Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

URETEROLITHIASIS DEXTRA
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Radiologi
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Pembimbing :
dr. Ana Majdawati, Sp. Rad, M. Kes
Disusun oleh :
Putri Pertiwi
20110310064

BAGIAN ILMU RADIOLOGI


RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


Ureterolithiasis Dextra

Pada tanggal,

Juni 2016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Radiologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :
Putri Pertiwi
20110310064

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ana Majdawati, Sp. Rad, M. Kes

BAB II
STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. AN

Umur

: 42 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Jawa

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Jetis Umbulharjo No 11616 RT 031/08 Sorosutan, Yogyakarta

Status

: Menikah

No. Rekam medis

: 65-99-49

Tanggal Masuk

: 19 Mei 2016

II. ANAMNESIS (Alloanamnesis dan autoanamnesis)


Keluhan utama

: Kencing bercampur darah

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1 tahun SMRS, pasien mengeluh BAK bercampur darah. Keluhan ini berlangsung setiap
kali pasien berkemih. Warna urin kemerahan dan kadang disertai bekuan darah. Warna merah
keluar disepanjang episode berkemih. Awal keluhan muncul tiba-tiba. Pasien menyatakan tidak
nyeri saat berkemih. Pasien tidak pernah mengeluarkan butiran kecil seperti pasir saat kencing
serta tidak merasa adanya rasa terbakar pada alat kelamin sewaktu berkemih. Pasien
menyatakan tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Buang air besar dirasakan lancar dan
tidak ada keluhan. Pasien sudah berobat ke klinik dan diberikan obat oleh dokter di klinik
tersebut. Pasien menyatakan setelah mengkonsumsi obat, urine pasien kembali normal
berwarna kuning terang. Namun jika obat habis, urin pasien kembali berwarna kemerahan.
Oleh sebab itu, pasien sering kali bolak-balik ke klinik untuk berobat.

3 bulan SMRS, pasien kembali mengeluhkan kencing bercampur darah. Pasien


menyatakan sudah tidak mengkonsumsi obat dari klinik tempat pasien rawat jalan. Tidak ada
keluhan lain yang dirasakan pasien. Pasien mengaku jarang minum air putih, dalam satu hari
pasien mengkonsumsi air putih tidak lebih dari 5 gelas.
Pasien memutuskan untuk datang ke poli urologi PKU Muhammadiyah Kota pada
tanggal 19 Mei 2016 karena keluhan yang dialami pasien tidak kunjung sembuh. Setelah
dilakukan pemeriksaan USG di poli oleh dokter spesialis urologi, diagnosis sementara pasien
adalah hidronefrosis dextra. Dokter spesialis urologi mengusulkan pemeriksaan penunjang
rontgen thorax dan BNO IVP.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Riwayat keluhan serupa

: disangkal.

Riwayat keganasan

: disangkal.

Riwayat kencing manis

: disangkal.

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal.

Riwayat batu saluran kencing

: disangkal.

Riwayat asam urat

: disangkal.

Riwayat kencing nanah dan darah

: disangkal.

Riwayat trauma di daerah pinggang, perut bagian atas: disangkal.

Riwayat operasi di daerah pinggang, perut bagian atas: disangkal.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Riwayat keluhan serupa

: disangkal.

Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal.

Riwayat kencing manis

: disangkal.

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal.

Riwayat batu saluran kencing

: disangkal.

Riwayat asam urat

: disangkal.

Riwayat kencing nanah dan darah

: disangkal.
4

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status generalis
Keadaan umum

: Sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Vital sign

: TD : 140 / 80 mmHg,
N : 90 x/menit,
R : 20 x/menit,
S : 36,30C
1) Kepala
- Bentuk
- Rambut

: mesochepal, simetris
: warna hitam, mudah dicabut (-)
Distribusi merata, rontok (-)
: (-)

- Nyeri tekan
2) Mata
- Palpebra
: edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva
: anemis (-/-)
- Sclera
: ikterik (-/-)
- Pupil
: reflek cahaya (+/+), isokor
- Exopthalmus
: (-/-)
- Lapang pandang
: tidak ada kelainan
- Lensa
: keruh (-/-)
- Gerak mata
: normal
- Tekanan bola mata
: nomal
- Nistagmus
: (-/-)
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea
: deviasi trakhea (-)
- Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid
: tidak membesar
- JVP
: nampak, 5+2 cm
7) Dada
5

a) Paru
- Inspeksi

: Bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),


retraksi (-), jejas (-)

