Nyeri Pipi
Nyeri Pipi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama
sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus
ethmoidalis (sinus paranasalis). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan
yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, merupakan sinus yang paling
sering terinfeksi. Hal ini disebabkan karena ini merupakan sinus paranasal yang
terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drainase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Dasar sinus maksila adalah akar
gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksilaris. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Penyebab sinusitis dapat virus, bakteri atau jamur. Dapat disebabkan oleh
rinitis akut, infeksi faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis), infeksi gigi rahang atas
M1, M2, M3, serta P1 dan P2), berenang dan menyelam, trauma, serta barotrauma.
Faktor predisposisi berupa obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka
media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Selain itu,
rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta
menghasilkan banyak sekret, yang merupakan media bagi pertumbuhan kuman.
Faktor predisposisi yang lain meliputi lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.
BAB II
PEMBAHASAN
1 | Page
A. Skenario
Nyeri Pipi
Sinisi 25 tahun ke praktek dokter keluarga mengeluhkan pipi kanan terasa
sakit dan berat bila menunduk, demam, serta keluar ingus berwarna kekuningan dan
berbau busuk sejak 4 hari yang lalu. Sejak 1 minggu yang lalu, Sinisi mengeluhkan
gigi geraham paling belakang kakan atas yang berlubang. Sinisi mengaku sejak kecil
memiliki riwayat alergi berupa bersin-bersin yang susah sembuh bila terkena debu,
ingus yang keluar encer dan bening, keluhan biasa disertai gatal di hidung dan hidung
terasa buntu.
Dokter melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior kanan dan mendapatkan
cavum nasi menyempit, konkha nasi inferior udem dan pucat, secret mukopurulen di
meatus medius. Rhinoskopi anterior kiri tidak didapatkan kelaianan. Pemeriksaan
rhinoskopi posterior terdapat post nasal drip. Tes penghidu didapatkan hiposmia dan
tes transluminasi sinus maksilaris gelap.
Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
Radiologi Waters untuk membantu diagnosis. Dokter memberikan obat berupa
antibiotik dan analgetik, serta rujukan ke poli gigi.
Bagaimana saudara menerangkan apa yang dialami Sinisi?
B. Terminologi
1. Rhinoskopi anterior
penghidu(14)
5. Transluminasi Sinus Maksilaris
: Pemeriksaan sinus dengan cara melihat
2 | Page
6. Radiologi Waters
7. Cavum nasi
8. Konkha nasi
kulit
9. Sekret mukopurulen
10. Meatus medius
kerang(14)
: Keluaran yang mengandung mucus dan pus(14)
: Ruangan di bawah concha nasi media, yang
berhubungan dengan cellulae ethmoidales anteriores,
sinus frontalis dan sinus maksilaris(14)
C. Permasalahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
D. Pembahasan
1. Anatomi Hidung, Faring Dan Sinus Paranasal
a. Anatomi Hidung dan Faring2
3 | Page
Nares anterior
Concha superior, media, inferior
Meatus superior, media, inferior
Nares posterior
b. Fisiologi Hidung1
Fungsi hidung secara umum yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
Jalan napas
Melembabkan dan menghangatkan udara
Menyaring dan membersihkan udara
Tempat bergemanya suara
Organ penghidu
Di dalam rongga hidung terdapat vibrissae atau rambut-rambut hidung yang
berfungsi untuk menyaring partikel yang kasar (debu dan serbuk bunga). Selain
itu, terdapat 2 macam mucosa di dalam cavum nasi yaitu :
4 | Page
glandula-glandula
mucus
dan
serus.
Sel-sel
mucus
menyebar
ke
wilayah-wilayah
tersebut.
Banyaknya
mucus
5 | Page
Selain pada saat inspirasi, cavum nasi juga berfungsi pada saat ekspirasi. Saat
kita menghirup udara yang dingin, maka plexus-plexus di dekat conchae akan
menghangatkan udara tersebut sebelum masuk ke paru. Hal itu menyebabkan
area conchae akan kehilangan panasnya dan menjadi dingin. Maka, saat ekspirasi
berlangsung, udara yang telah dihangatkan tadi akan kembali melewati conchae
dan membuat conchae menjadi hangat lagi. Hal ini-lah yang membuat manusia
mampu bertahan di cuaca panas atau dingin.
c. Fisiologi Faring1
1) Nasofaring
Nasofaring berfungsi sebagai jalan nafas. Pada saat menelan, pallatum
mole dan uvula terangkat untuk menutup nasofaring sehingga makanan
tidak akan masuk ke cavum nasi. Namun, jika kita tertawa, proses
fisiologis tersebut akan gagal dan mengakibatkan makanan bisa keluar dari
hidung. Epitel bersilia yang ada di nasofaring berfungsi mendorong
mucus. Selain itu, ada juga tonsila faringeal atau adenoid yang bertugas
menangkap patogen dari udara. Jika adenoid bengkak atau terinfeksi, maka
jalan masuk udara ke nasofaring akan terhambat sehingga harus bernafas
lewat mulut. Jika hal ini berlangsung lama, dapat menimbulkan gangguan
tidur dan berbicara.
