Anda di halaman 1dari 117

KAJIAN PROGRAM PENCAIRAN BATUBARA

Gandhi Kurnia Hudaya, Bukin Daulay, Miftahul Huda, Nining Sudini


Ningrum, Hermanu Prijono, Darsa Permana, Lely Agustiana, Slamet
Suprapto, Datin Fatia Umar, Yuliani Maulizar, Tuti Hernawati, Iwan
Rijwan, Dedy Yaskuri, Fahmi Sulistyohadi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Kami mengucapkan rasa sukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat
dan karuniaNyalah maka laporan kegiatan litbang Kajian Program Pencairan Batubara dapat
selesai dilaksanakan. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan Kelompok Pelaksana Litbang
Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral dan Batubara Tahun Anggaran 2011.
Penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia saat ini sudah melebihi dari produksinya
sehingga pemerintah harus mengimpor bahan bakar minyak yang pada ujungnya menguras
devisa negara serta mengakibatkan rawannya keuangan negara apabila terjadi fluktuasi harga
bahan bakar minyak di dunia internasional. Disisi lain, cadangan minyak di indonesia juga
tinggal sedikit sehingga sangat sulit bagi pemerintah untuk meningkatkan jumlah produksinya.
Oleh karena itu pemerintah harus mencari bahan bakar alternatif. Salah satu sumber daya alam
yang dapat dijadikan baan bakar alternatif adalah batubara. Jumlah cadangan batubara di
indonesia saat ini yang cukup meimpah serta telah tersedianya teknologi untuk mengkonversi
batubara menjadi bahan bakar minyak atau teknologi pencairan batubara menyebabkan
semakin pentingnya peran batubara sebagai pengganti minyaks. Yang saat ini perlu dilakukan
adalah keseriusan pemerintah untuk mendukung terwujudnya pabrik komersial pencairan
batubara di Indonesia.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan arah program pencairan batubara
sehubungan dengan perkembangan terbaru dalam bidang IPTEK, bisnis dan lingkungan. Kajian
kebijakan teknis di bidang pencairan batubara ini diperlukan sebagai upaya komprehensif
pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang tepat dalam upaya penerapan teknologi
pencairan batubara di Indonesia dengan cara menampung aspirasi, pendapat, informasi dan
masukan lainnya baik dari pemerintah, pihak swasta dan akademisi.
Kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama rekan-rekan khususnya anggota tim
pencairan batubara dan umumnya karyawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Mineral dan Batubara (tekMIRA) atas bantuan dan kontribusinya selama ini sehingga kegiatan
i

penelitian dan pengembangan tim pencairan batubara dapat berjalan dengan baik dan lancar
sebagaimana yang direncanakan dalam Rencana Operasional Tim. Ucapan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya juga kami berikan kepada para narasumber, undangan dan
pihak-pihak yang telah bersedia membantu diskusi, pengisian kuesioner serta membantu
kelancaran penyelenggaraan FGD 1 dan 2 sehingga kami dapat memperoleh data dan informasi
yang berguna sebagai bahan analisa dalam kegiatan kajian program pencairan batubara ini.
Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat sehingga data yang diperoleh kemudian
dianalisa serta diharapkan dapat dibuat semacam policy paper yang akan menjadi acuan baik
bagi pemerintah maupun bagi kalangan usaha dalam hal penerapan teknologi pencairan
batubara di Indonesia.

Bandung,

Desember 2011

Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Ir. Hadi Nursarya, M.Sc.


NIP. 19540306 197803 1 001

ii

Sari
Pemerintah saat ini menghadapi krisis akibat kenaikan harga minyak mentah dunia
internasional. Status Indonesia sebagai negara pengimpor minyak dan adanya subsidi BBM
mengakibatkan keuangan pemerintah rentan. Padahal, sesuai dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
ditambah juga telah adanya Perpres No. 1 dan No. 5 serta Inpres No. 2 tahun 2006 maka
pemerintah dapat memaksimalkan pengolahan batubara di dalam negeri. Salah satu teknologi
pengolahan batubara yang akan diaplikasikan adalah teknologi pencairan batubara.
Pembangunan pabrik pencairan batubara akan mengoptimalkan manfaat batubara dalam
negeri, meningkatkan penerimaan negara, lapangan kerja, dan menciptakan multiplier effect
batubara. Mengingat dampak positif atas keberadaan pabrik pencairan batubara yang sangat
besar, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan prioritas tinggi bagi berdirinya pabrik
pencairan batubara di Indonesia.
Proses pencairan batubara adalah proses mengkonversi batubara menjadi minyak seperti bensin
atau solar. Proses ini sering diistilahkan sebagai coal liquefaction atau coal to liquids (CTL). Ada
dua cara menghasilkan minyak dari batubara yaitu melalui pencairan batubara secara langsung
(direct coal liquefaction/DCL) dan pencairan batubara secara tidak langsung (in-direct coal
liquefaction/ICL) yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arah program pencairan batubara sehubungan
dengan perkembangan terbaru dalam bidang IPTEK, bisnis dan lingkungan. Kajian kebijakan
teknis di bidang pencairan batubara ini diperlukan sebagai upaya komprehensif pemerintah
untuk menyiapkan kebijakan yang tepat dalam upaya penerapan teknologi pencairan batubara
di Indonesia dengan cara menampung aspirasi, pendapat, informasi dan masukan lainnya baik
dari pemerintah, pihak swasta dan akademisi.
Metode penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data dan informasi melalui pembuatan
dan pengumpulan kuesioner, diskusi dan wawancara serta pelaksanaan FGD. Kemudian
dilakukan pengolahan data serta analisa untuk menghasilkan policy paper.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan keseriusan dan konsistensi pemerintah jika
ingin membangun pabrik komersial pencairan batubara di Indonesia. Beberapa faktor yang
harus menjadi perhatian adalah faktor kepastian supplai batubara, harga batubara dan modal
besar. Kebijakan pemerintah untuk faktor-faktor tersebut sangat menentukan kelayakan pabrik
pencairan di indonesia yang komersial.
iii

Kata Kunci : pencairan batubara, kebijakan, batubara

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .

Sari iii
Daftar Isi

iv

Daftar Gambar .

vii

Daftar Tabel .

viii

Daftar Foto.

ix

BAB I PENDAHULUAN

I-1

1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.

I-1
I-3
I-4
I-4
I-4

Latar Belakang .
Ruang Lingkup Kegiatan ..
Tujuan
Sasaran .
Lokasi Kegiatan .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..

II-1

2.1.

Kondisi Industri Batubara Indonesia .

II-1

2.1.1 Sumber Daya dan Kualitas Batubara

II-1

2.2.

2.1.1.1 Sumber Daya Batubara ..

II-1

2.1.1.2 Kualitas Batubara

II-3

2.1.2 Pengusahaan, Produksi dan Penjualan .

II-6

2.1.2.1 Pengusahaan Batubara ..

II-6

2.1.2.2 Produksi Batubara

II-9

2.1.2.3 Penjualan Batubara .

II-10

2.1.2.3.1 Penjualan Batubara Dalam Negeri ..

II-10

2.1.2.3.2 Ekspor

II-11

Perkembangan Teknologi Pencairan Batubara..

II-12

2.2.1 Pengertian Pencairan Batubara .

II-12

2.2.2 Sejarah Teknologi Pencairan Batubara .

II-15
iv

2.2.3 Status Teknologi Pencairan Batubara

II-19

BAB III PROGRAM KEGIATAN ..

III-1

3.1.

Pembuatan Kuesioner 1..

III-1

3.2.

Pembagian Kuesioner dan Diskusi

III-2

3.3.

Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)

III-3

3.4.

Koordinasi dengan Instansi Terkait ...

III-3

BAB IV METODOLOGI ..

IV-1

4.1. Pendekatan Metodologi ..

IV-1

4.2. Pelaksana Kegiatan Penelitian Pencairan Batubara ...

IV-2

4.3. Anggaran Kegiatan .

IV-4

4.4. Pelaksanaan Kegiatan Pencairan Batubara

IV-5

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...

V-1

5.1. Hasil Kegiatan ..

V-1

5.2.

5.1.1 Hasil Pembagian Kuesioner

V-1

5.1.2 Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) ..

V-6

5.1.3 Koordinasi dengan Instansi Terkait ..

V-7

Pembahasan ...

V-8

5.2.1 Analisa Kelayakan Bisnis .......................................................

V-9

5.2.2 Keekonomian Pabrik Pencairan Batubara .

V-13

5.2.2.1 Teknologi BCL, Jepang ..

V-13

5.2.2 2 Teknologi SASOL, Afrika Selatan .

V-16

5.2.2.3 Teknologi CCT FT, Afrika Selatan ...

V-22

5.2.3 Rekomendasi Teknologi Pencairan Batubara

V-27

5.2.3.1 Teknologi SASOL ..

V-27

5.2.3.2 Teknologi CCT FT .

V-29

5.2.4 Potensi Batubara untuk Bahan Baku Pencairan Batubara

V-32

5.2.4.1 Pertimbangan Pemilihan Batubara Sebagai Bahan Baku

V-32

5.2.4.1.1 Batubara Pendopo, Sumatera Selatan .

V-33

5.2.4.1.2 Batubara Muara Wahau, Kalimantan Timur

V-35

5.2.5 Landasan Hukum Program Pencairan Batubara

V-37

5.2.6 Aspek Lingkungan ..

V-38

5.2.7 Tantangan Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara .

V-39

5.2.8 Upaya Implementasi yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia


Dalam Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara

V-41

5.2.8.1 Status Kerjasama Indonesia Jepang .

V-42

5.2.8.2 Status Kerjasama Indonesia SASOL .

V-44

5.2.8.3 Status Kerjasama CCT FT Swasta Indonesia ..

V-46

BAB VI REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI-1

6.1. Pendirian Unit/Badan Pelaksana Pencairan Batubara ..

VI-3

6.2. Kebijaksanaan Penggunaan dan Harga Batubara untuk Energi Domestik

VI-4

6.3. Kebijakan Harga BBM Produk Pencairan Batubara ..

VI-7

6.4. Kebijakan Permodalan (Jaminan Pinjaman)

VI-8

6.5. Pemberian Insentif .

VI-9

BAB VII PENUTUP

VII-1

7.1. Kesimpulan .

VII-1

7.2. Saran

VII-1

Daftar Pustaka
LAMPIRAN

vi

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Halaman

I.1 Perkiraan Kebutuhan Energi dari Berbagai Skenario

I-2

II.1 Perkembangan Sumber Daya Batubara Indonesia ................................

II-2

II.2 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Per Wilayah


Koridor

II-2

Ekonomi ..
II.3 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Per Wilayah .

II-3

II.4 Fasilitas Terminal Batubara di Indonesia


II.5 Cadangan Batubara Tiap Pulau di Indonesia Berdasarkan Nilai Kalori
.
II.6 Produksi dan Penjualan Batubara Indonesia .........................................
II.7 Proses Pencairan Batubara ..
II.8 Proses Pencairan Batubara Teknologi BCL .
II.9 Sejarah Pengembangan Pabrik SASOL .
V.1 Mata Rantai Nilai Tambah Batubara
V.2 Pengaruh Harga Batubara pada IRR Pabrik Pencairan Batubara

II-4
II-5

Teknologi

II-9
II-13
II-20
II-22
V-9
V-16

BCL-Jepang dengan Menggunakan Batubara Pendopo ..


V.3 Target IRR yang Diinginkan SASOL

V-20

V.4 Pengaruh Biaya Investasi Pada IRR Teknologi CCT FT ..


V.5 Pengaruh Harga Jual Diesel Pada IRR Teknologi CCT FT
V.6 Pengaruh Harga Jual Naptha Pada IRR Teknologi CCT FT .

V-25
V-25
V-26

V.7 Pengaruh Harga Batubara Pada IRR Teknologi CCT FT ..


V.8 Alur Proses Teknologi SASOL

V-26
V-28

V.9 Distribusi Produk Pencairan Batubara SASOL

V-29

V.10 Proces CCT FT ..

V-30

V.11 Proses dan Beberapa Jenis Produk Dari Teknologi CCT FT ..

V-31

V.12 Peta Lokasi Batubara Pendopo .

V-34

V.13 Peta Lokasi Batubara Muara Wahau ..

V-36

VI.1 Perkembangan Harga Batubara pada Tahun 2009 dan 2011 ...

VI-6
vii

DAFTAR TABEL
Tabel
II.1 Perkembangan Proyek Pencairan Batubara Dunia Sampai Tahun 1945

Halaman
II-16

II.2 Percobaan Teknologi Pencairan Batubara .

II-17

II.3 Pabrik Percontohan Pencairan Batubara Secara Langsung, 1960- 2008


..
IV.1 Pelaksana Kegiatan

II-20

IV.2 Anggaran Kegiatan

IV-4

IV.3 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan ..


V.1 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi BCL Jepang .

IV-5
V-10

V.2 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi CCT FT

V-10

V.3 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi SASOL .

V-10

IV-2

V.4. Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi BCL-Japan
kapasitas 26905 barel/hari
V.5. Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi ICL-SASOL
kapasitas 80.000 barel/hari ..
V.6 Ringkasan Asumsi .........................................................................
Tabel V.7 V.7 Perhitungan Arus Kas Untuk IRR .........................................................
V.8 Total Sumber Daya Batubara di Daerah Pendopo (dalam Jutaan Ton)

V-14
V-18
V-21
V-24
V-34

V.9 Sumber Daya Batubara di Daerah Muara Wahau .

V-37

VI.1 Fasilitas Bidang Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Sesuai
Lampiran I PP No. 62 Tahun 2008 .

VI-11

viii

DAFTAR FOTO
FOTO

Halaman

II.1 Pabrik DCL Shenhua di Inner Mongolia, 2008 .

II-18

II.2 Pabrik Pencairan SASOL di Afrika Selatan .

II-19

ix

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia pada tahun 2011 ini khususnya dalam aspek politik menjadi panas oleh
rencana pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) khususnya premium. Tujuan
pembatasan ini memang baik yaitu untuk mengurangi pengeluaran negara khususnya subsidi
BBM, namun karena efek tidak langsungnya akan meningkatkan biaya transportasi, inflasi dan
meningkatkan harga-harga barang khususnya sembako maka banyak kalangan yang
menentangnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus seperti ini tidak hanya terjadi saat ini
namun di masa mendatang juga dapat terjadi lagi. Itulah risiko menjadi negara pengimpor
minyak bumi. Meskipun demikian, seharusnya rencana pembatasan BBM ini tidak akan muncul
apabila Indonesia mampu memproduksi BBM sesuai dengan permintaan pasar.
Seperti diketahui bahwa salah satu tantangan krusial dalam pembangunan nasional adalah
masalah penyediaan energi cair (BBM). Kebutuhan akan bahan bakar minyak (BBM) semakin
meningkat sejalan dengan laju pembangunan. Konsumsi minyak pada tahun 2010 adalah
sebesar 497 juta barel, sedangkan realisasi produksi minyak bumi pada tersebut adalah 344,7
juta barel atau sekitar 941.000 barel per hari, sehingga ada kekurangan sekitar 152 juta barel.
Kondisi seperti ini akan terus berlangsung karena konsumsi minyak pada tahun 2025 diprediksi
akan mencapai 1.793 juta barel (skenario bisnis as usual/BAU) atau 640 juta barel/hari (skenario
Perpres No.5 Tahun 2006) atau sekitar 857 juta barel (skenario visi 25/25; Indonesia tetap defisit
minyak walaupun digunakan energi baru terbarukan sebesar 25% dan dilakukan penghematan
sampai 33%), seperti terlihat pada Gambar I.4. Di sisi lain produksi minyak bumi Indonesia
cenderung turun terus.
Produksi minyak bumi tidak lagi sebesar 1 juta barel per hari atau lebih seperti pada tahuntahun sebelumnya. Saat ini (2011) produksi minyak bumi hanya sekitar 907.000 barel per hari,
walaupun ditargetkan produksinya sekitar 970.000 barel perhari. Penurunan produksi ini terjadi
secara alamiah di beberapa sumur minyak, sehingga diperlukan eksplorasi yg efektif dan

I-1

investasi besar utk pencarian cadangan baru atau diperlukan teknologi enhanced oil recovery
(EOR) untuk mendorong minyak dari sumur-sumur tua.

Gambar I.1 Perkiraan Kebutuhan Energi dari Berbagai Skenario

Pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri dalam jangka panjang akan menghadapi
banyak tantangan antara lain sebagai berikut:

a) Pasokan minyak mentah: Produksi minyak mentah dalam negeri diperkirakan akan menurun
30% pada tahun 2020, sementara produksi minyak mentah import yang saat ini diolah
(sebagai tambahan dari ketersediaan minyak mentah domestik entitlement pemerintah)
juga akan menurun. Minyak mentah pengganti yang akan tersedia di pasar kedepan akan
lebih banyak dari jenis sour crude dari pada sweet crude. Sementara sebagian besar kilang
Pertamina di desain untuk mengolah sweet crude.

b) Rendahnya minat investasi pembangunan kilang: Pembangunan kilang membutuhkan biaya


investasi yang sangat besar, memakan waktu lama, sementara marginnya sangat volatile
tergantung pada spread harga dibandingkan dengan alternatif investasi di bidang lainnya.
I-2

Dalam kondisi seperti ini, investor mensyaratkan diberikannya paket insentif baik fiskal
maupun non fiskal serta terintegrasinya kilang dengan retail untuk meningkatkan
keekonomian.

c)

Kualitas BBM: Seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi industri automotif yang
menuntut perbaikan kualitas bahan bakar dan kesadaran masyarakat yang meningkat akan
kualitas lingkungan hidup yang semakin baik, memberikan pengaruh pada peningkatan
standar kualitas bahan bakar yang harus disediakan oleh kilang.
Batubara cair (coal to liquid/CTL) dari hasil proses pencairan batubara dapat menjadi

alternatif untuk penyediaan bahan bakar cair di dalam negeri karena cadangan batubara
tersedia dalam jumlah banyak yang dapat dikonversi menjadi bahan bakar cair yang fungsinya
sama dengan BBM yang berasal dari minyak bumi. Teknologi pencairan batubara saat ini sudah
terbukti dan dapat diaplikasikan secara menguntungkan. Afrika Selatan dengan SASOL-nya
adalah bukti nyata keberhasilan komersialisasi pencairan batubara.
Meskipun demikian, usaha penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia hingga
saat ini belum terlihat akan mewujud dalam waktu dekat. Banyak hambatan dan tantangan yang
menghadang baik bagi pemerintah maupun bagi kalangan pengusaha sendiri. Oleh karena
itulah kajian kebijakan teknis di bidang pencairan batubara ini diperlukan sebagai upaya
komprehensif pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang tepat dalam upaya penerapan
teknologi pencairan batubara di Indonesia dengan cara menampung aspirasi, pendapat,
informasi dan masukan lainnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dan diharapkan dapat
dibuat makalah kebijakan (policy paper) yang akan menjadi acuan baik bagi pemerintah maupun
bagi kalangan usaha dalam hal penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia.

1.2. Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup kegiatan penelitian meliputi:

Studi

literatur

mengenai

industri

perbatubaraan

di

Indonesia,

teknologi

dan

perkembangan pencairan batubara, dan kebijakan-kebijakan yang membantu penerapan


teknologi pencairan batubara.

I-3

Inventarisasi penelitian dan pengembangan pencairan batubara hingga saat ini, termasuk
prospek batubara sebagai bahan baku dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam upaya
implementasi.

Pembuatan kuesioner dan distribusi kuesioner.

Melakukan wawancara dan diskusi

Melakukan Focus Group Discussion (FGD) I dan II

Evaluasi kegiatan dan analisa data

Membuat Laporan

1.3. Tujuan
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah menghimpun data dan informasi yang akan
dipergunakan untuk menentukan arah program pencairan batubara di Indonesia sehubungan
dengan perkembangan terbaru dalam bidang IPTEK, bisnis dan lingkungan.

1.4. Sasaran
Ada 3 sasaran yang diharapkan tercapai dalam penelitian ini, yaitu :
a. Mendapatkan data dan informasi mengenai kemajuan program pencairan batubara di
Indonesia, termasuk di dalamnya tentang peluang, hambatan dan tantangan selama ini.
b. Mendapatkan data dan informasi mengenai pendapat masyarakat batubara khususnya
pelaku bisnis, aparat pemerintah dan ilmuwan/peneliti tentang program pencairan batubara
khususnya di Indonesia.
c. Menghasilkan rekomendasi mengenai perlu tidaknya program pencairan batubara di
Indonesia.
d. Menghasilkan policy paper tentang program pencairan batubara di Indonesia

1.5. Lokasi Kegiatan


Lokasi kegiatan penelitian dipusatkan pada beberapa perusahaan penambangan
batubara besar di Indonesia yang diprediksi dapat menyediakan (supplai) bahan baku untuk
I-4

pencairan batubara. Selain itu dilakukan juga pembagian kuesioner pada saat ada kegiatan
dimana yang menghadiri kegiatan tersebut adalah target responden dari program penelitian
pencairan batubara. Lokasi-lokasi kegiatan itu adalah :
a. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT DH Energy dan PT Pendopo
Energi Batubara yang memiliki tambang batubara di Sumatera Selatan dengan cadangan
sebesar 700 juta ton dan sumber daya 2 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT DH
Energy dan PT Pendopo Energi Batubara, Jakarta.
b. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Bhakti Energi Persada yang
memiliki tambang batubara di Wahao, Kalimantan Timur dengan cadangan sebesar 5,9
milyar ton dan sumber daya sekitar 10 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Bhakti
Energi Persada, Jakarta.
c. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Ilthabi Bara Utama yang memiliki
tambang batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dengan cadangan 270 juta ton
dan sumber daya sekitar 3,3 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Ilthabi Bara Utama,
Jakarta.
d. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Tambang Batubara Bukit Asam
(Persero) Tbk yang memiliki tambang batubara di Sumatera Selatan dengan sumber daya
sekitar 7,5 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Tambang Batubara Bukit Asam
(Persero) Tbk, Jakarta.
e. Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan PT Adaro Indonesia Tbk yang
memiliki tambang batubara di Tanjung, Kalimantan Selatan dengan cadangan sebesar 824
juta ton dan sumber daya sekitar 3,4 milyar ton. Lokasi pertemuan di kantor PT Adaro
Indonesia, Jakarta.
f.

Melakukan diskusi dan wawancara dengan perusahaan Clean Coal Technology-SA LTd,
Afrika Selatan dan Stern Stewart Capital Partners Pte Ltd, Afrika Selatan yang memiliki
teknologi pencairan batubara berbasiskan modul fixed bed dan model bisnis batubara yang
rencananya akan dikembangkan di Indonesia. Lokasi pertemuan di Hotel Gran Melia, Jakarta.

g. Melakukan diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah Sumatera Selatan khususnya
Dinas Pertambangan dan Energi pada tanggal 23-27 Mei 2011 untuk membicarakan
I-5

pencairan batubara dan perusahaan batubara di Sumatera Selatan yang memiliki potensi
untuk terlibat di dalamnya serta pembicaraan mengenai peningkatan nilai tambah batubara
di Sumatera Selatan pada umumnya. Lokasi pertemuan di Kantor Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Sumatera Selatan, Palembang.
h. Melakukan kegiatan Focus Group Discussion 1 pada tanggal 25 Juli 2011 dengan tema Quo
Vadis Pencairan Batubara di Indonesia. Lokasi kegiatan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan
dengan jumlah undangan 90 orang dari kalangan akademisi, pengusaha dan aparat
pemerintah pusat dan daerah. Kegiatan dilangsungkan setengah hari yang diakhiri dengan
makan siang bersama.
i.

Melakukan serangkaian pertemuan dengan Ditjen Migas sehubungan dengan program


pencairan batubara terkait dengan teknologi CCT-SA Ltd dan teknologi Coal to Etanol yang
dipresentasikan oleh PT Sanggaran Dwi Makmur dan Chelanese dari Amerika Serikat.
Laporan pertemuan terlampir.

j.

Mengikuti acara FGD tentang program pencairan batubara yang dilaksanakan oleh BKPM di
Palembang, Sumatra Selatan dan di Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 13-14 Juli
2011.

k. Melakukan diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah Kalimantan Selatan


khususnya Dinas Pertambangan dan Energi pada tanggal 9-11 November 2011 untuk
membicarakan pencairan batubara dan perusahaan batubara di Kalimantan Selatan yang
memiliki potensi untuk terlibat didalamnya serta pembicaraan mengenai peningkatan nilai
tambah batubara di Kalimantan Selatan pada umumnya. Lokasi pertemuan di Kantor Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan.
l.