Palpasi

: Vocal fremitus kanan = kiri


ketinggalan gerak kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada lapang paru kiri dan paru kanan
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan = kiri
Suara inspirasi = ekspirasi, suara tambahan rhonki basah
kasar (-), rhonki basah halus (-) di kedua lapang paru, tidak

ditemukan wheezing parahiler.


b) Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis nampak di SIC V 2 jari medial LMCS,
Tidak terdapat pulsasi parasternal dan epigastrial
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMC sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah
: SIC V 2 jari medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)

8) Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
- Palpasi
9) Ekstrimitas
- Superior
-

Inferior

: Datar, tidak ada benjolan, striae (-)


: Bising usus (+) normal
: Tympani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
: Hepar dan lien tidak teraba
: Deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-), CTR < 2
: Deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-), CTR < 2

B. Status lokalis
Regio costo vertrebalis dextra et sinistra
Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Tidak teraba massa, nyeri tekan pada bimanual kanan dan kiri (-), ballotemen
tidak jelas.

Perkusi

: Nyeri ketok kostovertebra kanan (-), nyeri ketok costo vertebral kiri (-)
Kiri

Kanan
6

Inspeksi
Palpasi

Perkusi

Bulging (-)
Ginjal tidak teraba

Bulging (-)
Ginjal teraba

Nyeri tekan (-)

nyeri tekan (-)

Ballotement (-)
Nyeri ketok (-)

Ballotement (-)
Nyeri ketok (-)

Regio Suprapubik
Inspeksi

: Agak cembung, tidak tampak massa, tidak ada bekas operasi

Palpasi

: Supel, tidak teraba massa, nyeri tekan (+)

Perkusi

: Timpani

Regio Genetalia Eksterna


Inspeksi : Distribusi rambut kemaluan normal, tidak tampak tanda peradangan, tidak tampak
benjolan.
Palpasi
IV.

: Tidak keluar secret pada meatus eksternus, tidak teraba benjolan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
DARAH RUTIN
Hemoglobin

19 Mei 2016
13,1

Nilai Rujukan
13 18 g/dl

Hematokrit

39

40 52 %

Eritrosit

4,28

4.3 6.0 juta/ul

Leukosit

9.200

4800 10.800 /ul

299.000

150.000 400.000/ul

MCV

91,8

80 96 fl

MCH

30,5

27 32 pg

MCHC

33,2

32 36 g/dl

PPT

13,1

11-15

APTT
KIMIA KLINIK
Ureum

29,4
13

25-35
Nilai rujukan
15 40 mg/dL

Kreatinin

0,1

< 1,3

Trombosit

2. Rontgen Thorax

3. Pemeriksaan BNO-IVP

Deskripsi:
Dilakukan pemeriksaan BNO/IVP pada penderita dengan Hidronefrosis Kanan,
memakai kontras soluble non-ionik 350/50 CC IV, reaksi alergi (-)
BNO :

Preperitoneal fat line kanan dan kiri baik

Psoas line kanan dan kiri simetris

Kontur kedua ginjal baik

Tampak opasitas di proyeksi ureter kanan setinggi VS 2

Distribusi udara usus mencapai distal

Tidak tampak dilatasi usus ataupun penebalan dinding usus

Tulang-tulang intak

IVP :

Menit 5:
Nefrogram kedua ren tampak serentak, bentuk, letak, ukuran dan densitas normal.
Tampak kontras mengisi kedua SPC. Bentuk calices kanan blunting, pelvis agak
melebar, tak tampak massa/batu.

Menit 15-30:
Tampak kontras mengisi kedua SPC, kedua ureter dan VU. Caliber ureter kanan
tampak melebar sampai setinggi VS 2, opasitas di proyeksi ureter kanan tampak
terlumuri kontras. VU: bentuk, letak, dan ukuran normal, tak ampak massa/batu.

