Anda di halaman 1dari 11

Landasan Bimbingan Konseling

(Landasan Psikologis dan Landasan Sosial-Budaya)

Disusun Oleh :
1.

RHEZA TADEO. M

(1115500068)

2.

SEKAR WULAN N.

(1115500075)

3.

SUCI ANGGARI

(1115500079)

4.

TRISSA ELYA R.

(1115500084)

BK 2C

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSERLING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, tidak lupa shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada junjungan kitaNabi
Muhammad SAW, sehingg apenulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Landasan
Bimbingan Konseling ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas bidang studi Bimbingan dan Konserling mengenai Dasar-Dasar Konseling.
Makalah ini disusun dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh
dari buku dan dari media massa yang berhubungan dengan pembahasan makalah ini, dan tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen bidang studi atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini, juga rekan-rekan sesame pelajar, kepada kedua orang tua
penulis yang telah mendukung, sehingga penulis mendapat semangat, dorongan dan doa
untuk bias menyelesaikan makalah ini dengan lancer dan tiada hambatan.
Semoga makalah ini dapat member manfaat dan menambah wawasan. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna.Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik membangun yang ditunjukan demi kesempurnaan makalah ini.

Tegal, 11 Mei 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan
dan memberikan manfaat bagi kehidupan, maka bimbingan dan konseling perlu dibangun
diatas landasan yang kokoh, yang mencakup : (1) Landasan filosofis, (2) landasan psikologis,
(3) landasan sosial-budaya, (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terkait dengan
layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, selain berpijak pada keempat
landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada aspek pedagogis, religius, dan yuridis-formal.
agar terhindar dari berbagai penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling,
setiap konselor mutlak perlu memehami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai
pijakan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di
Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling
tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu
landasan yang kokoh, namun harus didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan
bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktik, dapat semakin lebih
mantap dan bisa dipertanggung jawabkan serta mempu memberikan manfaat besar bagi
kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien).
Agar aktifitas dalam bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk
penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya klien maka pemahaman dan
penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh

para konselor

tanpaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya. Berbagai
kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling
selama ini, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan
konseling sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat

pemahaman dan

penguasaan konselor tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain,
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun

diatas landasan yang seharusnya. Oleh karena itu, dalam upaya pemberian pemahaman
tentang landasan bimbingan dan konseling, khusunya bagi para konselor, melalui tulisan ini
akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah
bimbingan dan konseling. Membicarakan landasan dalam bimbingan dan konseling pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasanya diterapkan dalam
pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non
formal ataupun landasan pendidikan secara umum. Landasan dalam bimbingan dan konseling
pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan
khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan
dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk berdiri tegak dan kokoh untuk membutuhkan
pondasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki pondasi yang
kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyang atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan
layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh pondasi atau landasan yang
kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu
sendirian yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik,
berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang
mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling. Selanjutnya, dibawah ini akan
dideskripsikan tentang landasan psikologis dan landasan sisial-budaya dalam bimbingan dan
konseling tersebut:

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Landasan psikologis?
2. Apa itu Landasan Sosial-Budaya ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui penjelasan mengenai Landasan Psikologis
2. Mengetahui penjelasan mengenai Landasan Sosial-Budaya

BAB II
PEMBAHASAN

A. LANDASAN PSIKOLOGIS
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman
bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk
kepentingan b imbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh
konselor adalah tentang: (a) motif dan motivasi, (b) pembawaan dan lingkungan, (c)
perkembangan individu, (d) belajar dan (e) kepribadian.

a.

Motif Dan Motivasi


Motif dan motivasi berhubungan dengan dorongan yang menggerakan
seseorang berperilaku baik motif primer, yaitu motif didasari oleh kebutuhan asli yang
dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti rasa lapar, bernafas dan sejenisnya
maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi,
memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya
motif-motif tersebut diaktifkan dan digerakan baik dari dalam diri individu (motivasi
intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi extrinsik) menjadi bentuk perilaku
instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.

b. Pembawaan dan lingkungan


Pembawaan dan lingkungan berhubungan dengan faktor-faktor yang
membentuk dan mempengaruhui perilaku individu. Pembawaan adalah segala
sesuatu yanga dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang
mencakup aspek psikofisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat,
kecerdasan, atau ciri-ciri kepribadian tertentu. Pembawaan biasanya bersifat
potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya
bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan
lingkungan pada setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki
pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang dan rendah, misalnya dalam
kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal, atau bahkan sangat kurang
(debil, embisil, idiot) demikian pula dengan lingkungan, adapulang individu yang

dibesarkan dalam lingkungan yang kondusinf dengan sarana dan prasarana yang
memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang
secara optimal. Namun adapula individu yang hidup dan berada dilingkungan yang
kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap
potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik dan menjadi
tersia-siakan.

