Pembimbing :
dr. Hardjono Purwadi, Sp.OG
Disusun Oleh:
Ratih Paringgit
Niswati Syarifah A
Yahdiyani Razanah
Ismail Satrio Wibowo
G4A014100
G4A015041
G4A015042
G4A015111
Disusun Oleh :
Ratih Paringgit
Niswati Syarifah A
Yahdiyani Razanah
Ismail Satrio Wibowo
G4A014100
G4A015041
G4A015042
G4A015111
BAB I
PENDAHULUAN
Solusio plasenta didefinisikan sebagai terlepasnya sebagian atau keseluruhan
plasenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan
sebelum janin lahir (Cuningham, 2012; Meguerdichian, 2012). Pasien dengan
solusio plasenta, biasanya datang dengan perdarahan, kontraksi uterus, dan gawat
janin. Penyebab signifikan perdarahan trimester ketiga terkait dengan morbiditas dan
mortalitas janin serta ibu, solusio plasenta harus diperhatikan setiap kali perdarahan
ditemui di paruh kedua kehamilan (Ghaheh et al, 2013).
Solusio plasenta biasanya muncul dengan gejala perdarahan vagina, kontraksi
uterus, dan nyeri. Angka kematian perinatal bervariasi antara 20 dan 67%, tergantung
pada usia kehamilan, berat janin, dan tingkat abruption. Etiologi solusio plasenta
belum diketahui, tetapi terjadi lebih pada perokok, kehamilan hipertensi, kehamilan
dengan Intra-uterine Growth Retardation (IUGR), dan pada wanita dengan solusio
plasenta sebelumnya. Sekitar setengah dari kematian perinatal karena solusio plasenta
memiliki kontribusi pada kematian janin dalam kandungan (Ghaheh et al, 2013).
Kematian janin intrauterin (IUFD) adalah peristiwa tragis bagi orang tua dan
penyebab besar stres bagi pengasuh. Didefinisikan sebagai kematian janin lebih dari
24 minggu kehamilan dan berat lebih dari 500 gram. Prevalensi IUFD tidak dapat
dihindari di negara maju, namun masih tetap sangat tinggi di negara-negara
terbelakang dan berkembang (Choudary dan Vineeta, 2014).
Prevalensi IUFD dinyatakan sebagai jumlah kematian janin per 1.000
kelahiran hidup. Rentang kejadian bervariasi di berbagai negara, mulai dari 5 per
1000 kelahiran di negara-negara maju dan 36 per 1000 kelahiran di negara
berkembang (Choudary dan Vineeta, 2014). Angka Kematian Bayi di Jawa Tengah
sendiri pada tahun 2010 sebesar 10,62 per 1000 kelahiran hidup, pada tahun 2011
sebesar 10,34 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2012 sebesar 10,75 per 1000
kelahiran hidup (6.235 kasus) (Dinas Kesehatan Jawa Tengah 2012). Pentingnya hal
tersebut maka penulis bermaksud untuk membahas kasus tersebut pada presentasi
kasus kali ini.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Usia
: 34 tahun
Pendidikan
: SMP
Agama
: Islam
Suku/bangsa
: Jawa
Pekerjaan
Alamat
Tanggal/Jam Masuk
dengan anak pertama usia 8 tahun lahir spontan pervaginam di bidan dengan
berat badan lahir 2130gr, anak kedua keguguran dan dilakukan kuretase di RSI,
anak ke-3 usia 20 bulan lahir spontan pervaginam di bidan dengan berat badan
lahir 3000gr. Pasien mengaku empat kali melakukan Ante Natal Care (ANC) di
bidan. Pasien menikah satu kali, 9 tahun lamanya. Pasien tidak pernah
menggunakan KB.
