ditunjukkan oleh batuan ini menandakan bahwa ia terendapkan dilingkungan laut
dalam dan didominasi oleh arus gravitasi turbidit. Berdasarkan data fosil yang ada, umur formasi
adalah Eosen. Foraminifera plankton daerah Ciletuh dan Cigembong menunjukkan umur Eosen
Akhir - Oligosen Awal.

20.3.2 Formasi Bayah


Lokasi tipe formasi ini berada di Desa Bayah, selatan Banten. Singkapan lain ditemukan di
daerah barat Sukabumi, dan dikenal sebagai Batupasir Walat. Koolhoven (1933 dalam
Martodjojo, 2003), membagi Formasi Bayah di selatan Banten menjadi dua fasies, yaitu Fasies
Utara dan Fasies Selatan. Fasies selatan didominasi oleh batupasir hingga batupasir
konglomeratan (dengan perselingan tipis batulempung dan batubara, ketebalan maksimum
batubara mencapai 110 cm), sedangkan Fasies Utara didominasi oleh batulempung, dengan
beberapa perselingan batugamping.
Umur formasi ini dideterminasi berdasarkan kandungan polen, dan mengindikasikan umur Eosen
Akhir (Morley dan Pribatini, 1999 dalam Martodjojo, 2003). Di atas formasi ini diendapkan
Formasi Cijengkol yang berkorelasi dengan Formasi Batuasih, dan Formasi Batuasih ini
menjemari dengan Formasi Rajamandala.

20.3.3 Formasi Jampang


Formasi Jampang, merupakan sebagian dari Old Andesite, hasil aktifitas gunung api berumur
Oligosen-Miosen Awal. Endapan ini terletak di sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa. Umumnya
mencirikan endapan aliran gravitasi dengan sisipan lava dan terkadang berupa lava bantal.

Bagian bawah formasi berupa breksi yang komponen utamanya berupa andesit, kaya akan
hornblende, dan disebut sebagai andesit amfibol (Sukamto, 1967 dalam Martodjojo, 2003),
matriksnya berupa mikrolit dan gelas, serta bersifat lepas-lepas (loose). Di atas satuan breksi
andesit didapatkan satuan tufa yang berlapis baik dengan komponen tufa dan breksi lava, andesit,
batugamping, dan aliran lava.
Pada bagian tengah formasi ini, sering dijumpai fragmen batugamping pada breksi. Gamping ini
ditemukan dalam berbagai ukuran dari 0,01 1 m, seringkali mengandung koral. Bagian atas
terdiri dari breksi dengan sisipin lempung dan bergradasi menjadi lapisan pasir-lempung. Bagian
teratasnya terdiri dari breksi yang berangsur menjadi batupasir.

20.3.4 Formasi Citarum


Penamaan Formasi Citarum mula-mula digunakan oleh Harting (1929) sebagai conglomerate
beds, sandstone beds, Zwierzycki dan Koolhoven (1936) menamakan formasi ini sebagai
batupasir dari breksi Onder Citarum Beds. Beberapa penulis lain Seperti Musper (1939), Pott
(1940) menyebutkan formasi ini sebagai satuan Napal Globigerina dan Batupasir Tufaan,
sedangkan van Bemmelen (1949), Marks (1957) memasukkan kedalam Formasi Jampang.
Effendi (1974) masih menyebutkan sebagai Satuan Napal yang kaya Globigerina, Baumann
(1974) menamakannya sebagai Formasi Citarum (Martodjojo, 2003).
Formasi Citarum bagian bawah dicirikan oleh napal, napal lempungan, napal tufaan sisipan
lempung, sering juga didapatkan batupasir greywacke, serta batupasir tufaan sebagai sisipan.
Semakin ke atas, napal berselang-seling dengan batupasir tufaan, tufa pasiran serta batupasir
greywacke dengan sisipan lempung pasiran, napal, dan lanau. Struktur sedimen yang didapatkan
adalah gradded bedding pada sisipan batupasir greywacke yang tipis, laminasi paralel serta
laminasi konvolut.
Struktur sekunder yang sering didapatkan pada napal adalah struktur beban (load cast). Pada
batupasir tufaan, batupasir greywacke, struktur sedimen berupa lapisan bersusun (graded

bedding), laminasi paralel serta laminasi konvolut, scour and fill pada batas sisipan pasir lapisan
batupasir dan lanau.
Pada bagian atas serta tengah, terdiri atas napal, napal tufaan, napal lempungan yang sangat
kompak berselang-seling dengan batupasir tufaan, batupasir greywacke tufaan. Persentase napal
makin ke atas makin berkurang, sedangkan batupasir tufaan serta batupasir greywacke semakin
dominan.

