Anda di halaman 1dari 21

Problematika Pelaksanaan Upaya Hukum, Peninjauan

Kembali Perkara Perceraian Pada Peradilan Agama

A. Pendahuluan

Secara realita suatu peraturan perundang-undangan tidaklah selalu bersifat


absolut, selama peraturan perundang-undangan tersebut hasil temuan dan
rumusan manusia. Sering ditemui suatu peraturan perundang-undangan dianggap
sudah tidak patut lagi untuk diterapkan baik karena bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lainnya maupun karena faktor lain. Dalam
praktik ditemukan peraturan perundang-undangan dari masa ke masa mengalami
beberapa perkembangan dalam bentuk penyempurnaan dan perubahan. Bahkan
sering terjadi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dicabut
atau sudah tidak berlaku lagi.

Pada kalangan ummat Islam, telah tertanam suatu keyakinan bahwa pengamalan
terhadap hukum Islam merupakan satu keharusan, sebab jika tidak maka nilai
akidahnya terancam padahal nilai ini menjadi pondasi dasar bagi umat Islam. Oleh
karena itu maka tidak jarang terjadi gejolak masyarakat yang dipelopori oleh umat
Islam jika mereka dihadapkan pada sesuatu gejala yang merongrong nilai-nilai
pondasi ajaran Islam. Dan ketika timbul suatu ketentuan yang dianggapnya
melanggar hukum Islam, umat Islam pada umumnya tidak hanya bersikap tidak
bersedia mentaatinya namun juga mereka berusaha untuk menentang dan
merubah ketentuan tersebut setidak-tidanya mereka menganggap ketentuan
tersebut tidak mengikat bagi dirinya.

Dalam konteks dimensi pemegang kekuasaan yang bertumpu pada sistem trias
politika juga telah dilakukan suatu perubahan dengan dicanangkannya kekuasaan
satu atap pada lembaga yudisial yang sebelumnya lembaga peradilan tingkat
pertama dan banding memiliki dua induk. Saat ini Mahkamah Agung sebagai
lembaga tertinggi menjadi puncak dari semua lembaga peradilan yang berada di
bawahnya.

Pernyataan satu atap tersebut dicanangkan melalui Keputusan Presiden Republik


Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, administrasi dan
finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.

Peradilan Agama yang selama ini bertumpu dalam hal organisasi, adminstrasi dan
finansial pada Departemen Agama dialihkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung
sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2004 bahwa: “Organisasi, administrasi dan finansial pada
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi
Agama/Mahkamah Syariah Propinsi dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah

1
terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke
Mahkamah Agung.

Lembaga peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung merupakan pranata


penentu keputusan dalam memutuskan suatu permasalahan hukum yang
dihadapkan kepadanya oleh pencari keadilan. Dalam bidang hukum acara
ditemukam upaya hukum banding dan kasasi bagi para pihak berperkara yang
tidak merasa puas atas keputusan pengadilan.

Putusan Kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung merupakan putusan yang
terakhir yang mengikat kepada para pihak berperkara, dalam arti lain putusan
tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van Gewijsde), sebagai dinyatakan oleh . H.R.W. Gokkel dan N. Van Der
Wal bahwa :

"Kekuatan mengikat pada suatu putusan mengandung arti bahwa pihak yang
terkait dengan putusan harus mengakui kebenaran yang terkandung dalam
putusan. Dalam istilah Latin putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dikatakan “ Res judicata pro veritate accipitur” (isi daripada suatu keputusan
berlaku sebagai benar). (H.R.W. Gokkel dan N. Van Der Wal, 1986)

Namun dalam hukum acara juga dipersiapkan upaya hukum terhadap suatu
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu upaya hukum
Peninjauan Kembali dan upaya hukum Derden Verzet (Mahkamah Agung,, 2008).

Yaitu perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan. Disimak
dari ketentuan yang mengatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali tidak
ditemukan suatu pengecualian terhadap peradilan tertentu. Upaya hukum
Peninjauan Kembali tersebut berlaku pada semua perkara baik dalam sengketa
perkara perdata maupun pidana. Dalam perkara perdata termasuk di dalamnya
sengketa perkawinan dalam hal perceraian, baik putusan perceraian yang
diputuskan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maupun oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Meskipun pihak berperkara mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali,


namun menurut ketentuan hukum yang berlaku pada Pasal 66 ayat (2) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 (sebagian telah diubah dengan Undang-Undang No.
3 Tahun 2009) tentang Mahkamah Agung bahwa: "Permohonan peninjauan
kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
Pengadilan".

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jika seorang suami telah mendapatkan


keputusan Pengadilan Agama yang amarnya mengizinkan suami untuk
mengucapkan ikrar thalak di muka sidang, maka suami tersebut tidak terhalang
untuk mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya meskipun isterinya melakukan
upaya hukum Peninjauan kembali. Sementara jika seorang isteri telah diputuskan

2
hubungan perkawinannya dengan suaminya oleh pengadilan dan putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap maka tentu tidak ada halangan bagi bekas isteri
untuk menikah lagi dengan pasangan yang baru.

Dalam sengketa kepemilikan misalnya sengketa waris, jika permohonan peninjauan


kembali dikabulkan akan mudah dipahami dan tidak banyak menghadapi masalah
hukum dimana hak pihak yang dimenangkan dalam peninjauan kembali
dikembalikan. Akan tetapi bagaimana jika putusan ternyata menyatakan bahwa
hubungan antara pihak berperkara putus karena perceraian, tentu akan sulit
mengembalikan bahwa kedua belah pihak harus kembali rukun sebagai suami
isteri.

Menurut ketentuan hukum yang berlaku tidak dijumpai adanya ketentuan yang
mengatur tentang pembatalan perceraian. Jikapun suatu perceraian dibatalkan
tentu pembatalan tersebut masih dalam kerangka pemeriksaan perkara dalam arti
perceraian yang diputuskan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga
bisa jadi putusan perceraian Pengadilan Agama dibatalkan oleh putusan
pengadilan Tinggi Agama pada pemeriksaan tingkat banding, putusan perceraian
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dibatalkan oleh putusan
Mahkamah Agung pada pemeriksaan kasasi.

