PENDAHULUAN
Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau yang lebih dikenal dengan Resusitasi
Jantung Paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk
memulihkan fungsi respirasi dan sirkulasi yang mengalami kegagalan mendadak
pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup.1
Tindakan bantuan hidup dasar umumnya dilakukan oleh paramedik,
namun di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, serta Inggris,
dapat dilakukan oleh kaum awam yang telah mendapat pelatihan sebelumnya.
Tindakan pemberian BHD ini sangat berpengaruh terhadap angka survival korban,
bahkan dari survey yang dilakukan American Heart Association menemukan 50%
korban mengalami angka survival yang mencapai 80% dengan pemberian BHD
oleh orang awam di luar rumah sakit.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Pengenalan serta pemahaman yang baik terhadap anatomi serta fisiologi
sistem respirasi serta kardiovaskular akan membantu pelaksanaan bantuan hidup
dasar yang optimal baik untuk orang awam dan terlebih lagi untuk paramedis.
Dengan mengetahui anatomi dan fisiologi, penolong dapat mengurangi efek
samping yang dapat terjadi saat pelaksanaan tindakan bantuan hidup dasar pada
penolong dan juga korban. Pada sub bab ini akan dibahas secara superfisial terkait
anatomi dan fisiologi sistem respirasi, kardiovaskular dan serebrovaskular.
2.1.1 Sistem Respirasi
Anatomi sistem respirasi terbagi menjadi 4 komponen,2,5 yaitu :
1. Saluran nafas sebagai tempat masuknya udara luar ke dalam tubuh
manusia
2. Alveoli: kantung udara tempat terjadinya pertukaran oksigen dan
karbondioksida di dalam paru-paru
3. Komponen neuromuskular
4. Komponen pembuluh darah arteri, kapiler dan vena-vena
Saluran pernafasan terbagi menjadi dua, saluran bagian atas dan saluran
bagian bawah. Bagian atas terdiri dari lubang hidung, mulut, faring dan laring.
Bagian bawah terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus dan berakhir di alveoli.
Komponen neuromuskular sistem respirasi meliputi pusat saraf di otak, batang
otak serta jaras-jaras saraf menuju otot diafragma, otot interkostalis, serta otot
bahu dan leher.
Dinding dada atau yang sering dikenal dengan nama dinding thorak terdiri
dari 12 tulang iga melekat di vertebra. Sepuluh tulang iga yang melekat di
sternum dan 2 tulang iga yang tidak melekat ke sternum. Alveoli yang dilapisi
oleh selapis sel tipis dengan pembuluh darah kapiler di dalamnya adalah kantung
udara tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida.
bahan
bakar
pada
metabolisme
tubuh.
Sistem
kardiovaskular
mendistribusikan darah naik dari paru ke seluruh tubuh atau sebaliknya. Jika
terjadi penurunan jumlah oksigen yang dibawa dalam darah atau kemampuan
darah mengikat oksigen maka akan terjadi kerusakan jaringan karena kekurangan
oksigen.
Untuk
mempertahankan
keseimbangan,
tubuh
mengubah
sistem
menuju otak, atau bahkan jika berhenti total, maka bisa terjadi kerusakan jaringan
otak yang mungkin bisa menimbulkan kematian. Pembuluh darah yang
memperdarahi otak bersumber pada arteri karotis kiri dan kanan yang mensuplai
80% aliran darah, sedangkan 20% sisanya diperdarahi oleh arteri vertebralis kiri
dan kanan. Kedua arteri ini bertemu membentuk lingkaran yang disebut arteri
sirkulus willisi yang memungkinkan seluruh bagian otak tersuplai dengan darah.
Kerusakan jaringan otak menyebabkan penurunan fungsi bagian yang
terkena, namun bagian otak yang tidak mengalami kerusakan berfungsi normal.
Keadaan metabolisme yang terganggu seperti henti jantung akan mempengaruhi
metabolisme sel-sel otak. Sel otak akan mengalami iskemia apabila suplai oksigen
dan glukosa terhenti selama 5 menit akan mengalami kerusakan yang
irreversible.1,2,5
Pertolongan gawat darurat berupa bantuan hidup dasar bertujuan untuk
mempertahankan serta memelihara, jika mungkin mengembalikan pasokan
oksigen secara normal ke organ tubuh yang sangat membutuhkan oksigen seperti
sel syaraf yang sangat peka akan adanya penurunan suplai oksigen, jantung dan
paru yang saling berkaitan dan saling bergantung.