20.3.5 Formasi Saguling


Lokasi tipe formasi berada pada daerah deretan puncak bukit di Selatan Rajamandala (Pasir
Tikukur-Pasir Beneng Pasir Gedongan) ke selatan, menerus ke barat di Hulu Cimandiri.
Endapan yang berhubungan dengan formasi ini diantaranya singkapan di Sukabumi Selatan
(Cekungan Jawa Barat Selatan), dan Lembah Cimandiri, yang dahulu oleh Effendi (1974)
dimasukkan kedalam Formasi Jampang (Martodjojo, 2003).
Batas bawah formasi di cekungan berupa permulaan munculnya breksi volkanik. Didapatkan
kontak selaras dengan Formasi Citarum dibawahnya. Bagian bawah umumnya terdiri dari breksi
dengan sisipan pasir lempungan. Di bagian dasar (paling bawah) kandungan fragmen gamping
hampir mencapai 40% dari keseluruhan fragmen breksi yang umumnya berupa andesit.
Bagian tengah umumnya terdiri dari batupasir sisipan lanau sampai lempung. Batupasir
menunjukkan ciri-ciri turbidit distal yang ditandai oleh struktur Bouma B dan C, terkadang
masih memperlihatkan interval A dan B. Struktur longsoran pada lanau dan pasir halus sering
didapatkan (Martodjojo, 2003).
Bagian teratas formasi ditandai oleh sisipan lempung yang lebih banyak. Lapisan turbidit
kebanyakan terdiri dari lanau atau pasir, dengan struktur C D yang menunjukkan endapan
turbidit distal. Umur formasi di dalam cekungan diperkirakan N9-N13 atau Miosen Tengah.

20.3.6 Formasi Bantargadung


Formasi ini umumnya terdiri dari selang-seling lempung dan batupasir tufaan. Pada dasarnya
Formasi Bantargadung mempunyai tiga ciri litologi. Pertama, bagian bawah formasi terdiri dari
batupasir, dengan pemilahan buruk, makin ke atas batupasir berubah menjadi batupasir
kwarsaan, kandungan kuarsa mencapai 38%. Struktur sedimen adalah gradded bedding
umumnya tebal 10 cm, jarang yang 1 m. Struktur lain adalah laminasi parallel, serta laminasi
konvolut. Kedua, bagian tengah, terdiri dari selang-seling pasir banyak mengandung fragmen
batuan, lebih tufaan dari bagian bawah. Struktur sedimen yang ditemukan berupa cross-bedding,
laminasi paralel, serta laminasi konvolut. Ketiga, bagian atas, terdiri dari selang-seling tipis pasir
lanauan dengan lempung. Makin ke atas batupasir makin bersifat gampingan dan kaya akan
glaukonit, sisipan lempung serpih makin tebal dibandingkan dengan bagian bawah. Secara
megaskopis, batuan tufaan dan batupasir gampingan mengandung serpih batubara. Bagian paling
atas kembali lebih bersifat tufaan.
Umur formasi berdasarkan kandungan fosilnya berada pada N13-N14 (Miosen Tengah Bagian
Atas).

20.3.7 Formasi Cantayan


Formasi ini diawali dengan pengendapan breksi dengan berbagai macam komponennya yang
masih rancu. Fragmen andesit umumnya bersudut-bersudut tanggung, berukuran kerikil (pebble)
sampai bongkah (boulder). Matriks umumnya batupasir yang seringkali gampingan. Beberapa
fragmen batugamping bersudut juga ditemukan. Di atas breksi didapatkan kontak berangsur
dengan pasir tufaan yang berselang-seling dengan lanau samapi lempung. Hubungan antara
breksi dan pasir tufaan ini berulang-ulang, hanya ketebalan breksinya berubah-ubah.
Pada bagian tengah didapatkan batupasir dan serpih yang memiliki komposisi yang sama dengan
bagian bawah. Lebih ke atas terdapat lapisan-lapisan breksi yang tidak mengandung struktur
sedimen (ketebalan 1 sampai 4 m), diikuti oleh batupasir yang mengandung struktur lapisan

bersusun normal dan laminasi paralel yang kurang jelas, banyak fragmen batulempung berbentuk
elipsoid (clay pellets) dengan sumbu panjang, maksimum 50 cm. Breksi ini mempunyai tekstur
dan komposisi yang sama dengan bagian bawah, tetapi fragmen pembentuknya yang berupa
batuan andesit berdiameter lebih besar dari bagian bawah.
Paling atas terdapat breksi dengan litologi yang sama dengan bagian bawah, tetapi mempunyai
penyebaran yang terbatas, setebal 1 4 m dengan napal diantara lapisan breksi. Ciri batas satuan
ini dibedakan dengan Formasi Bantargadung dibawahnya oleh munculnya breksi. Karena
Formasi Cantayan merupakan satuan termuda, maka satuan umumnya ditutupi secara tidak
selaras oleh endapan volkanik tua.