Dalam kenyataan dapat ditemukan suatu fakta bahwa seorang isteri yang gugatan
cerainya dikabulkan kemudian setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan setelah selesai masa iddahnya, ia menikah lagi dengan laki-laki lain dan bahkan
ia telah hamil; jika mantan suami mengajukan permohonan peninjauan kembali
dan permohonanya tersebut dikabulkan maka berarti mantan isteri pemohon
peninjauan kembali harus kembali menjadi isterinya dalam status isteri orang lain
dan telah mengandung dengan suami barunya itu.

Apabila putusan peninjauan kembali dapat dianggap membatalkan putusan dapat


diartikan juga bahwa putusan tersebut dianggap menyatakan bahwa perkawinan
antara mantan isteri tersebut dengan suami barunya putus karena perceraian. Hal
tersebut tentu akan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana tersebut pada Pasal 38 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan”.

Dalam perkara perceraian di pengadilan, pasangan suami isteri yang diputuskan


perkawinannya merupakan pihak dalam perkara sehingga mereka dapat membela
dan mempertahankan hak-haknya sampai upaya hukum luar biasa berupa
Peninjauan Kembali.

Peninjauan kembali termasuk didalamnya bagi putusan perceraian yang menjadi


kewenangan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama mempunyai dua
alternatif utama yaitu : permohonan peninjauan kembali dikabulkan atau ditolak.

3
Jika permohonan peninjauan kembali ditolak maka putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap tidak menimbulkan persoalan. Namun jika
permohonan peninjauan kembali dikabulkan, akan terjadi persoalan yang akan
berbenturan tidak hanya dengan fakta sebagaimana dijelaskan di atas juga akan
berbenturan dengan Hukum Islam. Dalam hukum Islam maupun ketentuan lainnya
tidak pernah memaksakan pasangan suami isteri yang telah bercerai dibatalkan
perceraiannya dan bekas pasangan suami isteri yang sudah tidak saling mencintai
dipaksakan untuk tetap sebagai pasangan suami isteri.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut diatas penulis bermaksud melakukan
penelitian lebih mendalam dengan fokus masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan hukum tentang perceraian yang sudah sah


dilaksanakan menurut hukum Islam Indonesia dibatalkan berdasarkan upaya
hukum peninjauan kembali ?

2. Masalah-masalah apa yang timbul pada kasus perceraian apabila dikaitkan


dengan upaya hukum peninjauan kembali ?

3. Apakah upaya hukum peninjauan kembali masih eksis diterapkan pada


kasus perceraian ?

Untuk mencari jawaban dari permasalahan diatas dilakukan penelitian yang lebih
mendalam. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah juridis normatif
dengan melakukan pendekatan kualitatif, sedangkan sifat penelitian adalah
deskritif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dan studi
dokumen putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan upaya hukum
peninjauan kembali. Data akan dianalisis dengan cara menggunakan analisis isi
(content analysis) dan analisis kualitatif.

B. Perceraian Menurut Hukum Islam

Perceraian menurut ketentuan Hukum Islam secara umum cukup banyak tertuang
dalam Kitab-kitab tradisional dan buku-buku yang membahas Hukum Islam.
Perceraian jika diterjemahkan kedalam bahasa Arab disebut “ Al-Firqoh jamaknya
Al-Firoq”.

Al-Firqoh secara bahasa berarti “Al-iftiroq yaitu pemisahan atau perpecahan yang
jamaknya “Firoq” dan menurut istilah Al-Firoq adalah pelepasan tali perkawinan
dan pemutusan hubungan antara suami isteri dengan adanya sebab dari beberapa
sebab. (H.A. Nawawi Rambe, Jakarta 1994)

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa perceraian tidak hanya dilakukan
atas keinginan seorang suami namun juga dapat terjadi atas keinginan isterinya
hanya perceraian itu terjadi harus didasari oleh adanya sebab atau alasan yang
dibenarkan oleh hukum. Seorang suami atau seorang isteri tidak begitu saja

4
melakukan perceraian sebab bagaimanapun perceraian pada dasarnya menurut
ketentuan hukum Islam tetap terlarang terkecuali didukung oleh alasan.

Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ibnu
Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya : “Thalak adalah perbuatan halal yang
dibenci oleh Allah”)

Dalam hadist lain Riwayat Ashabus-Sunnah yang dihasankan oleh Turmudzi yang
artinya: “Dari Tsauban, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Siapapun perempuan
yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab, maka haram baginya bau
syorga”. (Hadist Turmuzi)

Dari hadist-hadist tersebut diatas, maka para ahli fiqih berselisih pendapat tentang
hukum perceraian tersebut, namun pendapat yang paling banyak dan dianggap
paling benar adalah bahwa perceraian itu hukumnya terlarang kecuali karena
alasan yang benar.

Selanjutnya dilihat dari alasan terjadinya perceraian, maka hukum perceraian itu
berfariasi mulai dari wajib sampai haram (Abu Bakr Jabir Al-Jaziri, Jakarta 2000)
yaitu:

1. Wajib apabila terjadi syiqoq (pertengkaran) antara kedua suami isteri,


kemudian diutus dua orang pendamai (hakam) dan kedua pendamai tersebut gagal
dalam usahanya dan tidak ada jalan lain selain perceraian;

2. Makruh apabila perceraian dilakukan tanpa adanya sebab yang mendesak;

3. Mubah apabila perceraian karena antara pasangan suami isteri sudah tidak
ada lagi kecocokan yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan
rumah tangga;

4. Sunah apabila isteri tidak dapat menjaga kehormatan dirinya dan tidak mau
menerima nasehat dari suaminya;

5. Haram apabila perceraian dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan haidl.

Pengertian bahwa perceraian itu adalah pelepasan tali perkawinan baik atas
kehendak suami atau kehendak isteri dapat dilihat dari isyarat Al-Qur’an dalam
surat Al-Baqoroh ayat 229 yang artinya: ”Thalak (yang dapat dirujuk) itu dua kali,
setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya hawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu hawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah

5
Hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka ialah orang-orang yang zalim”.

Pengertian bahwa seorang isteri dapat menebus dirinya dipahami bahwa seorang
isteri dapat memohonkan perceraian dengan cara mengeluarkan bayaran kepada
suaminya agar suaminya dapat menceraikan dirinya, yang dalam bahasa Fiqih
disebut “Khulu”.