2.2 Bantuan Hidup Dasar Dewasa
Resusitasi jantung paru adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk
memulihkan fungsi respirasi dan sirkulasi yang mengalami kegagalan mendadak
pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup.1
Dikatakan pula resusitasi jantung paru adalah prosedur kedokteran gawat
darurat pada korban yang mengalami henti jantung primer atau keadaan henti
nafas primer. Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat kembali normal kalau dilakukan tindakan yang tepat
atau akan menyebakan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan
tidak adekuat. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
atau takikardi tanpa denyut (80-90%) terutama kalau terjadinya di luar rumah
sakit, kemudian disusul oleh ventrikel asistol ( 10%) dan terakhir oleh disosiasi
elektro-mekanik ( 5%).6
6
Mengenali segera adanya sindrom koroner akut (SKA) dengan menilai ada
tidaknya respon dan nafas normal ( korban tidak bernafas atau hanya
magap)
Mengenali segera adanya henti jantung dan aktivasi dari sistem gawat
darurat
Jika alur ini diterapkan dengan cara yang efektif, angka survival dapat mencapai
50% pada korban tidak sadar yang disaksikan langsung oleh penolong di luar
rumah sakit yang mengalami fibrilasi ventrikel (VF).5
Namun sayangnya, angka survival pada keadaan korban diluar rumah sakit
dan di rumah sakit sangat berbeda jauh. Sebagai contoh, angka survival pada
beberapa keadaan korban di luar rumah sakit dan di rumah sakit yang disebakan
oleh henti jantung dengan VF berbeda dari 5% hingga 50%. RJP dini dapat
meningkatkan harapan survival, saat ini RJP sering tidak dilakukan hingga tim
penyelamat tiba.3,5
Kompresi dada adalah komponen utama untuk RJP karena perfusi selama
RJP bergantung pada kompresi. Oleh karena itu, kompresi dada harus menjadi
prioritas tertinggi dan tindakakan awal ketika memulai RJP pada korban dewasa
dengan henti jantung mendadak. Kompresi kuat dan cepat menjadi tindakan yang
sangat penting dari kompresi dada. RJP yang berkualitas sangat penting bukan
8
hanya pada onset tapi pada pelaksanaan resusitasi. Defibrilasi dan pertolongan
lanjut harus dilaksanakan berkesinambungan untuk meminimalisir interupsi RJP.
Defibrilasi segera merupakan prediktor penting pada penanganan pasien dengan
sindrom koroner akut VF. Usaha untuk mengurangi interval dari saat kolaps
hingga dapat dilakukannya defibrilasi dapat secara potensial meningkatkan angka
survival pada situasi di rumah sakit maupun diluar rumah sakit. Berdasarkan
situasi dan keadaan sekitar, defibrilasi lebih dini dapat dilaksanakan oleh berbagai
profesi penolong, baik oleh penonton yang tidak terlatih, polisi, tim medis gawat
darurat dan petugas rumah sakit. Satu strategi yang diterapkan adalah dengan
menggunakan AED (automated external defibrillator). AED menilai ritme jantung
secara tepat, yang memungkinkan penolong yang tidak terlatih dalam
mengiterpretasikan ritme jantung untuk secara akurat memberikan kejut lifesaving
pada pasien SKA.
Pengenalan dan aktivasi segera, RJP dini dan defibrilasi cepat (jika
memadai) merupakan tiga langkah pertama dalam alur BHD untuk dewasa pada
rantai kelangsungan hidup (chain of survival).
2.2.1
penyampaian
instruksi
yang
salah
oleh
petugas
untuk
sadarkan diri yang tidak bernafas secara normal, oleh karena kebanyakan kasus
dengan korban tidak sadarkan diri disebabkan oleh henti jantung dan frekuensi
pada kasus bukan henti jantung sangat rendah. Petugas harus menginstruksikan
penolong yang tidak terlatih untuk memberikan RJP kompresi dada untuk dewasa
dengan SKA, karena lebih mudah untuk penolong menerima instruksi RJP via
telepon untuk melakukan RJP hands-only atau kompresi dada dari pada
konvensional RJP (kompresi dada dan ventilasi).