Melakukan kegiatan Focus Group Discussion 2 pada tanggal 13 Desember 2011 dengan
tema Peranan Pemerintah untuk Mendorong Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara di
Indonesia. Lokasi kegiatan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan dengan jumlah undangan 40
orang dari kalangan akademisi, pengusaha dan aparat pemerintah pusat dan daerah.
Kegiatan dilangsungkan setengah hari diakhiri dengan makan siang bersama.

m. Melakukan diskusi dengan instansi-instansi terkait di lingkungan Kementrian Energi dan


Sumber Daya Mineral (KESDM) di Jakarta seperti Ditjen Minerba, Ditjen EBTKE, Ditjen Migas

I-6

dan Balitbang ESDM serta instansi lain di luar KESDM di Jakarta seperti BKPM, Kemenko
Ekonomi, DEN dan lainnya. Diskusi ini dilakukan sepanjang tahun 2011 selama penelitian
berlangsung.

I-7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kondisi Industri Batubara Indonesia


Pada saat ini perkembangan industri batubara di Indonesia sudah sangat maju, ditandai

dengan banyaknya perusahaan yang menanamkan modalnya, baik dari investor luar maupun
dalam negeri untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi batubara, sehingga terjadi
kenaikan produksi batubara yang sangat signifikan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini.
Perkembangan industri batubara Indonesia juga ditandai dengan tingginya ekspor batubara dari
tahun ketahun, namun sayangnya tidak didukung dengan penggunaan batubara di dalam
negeri yang cenderung sangat rendah.

2.1.1 Sumber Daya dan Kualitas Batubara


2.1.1.1 Sumber Daya Batubara
Endapan batubara Indonesia tersebar luas di seluruh kepulauan, namun batubara yang
bernilai ekonomis hanya terkonsentrasi pada cekungan-cekungan Tersier di Indonesia bagian
barat yaitu di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Endapan batubara dengan potensi kecil (<5 juta
ton) terdapat pada cekungan-cekungan Tersier di Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Sulawesi dan
Papua. Pada umumnya lapisan batubara Indonesia mempunyai ketebalan 0,5 - 12 meter,
walaupun dilaporkan ada lapisan batubara yang mempunyai ketebalan mencapai 40 meter di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Dari hasil eksplorasi intensif yang dilakukan baik oleh swasta, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maupun pemerintah, diketahui sumber daya batubara Indonesia sebesar 105,19 miliar
ton (Badan Geologi, 2010; Gambar II.1). Walaupun sumber daya batubara tersebut tergolong
cukup besar tetapi yang dapat diklasifikasikan sebagai cadangan terukur relatif kecil yaitu hanya
sekitar 21,13 miliar ton. Sumber daya batubara Indonesia terpusat di Pulau Sumatera (54,6%)
dan Kalimantan (45,3%) seperti terlihat pada Gambar II.2 dan II.3.

II-1

Dengan potensi batubara yang sedemikian besar di atas (belum termasuk potensi
batubara

untuk

tambang

bawah

tanah),

tantangan

kedepan

adalah

mengupayakan

perimbangan strategis antara peran penting batubara sebagai energi primer yang ekonomis
bagi kegiatan produksi di Indonesia dan mengubah cara pandang konvesional sekedar untuk
penerimaan negara.

Sumberdaya

60,51

7,00
2004

Cadangan
93,40

104,94

105,19

65,40

61,37

9,48

6,76
2005

104,76

2006

18,71

2007

18,78

2008

21,13

2009

21,13

2010

Gambar II.1 Perkembangan Sumber Daya Batubara Indonesia (milyar ton)

9.580,63
11.549,25

0,12

CADANGAN BATUBARA (JUTA TON)

II-2

Gambar II.2 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara


Per Wilayah Koridor Ekonomi

KALTIM

KALTENG
-Marunda Graha M
-Multi Tambang Jaya Utama

IU
P
21.82
39.00

RIAU
-Riau Bara Harum

IU
P

-Berau
-Dharma PM
-G. Bayan
-Indominco
-Insani BP
-Interex SC
-KPC
-Kartika SM

IU
P
6093
3603

IU
P
7914
2045

90.24
98.54

IU
P

IU
P

IU
P

-Kideco JA
-Lanna Harita
-MSJ
-Mandiri IP
-MHU
-Tanito
-Trubaindo

2387

KP2898

SUMBAR
-Batu Alam Selaras
-Intitirta Prima Sakti
-Pendopo Energi Batubara
-Baturona Adimulya
-Bukit Asam (IUP BUMN)

KALSEL

-Adaro
-Arutmin
-Antang
-BCS
-Baramarta
-Baramulti
-Jorong

16519

Sumberdaya batubara PKP2B dan IUP BUMN tahap produksi (juta ton)

8699

Cadangan batubara PKP2B tahap produksi (juta ton)

-Kadya CM
-SKB
-Tanjung AJ
-Bangun B
-KEL
-Liangang C
-Borneo IB

Jumlah Sumberdaya = 16,51 milyar ton, Cadangan = 8,69 milyar ton

IUP:
Sumber daya 82,8 milyar ton
Cadangan 1,8 milyar ton

Sumber Data Laporan RKAB PKP2B Tahun 2010

Gambar II.3 Penyebaran Sumber Daya dan Cadangan Batubara Per Wilayah

Gambar II.4 memperlihatkan peta lokasi fasilitas dan kapasitas terminal angkutan
batubara di beberapa wilayah Indonesia, terutama di bagian timur dan selatan Pulau Kalimantan
serta bagian selatan dan barat pulau Sumatera. Seperti diketahui bahwa konsumen domestik
batubara terutama terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera.

2.1.1.2 Kualitas Batubara


Kualitas batubara Indonesia sangat bervariasi. Hal ini sangat erat hubungannya dengan
kondisi atau lingkungan pengendapan tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Mengingat
sebagian besar batubara Indonesia terbentuk pada cekungan-cekungan sedimentasi Tersier
berumur Neogen, maka batubara tersebut memiliki peringkat lignit dan subbituminus dengan
nilai kalori rendah dan sedang. Hanya di beberapa tempat, seperti di daerah Bukit Asam II-3

Sumatera Selatan,

Bengkulu Sumatera dan Kubah Pinang (Sangata), Kalimantan Timur,

dimana batubara peringkat rendah di daerah-daerah tersebut terpengaruh oleh panas dari
intrusi magma sehingga menyebabkan kualitas (nilai kalor) batubara meningkat, ada yang
mencapai peringkat antrasit.

THAILAND

Kapasitas maksimum terminal (DWT)

LAOS

Manila

Bangkok
CAMBODIA

Ban
Mabtapud

Phnom
Penh

Philipines

Ho Chi
Minh City

China

Erawan

Khanon
Songkhla

Sea

Bangkot
Lawit

Jerneh
Kota
Kinibalu

Guntong
Banda Aceh

Penang

Lhokseumawe

West
Natuna

WEST Kerteh Duyong


Mogpu
MALAYSIA
Port Klang
Medan

Tarakan 7.500
Muara Pantai 150.000
Tanjung Redep 5.000
Tanjung Bara 210.000
Tanjung Meranggas 90.000
Muara Berau 8.000
B el o r o 8.000
Loa Tebu 8.000
Balikpapan 65.000
Tanah Merah 60.000

South

VIETNAM

Natuna

BRUNEI

Alpha

Bandara Seri
Begawan

Kuala
Lumpur

Port
Dickson
Dumai

Bintul
u
EAST
MALAYSIA

Pacific Ocean
Manado

SINGAPORE
Batam Bintan

Duri

Kuchin
g

Ternate

HALMAHERA

Bontang

Sorong

KALIMANTAN

Padang

Samarinda

Jayapura

Balikpapan

Jambi

SULAWESI
Grissik

Banjarmasin

Palembang

BURU
Ujung
Pandang

Tarahan 40.000
Pulau Baai 40.000

Jakarta

MADURA

Semarang

JAVA

Bangkalan
Surabaya

Kertapati 7.000
Teluk Bayur 35.000

I Pagerungan
N D O N E S I A

BALI

SUMBAWA

FLORES

LOMBOK

Indian
Ocean

TIMOR

SUMBA

Apar Bay 6.000


Tanjung Pemancingan 8.000
IRIAN JAYA
North Pulau Laut 150.000
SERAM
Tanjung Peutang 8.000
IBT 200.000
Sembilang
7.500
TOTALCAPACITY
Air Tawar* 7.500
Merauke
24,000
MW
Muara
Satui
7.500
S a t u i* 5.000
Kelanis* 10.000
Jorong 7.000
AUSTRALIA
Taboneo 15.000

Gambar II.4 Fasilitas Terminal Batubara di Indonesia

Klasifikasi batubara Indonesia mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2000 yang
diperbaharui dengan PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi bidang Pertambangan Umum.
Berdasarkan klasifikasi itu maka batubara Indonesia dibagi menjadi empat macam yaitu :

Batubara Kalori Rendah, adalah jenis batubara yang paling rendah peringkatnya, bersifat
lunak-keras, mudah diremas, mengandung kadar air tinggi (10-70%), memperlihatkan
struktur kayu, nilai kalorinya < 5100 kal/gr (adb).

Batubara Kalori Sedang, adalah jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi, bersifat lebih
keras, mudah diremas tidak bisa diremas, kadar air relatif lebih rendah, umumnya struktur
kayu masih tampak, nilai kalorinya 5100 6100 kal/gr (adb).
II-4

Batubara Kalori Tinggi, adalah jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi, bersifat lebih
keras, tidak mudah diremas, kadar air relatif lebih rendah, umumnya struktur kayu tidak
tampak, nilai kalorinya 6100 - 7100 kal/gr (adb).

Batubara Kalori Sangat Tinggi, adalah jenis batubara dengan peringkat paling tinggi,
umumnya dipengaruhi intrusi ataupun struktur lainnya, kadar air sangat rendah, nilai
kalorinya >7100 kal/gr (adb). Kualitas ini dibuat untuk membantasi batubara kalori tinggi.
Sebagian besar batubara Indonesia termasuk kalori rendah dan sedang hingga mencapai

88% dari total cadangan batubara Indonesia. Jumlah cadangan batubara Indonesia berdasarkan
klasifikasi dapat dilihat pada Gambar II.5.

7,06
5,80

4,17

Milyar Ton

Kalori Rendah
Kalori Sedang
1,97
1,65

Kalori Tinggi

Kalori Sangat Tinggi


0,31

Gambar II.5 Cadangan Batubara Tiap Pulau di Indonesia Berdasarkan Nilai Kalori
Sumber : Data Neraca Batubara Indonesia Tahun 2010, Badan Geologi, Kementerian ESDM
Secara rinci, batubara Indonesia terdiri atas batubara kalori rendah (<5.100 kkal/kg)
sebanyak 20,22%, batubara dengan kalori sedang (5.100-6.100 kkal/kg) 66,39%, batubara
dengan kalori tinggi (6.100-7.100 kkal/kg) 12,43%, dan 0,96% batubara dengan kalori sangat
II-5

tinggi (>7.100 kkal/kg). Distribusi kualitas batubara tersebut dihitung dengan basis air dried
basis (adb). Jumlah batubara kalori rendah diperkirakan akan mencapai 60% dari total sumber
daya batubara Indonesia bila perhitungan dilakukan dengan basis as received (ar).
Secara umum kandungan mineral atau abu yang terdiri atas mineral lempung, kuarsa,
pirit dan kalsit umumnya bervariasi dari 1 sampai 16%. Kandungan sulfur pada sebagian besar
batubara umumnya adalah rendah (<1%), walaupun ada batubara yang terbentuk di bagian
utara Kalimantan Timur memiliki kandungan sulfur mencapai 3,0%. Nilai ketergerusan (HGI)
batubara Indonesia dibagi menjadi 4 grup, yaitu sangat keras (<40), keras (40-<50), sedang (5060) dan lembek (>60). Kandungan natrium pada batubara Indonesia sangat bervariasi dan pada
umumnya cukup rendah (<2).

2.1.2 Pengusahaan, Produksi dan Penjualan Batubara


2.1.2. Pengusahaan Batubara
Semula izin pengusahaan pertambangan batubara di Indonesia dibedakan dalam tiga
pola, yaitu Badan

Usaha

Milik Negara

(BUMN), Perjanjian Kerjasama Pengusahaan

Pertambangan Batubara (PKP2B), dan Kuasa Pertambangan (KP). Namun setelah disahkannya
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka ke depan sistem
perizinan hanya ada satu jenis, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk satu wilayah tertentu.
Satu-satunya BUMN yang bergerak dalam bidang pengusahaan tambang batubara
adalah PT. Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), yang beroperasi di daerah Ombilin (Sumatera
Barat) dan Tanjung Enim (Sumatera Selatan). Pada awalnya, PTBA merupakan BUMN yang
ditunjuk pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) yang mewakili pemerintah
untuk mengelola seluruh produksi batubara nasional. Namun sejak tahun 1996, pemerintah
mengambil alih kembali tugas tersebut.
Pengusahaan dalam bentuk PKP2B dikelompokkan menjadi tiga, yaitu PKP2B Generasi I,
Generasi II, dan Generasi III. PKP2B dilakukan antara kontraktor dengan pemerintah, dengan
ketentuan sebagai berikut:

II-6

Terbuka bagi perusahaan PMDN dan PMA dengan luas awal daerah yang diminta dapat
mencapai 100.000 hektar;
Kegiatan pertambangan tidak dilakukan berdasarkan izin, tetapi berdasarkan kontrak
yang meliputi seluruh tahapan operasi penambangan;
Kontraktor bertanggung jawab penuh terhadap manajemen operasi dan membayar bagi
hasil bagian pemerintah sebesar 13,5% dari batubara yang terjual;
Kontraktor memiliki kewajiban untuk membayar pajak dengan besar sesuai peraturan
yang berlaku pada waktu kontrak ditandatangani.
Kontraktor dapat memulai program eksploitasi lebih awal dan melakukan tambang
percobaan untuk mendapat contoh uji coba penggunaannya.
Kontrak PKP2B Generasi I adalah kontrak penambangan batubara yang ditandatangani
selama kurun waktu tahun 1981 1993. Pada saat itu penandatanganan kontrak masih dalam
bentuk Kontrak Kerja Sama batubara (KKS Batubara) antara investor penambangan batubara
dengan PTBA mewakili pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. KKS batubara pada
awalnya berjumlah 11 kontraktor, tetapi pada saat ini yang masih beroperasi hanya 10
kontraktor. Satu kontraktor tidak melanjutkan operasi, yaitu PT. Chung Hua.
Kontrak PKP2B Generasi II adalah kontrak yang ditandatangani selama periode tahun
1993 1996. Mulai tahun 1993, bentuk kontrak diubah menjadi PKP2B. Pada saat kontrak PKP2B
Generasi II ditandatangani, Kuasa Pertambangan masih dipegang oleh PTBA. Kontraktor PKP2B
Generasi II ada 16 perusahaan, yang merupakan perusahaan penanaman modal dalam negeri
(PMDN). Beberapa kontraktor Generasi II diantaranya telah mulai berproduksi hingga saat ini.
Kontrak PKP2B Generasi III adalah kontrak yang ditandatangani selama kurun waktu
tahun 1996 2000. Dalam kontrak PKP2B Generasi III, Kuasa Pertambangan langsung dipegang
oleh pemerintah dengan pelaksananya adalah Direktorat Jenderal Pertambangan Umum (DJPU).
Kontrak PKP2B Generasi III telah menarik banyak investor besar untuk mengusahakan sektor
batubara, baik PMDN maupun PMA (Penanaman Modal Asing), dan saat ini tercatat sebanyak
79 kontraktor PKP2B Generasi III yang beroperasi.

II-7

Kontrak PKP2B generasi terakhir adalah Generasi III+ (susulan), yaitu kontrak
penambangan yang ditandatangani mulai tahun 2001 hingga sekarang. Pada saat ini ada dua
kontraktor PKP2B Generasi III+, yaitu PT. Kurnia Sarana Lestari dan PT. Mahakam Sumber Jaya,
keduanya berlokasi di wilayah Kalimantan Timur, dan masih dalam tahap penyelidikan umum
dan studi kelayakan.
Pengusahaan pertambangan batubara dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP)
dikelompokkan menjadi dua, yaitu KP swasta dan KP koperasi. Kedua jenis KP ini dikeluarkan
oleh pemerintah cq DJPU (waktu itu) atau Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi
(setelah itu) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sekarang). Pada awal tahun 2009
disyahkan UU No. 4 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun l967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan. UU No. 4 Tahun 2009, yang diantaranya memuat hal-hal
sebagai berikut :
a. Mengakhiri skema kontrak namun menghormati keberadaan kontrak yang ada;
b. Memberikan kepastian hukum kepada semua pelaku pertambangan;
c. Menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi;
d. UU Minerba mengamanatkan optimalisasi penerimaan Negara;
e. Ditetapkan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan
Wilayah Pencadangan Negara (WPN);
f.

Skema Perizinan berdasarkan UU Minerba: lzin Usaha Pertambangan (lUP):

IUP eksplorasi dan IUP Operasi Produksi;

lzin Pertambangan Rakyat;

IUP Khusus (IUPK) pada area eks Wilayah Cadangan Negara;

IUP dan IUPK terbuka baik untuk investor melalui lelang;

g. Penetapan IUP melalui sistem lelang, IUPK bisa diberikan oleh izin menteri di ex WPN
(WUPK);
h. Klarifikasi wewenang dan ruang lingkup Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota;
i.

Kewajiban Pemrosesan dan pemurnian logam harus dilakukan di Indonesia;

j.

Pengembangan masyarakat difokuskan pada kesejahteraan rakyat;

II-8

k. Demi kepentingan nasional. Pemerintah menetapkan domestic market obligation (DMO)


untuk mineral dan batubara;
l.

Perusahaan tambang dengan skema IUPK memiliki kewajiban untuk membagikan


keuntungan bersih setelah produksi sebersar 4% kepada Pemerintah dan 6% kepada Pemda;

m. Adanya mekanisme sanksi untuk pelanggaran;


n. Adanya ketentuan peralihan bagi perjanjian/kontrak yang sudah ada.

2.1.2.2 Produksi Batubara


Tambang batubara terutama berlokasi di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan
Sumatera Selatan,. Produksi batubara meningkat sebesar 16% per tahun selama 5 tahun
terakhir. Selama periode 2005-2010 produksi batubara Indonesia menunjukkan kenaikan yang
sangat signifikan. Pada tahun 2005 produksi batubara berjumlah 154 juta ton, dan pada tahun
2010 mencapai 275 juta ton, seperti diperlihatkan pada Gambar II.6. Perlu diinformasikan bahwa
data produksi tidak mencantumkan klasifikasi jenis batubara yang diproduksi, sehingga tidak
diketahui berapa jumlah dan presentase batubara peringkat rendah dari total produksi batubara
tersebut.

II-9

300

250
300
250

150
Tonase (Juta ton)

Juta Ton

200

100
50
0
2000
Produksi
77
Ekspor
58
Domestik 19

2001
93
65
27

2002
103
74
29

2003
114
86
29

2004
132
94
39

2005
153
111
42

2006
194
144
50

Catatan:
Domestik berdasarkan serapan dalam negeri sisanya ke ekspor (tahun 2007-2009)
Ekspor berdasarkan kompilasi data DJMB dan Pusdatin Kementerian Perdagangan

2007
217
163
54

2008
240
191
49

2009
256
198
58

200
150
100

76
57

2010
275
208
67

50

22

0
2000

Pertumbuhan Rata-rata Per Tahun :


Produksi = 12%
Domestik = 13%
Ekspor = 13%

Gambar II.6 Produksi dan Penjualan Batubara Indonesia

Realisasi produksi batubara pada tahun 2010 sebesar 275 juta ton dihasilkan oleh PKP2B
217 juta ton dan KP/IUP 57 juta ton. Untuk rencana produksi batubara pada tahun 2011
diperkirakan sekitar 327 juta ton dan tahun 2012 adalah sebesar 332 juta ton (Kepmen ESDM
No. 1991 Tahun 2011). Mengacu kepada jumlah cadangan dan rata-rata tingkat produksi
sebesar 275 juta ton per tahun untuk tambang terbuka, maka cadangan batubara Indonesia
akan habis dalam waktu 77 tahun terkecuali kalau ditemukan cadangan batubara baru. Padahal
pertumbuhan rata-rata produksi batubara adalah sekitar 12% pertahunnya.

2.1.2.3 Penjualan Batubara


II-10

2.1.2.3.1 Penjualan Batubara Dalam Negeri


Dari segi penggunaannya dalam dunia industri dan perdagangan, sebagian besar
batubara Indonesia termasuk kedalam jenis batubara uap (steam coal/termal coal). Batubara
Indonesia tergolong bersih dengan kandungan abu (<5%) dan sulfur yang rendah (S<1%),
sehingga tidak terlalu mencemari lingkungan. Karakteristik tersebut membuat batubara
Indonesia mampu bersaing di dunia perdagangan internasional. Batubara Indonesia yang
memiliki kalori tinggi sebagian besar diekspor ke luar negeri, sedangkan batubara peringkat
rendah dan sedang dipergunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik maupun
sebagai bahan bakar pada berbagai industri di lndonesia, seperti industri semen, tekstil dan
pupuk.
Kenaikan penjualan batubara dalam negeri akan sejalan dengan program akselerasi
untuk membangun 10.000 MW kapasitas listrik di tahap I dan satu lagi 10.000 MW di tahap II.
Pada tahap I, pembangkit listrik adalah 100% batubara. Untuk tahap II, pembangkit listrik akan
terdiri 40% batubara dan sisa 60% dari energi baru dan terbarukan, terutama panas bumi.
Pemanfaatan batubara di dalam negeri memperoleh gairah baru setelah diterbitkannya
UU No. Tahun 2009 dan Kepmen ESDM tentang domestic market obligation (DMO). Undangundang tersebut mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Ketentuan Pasal 102 UU No. 4 Tahun
2009 adalah dalam rangka memenuhi tujuan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
menginginkan bahwa kekayaan alam Indonesia adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut Pasal 84 ayat (3) PP No. 23 Tahun 2010 menyebutkan bahwa Pemegang IUP dan
IUPK OP dapat melakukan ekspor mineral dan batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya
kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri.
Volume batubara yang harus dijual di dalam negeri ditetapkan oleh Menteri ESDM
berdasarkan usulan rencana kebutuhan batubara oleh pemakai batubara dalam negeri antara
lain PT PLN, asosiasi, Departemen Perindustrian dan masyarakat. Rencana pemenuhan pasokan
batubara dalam negeri tahun 2011 sesuai Kepmen ESDM No. 2360 K/30/MEM/2010 sebesar
78,97 juta ton, termasuk rencana kebutuhan PLN & IPP sebesar 64,79 juta ton, dan sisanya
II-11

sebesar 14,18 juta ton dari end user domestik lainnya. Sementara untuk tahun 2012 sesuai
Kepmen ESDM No. 1991 K/30/MEM/2011 sebesar 82,07 juta ton dimana PLTU membutuhkan
69,52 juta ton dan sisanya diserap oleh end user domestik lainnya.
Dari total produksi batubara nasional, pasar domestik saat ini hanya mampu menyerap
24% karena keterbatasan pemanfaatannya, karena itu untuk meningkatkan serapan domestik
maka pemanfaatan batubara perlu ditingkatkan dengan memperbanyak kegiatan ekonomi
berbasis batubara.
Pemakai batubara domestik terbagi menjadi 2 (dua), pertama pemakai batubara yang
digunakan sebagai bahan baku seperti, pembuatan briket batubara, pengolahan logam,
pencairan batubara (coal liquefaction), penggasan batubara (coal gasifaction) dan peningkatan
mutu batubara (coal upgrading). Kedua, pemakai batubara yang digunakan sebagai bahan bakar
seperti, sektor pembangkit listrik, sektor industri, sektor usaha kecil, dan rumah tangga.
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU meningkat dari waktu ke waktu, pada
tahun 2005 proporsinya sebesar 63% dan meningkat menjadi 83% pada tahun 2010.
Pemenuhan batubara untuk PLTU 10.000 MW Tahap I sudah terpenuhi secara kotraktual dari 4
PKP2B dan PTBA hingga jangka waktu 5 tahun kedepan.

2.1.2.3.2 Ekspor
Saat ini, sekitar 75% dari total produksi batubara diekspor, terutama ke Jepang, Taiwan,
Korea Selatan dan Eropa. Indonesia akan tetap mempertahankan presentasi ekspor batubara di
masa mendatang. Sebagian besar dari kualitas batubara yang di ekspor adalah batubara subbituminous dan bituminous, walaupun akhir-akhir ini batubara lignit sudah mulai ada
peminatnya, terutama dari India yang menggunakan batubara tersebut sebagai campuran
(blending) batubara peringkat tinggi dengan kandungan abu tinggi. Pembeli batubara Indonesia
dari mancanegara tahun 2010 didominasi oleh China dan India, di samping Jepang, Malaysia,
Korea, negara-negara Eropa, dan Afrika.
Penjualan batubara saat ini bervariasi, yaitu FOB barge, FOB vessel, CIF, dan CNF. Sesuai
dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan

II-12

Harga Patokan Mineral dan Batubara, seluruh Badan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
dalam menjual mineral dan batubara harus mengacu pada Harga Patokan Mineral dan Batubara
yang dikeluarkan oleh pemerintah.