Menit 45:
Residu urin minimal, bayangan semiopaq di ureter kanan setinggi VS 2 yang
terlumuri kontras tampak menetap

Kesan : = Hidronefrosis grade 2-3 dengan ureterectasis kanan, susp. Ureterolithiasis


setinggi VS 2. Fungsi kedua ren normal
= Tak tampak kelainan pada ureter kiri dan VU
= Fungsi voiding baik

V. RESUME
Pasien perempuan, usia 42 tahun datang dengan keluhan kencing bercampur
darah sejak satu tahun yang lalu. Warna merah keluar disepanjang episode
bekemih. Nyeri saat berkemih (-), nyeri pinggang kanan dan pinggang kiri
disangkal. Riwayat kebiasaan pasien mengaku jarang mengkonsumsi air putih.
Pemeriksaan USG di poli urologi didapatkan hidronefrosis kanan.
Pemeriksaan penunjang BNO-IVP didapatkan kesan ureterolithiasis kanan dan
hidronefrosis grade 2-3. Pemeriksaan labaratorium fungsi ginjal didapatkan hasil
normal.
VI.

DIAGNOSIS KLINIS
Hidronefrosis Dextra
Ureterolithiasis Dextra
VII.

DIAGNOSIS KERJA
Hidronefrosis Dextra
Ureterolithiasis Dextra

VIII.

RENCANA PENATALAKSANAAN
RENCANA DIAGNOSIS
1

Urinalisis
Makroskopis : Warna, berat jenis, pH
Mikroskopis : Eritrosit, leukosit, epitel, kristal, bakteri dan jamur

Pemeriksaan laboratorium :
a Darah rutin
b

Fungsi Ginjal (Ureum darah dan Kreatinin darah)

Pemeriksaan Radiologis
Foto polos thorax
USG (dilakukan di poli urologi)
BNO, IVP

RENCANA TERAPEUTIK
Terapi Konservatif:
1

Non farmakologis
a

Pemasangan kateter urin trans uretra

Diet rendah garam

program latihan terencana (aktifitas/olah raga)

Farmakologis
a

Antibiotik broad spectrum: Ceftriaxone 1 gr IV

Analgesik: ketorolac 2 x 30 mg

IVFD RL 20 tpm
3

Terapi operatif
a. Litotripsy
b. URS (Ureterorenoscopy)

Foto ulang BNO-IVP untuk evaluasi post-operasi

RENCANA EDUKASI

Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urin 2


3 liter per hari.

Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu :


-

Rendah protein, karena protein akan memacu eksresi kalsium urin dan
menyebabkan suasana urin menjadi lebih asam

Rendah oksalat

Rendah

garam,

karena

natriuresis

hiperkasiuria

XII.

Rendah purin

Aktivitas harian yang cukup.


PROGNOSIS
Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanamtionam

: Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam

: Dubia ad bonam

akan

memacu

timbulnya

BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi 5
Batu di dalam saluran kemih (calculus uriner) adalah massa keras
seperti batu yang berada di ginjal dan salurannya dan dapat menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (nephrolith) maupun di dalam
kandung kemih (vesicolith). Proses pembentukan batu ini disebut urolithiasis
(Purnomo, 2007).

B.

Etiologi 6,7
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan sekitarnya (Soeparman, 2001).
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :

1.

Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.

2.

Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.

3.

Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah (Sjamsuhidayat, 2004):

1.

Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah
stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir
tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.

2.

Iklim dan temperatur

3.

Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

4.

Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.

5.

Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk
atau kurang aktivitas atau sedentary life.
C. Epidemiologi 8
Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit
batu mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan
berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan
pembandingan data penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat
disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang terdapat banyak batu
saluran kemih bagian bawah, terutama terdapat di kalangan anak.
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih
relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran
kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu
saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku

bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku
bangsa Bantu di Afrika Selatan.
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak
kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada
wanita daripada pria (Pearle, 2005).
D.

Patogenesis9,10,11
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada
dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaankeadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal
yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga
menjadi kristal yang lebih besar (Gleen, 2005).
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mampu menyumbat saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi
oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, laju aliran urine di dalam
saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu (Sjamsuhidayat, 2004).