6 | Page
1. Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa.(3)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak
sebagai
Perluasan rongga
tersebut akan
ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.(4)
2. Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun.(4)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali
juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,
kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk
sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi
3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.(4)
Sinus frontalis berhubungan dengan cavum orbita, dibatasi oleh
dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka
dapat menjalar ke mata dan gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada
9 | Page
4. Sinus sphenoid
10 | P a g e
Sinus sfenoid
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre
molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini
akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum
unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab.
Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah
jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada
infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan
gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya
menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan
memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh
oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka.
Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai
dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan
mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke
sinus dapat terjadi.
Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut
sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza
A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus.
Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan memberikan bukti gambaran
radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan menyebabkan
terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus sehingga menyebabkan
terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada
mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polyps, tumor, trauma,
scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga menyebabkan menurunya
patensi sinus ostia.
Virus yang menginfeksi
tersebut
dapat
memproduksi
enzim
dan
fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri,
environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang
tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
3. Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke
dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan
tahap efektor.(6)
Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung
sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi
udara napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut
kemudian diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan
sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam
amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas
II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada
penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limfosit Th0 bersama molekul CD4
dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak
simultan yang terjadi antara reseftor sel T (TCR) bersama molekul CD4 dengan
MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada
sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel,
sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.(6)
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji
antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B
untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi
berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan
reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast.
14 | P a g e
Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar
dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa
hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau
sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala
rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat
memberikan hasil yang positif.
Fase elisitasi
Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan
ulang dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada
mukosa hidung dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang
berdekatan pada permukaan sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen
tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006). Interaksi antara IgE yang terikat pada
permukaan sel mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu
aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan
enzim phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat
(PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada
membran PIP2. Inositol triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel
(Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung
mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca+
+ dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein
kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator lipid yang
tergolong dalam newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2),
leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors (PAF) dan exositosis granula sel
mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator
seperti histamin, tryptase dan bradikinin.(6)
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena
histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin,
rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung
pada endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses
transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf
nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa
gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada
kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi
15 | P a g e
kelenjar yang menyebabkan gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga
menyebabkan gejala hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Gejala yang segera timbul
setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera (RFS).
Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamine
N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel maupun pada endotel.20
Tahap efektor
Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah
mengalami metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan
berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi
endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi
pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan
alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya
berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang
merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma
bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/
lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari
tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara reversibel
dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti perlekatan pada
dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel
seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi
molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel
eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1.
ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang
mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep
adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi
terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku
spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan
peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan
merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum
tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan
di mukosa hidung penderita rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan
sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam).
Pada mukosa hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan
16 | P a g e
penyebab
utama
beringus,
yang
diduga
karena
histamin
Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang tidak
menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat
vasodilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1,
yang berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka,
sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret
dalam hidung juga menambah sumbatan hidung. Peningkatan aktivitas
parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu hidung,
namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih dipengaruhi
oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4,
PAF. Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat
saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran
histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran
leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat
dibanding
histamin.
Provokasi
hidung
dengan
LTD4
menyebabkan
peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan
tanpa beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan
buntu hidung. Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene
related dapat menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya
buntu hidung. (7)
Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang menghasilkan
edema dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini
menyebabkan blokade dalam pembukaan cavitas sinus dan membuat daerah
yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri, atau virus.
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi
disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang
dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drenase sehingga
menyebabkan
timbulnya
infeksi,
selanjutnya
menghancurkan
epitel
19 | P a g e
intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak
adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis.(5)
b. Imaging
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa
sinusitis dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi
untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus
lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus
terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal dengan titik
keluarnya nasion.