c. Perkembangan individu
Perkembangan individu berhubungan dengan proses tumbuh dan individu
yang merentang sejak masa konsepsi (prenatal) hingga akhir hayatnya, yang
meliputi aspek fisik dan motorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan rujukan,
diantaranya :
1. Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural
dalam perkembangan individu,
2. Teori dari Freud tentang dorongan seksual,
3. Teori dari Ericson tentang perkembangan psiko-sosial,
4. Teori dari Pieget tentang perkembangan kognitif,
5. Teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral,
6. Teori dari Zunker tentang perkembangan karis,
7. Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial,
8. Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas individu semenjak masa bayi
hingga masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek
perkembangan

individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah

perkembangan individu dimasa depan, serta keterkaitannya dengan faktor


pembawaan dan lingkungan.

d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi.
Manusia belajar untuk hidup, tanpa belajar seseorang tidak dapat mempertahankan
dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan

mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk


menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada dalam individu.
Penguasaan yang baru itu termasuk tujuan dari belajar dan pencapaian yang baru itu
termasuk tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek afektif, kognitif, maupun
psikomotorik/ketrampilan. Agar terjadi proses belajar, diperlukan prasyarat belajar,
baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau hasil belajar
dari sebelumnya. Untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan belajar, terdapat
teori belajar yang dapat dijadikan rujukan, diantaranya :
1. Teori belajar behaviorisme,
2. Teori belajar kognitif atau teori pemrosesan informasi,
3. Teori belajar Gestalt,
4. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.e.

e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan
tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif. Dalam suatu penelitian
kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W.Allport (Calvin S. Hall dan Gardner
Lindzey, 2005) ditemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbedabeda. Mengacu pada studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu
rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapatnya,
kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik
yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri.
Scheneider (dalam Syamsu Yusuf, 2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai
suatu proses respons individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam
upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional,
frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik, yakni kualitas perilaku itu khas sehingga
dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikan didukung
oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang,
hormon, segi kognitif, dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh,
sehingga menentukan kualitas atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang
sudah banyak dikenal, diantaranya : teori psikoanalisa dari Sigmung Freud, Teori analitik dari
Carl Gustav Jum, Teori Sosial Psikologis dari Adner, Fromm, Horney dan Sullvan, Teori
personologi daru Murray, Teori medan dari Kurt Lewin, Teri psikologi individual dari
Allport, Teori stimulus-respon dari Throndikee, Hull, Watson, Teori diri dari Carl Rogers dan
sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang mencakup :
1. Karakter, yaitu konsekuen-tidaknya seseorang dalam mematuhi etika perilaku dan
konsisten tidaknya sesorang dalam memegang pendirian atau pendapat.
2. Temperamen, yaitu disposisireaktif sesorang atau cepat lambatnya reaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
3. Sikap, yaitu Sabutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen
4. Stabilitas Emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, putus asa.
5. Responsibilitas (tanggung jawab), yaitu kesiapan dalm menerima resiko dari tindakan
atau perbuatan yang dilakukan
6. Sosiabilitas, yaitu disposisipribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan koseling dan dalam upaya memahami dan
mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus memahami dan
mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatar belakangi perilaku klien. Selain itu,
seorang

konselor

juga

harus

mengidentifikasi

aspek-aspek

potensi

bawaan

dan

menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan hidup


kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang
kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya
pengembangan belajar klien konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam
belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Terkait dengan upaya pengembangan
kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami, tentang karakteristik dengan keunikan
kepribadian kliennya. Oleh karena itu agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan
psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik,
yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi
pendidikan dan psikologi kepribadian.

B. LANDASAN SOSIAL-BUDAYA
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku indidvidu. Seorang individu pada dasrnya produk lingkungan sosial
budaya dimana ia hidup. Sejak kelahirannya, ia suadah didik dan dibelajarkan untuk
mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial budaya yang berada
disekitarnya. Kegagalan dakam memenuhi tuntutan sosial budaya dapat menyembabkannya
tersingkir dari lingkungan. Lingkungan sosial budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi
individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan
perilaku dan kepribadian individdu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial
budaya ini tidak dijembatani, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun
eksternal yang pada akhirnya menghambat proses perkembangan pribadi dan perilaku
individu yang bersangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling komunikasi interpersonal akan terjadi antara konselor dengan
klien, dimana keduanya kemungkinan bisa memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda.
Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang
mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu :
a. Perbedaan bahasa,
b. Komunikasi nonverbal,
c. Stereotipe,
d. Kecenderungan menilai.
e. Kecemasan.

Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang


berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa nonverbal pun seringkali
memiliki

makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe

cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka


subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilain terhadap orang-orang lain
disamaping dapat menghasilkan penilain positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksireaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain
yang unsur-unsurnya dirasakan lain. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan
suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, menyebabkan dia tidak tahu sama sekali

apa, dimana, dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komunikasi sosial antara konselor
dengan klien dapat berjalan harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu
diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006)
menegetengahkan tentang trend bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan
dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya
plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengab landasan semangat
Bhinneka Tunggal Ika, yaitu kesamaan diatas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling
hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu
mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam kondisi pluralistik.

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan


pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran
layanan (klien).
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan kebudayaan sebagai
faktor yang mempengaruhi perilaku indidvidu. Seorang individu pada dasrnya
produk lingkungan sosial budaya dimana ia hidup

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna.Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik membangun yang
ditunjukan demi kesempurnaan makalahini.

Anda mungkin juga menyukai