C. Macam-macam Perceraian Menurut Hukum Islam

Dilihat dari akibat perceraian dan dikaitkan dengan ketentuan apakah perceraian
tersebut dapat dilakukan rujuk atau tidak, maka perceraian dibagi kedalam dua
kelompok besar, yaitu thalak raj’i dan thalak Bain. Menurut ketentuan hukum
Islam bahwa: “Thalak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak
rujuk selama isteri dalam masa iddah”. (Republik Indonesia, Inpres No.1/1999)

Sedangkan thalak Bain terbagi kedalam dua macam, yaitu: thalak bain sugro dan
talak bain kubro. Menurut ketentuan Hukum Islam bahwa: Thalak bain shughra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah” .Sedangkan “Thalak Ba’in Kubro adalah talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas
isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul
dan habis masa iddahnya”.

Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jika suatu perceraian
telah terjadi; seorang suami telah mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya
dan perceraian tersebut jelas memenuhi persyaratan hukum Islam, maka
pengembalian hubungan perkawinan yang telah diputus tersebut hanya bisa
dilakukan melalui suatu upaya hukum “ruju” atau “nikah baru”. Menurut
ketentuan hukum Islam tidak ditemukan jalan lain selain kedua jalan tersebut.

Selanjutnya perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam, terdiri atas:

1. Thalak

“Ta’rif thalak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud
disini melepaskan ikatan perkawinan”. (Sulaiman Rasyid, 1954)

Thalak adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak suami dengan cara
mengucapkan ikrar thalaknya terhadap isteri yang diceraikannya tersebut.

Perceraian dalam bentuk thalak merupakan perceraian dalam kelompok thalak


raj’i dalam arti jika sang suami yang telah menceraikan isterinya tersebut

6
berkeinginan bersatu kembali dengan isteri yang telah diceraikan dapat ditempuh
dengan melakukan upaya “rujuk” selama isteri yang diceraikan masih dalam
tenggang waktu masa iddah. Apabila isteri telah habis masa iddahnya namun suami
yang menceraikan tersebut ingin kembali lagi dengan isteri tersebut harus
melakukan pernikahan baru.

Dari pengertian thalak tersebut dapat dipahami bahwa suatu thalak adalah
perbuatan hukum yang terjadi melalui suatu proses sehingga diperlukan beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan sahnya thalak tersebut adalah suami
yang mukallaf, adanya ikatan pernikahan yang hakiki, dan sighat yang jelas.

Rukun-ruku talak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Adanya ikatan perkawinan.

Dari pengertian bahwa thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, maka tentu
thalak itu terjadi pada pasangan suami isteri yang telah terikat dalam perkawinan
yang sah; tanpa ikatan perkawinan tentu tidak ada thalak; hal ini sebagaimana
Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dan ia menghasankannya yang
artinya:

“ Tidak ada nazar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada
pemerdekaan terhadap budak yang tidak dimilikinya dan tidak ada thalak baginya
terhadap istri yang tidak dimilikinya”.

Dengan demikian meskipun pasangan suami isteri mengaku telah melakukan


pernikahan dan mereka hendak bercerai maka terlebih dahulu harus diketahui
secara jelas apakah perkawinan mereka sah menurut hukum atau tidak, jika tidak
maka tidak perlu lagi adanya perceraian diantara mereka.

b. Ada sighot thalak yang benar.

Tidak semua ucapan seorang suami kepada isteri mengandung pengertian thalak,
sebab thalak adalah sesuatu yang mempunyai dampak yang tidak kecil bahkan
didalamnya mengandung sesuatu yang bernilai sakral.

Rasulallah SAW bersabda yang artinya :

”Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umat-ku terhadap apa saja yang mereka
bicarakan kepada dirinya sebagai mereka tidak mengucapkannya, atau selagi
mereka tidak mengamalkannya”. (Muttafaq Alaih).

Sighot thalak dilihat dari sisi kalimatnya dapat berupa kalimat yang jelas (Sharih)
dan dapat pula berupa kalimat sindiran (Kinayah). Sighot thalak yang jelas

7
merupakan kalimat yang dengan jelas suami menyatakan thalak kepada isterinya,
sementara kalimat sindiran, kalimat yang diucapkan hanya merupakan kalimat
yang mengandung pengertian thalak di dalamnya, seperti kalimat: “kamu haram
bagiku”. Hanya saja jika kalimat thalak termasuk dalam kalimat yang shorih maka
akan dianggap sebegai thalak meskipun tanpa niat, sementara kalimat sindiran
akan dianggap sebagai thalak jika diikuti dengan niat thalak.

c. Dalam kondisi yang sadar.

Sebagaimana yang diungkapkan diatas, bahwa thalak bukanlah sesuatu yang


sepele, sehingga jika seorang suami hendak menceraikan isterinya, maka suami
tersebut harus benar-benar dalam kondisi yang sadar atau waras akal atau
keinginan yang penuh, sehingga jika suami dalam kondisi gila, tidur atau dalam
kondisi emosional, maka ucapan thalaknya tidak dianggap sebagai thalak. Hal
tersebut sebagaimana Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah
dan Hakim yang artinya:

“Tidak ada pembebasan dan thalak dalam kondisi emosional” (Maktabah


Syamilah)

Dari tiga persyarat sighot thalak tersebut, dapat dipahami bahwa proses terjadinya
thalak menurut fiqih Islam melalui sesuatu jenjang dan persyaratan tertentu. Hal
ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum
Islam bahwa “ Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129,130 dan 131”

d. Adanya dua orang saksi yang adil.