Riwayat penyakit dahulu
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Riwayat hipertensi
Riwayat penyakit ginjal
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit paru
Riwayat asma
Riwayat kencing manis
Riwayat kejang
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Status Pasien:
Keadaan umum : Tampak kesakitan
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 130/100 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu badan
: 36.5 C
Tinggi badan
: 155 cm
Berat badan
: 78 kg
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
Thorax
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Leopold 1
Leopold 2
sikatrik (-)
: Bising usus (+) normal, DJJ (-)
: Pekak janin
: TFU 25 cm, uterus tegang
: Teraba bagian bulat lunak pada bagian fundus uteri,
: Teraba bagian keras memanjang pada bagian kiri ibu dan
Hasil
(16/4/16 10.20)
Hasil
(16/4/16 14.03)
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
6.8 (L)
21760 (H)
21 (L)
2.6 (L)
102.000 (L)
80.7
26.3
32.5
6.4
14270 (H)
20 (L)
2.4 (L)
94.000 (L)
82.5
26.9
32.7
0.1
0.0 (L)
2.5 (L)
88.0 (H)
4.9 (L)
4.5
19.6 (H)
45.7 (H)
0.1
0.0 (L)
2.0(L)
84.1 (H)
6.0 (L)
7.8
-
140
3.2 (L)
107
6.4 (LL)
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
PT
APTT
Na
K
Cl
Ca
Hasil
(17/4/16 11.29)
Darah Lengkap
6.0 (L)
14110 (H)
18 (L)
2,2 (L)
75.000 (L)
84.2
27.9
33.1
Hitung Jenis
0.1
0.0 (L)
2.1 (L)
85.8 (H)
4.3 (L)
7.7
Kimia Klinik
137
3.3 (L)
102
6.0 (LL)
Hasil
(19/4/16 11.29)
Nilai Normal
8.0 (L)
9590
25 (L)
2.9 (L)
121.000 (L)
85.0
27.3
32.1
0.3
0.0 (L)
3.1
84.5 (H)
6.2 (L)
5.9
-
01%
24%
35%
50 70 %
25 40 %
28%
9.3 11.4 detik
29.0 40.2 detik
Durante Operasi
Operasi dimuali pukul 10.55, bayi dilahirkan pukul 11.00 dengan APGAR skor 0
kemudian dilanjutkan dengan injeksi oksitosin 10 iu intravena. Selanjutnya
melahirkan plasenta dan dilakukan pengecekan kelengkapan kotiledon. Kotildon
lengkap namun ditemukan hematom 75% dan infark 0. Masase uterus dilakukan
namun tampak kesan uterus couvelaire dengan kontraksi uterus (-). Selanjutnya,
dilakukan histerektomi supraservical.
Operasi selesai pukul 12.00 dengan kondisi pasien:
Keadaan umum : terpengaruh sedasi
Tekanan darah
: 104/51 mmHg
Nadi
: 121 x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu badan
: 36 C
Perdarahan
: 2500cc
Diuresis
: 100cc
Instruksi
SOAP
11
17 April
2016
07.00
18 April
2016
07.00
09.15
19 April
2016
07.00
Residen visit
S: Lemah
1. Infus RL : NaCl 1:1O:
20 tpm
KU/Kes: Pucat/Compos
2. Injeksi
Ceftriaxonmentis
1x2gr (hari II)
TD: 134/79 N: 104 x/mnt
3. Injeksi
ketorolacRR: 21 x/mnt S: 37.4oC
30mg/8jam/iv
4. Injeksi
kalnexA: P3A1 usia 34 thn
3x500mg
pasca section caeesarian
5. Drip vit B1/B6/B12transperitoneal prounda
2x1amp
dan histerektomi e.c
6.Injeksi vit C 2x1 amp
uterus couvelaire e.c
7.Transfusi sampai Hb >10 gr/dl
solusio plasenta, IUFD,
8.Usaha darah 2WB, 2FFP
anemia
sedang, dan
9.Cek DR post operasi
trombositopenia
10.DC dan balance cairan
11.Penggawasan KU dan TTV
Residen visit
1.Infus RL : NaCl 1:1 20 tpm
2.Injeksi Ceftriaxon 1x2gr (hari III)
3.Injeksi kalnex 3x500mg
4.Drip vit B1/B6/B12 2x1amp
5.Injeksi vit C 2x1 amp
6.Transfusi sampai Hb >10 gr/dl
7.Usaha darah 2WB, 2FFP
8.Premed injeksi dexametasone 1amp (iv)
9.Cek DR post operasi
10.DC dan balance cairan
11.Penggawasan KU dan TTV
12.Asam mefenamat 3x500mg
S: Lemah
O:
KU/Kes: Pucat/Compos
mentis
TD: 151/63 N: 101 x/mnt
RR: 20 x/mnt S: 37.oC
A: P3A1 usia 34 thn
pasca section caeesarian
transperitoneal prounda
dan histerektomi e.c
uterus couvelaire e.c
solusio plasenta, IUFD,
anemia sedang,
trombositopenia,
hipocalsemia, dan
hipokalemia.