Namun pada kasus henti jantung yang penyebabnya dicurigai atau sudah
dapat dipastikan oleh karena asfiksia, petugas harus menyampaikan instruksi
untuk dilakukan nafas bantuan nafas via telepon pada korban dewasa dan anakanak misalkan pada kasus tenggelam.
2.2.2
tindakan, yang diilustrasikan dalam algoritme BHD baru yang lebih sederhana
(Gambar 2.3). Algoritma ini disusun untuk memberikan panduan langkah-langkah
BHD yang logis dan ringkas yang mudah dipelajari, diingat dan dilakukan oleh
berbagai profesi yang dapat memberikan pertolongan pertama. Langkah pada
algoritma ini disesuaikan untuk penolong tunggal yang harus memiliki pedoman
untuk melakukan tindakan prioritas. Namun, untuk tindakan yang dilakukan di
rumah sakit dan unit gawat darurat tindakan resusitasi melibatkan suatu tim yang
melaksanakan tindakan resusitasi secara simultan (satu penolong mengaktivasi
sistem gawat darurat sedangkan yang lain mulai memberikan kompresi jantung
luar dan penolong ketiga memberikan ventilasi atau mendapatkan bag-mask untuk
memberikan ventilasi dan penolong keempat menyiapkan defibrillator).
10
mengikuti instruksi tim medis. Dan yang terakhir, penolong menutup telepon
hanya jika paramedik menginstruksikan.
2. Cek nadi
Beberapa studi menunjukkan bahwa baik penolong dari orang awam dan petugas
kesehatan mengalami kesulitan dalam mendeteksi nadi. Petugas medis juga
memerlukan waktu yang cukup lama untuk memeriksa nadi.
-
Penolong awam tidak harus memeriksa nadi dan harus berpikir bahwa
henti jantung terjadi pada korban jika seseorang tiba-tiba kolaps atau
seorang korban tidak sadarkan diri tidak bernapas dengan normal.
Paramedic harus dapat memeriksa nadi tidak lebih dari 10 detik, dan jika
petugas medis tidak menemukan pasti denyut nadi dalam periode 10 detik
ini, penolong harus memulai kompresi dada
12
Berikan udara dengan volume tidal yang cukuo untuk memperoleh rasio
kompresi dada 30 dan 2 kali ventilasi.
Nyalakan AED
tersebut dan
dilanjutkan dengan pemberian RJP. Jika petugas seorang diri membantu korban
14
tenggelam atau korban dengan sumbatan benda asing yang tidak sadarkan diri,
petugas dapat memberikan RJP dalam 5 siklus ( 2 menit) sebelum menghubungi
sistem layanan gawat darurat.
2.2.3 Keterampilan BHD pada Korban Dewasa Bagi Petugas Kesehatan
Langkah pertama yang sangat penting dalam tatalaksana henti jantung adalah
mengenali segera adanya henti jantung. Penolong yang melihat secara langsung
korban yang mengalami kolaps atau menemukan seorang korban yang tidak sadar,
langkah inisiasi yang dilakukan yakni memastikan lingkungan sekitar aman dan
nilai respon korban. Kemudian nilai kesadaran korban, berikut langkah sederhana
yang perlu dilakukan:
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
15
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban
dan bertanya dengan suara keras Apakah Anda baik-baik saja?
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi rumah
sakit terdekat, dan mulailah RJP.
Pada sistem kompresi jantung luar cairan mengalir ketika gradien tekanan dan
aliran timbul selama kompresi jantung luar. Teori konvensional aliran darah
selama kompresi disebut cardiac pump theory. Kompresi langsung antara spine
dan sternum berhubungan dengan peningkatan tekanan dalam ventrikel
16
dengan
mengkompresi
jantung,
secara
tidak
langsung
memberikan ekspirasi napas. Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut
arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis). Apabila terdapat denyut nadi maka
berikan pernapasan buatan 2 kali. Apabila tidak terdapat denyut nadi maka
lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali.3,5-7
17
Gambar 2.6 Posisi kompresi dada, dimulai dari lokasi processus xyphoideus, dan tarik garis ke
kranial 2 jari diatas processus xyphoideus, dan lakukan kompresi pada tempat tersebut.3,5,10
18
Gambar 2.7 Kemudian berikan 2 kali napas buatan dan teruskan kompresi dada sebanyak 30
kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali3,5,10
Setelah mengulang siklus 5 kali kemudian cek nadi dan napas korban, apabila:
1. Tidak ada napas dan tidak ada nadi : teruskan RJP sampai bantuan datang
2. Terdapat nadi tetapi tidak ada napas: mulai lakukan pernapasan buatan
3. Terdapat nadi dan napas: korban membaik.
-
Kompresi
dada
oleh
penolong
sangat
membantu
untuk
dengan korban henti jantung yang tidak memperoleh resusitasi. Bantuan nafas
pada kasus SKA dengan VF tidak sepenting kompresi dada karena level
oksigen di darah masih cukup untuk beberapa menit pertama setelah henti
jantung. Terkadang korban juga mengalami gasping atau agonal gasp, dan ini
memungkinkan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Jika saluran nafas
terbuka, recoil dada passive selama fase relaksasi saat kompresi dada juga
memungkinkan adanya pertukaran udara.
Manajemen Saluran Nafas
-
Penolong terlatih yang percaya bisa melakukan kompresi dan ventilasi harus
membuka jalan nafas menggunakan maneuver head tilt-chin lift.
-
Berikan volume tidal yang cukup untuk dapat terlihat naiknya dada
korban
Jika alat bantu nafas (endotrakeal tube, LMA dll) sudah terpasang) selama
RJP dilakukan oleh 2 penolong, berikan 1 nafas setiap 6-8 detik tanpa
menyesuaikan nafas dengan kompresi. Jangan ada interupsi saat
melakukan kompresi dada untuk memberikan ventilasi.
tidak menguntungkan dan dapat menyebabkan inflasi gaster dan ini dapat
mengakibatkan komplikasi seperti regurgitasi dan aspirasi. Yang paling
membahayakan, ventilasi berlebih dapat membahayakan karena meningkatkan
tekanan intratorakal, mengurangi venous return ke jantung, dan mengurangi
cardiac output dan survival.
-
Bantuan nafas mulut-ke mulut memberikan oksigen dan ventilasi pada korban,
untuk memberikan nafas bantuan penolong menarik napas biasa (bukan nafas
dalam), kemudian bibir penolong ditempelkan ke bibir pasien yang terbuka
dengan erat supaya tidak bocor dan udara ekspirasi dihembuskan ke mulut pasien
sambil menutup kedua lubang hidung pasien dengan cara memencetnya. Berikan
1 nafas selama lebih dari 1 menit, tarik nafas regular kembali dan berikan nafas
bantuan kedua selama lebih dari 1 menit. Menarik nafas regular dari pada nafas
dalam daoat mencegah penolong untuk tidak mengalami pusing dan mencegah
21
overinflasi pada paru korban. Penyebab paling sering dari kesulitan memberikan
nafas bantuan adalah membuka jalan nafas kurang tepat, jadi jika dada korban
tidak mengembang saat diberikan ventilasi dengan nafas pertama, reposisi
kembali kepala dengan maneuver head tilt-chin lift lalu nberikan ventilasi yang
kedua.
Jika korban dengan sirkulasi spontan (nadi yang mudah dan teraba kuat)
memerlukan ventilasi, petugas harus memberikan nafas bantuan 1 nafas setiap 5
6 detik atau 10 12 nafas per menit.3,5-7
-
Beberapa petugas kesehatan dan penolong merasa takut atau tidak nyaman
memberikan nafas bantuan dari mulut ke mulut dan lebih memilih menggunakan
alat bantu lainnya. Risiko penularan penyakit melalui ventilasi mulut ke mulut
sangat rendah, sehingga untuk melakukan ventilasi dengan atau tanpa alat bantu
sangat dianjurkan. Pada bantuan napas mulut ke sungkup pada dasarnya sama
dengan mulut ke mulut. Sungkup diletakkan di tepi hidung dan mengelilingi
mulut. Penolong meletakkan jempol pada bagian sungkup yang terletak di hidung
pasien, jari telunjuk pada tangan yang sama diletakkan pada garis tepi tulang
22
rahang. Sungkup tertutup rapat pada wajah penderita. Bantuan napas diberikan
melalui sungkup.3,5-7
Pada bantuan nafas mulut ke hidung, maka udara ekspirasi penolong dihembuskan
ke hidung pasien sambil menutup mulut pasien. Tindakan ini dilakukan jika mulut
pasien sulit dibuka (trismus) atau trauma maksilo-fasial, korbn di air atau ventilasi
mulut ke mulut sulit dijangkau. Bantuan napas dapat pula dilakukan dari mulut ke
stoma atau lubang trakeostomi pada pasien pasca bedah laringektomi.3,5-7
-
oksigen. Alat bantu bag-mask memberikan ventilasi tekanan positif tanpa alat
bantu nafas; sehingga bag-mask dapat menyebabkan inflasi gaster dan
komplikasinya.
