20.1 REGIONAL
Nama Cekungan Polyhistory
Klasifikasi Cekungan
Selatan,
hal
ini
diperkirakan
akibat
adanya
endapan
volkanik
yang
Gambar 20.2 Peta anomali gaya berat (Pusat Survei Geologi, 2000).
Sejarah tektonik Jawa Barat diawali pada Kapur, ditandai oleh subduksi yang menghasilkan
endapan Melange Ciletuh dan busur magmatik di Pantai Utara Jawa (berkomposisi granitis) yang
berumur Kapur Akhir-Eosen Awal (Harland dkk., 1992 dalam Martodjojo, 2003). Selain itu
terbentuk pula struktur-struktur berarah timurlaut-baratdaya, yang sesuai dengan arah umum
Sesar Cimandiri, atau dikenal sebagai Pola Meratus (Gambar 20.3).
Pada saat tersebut, selatan Jawa Barat terbentuk sebagai constructive fore-arc basin, yang terisi
oleh batulempung terlipat kuat dengan sisipan batupasir, batupasir konglomeratan, dan
batugamping. Umumnya berupa endapan turbidit dan endapan gravitasi (Martodjojo, 1998 dalam
Sribudiyani dkk., 2003).
Oligosen - Miosen Awal dikenal sebagai awal dari berkurangnya kecepatan gerak lempeng, dan
pengangkatan di seluruh bagian tenggara Paparan Sunda. Pada saat ini, konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi pada daerah fore-arc dan menyebabkan strktur
inversi di dalam cekungan.
Dalam periode Miosen Tengah-Miosen Akhir, batas subduksi berpindah ke selatan yang diikuti
oleh aktifitas magmatisme yang hampir terjadi di seluruh Pulau Jawa. Di daerah Jawa Barat
Selatan dan Jawa Tengah, sistem sesar utama berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara.
Sesar ini merupakan pasangan sesar mendatar yang nantinya membentuk cekungan di daerah
tersebut.
Pada Kala Pliosen, terutama Pliosen Akhir terjadi perpindahan busur magmatik yang sebelumnya
berada disebelah selatan Pulau Jawa dan pada kala ini berpindah ke tengah Pulau Jawa. Pada saat
itu, Cekungan Bogor telah berubah menjadi jalur magmatik. Pengangkatan akibat pergeseran
penunjaman terus terjadi hingga Pliosen. Pada Kala Plistosen, di daerah utara Jawa terbentuk
Sesar Baribis yang mengakibatkan endapan batuan berumur Plisosen-Plistosen Awal terlipat
kuat.
20.3 STRATIGRAFI
Batuan dasar di dalam cekungan ini terdiri dari metamorfik terlipat dan tersesarkan kuat, unitunit batuan beku dan sedimen marin dalam dikenal sebagai Kompleks Batuan Melange Ciletuh.
Di bagian atas batuan dasar terdapat Formasi Ciletuh yang terendapkan tidak selaras. Karakter
Formasi Ciletuh menunjukkan bahwa lingkungan pengendapannya didominasi oleh turbidit laut
dalam. Selaras di atas Formasi Ciletuh terdapat Formasi Bayah yang terdiri dari perselingan
batulempung batulanau, batupasir dan lapisan tufa tipis. Bagian paling atas Formasi Bayah
berupa batupasir masif. Di daerah utara Jawa Barat ditemukan Formasi Jatibarang yang berumur
sama dengan Formasi Bayah.
Diatasnya diendapkan Formasi Jampang secara tidak selaras di atas Formasi Bayah. Selanjutnya
diendapkan Formasi Citarum yang menjemarai dengan Formasi Saguling (Formasi Citarum
didominasi oleh endapan volkanik sedangkan Formasi Saguling didominasi oleh breksi).
Diatasnya terdapat Formasi Bantargadung yang terendapkan selaras dan dilanjutkan dengan
Formasi Cinambo.
Dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Cantayan yang seumur dengan Formasi Parigi di
utara. Di daerah cekungan busur depan, Formasi Parigi tidak dapat berkembang, yang
berkembang adalah Formasi Cantayan (terdiri dari endapan breksi). Diatasnya terdapat Formasi
Cisubuh yang juga terdapat di utara Jawa Barat. Selanjutnya berupa endapan volkanik Resen dan
endapan aluvial yang tidak selaras ditas endapan-endapan sebelumnya.
Bagian bawah formasi selalu terlipat dan tersesarkan, namun bagian atas, secara gradasi berubah
menjadi normal/hampir mendatar. Litologinya mulai dari greywacke yang terendapkan di laut
dalam (pada bagian bawah) dan berubah menjadi endapan yang lebih dangkal di bagian atasnya.
Karakter yang ditunjukkan oleh batuan ini menandakan bahwa ia terendapkan dilingkungan laut
dalam dan didominasi oleh arus gravitasi turbidit. Berdasarkan data fosil yang ada, umur formasi
adalah Eosen. Foraminifera plankton daerah Ciletuh dan Cigembong menunjukkan umur Eosen
Akhir - Oligosen Awal.