Perbuatan hukum yang disebut thalak merupakan perbuatan yang tidak hanya
berakibat hukum kepada pasangan suami isteri yang bercerai namun juga jelas
menimbulkan pengaruh kepada pihak lain, dan karenanya tindakan hukum thalak
tidak dibenarkan hanya dilakukan secara rahasia, namun harus disaksikan
minimal oleh dua orang saksi yang adil. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT,
dalam surat At-Thalak ayat 2 yang artinya :

“Apabila (isteri-isteri) telah sampai batas iddah mereka, maka peganglah mereka
dengan baik atau ceraikan mereka dengan baik dan persaksikanlah kepada dua
orang laki-laki yang adil diantara mereka dan tegakkanlah persaksian itu ..”

Dari persyaratan sahnya suatu perceraian thalak menurut ketentuan hukum Islam
dapat diketahui bahwa proses perceraian thalak yang terjadi pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan Agama telah memenuhi persyaratan hukum Islam.
Persyaratan adanya ikatan perkawinan telah menjadi syarat pembuktian utama
bagi seorang suami yang akan menceraikan isterinya di muka sidang dan bahkan
jika ternyata suami tersebut tidak mempunyai bukti sahnya perkawinan karena

8
perkawinannya dilakukan secara di bawah tangan maka majelis hakim dibenarkan
untuk memeriksa sahnya perkawinan tersebut dalam suatu pemeriksaan khusus.

Persyaratan kedua bahwa ikrar yang diucapkan harus dalam kondisi sadar jelas
tergambar dalam pemeriksaan dimuka sidang, sebab jika seorang suami yang akan
menceraikan isterinya dalam kondisi tidak waras maka tentu ia tidak bisa
mengajukan permohonan kepada pengadilan dan jika ia tidak dapat hadir di muka
sidang dalam sidang penyaksian ikrar thalak ia harus menguasakan kepada orang
lain dengan suatu kuasa yang tertuang dalam Akta Otentik; hal itu merupakan
gambaran ketelitian pemeriksaan di muka sidang untuk terciptanya hasil
pemeriksaan yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Kemudian tentang syarat adanya saksi, jelas bahwa sidang penyaksian ikrar thalak
dilakukan pada suatu pemeriksaan majelis hakim yang terdiri dari tiga hakim
ditambah dengan seorang panitera pengganti yang bertindak sebagai saksi dalam
pengucapan ikrar thalak tersebut.

Setelah seorang suami mengucapkan ikrar thalaknya di muka sidang menurut


ketentuan hukum Islam, maka pasangan suami-isteri tersebut telah sah menurut
hukum bahwa hubungan perkawinan mereka telah diputuskan lewat perceraian
dan tidak dapat dikembalikan sebagai pasangan suamai isteri selain melalui
prosedur dan tata cara menurut ketentuan hukum Islam, yaitu melalui proses
rujuk atau pernikahan baru.

2. Khulu’

Pengertian khulu’ secara bahasa berarti : ‘meninggalkan’. Sedangkan ‘Khulu’


menurut istilah Ilmu Fiqih berarti “menghilangkan atau mengurungkan aqad
nikah dengan kesediaan isteri membayar “iwadl” (ganti rugi) kepada pemilik aqad
nikah itu (suami) dengan menggunakan perkataan “cerai atau khulu”.

Dengan adanya penebusan dalam proses thalak tersebut, maka khulu’ disebut juga
dengan istilah “thalak tebus; artinya thalak yang diucapkan oleh suami dengan
pembayaran dari pihak isteri kepada suami.

Pengertian khulu sebagai thalak tebus didasarkan kepada hadits riwayat Bukhori
dan Nasa’i dari Ibnu Abbas: “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada
Rasulullah SAW sambil berkata yang artinya :

“Saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari
ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW: ‘ Maukah kamu mengembalikan
kebunya (Tsabit, suaminya) ?. Jawabnya: “Mau, Maka Rasulullah bersabda:
“terimalah (Tsabit) kebun itu dan thalaklah ia satu kali” (H.A. Nawawi Rambe)

9
Pada dasarnya yang memiliki hak cerai itu adalah suami, maka jika perceraian
dilakukan atas dasar keinginan isteri diperlukan beberapa syarat yaitu antara lain
adalah:

a. Pembayaran yang diberikan oleh isteri disetujui oleh sang suami.

b. Penyebabnya terutama karena isteri khawatir tidak dapat menjalankan


hukum Allah dalam kehidupan rumah tangga baik karena isteri sudah tidak lagi
menaruh cinta kasih kepada suaminya tersebut atau karena suami memiliki cacad
badan sehingga suami tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam hubungan
suami-istri:

3. Fasakh

Memfasakh akad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan


perkawinan antara suami isteri. (Sulaiman Rasyid) Landasan hukum perceraian
bentuk fasakh ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Zaid bin
Ka’an yang artinya :

Rasulullah berkawin dengan seorang perempuan dari bani Ghifar, tatkala ia masuk
kepada nabi, kemudian nabi melihat disebelah rusuknya terdapat warna putih
(sopak), kemudian’ Nabi menolak (mengemabalikan) dia kepada keluarganya”)

Perceraian karena fasakh berbeda dengan perceraian dengan thalak atau khulu;
perceraian karena fasakh lebih dikatakan sebagai pembatalan nikah karena adanya
suatu sebab. Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa Nabi membubarkan
perkawinannya dengan seorang perempuan dari bani Ghifar karena perempuan
tersebut memiliki suatu penyakit lain yang menghalangi keharmonisan hubungan
suami isteri seperti penyakit gila, kusta dan lain sebagainya.

Selain karena adanya penyakit tertentu, perceraian karena fasakh juga dapat
terjadi karena salah seorang dari pasangan suami isteri murtad atau karena
ternyata pasangan suami isteri tersebut memiliki hubungan yang dilarang
melakukan perkawinan seperti saudara sesusuan dan lain sebagainya.

4. Li’an

Kata Li’an berasal dari kata “La’n” yang berarti laknat. Perceraian karena li’an
merupakan akibat dari tuduhan seorang suami kepada isterinya bahwa isterinya
tersebut telah melakukan zina namun ia tidak dapat menghadirkan empat orang
saksi dan suami tersebut berani bersumpah atas kebenaran tuduhannya. Dan jika

10
suami tidak berani bersumpah dan tetap pada tuduhannya, maka sang isteri
bersumpah atas kebohongan tuduhan suaminya tersebut.