-
Ketika korban telah terpasang alat bantu nafas lanjut selama pemberian RJP,
penolong tidak lagi diberikan resusitasi dengan siklus 30 kompresi dan 2 nafas.
Namun, kompresi dada kontinyu diberikan sekurangnya 100 per menit tanpa
dihentikan untuk memberikan ventilasi, dan ventilasi diberikan 1 nafas setiap 6-8
detik.
AED Defibrilasi
Seluruh petugas BHD harus dilatih untuk dapat melakukan defibrilasi karena VF.
Untuk korban henti jantung, angka survival paling tinggi ketika penolong segera
23
memberikan RJP dan defibrilasi pada 3 5 menit dari kolaps. Defibrilasi cepat
adalah tatalaksana pilihan untuk kasus VF pada durasi singkat.
Perbaikan Posisi
Perbaikan posisi dilakukan pada pasien tidak sadar yang jelas memiliki nafas
normal dn sirkulasi yang efektif. Posisi ini ditujukan untuk memelihara jalan nafas
tetap paten dan mengurangi risiko sumbatan dan aspirasi pada saluran nafas.
Korban ditempatkan dengan posisi miring dengan lengan bawah didepan tubuh.
Terdapat beberapa variasi dari perbaikan posisi, masing-masing memiliki
keunggulan tersendiri. Namun tidak ada satu posisi lebih unggul dari posisi lain
pada semua korban.3,5
2.3 Resusitasi Pada Situasi Khusus
-
pemberian
nitroglycerin
dini
pada
pasien
dengan
hemodinamik stabil, tidak adanya bukti yang cukup untuk mendukung pemberian
rutine nitroglycerin di unit gawat darurat atau pada keadaan diluar rumah sakit
pada pasien yang dicurigai mengalami SKA. Nitrate dalam segala bentuk
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg
atau 30 mmHg dibawah ambang batas dan pada pasien dengan infark ventrikel
kanan. Peringatan harus diberikan pada pasien yang diiketahui memiliki STEMI
dinding inferior dan EKG sisi kanan harus dievaluasi untuk menilai infark
ventricular kanan. Pemberian nitrate dengan pengawasan ketat harus dilakukan
pada pasien dengan STEMI inferior dan diduga adanya keterlibatan ventricular
kanan karena pasien ini memerlukan preload ventrikel kanan yang cukup. Nitrate
kontraindikasi ketika pasien mengkonsumsi phosphodiesterase-5 (PDE-5)
inhibitor dalam 24 jam.
Untuk pasien yang didiagnosis dengan STEMI di luar rumah sakit, petugas
harus memberikan analgesic yang sesuai, seperti morpin intravena untuk nyeri
dada yang persisten. Petugas dapat mempertimbangkan pemberian morpin
intravena untuk nyeri yang tidak dapat ditentukan yang tidak responsive terhadap
pemberian nitroglycerin. Namun demikian, morpin harus digunakan dengan
peringatan keras pada unstable angina (UA)/NSTEMI karena terkait dengan
meningkatnya angka mortalitas dengan pemberian dosis besar.
-
Stroke
Pemberian terapi fibrinolitik dalam satu jam pertama dari onset gejala
mengurangi cedera neurologis dan meningkatkan outcome pada pasien dengan
stroke iskemi akut. Golden window untuk pemberian terapi dini sangat terbatas,
dimana tatalaksana yang efektif untuk dapat pulih mendekati sehat semula terapi
25
harus diberikan kurang dari 6 jam onset. Terapi yang efektif memerlukan deteksi
dini dari tanda-tanda stroke. Aktivasi segera sistem layanan gawat darurat dan
personelnya; triase yang sesuai dengan pusat stroke; pemberihuan sebelum tiba di
pusat layanan; tindakan triase yang cepat; evaluasi dan manajemen di unit gawat
darurat dan pemberian terapi fibrinolitik segera pada pasien.5-8
Pada pasien dengan risiko tinggi untuk mengalami stroke, anggota
keluarga dan petugas BHD harus berlatih mengenali tanda dan gejala stroke dan
sesegera mungkin menghubungi sistem gawat darurat ketika tanda stroke muncul.