Bagian bawah formasi berupa breksi yang komponen utamanya berupa andesit, kaya akan
hornblende, dan disebut sebagai andesit amfibol (Sukamto, 1967 dalam Martodjojo, 2003),
matriksnya berupa mikrolit dan gelas, serta bersifat lepas-lepas (loose). Di atas satuan breksi
andesit didapatkan satuan tufa yang berlapis baik dengan komponen tufa dan breksi lava, andesit,
batugamping, dan aliran lava.
Pada bagian tengah formasi ini, sering dijumpai fragmen batugamping pada breksi. Gamping ini
ditemukan dalam berbagai ukuran dari 0,01 1 m, seringkali mengandung koral. Bagian atas
terdiri dari breksi dengan sisipin lempung dan bergradasi menjadi lapisan pasir-lempung. Bagian
teratasnya terdiri dari breksi yang berangsur menjadi batupasir.
bedding), laminasi paralel serta laminasi konvolut, scour and fill pada batas sisipan pasir lapisan
batupasir dan lanau.
Pada bagian atas serta tengah, terdiri atas napal, napal tufaan, napal lempungan yang sangat
kompak berselang-seling dengan batupasir tufaan, batupasir greywacke tufaan. Persentase napal
makin ke atas makin berkurang, sedangkan batupasir tufaan serta batupasir greywacke semakin
dominan.
bersusun normal dan laminasi paralel yang kurang jelas, banyak fragmen batulempung berbentuk
elipsoid (clay pellets) dengan sumbu panjang, maksimum 50 cm. Breksi ini mempunyai tekstur
dan komposisi yang sama dengan bagian bawah, tetapi fragmen pembentuknya yang berupa
batuan andesit berdiameter lebih besar dari bagian bawah.
Paling atas terdapat breksi dengan litologi yang sama dengan bagian bawah, tetapi mempunyai
penyebaran yang terbatas, setebal 1 4 m dengan napal diantara lapisan breksi. Ciri batas satuan
ini dibedakan dengan Formasi Bantargadung dibawahnya oleh munculnya breksi. Karena
Formasi Cantayan merupakan satuan termuda, maka satuan umumnya ditutupi secara tidak
selaras oleh endapan volkanik tua.
Gambar 20.4 Perbandingan Stratigrafi Pulau Jawa, perunutan stratigrafi Cekungan Jawa Barat
Selatan berdasarkan pada kolom stratigrafi ini (Satyana, 2005)
Gambar 20.5 menunjukkan sejarah sedimentasi Jawa Barat. Diawali pada Eosen Tengah, di
bagian baratlaut cekungan, terendapkan endapan delta (Formasi Ciemas) yang suplai sedimennya
berasal dari batuan dasar Bayah, Busur Karimun Jawa, dan Paparan Sunda yang terangkat,
sedangkan di dalam cekungan terendapkan endapan volkaniklastik Formasi Ciletuh dari busur
volkanik di dalam cekungan.
Pada Eosen Akhir, terbentuk sesar-sesar normal berarah utara-selatan di Jawa Barat Utara
(terendapkan endapan kipas aluvial pada awal rifting). Di Ujungkulon, delta mengalami
prograding ke selatan, endapan volkaniklastik masih diendapkan ke dalam cekungan, sumber
gunung api berasal dari selatan Jawa.
Oligosen Awal yang dikenal dengan periode berkurangnya aktifitas lempeng, terjadi
pendangkalan di daerah gunung api di selatan Jawa, juga menurunnya aktifitas volkanisme.
Formasi Batuasih
volkanik. Formasi Kalipucang dan Formasi Pamatuan diendapkan pada umur ini, di atas Busur
Volkanik Pegunungan Selatan.
Pada Miosen Akhir, Formasi Bentang mulai diendapkan dengan pelamparan yang luas di daerah
cekungan.
Gambar 20.5 Sejarah sedimentasi Jawa Barat (Clements dan Hall, 2000).
Prospek hidrokarbon di daerah ini belum diketahui kehadirannya. Dominasi batuan di dalam
cekungan terdiri dari volkaniklastik sehingga sulit ditemukan batuan induk dan reservoir.
Kemungkinan terbaik untuk menjadi batuan induk ialah batulempung Formasi Sareweh bagian
bawah yang ekivalen dengan Formasi Talangakar. Formasi yang berpotensi menjadi reservoir
yaitu Formasi Sareweh bagian atas (batugamping) yang ekivalen dengan Formasi Baturaja,
namun belum diketahui tebal dan penyebaran batugamping tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W. van, 1949. The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff The Hague,
Netherlands.
Clements, B. dan Hall, H., 2007, Cretaceous To Late Miocene Stratigraphic And Tectonic
Evolution Of West Java, Indonesian Pet. Assoc., 31th Annual Convention Proceeding.
Martodjojo, S., 2003, Evolusi Cekungan Bogor, Bandung, Penerbit ITB.
Satyana, Awang H., 2007, Central Java, Indonesia A Terra Incognita In Petroleum
Exploration: New Considerations On The Tectonic Evolution And Petroleum
Implications, Indonesian Pet. Assoc., 31th Annual Convention Proceeding.