Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

ASFIKSIA NEONATORUM

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


dalam Menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kebidanan Dan
Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama / BLUD
RSUD Datu Beru

Oleh:
Asmaul Husna, S. Ked

PEMBIMBING :
dr. M. Yusuf, M. Ked (OG) Sp.OG

ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
BLUD RSUD DATU BERU
TAHUN 2016
1

DAFTAR ISI
Daftar isi

Daftar Istilah

Daftar Gambar

Daftar Table

Kata Pengantar

Bab I. Pendahuluan

Bab II Tinjauan Pustaka


2.1 Definisi

2.2 Epidemiologi

2.3 Etiologi

2.4 Patofisiologi

10

2.5 Diagnosis

13

2.6 Penatalaksanaan

15

2.7 Pencegahan

21

2.8 Komplikasi

28

2.9 Prognosis

29

DAFTAR PUSTAKA

31

DAFTAR ISTILAH

WHO adalah World Health Organitation

Hipoksia adalah kondisi kurangnya pasokan oksigen bagi tubuh untuk


menjalankan fungsi normalnya.

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan
hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis

Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan


kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya
fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak

Apnea berasal dari bahasa Yunani a-(tidak ada) dan -pnea (pernapasan atau
udara), yang berarti tidak adanya pernapasan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Posisi kepala yang benar dan salah pada resusitasi

17

Gambar 2. Memersihkan jalan napas sesuai keperuan

18

Gambar 3. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan

19

rangsangan taktil

Gambar 4. Balon mengembang sendiri

20

Gambar 5. Lokasi Kompresi

21

Gambar 6 . Bagan Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum

25

DAFTAR TABEL

Tabel.1. Skor Apgar 14

14

Tabel 2. Pengaruh Asfiksia

27

Tabel 3. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan

29

pasca resusitasi yang dilakukan

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang


selalu melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan referat
yang berjudul: Asfiksia Neonatorum dapat terselesaikan dengan baik. Kalimat

serta shalawat selalu teriringi kepada Nabi Muhammad SAW atas bimbingan yang
diberikan kepada pengikut-pengikutnya. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan referat ini dapat
terselesaikan berkat bantuan, dukungan, bimbingan serta arahan dari banyak
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang berharga sampai
akhir penulisan referat ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekanrekan dokter muda yang telah memberi dukungan dan semangat.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak kekurangannya, meskipun demikian penulis telah berusaha semaksimal
mungkin dalam mengerjakannya. Segala kritik dan saran yang bersifat
membangun akan penulis terima dengan senang hati. Harapan penulis semoga
presentasi kasus ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun orang lain
yang memerlukan.

Takengon, Mei 2016


Wassalam,

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai


dengan perkembangan progresif dari asidosis metabolik. Kejadian Asphyixia
neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara

spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uteris dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Faktor tersebut
diantaranya dalah adanya (1) penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti
hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan gangguan kontraksi uterus, (2)
pada ibu yang kehamilannya beresiko, (3) faktor plasenta, seperti janin
dengan solusio plasenta, (4) faktor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan
pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5) faktor persalinan seperti
partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko
disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan
utama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan
tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Definisi
yang lain Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir

gagal bernafas spontan dan teratur segera setelah lahir oleh hipoksi janin
dalam rahim.
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di
seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir
mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6,
yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah
pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan
1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup
dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan
gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga
penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan
pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis
neonatorum (12.0%).
2.3 Etiologi
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal
maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan
persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya
dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat

ringan dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis


yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan
beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan mengakibatkan
terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskuler.
Toweil (1966) menggolongkan penyebab asphyxia neonatorum terdiri
dari :
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan
segala akibatnya
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya

aliran

darah

pada

uterus

akan

menyebabkan

berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini


sering ditemukan pada (a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya
hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b)
Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) Hipertensi pada
penyakit akiomsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak
pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lainlain.

3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara
ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan :
tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar
janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang
berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat
pernafasan janin. (b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intrakranial.(c) Kelainan konginental pada bayi, misalnya
hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru
dan lain-lain.

2.4 Patofisiologi
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di
dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2)
parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui
paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.

10

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai


sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam
jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan
memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat
tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru
akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada
duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh
darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen
kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi
baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%)
untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai
menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang
melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke
seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama
dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya.
Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi

11

pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh
darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak
tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai
dengan suatu periode apnu (Primany apnea) disertai dengan penurunan
frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas
(gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita
asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan
bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme
dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat
pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris
respiratorik, bila G3 berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme
anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh
terutama pada jantung dan hati akan berkuang.asam organik terjadi akibat
metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada
tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung
akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik akan
mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga

12

menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang


adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah
paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan
mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi
dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang
terjadi menimbuikan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi
selanjutnya.