Tanda dan gejala stroke dapat berupa kesemutan tiba-tiba atau kelemahan pada
wajah, lengan, kaki khususnya pada satu sisi tubuh; bingung tiba-tiba, sulit
berbicara atau mengerti pembicaraan, penglihatan terganggu yang mendadak pada
satu atau kedua mata; kesulitan berjalan mendadak, kehilangan keseimbangan;
dan nyeri kepala hebat dengan penyebab yang tidak diketahui.
-
Tenggelam
Durasi dan derajat keparahan hipoksia sangat menentukan outcome pada pasien
kasus tenggelam. Petugas harus memberikan RJP, khususnya resusitasi nafas
bantuan sesegera mungkin setelah korban diangkat dari air. Ketika membantu
korban tenggelam pada usia berapapun, penolong tunggal harus memberikan 5
siklus RJP sebelum menghubungi layanan gawat darurat.3,5,7,8
Ventilasi dari mulut ke mulut di air dapat membantu ketika dilakukan oleh
penolong yang terlatih. Kompresi dada sulit dilakukan di dalam air, ini tidak
efektif dan dapat membahayakan baik penolong maupun korban. Belum ada bukti
yang menyatakan air sebagai benda asing yang menyumbat saluran nafas.
Maneuver yang digunakan untuk kasus obstruksi jalan nafas oleh benda asing
tidak direkomendasikan untuk korban tenggelam karena maneuver ini tidak
berefek dan dapat menyebabkan cedera, muntah, aspirasi dan keterlambatan
pemberian resusitasi.
Penolong harus mengangkat korban tenggelam dari air bersama dengan tim
penyelamat yang ada dan harus memulai resusitasi sesegera mungkin. Cedera
spinal cord pada kasus tenggelam jarang terjadi. Apabila korban menunjukkan
tanda klinis cedera, intoksikasi alkohol atau riwayat menyelam ke perairan dalam
26
memiliki risiko cedera spinal cord yang lebih tinggi, dan petugas harus
mempertimbangkan stabilisasi dan imobilisasi servikal dan thorakal pada korban.
-
Hipotermi
Pada korban tidak sadar dengan hipotermi, penilaian nafas dan nadi cukup sulit
dilakukan oleh karena denyut jantung dan nafas mungkin sangat lambat,
tergantung pada derajat hipotermi.
Jika korban tidak sadar tanpa nafas normal, penolong harus memulai kompresi
dada segera. Jika korban tidak respon tanpa adanya nafas atau tanpa nafas normal,
petugas dapat memeriksa nadi, tapi harus memulai RJP jika nadi tidak dapat
dirasakan dalam waktu 10 detik. Jangan menunggu memeriksa temperature
korban dan jangan menunggu hingga korban kembali hangat untuk memulai RJP.
Untuk mencegah hilangnya panas tubuh lebih banyak, lepaskan pakaian basah
dari tubuh pasien, lindungi korban dari angin, panas atau dingin; dan jika mungkin
ventilasi korban dengan udara yang hangat dan oksigen yang lembab.5,7,8
Hindari gerakan kasar dan kirim korban ke rumah sakit segera mungkin. Jika
VF terdeteksi, petugas emergensi harus memberikan terapi kejut (DC shock)
dengan menggunakan protokol yang sama yang digunakan pada pasien henti
jantung normothermi. Untuk pasien henti jantung hipotermi, usaha resusitasi
dilanjutkan hingga pasien diperiksa oleh petugas yang lebih kompeten. Pada
situasi diluar rumah sakit, teknik menghangatkan secara pasif dapat digunakan
hingga penghangat aktif tersedia.
-
Sumbatan benda asing pada saluran nafas (tersedak) merupakan hal yang dapat
dicegah, namun dapat menyebabkan kematian. Kebanyakan kasus dilaporkan
terjadi pada dewasa ketika mereka makan. Tersedak pada anak dan bayi terjadi
ketika mereka makan atau bermain dan didampingi oleh orangtua mereka.
Kejadian tersedak umumnya disaksikan oleh oranglain dan penolong biasanya
memberikan bantuan saat korban masih berespon. Tatalaksana biasanya berhasil,
dan angka survival dapat melebihi 99%.5,7,8
27
Jika korban tidak sadar, segera hubungi petugas dan mulai memberikan
resusitasi. Saat saluran nafas terbuka selama resusitasi, penolong harus mencari
benda pada mulut korban dan jika menemukannya, segera keluarkan.