2.2. Perkembangan Teknologi Pencairan Batubara


2.2.1 Pengertian Pencairan Batubara
Proses pencairan batubara adalah proses mengkonversi batubara menjadi minyak seperti
bensin atau solar. Proses ini sering diistilahkan sebagai coal liquefaction atau coal to liquids
(CTL). Ada dua cara menghasilkan minyak dari batubara yaitu melalui pencairan batubara secara
langsung (direct coal liquefaction/DCL) dan pencairan batubara secara tidak langsung (in-direct
coal liquefaction/ICL) seperti diperlihatkan pada Gambar II.7, yang masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan.

II-13

Gambar II.7 Proses Pencairan Batubara

Pencairan batubara dengan teknologi DCL dilakukan dengan cara mereaksikan batubara
dengan hydrogen pada suhu antara 370-4800C dan tekanan hidrogen antara 100 dan 270 atm
dengan bantuan katalis dan pelarut/solvent. Suhu yang tinggi diperlukan agar terjadi
perengkahan termal (thermal cracking) pada batubara menghasilkan radikal bebas sedangkan
pelarut (solvent) diperlukan sebagai media reaksi dan transfer hydrogen untuk menstabilkan
radikal bebas sehingga dihasilkan produk cair yang stabil. Teknologi DCL menghasilkan fraksi
nafta yang sangat cocok sebagai bahan baku pembuatan bensin tetapi menghasilkan fraksi solar
yang kurang baik sehingga perlu di upgrade lagi untuk meningkatkan angka setana-nya.
Pencairan batubara dengan teknologi ICL diawali oleh proses gasifikasi batubara atau
reforming gas alam untuk menghasilkan sintesis gas (syngas) yaitu suatu gas dengan komposisi
sebagian besar adalah hydrogen (H2) dan karbon monooksida (CO). Proses selanjutnya adalah
sintesa Fischer-Tropsch (FT). Pada proses ini hydrogen direaksikan dengan karbon mono-oksida
dengan bantuan katalis menghasilkan minyak (hidrokarbon) alcohol, aldehydes dan fatty acids.
Senyawa yang mengandung oxygen (oxygenated compounds) kurang dikehendaki sebagai
produk reaksi.
Dalam proses pencairan batubara akan diperoleh bahan bakar minyak, antara lain
berupa bensin, solar dan naphta dengan beberapa produk samping, antara lain LPG dan bahan
II-14

baku untuk industri petrokimia. Proses ini sering diistilahkan sebagai coal liquefaction atau coal
to liquids (CTL).
Produk cair dari proses pencairan batubara biasanya disebut minyak mentah batubara.
Untuk mendapatkan minyak yang mempunyai kesamaan karakteristiknya dengan minyak bumi,
diperlukan suatu proses pemurnian (refining) yang disebut upgrading melalui proses
hidrogenasi dan hidrocracking. Produk dari proses upgrading diantaranya minyak berat dan
distilat menengah. Fraksi minyak berat setelah melalui proses hidrogenasi lebih lanjut dengan
bantuan katalis akan diperoleh naphta dan minyak tanah (kerosene), sedangkan distilat
menengah di upgrade lagi menjadi gasoline dan minyak diesel. Fraksi-fraksi minyak sintetis
tersebut dievalusi dan dianalisa dengan parameter-parameter standar yang berhubungan
dengan bahan bakar. Hasil evaluasi kemudian ditingkatkan mutunya sehingga dapat digunakan
sebagai bahan bakar siap pakai.
Mekanisme pencairan batubara peringkat rendah sangat menarik, karena umumnya
batubara memiliki berat molekul kelompok yang lebih kecil yang dapat memberikan konversi
lebih baik disebabkan memiliki jaringan ikatan lebih reaktif, yaitu hubungan ether yang mudah
putus, dan ada grup fungsional hidroksil dan karbonil yang berkonstribusi dalam pemecahan
hubungan C-C. Perengkahan termal yang cepat dari batubara akan diikuti oleh reaksi retrogresif
produk primer kecuali jika tersedia hidrogen reaktif yang dapat ditransfer dalam jumlah cukup.
Maka pengendalian yang efektif dari pencairan batubara muda tersebut membutuhkan
keseimbangan antara proses pemutusan ikatan dan stabilisasi hidrogenatif dari pecahan yang
terbentuk.

2.2.2 Sejarah Teknologi Pencairan Batubara


Teknologi pencairan batubara ditemukan pada awal abad ke-20 di Jerman yaitu DCL
oleh Friedrich Bergius pada tahun 1913 yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel di bidang
kimia pada tahun 1931. Bergius melakukan teknik penambahan hidrogen ke dalam batubara
pada tekanan 200 atmosfir dan suhu 450OC (Shah and Gray, 1981). Pada kondisi tersebut terjadi
dekomposisi batubara membentuk radikal bebas dan hidrogen menstabilkan radikal bebas
II-15

tersebut membentuk suatu cairan yang mirip dengan minyak bumi yang dapat diolah kembali
menjadi minyak diesel dan gasolin (bensin). Pada reaksi pencairan batubara tersebut, oksigen
dalam batubara juga terhidrogenasi menjadi air dan sejumlah belerang menjadi hidrogen
sulfida. Teknologi lainnya adalah ICL oleh Franz Fischer dan Hans Tropsch di tahun 1923 yang
kemudian terkenal dengan nama F-T synthesis atau FTS (Dadyburjor dan Liu, 2004).
Setelah itu perkembangan teknologi pencairan batubara melalui beberapa tahap yang
ditentukan oleh ketersediaan minyak bumi. Tahap pertama adalah sebelum dan saat Perang
Dunia ke II di Jerman, Inggris, Perancis dan Jepang yang dipicu oleh kebutuhan bahan bakar
transportasi. Proses DCL saat itu dioperasikan pada suhu 4700 C dan 70 MPa dengan katalis besi
dengan produksi 4,23 Mt/tahun (Jerman) sementara FTS beroperasi pada 100-4000 C dan 0,1-0,2
MPa dengan katalis kobalt serta pada tekanan 5-100 MPa dengan tambahan katalis ruthenium.
Pada tahun 1933 Pott-Broche dari Jerman mengembangkan proses Bergius, yaitu proses
pencairan batubara dengan menggunakan metode ekstraksi pelarut pada tekanan 2.000 psig
(136 atm) (Wikipedia,2011). Proses ini merupakan awal dari proses SRC (Solvent Refine Coal).
Tahun 1944 Saarbegwerke AG, suatu perusahaan di Jeman yang bergerak dalam penambangan
batubara,

telah

melakukan

penelitian

mengenai

hidrogenasi

batubara

dan

mengembangankannya. Penelitian permulaan dilakukan dalam skala laboratorium. Metoda ini


menggunakan keaktifan katalis pada tekanan yang rendah. Pada tahun 1981 Saarbegwerke
mengoperasikan suatu pilot plant kapasitas 6 ton/hari dengan menggunakan tekanan operasi
lebih rendah yaitu 300 atm dan katalis besi. Pada periode ini banyak pabrik percontohan dan
komersil diberbagai lokasi telah dibangun pada seperti terlihat pada Tabel II.1. Namun dengan
pertimbangan keekonomian dan pencemaran lingkungan maka semua pabrik pencairan
tersebut sudah tidak dioperasikan lagi.

Tabel II.1 Perkembangan Proyek Pencairan Batubara Dunia Sampai Tahun 1945
Tahun mulai
operasi
1927

Lokasi

Bahan Baku

Leuna

Brown coal & tar

Kapasitas (ton
minyak/tahun)
650.000

1936

Boehlen

Brown coal tar

250.000
II-16

1936

Magdeburg

Brown coal tar

220.000

1936

Scholven

Bituminous coal

280.000

1937

Welheim

Coal Tar Pitch

130.000

1939

Gelsenberg

Bituminous coal

400.000

1940

Luetzkendorf

Tar

50.000

1940

Zeitz

Brown coal tar

280.000

1940

Poelitz

Bituminous coal

700.000

1941

Wesseiling

Brown coal

250.000

1942

Bruex

Brown coal tar

600.000

1943

Blechhammer

Bituminous coal & oils

420.000

Catatan: Total jumlah pabrik 12 dengan kapaistas 4.23 juta ton/tahun atau sekitar
100.000 barel/hari

Ketersediaan minyak bumi murah pada tahun 1950-an setelah ditemukannya tambang di
Timur Tengah membuat lesu perkembangan teknologi pencairan batubara kecuali di Afrika
Selatan yang saat itu tidak dapat mendapat minyak bumi. Teknologi Sasol yang dikembangkan
di Afrika Selatan hingga saat ini telah sukses diaplikasikan. Awalnya Sasol 1 difokuskan untuk
menghasilkan bahan bakar minyak , namun kemudian di pertengahan 1970-an produksi Sasol II
dan Sasol III lebih dipusatkan pada bahan kimia.
National Coal Board (Inggris) pada pertengahan tahun 1970-an mengembangkan suatu
proses baru yang dikenal sebagai proses pencairan batubara generasi ketiga (Third Generation
Liquefaction Processes) yaitu dengan melakukan ekstraksi batubara menggunakan pelarut
donor hidrogen dalam fase gas bertekanan tinggi. Pada proses ini, sebagai pelarut donor
hydrogen digunakan toluen pada suhu reaksi 350OC. Di Amerika Serikat, Hydrocarbon Research
Inc., mengembangkan proses hidrogenasi langsung dengan katalis yang dilakukan pada suhu
450-500OC dan tekanan sekitar 200 bar.
Mahalnya harga minyak bumi pada tahun 1970-an mengakibatkan meningkatnya
kembali minat negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris dan Uni Soviet
II-17

untuk mengembangkan teknologi DCL. Teknologi-teknologi yang dikembangkan dalam tahap


penelitian dan pengembangan dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.2 Percobaan Teknologi Pencairan Batubara
Negara

Proses/ Teknologi

Amerika Serikat

SCR1
SCRI/II

Jerman

Kapasitas (ton/hari)
6

Periode
1974

50/25

1974-1981

EDS

250

1979-1983

H-Coal

600

1979-1982

CTSL

1985-1992

HTI

1990-an

IGOR

200

1981-1987

PYROSOL

1977-1988

BCL

50

1986-1990

NEDOL

150

1996-1998

Inggris

LSE

2.5

1983-1995

Uni Soviet

CT-5

1986-1990

China

Shenhua

2002

Shenhua

3000

2004 -

Jepang

Jepang telah berhasil melakukan ujicoba pilot plant pencairan kapasitas 50 ton
batubara/hari di Victoria, Australia. Amerika Serikat telah membangun pilot plant kapasitas 600
ton batubara/hari di Catlettsburg, Kentucky, USA. China bekerjasama dengan Amerika sedang
membangun demo plant kapasitas 3.000 ton batubara/hari (Foto 1). Saat ini negara-negara yang
masih aktif mengembangkan teknologi pencairan batubara adalah Afrika Selatan, Amerika,
Jepang, China, India dan Indonesia.

II-18

Foto II.1 Pabrik DCL Shenhua di Inner Mongolia, 2008 ( Sumber : Sun, 2008)
Saat ini terdapat beberapa teknologi gasifikasi batubara skala komersial seperti
teknologi Shell, Texaco, Prenflo, Sasol-Lurgi dan lain-lain. Dalam hal teknologi sintesa FischerTropsch, Shell telah membangun pabrik GTL di Bintulu Malaysia untuk menghasilkan minyak
solar dan wax. Rentech perusahaan yang berkantor di Amerika juga sedang mengembangkan
teknologi GTL yang terintegrasi dengan pabrik pupuk untuk menghasilkan pupuk dengan
produk samping berupa senyawa hidrokarbon. Walaupun teknologi gasifikasi batubara dan
teknologi sintesa Fischer-Tropsch telah sukses dikembangkan tetapi sampai saat ini hanya
SASOL (Suid Afrikaanse Stenkool en Olie) di Afrika Selatan sebagai satu-satunya perusahaan
yang dapat mengintegrasikan teknologi gasifikasi batubara dan teknologi GTL menjadi fasilitas
coal to liquid (CTL) dalam skala komersial (Foto 2).

II-19

Foto II.2 Pabrik Pencairan SASOL di Afrika Selatan

2.2.3 Status Teknologi Pencairan Batubara


Teknologi pencairan batubara secara langsung telah dikembangkan di Jepang dengan
proses atau teknologi brown coal liquefaction (BCL) dan NEDOL, China dengan proses HTIShenhua dan Amerika Serikat dengan berbagai proses, namun sampai saat ini belum ada
satupun dari teknologi pencairan batubara secara langsung tersebut yang mencapai tahapan
komersil seperti terlihat pada Tabel II.3. Rangkaian proses teknologi BCL yang telah
dikembangkan oleh Jepang dapat dilihat pada Gambar II.8.

II-20

Tabel II.3 Pabrik Percontohan Pencairan Batubara Secara Langsung, 1960- 2008
Tahun

Nama Proses/Negara

Kapasitas (Ton
batubara/hari)

1962-1980

Solvent Refined Coal (SRC)/USA

50

1963-1972

Consol Synthetic Fuels (CSF)/USA

20

1960-1980

EXXON Donor Solvent (EDS)/USA

250

1965-1980

H-Coal/USA

250

1980-1984

Integrated Two-Stage Liquefaction (ITSL)/USA

1990-1993

Brown Coal Liquefaction/Japan

50

1995-1998

NEDOL/Japan

150

2008-

HTI-Shenhua/China

7000

Gambar II.8 Proses Pencairan Batubara Teknologi BCL

II-21

Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Jepang sejak tahun 1994, yakni
melakukan pra-studi kelayakan pencairan batubara di 3 (tiga) wilayah, yaitu Banko (Sumatera
Selatan), Mulia (Kalimantan Selatan) dan Berau (Kalimantan Timur) yang hasilnya cukup bagus.
Namun mengingat teknologi BCL yang akan diterapkan dalam program pencairan batubara di
Indonesia belum terbukti secara komersial, maka perlu dilakukan pembangunan pabrik
pencairan batubara skala demo terlebih dahulu dengan kapasitas 13.500 barel perhari dengan
biaya yang diperlukan sekitar US$ 1,5 miliar, sehingga Pemerintah Indonesia menunda rencana
untuk mengimplementasikan teknologi BCL ini di Indonesia.
Secara ringkas hasil penelitian pencairan batubara peringkat rendah di Indonesia
menghasilkan bahwa batubara tersebut mempunyai sifat yang sangat baik untuk dicairkan
menjadi BBM sintetis dengan hasil perolehan yang cukup tinggi yaitu untuk 1 ton batubara (daf)
dapat menghasilkan 4,45 barel BBM sintetis (crude synthetic oil).

Pada proses pencairan batubara secara tidak langsung, batubara dijadikan gas terlebih
dahulu (coal to gas) kemudian gas tersebut disintesa menjadi minyak (Gas to liquid/GTL). Proses
sintesa gas menjadi minyak umumnya menggunakan proses Fischer-Tropsch. Keuntungan
proses ini adalah setiap peringkat batubara dapat diubah menjadi produk cair, komposisi
produk dapat dikontrol dan produk akhirnya mengandung sulfur yang sangat rendah.
Kerugiannya adalah harus melalui proses gasifikasi dan gas yang dihasilkan harus mempunyai
kemurnian yang tinggi untuk dijadikan produk cair, peralatan yang digunakan lebih komplek
sehingga memerlukan biaya yang lebih tinggi serta effisiensi panasnya lebih rendah
dibandingkan dengan proses hidrogenasi batubara.
Proses Fischer-Tropsch merupakan salah satu proses pencairan batubara secara tidak
langsung yang dilakukan pertama kali pada tahun 1925 di Jerman tetapi kemudian dihentikan.
Proses ini menghasilkan hidrokarbon cair dari reaksi gas karbon monoksida dengan hydrogen
melalui bantuan katalis. Namun pada tahun 1980, perusahaan SASOL dari Afrika Selatan
menggunakan teknologi ini lagi setelah melakukan beberapa kali modifikasi, seperti terlihat
pada Gambar II.9.

II-22

Sama halnya dengan SASOL, perusahaan clean coal technology (CCT) dari South Afrika
juga mengimplementasikan proses pencairan batubara tidak langsung dalam mengembangkan
proyeknya di beberapa tempat, antara lain China dan Indonesia. Teknologinya diberi nama clean
coal technology Fischer-Tropsch (CCT FT).

Gambar II.9 Sejarah Pengembangan Pabrik SASOL

II-23

BAB III
PROGRAM KEGIATAN

Program

kegiatan

penelitian

pencairan

batubara

dalam

rangka

memberikan

rekomendasi kebijakan kepada pengambil keputusan dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu
pembuatan kuesioner, pembagian kuesioner dan diskusi, melaksanakan focus group discussion
(FGD) dan koordinasi dengan instansi terkait.

3.1.

Pembuatan Kuesioner
Salah satu instrument pengumpulan data untuk penelitian adalah kuesioner atau disebut

juga daftar pertanyaan (terstruktur). Kuesioner adalah pertanyaan tertulis yang diberikan kepada
responden untuk menjawab. Tujuan kuesioner adalah untuk memperoleh data yang sesuai
dengan tujuan penelitian atau sebagai penjabaran dari hipotesis. Kuesioner yang baik adalah
kuesioner yang valid dan reliable. Valid artinya mengukur apa yang seharusnya diukur
sementara reliable artinya instumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur objek yang
sama sebanyak beberapa kali hasilnya akan stabil atau sama. Syarat lain dalam pembuatan
kuesioner yang harus dipenuhi adalah adanya relevansi antara pertanyaan dengan tujuan
penelitian dan dengan responden. (www.kti-skripsi.net, 2011).
Ada dua jenis pertanyaan dalam kuesioner yaitu pertanyaan dengan jawaban terbuka
dan pertanyaan dengan jawaban tertutup. Pertanyaan dengan jawaban terbuka adalah
pertanyaan yang memberikan kebebasan penuh kepada responden untuk menjawabnya. Pada
kondisi ini, peneliti tidak memberikan satupun alternatif jawaban. Sementara untuk pertanyaan
dengan jawaban tertutup adalah sebaliknya, yakni semua alternatif jawaban responden sudah
disediakan oleh peneliti sehingga responden tinggal memilih alternatif jawaban yang
dianggapnya paling sesuai. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner yang diajukan oleh penulis
dalam penelitian ini adalah berupa gabungan antara pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasil dari
pembuatan kuesioner berupa Kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1 (www.tesis-petrus.tk).

III-1

3.2.

Pembagian Kuesioner dan Diskusi


Tujuan pembuatan kuesioner dan diskusi adalah untuk mendapatkan data penelitian. Orang
yang menjadi sumber data disebut responden. Untuk penghematan waktu, biaya dan tenaga
maka pembagian kuesioner dilakukan dengan metode sampling non acak yaitu menggunakan
sampel yang bertujuan atau purposive sample dimana sampel dilakukan dengan cara mengambil
subjek, bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan
tertentu. Sampel yang mempunyai tujuan tertentu dapat dilakukan dengan syarat-syarat khusus
seperti :

pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu
yang merupakan ciri-ciri pokok populasi,

subjek yang diambil sebagai sampe,l benar-benar merupakan subjek yang paling banyak
mengandung cirri-ciri yang terdapat pada populasi, dan

penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat pada studi pendahuluan


(www.kuesionerpenelitian.blogspot.com).
Target penelitian ini adalah populasi orang-orang yang mengerti tentang pencairan

batubara atau orang-orang yang dapat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan di


pemerintah atau instansinya baik pusat maupun daerah terkait program pencairan batubara.
Kuesioner ini juga disampaikan ke swasta/pelaku bisnis penambangan batubara untuk
mendapatkan masukan dalam rangka penentuan lokasi, bahan baku serta keikutsertaan dalam
pembangunan pabrik pencairan batubara di Indonesia. Oleh karena itu kuesioner atau diskusi
akan dilakukan dalam kegiatan atau lokasi dimana target responden itu berada.
Lokasi kegiatan yang dipilih adalah :
a. Provinsi Sumatera Selatan;
Provinsi ini memiliki sumber daya batubara sebesar 47,08 miliar ton dengan kategori
cadangan sebanyak 9,54 miliar ton.
b. Provinsi Kalimantan Selatan;
Provinsi ini memiliki sumber daya batubara sebesar 12,26 miliar ton dengan kategori
cadangan sebanyak 3,6 miliar ton.
c. Provinsi Kalimantan Timur;
Provinsi ini memiliki sumber daya batubara sebesar 37,9 miliar ton dengan kategori
cadangan sebanyak 5,9 miliar ton.
III-2

d. DKI Jakarta;
Kegiatan dilakukan di beberapa lokasi seminar dan instansi pemerintah terkait dan
swasta/pelaku bisnis penambnagan batubara yang sebagian besar mempunyai kantor di
Jakarta.
e. Provinsi Bali;
Peserta yang mengikuti seminar tentang bisnis, kebijakan dan penyedia teknologi
pemanfaatan batubara merupakan target responden.

3.3.

Pelaksanaan FGD
FGD secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara
sistematis dan terarah mengenai suatu isu atau masalah tertentu. Irwanto (2006) mendefinisikan
FGD sebagai suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu
permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
Sebagai alat penelitian, FGD dapat digunakan sebagai metode primer maupun sekunder.
FGD berfungsi sebagai metode primer jika digunakan sebagai satu-satunya metode penelitian
atau metode utama (selain metode lainnya) pengumpulan data dalam suatu penelitian. FGD
sebagai metode penelitian sekunder umumnya digunakan untuk melengkapi riset yang bersifat
kuantitatif dan atau sebagai salah satu teknik triangulasi. Dalam kaitan ini, baik berkedudukan
sebagai metode primer atau sekunder, data yang diperoleh dari FGD adalah data kualitatif.
Dalam kaitannya dengan penelitian, FGD berguna untuk:
a)
b)

Memperoleh informasi yang banyak secara cepat;


Mengidentifikasi dan menggali informasi mengenai kepercayaan, sikap dan perilaku
kelompok tertentu;

c)

Menghasilkan ide-ide untuk penelitian lebih mendalam; dan

d)

Cross-check data dari sumber lain atau dengan metode lain.

(sumber : www.bincangmedia.wordpress.com)

III-3

3.4.

Koordinasi dengan Instansi Terkait


Program pencairan batubara adalah program yang sudah lama berjalan di Indonesia
dimana sejak penelitiannya sendiri sudah berjalan sejak tahun 1995, baik dilakukan oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi
(BPPT) maupun Perguruan Tinggi. Dengan demikian tidak aneh jika hingga saat ini banyak
instansi yang terlibat baik dalam hal penelitian maupun dalam hal kebijakan atau pengeluaran
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan program pencairan batubara.
Di dalam lingkungan ESDM sendiri saat ini ada 4 lembaga eselon 1 yang terkait dengan
kegiatan ini baik menyangkut bahan baku maupun hilir atau produknya. Keempat lembaga itu
adalah Ditjen Minerba, Ditjen Migas, Balitbang ESDM, dan Ditjen EBTKE. Ditjen EBTKE saat ini
merupakan ditjen yang paling bertanggungjawab mengurus pencairan batubara setelah
pencairan batubara dimasukkan sebagai energi baru. Untuk instansi lain di luar ESDM juga
cukup banyak, antara lain BPPT, Kementrian Ristek, Kementrian Keuangan dan Kementrian
Perindustrian.
Perguruan Tinggi dan pelaku bisnis penambangan batubara yang terlibat dalam
program pencairan batubara, antara lain adalah Universitas Sriwijaya, ITB, PT Tambang Batubara
Bukit Asam Tbk, PT Bumi Resources TBK dan PT BEP. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan
kerjasama antara instansi-instansi yang terkait tersebut sehingga kegiatan yang dilakukan
nantinya tidak tumpang tindih yang akhirnya diperoleh hasil yang konkret.