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film
proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua
sinus paranasal.(Alford,
20 | P a g e
22 | P a g e
sinusitis.Jika
ditemukan
maka
kita
harus
melakukan
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. Pada
rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.(9)
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja.
Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh
alergi dan defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya
infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak
sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan
sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen
-
tenggorokan.
Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi
nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa
infeksi
melalui
duktus
gastroenteritis.
2.
Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan
tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior
dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus
superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis.
24 | P a g e
Klasifikasi
Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling
sederhana adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala.
Rinosinusitis didefinisikan akut menurut 3 guidelines (pedoman) yakni oleh RI,
JTFPP, dan oleh CPG:AS yakni apabila durasi gejala berlangsung selama 4
minggu atau kurang. Oleh CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan sebagai subakut
apabila gejala berlangsung antara 4 minggu hingga 12 minggu, sedangkan definisi
dari JTFPP menentukan durasi subakut mulai dari 4 minggu hingga 8 minggu.
Lebih jauh lagi CPG:AS mendefinisikan rinosinusitis akut berulang (recurrent)
sebagai 4 episode atau lebih rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa
gejala menetap di antara episode, sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis
akut berulang sebagai 3 episode atau lebih rinosinusitis akut per tahun. Untuk
rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman sepakat bahwa rinosinusitis kronik
merupakan gejala rinosinusitis yang menetap selama 12 minggu atau lebih,
kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis yang menetap selama 8
minggu atau lebih sebagai kriteria rinosinusitis kronik.(10)
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang
timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.(11)
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya.Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto
polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.(11)
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:
1. Rhinogenik
26 | P a g e
adalah
Streptococcus
pneumoniae,
Hemophilus
influenza,
yang
jarang
ditemukan.Angka
kejadian
meningkat
dengan
28 | P a g e
sinus
akan
menyebabkan
terjadinya
hipooksigenasi,
yang
Kriteria Minor
a. Edem periorbital
b. Sakit kepala
c. Nyeri di wajah
d. Sakit gigi
e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum
h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound
Table 1, Kriteria Internasional Untuk Diagnosis Sinusitis (Pletcher & Goldberg,
2003)
Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering
terjadi pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali
dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya
terutama orbital dan otak.
Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering
adalah selulitis atau abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal
diobati dengan antibiotik dan tidak diperlukan pembedahan. Komplikasi yang
lain mungkin memerlukan pengobatan pembedahan segera. Perluasan pada
postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi melalui lamina papyracea
(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid.Sinus yang paling
sering terkena adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan
maksila.Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid yang mengakibatkan
terjadinya thrombosis. Gejalanya meliputi edema kelopak mata yang progresif,
eritema, chemosis dan proptosis, yang jika tidak diobati, dapat berkembang
menjadi oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada intrakranial termasuk
terjadinya meningitis, abses epidural atau subdural, abses otak atau sagital,
atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien dengan sejarah rinosinusitis
dan demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan status
mental harus dicurigai memiliki komplikasi intracranial.(11)
Osteomielitis dapat menyebabkan komplikasi lokal. Pada tumor Pott
bengkak (Potts puffy tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang
frontal menyebabkan dahi edema. Hal ini merupakan komplikasi akut yang
membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses subperiostal paling
sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula
pada pipi.(11)
Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles.
Mereka merupakan lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus.Sinus
frontal adalah yang paling sering terlibat.Mereka lambat tumbuh dan mungkin
memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum gejala terjadi.Keterlibatan sinus
frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata, mengakibatkan diplopia.
30 | P a g e
31 | P a g e
33 | P a g e
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, berdasarkan hasil dari anamnesa dan pemeriksaan yang telah didapatkan pada
skenario, dapat disimpulkan bahwa Sinisi mengalami rhinosinusitis eksaserbasi akut dengan
sinusitis terjadi pada sinus maksilarisnya. Selain pemberian pengobatan simptomatik, dan
pembersihan mucus, diperlukan pula edukasi untuk menghindari alergi serta konsultasi ke
dokter gigi untuk mengatasi masalah gigi berlubang yang menjadi factor predisposisi dari
kondisi pasien.
34 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. 1997. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company.
2. Martini, Frederich H. Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology,
8th edition. San Fransisco: Pearson International Education.
3. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper Airway.
Available at: http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html. Accessed
on: 30/06/2015
4. Soepardi EA, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung,Tenggorok,
Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9
35 | P a g e
W.A.
Newman.
2012.
Kamus
Kedokteran
Dorland,
Edisi
31.
36 | P a g e