Gambar 20.4 Perbandingan Stratigrafi Pulau Jawa, perunutan stratigrafi Cekungan Jawa Barat
Selatan berdasarkan pada kolom stratigrafi ini (Satyana, 2005)

Gambar 20.5 menunjukkan sejarah sedimentasi Jawa Barat. Diawali pada Eosen Tengah, di
bagian baratlaut cekungan, terendapkan endapan delta (Formasi Ciemas) yang suplai sedimennya
berasal dari batuan dasar Bayah, Busur Karimun Jawa, dan Paparan Sunda yang terangkat,
sedangkan di dalam cekungan terendapkan endapan volkaniklastik Formasi Ciletuh dari busur
volkanik di dalam cekungan.
Pada Eosen Akhir, terbentuk sesar-sesar normal berarah utara-selatan di Jawa Barat Utara
(terendapkan endapan kipas aluvial pada awal rifting). Di Ujungkulon, delta mengalami
prograding ke selatan, endapan volkaniklastik masih diendapkan ke dalam cekungan, sumber
gunung api berasal dari selatan Jawa.
Oligosen Awal yang dikenal dengan periode berkurangnya aktifitas lempeng, terjadi
pendangkalan di daerah gunung api di selatan Jawa, juga menurunnya aktifitas volkanisme.
Formasi Batuasih

mulai diendapkan pada lingkungan laut dangkal atau laguna. Di daerah

tinggian Cimandiri, mulai terendapkan batugamping.


Oligosen Akhir dimulai dengan pengendapan Batugamping Rajamandala endapan fore-reef dan
calci-turbidite di Tinggian Cimandiri. Di dalam cekungan, gunung api terus berkembang,
walaupun aktifitas volkanisme menurun. Di daerah Ujungkulon, diendapkan batupasir kaya
kuarsa Formasi Cijengkol.
Pada Miosen Awal, busur gunung api aktif kembali, muncul pertumbuhan karbonat setempattempat (lokal) di dalam cekungan. Formasi Citarum yang merupakan sedimen volkaniklastik
mendapatkan suplai sedimennya dari busur volkanik, dan diendapkan sebagai endapan turbidit di
dalam flexural basin, di belakang busur tersebut. Endapan lainnya berupa batuan volkanik dasitik
dan riolitik yang berasosiasi dengan debu volkanik.
Miosen Tengah merupakan periode berhentinya aktifitas volkanisme dan terjadinya
perkembangan karbonat di sepanjang busur volkanik Pegunungan Selatan. Berhentinya aktifitas
volkanik ini diperkirakan berhubungan dengan terjadinya sesar-sesar anjakan pada busur

volkanik. Formasi Kalipucang dan Formasi Pamatuan diendapkan pada umur ini, di atas Busur
Volkanik Pegunungan Selatan.
Pada Miosen Akhir, Formasi Bentang mulai diendapkan dengan pelamparan yang luas di daerah
cekungan.

Gambar 20.5 Sejarah sedimentasi Jawa Barat (Clements dan Hall, 2000).

20.4 SISTEM PETROLEUM

Prospek hidrokarbon di daerah ini belum diketahui kehadirannya. Dominasi batuan di dalam
cekungan terdiri dari volkaniklastik sehingga sulit ditemukan batuan induk dan reservoir.
Kemungkinan terbaik untuk menjadi batuan induk ialah batulempung Formasi Sareweh bagian
bawah yang ekivalen dengan Formasi Talangakar. Formasi yang berpotensi menjadi reservoir
yaitu Formasi Sareweh bagian atas (batugamping) yang ekivalen dengan Formasi Baturaja,
namun belum diketahui tebal dan penyebaran batugamping tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W. van, 1949. The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff The Hague,
Netherlands.
Clements, B. dan Hall, H., 2007, Cretaceous To Late Miocene Stratigraphic And Tectonic
Evolution Of West Java, Indonesian Pet. Assoc., 31th Annual Convention Proceeding.
Martodjojo, S., 2003, Evolusi Cekungan Bogor, Bandung, Penerbit ITB.
Satyana, Awang H., 2007, Central Java, Indonesia A Terra Incognita In Petroleum
Exploration: New Considerations On The Tectonic Evolution And Petroleum
Implications, Indonesian Pet. Assoc., 31th Annual Convention Proceeding.

Anda mungkin juga menyukai