KU baik
Tampak anemis
S: Lemah
O:
KU/Kes: Pucat/Compos
mentis
TD: 129/93 N: 833 x/mnt
RR: 20 x/mnt S: 36.8oC
A: P3A1 usia 34 thn
pasca section caeesarian
transperitoneal prounda
12
10.Mobilisasi
21 April
2016
07.00
22 April
2016
07.00
S+O+A
S : Nyeri bekas operasi +, pusing (-), nyeri
ulu hati (-), BAK +, Flatus +, BAB O : KU baik, CM
TD: 140/80 mmHg ; N: 80 x/m, RR: 20
x/m S: 36.0 C
A : P3A1 usia 34 thn pasca section
caeesarian transperitoneal prounda dan
histerektomi e.c uterus couvelaire e.c
solusio plasenta, IUFD, anemia sedang,
trombositopenia.
S : Nyeri bekas operasi +, pusing (-), nyeri
ulu hati (-), BAK +, Flatus +, BAB O : KU baik, CM
TD: 140/80 mmHg ; N: 80 x/m, RR: 20
x/m S: 36.0 C
A : P3A1 usia 34 thn pasca section
caeesarian transperitoneal prounda dan
histerektomi e.c uterus couvelaire e.c
solusio plasenta, IUFD, anemia sedang,
trombositopenia.
S : Nyeri bekas operasi +, pusing (-), nyeri
ulu hati (-), BAK +, Flatus +, BAB O : KU baik, CM
TD: 120/80 mmHg ; N: 80 x/m, RR: 20
x/m S: 36.0 C
A : P3A1 usia 34 thn pasca section
caeesarian transperitoneal prounda dan
histerektomi e.c uterus couvelaire e.c
solusio plasenta, IUFD, anemia sedang,
trombositopenia.
P
Clindamicin 2x300 mg
Asam mefenamat 2x1
Adver 1x1
Clindamicin 2x300 mg
Asam mefenamat 2x1
Adver 1x1
Clindamicin 2x300 mg
Asam mefenamat 2x1
Adver 1x1
Kontrol 1 minggu
Motivasi makan bergizi
Edukasi kebersihan daerah
vagina
Motivasi istirahat yang
cukup
F. Diagnosis Akhir
13
BAB III
14
TINJAUAN PUSTAKA
A. SOLUSIO PLASENTA
1. Definisi
Solusio plasenta dikenal juga dengan abruptio plasenta atau
perdarahan
aksidental
adalah
terlepasnya
plasenta
dari
tempat
2. Klasifikasi
a. Solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta (Rachimhadhi,
2002):
1) Solusio plasenta totalis : plasenta terlepas seluruhnya
2) Solusio plasenta parsialis : plasenta terlepas sebagian
3) Rupture sinus marginalis : sebagian kecil pinggir plasenta yang
terlepas
b. Solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (Pritchard et al, 2001):
1) Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
2) Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi yang membentuk
hematoma retroplasenta
3) Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong
amnion.
c. Solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya (Cunningham et al,
2001):
1) Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang,
belum ada tanda syok, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6
bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
2) Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda
pre syok, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta
15
Gambar 2.1 Perdarahan pada Solusio Plasenta visible dan concealed (Childrens
Hospital of Wisconsin, 2016)
3. Etiologi dan faktor risiko
a. Usia
Insiden solusio plasenta meningkat sesuai bertambahnya usia
ibu. Pada penelitian First and Second Trimestes Evaluation of Risk
(FASTER), perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun ditemukan 2,3
kali lipat lebih mungkin mengalami solusio dibandingkan perempuan
berusia 35 tahun (Cleary-Goldman et al, 2005). Dalam penelitian
Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan
kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal
ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi
frekuensi hipertensi menahun (Prawirohardjo dan Hanifa, 2002).
b. Paritas
Insiden solusio plasenta meningkat pada perempuan dengan
paritas tinggi (Cunningham, 2012). Pengalaman di RSUPNCM
menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu
16
dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi
paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium (Rachimhadhi,
2002).
c. Ras
Ras atau etnisitas tampaknya penting. Di antara hampir
170.000 pelahiran yang dilaporkan dari rumah sakit Parkland , solusio
lebih lazim terjadi pada perempuan Afrika-Amerika dan Kaukasia (1
dalam 200) dibandingkan perempuan Asia (1 dalam 300) atau
perempuan Amerika Latin (1 dalam 450) (Cunningham, 2012).
d. Faktor keturunan
Apabila seorang perempuan pernah mengalami solusio berat,
risiko untuk saudara perempuannya akan meningkat 2 kali lipat dan
risiko yang dapat diwariskan diperkirakan sebesar 16 % (Rasmussen
dan Irgens, 2009).
e. Hipertensi
Kondisi yang sangat dominan berkaitan dengan solusio
pasenta adalah suatu bentuk hipertensi, hipertensi gestasional,
preeklamsia,
hipertensi
kronis,
atau
kombinasi
kedua-duanya
(Cunningham, 2012).