2.5 Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir
dan lahir tidak bernafas/menangis. Pada anamnesis juga diarahkan untuk
mencari faktor resiko.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia
Klinis

Warna Kulit

Biru Pucat

Tubuh merah,

Merah seluruh

(Appearance)
Frekuensi Jantung

Tidak Ada

ekstremitas biru
<100x/ menit

tubuh
>100x/menit

(Pulse)
Rangsangan Refleks

Tidak Ada

Gerakan sedikit

Batuk/ Bersin

(Grimace)
Tonus Otot

Lunglai

Fleksi ekstremitas

Gerakan aktif

(Activity)
Pernafasan

Tidak Ada

Menangis lemah/

Menangis kuat

(Respiratory)

terdengar seperti
meringis atau

13

mendengkur

Tabel.1. Skor Apgar

Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah


kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah
dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah
satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.
1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. a. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100 x/ menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
b. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti
jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih
dari 10 menit sebelum ;ahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi
menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya
sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
14

sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan


resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos dada
2.

Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah


Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
a. Pa O2 < 50 mm H2O
b. PaCO2> 55 mm H2O
c.

2.6

pH < 7,30

Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul
dikemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut
resusitasi bayi baru lahir.
1. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4
pertanyaan:
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah air ketuban jernih?
c. apakah bayi bernapas atau menangis?
d. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?

15

Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan


dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen
kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban tidak dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan
resusitasi berikut ini secara berurutan:
1) Langkah awal dalam stabilisasi
a) memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant
warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai
tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi
hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus.23 Beberapa
kepustakaan

merekomendasikan

pemberian

teknik

penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus


dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang
bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas
penghangat.
b) memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah
dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea
dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya
udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi

16

dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa


endotrakeal.

Gambar 1. Posisi kepala yang benar dan salah pada resusitasi

c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan


Aspirasi

mekoneum

saat

proses

persalinan

dapat

menyebabkan pneumonia aspirasi.16 Salah satu pendekatan


obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah
dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya
bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari
beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan
efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah
bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak
bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang
17

dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan


penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi
langkah-langkah

pemasangan

laringoskop

dan

selang

endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter


penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi
tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan
seperti pada bayi tanpa mekoneum.

Gambar 2. Memersihkan jalan napas sesuai keperuan

d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan


pada posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi
untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,
penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas
adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
18

menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok


punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada
hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam
apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan
reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada
telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang
waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan
rangsangan taktil.

Gambar 3. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan rangsangan taktil

2) Ventilasi tekanan positif


Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah
resusitasi lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan
bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari
100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada
kelainan congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan
hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum
19

mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam


waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau
pemasangan selang orogastrik untuk menghindari distensi abdomen.
Kontra indikasi penggunaan ventilasi tekanan positif adalah hernia
diafragma.

Gambar 4. Balon mengembang sendiri

3) Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30
detik. Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari
kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke
arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan
memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi
dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga
diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif
satu orang menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi.
Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi jantung,

20

dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan


kompresi harus dilakukan secara bergantian.
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru
lahir karena akan menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner
yang lebih besar.

Gambar 5. Lokasi Kompresi

4) Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume


expander)
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori
berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan
(pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap
langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan
untuk melanjutkan ke langkah berikutnya .
a) Epinefrin

21

Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung


kurang dari 60x/menit setelah dilakukan VTP dan kompresi
dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak boleh
diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin
akan meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung.
Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara
dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau melalui selang
endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila
frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan
jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal.
b) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai
berikut: bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami
hipovolemia

dan

tidak

ada

respon

dengan

resusitasi,

hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok.


Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau
lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit.
Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan
yang diberikan dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl
0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan darah O negatif jika
diduga kehilangan darah banyak.
c) Bikarbonat

22

Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik


pada bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila
ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan bikarbonat pada
keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai
dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang
digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang
konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat dengan
konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau
dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara intra vena dengan
kecepatan tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit.
d) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan
dengan indikasi depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang
ibunya menggunakan narkotik dalam waktu 4 jam sebelum
melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat
dan stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya
dicurigai

sebagai

pecandu

obat

narkotika,

sebab

akan

menyebabkan gejala putus obat pada sebagian bayi. Cara


pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila
perfusi baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau
subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu
diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2 konsentrasi yaitu
0,4 mg/ml dan 1 mg/ml.

23

Gambar 6 . Bagan Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum


24

2.7 Pencegahan
Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan
atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak
mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya
derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling
terkait.4
Pencegahan saat persalinan
Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah
penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 7
Yang harus diperhatikan:
1. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta
pemberian pituitarin dalam dosis tinggi.7
2. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan O2
dan darah segar.7
3. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan
menunggu lama pada kala II.