III-4

BAB IV
METODOLOGI

4.1. Pendekatan Metodologi


Metoda yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan kajian kebijakan teknis program
pencairan batubara adalah metode policy research (penelitian kebijaksanaan) yaitu suatu proses
penelitian yang dilakukaan pada, atau analisis terhadap masalah-masalah social yang mendasar,
sehingga temuannya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak
dalam menyelesaikan masalah. Didalam metode penelitian kebijaksanaan ini meliputi
pengumpulan data sekunder dan data primer.
Data sekunder, berupa informasi yang dihimpun berasal dari studi literatur baik berupa
laporan-laporan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Puslitbang tekMIRA) dan pihak lain,
peraturan/perda di sektor pertambangan dan investasi, data cadangan dan sumber daya
batubara termasuk data yang tidak dipublikasikan dari pelaku penambangan batubara, buku,
majalah, jurnal ataupun informasi lainya, baik dari media cetak maupun media internet.
Data primer, berupa peninjauan langsung ke lapangan untuk melakukan wawancara dan
diskusi di perusahaan penambangan batubara, perusahaan daerah dan instansi terkait. Informasi
dari pelaksanaan FGD serta hasil pendistribusian kuesioner juga merupakan data primer.
Wawancara, diskusi dan kuesioner yang dilaksanakan kepada responden tertentu yaitu para
narasumber sebagai orang yang ahli di bidangnya, perusahaan-perusahaan batubara dan
pejabat-pejabat di instansi terkait serta para ilmuwan yang berkaitan dengan teknologi
pencairan batubara merupakan kategori data primer.
Data dan Informasi yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa serta dievaluasi untuk
menghasilkan rekomendasi kebijakan terkait penelitian dan pengembangan pencairan batubara
di Indonesia.
Kriteria keberhasilan kegiatan yang diperoleh akan tergambar pada dipergunakannya
rekomendasi yang dihasilkan sebagai rekomendasi Puslitbang tekMIRA, Balitbang ESDM kepada
IV-1

Ditjen Mineral dan Batubara, instansi yang didukungnya, sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan nasional terkait program pencairan batubara di Indonsia.

4.2. Pelaksana Kegiatan Penelitian Pencairan Batubara

Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dibantu oleh anggota-anggota tim seperti terlihat pada
Tabel IV.1.
Tabel IV.1. Pelaksana Kegiatan
No

Nama Personil

Kedudukan

Keahlian

Tugas

Ir. Hadi Nursarya,


M.Sc

Penanggung Jawab

Kepala Pusat
Tekmira

Memberi masukan dalam


semua tahap kegiatan

Gandhi Kurnia
Hudaya, ST

Kepala Tim/
Peneliti Muda

Sarjana Teknik
Industri

Ir. Suganal

Tenaga Ahli/
Peneliti Madya

Ahli Konversi
Batubara

Mengkoordinir semua
tahap kegiatan secara
optimal dan
Memberi
masukan
melaksanakan
tertibdalam
semua
tahap kegiatan
administrasi

Prof. Dr. Bukin


Daulay, M.Sc

Ahli Petrografi
Batubara

Dr. Ir. Miftahul Huda

Peneliti
Utama/Moderator/
Pembahas
Peneliti
Muda/Pembahas

Dr. Datin Fatia Umar

Peneliti Utama

Ahli Pemanfaatan
Batubara

Nining Sudini
Ningrum, M.Sc

Peneliti Utama

Ahli Pencairan
Batubara

Ir. Darsa Permana

Peneliti Madya

Ahli Kebijakan

Iwan Rijwan, S.Si

Peneliti Muda

Sarjana Kimia
Murni

10

Ikin Sodikin, ST

Peneliti Muda

Sarjana Tambang

Ahli Pencairan
Batubara

Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
IV-2

11

Fahmi Sulistyohadi,
ST

Peneliti Pertama

Sarjana Teknik
Kimia

Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan penelitian/
kajian program pencairan
batubara
Melakukan kajian dan
membantu
kesekretariatan
Melakukan kajian dan
membantu
kesekretariatan
Melakukan kajian dan
membantu
kesekretariatan
Melakukan pembahasan
di FGD 1

12

Dedy Yaskuri, ST

Peneliti Pertama

Sarjana Teknik
Mesin

13

Drs Ijang Suherman

Peneliti Madya

Ahli Statistik

14

Ir. Rochman
Saefudin

Peneliti Muda

Ahli Tekno
Ekonomi

15

Drs. Hermanu
Prijono

Perekayasa Madya

Analis Batubara

16

Lely Agustiana

Litkayasa

Analis Batubara

17

Yuliani Maulizar

Arsiparis

Ahli Kearsipan

18

Tuti Hernawati, S.Si.

Peneliti Pertama

Sarjana Statistik

19

Arlina Ardisasmita

Pembahas

Direktur BKPM

20

Eddy Prasojo

Pembahas

Sekretaris Ditjen
Minerba ESDM

Melakukan pembahasan
di FGD 1

21

Yunirwansyah

Pembahas

Melakukan pembahasan
di FGD 1

22

Bob Kamandanu

Pembahas

Kasubdit
Peraturan ppH
Badan Dit PP2Direktur
APBI
Ditjen Pajak

23

Nanang Eko Indarto

Pembahas

Kasubdit - BKPM

Melakukan pembahasan
di FGD 2

24

F Harry Christiono

Pembahas

Manajer Medco
Energi

Melakukan pembahasan
di FGD 2

Melakukan pembahasan
di FGD 2

IV-3

4.3. Anggaran Kegiatan


Anggaran biaya kegiatan penelitian pencairan batubara dapat dilihat pada Tabel IV.2.
Tabel IV.2. Anggaran Kegiatan
No

Tahapan

1.

Persiapan

2.

Kegiatan Lapangan

166.994.000,-

3.

Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)

255.970.000,-

4.

Analisis dan Pengolahan Data

87.150.000,-

5.

Pelaporan

39.673.000,-

Jumlah

Biaya (Rp)
76.176.000,-

625.963.000,-

IV-4

4.4. Pelaksanaan Kegiatan Pencairan Batubara


Pelaksanaan kegiatan penelitian pencairan batubara dapat dilihat pada Tabel IV.3.
Tabel IV.3. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
No.

KEGIATAN

Bulan ke
1

10

11

12

Persiapan:
a. Studi literatur dan evaluasi data
skunder tentang pencairan
batubara dan kebijakannya.

Kegiatan Lapangan :
a. Melakukan diskusi dan
wawancara
b. Membuat dan mendistribusikan
kuesioner
c. Melakukan evaluasi hasil diskusi,
wawancara dan kuesioner
d. Melakukan FGD

Pelaporan
Target Kegiatan Fisik Bulanan, %

10

10

10

10

10

10

10

10

Target Fisik Kumulatif, %

10

15

25

35

45

55

65

75

85

95

100

IV-5

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Kegiatan


5.1.1 Hasil Pembagian Kuesioner
Lembar kuesioner yang telah dibagikan kepada target responden adalah 100
lembar. Lokasi pembagian antara lain di acara FGD 1 di Jakarta, FGD Pencairan yang
dilaksanakan oleh Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) masing-masing di
Palembang Sumatera Selatan dan Samarinda Kalimantan Timur serta rapat masyarakat
pertambangan Indonesia di Bali. Dari 100 lembar kuesioner tersebut, yang dapat dihitung
hasilnya adalah 19 lembar kuesioner. Sisanya tidak dapat digunakan sebagai hasil
penelitian karena jawaban yang diberikan dalam kuesioner tidak lengkap sehingga tidak
dapat digunakan sebagai sumber data yang lengkap.
Berikut hasil penjaringan pendapat dan informasi melalui kuesioner :
I.

Data Responden
Responden terdiri dari :

Pria
15

Wanita

V-1

Pengusaha
2

PNS
Karyawan
Swasta/BUMN

11

Peneliti/Akademisi

Pengetahuan responden mengenai progam pencairan batubara cukup baik karena


sebagian besar menjawab telah mengetahui tentang pelaksanaan program pencairan
batubara, kontribusi pencairan batubara dalam bauran energi serta landasan hukum
tentang pencairan batubara meskipun hanya sepertiganya yang benar-benar pernah
terlibat langsung dalam penelitian atau upaya mencari teknologi pencairan batubara.
Dengan demikian target responden sebagai purposive sample telah terwakili. Hal ini
tergambar dalam 4 pertanyaan dibawah ini :

Sudah tahukah Anda bahwa penelitian pencairan batubara di


Indonesia sudah dilaksanakan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu ?
Sudah

7
12

Belum

Sudah tahukah Anda bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki


target bahwa pada tahun 2025 nanti kontribusi pencairan batubara
dalam bauran energi mencapai minimal 2% ?
4
Sudah
15

Belum

V-2

Sudah tahukah Anda bahwa Inpres No. 2 tahun 2006 adalah tentang
percepatan penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia ?
7

Sudah
12

Belum

Apakah Anda pernah terlibat dalam program pencairan batubara


misalnya penelitian atau mencari teknologi pencairan batubara yang
dapat diaplikasikan di perusahaan Anda ?
6
13

II.

Pernah
Belum

Pendapat Responden

Pada bagian ini target responden diminta untuk memberikan pendapatnya mengenai
program pencairan batubara di Indonesia. Pendapat-pendapat responden itu adalah
sebagai berikut :
1. Dari 19 responden, 18 responden menyatakan bahwa pencairan batubara perlu
diterapkan di Indonesia.
2. Alasan utama perlunya pencairan batubara adalah :
a. karena pencairan batubara merupakan energi alternatif untuk mengatasi krisis
BBM dan sumber energi di masa depan (11 responden),
b. meningkatkan nilai tambah batubara di dalam negeri (2 responden),
c. memanfaatkan cadangan batubara yang ada (2 responden), dan
d. teknologi pencairan batubara sudah ada (1 responden).

V-3

3. Alasan mengapa tidak perlu pencairan batubara diterapkan di Indonesia adalah


karena Indonesia belum dapat mengembangkan teknologi pencairan batubara sendiri
serta kurangnya dukungan pemerintah.
4. Faktor-faktor yang penting dalam mewujudkan pabrik pencairan batubara di
Indonesia adalah :
a. Cadangan batubara (13 responden)
b. Teknologi pencairan batubara (17 responden)
c. Pemerintah menjamin investasi pencairan batubara (12 responden)
d. Emisi pencairan batubara rendah (8 responden)
e. Peraturan/kebijakan yang berlaku (14 responden)
f.

Terbentuknya Badan Khusus untuk mengatur (1 responden)

g. Keseriusan pemerintah (4 responden)


5. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan Indonesia dalam rangka penerapan teknologi
pencairan batubara adalah :
a. Sumber daya batubara yang cukup (19 responden)
b. Sumber daya manusia yang ahli (5 responden)
c. Kebijakan pemerintah yang kuat (4 responden)
6. Faktor-faktor

yang

menjadi

kelemahan

atau

penghambat

Indonesia

dalam

menerapkan teknologi pencairan batubara adalah :


a. Pasokan batubara yang kurang terjamin (5 responden)
b. Harga batubara yang berfluktuasi mengikuti pasar internasional (7 responden)
c. Kebijakan pemerintah yang belum lengkap (17 responden)
d. Sumber daya manusia di Indonesia yang belum terampil (7 responden)
e. Pembiayaan (2 responden)
f.

Teknologi bangsa Indonesia (1 responden)

7. Teknologi pencairan batubara seperti apa yang sebaiknya diterapkan di Indonesia :


a. Diciptakan sendiri oleh Indonesia meskipun butuh waktu lama (3 responden)
b. Membeli teknologi luar kemudian dimodifikasi di Indonesia, butuh waktu agak
lama dan biaya besar (5 responden)

V-4

c. Bekerja sama dengan pihak luar negeri untuk diterapkan di Indonesia (15
responden)
8. Sektor yang perlu diprioritaskan adalah penyediaan energi (10 responden) dan
pemberantasan korupsi (9 responden). Sementara sector pangan hanya mendapat 2
responden. Mungkin karena responden yang ditanya keseluruhan berasal dari sector
ESDM atau karena hingga saat ini masalah pangan masih bisa diatasi oleh
pemerintah.
9. Untuk sektor energi, sub sektor yang menjadi prioritas utama adalah pengembangan
energi terbarukan (14 responden), kemudian pencairan batubara (5 responden) dan
listrik (3 responden).
10. Mengenai pendanaan program pencairan batubara, sebagian besar mengharapkan
berasal dari kombinasi PMA, PMDN dan pemerintah (13 responden), sebagian lagi
mengharapkan berasal murni dari Pemerintah (3 responden) dan PMDN (3
responden). Tidak ada yang memilih dana berasal dari PMA seluruhnya.
11. Hampir seluruh responden berpendapat bahwa pemerintah boleh memberi
kemudahan atau insentif khusus pada perusahaan yang hendak membangun pabrik
pencairan batubara (16 responden) sementara yang berpendapat tidak boleh hanya 1
responden.

III.

Saran-saran Responden
Berikut ini adalah saran-saran yang diberikan oleh responden dalam kuesioner
berkaitan dengan penerapan program pencairan batubara di Indonesia :
a. Program ini harus cepat dilaksanakan mengingat kebutuhan Indonesia akan BBM
semakin meningkat serta untuk menghindari krisis energi dimasa depan.
b. Kebijakan pemerintah yang tepat diperlukan dalam hal blue print pemanfaatan
batubara, perubahan paradigma batubara sebagai energi dan kebijakan insentif
berupa kebijakan fiscal.
c. Perlunya dukungan dari seluruh stakeholder dan koordinasi antar lembaga
pemerintah yang lebih baik.

V-5

d. Pemilihan teknologi pencairan batubara yang tepat

dan hemat dalam

penggunaan sumber daya alam dan sebisa mungkin ramah lingkungan.


e. Perlu persiapan sumber daya manusia untuk menguasai teknologi pencairan
batubara

5.1.2 Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)


A. Focus Group Discussion 1
Focus Group Discussion (FGD) 1 dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta pada
tanggal 25 Juli 2011 dengan tema Quo Vadis Program Pencairan Batubara di Indonesia.
Tujuannya adalah mengumpulkan saran dan pendapat dari masyarakat khususnya
masyarakat batubara mengenai program pencairan batubara di Indonesia. Sedangkan
sasarannya adalah mendapatkan informasi dan pendapat narasumber dan responden
tentang program pencairan batubara di Indonesia sehubungan dengan kondisi krisis
energy saat ini baik di Indonesia maupun di dunia.
FGD dibuka oleh Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Ir.
Hadi Nursarya, MSc dan dihadiri oleh 58 orang peserta (diluar panitia) serta 5 orang
pembahas yang dimoderatori oleh Prof. Bukin Daulay. Pembahas yang hadir adalah Arlina
Ardisasmita (Direktur Pelayanan Perizinan-BKPM), Drs. Eddy Prasojo, M.Sc (Sekretaris
Ditjen Minerba _ KESDM), Dr. Ir. Miftahul Huda (Peneliti dari Puslitbang tekMIRA),
Yunirwansyah (Kasubdit Peraturan ppH Badan Dit PP2-Ditjen Pajak) dan tim Clean Coal
Technology-CCT dari Afrika Selatan. Materi bahasan dan dokumentasi kegiatan berupa
foto-foto secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Kesimpulan FGD 1 secara ringkas adalah bahwa Indonesia memerlukan investasi
dari pihak selain pemerintah untuk menggerakkan perekonomian negara serta
mengurangi pengangguran. Pabrik komersial pencairan batubara adalah salah satu

V-6

alternatif investasi yang padat modal serta mampu meningkatkan perekonomian di


daerah sekitarnya. Pemerintah telah menyiapkan skema subsidi yang dapat digunakan
investor untuk membangun pabrik komersial pencairan batubara, selain itu dengan
fasilitas DMO-nya pemerintah Indonesia juga dapat membantu menjamin pasokan
batubara sebagai bahan baku pabrik pencairan batubara. Salah satu teknologi yang dapat
diterapkan di Indonesia adalah teknologi CCT yang memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan teknologi SASOL. Keunggulan itu antara lain kapasitas produksinya lebih
sedikit untuk mencapai skala ekonomis sehingga biaya modal juga lebih sedikit dan
bantuan konsultasi untuk pencarian modal yang dijembatani oleh Stan Stewart Capital.

B. Focus Group Discussion 2


Focus Group Discussion (FGD) 2 dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta pada
tanggal 13 Desember 2011 dengan tema Peranan Pemerintah untuk Mendorong
Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara di Indonesia. Tujuannya adalah untuk
berdiskusi dan mencari solusi dalam upaya membuat rekomendasi kebijakan (policy
paper) kepada pemerintah dalam rangka mempercepat realisasi pabrik pencairan
batubara di Indonesia.
FGD dibuka oleh Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Ir.
Hadi Nursarya, MSc dan dihadiri oleh 40 orang peserta serta 4 orang pembahas yang
dimoderatori oleh Prof. Bukin Daulay. Pembahas yang hadir adalah Nanang Eko Indarto
(Kasubdit -BKPM), Bob Kamandanu (APBI), Prof. Bukin Daulay (Peneliti dari Puslitbang
Tekmira) dan F. Hary Christiono (Medco Energi). Materi bahasan dan dokumentasi
kegiatan berupa foto-foto dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.
Kesimpulan FGD 2 secara ringkas adalah bahwa pemerintah perlu memiliki
ketegasan sikap tentang rencana pemanfaatan batubara di Indonesia terutama berkaitan
dengan teknologi pencairan batubara. Jika memang pemerintah menginginkan
terwujudnya pabrik pencairan batubara secara komersial di Indonesia maka perlu
dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung ke arah tersebut. Factor utama
penghambat

pembangunan

pabrik

komersial

pencairan

batubara

adalah

V-7

keekonomiannya. Dengan harga bahan baku yaitu batubara yang tinggi saat ini serta
kemudahan pengusaha untuk menjual batubara dalam bentuk wantah maka tidak ada
investor yang tertarik. Jika ekspor batubara wantah dibatasi serta pemerintah
menetapkan kebijakan terkait harga batubara di dalam negeri untuk pabrik pencairan
batubara maka kemungkinan besar secepatnya Indonesia akan memiliki pabrik komersial
pencairan batubara.
5.1.3 Koordinasi dengan Instansi Terkait
Selama pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa kegiatan koordinasi dengan
instansi terkait yang dilaksanakan. Beberapa kegiatan penting yang dilakukan antara lain :

Kegiatan pertemuan dengan CCT Afrika Selatan dan Dirjen Migas dan beberapa
perusahaan batubara di Jakarta pada tanggal 28-29 Maret 2011 (laporan pada
Lampiran 2). Dari hasil pertemuan dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah
(Dirjen Migas) sangat mendorong penerapan teknologi pencairan batubara sepanjang
pemerintah tidak perlu menyediakan dana, sementara itu perusahaan-perusahaan
batubara sebagian besar tertarik dan mereka bermaksud bekerjasama dengan CCT
setelah ada pembicaraan lebih lanjut.

Kegiatan pertemuan dengan Ditjen Migas, PT Sanggaran Mega Makmur dan


Chelanese terkait rencana pengembangan teknologi pengolahan batubara menjadi
etanol pada bulan Februari April 2011 (laporan pada Lampiran 3).

Aktif

mengikuti

kegiatan

Peningkatan

Nilai

Tambah

(PNT)

dalam

rangka

mempersiapkan draft Permen tentang upaya PNT khususnya bagi batubara


sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 4 tahun 2009 dan PP No. 23 tahun 2010.
Kegiatan berlangsung sepanjang tahun 2011. Hasil kegiatan antara lain adalah
selesainya draft Permen PNT Batubara yang kemudian diserahkan kepada bagian
hukum KESDM. Selain itu dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak pengusaha
batubara yang keberatan jika harus mengolah batubaranya terlebih dahulu sebelum
dijual karena dibutuhkan modal tambahan yang besar serta meningkatnya risiko
usaha sementara jika dijual secara wantah pengusaha-pengusaha tersebut dapat lebih

V-8

mudah memperoleh keuntungan. Oleh karena itu hambatan untuk penerapan


taknologi pencairan batubara akan besar karena investasi untuk pembangunan pabrik
pencairan batubara adalah sangat besar.
5.2.

Pembahasan
Dari hasil kegiatan yang telah dilakukan seperti diuraikan pada sub bab 5.1, baik

dari kuesioner, FGD, diskusi dengan instansi terkait dan pelaku bisnis perbatubaraan serta
ulasan dari hasil kegiatan terkait yang pernah dilakukan, baik oleh Puslitbang tekMIRA
maupun pihak lain, ada beberapa aspek yang perlu untuk di uraikan dan di bahas antara
lain, keekonomian pabrik pencairan batubara, rekomendasi teknologi pencairan batubara,
aspek supplai bahan baku, aspek hukum/peraturan pengusahaan, aspek lingkungan,
tantangan pembangunan pabrik pencairan batubara dan upaya implementasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam pembangunan pabrik pencairan batubara.
Aspek-aspek ini sebagai pertimbangan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil
kebijakan dalam pembangunan proyek pencairan batubara di Indonesia.

5.2.1 Analisis Kelayakan Bisnis


Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk PNT batubara (Gambar V.1),
pembangunan pabrik pencairan batubara di Indonesia cukup strategis yang diharapkan
mampu menambah pasokan BBM nasional. Salah satu teknologi pencairan batubara saat
ini sudah terbukti dapat diimplementasikan secara menguntungkan. Afrika Selatan
dengan teknologi SASOL-nya adalah bukti nyata keberhasilan komersialisasi pencairan
batubara ini sejak tahun 1955.

V-9

Pembangkit
Listrik

PENGGUNAAN
LANGSUNG

INDUSTRI
CWM

BBM

LIQUEFACTION

BATU
BARA

KONVERSI

GASIFICATION
KOKAS

BBG
Chemical Feedstock

KARBON AKTIF
LOW RANK COAL

UPGRADING

Batubara
Mutu Tinggi

Clean Coal Technology


Sumber: ITB & Puslitbang ESDM

Gambar V.1 Mata Rantai Nilai Tambah Batubara


Peningkatan nilai tambah dari pembangunan proyek pencairan batubara
teknologi BCL Jepang dan CCT FT Afrika Selatan adalah sama masing-masing sekitar 2,8
kali lipat dari batubara asal seperti diperlihatkan masing-masing pada Table V.1 dan V.2.
Sedangkan peningkatan nilai tambah untuk teknologi SASOL Afrika Selatan adalah lebih
rendah, hanya sekitar 1,8 kali lipat dari batubara asal (Tabel V.3).
Tabel V.1 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi BCL Jepang

HARGA SEBELUM

KAPASITAS

Pencairan

26.000

USD 41,5/ton

1,53 barel minyak;

USD 73,4

Batubara

barel/hari

(1 ton batubara

0,0133 ton LPG;

atau sebesar

menghasilkan

0,0006 ton S; 0,0001 ton

2,8 kali lipat

minyak sebanyak

phenol dan 0,0028 ton

1,53 barel dan

ammonia

PROSES

produk samping

PRODUK

NILAI

PROSES

TAMBAH

Total Produk = USD 114,9

lainnya)

V-10

Tabel V.2 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi CCT FT

HARGA SEBELUM

KAPASITAS

Pencairan

10.000

USD 45/ton

0,67 barel minyak diesel

USD 82

Batubara

barel/hari

(1 ton batubara

(USD 169/bbl;

atau

menghasilkan minyak

0,17 ton light naphta

sebesar 2,8

sebanyak 0,67 barel

(USD 107,7/ton)

kali lipat

PROSES

PRODUK

NILAI

PROSES

TAMBAH

dan produk samping


lainnya)

Total Produk = USD 127

Tabel V.3 Nilai Tambah Pencairan Batubara dengan Teknologi SASOL

HARGA SEBELUM

KAPASITAS

Pencairan

80.000

USD 45/ton

0,725 barel minyak diesel USD 35

Batubara

barel/hari

(1 ton batubara

(USD 110/bbl;

PROSES

PRODUK

NILAI

PROSES

menghasilkan minyak
sebanyak 0,725 barel

TAMBAH

atau
sebesar 1,8

Total Produk = USD 80

kali lipat

Dampak positif dari pembangunan pabrik pencairan tersebut di antaranya adalah:


1) Pengurangan impor BBM
2) Penghematan devisa negara
3) Adanya jaminan ketersediaan BBM yang berasal dari batubara mengingat cadangan
batubara yang cukup banyak.
Seluruh dampak positif tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan
nasional di bidang energi. Di samping bernilai strategis bagi ketahanan nasional di
bidang energi, kehadiran pabrik pencairan batubara (sebagai kasus kehadiran teknologi
SASOL di Afrika Selatan) juga memberikan efek pengganda (multiplier effect), antara lain
seperti:
V-11

1) Tersedianya kesempatan kerja dan lapangan usaha baru, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Diperkirakan, satu pabrik pencairan batubara kapasitas
80.000 barel perhari mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 2.000 orang.
Sementara dengan adanya pabrik pencairan batubara, akan tercipta lapangan usaha
baru di sektor penunjang yang secara otomatis menyerap banyak tenaga kerja.
2) Di sektor hulu (pertambangan), kehadiran pabrik pencairan batubara akan membuka
perusahaan tambang baru dan/atau memperluas perusahaan tambang lama, yang
kesemuanya dapat menciptakan kesempatan kerja. Semakin terbukanya daerahdaerah yang semula terisolasi, serta semakin membaiknya infrastruktur.
Kegiatan

peningkatan

nilai

tambah

batubara

melalui

proses

pengolahan/konversi yang bertujuan untuk menghasilkan produk atau komoditi baru


seperti BBM, bahan baku kimia dan listrik yang memiliki nilai ekonomi dan daya gunanya
meningkat lebih tinggi dari sebelumnya, serta aktivitas yang ditimbulkan akan
memberikan dampak positif terhadap perokonomian dan sosial, baik bagi daerah
operasional, pusat, maupun daerah non operasional. Efek pengganda di atas termasuk
keterkaitan pajak dan bukan pajak pada akhirnya dapat mempercepat proses upaya
mensejahterakan masyarakat di sekitar lokasi pabrik pencairan batubara pada khususnya
dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dalam rangka pengembangan proyek pencairan batubara di Indonesia, SASOL
menyampaikan tahapan kegiatan sebagai berikut:
Opportunity Selection Study
Screening Study
Shorten Pre-Feasibility Study
Feasibility Study
Detail Design CTL Plant
Engineering Procurement Construction
Commissioning

V-12

Semua tahapan kegiatan tersebut di atas membutuhkan waktu sekitar 5 (lima)


tahun. Sebagai bukti untuk jaminan teknologi, pihak SASOL akan bertindak sebagai
operator pabrik pencairan batubara dan mengikut sertakan modalnya 50%. Sedangkan
tahapan yang akan dilakukan oleh CCT dalam mengimplementasikan teknologi CCT FT,
setelah ada persetujuan lokasi dengan mitra kerja di dalam negeri yaitu pengusaha
tambang batubara adalah sebagai berikut:
Penandatanganan non disclose agreement (NDA).
Pengumpulan data dan kunjungan lapangan (site visit).
Pelaksanaan studi kelayakan dan pembangunan pabrik:

Pre-Feasibility:

2 bulan

EIA:

? 1-2 tahun

Bankable Feasibility:

9 bulan

EPCM*:

1 tahun

Capex:

2 tahun

US$ 400,000

US$ 10 juta

US$ 100 juta


US$ 570 juta

* Engineering Procurement Construction Management


Sama halnya dengan SASOL, CCT juga membutuhkan waktu sekitar 5 (lima) tahun
untuk menyelesaikan semua tahapan kegiatan tersebut di atas. Berbeda dengan SASOL,
CCT membawa partner sebagai investor dalam mengembangkan teknologi CCT FT di
Indonesia. Namun pihak CCT tidak menutup kemungkinan seandainya ada pihak-pihak
tertentu seperti pemilik tambang batubara ataupun pemerintah yang berminat ikut
menanamkan modalnya di dalam pembangunan proyek pencairan batubara, baik sebagai
penyedia batubara untuk bahan baku maupun pembeli produk-produk pencairan
batubara.
5.2.2 Keekonomian Pabrik Pencairan Batubara
Sesuai dengan uraian pada Bab II maka keekonomian pabrik pencairan batubara
yang akan disampaikan pada laporan ini adalah untuk teknologi BCL, Jepang, teknologi
SASOL, Afrika Selatan dan teknologi CCT FT, Afrika Selatan.