Landasan yuridis cerai li’an adalah firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 6
yang artinya :

“ Dan orang-orang yang menuduh isteri-isterinya berzina padahal mereka tidak


dapat mengajukan para saksi, kecuali dirinya sendiri maka kesaksian salah seorang
dari mereka adalah empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah, bahwa
sesungguhnya dia tergolong orang-orang yang benar.”

Perceraian karena li’an tidak termasuk kepada kelompok perceraian thalak bain
sugro atau bain kubro apalagi thalak raj’i, sebab dengan perceraian akibat li’an
maka suami isteri tersebut putus perkawinanya untuk selama-lamanya.

5. Zhihar

Zhihar berasal dari kata “Zhihar” artinya punggung. Namun menurut istilah fiqih
Zihar adalah ucapan suami kepada isterinya dengan kata antara lain: Engkau
dengan aku seperti punggung ibuku”. Dalam arti lain zihar adalah ucapan suami
yang mengandung arti bahwa isterinya seperti ibunya.

Pada zaman jahiliyyah, zihar termasuk bagian dari thalak, lalu Islam datang
membatalkannya dan menganggap zihar bukan bagian dari thalak, hanya saja
suami yang telah menzihar isterinya wajib membayar kiffarat dan suami tersebut
tidak dibenarkan berhubungan suami isteri dengan isterinya tersebut sebelum ia
membayar kiffarat yaitu memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu,
puasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu, memberi makan 60 orang
miskin. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mujadalah,
ayat 3-4 yang artinya:

“ Dan orang-orang yang menzihar isteri-isteri mereka, kemudian mereka


mencabut kembali apa yang mereka katakan, maka hendaklah memerdekakan
seorang budak perempuan, sebelum mereka sentuh menyentuh. Demikian nasehat
kepada kamu sekalian tentang perkara ini. Dan Allah Maha tahu apa yang kamu
kerjakan. Barang siapa tidak mampu, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-
turut sebelum mereka sentuh menyentuh, barang siapa yang tidak mampu,
hendaklah memberi makan enam puluh orang miskin”

Meskipun zihar bukan bagian dari thalak namun akibat dari zihar tersebut
menyebabkan putus hubungan suami isteri sebelum suami yang menzihar isterinya
membayar kiffarat.

11
6. Thalak Ta’lik

Ucapan thalak pada umumnya berlaku seketika, namun adakalanya ucapan thalak
digantungkan pada suatu syarat dengan dikaitkan pada waktu tertentu yang akan
datang. Suami dalam menjatuhkan thalaknya digantungkan kepada suatu syarat,
seperti ucapan suami kepada isterinya: ” Jika saya tidak memberikan nafkah
kepada engkau tiga bulan berturut-turut, maka jatuhlah thalak satu saya
kepadamu”. Thalak seperti itu disebut Thalak Ta’lik.

Dengan melihat proses terjadinya macam-macam perceraian diatas yang


memerlukan syarat-syarat tertentu, maka perceraian baru dapat dinyatakan
terjadi setelah jelas bahwa perceraian tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan
terbukti kebenarannya.

Seorang suami yang menceraikan isterinya perlu diketahui apakah perceraian itu
dilakukan dengan terpaksa atau tidak, ucapan thalaknya benar atau tidak;
demikian juga seorang isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan cara
bersedia membayar suaminya dengan iwadl tentu perlu diketahui terlebih dahulu
besar iwadl dan apakah iwadlnya itu disetujui atau tidak oleh suaminya. Demikan
juga perceraian akibat li’an yang harus didahului oleh proses tuduhan dan
pemeriksaan saksi dan sumpah yang harus dilakukan pada suatu kondisi dan
proses tertentu; demikian juga putusnya hubungan suami isteri akibat zihar perlu
diketahui apakah ucapan suami tersebut termasuk zihar atau bukan, sehingga
perlu diperiksa terlebih dahulu.

Dari hal-hal tersebut diatas, maka tepat jika proses suatu perceraian perlu melalui
suatu lembaga yang mampu menentukan apakah perceraian yang akan dilakukan
tersebut dibenarkan oleh hukum agama atau tidak. Berdasarkan alasan tersebut
diatas dalam hukum Islam yang tertuang pada Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.

D. Kewenangan Khusus Peradilan Agama

Kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dalam


menyelesaikan suatu perkara dapat terlihat pada Pasal 49 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah di rubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006, yaitu menyelesaikan sengketa antara orang-orang Islam; satu
diantaranya adalah penyelesaian sengketa perkawinan dan hal-hal yang berkaitan
dengan sengketa perkawinan yang secara garis besar dalam kajian ini
dikelompokkan pada tiga permasalahan yaitu : Perceraian, Penetapan Sahnya
Pernikahan dan Akibat Perceraian.

12
Sesuai dengan ketentuan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian yang
dilakukan diluar lembaga peradilan dinyatakan tidak sah menurut hukum.
Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan hukum Islam jelas bahwa perceraian
adalah sesuatu yang dilarang yang hanya dapat dilakukan jika tidak bercerai akan
menimbulkan permasalahan bagi kedua pasangan suami isteri, dan karenanya
perceraian tidak dibenarkan jika hanya didasarkan kepada emosional sepihak
itupun hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan.

Sebagaimana lazimnya suatu gugatan yang diajukan ke lembaga peradilan yang


harus didasarkan kepada alasan yuridis, demikian halnya gugatan atau
permohonan perceraian yang diajukan ke lembaga Peradilan Agama harus
didukung oleh alasan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sebagai pengadilan yudex facti, Pengadilan Agama yang
memeriksa perkara perceraian bertugas menemukan fakta sesuai yang
dikemukakan oleh para pihak berperkara dengan dasar posita permohonan atau
gugatan yang tentu saja harus sesuai dengan hal-hal yang dapat dijadikan alasan
perceraian menurut ketentuan yang berlaku.