Hubungan sebab akibat antara hipertensi dan solusio plasenta masih
controversial. Kebanyakan penjelasan melibatkan abnormalitas vaskuler atau
plasenta, termasuk diantaranya adalah kerentanan pembuluh darah,
malformasi vaskuler, atau plasentasi abnormal. Ketidakmampuan pembuluh
darah untuk menurunkan resistensi, berdilatasi , dan kurangnya invasi
trofoblastik pembuluh darah uterus diduga menyebabkan penurunan aliran
darah plasenta dan disfungsi respons endotel terhadap substansi vasoaktif.
Pembuluh darah plasenta yang abnormal dapat menjadi penyebab iskemia
dan rupture pembuluh darah yang terlibat, sehingga menyebabkan solusio
plasenta (Rosalba et al, 2010).
17
yang
terjadinya vasospasme
mana
uterus
bertanggung
dan dapat
jawab
atas
berakibat terlepasnya
18
tegang
dan
keras
seperti
uterus) baik
papan
yang
waktu
his
terlepas
20
Biasanya
21
tersembunyi, jika hematoma tidak mencapai tepi plasenta dan leher rahim.
Oleh karena itu jumlah perdarahan tidak mencerminkan tingkat kehilangan
darah. Perdarahan dapat menyusup ke miometrium sehingga disebut uterus
Couvelaire (Rosalba et al, 2010).
Solusio plasenta dimulai oleh perdarahan ke dalam desidua basalis.
Desidua kemudian memisah, meninggalkan lapisan tipis yang melekat ke
miometrium. Proses dalam tahap paling awal terdiri atas pembentukan
hematoma desida yang menyebabkan pemisahan, kompresi, dan akhirnya
penghancuran plasenta yang terletak di dekatnya. Sebuah penelitian
memaparkan bukti histologis peradangan lebih banyak terlihat pada kasus
solusio plasenta dibandingkan kontrol normal. Gagasan peradangan
(infeksi) mungkin merupakan contributor penyebab (Cunningham, 2012).
Dalam tahap dini, mungkin tidak ditemukan gejala klinis, dan
pemisahan hanya ditemukan saat pemeriksaan plasenta yang baru
dilahirkan. Pada kasus seperti ini akan terlihat cekungan berbatas tegas
pada permukaan maternal plasenta. Cekungan ini biasanya berdiameter
beberapa centimeter dan ditutupi oleh darah yang telah membeku dan
berwarna gelap. Kerena diperlukan beberapa menit untuk memunculkan
perubahan anatomis ini, plasenta yang sangat baru mengalami pemisahan
dapat tampak sepenuhnya normal saat dilahirkan (Cunningham, 2012).
Pada kondisi tertentu arteri spiralis desidua pecah dan
menimbulkan hematoma retroplasenta, yang saat bertambah besar,
merusak lebih banyak lagi pembuluh darah sehingga lebih banyak plasenta
yang terpisah. Daerah terpisahnya plasenta dengan cepat meluas dan
mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih membesar akibat produk
konsepsi, uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat untuk menekan
pembuluh darah yang robek yang mendarahi lokasi plasenta. Darah yang
keluar dapat menyebabkan diseksi membrane dan dinding uterus, dan
akhirnya tampak dari luar atau dapat tertahan sepenuhnya dalam uterus
(Cunningham, 2012).
Syok hipovolemi dapat terjadi secara langsung disebabkan oleh
kehilangan darah pada ibu (Cunningham, 2012). Pendarahan antepartum
dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah,
kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah
22
persalinan
dan
mengatasi
kelainan
23
25
biasanya menghasilkan
yang
tidak
perlu
harus
dihindari.
Sebuah studi
kasus
solusio
plasenta,
uterus
mungkin
tidak
untuk
dikendalikan. Agen
uterotonik
seperti
oksitosin,
26
janin
lebih
matang
adalah
tujuan
utama
terapi.