V-13

5.2.2.1 Teknologi BCL, Jepang


Tabel V.4 menampilkan arus kas (cash flow) pabrik pencairan batubara teknologi
BCL, Jepang kapasitas 6.000 ton batubara perhari atau 26.905 barel minyak perhari.
Diasumsikan bahwa pabrik dibangun pada tahun 2011 dan mulai berproduksi pada tahun
2015. Harga minyak pada tahun 2010 adalah 80 US$ per barel dan bila eskalasi harga
adalah 3,5% per tahun maka harga minyak pada tahun 2015 adalah 95 US$ per barel.
Harga batubara (transfer price) pada tahun 2010 diasumsikan adalah 25 US$ per barel.
Batubara menyumbang pada variable cost pabrik pencairan batubara sebesar 16,4 US$
per barel. Pabrik dengan skala 6.000 ton perhari disamping menghasilkan minyak 26.905
barel perhari juga menghasilkan amonia 72 ton perhari, phenol 1 ton perhari, belerang 77
ton perhari dan LPG 306 ton perhari. Hasil samping (by product) ini akan mengurangi
biaya produksi minyak per barelnya. Pabrik diasumsikan beroperasi selama 330 hari per
tahun.
Dengan harga minyak 95 US$ per barel maka pada tahun 2015 akan didapatkan
pemasukan dari penjualan minyak sebesar 843,6 juta US$. Variable cost pada tahun 2015
adalah sebesar 209 juta US$ yang terdiri dari biaya pembelian batubara 172,5 juta US$,
pembelian katalis 11,8 juta US$, pembelian bahan kimia 25,2 juta US$ dan pembelian air
0,1 juta US$. Arus kas masuk dari penjualan hasil samping adalah 51 juta US$ sedangkan
fixed cost (tidak termasuk depresiasi) adalah 114,1 juta US$. Pada tahun 2015 pabrik
mempunyai keuntungan setelah pajak (profit after tax) ditambah depresiasi sebesar
324,2 juta US$. Setelah pembayaran cicilan pinjaman pokok dan bunga pabrik masih
mempunyai arus kas positif (keuntungan) sebesar 191,6 juta US$.

V-14

Tabel V.4. Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi BCL-Japan
kapasitas 26905 barel/hari

V-15

13
2027
14
2028
15
2029
16
2030
17
2031

21
2035

22
2036

23
2037

209.6
1861.1
380.6
26.1
55.6
0.2
462.5
-96.5
-0.7
-1.6
-13.7
-112.6
181.9
15.8
12.1
3.3
0.0
0.0
213.1
0.0
1298.1
389.4
908.7
-474.9

24
2038

217.0
1926.2
393.9
27.0
57.5
0.2
478.7
-99.9
-0.7
-1.7
-14.2
-116.5
188.3
16.4
12.5
3.4
0.0
0.0
220.6
0.0
1343.5
403.1
940.5
-512.5

25
2039

Tabel V.4 (lanjutan). Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi BCL-Japan
kapasitas 26905 barel/hari

Year

202.5
1798.2
367.7
25.2
53.7
0.2
446.8
-93.3
-0.7
-1.6
-13.3
-108.8
175.8
15.3
11.7
3.1
0.0
0.0
205.9
0.0
1254.2
376.3
877.9
-438.5

1453.0
19523.8
940.5

195.7
1737.3
355.3
24.3
51.9
0.2
431.7
-90.1
-0.7
-1.5
-12.8
-105.1
169.8
14.8
11.3
3.0
0.0
0.0
198.9
0.0
1211.8
363.5
848.3
-403.4

143.6 148.6 153.8 159.2 164.8


1274.7 1319.4 1365.5 1413.3 1462.8
260.7 269.8 279.3 289.0 299.1
17.8
18.5
19.1
19.8
20.5
38.1
39.4
40.8
42.2
43.7
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
316.8 327.9 339.3 351.2 363.5
-66.1
-68.4
-70.8
-73.3
-75.9
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
-0.5
-1.1
-1.2
-1.2
-1.2
-1.3
-9.4
-9.7
-10.1
-10.4
-10.8
-77.1
-79.8
-82.6
-85.5
-88.5
124.6 129.0 133.5 138.2 143.0
10.8
11.2
11.6
12.0
12.4
8.3
8.6
8.9
9.2
9.5
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
6.0
5.3
4.5
3.8
3.0
1.0
0.8
0.7
0.6
0.5
153.0 157.2 161.6 166.2 171.0
120.0 120.0 120.0 120.0 120.0
698.5 738.4 779.5 821.7 865.0
209.5 221.5 233.8 246.5 259.5
608.9 636.9 665.6 695.1 725.5
-106.6 -134.7 -164.0 -194.4 -226.1

1251.7 1316.5 1383.5


15370.8 16687.3 18070.8
848.3
877.9
908.7

189.1
1678.6
343.3
23.5
50.1
0.2
417.1
-87.1
-0.6
-1.5
-12.4
-101.6
164.1
14.3
10.9
2.9
0.0
0.0
192.2
0.0
1170.8
351.2
819.6
-369.5

oil prices
sales
coal cost
catalyst
chemicals
industrial water
variable cost
LPG
sulfur
phenol
Ammonia
by product deduction
Maintenance
Labor
article of consumption
equipment management
Insurance
Property tax
fixed cost
depreciation (dep.)
profit before tax
corporate tax
profit after tax plus dep.
interest

842.8 883.0 925.1 969.1 1015.2 1063.4 1113.7 1166.3 1189.0


5794.3 6677.3 7602.3 8571.5 9586.7 10650.1 11763.8 12930.1 14119.2
476.3 504.3 533.0 562.5 592.9
624.0
656.1
689.1
819.6

Production
18
19
20
2032
2033
2034
Cash flow in million US$
170.5
176.5
182.7
1514.0 1567.0 1621.8
309.6
320.4
331.7
21.2
21.9
22.7
45.2
46.8
48.5
0.2
0.2
0.2
376.2
389.4
403.0
-78.5
-81.3
-84.1
-0.6
-0.6
-0.6
-1.3
-1.4
-1.4
-11.2
-11.6
-12.0
-91.6
-94.8
-98.1
148.0
153.2
158.5
12.9
13.3
13.8
9.8
10.2
10.5
2.6
2.7
2.8
2.3
1.5
0.8
0.4
0.2
0.1
176.0
181.2
186.6
120.0
120.0
120.0
909.5
955.3 1002.4
272.9
286.6
300.7
756.7
788.7
821.7
-259.0 -293.2
-328.7

FCF for IRR


Cumulative FCF
FCF after Repayment

V-16

Gambar V.2 menampilkan pengaruh harga batubara pada IRR pabrik. Batubara
yang dipakai adalah batubara peringkat rendah dari Pendopo Sumatera Selatan. Pada
harga minyak 70 US$ per barel dan harga batubara 25 US$ per ton, nilai IRR pabrik adalah
lebih besar dari 13%. Apabila harga minyak pada tahun 2015 adalah 95 US$ per barel
maka akan dihasilkan IRR sekitar 19%. Harga dibawah 25 US$ per ton untuk batubara
Pendopo, Sumatera Selatan diperkirakan masih memungkinkan, mengingat batubara
Pendopo masih belum ditambang sampai saat ini, lokasi tambang batubara Pendopo juga
jauh dari pantai sehingga biaya transportasi akan tinggi dan peringkat batubara Pendopo
relatif rendah dengan kandungan air total mencapai 55% dan abu 7,8%. Diperkirakan
penggunaan stranded coal (batubara yang tidak laku di jual karena lokasi dan kualitasnya)
sebagai umpan (feedstock) pabrik pencairan batubara akan mengurangi resiko bahan baku
(coal supply risk).

Gambar V.2 Pengaruh Harga Batubara pada IRR Pabrik Pencairan Batubara
Teknologi BCL-Jepang dengan Menggunakan Batubara Pendopo
5.2.2 2 Teknologi SASOL, Afrika Selatan
Kajian keekonomian pembangunan pabrik pencairan batubara teknologi SASOL,
Afrika Selatan di Indonesia belum dilakukan tetapi pihak SASOL memperkirakan investasi

V-17

yang dibutuhkan untuk pembangunan pabrik kapasitas 80.000 barel perhari adalah
berkisar 11 -15 miliar US$ dan cash cost (variable dan fixed cost tetapi tidak termasuk
depresiasi) adalah 50 US$ per barel.
Tabel V.5 menampilkan perkiraan cash flow pabrik pencairan batubara kapasitas
80.000 barel di Indonesia dengan asumsi capital cost 15 miliar US$, operasi pabrik 330
hari/tahun, bunga pinjaman 6% dan bunga simpanan 4%. Teknologi yang dipakai adalah
Low Temperature Fischer Tropsch (LTFT) yang dilengkapi dengan proses catalytic cracking
untuk menghasilkan komponen solar bermutu tinggi (angka setana >70, kadar belerang
<1 ppm dan kandungan aromatic <1%). Karena produk proses ini bisa di campur
langsung dengan solar yang ada di pasaran maka produk SASOL ini dapat dijual dengan
harga 1,3 1,5 kali harga minyak mentah. Bila harga minyak mentah pada tahun 2010
adalah 80 US$ per barel maka harga produk SASOL ini minimal adalah 104 US$ per
barrel.

V-18

Year
oil prices
sales
cash cost
depreciation (dep.)
profit before tax
corporate tax
profit after tax (PAT)
PAT plus depreciation
Loan remains
corpus
Loan Interest
FCF after Repayment
deposit interest
interest balance
FCF for IRR
cumulative FCF

9
2023

168.3
4444.3
2136.7
750.0
1557.6
467.3
1090.3
1840.3
5775.0
525.0
346.5
968.8
38.8
307.7

10
2024

174.2
4599.8
2211.5
750.0
1638.4
491.5
1146.9
1896.9
5250.0
525.0
315.0
1056.9
42.3
272.7

11
2025

180.3
4760.8
2288.9
750.0
1722.0
516.6
1205.4
1955.4
4725.0
525.0
283.5
1146.9
45.9
237.6

12
2026

1821.0 1879.1 1939.1 2001.3


-484.0 1395.1 3334.2 5335.5

162.7
4294.0
2064.4
750.0
1479.6
443.9
1035.7
1785.7
6300.0
525.0
378.0
882.7
35.3
342.7

Tabel V.5. Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi ICL-SASOL
kapasitas 80.000 barel/hari

-5
2010
104.0
50.0

-4
-3
-2
-1
1
2
3
4
5
6
7
8
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
Assumptions ($/BBL)
Cash flow in million US$
107.6 111.4
115.3
119.3
123.5
127.8
132.3 136.9 141.7 146.7 151.8 157.2
3260.9
3375.0
3493.2 3615.4 3742.0 3872.9 4008.5 4148.8
51.8
53.6
55.4
57.4
1567.7
1622.6
1679.4 1738.2 1799.0 1862.0 1927.2 1994.6
750.0
750.0
750.0 750.0 750.0 750.0 750.0 750.0
943.2
1002.4
1063.8 1127.2 1192.9 1260.9 1331.3 1404.2
282.9
300.7
319.1 338.2 357.9 378.3 399.4 421.3
660.2
701.7
744.6 789.1 835.1 882.7 931.9 982.9
1410.2
1451.7
1494.6 1539.1 1585.1 1632.7 1681.9 1732.9
10500.0
9975.0
9450.0 8925.0 8400.0 7875.0 7350.0 6825.0
525.0
525.0
525.0 525.0 525.0 525.0 525.0 525.0
630.0
598.5
567.0 535.5 504.0 472.5 441.0 409.5
255.2
328.2
402.6 478.6 556.1 635.2 715.9 798.4
10.2
13.1
16.1
19.1
22.2
25.4
28.6
31.9
619.8
585.4
550.9 516.4 481.8 447.1 412.4 377.6
Cash Flow in Million US$
-750.0 -2250.0 -6750.0 -5250.0
1420.4
1464.8
1510.7 1558.2 1607.3 1658.1 1710.6 1764.9
-750.0 -3000.0 -9750.0 -15000.0 -13579.6 -12114.7 -10604.0 -9045.8 -7438.5 -5780.4 -4069.9 -2305.0

V-19

15
2029

206.9
5463.2
2626.5
750.0
2086.6
626.0
1460.7
2210.7
2625.0
525.0
157.5
1528.2
61.1
96.4

16
2030

214.2
5654.4
2718.4
750.0
2185.9
655.8
1530.1
2280.1
2100.0
525.0
126.0
1629.1
65.2
60.8

17
2031

18
19
20
2032
2033
2034
Cash flow in million US$
221.7
229.4
237.5
5852.3 6057.1 6269.1
2813.6
2912.1 3014.0
750.0
750.0
750.0
2288.7 2395.0 2505.1
686.6
718.5
751.5
1602.1 1676.5 1753.6
2352.1 2426.5 2503.6
1575.0 1050.0
525.0
525.0
525.0
525.0
94.5
63.0
31.5
1732.6 1838.5 1947.1
69.3
73.5
77.9
25.2
-10.5
-46.4

21
2035

254.4
6715.6
3228.7
0.0
3487.0
1046.1
2440.9
2440.9
0.0
0.0
0.0
2440.9
97.6
-97.6

22
2036

263.3
6950.7
3341.7
0.0
3609.0
1082.7
2526.3
2526.3
0.0
0.0
0.0
2526.3
101.1
-101.1

23
2037

272.5
7193.9
3458.6
0.0
3735.3
1120.6
2614.7
2614.7
0.0
0.0
0.0
2614.7
104.6
-104.6

24
2038

282.0
7445.7
3579.7
0.0
3866.1
1159.8
2706.2
2706.2
0.0
0.0
0.0
2706.2
108.2
-108.2

25
2039

2627.4 2719.3 2814.5


31472.2 34191.5 37005.9

245.8
6488.5
3119.5
0.0
3369.0
1010.7
2358.3
2358.3
0.0
0.0
0.0
2358.3
94.3
-94.3

Tabel V.5 (lanjutan). Arus Kas (cash Flow) Pabrik Pencairan Batubara Teknologi ICL-SASOL
kapasitas 80.000 barel/hari

14
2028
199.9
5278.4
2537.7
750.0
1990.7
597.2
1393.5
2143.5
3150.0
525.0
189.0
1429.5
57.2
131.8

13
2027
193.2
186.6
5099.9
4927.5
2369.0 2451.9
750.0
750.0
1808.5 1898.0
542.5
569.4
1265.9 1328.6
2015.9 2078.6
4200.0 3675.0
525.0
525.0
252.0
220.5
1238.9 1333.1
49.6
53.3
202.4
167.2

Year
oil prices
sales
cash cost
depreciation (dep.)
profit before tax
corporate tax
profit after tax (PAT)
PAT plus depreciation
Loan remains
corpus
Loan Interest
FCF after Repayment
deposit interest
interest balance
2065.5
7401.0

2132.0 2200.7 2271.8 2345.3 2421.4 2500.1 2581.5 2452.7 2538.5


9532.9 11733.6 14005.4 16350.7 18772.1 21272.2 23853.6 26306.3 28844.8

FCF for IRR


cumulative FCF

V-20

Bila eskalasi harga adalah 3.5% per tahun maka harga produk SASOL ini pada
tahun 2015 adalah 123,5 US$ per barrel. Bila pabrik beroperasi 330 hari per tahun maka
hasil penjualan minyak pada tahun tersebut adalah 3 miliar 260,9 juta US$. Cash cost,
cicilan pinjaman pokok dan cicilan bunga pinjaman pada tahun tersebut berturut-turut
adalah 1.567,7 juta US$, 525 juta US$ dan 630 juta US$. Keuntungan bersih pabrik pada
tahun 2015 setelah dikurangi pembayaran pajak, cash cost, cicilan pinjaman pokok dan
bunga pinjaman adalah 255,2 juta US$. Hasil perhitungan keekonomian menunjukkan bila
capital cost pabrik 11 milyar US$ maka didapatkan IRR 13% dan bila capital cost 15 miliar
US$ maka didapatkan IRR 10%.
SASOL mengharapkan proyek pencairan batubara di Indonesia dapat mencapai
IRR 18% dengan perincian pabrik mempunyai IRR 11%, pemberian insentif meningkatkan
IRR menjadi 16% dan pemanfaatan CO2 untuk Enhance Oil Recovery (EOR) meningkatkan
IRR lebih lanjut menjadi 18%. Gambar V.3 menampilkan target IRR yang diinginkan oleh
SASOL.

Gambar V.3 Target IRR yang Diinginkan SASOL.

V-21

5.2.2.3 Teknologi CCT FT, Afrika Selatan


Beberapa asumsi utama yang digunakan dalam perhitungan keekonomian
teknologi CCT FT adalah sebagai berikut :
a. Biaya konstruksi
Kebutuhan biaya konstruksi untuk pabrik komersial pencairan batubara adalah 928
juta US$.
b. Biaya operasional
Diasumsikan bahwa biaya operasional terdiri dari biaya feedstock batubara dan biaya
operasional lainnya. Biaya operasional lainnya dihitung sebesar 29 US$ per barrel pada
tahun 2011. Sementara biaya feedstock batubara dihitung berdasarkan data terbaru
dengan asumsi bahwa biaya batubara per ton akan dikonversi menjadi biaya batubara
per barel dengan konversi 1,2 kali. Harga batubara kalori rendah pada tahun 2011
adalah sebesar 45 US$ per ton atau 54 US$ per barrel.
c. Kapasitas produksi
Kapasitas produksi pabrik CCT FT adalah 10.000 barrel per hari dengan 330 hari
operasi pabrik per tahun.
d. Harga jual produk
Harga jual produk hasil pencairan batubara terdiri dari 80% minyak diesel kualitas
tinggi yaitu 8,000 barrel per hari dengan harga jual 164 US$ per barel, 20% berupa
light naphtha sebanyak 2,000 barel per hari dengan harga jual 107,64 US$ per barel
dan produk samping berupa kelebihan produk listrik sebanyak 102 MW dengan harga
jual 0,05 US$ per kwh.
e. Pajak perusahaan
Pajak perusahaan yang berlaku di Indonesia adalah sebesar 25%.
f.

Dana investasi

V-22

Kebutuhan akan dana investasi diperoleh dari modal sendiri sebanyak 30% dan sisanya
sebanyak 70% diperoleh dari pinjaman bank dengan suku bunga sebesar 6% dengan
jangka waktu 20 tahun.
g. Kondisi internal dan eksternal perusahaan selama proyek berlangsung
Harga jual diesel dan naphtha dan biaya operasional yang digunakan dalam
perhitungan ini diasumsikan mengalami kenaikan sebesar 3,5% selama kegiatan
proyek berlangsung.

Ringkasan akan asumsi kondisi perusahaan serta nilai-nilai variabel yang


dipergunakan dalam perhitungan keekonomian teknologi CCT FT dapat dilihat pada
Tabel V.6.
Tabel V.6 Ringkasan Asumsi
Biaya Konstruksi
Kapasitas produksi (barrel/hari)

10.000

Biaya konstruksi (US$ juta)

928

Periode konstruksi (tahun)

Umur ekonomis pabrik (tahun)

25

Ongkos Produksi
Harga batubara wantah (US$/ton)

45

Biaya batubara (US$/barrel)

54

Biaya operasional lainnya(US$/barrel)

29

Asumsi lain
Umur depresiasi (tahun)

20

Pajak perusahaan (%)

25

Modal sendiri/ equity (%)

30

Bunga pinjaman jangka panjang (%)

Masa peminjaman (tahun)

20

Harga jual diesel (US$/barrel)

164

Harga jual naphtha (U$/barrel)

107,64
V-23

Harga jual listrik (U$/kwh)

0,05

Dengan menggunakan asumsi-asumsi seperti tercantum pada Tabel V.6, maka diperoleh
hasil perhitungan sebagai berikut :
Internal Rate of Return (IRR)
Metode ini digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai
sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan
mengeluarkan investasi awal. Nilai IRR dapat dicari misalnya dengan coba-coba (trial and
error) atau menggunakan program MS Excel.

Metoda tersebut diformulasikan dalam rumus berikut :

I0 =

CFt

1 IRR
t 1

Dimana :
T

= tahun ke-

N = jumlah tahun
I0 = nilai investasi awal
CF = arus kas bersih
IRR = tingkat bunga yang dicari harganya
Kriteria Penilaian :
IRR dapat dibandingkan dengan rates of return yang sering digunakan di pasar surat
berharga. Jika IRR yang didapat ternyata lebih kecil dari keuntungan yang didapat dari
pasar keuangan, perusahaan itu lebih baik berinvestasi di pasar.

Perhitungan IRR dapat dilihat pada Tabel V.7 dibawah ini.

V-24

V-25

Tabel V.7 Perhitungan Arus Kas Untuk IRR


1
2015
188
124
0.05
619

2
2016
195
128
0.05
639

3
2017
202
132
0.05
660

4
2018
209
137
0.05
682

5
2019
216
142
0.05
704

21
2035
374
246
0.05
1,191

22
2036
388
254
0.05
1,231

23
2037
401
263
0.05
1,273

24
2038
415
272
0.05
1,316

25
2039
430
282
0.05
1,361

325
46
267
67
200

337
46
277
69
208

348
46
287
72
215

361
46
297
74
223

625

647

670

693

718

Laba setelah pajak(LSP)

314
46
258
65
194

566
141
424

584
146
438

603
151
452

623
156
467

643
161
482

LSP ditambah

240

247

254

261

269

424

438

452

467

482

650
32
39
168

617
32
37
177

585
32
35
186

552
32
33
196

520
32
31
205

424

438

452

467

482

7
32
247
(681)

7
30
254
(427)

7
28
261
(166)

8
25
269
103

8
23
277
381

17
(17)
441
6,167

18
(18)
456
6,622

18
(18)
471
7,093

19
(19)
486
7,579

19
(19)
502
8,081

Harga jual minyak


Harga jual naphtha
Harga jual listrik
Penjualan
Biaya batubara
Biaya operasional lain
Total biaya operasional
Depresiasi

2011
164
108
0.05

2012
170
111
0.05

2013
176
115
0.05

2014
182
119
0.05

54
29
83

56
30
86

58
31
89

60
32
92

Laba sebelum pajak


Pajak perusahaan

depresiasi
Jumlah hutang
Cicilan tetap pinjaman
Bunga pinjaman
Arus Kas Setelah
Pinjaman
Bunga deposit
interest balance
Arus kas untuk IRR
Arus kas kumulatif

-46
-46

(139)
(186)

(418)
(603)

(325)
(928)

Dari hasil perhitungan diatas dengan menggunakan program MS Excel diperoleh nilai IRR adalah sebesar 24,3%.
Jika dibandingkan dengan imbal hasil obligasi pemerintah jangka 25 tahun sebesar 8,4% maka nilai IRR proyek pencairan batubara
dengan menggunakan teknologi CCT FT adalah layak secara ekonomis berdasarkan nilai IRR-nya.