Adapun hal-hal yang dapat dijadikan alasan diajukannya perceraian ke Pengadilan


adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang


membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (Peraturan
Pemerintah UU No.1/1974)

Alasan hukum yang akan digunakan dapat bersifat alternatif dalam arti hanya satu
alasan yang diajukan dan dapat pula kumulatif dalam arti dari alasan-alasan
hukum yang digunakan lebih dari satu alasan. Alasan hukum perceraian
sebagaimana tersebut di atas merupakan faktor-faktor utama yang merusak
kebahagiaan rumah tangga pasangan suami isteri sehingga jika salah satu pihak

13
telah menentukan sikap sebagaimana alasan tersebut maka pihak lain dapat
mengajukan permohonan/gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama.

Alasan perceraian yang bersifat umum adalah alasan perselisihan dan


pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga. Alasan ini memberikan peluang yang lebih luas dari alasan
sebelumnya. Dengan alasan pertengkaran dan perselisihan bisa terjadi hanya
dengan alasan yang sepele sifatnya justru menimbulkan perselisihan yang tajam.
Kondisi rumah tangga yang diwarnai dengan perselisihan berkepanjangan tentu
akan membawa ketidak tentraman kedua belah pihak dan karenanya alasan
perselisihan tidak dapat dinilai siapa yang menjadi sumber perselisihan; meskipun
sumber perselisihan tersebut terjadi akibat ulah atau sikap seorang suami tidak
berarti suami tersebut tidak berhak untuk mengajukan permohonan talak
demikian pula sebaliknya.

E. Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Dalam perspektif ilmu hukum, upaya hukum merupakan salah satu substansi dari
hukum formil (hukum acara), di mana upaya hukum merupakan salah satu upaya
dari penegakan hukum. Sedangkan dalam perspektif praktik hukum, upaya hukum
berkenaan dengan "suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang
merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan
dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam
undang-undang." (Mukti Arto, Yogyakarta 2007)

Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana, telah
berlaku kaidah umum bahwa suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap tidak dapat dirubah apalagi dibatalkan. Akan tetapi dalam kenyataan
tidak mustahil putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut
mengandung suatu cacad hukum yang sebelumnya tidak diketahui oleh hakim yang
memeriksa perkara, baik pada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding atau
kasasi dengan mengingat bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak dapat
menembus kebenaran secara hakiki; hakim bisa saja dibohongi oleh saksi-saksi
pada saat pemeriksaan sidang, padahal saksi-saksi tersebut merupakan kunci
penentuan suatu keputusan.

Oleh karena itulah, meskipun dalam HIR dan R.Bg. tidak dikenal lembaga
Peninjauan Kembali, namun dalam RV telah dipersiapkan seperangkat aturan
tentang lembaga Peninjauan Kembali yang dikenal pula dalam Hukum Acara
sebagai lembaga “ Recuest Civiel”, yaitu suatu lembaga yang memberikan
kesempatan untuk dibuka kembali pemeriksaan perkara yang telah memperoleh
putusan berkekuatan hukum tetap. Lembaga Peninjauan Kembali juga dibenarkan
dan dikembangkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu
antara lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa :”Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang

14
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang”.

Ketentuan normatif upaya hukum Peninjauan Kembali:

1. Adanya alasan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Seseorang yang berkepentingan dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan


hukum tetap dan merasa dirugikan dengan putusan itu mempunyai hak untuk
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali selama ia mempunyai alasan-alasan
yang dibenarkan oleh hukum. Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk
melakukan upaya hukum peninjauan kembali sebagai berikut:

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat


pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat


menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa


dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata. (UU No. 5/2004)

Dari rumusan di atas, dipahami bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan
alasan adanya hal-hal baru yang diketahui setelah putusan dijatuhkan sementara
upaya hukum biasa telah lewat atau telah dilakukan akan tetapi upaya tersebut
mengalami kegagalan.

15
Dengan salah satu alasan atau lebih, pihak yang berkepentingan dalam hal ini
termasuk perkara perceraian pada pengadilan Agama dapat mengajukan
permohonan peninjauan kembali melalui Pengadilan Agama yang memutus
perkara pada tingkat pertama sekaligus dengan membayar biaya peninjauan
kembali. Pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali meliputi perkara
perceraian yang dijatuhkan dengan thalak raj’i, thalak bain sugro, thalak bain
kubro dan termasuk thalak yang dijatuhkan dengan sumpah lian.

Dalam setiap persidangan upaya atau tindakan yang mengarah kepada pemalsuan
fakta atau pemutarbalikkan fakta adalah sesuatu yang tidak jarang terjadi, sebab
pihak-pihak berperkara berupaya keras untuk memenangkan perkaranya di
pengadilan.

Pemutarbalikan fakta dalam sengketa perdata umum seringkali terjadi dan


membuka kemungkinan yang luas termasuk didalamnya perkara perdata
perkawinan yang mengarah kepada perceraian. Penggugat atau pemohon dengan
kelihaian kata-kata atau dengan keberhasilan menghadirkan saksi-saksi palsu telah
dapat mempengaruhi hakim sehingga fakta yang ditemukan dalam sidang berbeda
dengan fakta yang sebenarnya misalnya dalam hal sumber permasalahan atau
sumber kesalahan sehingga kesalahan diarahkan kepada tergugat atau termohon.

Pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum telah umum diketahui bahwa
siapa yang salah dialah yang dikalahkan dalam suatu perkara. Berbeda pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terutama dalam sengketa
perceraian; putusan hakim tidak didasarkan kepada siapa yang salah, akan tetapi
sangat ditentukan dari fakta yang ditemukan apakah keharmonisan para pihak
berperkara dalam rumah tangga sebagai pasangan suami isteri masih dapat
dipertahankan ataukah sulit atau tidak mungkin dapat didamaikan.

Pada kasus perceraian ketika perkara telah melalui beberapa proses dari tingkat
pertama, tingkat banding dan kasasi dan dilanjutkan dengan upaya Peninjauan
kembali yang didalamnya terjadi perdebatan antara para pihak berperkara jelas
merupakan fakta yang tidak perlu pembuktian lagi (notoir) bahwa kedua belah
pihak berperkara telah terjadi perselisihan yang sulit untuk didamaikan.