25

2.8. Komplikasi
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan
organ.
Sistem
Sistem Saraf Pusat

Pengaruh
Ensefalopati hipoksik-iskemik, infark,
perdarahan intrakranial, kejang-kejang, edema

Kardiovaskular

otak, hipotonia, hipertonia


Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek,
bising jantung, insufisiensi trikuspidalis,

Pulmonal

hipotensi
Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru,

Ginjal
Adrenal
Saluran Cerna
Metabolik

sindrom kegawatan pernapasan


Nekrosis tubular akut atau korteks
Perdarahan adrenal
Perforasi, ulserasi, nekrosis
Sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,

Kulit
Hematologi

hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria


Nekrosis lemak subkutan
Koagulasi intravaskular tersebar

Tabel 2. Pengaruh Asfiksia

Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang


dilakukan.
Sistem Organ

Komplikasi yang
mungkin terjadi

26

Tindakan Pasca resusitasi

Otak

Apnu

Pemantauan apnu

Kejang

Bantuan ventilasi kalau perlu


Pemantauan gula darah,
elektrolit
Pencegahan hipotermia
Pertimbangkan terapi anti

Paru-paru

Kardiovaskuler

Hipertensi Pulmoner

kejang
Pertahankan ventilasi dan

Pneumonia

oksigenasi

Pneumotoraks
Takipnu transien

Pertimbangkan antibiotika
Foto toraks bila sesak napas

Sindrom aspirasi

Pemberian oksigen alir bebas

mekonium Defisiensi

Tunda minum bila sesak

surfaktan

Pertimbangkan pemberian

Hipotensi

surfaktan
Pemantauan tekanan darah dan
frekuensi jantung
Pertimbangkan inotropik
(misal dopamin) dan / atau
cairan penambah volume

Ginjal

Nekrosis tubuler akut

darah
Pemantauan produksi urin
Batasi masukan cairan bila ada
oliguria dan volume vaskuler
adekuat

Gastrointestinal

Ileus

Pemantauan kadar elektrolit


Tunda pemberian minum

Enterokolitis

Berikan cairan intravena

Nekrotikans

Pertimbangkan nutrisi
parenteral

Metabolik/ hematologik

Hipoglikemia

Pemantauan gula darah

Hipokalsemia

Pemantauan elektrolit

27

Hiponatremia

Pemantauan hematokrit

Anemia

Pemantauan trombosit

Trombositopenia
Tabel 3. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi
yang dilakukan

2.9 Prognosis
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi
metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat
diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm),
dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik.
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam
otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan
kemungkinannya menderita cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada
masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, Sp.OG. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4.


Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.
2. Sarwono E. Buku Petunjuk Neonatologi. Surabaya : Seksi NeonatologiPerinatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1992;
3. Sarwono E. Simposium Sesak Pada Bayi dan Anak : Sesak Nafas Pada Bayi
Baru Lahir. Divisi Haematologi-Perinatologi Laboratorium/UPF Ilmu
28

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya,


1990.
4. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain
Injury : Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition.
2012
5. Desfauza, Evi. Faktor faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia
Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi
Medan. 2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.
6. Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.
7. Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan
penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.
8. Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info
Medika Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
9. Utomo, Martono Tri. Asfiksia Neonatorum. Cited on : December 28th. 2011.
Available on http://www.pediatrik.com
10. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1.
Jakarta : EGC.
11. Sarwono E. Buku Petunjuk Neonatologi. Surabaya : Seksi NeonatologiPerinatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1992;
12. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Ilmu Kesehatan Anak 3 Cetakan keenam. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Jakarta, 1991

29

13. Casey BM, McIntire DD, Leveno KJ. The Continuing Value of the Apgar
Score for the Assessment of Newborn Infants. The New England Journal of
Medicine, 2001
14. Manuaba, dkk, (2008). Gawat Darurat Obstretri Ginekologi dan Obstretri
Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan , Jakarta : EGC.
15. Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan. salemba medika:
Jakarta
16. Nursalam. (2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. salemba medika:
Jakarta
17. Santosa, Budi. (2005). Panduan Dignosa Keperawatan Nanda 2005-2006.
Prima Medika : Jakarta.
18. Wilkinson, judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta
19. World Health Organization, (1999). Basic Newborn Resuscitation: A
Practical Guide-Revision. Geneva: World Health Organization.:
20. www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index
.html.
21. World Health Organization, (2005). The World Health Report 2005: make
every mother and child count. Geneva: WHO. Akses tanggal 24 februari
2013
22. Depkes RI (2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007
23. IDAI (2004). Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. (level of evidence IV).Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

30

24. Herdman, TH. (2012). NANDA International Diagnosa Keperawatan.


EGC : Jakarta.
25. Hidayat Alimul A.A (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta :
Salemba Medika
26. Hidayat, A.A. (2006). Kebutuhan dasar manusia 1. salemba medika: Jakarta
27. Lawn J.E., Cousens S., Zupan J., (2005). Lancet Neonatal Survival Steering
Team. 4 million neonatal deaths: When? Where? Why?
28. Manuaba, dkk, (2008). Gawat Darurat Obstretri Ginekologi dan Obstretri
Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan , Jakarta : EGC.
29. Parer JT. Fetal Brain Metabolism Under Stress Oxygenation, AcidBaseandGlucose.2008. Diunduhdari
http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/acute/acute.cfm
30. Hidayat Alimul A.A (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta :
Salemba Medika

31

Anda mungkin juga menyukai