V-26

Analisa Sensitivitas
Analisa sensitivitas atau kepekaan diperlukan untuk mengetahui pengaruh dari faktor
harga jual minyak, harga beli batubara dan nilai investasi terhadap kelayakan proyek pencairan
batubara berdasarkan nilai IRR. Kenaikan biaya investasi sebesar 10% akan menurunkan nilai IRR
sebesar 7% kali dari nilai IRR sebelumnya, seperti diperlihatkan pada Gambar V.4. Setiap
kenaikan/penurunan

harga

jual

diesel

hasil

pencairan

batubara

sebesar

10%

akan

Biaya Investasi (U$Jutal)

meningkatkan/menurunkan nilai IRR sekitar 8 -12% kali dari IRR sebelumnya (Gambar V.5).

1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
24,30%

22,60%

21,2%

19,9%

18,8%

17,9%

IRR

Harga Diesel (U$/barrel)

Gambar V.4 Pengaruh Biaya Investasi Pada IRR Teknologi CCT FT


250
200
150
100
50
0
14,1%

17,8%

21,2%

24,3%

27,2%

30,0%

32,6%

IRR

Gambar V.5 Pengaruh Harga Jual Diesel Pada IRR Teknologi CCT FT

V-27

Gambar V.6 memperlihatkan setiap kenaikan/penurunan harga jual naptha hasil


pencairan batubara sebesar 10% akan meningkatkan/menurunkan nilai IRR sekitar 0,5%.
Sedangkan

setiap

penurunan/kenaikan

harga

batubara

sebesar

10%

akan

meningkatkan/menurunkan nilai IRR sebesar 5% kali nilai IRR sebelumnya seperti diperlihatkan
pada Gambar V.7.

140
120
100
80
60
40
20
0
22,8%

23,3%

23,8%

24,3%

24,8%

25,3%

25,7%

IRR

Gambar V.6 Pengaruh Harga Jual Naptha Pada IRR Teknologi CCT FT

70

Harga Batubara (U$/ton)

Harga Naphtha (U$/barrel)

160

60
50
40
30
20
10
0
28,0%

26,7%

25,5%

24,3%

23,0%

21,8%

20,4%

IRR

Gambar V.7 Pengaruh Harga Batubara Pada IRR Teknologi CCT FT

V-28

5.2.3 Rekomendasi Teknologi Pencairan Batubara


Saat ini memang baru Afrika Selatan yang telah mampu mencairkan batubara melalui
teknologi SASOL sejak sekitar 55 tahun yang lalu, walaupun beberapa negara telah berupaya ke
arah itu. Jepang dan Amerika Serikat merupakan dua negara yang telah mengembangkan
teknologi pencairan batubara meski belum semaju Afrika Selatan. Sedangkan Cina berupaya
mencairkan batubara dengan menggabungkan beberapa teknologi yang ada, antara lain
NEDOL dari Jepang, Fisher Tropsh dari Afrika Selatan dan HTI dari Amerika Serikat, namun
sampai saat ini masih dalam tahap uji coba pada skala semi komersil.

Dari uraian di atas, ada dua teknologi yang direkomendasikan untuk diimplementasikan
di Indonesia, yaitu SASOL, Afrika Selatan dan CCT FT, Afrika Selatan.
5.2.3.1 Teknologi SASOL
SASOL didirikan pada tanggal 26 September 1950, dengan tujuan utama mengubah
batubara menjadi bahan bakar cair setara dengan BBM dan bahan kimia. SASOL pertama
dibangun di Sasolburg dan menghasilkan produk cair pertamanya pada tahun 1955. Pada tahun
1980 dan 1982, SASOL kedua dan SASOL ketiga secara berturut-turut mulai berproduksi di
Secunda. Saat ini, setelah lebih dari 50 tahun beroperasi, SASOL merupakan satu-satunya pabrik
pencairan batubara skala komersil di dunia. Pada saat ini SASOL memproduksi 160.000 barel
minyak perhari menyerap tenaga kerja 140.000 orang (langsung dan tidak langsung),
menghemat devisa US$ 3,9 miliar pertahun dan membayar pajak dan pungutan sekitar US$ 1
miliar pertahun. Sedangkan kebutuhan batubara adalah sekitar 30 juta ton pertahun dan emisi
CO2 yang dihasilkan adalah sekitar 70 juta ton pertahun.

BBM dari proses SASOL ini dapat memenuhi 30% dari permintaan bahan bakar cair
Afrika Selatan. Produk akhir dari pabrik di Afrika Selatan ini dapat berupa bahan bakar cair
(BBM), gas dan petrokimia. Selain mengkonversi batubara menjadi BBM, SASOL juga
mempunyai pabrik yang mengkonversi gas alam menjadi BBM (Gas to Liquids/GTL). Saat ini

V-29

produk GTL SASOL di Qatar memproduksi setara 35.000 barel minyak perhari. Alur proses
teknologi SASOL dapat dilihat pada Gambar V.8.

Gambar V.8 Alur Proses Teknologi SASOL

Mengingat reaktor yang biasanya dipergunakan cukup besar, maka secara umum
teknologi SASOL lebih cocok diperuntukkan bagi pabrik yang memiliki kapasitas besar yaitu
sekitar 80.000 barel perhari. Produk akhir dari proses SASOL cukup banyak, tergantung
keekonomian dan ketersediaan pasar.

Produk tersebut dapat dihasilkan setelah melalui proses lanjutan antara lain isomerisasi,
alkinasi, polimerisasi, dan lain-lain termasuk blending untuk memenuhi spesikasi pasar. Gambar
V.9 memperlihatkan macam-macam produk akhir dari proses SASOL.

V-30

Gambar V.9 Distribusi Produk Pencairan Batubara SASOL


5.2.3.2 Teknologi CCT FT
Teknologi CCT FT dikembangkan oleh perusahaan China yang berdomisili di Afrika Selatan.
Saat ini CCT FT telah teruji sampai pada skala pilot dengan kapasitas 3 barel perhari. Pilot plant
yang dibangun di wilayah Baoji, China ini mulai beroperasi sejak Januari 2008 dan tahap
pertama beroperasi selesai pada akhir bulan Nopember 2009. Sampai saat ini CCT belum
memiliki pabrik komersil, namun dari pengalaman mengoperasikan pilot plant di Baoji, CCT
memiliki keyakinan dapat membangun pabrik pencairan batubara skala komersil.

Kekhasan teknologi CCT dibandingkan dengan teknologi lainnya adalah penggunaan gas
pereaksi yang tidak murni oksigen sehingga biaya pemurnian udara menjadi oksigen dapat
diturunkan. CCT juga mengurangi proses recycle atau reforming tail gas karena recycle dan
V-31

reforming dianggap lebih menambah biaya. CCT memproses tail gas menjadi gas bakar di
pembangkit listrik. Dengan demikian proses CCT dapat menghasilkan listrik dalam jumlah lebih
besar. Alur proses CCT FT dapat dilihat pada Gambar V.10.

Gambar V.10 Proces CCT FT

Teknologi CCT FT lebih unggul dari teknologi yg telah berkembang sebelumnya juga
dilihat dari sisi:
-

Menggunakan beberapa reaktor (fixed bed) sehingga lebih mudah dioperasikan dan
menghindari berhentinya proses secara keseluruhan.
V-32

Pabrik skala komersial dapat diperasikan pada kapasitas kecil mulai dari 1.350 barel per hari
atau 5.000 barel per hari.

Kapasitasnya dengan mudah diperbesar melalui penambahan reaktor.

Proses gasifikasinya bisa menggunakan udara.

Payback periodnya cepat.

Emisi CO2 lebih kecil 20% dibandingkan dengan teknologi SASOL.


Pabrik komersial 5.000 barel perhari akan menghasilkan produk diesel kualitas sangat

bagus 80% dan light naptha 20%. Produk samping adalah listrik sekitar 100 MW dan pupuk
dihasilkan dari proses CO2, Nitrogen dan Hidrogen. Sedangkan kebutuhan batubara dengan
kadar air total 45% adalah sekitar 2 juta ton pertahun.
Pihak CCT dan SSCP mengharapkan proyek CTL dapat dimulai segera dengan membuat
feasibility study pada beberapa lokasi untuk mendapatkan model pengembangannya. Untuk itu
diperlukan data antara lain kesiapan pasokan batubara untuk minimal 25 tahun dan sumber air
yang cukup. Sedangkan pendanaan dan offtaker produk tidak menjadi permasalahan, termasuk
dana bankable feasibility akan ditanggung oleh CCT dan SSCP.
Gambar V.11 memperlihatkan proses dan beberapa jenis produk utama serta produk
samping dari teknologi CCT FT.

Gambar V.11 Proses dan Beberapa Jenis Produk Dari Teknologi CCT FT
V-33

5.2.4 Potensi Batubara untuk Bahan Baku Pencairan Batubara


5.2.4.1 Pertimbangan Pemilihan Batubara Sebagai Bahan Baku
Mengingat pembangunan pabrik pencairan batubara merupakan kegiatan yang penuh
resiko tinggi, baik di tinjau dari keberadaan teknologi maupun kebutuhan investasi yang tinggi,
maka perlu dilakukan perencanaan yang matang. Salah satu pertimbangan yang harus dilakukan
adalah keberadaan batubara yang akan diperuntukkan sebagai bahan baku dari proses
pencairan batubara.

Beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangkan untuk merealisasikan pembangunan


pabrik pencairan batubara di Indonesia, di antaranya adalah:
Cadangan batubara sebesar sekitar 2 miliar ton dengan biaya penambangan yang murah
(<20 US$/ton) dan dimiliki oleh 1 perusahaan, khusus untuk teknologi SASOL.
Batubara tersebut merupakan batubara yang sulit dikembangkan, antara lain karena
kandungan air tinggi, kadar belerang tinggi dan terdapat pada lokasi terpencil, dengan
demikian batubara tersebut dapat diperoleh dengan murah.
Produk CTL dibeli dengan harga internasional.
Dukungan pengembangan infrastruktur dari pemerintah.
Insentif fiscal dan kredit jangka panjang berbunga rendah.
Ada solusi pengelolaan CO2 (CO2-EOR/enhance oil recovery), antara lain tersedianya
sumur-sumur minyak tua yang tidak produksi lagi.

Dari beberapa persyaratan seperti yang diuraikan di atas, terdapat 2 (dua) lokasi yang
dianggap paling potensial sebagai lokasi pabrik pencairan batubara yaitu di daerah Talang Ubi
Pendopo, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan, selanjutnya disebut batubara
Pendopo dan di daerah Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur yang
selanjutnya disebut batubara Muara Wahau. Dengan demikian diharapkan pengelolaan proyek
pencairan batubara ini terintegrasi mulai dari penyediaan bahan baku sampai pengelolaan
produk utama dan produk samping.

V-34

5.2.4.1.1 Batubara Pendopo, Sumatera Selatan


Lokasi batubara Pendopo di Sumatera Selatan dapat dilihat pada Gambar V.12. Daerah
ini dibagi atas 3 (tiga) blok, yaitu Blok Sigoyang, Blok Benuang dan Blok C. Formasi-formasi
batuan yang menyusun wilayah Pendopo adalah Formasi Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi
Kasai, dan Alluvium. Formasi-formasi tersebut berumur Miosen Tengah sampai Plistosen dan
Aluvium berumur Holosen. Formasi Muara Enim adalah formasi pembawa batubara di lokasi ini.
Formasi Air Benakat (Tma) berumur Miosen Tengah-Miosen Atas, terdiri dari perlapisan
antara batulempung dan batulanau dengan konkresi-konkresi batupasir besi yang
mengandung oksida besi.
Formasi Muara Enim (Tmpn) berumur Pliosen yang terdiri dari batulempung, batulanau dan
batupasir tufaan dengan sisipan batubara.
Formasi Kasai (Qtk) berumur Plio-Plistosen yang terdiri dari perselingan antara tufa, tufa
pasiran dan batupasir tufaan.
Formasi Muara Enim tersingkap hampir merata di bagian tengah daerah Pendopo yang
menempati Antiklin Sigoyang, Monoklin Sigoyang, dan Sinklin Benuang. Formasi Muara Enim ini
merupakan formasi pembawa lapisan batubara. Total sumber daya batubara di wilayah Pendopo
adalah sebesar 1,954 miliar ton seperti terlihat pada Tabel V.8.

V-35

Gambar V.12 Peta Lokasi Batubara Pendopo


Tabel V.8 Total Sumber Daya Batubara di Daerah Pendopo (dalam Jutaan Ton)

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diterjemahkan sebagai berikut :

Total sumber daya batubara daerah Pendopo adalah 1,954 miliar ton, yang terdiri dari :
o

Sumber daya terukur : 319 juta ton,

Sumber daya tertunjuk : 983 juta ton,

Sumber daya tereka : 652 juta ton.


V-36

Pada Blok Sigoyang terdapat 1,1 Milyar ton, yang terdiri dari :
o

Sumber daya terukur : 319 juta ton,

Sumber daya tertunjuk : 558 juta ton,

Sumber daya tereka : 225 juta ton.

Pada Blok Benuang terdapat 830 juta ton, yang terdiri dari :
o

Tidak ada sumber daya terukur,

Sumber daya tertunjuk : 425 juta ton,

Sumber daya tereka : 405 juta ton.

Pada Blok C terdapat 22 juta ton, yang keseluruhannya merupakan sumber daya tereka.

Batubara Pendopo mempunyai kandungan air total (total moisture/TM) sangat tinggi
(>50%) sehingga nilai kalor (CV) yang dimilikinya sangat rendah (<3.000 kkal/kg, as received).

Lokasi batubara yang terdapat di daerah Pendopo, pada umumnya dekat dengan sumur
sumur minyak tua, baik dimiliki PT Pertamina, Stanpac maupun swasta lain yang tidak
berproduksi lagi.
5.2.4.1.2 Batubara Muara Wahau, Kalimantan Timur
Daerah Muara Wahau, Kalimantan (Gambar V.13) merupakan daerah yang mempunyai
sumber daya batubara peringkat rendah cukup besar yang belum ditambang sehingga sangat
sesuai untuk rencana lokasi proyek pencairan batubara di Indonesia. Pada wilayah ini telah
didefinisikan 3 (tiga) lapisan utama batubara yang dinamakan Seam 1, Seam 2 dan Seam 3.
Seam 1 merupakan lapisan paling atas. Lapisan ini mempunyai ketebalan semu rata-rata 28,04
meter dengan ketebalan maksimum 52,82 meter. Kemiringan lapisan batubara 4 - 10 ke arah
Timur Laut dan Barat Daya. Kualitas rata-rata Seam 1 memiliki kandungan abu 3,79%, belerang
0,13%, dan nilai kalori 5.334 kkal/kg (adb). Seam 1 ini menyebar dengan jurus berarah relatif
Barat Laut - Tenggara.

Seam 2 memiliki ketebalan rata-rata 9.44 m dengan ketebalan

maksimum 25,18 meter. Seam 2 ini memiliki kemiringan lapisan 4 - 10 ke arah Timur Laut dan
Barat Daya. Kualitas rata-rata lapisan Seam 2 adalah kandungan abu 4,77 %, belerang 0,14 %

V-37

dan nilai kalori 5.463 kkal/kg (adb). Seam 3 merupakan lapisan batubara terbawah yang telah
teridentifikasi pada wilayah Muara Wahau. Seam 3 memiliki ketebalan semu (apparent thickness)
rata-rata 5,32 meter, dengan ketebalan maksimum 18,10 meter dengan kemiringan lapisan 4 10 ke arah Timur Laut dan Barat Daya.

Gambar V.13 Peta Lokasi Batubara Muara Wahau

Total sumber daya (resources) secara keseluruhan di wilayah Muara Wahau adalah lebih
dari 9,5 miliar ton yang terbagi ke dalam sumber daya terukur (measured) sekitar 2,55 miliar ton,
sumber daya tertunjuk (indicated) sebesar 4,68 miliar ton, dan tereka (inferred) lebuh kurang
2,29 miliar ton. Rincian sumber daya untuk masing-masing blok pada wilayah Muara Wahau
dapat dilihat pada Tabel V.9. Total cadangan (reserves) secara keseluruhan di wilayah Muara
Wahau lebih dari 5,6 miliar ton pada stripping ratio 2,71, dimana cadangan proven sekitar 2,04
miliar ton dan cadangan probable lebih kurang 3,56 miliar ton.

V-38

Batubara Muara Wahau Pendopo mempunyai kandungan air total (total moisture/TM)
tinggi ( rata-rata 45%) sehingga nilai kalor (CV) yang dimilikinya rendah (rata-rata 3.400 kkal/kg,
as received). Batubara mempunyai kadar belerang dan kadar abu rendah.
Sama halnya dengan batubara Pendopo, lokasi batubara yang terdapat di daerah Muara
Wahau, pada umumnya dekat dengan sumur sumur minyak tua, baik milik PT Pertamina
maupun swasta.
Tabel V.9 Sumber Daya Batubara di Daerah Muara Wahau

Nama Blok

RESOURCES (x 1000 ton)


Measured

Indicated

TEC-Prio-1

68.340

85.000

75.000

TEC-Prio-2

733.300

147.000

160.000

1.040.300 Oktober 2008

Total TEC

801.640

232.000

235.000

1.268.640

926.096

1.117.551

454.421

2.498.068

April 2009

824.728

3.332.368

1.604.403

5.761.499

April 2009

2.552.464

4.681.919

2.293.824

9.528.207

PMB
(PMB, BKS, KBK)
BMC
(BMC, BPS, TPP)
Total BEP (Wahau)

Inferred

Total

Status

228.340

Juli 2008

Keterangan : TEC (PT. Telen Eco Coal), PMB (PT. Persada Multi Bara), BKS (PT. Bumi Kaliman
Sejahtera), KBK (PT. Khazana Bumi Kaliman), BMC (PT. Bumi Murau Coal), BPS (PT. Birawa
Pandu Selaras), TPP (PT. Tri Panuntun Persada).
5.2.5 Landasan Hukum Program Pencairan Batubara
Mengingat peran batubara yang cukup strategis di dalam negeri, maka harus dijaga dan
dijamin ketersediaannya selama dan seekonomis mungkin, sehingga pengelolaannya perlu
dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu dan sinergi dengan sektor-sektor pembangunan
lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, Pemerintah Indonesia selain telah mengeluarkan tiga
V-39

kebijakan utama yaitu Kebijakan Batubara Nasional (KBN), Kebijaksanaan Energi Nasional (KEN)
dan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2006, juga telah menerbitkan Undang-Undang (UU)
No.4 Tahun 2009. Lebih lanjut UU No.4 Tahun 2009 memuat kewajiban bagi para pelaku usaha
pertambangan untuk meningkatkan nilai tambah (peningkatan nilai tambah/PNT) sumber daya
mineral dan batubara melalui pengolahan dan pemurnian.

KBN dan KEN tertuang di dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No.1128 K/40/MEM/2004 tanggal 23 Juni 2004, yang salah satunya berisi Kebijakan
Pengembangan, antara lain pencairan batubara (coal liquefaction).
KEN dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 sebagai pembaruan
Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) Tahun 1998 yang mempunyai tujuan utama untuk
menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi
secara efisien. Pencairan batubara diharapkan dapat berperan sebanyak 2% dari total bauran
energi nasional pada tahun 2025.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2006 yang
menginstruksikan kepada para menteri dan pemerintah daerah terkait untuk mendukung
program pencairan batubara.
5.2.6

Aspek Lingkungan
Pabrik pencairan batubara memproduksi emisi CO2 yang sangat banyak, tergantung

kapasitas pabrik yang akan dibangun. Sebagai contoh, emisi CO2 pabrik teknologi SASOL di
Afrika Selatan saat ini adalah sekitar 70 juta ton pertahun atau seperlima dari semua emisi CO2
yang di hasilkan Indonesia pada saat ini. Solusi masalah CO2 ini sebenarnya dapat dilakukan
dengan menyimpannya di dalam lapisan tanah (lapisan geologi tertentu) atau bisa dipakai untuk
proses EOR. Saat ini, untuk proses EOR di Indonesia digunakan steam (uap air). Penggunaan CO2
untuk EOR diharapkan menambah pemasukan bagi industri pencairan batubara dan pada saat
yang bersamaan mengurangi jumlah emisi CO2 yang terbang ke atmosfir. Dengan demikian,
lokasi ideal untuk faslitas pencairan batubara adalah dekat dengan sumur-sumur minyak tua.
V-40

Untuk itu Pemerintah Indonesia dapat berperan dengan memfasilitasi pencarian lokasi atau
memberi rekomendasi tentang lokasi ideal untuk fasilitas pencairan batubara tersebut. Walupun
sebenarnya teknologi penggunaan emisi CO2 untuk EOR masih belum tersedia secara komersial
dan diperkirakan biayanya sangat mahal. Namun untuk pabrik pencairan batubara, penggunaan
emisi CO2 untuk EOR merupakan proyek yang terintegrasi, sehingga secara keseluruhan proyek
ini diharapkan menguntungkan.

5.2.7 Tantangan Pembangunan Pabrik Pencairan Batubara


Penerapan teknologi pencairan batubara di Indonesia hingga saat ini belum terlaksana.
Beberapa faktor yang menghambat, antara lain adalah:

1)

Membutuhkan investasi yang sangat besar.


Investasi yang dibutuhkan adalaha sekitar 11-15 miliar US$ untuk pabrik teknologi SASOL
dengan kapasitas 80.000 barel per hari yang sudah terbukti pada skala komersil, namun
tingkat pengembaliannya termasuk rendah, sehingga tidak ada perusahaan yang berminat
serius. Sedangkan investasi untuk pabrik teknologi BCL dengan kapasitas 27.000 barel per
hari adalah sekitar 2,5 miliar US$, dan untuk pabrik teknologi CCT FT dengan kapasitas
10.000 barel per hari sekitar 928 juta US$. Investasi untuk teknologi BCL dan CCT FT adalah
relatif lebih rendah dibandingkan dengan teknologi SASOL, namun sayangnya kedua
teknologi tersebut sampai saat ini belum terbukti unjuk kerjanya (performance) pada skala
komersil. Walaupun sebenarnya CCT dapat memberikan garansi teknologi apabila
diimplementasikan pada skala komersil.

2)

Memerlukan insentif yang sangat banyak dari pemerintah.


Berdasarkan hasil perhitungan keekonomian, proyek pencairan batubara teknologi SASOL
di Indonesia akan mempunyai IRR sekitar 10-12%, dilain pihak SASOL menganggap proyek
ini menarik bila mempunyai IRR sekitar 18%. Pemberian insentif fiscal dan non fiscal
diperkirakan dapat menambah IRR sampai 5%, sedangkan pemanfaatan CO2 untuk EOR dan
penjualan bahan kimia produk samping pencairan batubara dapat meningkatkan IRR
berturut-turut adalah 2% dan 1%. Insentif yang diharapkan adalah tax holiday selama 10
V-41

tahun dan pengurangan pajak penghasilan setelah periode tax holiday selesai, sedangkan
pembangunan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, perumahan dan listrik kalau
dipersipkan oleh pemerintah diperkirakan akan menurunkan biaya investasi yang berakibat
pada peningkatan keekonomian proyek.

3)

Memerlukan cadangan batubara dalam jumlah yang cukup besar.


Cadangan batubara yang diperlukan oleh teknologi SASOL untuk memasok pabrik
pencairan batubara selama 30-40 tahun adalah sekitar 1,2-2,0 miliar ton, tergantung
karakteristik dari batubara yang akan digunakan. Indonesia sebenarnya mempunyai
cadangan batubara peringkat rendah (lignit) dalam jumlah cukup besar walaupun demikian
tidak banyak pemilik KP/KK yang mempunyai cadangan lebih dari 1 milyar ton, apalagi luas
IUP produksi dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dibatasi hanya 5.000 hektar. Dengan
demikian, sampai saat ini hanya dua lokasi yang dianggap punya cadangan batubara lignit
cukup besar yaitu di wilayah KK PT PEB, Sumatera Selatan dan di wilayah IUP PT. BEP,
Kalimantan Timur. Pemerintah Indonesia seharusnya bisa menjamin keberadaan bahan
baku (feedstock) batubara dalam jumlah besar dan murah untuk industri pencairan batubara
ini, misalnya melalui pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada industri
pencairan batubara.