27
ginjal (Rachimhadhi, 2002). Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta
berat mengalami kematian. Namun terdapat literatur lain yang menyebutkan
angka kematian janin pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada kasus
solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada
luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio plasenta
berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya
menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio
sesaria dapat mengurangi angka kematian janin (Rachimhadhi, 2002).
B. IUFD (Intra Uterine Fetal Death)
1. Definisi
IUFD (Intrauterine Fetal Death) atau kematian janin dalam rahim
menurut ICD 10- International Statistical Classification of Disease and
Related Health Problems adalah kematian janin yang terjadi saat usia
gestational lebih dari 22 minggu (Petersson, 2003).
Menurut WHO dan The American College of Obstreticians And
Gynecologist, IUFD adalah kematian janin dalam rahim dengan berat
badan 500 gram atau lebih, atau kematian dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan
pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi (Petersson, 2003;
Winknjosastro, 2008).
IUFD didefinisikan pula sebagai kematian hasil konsepsi sebelum
pengeluaran atau estraksi lengkap dari ibunya terlepas dari lama masa
kehamilan. Kematian ini ditandai dengan janin tidak bernafas atau
menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang lain, seperti denyut janin,
pulsasi tali pusat atau pergerakan otot volunter yang jelas (Derek, 2003).
Intra Uterine Fetal Death (IUFD) merupakan kematian janin yang
berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi dari Ibu,
pada durasi yang tidak dapat diperkirakan di dalam masa kehamilan, dan
merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi (Cousens, 2011).
2. Etiologi
29
akan
terjadi
penurunan
fungsi.
Hal
ini
dapat
4) Usia
30
31
3. Klasifikasi
Menurut United States National Center for Health Statistic ,
kematian
anin
dapat
dibagi
menjadi
golongan,
yaitu
34
35
tingkat
keparahan.
Hipertensi
gestasional
merupakan
36
37
38
memperlihatkan
pembentukan
hematom
desidua
yang
39
40
janin hidup.
Tulang punggung janin sangat melengkung (Naujokess Sign).
Hiperekstensi kepala (Gerhards Sign)
Gelembung gas pada badan janin (Roberts Sign)
Femur length yang tidak sesuai dengan usia kehamilan.
41
42
BAB IV
MASALAH DAN PEMBAHASAN
Diagnosis awal kasus saat dari Istalasi Gawat Darurat adalah Gravida 4 Para 2
Abortus 1 usia 34 hamil 30 minggu 1 hari, janin mati intrauterina presentasi
kepala punggung kiri, belum dalam persalinan, dengan solusio plasenta. Beberapa
hal yang perlu dibahas berkaitan dengan kasus ini antara lain:
A. Solusio plasenta
Pada pasien ini didapatkan dari gejala nyeri perut 12 jam sebelum
masuk rumah sakit, tidak dirasakan ada gerakan janin sejak 16 jam sebelum
masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien
tampak kesakitan, konjungtiva anemis, peningkatan denyut nadi, uterus
tegang, tidak ada denyut jantung janin.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas mendukung kearah
diagnosis solusio plasenta. Menurut Rachimhadhi, 2002 anamnesis yang
akan didapatkan pada solusio plasenta adalah : perasaan sakit yang tiba-tiba
di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa
paling sakit; perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan
sekonyong-konyong (non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuanbekuan darah yang berwarna kehitaman, pada kasus dimana tidak terdapat
perdarahan pervaginam maka dapat dicurigai merupakan solusio plasenta
tipe concealed; pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan
akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi); kepala terasa pusing, lemas,
muntah, pucat, mata berkunang-kunang; ibu terlihat anemis yang tidak
sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam; kadang ibu dapat
menceritakan trauma dan faktor kausal lain yang pada kasus ini tidak
didapatkan adanya riwayat trauma.
Pemeriksaan fisik pasien ini mendukung diagnosis solusio plasenta,
pada temuan fisik pasien solusio plasenta akan didapatkan : nadi cepat;
pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan; pucat, sianosis dan
berkeringat dingin; terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu); Uterus tegang
dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu
his maupun di luar his; nyeri tekan di tempat plasenta terlepas; bagian-bagian
janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang; auskultasi sulit dilakukan
43
karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140,
kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang
terlepas lebih dari satu per tiga bagian; serviks dapat telah terbuka atau
masih tertutup, bila sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan
tegang, baik sewaktu his maupun di luar his; apabila plasenta sudah pecah
dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba
pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan
dengan plasenta previa.