Kandungan batu kemih kebayakan terdiri dari :


1. 75 % kalsium.
2. 15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat).
3. 6 % batu asam urat.
4. 1-2 % sistin (cystine).
Faktor-faktor yang mempengaruhi batu kandung kemih (Vesikolitiasis)
adalah (Rasyad, 1998):
1. Hiperkalsiuria
Suatu keadaan dimana kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari
250-300 mg/24 jam, disebabkan karena hiperkalsiuria idiopatik (meliputi
hiperkalsiuria disebabkan masukan tinggi natrium, kalsium dan protein),
hiperparatiroidisme primer, sarkoidosis, dan kelebihan vitamin D atau
kelebihan kalsium.
2. Hipositraturia
Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air
kemih, khususnya sitrat, disebabkan idiopatik, asidosis tubulus ginjal tipe I
(lengkap atau tidak lengkap), minum Asetazolamid, dan diare dan masukan
protein tinggi.
3. Hiperurikosuria
Peningkatan kadar asam urat dalam air kemih yang dapat memacu
pembentukan batu kalsium karena masukan diet purin yang berlebih.
4. Penurunan jumlah air kemih
Dikarenakan masukan cairan yang sedikit.
5. Jenis cairan yang diminum

Minuman yang banyak mengandung soda seperti soft drink, jus apel
dan jus anggur.
6. Hiperoksalouria
Kenaikan ekskresi oksalat diatas normal (45 mg/hari), kejadian ini
disebabkan oleh diet rendah kalsium, peningkatan absorbsi kalsium intestinal,
dan penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu
absorbsi garam empedu.
7. Ginjal Spongiosa Medula
Disebabkan karena volume air kemih sedikit, batu kalsium idiopatik
(tidak dijumpai predisposisi metabolik).
8. Batu Asam Urat
Batu asam urat banyak disebabkan karena pH air kemih rendah, dan
hiperurikosuria (primer dan sekunder).
9. Batu Struvit
Batu struvit disebabkan karena adanya infeksi saluran kemih dengan
organisme yang memproduksi urease. Batu dapat tumbuh menjadi lebih besar
membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal.
Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea
splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi
bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti pada reaksi:
CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2 (Netter, 2006).
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya adalah
matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu triple
phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat pula
terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat (Netter,
2006).
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium,
ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat
(MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena
terdiri atas 3 kation Ca++ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama
batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya
adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas dan
Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak menyebabkan infeksi saluran kemih,
namun kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah urea (Netter, 2006).

E. Manifestasi Klinis8,10,11
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat
karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu
saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan
yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu,
dan penyulit yang telah terjadi.
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik.
Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.
Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat
sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri
(Pearle, 2005).
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat saluran
kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic
junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang
(flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter
distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan ini
(Oswari, 1995).
Nyeri nonkolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin
didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit
akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika
disertai infeksi didapatkan demam-menggigil (Rasyad, 2005).
F. Diagnosis12
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan
diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik,
laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya
obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik,
batu dapat radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai

jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi (Scanlon,
2007).
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih
yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal
(ureum dan kreatinin), dan menentukan sebab terjadinya batu.
Urinalisis berguna untuk mendiagnosis penyakit ginjal atau infeksi
salurah kemih dan untuk mendeteksi adanya penyakit metabolik yang tidak
berhubungan dengan ginjal. Warna, tampilan dan bau urine diperiksa, serta ph,
protein, keton, glukosa, dan bilirubin diperiksa dengan strip reagen. Berat jenis,
diukur dengan urinometer, dan pemeriksaan mikroskopis sedimentasi urine
dilakukan untuk mendeteksi sel darah merah atau sel darah putih di dalam urine.
Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan sedimen, kristal dan bakteria.
Pemeriksaan radiologi BNO atau Blass Nier Overzicht adalah suatu
pemeriksaan didaerah abdomen / pelvis untuk mengetahui kelainan-kelainan
pada daerah tersebut khususnya pada sistem urinaria. IVP atau Intra Venous
Pyelography merupakan pemeriksaan radiografi pada sistem urinaria (dari
ginjal hingga blass) dengan menyuntikkan zat kontras melalui pembuluh darah
vena. Tujuan pemeriksaan untuk menggambarkan anatomi dari pelvis renalis
dan sistem calyses serta seluruh tractus urinarius dengan penyuntikan kontras
media positif secara intra vena. Pemeriksaan ini dapat diketahui kemampuan
ginjal mengkonsentrasikan bahan kontras tersebut (Netter, 2006).
G. Diagnosis Banding8,10,11,15
Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih lanjut,
misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu, jika
dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan, perlu
dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau
apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu juga dipertimbangkan
adneksitis (Oswari, 2004).
Filling defect karena adanya obstruksi bisa disebabkan oleh batu pada
saluran kemih, fibrosis pada saluran kemih terutama pada ureter atau adanya
massa tumor atau keganasan. Analisis yang tepat menentukan terapi pasien
sehingga terapi akan lebih efektif dan efisien (Ezimora, et. al., 2012).
Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan keganasan
apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu juga diingat bahwa

batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat menyebabkan terjadinya tumor


yang umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan dan inflamasi. Pada
batu ginjal dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan kemungkinan tumor
ginjal mulai dari jenis ginjal polikistik hingga tumor Grawitz (Rasyad, 1998).
Pemeriksaan Penunjang12.14

H.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan


diagnosis dan rencana terapi antara lain (American Urogical Association, 2012):
1.

Foto Polos Abdomen


Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat
dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai diantara
batu lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio lusen).
Sensitivitas sebesar 57% dan spesifitasnya sebesar 76%. Urutan
radioopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1 (Schwartz,
2014).
Jenis Batu

Radioopasitas

Kalsium
Opak
MAP
Semiopak
Urat/Sistin
Non opak
Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih
2.

Pielografi Intra Vena (PIV)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non
opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Sensitivitas dari
pemeriksaan penunjang ini adalah sebesar 70% sedangkan spesifitasnya
95%. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih
akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah
pemeriksaan pielografi retrograd.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,
yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal
yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG
dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan
sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan

ginjal. Sensitivitas USG adalah 78,4% tergantung pada ukuran batu dan
jumlah batu pada urinary tract, sedangkan spesifitas dari pemeriksaan
USG adalah sebesar 97% (Riddel, et. al., 2013)
4.

CT-Scan non kontras (NCCT) merupakan pemeriksaan gold standard untuk medeteksi
adanya batu di ureter dengan sensitivitas 98% dan spesifitas 97%. Kelemahan dari
pemeriksaan ini adalah radiasi yang tinggi serta harganya yang relatif lebih mahal
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi yang lain.

I.

5.

Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan kristal.

6.

Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.

7.

Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.

8.

DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase alkali serum.
Penatalaksanaan8,13,14
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi
untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu
telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi
sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter
atau hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih,
harus segera dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu
yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
Pilihan terapi antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. -blocker
d. NSAID

Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu


syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada
tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK
menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan
adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal
tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi
terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)

Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya


diberi obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan
dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada
ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi,
begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan
ESWL di ruang operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang
atau telungkup sesuai posisi batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah
akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan
dapat langsung pulang.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga
jenis yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masingmasing generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama
menggunakan air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan
gelombang kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat akustik paling
mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak akan menimbulkan rasa sakit
pada saat gelombang kejut masuk tubuh.

ESWL

merupakan

alat

pemecah

batu

ginjal

dengan

menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. ESWL hanya sesuai


untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta
terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih
(kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Batu yang keras (misalnya
kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan.
ESWL tidak boleh digunakan oleh penderita darah tinggi, kencing manis,
gangguan pembekuan darah dan fungsi ginjal, wanita hamil dan anakanak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita
dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada
kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data
yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan
sejelas-jelasnya.
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan
melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi
hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil.

Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti


dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua
karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung
cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak.
Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli
urologi.
b.

Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan


memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),

c.

ureteroskopi atau uretero-renoskopi.


Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu
ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang
disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu
tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan
ketersediaan alat tersebut.

d.

ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya


melalui alat keranjang Dormia).

4.

Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai
untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL,
pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi
untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu
di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau
pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi
nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami
pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi atau
infeksi yang menahun.

5.

Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai
tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter
yang melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya
kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.
Pencegahan14

J.

Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur


yang menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada
umumnya pencegahan itu berupa :
1.

Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urin 2-3 liter
per hari.

2.

Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.

3.

Aktivitas harian yang cukup.

4.

Pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:

1.

Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.

2.

Rendah oksalat.

3.

Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.

4.

Rendah purin.
Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita
hiperkalsiuri tipe II.

K.

Komplikasi
Dibedakan

komplikasi

akut

dan

komplikasi

jangka

panjang.

Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian,


kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang
tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi
pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat
dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk
komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis,
trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang
yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus,
stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya
disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu,
terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari
yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita
tidak dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi.
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan
terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis
yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya
dapat terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya
adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka
maupun noninvasif seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah
dilakukannya PNL, atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat
pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat
seperti lien, hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat terjadi
saat dilakukan PNL, visualisasi yang adekuat, penanganan yang hati-hati, irigasi
serta drainase yang cukup dapat menurunkan resiko terjadinya komplikasi ini.
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah,
demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih

sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL.
Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang
lebih singkat dibandingkan PNL.
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi
keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi
terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali
pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka
mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai,
khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan
komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko
kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.
Komplikasi ESWL meliputi

kolik renal (10,1%), demam (8,5%),

urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma
parietal dan viseral. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL,
dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara yang kembali
normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka panjang pasca
ESWL pada anak.
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang
memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus
akibat perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada
satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi
terbuka meliputi leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan
perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu ginjal pada
anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka.
L.

Prognosis13
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal
Pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan
bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada
sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan

PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula
oleh pengalaman operator.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Batu saluran kemih adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang
saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran
kemih, atau infeksi.
2. Semua tipe batu saluran kemih memiliki potensi untuk membentuk batu.
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaankeadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan
rencana terapi antara lain Foto Polos Abdomen, Pielografi Intra Vena (PIV),
Ultrasonografi, CT-Scan non-kontras, pemeriksaan mikroskopik urin, analisis
batu, kultur urin, ureum, kreatinin, elektrolit.
4. Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu.
5. Komplikasi batu pada saluran kemih adalah obstruksi dan infeksi sekunder, serta
komplikasi dari terapi, baik invasif maupun noninvasif.
6. Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu dan
adanya infeksi serta obstruksi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.

2. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed. US:


FA Davis Company; 2007.
3. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2001.
4. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. EGC:
Jakarta
5. Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto:
Jakarta
6. Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hlmn 378. Balai
Penerbit FKUI : Jakarta
7. Sjamsuhidayat. De jong, wim. Buku ajar ilmu Bedah. Hlmn 1024-1034.
EGC : Jakarta.
8. http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis. akses tanggal
28 Mei 2016.
9. Glenn, James F. 1991. Urologic Surgery Ed.4. Philadelphia : LippincottRaven Publisher.
10. Oswari, Jonatan; Adrianto, Petrus. 1995. Buku Ajar bedah, EGC: Jakarta.
11. Rasyad, Syahriar, dkk. 1998. Radiologi Diagnostik, Ed.4, Balai Penerbit
FKUI: Jakarta.
12. Shires, Schwartz. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC : Jakarta.
588-589
13. Turk, C. et. al. Guidelines on Urolithiasis. European Association of
Urology.
14. http://www.aku.edu/akuh/health_awarness/pdf/Stones-in-the-UrinaryTract.pdf. akses tanggal 28 Mei 2016.
15. Amaka Ezimora, Marquetta L. Faulkner, Oluwafisayo Adebiyi, Abimbola
Ogungbemile, Salas-Vega Marianna, and Chike Nzerue, Retroperitoneal
Fibrosis: A Rare Cause of Acute Renal Failure, Case Reports in
Nephrology, vol. 2012, Article ID 645407, 5 pages, 2012.
doi:10.1155/2012/645407
16. American Urological Association. Clinical Effectiveness Protocols For
Imaging In The Management Of Ureteral Calculous Disease: AUA
Technology Assessment. 2012
17. Riddell, Jeff, et. al. Sensitivity of Emergency Bedside Ultrasound to
Detect Hydronephrosis in Patients with Computed Tomography-proven
Stones. Western Journal of Emergency Medicine. 2013

Anda mungkin juga menyukai