4)

Produk minyak bila dijual di dalam negeri harus bersaing dengan BBM subsidi.
Hal ini merupakan tantangan berat bagi pengusaha pencairan batubara di Indonesia, untuk
itu perlu pengaturan harga jual poduk pencairan batubara, yang sebenarnya tidak perlu
dikontrol oleh pemerintah, dengan kata lain dibiarkan untuk bersaing dengan pasar
internasional.

5) Masalah teknologi gasifikasi batubara.


Proyek pencairan batubara teknologi SASOL di Indonesia akan di desain untuk
menggunakan batubara lignit dengan teknologi gasifikasi fixed bed SASOL-Lurgi dan
teknologi sintesa fischer tropsch suhu rendah (low temperature fischer tropsch/LTFT) dengan

V-42

produk utama berupa minyak solar. Saat ini SASOL menggunakan batubara bituminus
dengan kadar abu dan titik leleh abu tinggi untuk proses gasifikasinya. Walaupun gasifikasi
fixed bed

SASOL-Lurgi saat ini juga dipakai untuk gasifikasi batubara peringkat rendah

seperti di North Dakota Amerika Serikat, pengujian unjuk kerja gasifikasi untuk batubara
lignit Indonesia menggunakan teknologi tersebut masih perlu dilakukan karena masingmasing batubara mempunyai karakteristik yang berbeda.
5.2.8 Upaya Implementasi yang Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam Pembangunan
Pabrik Pencairan Batubara
Dalam rangka merealisasikan pembangunan pabrik pencairan batubara di Indonesia,
pemerintah telah melakukan pendekatan/kerjasama dengan pemerintah/ beberapa swasta
Jepang, dan pemerintah/swasta Afrika Selatan. Kerjasama dengan pemerintah/beberapa swasta
Jepang dilakukan dalam bentuk kerjasama penelitian dan pengembangan termasuk pembuatan
pra-studi kelayakan. Namun kerjasama untuk pembangunan pabrik pencairan batubara skala
komersial dengan Jepang masih terkendala karena teknologi pencairan batubara yang
dikembangkan oleh Jepang sampai saat ini masih belum teruji pada skala komersil ditandai
dengan tidak ada pabrik pencairan batubara skala besar/komersil yang telah dibangun.

Upaya untuk melakukan kerjasama dengan SASOL telah dirintis oleh Direktur Jenderal
Industri Kimia Dasar sejak 1982. Rintisan kerjasama ini tidak ditindaklanjuti dalam waktu yang
cukup lama karena harga minyak yang murah dan tidak adanya hubungan diplomatik antara
Pemerintah Indonesia dengan Afrika Selatan saat itu. Rencana kerjasama Indonesia dengan
SASOL ini di gagas lagi pada September tahun 2005 melalui kunjungan Presiden Republik
Indonesia ke Afrika Selatan yang ditindaklanjuti oleh kunjungan beberapa pejabat Republik
Indonesia ke SASOL pada kurun waktu 2005-2007, antara lain dari DESDM, Kabupaten
Musibanyuasin dan beberapa perusahaan swasta. Selanjutnya pada tanggal 18 Juni 2008
delegasi Republik Indonesia yang diketuai oleh Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal
(BKPM) dengan anggota dari BKPM, DESDM dan Kedubes RI di Pretoria berkunjung ke

V-43

Johannesburg Afrika Selatan untuk secara resmi mengundang SASOL mengkaji peluang
kerjasama proyek pencairan batubara (CTL SASOL) di Indonesia.

Saat ini Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) KESDM memfasilitasi
perusahaan CCT Afrika Selatan untuk mengimplementasikan teknologi CCT FT di Indonesia.
Fasilitas yang dilakukan hanya memperkenalkan teknologi ini kepada beberapa pengusaha
tambang batubara di Indonesia yang memiliki potensi untuk mengembangkan usahanya dalam
proyek CTL.

Dari uraian di atas, diharapkan pemilihan teknologi yang terbaik serta dukungan
kebijakan pemerintah yang optimal akan memberikan keuntungan, baik bagi pihak pemerintah
maupun swasta.

5.2.8.1 Status Kerjasama Indonesia Jepang


Program kerjasama pencairan batubara antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Jepang termasuk swastanya dibagi atas empat tahap yaitu studi kelayakan awal (PreFS/applicability study), studi kelayakan lebih detail, persiapan komersialisasi dan konstruksi
pabrik pencairan batubara. Tahap pertama dan kedua berada dalam koordinasi Badan
Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) sedangkan tahap ketiga dan keempat berada dalam
koordinasi

Departemen Energi

dan

Sumber Daya

Mineral

(sekarang

KESDM)

yang

pelaksanaannya dilakukan oleh Balitbang ESDM. Pada tahun 1997 telah selesai dilakukan
kegiatan applicability study (Pre-FS) pencairan batubara Banko di Sumatera Selatan. Studi
kelayakan rinci batubara Banko dilakukan pada tahun 1999-2001 dan berdasarkan hasil studi
kelayakan ini dilakukan studi kelayakan batubara Berau di Kalimantan Timur dan Batubara Mulia
di Kalimantan Selatan.

Sejak tahun 2005 program kegiatan pengembangan pencairan batubara berada dalam
koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pada tahap ini, keterlibatan
stackholder dalam eksekusi program pencairan batubara adalah menjadi tujuan utama. Kegiatan

V-44

ini diawali dengan Seminar Nasional Pencairan Batubara tanggal 13 Juni 2006 yang dilanjutkan
dengan Roundtable Meeting I pada tanggal 1 Agustus 2006 dan Roundtable Meeting II tanggal 1
September 2006. Pertemuan-pertemuan tersebut di atas bertujuan mengumpulkan masukan
dari berbagai pihak untuk melancarkan pendirian pabrik pencairan batubara di Indonesia.

Pada tanggal 28 November 2006 di Tokyo Jepang ditandatangani Joint Statement antara
Menteri ESDM dengan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang yang berisi
antara lain bahwa kedua belah pihak sepakat untuk mempromosikan komersialisasi pencairan
batubara melalui bantuan teknik dari Jepang. Tahun 2006 juga ditandai oleh terbitnya Perpres
No. 5 Tahun 2006 tentang KENl dan Inpres No. 2 Tahun 2006 tentang penyediaan dan
pemanfaatan batubara yang dicairkan. Perpres No. 5 Tahun 2006 yang mengamanatkan bahwa
pada tahun 2025 peranan batubara dalam bauran energi (energy mix) menjadi 33% dan peranan
bahan bakar cair dari batubara menjadi 2%. Inpres No. 2 tahun 2006 berisi tentang instruksi
kepada Menteri ESDM, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum,
Menteri BUMN, Menteri dalam Negeri, Para Gubernur dan Para Bupati untuk melaksanakan dan
mendukung program pencairan batubara.
Pada

tahun

2007

dibentuk

tim

teknis

Pencairan

Batubara

(SK

MESDM

No.1640/K/73/MEM/2007) yang beranggotakan tenaga ahli dan pejabat dari berbagai


departemen yang bertugas antara lain mempersiapkan pembentukan Unit Pelaksana Pencairan
Batubara agar penanganannya terfokus dan menyusun skema pembiayaan pembanguan pabrik
percontohan (demo plant) pencairan batubara dengan kapasitas 13.500 barel per hari melalui
pembuatan kajian teknis dan ekonomis. Pada tahun yang sama tanggal 22 Mei terbentuk
Working Group yang beranggotakan 10 perusahaan termasuk 2 badan usaha milik negara
(BUMN) yaitu PT. Adaro Indonesia, AES Asia and Middle East (AES), PT. Banpu Indonesia, PT.
Berau Coal, PT. Bumi Resources, PT. DH Energy, PT. Gunung Bayan Pratama Coal, PT. Ilthabi
Rekatama, PT. Pertamina (Persero), PT. Rekayasa Industri yang bertujuan untuk menyiapkan
pembentukan konsorsium perusahaan pencairan batubara.

V-45

Untuk memberi gambaran keekonomian pencairan batubara yang lebih terbaru, pada
tahun 2007-2008 dilakukan proses pembaharuan studi kelayakan batubara Mulia, Kalimantan
Selatan. Studi kelayakan ini diawali oleh penandatanganan Head of Agreement antara Balitbang
KESDM, PT. Bumi Resources Tbk dan Kobe Steel LTD pada tanggal 20 Agustus 2007 di Jakarta
tentang kerjasama pelaksanaan studi kelayakan pabrik pencairan batubara Mulia di Satui,
Kalimantan Selatan.

Meskipun telah dilakukan studi kelayakan beberapa kali dan berdasarkan hasil studi
tersebut pabrik pencairan batubara dengan teknologi BCL secara ekonomi menguntungkan
tetapi realisasi pembangunan pabrik sulit dilakukan dikarenakan beberapa hal antara lain:
a. Pabrik skala komersial dengan kapasitas 6.000 ton batubara per hari (setara dengan
produksi minyak 27.000 barel per hari selama 310 hari kerja per tahun) tidak bisa
langsung dibangun karena harus melalui pembangunan pabrik percontohan atau semikomersil dengan kapasitas 3.000 ton per hari, yang diperkirakan kurang ekonomis.
b. Pemerintah Jepang dan pihak Kobe Steel LTD tidak bisa memberikan garansi unjuk kerja
teknologi (technology performance), padahal garansi tersebut sangat diperlukan oleh
anggota Working Group untuk memperoleh pinjaman dana dari bank.
c. Tidak ada komitmen dari pihak Jepang untuk turut serta dalam pendanaan
pembangunan pabrik, misalnya dalam bentuk penyertaan ekuitas walaupun KESDM telah
menyatakan komitmennya untuk turut serta dalam penyertaan ekuitas tersebut.
d. Rencana pabrik yang semula akan dibangun di Kalimantan Selatan menggunakan
batubara Mulia (eco coal) tidak dapat dilaksanakan karena batubara tersebut sudah
dialokasikan untuk pembangkit listrik oleh PT. PLN. Sedangkan usulan pemindahan
lokasi pabrik pencairan batubara ke Sumatera Selatan dianggap kurang menarik karena
batubara lignit yang ada Sumatera Selatan (milik PT. PEB) mempunyai kadar air dan
kadar abu lebih tinggi dari batubara Mulia.
e. Pada tahun 2009, karena tidak ada titik temu antara investor dengan penyedia teknologi
(Pemerintah Jepang) dengan Pemerintah Indonesia tentang siapa yang menanggung
resiko unjuk kerja teknologi, metode pembiayaan proyek, komitmen insentif dari
V-46

Pemerintah Indonesia maka program pencairan batubara teknologi BCL untuk sementara
dihentikan.

5.2.8.2 Status Kerjasama Indonesia SASOL


Dalam kurun waktu 2008-2009 SASOL telah 7 kali mengadakan kunjungan ke Indonesia
membahas rencana kerjasama pencairan batubara dengan hasil-hasil sebagai berikut:
a. Telah dilakukan survey di 2 (dua) konsesi tambang batubara untuk proyek pencairan
batubara teknologi SASOL yaitu konsesi PT PEB di Sumatera Selatan dengan cadangan
batubara sekitar 2 miliar ton dan konsesi PT BEP di Kalimantan Timur dengan cadangan
batubara lebih dari 5 miliar ton. Cadangan batubara di kedua lokasi tersebut masing-masing
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pencairan batubara teknologi SASOL dengan
kapasitas pabrik 80.000 barel per hari selama 30-40 tahun. Di sekitar 2 lokasi tambang
batubara tersebut di atas ditemukan beberapa lokasi sumur-sumur minyak tua.
b. Telah disepakati bahwa pencairan batubara teknologi SASOL di Indonesia akan di
integrasikan dengan teknologi carbon capture storage (CCS) untuk enhanced oil recovery
(EOR). Hal ini dilakukan untuk mencegah pemanasan global dan meningkatan produksi
minyak Indonesia. Kedua konsesi tambang batubara yang diuraikan di atas lokasinya
berdekatan dengan sumur-sumur minyak tua yang diharapkan dapat berproduksi lagi
dengan teknologi EOR.
c. Telah dilakukan kajian cost benefit analysis (CBA) pencairan batubara teknologi SASOL di
Indonesia. Hasil CBA menunjukkan bila harga minyak mentah US$ 70/barel, keberadaan
proyek pencairan batubara dengan kapasitas 91.540 barel/hari akan meningkatkan
penerimaan pajak US$ 0,9-2,2 miliar/tahun, menyumbang pada pertumbuhan GDP US$ 2,97,4 miliar/tahun, menghemat devisa US$ 7,4-13,3 miliar/tahun, dan menciptakan total
lapangan kerja (direct and indirect) 19.50075.000 orang.
d. Telah ditandangani non-disclosure agreement (NDA) antara SASOL dengan Pertamina, SASOL
dengan PT. DH Energy dan SASOL dengan PT. BEP. NDA dibuat dalam rangka menjaga
kerahasiaan informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak. PT. DH Energy adalah
pemegang saham PT. Pendopo Energy Batubara di Sumatera Selatan.

V-47

e. MoU antara SASOL dan BKPM telah ditandatangani pada tanggal 3 Desember 2009 di
London, yaitu kesepahaman mengenai proposal pembangunan dan pengembangan bersama
terhadap proyek integrated coal to liquid value chain di Indonesia. Integrated coal to liquid
value chain meliputi keseluruhan rantai nilai pencairan batubara dan termasuk pembangunan
dan pengembangan tambang batubara, pabrik pencairan batubara, solusi manajemen CO2,
produksi, offtake, penjualan dan pemasaran produk-produk pencairan batubara.
f.

Menindaklanjuti MoU antara SASOL dan BKPM, telah dibentuk Tim Nasional Pengembangan
Pencairan Batubara di Indonesia dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi selaku
koordinator.

g. Tim Nasional Pencairan Batubara dan instansi terkait melakukan pembahasan perjanjian
antara SASOL, Pertamina dan PTBA tentang pekerjaan opportunity selection study, deep
screening study dan feasibillity study. Opportunity selection study meliputi antara lain
feedstock study, cost estimate for the mining of the coal (capital & operation cost), CO2
management (EOR or storage in deep saline reservoir), availability of logisticts infrastructure
and utilities dan cost/risk (assestment for any identified sites).
h. Pada bulan Agustus 2010 belum terdapat kesepakatan yang final dalam perjanjian antara
SASOL, Pertamina dan PTBA terutama dalam scope and estimated budget of the oppotunity
selection and screening studies, sehingga kerjasama Pencairan Batubara antara Indonesia dan
SASOL tidak diteruskan.
i.

Pada tanggal 25 Oktober 2010, pihak SASOL menyampaikan surat ke Menteri ESDM dan
Kepala BKPM yang isinya antara lain menyatakan bahwa pihak SASOL tidak lagi tertarik atau
membatasi dalam proyek pencairan batubara termasuk di Indonesia dan selanjutnya
diberitahukan bahwa mereka akan mengalihkan proyeknya menjadi gas to liquid (GTL).

V.2.8.3 Status Kerjasama CCT FT Swasta Indonesia


Dengan difasilitasi oleh Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA), CCT Afrika
Selatan memperkenalkan teknologi pencairan batubara CCT FT di Indonesia yang dimulai pada
tanggal 03 Agustus 2010. Dalam kesempatan pertama ini CCT memperkenalkan teknologi CCT
FT kepada PT BEP. Kedua belah pihak sepakat untuk sama-sama membangun pabrik pencairan

V-48

batubara di daerah Muara Wahau, Kalimantan Timur, dimulai dari kapasitas komersil terkecil
yaitu sekitar 1.350 barel per hari. CCT diharapkan untuk mendanai dan mengoperasikan pabrik
pencairan batubara, sedangkan PT BEP hanya mempunyai tanggungjawab untuk menyediakan
batubara sebagai bahan baku dan menampung (offtake) semua produk pencairan batubara.

Untuk mendukung program pencairan batubara di Indonesia, CCT telah menjalin


kerjasama dengan perusahaan investor Stern Stewart Capital Partners (SSCP) yang diharapkan
akan mendanai proyek pencairan batubara. Sampai saat ini CCT bersama SSCP telah melakukan
4 (empat) kali kunjungan ke Indonesia. Selain untuk mematangkan kerjasama dengan PT BEP
yang recananya Nota Kesepahaman (MoU) di antara mereka segera ditandangani, CCT dan SSCP
juga mengunjungi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral dan beberapa perusahaan batubara yang potensil untuk mengembangan
usahanya di bidang pencairan batubara, yaitu PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk, PT
Ilthabi Bara Utama, PT DH Energy, PT Adaro Indonesia Tbk dan PT Titan.

Beberapa catatan yang diperoleh dari hasil diskusi CCT dan SSCP dengan perusahaanperusahan yang dikunjungi, adalah sebagai berikut:
Semua perusahaan menyampaikan ketertarikannya terhadap program pencairan batubara
yang ditawarkan oleh CCT dan SSCP.
Para pengusaha meminta pihak CCT dan SSCP meyampaikan business plan yang
komprehensif dengan mempertimbangkan resiko-resiko yang akan mungkin terjadi di
kemudian hari terutama masalah kebijakan harga batubara.
Sebagian dari perusahaan tersebut di atas berkeinginan untuk ikut menyertakan modalnya
dalam proyek pencairan batubara.

Diskusi yang dilakukan dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas, antara lain meliputi:
Pihak CCT dan SSCP meminta dukungan dari pemerintah dalam masalah perijinan dan
meminta informasi tentang peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia berkaitan
dengan bisnis pencairan batubara antara lain spesifikasi produk diesel yang diterima oleh
V-49

pasar Indonesia dan bagaimana pengaturan penjualannya, peraturan tentang lingkungan


hidup khususnya CO2 dan peraturan mengenai penjualan listrik yang dihasilkan oleh
pabrik pencairan batubara sebagai produk samping.
Pemerintah (Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi) sangat tertarik akan program
pencairan batubara ini dan bermaksud mengundang pihak-pihak terkait dalam rangka
menjawab pertanyaan atau memberikan informasi yang diperlukan oleh pihak CCT dan
SSCP.
Dengan difasilitasi oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, pertemuan dengan
Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi KESDM, Kementerian Perindustrian
dan beberapa swasta yang menangani bisnis BBM, pihak CCT dan SSCP memperoleh
informasi dan klarifikasi tentang tata niaga BBM, listrik dan pupuk di Indonesia. Diharapkan
pertemuan ini dapat ditindaklanjuti terpisah oleh masing-masing pihak terkait.

Dari hasil kunjungan dan diskusi, baik dengan pemerintah, beberapa perusahaan batubara
dan pelaku bisnis BBM, pihak CCT dan SSCP mengharapkan agar proyek pencairan batubara di
Indonesia segera dapat dimulai dengan membuat studi kelayakan (feasibility study) pada
beberapa lokasi untuk mendapatkan model pengembangannya. Untuk itu diperlukan data,
antara lain kesiapan pasokan batubara untuk minimal 25 tahun (tergantung besarnya kapasitas
pabrik yang diinginkan) dan sumber air yang cukup. Sedangkan pendanaan dan pembeli produk
(berikut hasil sampingnya) tidak menjadi permasalahan, termasuk dana bankable feasibility
karena semua dana tersebut akan ditanggung oleh SSCP. Pihak CCT dan SSCP merencanakan
membangun minimum 2 (dua) pabrik pencairan batubara secara bersamaan di Indonesia, yang
diharapkan 1 lokasi dibangun di Pulau Sumatera dan 1 lokasi lagi dibangun di Pulau Kalimantan.

CCT dan SSCP sudah lebih 1 tahun memperkenalkan teknologinya dan melakukan
pendekatan dengan beberapa perusahaan pertambangan batubara di Indonesia, namun
sayangnya belum ada bentuk kerjasama yang konkrit dihasilkan. Berbeda dengan Tajikistan
yang sudah menandatangani kesepakatan kerjasama pencairan batubara menggunakan

V-50

teknologi CCT seperti telah diberitakan pada Newsletter CCT November 2011, volume 3, issue 3.
Dibawah ini adalah sebagian dari isi newsletter tersebut.
An agreement was recently signed between SNC Lavalin (Pty) Ltd and a coal mining company in
Tajikistan whereby SNC Lavalin will do a pre-feasibility study for the construction of a 1 350
barrel per day coal-to-liquid plant using the CCT coal-to-liquid technology as well as the CCT
gas cleanup technology. The pre-feasibility should be completed in approximately four months
after which a decision will be made to commence with a full feasibility study. The construction of
a coal-to-liquid plant in Tajikistan will contribute significantly towards making Tajikistan less
dependent on the import of oil by utilising their abundant coal reserves. Once a 1,350 barrel a
day plant is in operation, the intention is to increase the size of the plant by adding additional
modules of 1 350 barrels a day or 5 000 barrels a day units.
oal To Liq
uid Plo-a

V-51

BAB VI
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Kebijakan di bidang pencairan batubara pada dasarnya tidak terlepas dari upaya
komprehensif pemerintah untuk mencari solusi atas ketimpangan bauran energi (energy mix)
selama ini, yang antara lain ditandai oleh dominasi peran minyak bumi dan kecilnya peran
energi non-minyak bumi. Memang disadari bahwa industri pencairan batubara memerlukan
investasi yang sangat besar bahkan di Indonesia secara ekonomi, industri ini lebih sulit dibangun
dibandingkan dengan industri lain yang tidak berbahan baku batubara, antara lain karena harga
batubara di Indonesia cukup mahal (mengikuti harga internasional) dan harga BBM yang ada di
pasaran masih di subsidi. Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari keberhasilan
pembangunan pabrik pencairan batubara ini sudah jelas, antara lain:
1) Pengurangan subsidi BBM
Beroperasinya pabrik pencairan batubara diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM yang
saat ini dirasakan semakin memberatkan keuangan pemerintah Indonesia. Dalam APBN-P
2012 diketahui bahwa BBM yang disubsidi mencapai 41,9 juta kilo liter atau sebesar Rp 168
triliun rupiah. Nilai tersebut diperoleh dari harga asumsi BBM Internasional adalah US$110US$111 per barrel atau lebih besar dari perkiraan ICP US$95 per barrel dengan nilai tukar
dollar adalah 1 US$ = Rp 8.800. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa setiap liternya
disubsidi sebesar Rp 4.000,-. Jika pabrik pencairan batubara dapat menghasilkan BBM
sebanyak 54.000 barrel per hari atau sekitar 2,6 juta kilo liter per tahun maka subsidi yang
dapat dihemat adalah sebanyak Rp 10,4 triliun.
2) Menghemat devisa
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia tidak lagi sebagai pengekspor minyak bumi,
namun sudah menjadi negara pengimpor minyak bumi. Setiap melakukan impor tentu akan
mengurangi devisa negara. Substitusi BBM yang dihasilkan oleh pabrik pencairan batubara
di dalam negeri diharapkan dapat menghemat devisa untuk impor BBM. Saat ini Pertamina
mengimpor sebanyak kurang lebih 10 juta barrel per bulan atau sekitar 120 juta barrel per
VI-1

tahun. Dengan harga US$ 110 per barrel maka devisa yang berkurang adalah sebesar US$
13,2 milyar per tahun. Dengan adanya pabrik pencairan batubara maka devisa yang keluar
dapat dihemat sebesar US$ 1 milyar per tahun per 1 pabrik pencairan batubara berkapasitas
54.000 barrel per hari.
3) Penghasilan untuk negara dari Pajak Perusahaan
Pajak perusahaan yang berlaku di Indonesia adalah sebesar 25% per tahun. Untuk pabrik
pencairan batubara dengan kapasitas 54.000 barrel per hari maka diperkirakan akan
menghasilkan pendapatan bagi negara sebesar kurang lebih 200 juta US$ per tahun.
4) Peningkatan nilai tambah
Setiap tahunnya pabrik pencairan batubara dengan kapasitas 54.000 barrel per hari akan
membutuhkan sebanyak kurang lebih 11 juta ton batubara kalori rendah. Sebelumnya,
batubara di Indonesia kurang dimanfaatkan dan lebih dari 75%nya diekspor. Jika digunakan
sebagai bahan baku pabrik pencairan batubara maka keluarannya berupa bensin dan bahan
bakar otomotive diesel yang mempunyai nilai tinggi atau memberikan nilai tambah yang
lebih besar bagi perekonomian Indonesia.
5) Menciptakan lapangan kerja
Pembangunan pabrik pencairan batubara akan memberikan lowongan pekerjaan yang
cukup besar bagi masyarakat indonesia umumnya dan bagi masyarakat sekitar pabrik pada
khususnya. Lowongan pekerjaan ini akan terbuka sejak pekerjaan konstruksi pabrik dimulai
hingga kemudian beroperasinya pabrik pencairan batubara. Sebagai gambaran, pabrik
pencairan batubara berkapasitas 54.000 barrel per hari akan membutuhkan karyawan
operasional sekitar 1000 orang. Hal ini akan membantu program pemerintah dalam
mengurangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
6) Iklim investasi yang baik bagi investor
Keberhasilan proyek pencairan batubara dimana proyek ini termasuk proyek besar akan
memberikan kesan baik kepada investor lokal maupun luar negeri akan aman dan ramahnya
iklim investasi di Indonesia. Diharapkan para investor tersebut akan ikut juga berinvestasi di
indonesia. Selain itu, pembangunan pabrik pencairan batubara akan menimbulkan efek
VI-2

ganda (multiplier effect) bagi investasi lain, misalnya investasi untuk pembangunan distribusi
minyak hasil pencairan batubara, investasi transportasi minyak hasil pencairan batubara dan
investasi lainnya yang berkaitan baik di hulu maupun hilir proyek pencairan batubara ini.
Pada akhirnya ini juga akan membuka lowongan pekerjaan baru dan meningkatkan aktivitas
ekonomi di daerah pabrik pencairan batubara pada khususnya.
7) Multiplier effect dari proyek
Seandainya pabrik pencairan batubara beroperasi dengan kapasitas 54.000 barrel per hari
maka pabrik itu akan membutuhkan 11 juta ton batubara. Perusahaan tambang yang selama
ini belum meggarap cadangan batubara peringkat rendah di wilayah kerjanya akan mulai
memproduksinya untuk memenuhi kebutuhan pabrik pencairan batubara tersebut atau
bahkan akan muncul kontraktor-kontraktor baru yang khusus untuk memenuhi pabrik
pencairan batubara.
Studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada PT Kaltim Prima Coal yang
berkapasitas 15-17 juta ton per tahun menunjukkan betapa pentingnya peran KPC bagi
perekonomian daerah yaitu bagi kabupaten Kutai Timur. Studi UI juga menunjukkan bahwa
operasional KPC telah membuka lowongan pekerjaan baru sebanyak 72,000 orang
(multiplier tenaga kerja 6.27) termasuk 7,000 orang diantaranya bekerja untuk kontraktor.
Multiplier output yang dihasilkan adalah 1.878 sedangkan kontribusi fiskal KPC terhadap
pemda Kutai Timur pada tahun 2001 adalah Rp 584 Miliar atau setara 30% dari APBD (LPEM
FEUI, 2002)
Dengan demikian, mengingat peran industri pencairan batubara sangat strategis bagi
ketahanan energi nasional, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakankebijakan yang secara signifikan dapat mendorong tumbuhnya industri pencairan batubara di
Indonesia. Kebijakan yang direkomendasikan antara lain pendirian unit/badan pelaksana
pencairan batubara (coal liquefaction implementation body), penggunaan dan harga batubara
untuk energi domestic, harga bbm produk pencairan batubara, permodalan (jaminan pinjaman)
dan pemberian insentif.