Dengan demikian jika ditemukan fakta tentang pemutarbalikkan fakta, hal itu
tidak akan merusak alasan utama dari suatu perceraian.

2. Ditemukan novum yang lebih dominan menunjukkan bukti kepemilikan yang


selama persidangan bukti tersebut tidak ditemukan.

Dalam sengketa perdata umum, hal itu sering terjadi; berbeda dengan perkara
sengketa perkawinan yang mengarah kepada perceraian jelas yang dipersoalkan
bukan hal kepemilikan namun lebih menjurus kepada hal-hal yang mempunyai
nilai abstark yaitu cinta kasih dan kebencian dua hal yang tidak bisa dipaksakan
untuk diputarbalikkan, kebencian tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi cinta

16
kasih atau sebaliknya cinta kasih tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi
kebencian.

Dengan demikian maka dalam hal perkara sengketa perkawinan yang mengarah
kepada putusnya hubungan perkawinan, persyaratan formal Peninjauan Kembali
dalam hal adanya novum baru akan sulit ditemukan. Berbeda jika novum tersebut
terhadap fakta lain dari akibat perceraian seperti misalnya tentang penentuan
harta bersama, hal itu bisa dimungkinkan terjadi. Dalam kaitan alasan ini juga
tampak jelas bahwa upaya hukum peninjauan kembali sangat membantu
menemukan kebenaran untuk mengembalikan pihak berperkara pada porsi yang
sebenarnya; dengan adanya bukti baru yang ternyata benar maka pihak yang
semula dikalahkan dalam suatu perkara yang jelas menjadi pihak yang teraniaya
dapat dikembalikan haknya dan pada intinya hukum telah mampu menegakkan
keadilan.

Salah satu syarat formal suatu gugatan atau permohonan adalah adanya suatu
tuntutan atau permohonan dan bahkan tidak jarang tuntutan atau permohonan
tersebut tidak hanya terdiri dari satu tuntutan atau permohonan namun
dikumulasikan dengan tuntutan atau permohonan lainnya.

3. Peninjauan Kembali Tidak Menghentikan Eksekusi.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa jika putusan telah memperoleh


kekuatan hukum tetap maka eksekusi dapat dijalankan; namun tidak jarang
dalam praktek ditemui suatu proses upaya hukum yaitu sebelum eksekusi
dijalankan atau pada saat eksekusi dijalankan pihak berkepentingan mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali. Dalam kondisi seperti itu, Pasal 66 ayat (2)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 memberikan jawaban dengan ungkapan :
“Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan”.

Kalau Pasal 66 ayat (2) diperhatikan benar-benar bersifat “negasi”, dalam kata-
kata “tidak” menangguhkan atau “tidak” menghentikan pelaksanaan putusan. Dari
sudut pandangan yuridis, setiap yang bersifat “negasi” atau “larangan” adalah
bersifat “imperative”. Jika demikian, permohonan Peninjauan Kembali secara
mutlak tidak boleh menangguhkan atau menghentikan eksekusi”. (M. Yahya
Harahap, 1993)

Perceraian yang diajukan oleh isteri dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
putusan tersebut tidak memerlukan eksekusi, berbeda dengan putusan dalam
perkara cerai thalak, maka meskipun tidak dalam arti eksekusi, namun masih
diperlukan suatu proses pelaksanaan isi putusan melalui persidangan penyaksian
pengucapan ikrar talak yang tidak boleh dihentikan walaupun pihak lawan
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

17
Problematika Pelaksanaan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Pada Perkara
Perceraian di Peradilan Agama

Ketika suatu putusan pengadilan dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum


tetap pada dasarnya putusan tersebut sudah final.

Kedua belah pihak berperkara secara yuridis harus menerima putusan itu dengan
lapang dada terlepas dari suka atau tidak suka, kecewa atau merasa puas. Hanya
saja dengan kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan maka setelah
dilakukan upaya hukum biasa dimungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan dalam
upaya hukum luar biasa yaitu upaya hukum Peninjauan Kembali yang tujuannya
tidak lain untuk mencari kebenaran secara maksimal.

Suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ternyata dalam
pemeriksaan upaya hukum peninjauan kembali diketemukan kekeliruan dan
permohonan Peninjaan kembali dikabulkan maka dapat digambarkan dampak
yang terjadi khususnya pada perkara perceraian pada Peradilan Agama sebagai
berikut:

1. Khusus perkara perceraian tanpa sengketa akibat perceraian.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, seorang suami atau isteri
yang telah diputuskan hubungan perkawinannya dengan perceraian mereka dapat
melakukan perkawinan baru dengan pihak lain. Apabila permohonan peninjaan
kembali dikabulkan maka pasangan suami isteri tersebut secara yuridis kembali
berposisi sebagai pasangan suami isteri yang sah, sehingga menimbulkan keadaan
seorang isteri mempunyai dua suami yang sah dan atau seorang suami mempunyai
dua isteri yang sah. Dari kondisi diatas, upaya hukum peninjauan kembali yang
dikabulkan akan berdampak sebagai berikut :

a. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asas hukum perkawinan yang berlaku pada ketentuan peraturan perundang-


undangan adalah asas monogami, seorang suami yang akan beristeri lagi atau
beristeri lebih dari seorang tidak dibenarkan kecuali ia mendapat izin poligami dari
pengadilan, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tidak ditemukan
pasal yang menunjukkan bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali baik secara
tekstual maupun kontekstual menunjukkan bagian dari upaya hukum terjadinya
poligami yang dibenarkan.

Jika permohonan peninjauan kembali dilakukan oleh suami dan termohon


Peninjauan Kembali (isteri) telah menikah lagi dengan laki-laki lain maka yang
terjadi akan lebih jauh bertentangan tidak hanya dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia namun secara umum bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku bagi seluruh ummat manusia yaitu seorang isteri
mempunyai suami lebih dari seorang.

18
b. Bertentangan dengan Hukum Islam.