2.4 Bantuan hidup lanjutan (Advance Life Support)3
Yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
Penting:
a. Adrenalin : adalah suatu vasokonstriktor dan pacu jantung yang sangat
poten Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5-1 mg iv diulang setelah 5 menit sesuai kebutuhan dan yang
perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel.3 Pada anak-anak dosisnya adalah 10 mcg/kg. apabila
jalur vena belum ada, dapat diberikan intratrakea lewat pipa endotrakea (1
ml adrenalin 1 : 1000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Apabila
keadaan sangat mendesak, bisa diberikan intrakardiak. Tetapi belakangan
ini cara intrakardiak tidak dianjurkan lagi.1
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolic asidosis, diberikan
iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus
setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu
sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena
bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila
belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis
yang sama.3
c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi.
Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak
29
30
Terapi definitifnya adalah syok electrik (DC-Shock) dan belum ada satu
obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi. Terapi fibrilasi adalah usaha untuk
segera mengakhiri disritmia takhikardia ventrikel dan vibrilasi ventrikel menjadi
irama sinus normal dengan mempergunakan syok elektrik. Syok elektrik ini
menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot jantung dan setelah itu
jantung akan berkontraksi spontan, asalkan otot jantung mendapatkan oksigen
yang cukup dan tidak menderita asidosis. Terapi syok elektrik dapat dilakukan
dengan arus bolak balik atau arus searah melalui dada.1
31
interupsi
selama
CPR.
Karena
syok
elektrik
tidak
pernafasan
pH,
pCO2
dikontrol
bila
terus
diperlukan,
menerus,
dan
sonde
lambung,
tunjangan
sirkulasi,
33
34
Gambar 2.13 Tabel Bantuan Hidup Dasar pada dewasa, anak dan bayi4
35
BAB III
PENUTUP
Langkah-langkah bantuan hidup dasar untuk life saving adalah mengenali
dengan segera dan aktivasi system layanan gawat darurat, RJP dini dan defibrilasi
segera untuk kasus fibrilasi ventrikel. Ketika seorang dewasa kolaps, siapapun
didekatnya harus mengaktivasi sitem layanan gawat darurat dan memulai
kompresi dada.
Penolong yang terlatih yang mampu dan petugas kesehatan harus
memberikan kompresi dan ventilasi. Berbeda terhadap pemikiran orang awam
sebelunya, RJP tidak membahayakan, tanpa berbuat sesuatu adalah langkah yang
berbahaya dan RJP dapat menyelamatkan. Kompresi dada harus dilakukan dengan
kompresi kuat dan cepat di tengah dada. Penolong harus memungkinkan adanya
recoil setelah setiap kompresi dan minimalisasi interupsi dari kompresi dada.
Ventilasi berlebih juga harus dihindari.bila tersedia AED harus dilakukan tanpa
menunda kompresi dada. Dengan dilaksanakannya tindakan resusitasi dini dan
efektif, kehidupan dapat diselamatkan setiap harinya.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G dan Senapathi TGA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks
2. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Edition
Companies.
3. Subagjo A, dkk. 2011. Bantuan Hidup Jantung Dasar. PP PERKI
4. WHO.2008.http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index2.ht
ml
5. Berg AR (ed). 2010. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Available: http://circ.ahajournals.org/
content/ 122/18_suppl_3/S685. (Accesssed: May 3, 2012)
6. Hazinski MF (ed). 2010. Highligts of the 2010 American Heart
Association Guidelines for CPR and ECC.
7. Nolan
JP (ed).
2010.
Resuscitation
Guidelines
2010.
London:
Emergency
Cardiovascular.
http://circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S829.
9. Berg DM(ed). 2010. Part 13: Pediatric Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency
Cardiovasculara.
http://circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S862.
10. (http://www.google.co.id/imgres?
imgurl=http://www.web.books.com/eLibrary/Medicine/Physiology/Cardio
vascular/Heart)
11. Imgres.
Available:
www.pemdatabase.org/files/Pulseless_arrest.jpg.
37
12. Cayle,
W.
Available:
www.aafp.org/afp/20060501/practice_f1.gif.
38