VI-3

6.1 Pendirian Unit/Badan Pelaksana Pencairan Batubara


Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan yang digunakan sebagai landasan
di dalam kebijakan pengusahaan pencairan batubara yaitu :

Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang KEN.

Inpres No. 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan
Sebagai Bahan Bakar Lain.

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kebijakan-kebijakan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik karena belum ada
BUMN/Unit/Badan Pelaksana Pencairan Batubara/Coal Liquefaction Implementation Body yang
ditunjuk oleh pemerintah untuk bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.

Keberadaan unit pelaksana dibutuhkan dengan alasan:

1) Agar kemajuan program dapat di monitor dan dievaluasi.


2) Agar ada pihak yang mempunyai otoritas mewakili pemerintah dalam berunding dengan
calon investor.

3) Menunjukkan

kepada

calon

investor

tentang

keseriusan

pemerintah

dalam

melaksanakan program ini.

4) Agar hambatan-hambatan komersialisasi industri ini yang bersifat lintas departemen


dapat diselesaikan.

Karena sifatnya yang strategis, peran pemerintah diharapkan tidak hanya sebagai
fasilitator tetapi juga harus sebagai investor. Investasi pemerintah dalam industri pencairan
batubara ini akan mendorong pihak swasta, baik dari dalam maupun luar negeri untuk
menanamkan modalnya.

6.2. Kebijaksanaan Penggunaan dan Harga Batubara untuk Energi Domestik


Kebijakan energi Indonesia, masih mengandalkan pada ketersediaan sumber daya alam
yang bersifat ekstraktif. Dampaknya adalah timbulnya cara pandang yang menempatkan sumber
daya alam hanya sebatas sebagai sumber penerimaan devisa. Untuk itu, Kementerian ESDM
VI-4

mulai mengenalkan perubahan paradigmanya dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan


kompetitif. Kebijakan pengelolaan energi sejauh ini cenderung bersifat supply-side. Kebijakan ini
mengedepankan pada pemenuhan pasokan dibanding efisiensi pemanfaatan. Mengingat
ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, perlu ada terobosan untuk melengkapi kebijakan
supply-side dengan demand-side sehingga keduanya dapat berjalan optimal.
Tingginya harga minyak menyebabkan batubara memiliki posisi sentral untuk
pemenuhan energi, baik di tingkat nasional, regional maupun global. Sebagai contoh, biaya
pokok produksi (BPP) listrik dari batubara adalah sekitar Rp. 700/Kwh jauh lebih murah
dibandingkan dengan listrik dari bahan bakar minyak sekitar Rp 2.000/Kwh.
Kebutuhan batubara dalam negeri saat ini hanya sebesar 24% dari produksi, dialokasikan
untuk pembangkit listrik (PLTU) sebesar 51,4% dan non pembangkit listrik (semen, pulp,
metalurgi) sebesar 48,6%, selebihnya adalah untuk ekspor. Ekspor yang masih tinggi merupakan
tantangan di masa mendatang untuk membangun industri berbasis batubara, di antaranya
pencairan batubara.
Produksi batubara Indonesia yang meningkat dari waktu ke waktu, disebabkan adanya
target penerimaan negara yang terus meningkat dari penjualan batubara sebagai komoditi
ekspor. Untuk itu tantangan ke depan adalah mengupayakan perimbangan strategis antara
peran penting batubara sebagai andalan energi primer yang ekonomis bagi kegiatan produksi
di Indonesia dan cara pandang konvensional sekedar untuk penerimaan negara. Di sisi lain,
aksesibilitas batubara masih perlu ditingkatkan, antara lain melalui pembangunan infrastruktur
batubara sehingga dapat mencapai target yang diharapkan.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 17 Tahun 2010,
tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral dan batubara. Harga Batubara
Acuan (HBA) menggunakan formula yang mengacu kepada rata-rata indeks ICI-1 (Indonesia
Coal Index), Platts-1, NEX (Newcastle Export Index) dan GC (Newcastle Global Coal Index). HBA
berlaku untuk harga spot (kontrak penjualan di bawah 12 bulan) sedangkan untuk harga term
(kontrak penjualan lebih dari 12 bulan), harga acuan menggunakan rata-rata HBA 3 bulan
terakhir dan harga berlaku untuk penjualan batubara selama 12 bulan. HBA diterbitkan setiap

VI-5

bulannya berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, KESDM. Penentuan
harga ini juga melibatkan gubernur dan pemerintah daerah tingkat dua.
Sebelum Permen No. 17 Tahun 2010 terbit, patokan harga hanya diberlakukan untuk
perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Namun
sekarang HBA dikenakan untuk semua izin yang ada, seperti yang terdapat dalam pasal 2 yaitu
pemegang IUP operasi produksi mineral dan batubara dan IUPK operasi produksi mineral dan
batubara wajib menjual mineral atau batubara yang dihasilkannya dengan berpedoman pada
harga patokan baik untuk penjualan kepada pemakai dalam negeri maupun ekspor termasuk
kepada badan usaha afiliasinya.

Selama tahun 2010, harga batubara mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun
2009 (Gambar VII.1), dikarenakan oleh beberapa hal, di antaranya kenaikan kebutuhan batubara
dunia akibat meningkatnya kebutuhan China dan adanya musim dingin di Eropa, serta adanya
banjir yang terjadi di Australia.

Harga Batubara, US$

120
100
80
60
40
20
0
7000 6700 6322 6150 5700 5400 5000 4400 4200

Nilai Kalori, kkal/kg

2009

2010

Gambar VI.1 Perkembangan Harga Batubara pada Tahun 2009 dan 2011

VI-6

HBA untuk batubara dengan kalori sekitar 6.322 kkal/kg (gross as received) pada akhir
tahun lalu konsisten mengalami kenaikan dari bulan Oktober 2010 sebesar US$ 92.68 per ton
hingga puncaknya di bulan Februari 2011 mencapai US$ 127.05 per ton. Penurunan HBA
pertama kalinya terjadi pada bulan Maret 2011 setelah gempa bumi dan tsunami terjadi di
Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 yang mengakibatkan penurunan kapasitas nasional
pembangkit listriknya. Besaran penurunan HBA pada bulan April 2011 tidak terlalu signifikan
sehingga bisa dikatakan HBA stabil pada kisaran US$ 122 per ton.
Di seluruh dunia orang mengandalkan batubara, karena yang paling murah saat ini
adalah batubara. Nuklir juga memang murah, namun modal untuk pembangunannya mahal dan
kehadirannya belum dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.

Penggunaan batubara di dalam negeri (domestik), baik sebagai sumber energi maupun
bahan baku sangat lambat pertumbuhannya. Salah satu faktor penghambatnya adalah
ketersediaan batubara dengan harga murah. Hal ini dirasakan juga oleh PLN yang harus
membeli batubara dengan HBA, sehingga berdampak terhadap mahalnya biaya untuk
memproduksi listrik. Lebih jauh kondisi ini mengakibatkan subsidi yang dikeluarkan oleh
pemerintah juga bertambah karena PLN tidak diperbolehkan untuk menaikkan harga listrik.
Dapat dipastikan bahwa industri domestik lainnya akan mengalami hal yang sama karena pada
akhirnya akan bersaing dengan BBM atau gas yang bersubsidi.
Pemasok batubara tidak bisa disalahkan karena menawarkan harga tinggi pada industri
domestik, termasuk nantinya untuk pencairan batubara, pasalnya tidak ada aturan yang
memaksa pemasok menjual batubara di level tertentu selama ini kecuali hanya harus mengacu
kepada HBA. Dalam Permen ESDM No. 17 Tahun 2010 tersebut hanya diatur harga untuk
melindungi sisi pemasukan negara tanpa mempertimbangkan sisi lain, di antaranya penggunaan
batubara domestik dalam mengantisipasi jaminan pasokan energi nasional.
Agar bisnis batubara domestik menarik, misal untuk industri penghasil listrik atau energi,
maka perlu diatur khusus Permen soal jaminan pasokan dan kebijakan harga batubara domestik.
Saat ini pelaksanaan peraturan tentang domestik market obligation (DMO) baru berlaku untuk
satu tahun dan mungkin belum cukup memberikan kepastian terhadap pemenuhan batubara
VI-7

dalam negeri terutama untuk industry yang membutuhkan kepastian supplai untuk jangka
waktu yang lama. Oleh karena itu bisa jadi diperlukan aturan khusus soal kepastian penyediaan
pasokan batubara dan kebijakan khusus yang mengatur harga batubara domestik.
6.3. Kebijakan Harga BBM Produk Pencairan Batubara
Masih adanya kebijakan subsidi BBM di Indonesia membuat calon investor pencairan
batubara ragu-ragu misalnya apakah BBM produk pencairan batubara dapat diberi subsidi
juga?. Apakah PT. Pertamina saja yang diberi dana APBN untuk menjual BBM bersubsidi?
Apakah produk BBM hasil pencairan batubara dapat di ekspor? Kalau BBM hasil pencairan
batubara harus dijual didalam negeri untuk ketahanan energi nasional tentu saja Pemerintah
Indonesia harus memberi subsidi yang sama dengan premium dan solar PT. Pertamina yang
bahan bakunya dari impor juga. Untuk itu regulasi BBM hasil pencairan batubara perlu dilakukan
agar ada kepastian mengenai pricing BBM hasil pencairan batubara.

Kasus pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dapat dijadikan contoh untuk industri
pencairan batubara. Sebagaimana diketahui PLTP menghasilkan listrik yang lebih mahal
dibandingkan PLTU-batubara oleh sebab itu investor meminta jaminan pemerintah tentang
pembelian listrik yang dihasilkan PLTP. Setelah melalui negoisasi yang lama, pemerintah
akhirnya memberi jaminan pada PLTP melalui penerbitan Permen Keuangan (PMK). PMK
mengatur mulai dari jaminan kelayakan usaha dari pemerintah, perjanjian jual beli dan
pembiayaan perbankan. Walaupun demikian, investor diwajibkan segera mencari pendanaan
atau financial close maksimal 48 bulan atau 4 tahun. Jika dalam tempo 4 tahun belum
mendapatkan dukungan pendanaan, jaminan yang diberikan pemerintah secara otomatis
dinyatakan gugur. Industri pencairan batubara akan menarik bagi calon investor apabila
mendapatkan fasilitas serupa dengan PLTP.
6.4. Kebijakan Permodalan (Jaminan Pinjaman)
Industri pencairan batubara memerlukan modal yang sangat besar (>1 milyar US$).
Mencari pinjaman sebesar itu tentu sangat sulit apalagi kalau pihak peminjam bukan
VI-8

perusahaan dengan modal raksasa dan mempunyai track record yang bagus. Tetapi kebutuhan
dana tersebut lebih mudah terpenuhi apabila Pemerintah Indonesia memberikan jaminan pada
pinjaman tersebut.
Pemberian jaminan utang bukan hal yang tabu untuk dilakukan. Pemerintah telah
memberikan jaminan penuh terhadap pinjaman yang dilakukan oleh PT PLN dalam rangka
mendukung pembangunan proyek PLTU 10.000 MW. Jaminan pemerintah ini tertuang dalam
Perpres No. 86 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dalam Perpres No. 91 Tahun 2007.
Jaminan tersebut diberikan pemerintah kepada kreditor yang menyediakan kredit perbankan
kepada PT PLN. Saat ini, total pinjaman PT PLN dari perbankan dalam negeri maupun luar negeri
yang telah dijamin oleh pemerintah sebesar US$ 4,93 miliar dan Rp 24,48 triliun atau setara
dengan Rp 70 triliun. Maukah Pemerintah memberikan jaminan pinjaman untuk program
pencairan batubara jika dibutuhkan?
6.5. Pemberian Insentif
Berbagai insentif dan kemudahan telah disediakan oleh pemerintah untuk menarik
investor, sebagai contoh telah diberlakukan PP No. 62 Tahun 2008 tentang fasilitas pajak
penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu. Investor yang memenuhi kriteria tersebut dapat memperoleh insentif yaitu :
Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi, dibebankan selama 6
tahun masing-masing sebesar 5% per tahun;
Penyusutan dan amortisasi dipercepat;
Pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar
10%;
Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun
Pengurangan tarif PPh badan sebesar 25% pada 2010. Tambahan pengurangan PPh 5%
menjadi 20% pada 2010 jika perusahaan yang menjual sahamnya minimal 40% ke pasar
modal dalam negeri dengan minimal 300 orang pemegang saham.
Pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang
bersifat strategis, meliputi antara lain barang modal, makanan ternak dan/atau bahan
VI-9

bakunya; bibit/benih barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran,


perikanan, dan penyerahan barang hasil oleh petani atau kelompok tani.

Baru-baru ini Kementerian Keuangan telah mengeluarkan PP No. 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
sebagai peraturan untuk menjamin tax holiday kepada investor. Tax holiday akan diberikan
kepada investor secara selektif dengan pertimbangan tertentu, misalnya adalah investor industri
pionir.

Berdasarkan PMK No. 130 Tahun 2011, wajib pajak yang dapat diberikan fasilitas
pembebasan atau pengurangan, pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Merupakan industri pionir;


b) Mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari
instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah);

c) Menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari
total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh
ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan

d) Harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling
lama 12 (dua belas) bulan sebelum Permen Keuangan ini mulai berlaku atau
pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Permen Keuangan ini.

Mendorong tumbuhnya industri nasional, dalam rangka penanaman modal telah


diterbitkan Permen Keuangan No. 176/PMK.011/2009, yang antara lain berisikan pembebasan
bea masuk atas impor mesin (sepanjang belum diproduksi di dalam negeri, sudah diproduksi di
dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang diberikan atau belum cukup
kebutuhannya di dalam negeri) dan bahan baku untuk produksi selama 2 (dua) tahun yang
dapat diberikan kepada perusahaan baru. Perusahaan yang melakukan pembangunan atau
VI-10

pengembangan, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dengan menggunakan mesin
produksi buatan dalam negeri paling sedikit 30% dari total nilai mesin, atas impor barang dan
bahan dapat diberikan pembebasan bea masuk untuk keperluan produksi/keperluan tambahan
produksi selama 4 tahun sesuai kapasitas terpasang, dengan jangka waktu pengimporan selama
4 tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.

Tabel VI.1 menampilkan sebagian dari Bidang Usaha Tertentu yang memungkinkan
untuk mendapatkan fasilitas insentif sebagaimana disebutkan dalam Lampiran I PP No. 62
Tahun 2008. Insentif yang diberikan pemerintah kepada investor di daerah tertentu dan bidang
usaha tertentu nampaknya sudah sangat banyak tetapi sayangnya bidang pencairan batubara
tidak secara jelas dikelompokkan sebagai bidang usaha tertentu seperti dalam Lampiran I PP No.
62 Tahun 2008 tersebut. Dengan demikian, revisi terhadap PP ini perlu dilakukan agar ada
kepastian apakah industri pencairan batubara dapat memperoleh insentif seperti bidang usaha
lain yang ada di dalam lampiran tersebut.

Tabel VI.1 Fasilitas Bidang Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Sesuai
Lampiran I PP No. 62 Tahun 2008

Bidang Usaha
Penambangan dan

KBLI
10102

Cakupan Produk
Coal Gasification

Pemanfaatan Batubara Mutu

Hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam

Rendah (Low Rank Coal)*)

negeri

Pengusahaan Tenaga Panas

11102

Bumi

Kelompok ini mencakup usaha pencarian,


pengeboran dan pengubahan panas bumi
menjadi tenaga listrik

Pengilangan Minyak Bumi (Oil


Refinary)*)

23201

Pemurnian pengilangan minyak bumi yang


menghasilkan gas/LPG, avtur, avigas, naphta,

VI-11

minyak solar, minyak tanah, minyak diesel,


minyak bakar, lubricant, waz, solvent/pelarut,
residu dan aspal
Prioritas untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri
Pembangunan kilang mini gas

23202

Kelompok ini mencakup usaha pemurnian

bumi (Industri Pemurnian dan

dan pengolahan gas bumi menjadi Liqufied

Pengolahan Gas Bumi)

Natural Gas (LNG) dan Liqufied Petroleum


Gas (LPG)

Insentif lain yang dapat dimanfaatkan oleh investor dalam penelitian teknologi pencairan
batubara adalah penghasilan bruto dapat dikurangi sumbangan atau biaya litbang
Sejalan dengan upaya pemerintah agar perusahaan-perusahaan yang ada memiliki
dampak berganda (multiplier effect) bagi masyarakat sekitarnya, maka pemerintah telah
mengeluarkan PP No.93/2010 yang mengatur tentang sumbangan-sumbangan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. Sumbangan dimaksud antara lain adalah sumbangan
penelitian dan pengembangan, pembinaan olahraga, fasilitas pendidikan, biaya pembangunan
infrastruktur, dan sumbangan penganggulangan bencana nasional. Besarnya nilai sumbangan
dibatasi tidak melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Kriteria sumbangan dan WP Badan yang berhak memperoleh insentif ini adalah:
1.

WP mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT PPh tahun sebelumnya;

2.

Pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak
sumbangan diberikan;

3.

Didukung oleh bukti yang sah;

4.

Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP kecuali badan yang
dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur UU PPh.
VI-12

Sumbangan tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang Penghasilan Bruto jika terdapat
hubungan istimewa antara pihak yang memberi dan menerima sumbangan, dan/atau biaya
dimana definisi hubungan istimewa tersebut dijelaskan pada Pasal 18 UU PPh.

VI-13

BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1) Dengan jumlah cadangan batubara yang banyak dan kualitas batubara yang bagus serta
cadangan minyak bumi yang terus menurun, Pemerintah telah mencanangkan program
pencairan batubara di Indonesia sejak tahun 2006 melalui Perpres No. 1 dan No. 5 serta
Inpres No. 2, kemudian diperkuat lagi oleh UU No. 4 Tahun 2009 namun hingga kini
program itu tidak berjalan. Kendala utamanya adalah keekonomian pabrik pencairan
batubara komersial yang mencakup diantaranya factor investasi modal yang sangat
besar, harga beli batubara yang tinggi dan harga jual produk.

2) Pembangunan pabrik pencairan batubara akan mengoptimalkan manfaat batubara


dalam negeri, meningkatkan penerimaan negara, lapangan kerja, dan menciptakan
multiplier effect batubara. Mengingat dampak positif atas keberadaan pabrik pencairan
batubara yang sangat besar, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan prioritas
tinggi bagi berdirinya pabrik pencairan batubara di Indonesia. Hal ini dapat
diejawantahkan melalui pembangunan infrastruktur, pemberian garansi pinjaman,
penyertaan modal dan pemberian jaminan penyediaan bahan baku (feedstock) CTL.
3) Dengan adanya berbagai fasilitas yang menarik, maka diharapkan penyedia teknologi
CTL, seperti SASOL dan CCT FT mau berinvestasi membangun pabrik pencairan batubara
di Indonesia. Jika pabrik CTL dan sekaligus merupakan proyek pionir ini berhasil
dibangun, dipastikan akan mendorong investor lain yang berminat untuk membangun
pabrik yang sama. Dengan demikian, Indonesia mampu mengurangi ketergantungan
terhadap minyak bumi impor, meningkatkan peran batubara termasuk BBM dari
batubara di dalam bauran energy nasional seperti telah tercantum di dalam Perpres No.
5 Tahun 2006, yang pada akhirnya meningkatkan ketahanan negara di bidang energi.

VII-1

7.2 Saran
1) Masterplan penggunaan batubara dalam negeri harus dibuat bersama-sama antara
pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha dan
akademisi. Hal ini perlu dilakukan karena banyaknya pilihan teknologi dan alternatif
kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan batubara di dalam negeri. Tujuannya
agar kebijakan dan fokus pemerintah termasuk penelitian tentang batubara lebih efisien
dan efektif untuk mencapai tujuan peningkatan nilai tambah batubara sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 2009.
2) Penentuan bauran energi Indonesia di masa depan perlu dirumuskan kembali bersamasama dengan semua pemangku kepentingan dengan melihat master plan energi
masing-masing dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi Indonesia, infrastruktur
dan lingkungan hidup.
3) Pemerintah agar konsisten dalam membuat kebijakan dan memberi dukungan penuh
terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan seperti halnya program pencairan
batubara. Diharapkan agar pemerintah juga tidak mudah merubah kebijakan-kebijakan
yang ada sehingga iklim investasi di Indonesia tetap kondusif.

VII-2

DAFTAR PUSTAKA
1. Dadyburjor, D., Liu, Z., 2004. Coal Liquefaction. In: Kirk-Othmer Encyclopedia of Chemical
Technology., vol.6, fifth ed., Wiley-Interscience, Wiley, Hoboken, New Jersey, pp.832-869.
2. Data Neraca Batubara Indonesia Tahun 2010, Badan Geologi, Kementerian ESDM
3. Daulay B., dan Permana, D., 2007. Kebijakan Pencairan Batubara pada Majalah Mineral dan
Energi, Vol. 5/No. 2, Balitbang ESDM, hal. 4-7.
4. Dewan Energi Nasional, 2010
5. Ditjen EBTKE, KESDM, 2011
6. Gray, J and Shah, Y.T. in Reaction Engineering in Direct Liquefaction, Adison Wesley Pub.
Co., New York, NY (1981).
7. Irwanto PhD., 2006, Focused Group Discussion edisi 1, Yayasan Obor Indonesia, April, 2011
8. KTI Skripsi Online.Membuat Kuesioner Penelitian. http://www.ktiskripsi.net/2010/05/membuat-kuesioner-penelitian.html. 8 November 2011
9. Kuesioner penelitian Online, http://kuesionerpenelitian.blogspot.com/8. November 2011
10. Newsletter CCT November 2011, volume 3, issue 3
11. LPEM FEUI, 2002. Analisa Dampak Ekonomi PT. KPC. Jakarta
12. Website : Wikipedia, 2011
13. Yanai, S, Yasumuro M, Masaaki T, 2007. Preliminary Financial Analysis of BCL Project in
Indonesia in Majalah Mineral dan Energi, Vol. 5/No. 2, Balitbang ESDM, hal. 62-72.
14. Yusuf, Iwan Awaluddin.Memahami Focus Group Discussion (FGD),
http://bincangmedia.wordpress.com/2011/03/28/relasi-media-dan-konsumtivisme-padaremaja/ 19 Desember 2011.

Anda mungkin juga menyukai