Faktor risiko solusio plasenta yang terdapat pada pasien ini adalah
dari aspek paritas karena pasien saat ini sudah mengalami empat kali
kehamilan. Insiden solusio plasenta meningkat pada perempuan dengan
paritas tinggi (Cunningham, 2012). Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan
peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal
ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik
keadaan endometrium (Rachimhadhi, 2002).
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien ini pertama adalah
stabilisasi keadaan umum dengan pemasangan oksigen kanul nasal 3 lpm,
Infus RL 20 tpm, DC-UT. Melihat profil darah pasien dengan melakukan
cek DL, PT, APTT. Pasien juga diberikan injeksi ampisilin 2 gr. Untuk janin
yang sudah meninggal dengan usia kehamilan 30 minggu 1 hari, kehamilan
diterminasi dengan bedah sesar karena kondisi ibu yang tidak stabil dan
belum ada tanda-tanda persalinan.
Pada kasus di mana janin atau ibu tidak stabil, pelahiran harus
dilakukan segera, dengan stabilisasi kondisi janin dan ibu secara bersamaan.
Hal ini biasanya dengan operasi caesar kecuali pelahiran pervaginam sudah
dekat dan dapat berlangsung dengan aman. Penting untuk menggantikan
darah dan produk darah sebelum dan selama operasi. Agen utero-tonik atau
intervensi hemostatik dapat diberikan setelah pelahiran plasenta untuk
mengontrol perdarahan (Oyelese dan Ananth, 2006).
B. Uterus couvelaire
Setelah janin dikeluarkan kemudian dilakukan masase uterus namun
tampak kesan uterus couvelaire dengan kontraksi uterus negatif.
44
45
46
47
E. Preterm
Preterm adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan 20
minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG,
2013). Terdapat 3 subkategori usia kelahiran preterm berdasarkan kategori
World Health Organization (WHO), yaitu:
BAB V
KESIMPULAN
48
ras, keturunan,
49
DAFTAR PUSTAKA
Abdul BS. 2002. Kematian Maternal. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 22-4.
Agudelo, A.C, Beliza,J.M., Rossello,L.D. 2004. Epidemiology of Feta Death in
Latin America. Acta Obstetri Gynecologi Scand. Vol 79:371-378.
Childrens Hospital of Wisconsin. 2016. Bleeding in pregnancy / placenta previa /
placental abruption. Available at : http://www.chw.org/medicalcare/fetal-concerns-center/conditions/pregnancycomplications/bleeding-in-pregnancy/ (Diakses pada 26 April 2016).
Choudhary, A. dan Vineeta G. 2014. Epidemiology of Intrauterine Fetal Deaths: A
Study In Tertiary Referral Centre In Uttarakhand. Journal of Dental
and Medical Science. 13(3): 3-6.
Cleary-Goldman J, Malone FD, Vidaver J, et al. Impact of maternal age on
obstetric outcome. Obstet Gynecol 105:983, 2005.
Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. 2001.
Obstetrical Haemorrhage. Dalam : Wiliam Obstetrics 21th edition.
USA : Prentice Hall International Inc Appleton. Lange. 2001; 819-41.
Cunningham, F.G., Grant, N.F., Leveno,K.J., Gilstrap III, L.C., Hauth,JC.,
Wenstrom, K.D. 2005. Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. Jakarta: EGC.
Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. 2012.
Obstetrical Haemorrhage. Wiliam Obstetrics 24th edition. Prentice Hall
International Inc Appleton. Lange USA: 819-41.
Cousens S, Blencowe H, Stanton C, et al. 2011. National, Regional, and
Worldwide Estimates of Stillbirth Rates in 2009 with Trends since 1995, a
systematic analysis. Lancet ; 377(9774):1319-1330
Derek, J.L. 2003. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6. Jakarta :
Hipocrates
Ducloy AS, de Flandre FJ, OLambret A. 2005. Obstetric Anaesthesia-Placental
Abruption.
Available
at :http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1417_01.htm.
Ghaheh, HS., Awat F., Maryam M., Davood S., Leila M., Zahra H. 2013. Risk
factor of placental abruption. J Res Med Sci. 18(5): 422-426.
Korteweg, F.J., etc. 2009. Diverse Placental Pathologies as the Main Causes of
Fetal Death.Obstet Gynecol ; 114 (4) : 809-17
50
51
52