Dalam ketentuan hukum Islam sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya
bahwa pasangan suami isteri yang telah bercerai dapat kembali sebagai suami isteri
dengan dua cara yaitu: dengan cara rujuk dan cara pernikahan baru; dengan
memenuhi persyaratan rujuk dan persyaratan perkawinan baru. Jika permohonan
Peninjauan Kembali dilakukan oleh suami sedangkan termohon Peninjauan
Kembali telah menikah lagi dengan laki-laki lain maka yang terjadi tidak hanya
bertentangan dengan hukum Islam namun menciptakan suatu kondisi baru yang
melanggar hukum Islam yaitu seorang isteri dipaksa untuk hidup bersama dengan
mantan suaminya yang telah bercerai dengannya.

c. Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Sikap suka atau tidak suka merupakan bagian dari hak asasi setiap manusia, tidak
ada sumber sistem hukum apapun yang memaksa orang untuk menyukai atau
membenci sesuatu. Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian
yang dikabulkan merupakan bagian dari unsur pemaksaan agar seseorang
menyukai sesuatu; seorang suami yang telah menceraikan isterinya dipaksa untuk
mencintai mantan isterinya begitupula sebaliknya. Keputusan agar seorang yang
sudah tidak lagi berkehendak berumah tangga dipaksa untuk menyatu dalam satu
rumah tangga atau perkawinan dapat diartikan bahwa kedua belah pihak dipaksa
untuk saling mencintai sebagai syarat utama sebuah perkawinan.

d. Menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi

Sebelum dan selama proses upaya hukum peninjauan kembali pihak berperkara
membutuhkan waktu dan finansial terutama bagi Pemohon upaya hukum
Peninjauan Kembali ditambah pula dengan tenaga dan energi pikiran selama
proses upaya hukum itu berlangsung. Sementara upaya hukum Peninjauan kembali
khusus dalam bidang perceraian pada dasarnya sangat jauh untuk dapat
dikabulkan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Jika
demikian maka lembaga upaya hukum Peninjauan kembali dalam bidang
perceraian telah menciptakan suatu kondisi pemborosan waktu dan ekonomi
termasuk pemborosan penggunaan tenaga dan energi yang tidak mambawa hasil.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut penulis, pelaksanaan upaya


hukum peninjauan kembali tidak boleh mengaburkan ketentuan hukum mengenai
perceraian dalam Islam.

Dari kajian di atas jelas upaya hukum Peninjauan Kembali khusus dalam bidang
perceraian tidak eksis diterapkan dalam percaturan hukum formil di Indonesia
yang diselesaikan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sehingga
diperlukan suatu ketentuan eksepsional bagi upaya hukum Peninjauan Kembali.
Hal ini sangat dimungkinkan dengan melihat bahwa hukum senantiasa tumbuh dan

19
berkembang sejalan dengan perkembangan sosial masyarakat sebagaimana telah
terjadi pada perkembangan hukum di Indonesia pasca reformasi dewasa ini.

Namun pada putusan tentang sengketa harta bersama yang ternyata keliru
menurut pemeriksaan pada upaya hukum peninjauan kembali maka jelas hal itu
akan menunjukkan bahwa upaya hukum peninjauan kembali telah mampu
menegakkan keadilan dan menemukan kebenaran formil dan meteriil. Harta yang
semula ditetapkan sebagai harta bersama ternyata tidak terbukti sebagai harta
bersama dengan adanya novum baru yang menunjukkan bahwa harta tersebut
adalah harta bawaan salah satu pihak, atau harta milik pihak ketiga atau lain
sebagainya yang menunjukkan bahwa harta tersebut bukan sebagai harta bersama.
Putusan peninjauan kembali dalam hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum Islam namun hal ini tidak
menimbulkan kondisi sebagaimana yang terjadi dalam putusan peninjauan kembali
dalam bidang perceraian, oleh karena itu upaya hukum peninjauan kembali dalam
hal sengketa harta bersama tetap eksis diterapkan.

Demikian halnya pada sengketa akibat perceraian lainnya seperti penentuan hak
hadhanah dan nafkah anak, penentuan hak suami-isteri yang bercerai, penentuan
sahnya anak dan lain sebagainya, kesemuanya memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan peninjauan kembali dalam rangka menegakkan keadilan dan
menemukan kebenaran formil dan meteriil yang maksimal.

F. Kesimpulan

Hukum Islam mengatur kembalinya hubungan suami istri yang telah bercerai
berdasar putusan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum tetap hanya dapat
dilakukan dengan cara rujuk dan nikah baru, oleh karena itu putusan perceraian
yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum
Peninjauan Kembali;

Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian tidak boleh


dilakukan karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia dan hanya menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi.

Upaya hukum peninjauan kembali dalam bidang khusus perceraian tidak eksis
karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku sedangkan pada
perkara-perkara yang merupakan akibat adanya suatu perceraian, upaya hukum
Peninjauan Kembali masih eksis berlaku karena berkaitan dengan pemulihan atas
putusan yang keliru dan hal tersebut telah sesuai serta tidak bertentangan dengan
hukum Islam.

20
G. Saran

Dengan ditemukannya fakta yuridis dan fakta permasalahan dalam hal upaya
hukum Peninjauan Kembali khusus dalam bidang perceraian pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama yang tidak eksis diterapkan terkecuali dalam
perkara-perkara sebagai akibat adanya perceraian maka diperlukan beberapa
saran terutama dalam hal pembentukan dan perbaikan ketentuan yang selama ini
masih berlaku yaitu sebagai berikut:

1. Segera dilakukan amandemen atau revisi ketentuan yang berkaitan dengan


upaya hukum Peninjauan Kembali dengan cara penerapan ketentuan eksepsional
bagi upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut;

2. Sebelum ketentuan eksepsional dilakukan maka diperlukan suatu ketentuan


pengganti setidak-tidaknya berupa Surat Edaran dari Mahkamah Agung yang
berisikan agar pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama tidak perlu
menerima upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak berperkara
jika upaya tersebut hanya semata-mata kepada putusan yang berisikan putusan
perceraian tidak secara kumulatif dengan perkara lainnya.

21

Anda mungkin juga menyukai