Cayangku Punyaaaa
Cayangku Punyaaaa
A. Pendahuluan
1
Dalam konteks dimensi pemegang kekuasaan yang bertumpu pada sistem trias
politika juga telah dilakukan suatu perubahan dengan dicanangkannya kekuasaan satu
atap pada lembaga yudisial yang sebelumnya lembaga peradilan tingkat pertama dan
banding memiliki dua induk. Saat ini Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi
menjadi puncak dari semua lembaga peradilan yang berada di bawahnya.
Peradilan Agama yang selama ini bertumpu dalam hal organisasi, adminstrasi
dan finansial pada Departemen Agama dialihkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung
sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2004 bahwa: “Organisasi, administrasi dan finansial pada Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi
Agama/Mahkamah Syariah Propinsi dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah
terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke
Mahkamah Agung.
2
(inkracht van Gewijsde), sebagai dinyatakan oleh . H.R.W. Gokkel dan N. Van Der
Wal bahwa :
"Kekuatan mengikat pada suatu putusan mengandung arti bahwa pihak yang terkait
dengan putusan harus mengakui kebenaran yang terkandung dalam putusan. Dalam
istilah Latin putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dikatakan “
Res judicata pro veritate accipitur” (isi daripada suatu keputusan berlaku sebagai
benar). (H.R.W. Gokkel dan N. Van Der Wal, 1986)
Namun dalam hukum acara juga dipersiapkan upaya hukum terhadap suatu
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu upaya hukum Peninjauan
Kembali dan upaya hukum Derden Verzet (Mahkamah Agung,, 2008).
Yaitu perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan.
Disimak dari ketentuan yang mengatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali
tidak ditemukan suatu pengecualian terhadap peradilan tertentu. Upaya hukum
Peninjauan Kembali tersebut berlaku pada semua perkara baik dalam sengketa
perkara perdata maupun pidana. Dalam perkara perdata termasuk di dalamnya
sengketa perkawinan dalam hal perceraian, baik putusan perceraian yang diputuskan
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maupun oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
3
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jika seorang suami telah
mendapatkan keputusan Pengadilan Agama yang amarnya mengizinkan suami untuk
mengucapkan ikrar thalak di muka sidang, maka suami tersebut tidak terhalang untuk
mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya meskipun isterinya melakukan upaya
hukum Peninjauan kembali. Sementara jika seorang isteri telah diputuskan hubungan
perkawinannya dengan suaminya oleh pengadilan dan putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap maka tentu tidak ada halangan bagi bekas isteri untuk menikah
lagi dengan pasangan yang baru.
Dalam kenyataan dapat ditemukan suatu fakta bahwa seorang isteri yang
gugatan cerainya dikabulkan kemudian setelah putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan setelah selesai masa iddahnya, ia menikah lagi dengan laki-laki lain dan
bahkan ia telah hamil; jika mantan suami mengajukan permohonan peninjauan
4
kembali dan permohonanya tersebut dikabulkan maka berarti mantan isteri pemohon
peninjauan kembali harus kembali menjadi isterinya dalam status isteri orang lain dan
telah mengandung dengan suami barunya itu.
5
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut diatas penulis bermaksud melakukan
penelitian lebih mendalam dengan fokus masalah sebagai berikut:
2. Masalah-masalah apa yang timbul pada kasus perceraian apabila dikaitkan dengan
upaya hukum peninjauan kembali ?
3. Apakah upaya hukum peninjauan kembali masih eksis diterapkan pada kasus
perceraian ?
Perceraian menurut ketentuan Hukum Islam secara umum cukup banyak tertuang
dalam Kitab-kitab tradisional dan buku-buku yang membahas Hukum Islam.
Perceraian jika diterjemahkan kedalam bahasa Arab disebut “ Al-Firqoh jamaknya
Al-Firoq”.
6
Al-Firqoh secara bahasa berarti “Al-iftiroq yaitu pemisahan atau perpecahan yang
jamaknya “Firoq” dan menurut istilah Al-Firoq adalah pelepasan tali perkawinan dan
pemutusan hubungan antara suami isteri dengan adanya sebab dari beberapa sebab.
(H.A. Nawawi Rambe, Jakarta 1994)
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari
Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya : “Thalak adalah perbuatan halal yang
dibenci oleh Allah”)
Dari hadist-hadist tersebut diatas, maka para ahli fiqih berselisih pendapat
tentang hukum perceraian tersebut, namun pendapat yang paling banyak dan
dianggap paling benar adalah bahwa perceraian itu hukumnya terlarang kecuali
karena alasan yang benar.
7
Selanjutnya dilihat dari alasan terjadinya perceraian, maka hukum perceraian
itu berfariasi mulai dari wajib sampai haram (Abu Bakr Jabir Al-Jaziri, Jakarta 2000)
yaitu:
3. Mubah apabila perceraian karena antara pasangan suami isteri sudah tidak
ada lagi kecocokan yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan
rumah tangga;
4. Sunah apabila isteri tidak dapat menjaga kehormatan dirinya dan tidak mau
menerima nasehat dari suaminya;
5. Haram apabila perceraian dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan haidl.
Pengertian bahwa perceraian itu adalah pelepasan tali perkawinan baik atas
kehendak suami atau kehendak isteri dapat dilihat dari isyarat Al-Qur’an dalam surat
Al-Baqoroh ayat 229 yang artinya: ”Thalak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang
baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya hawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu hawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah Hukum-hukum
8
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. “Barang siapa yang melanggar hukum-
hukum Allah mereka ialah orang-orang yang zalim”.
Pengertian bahwa seorang isteri dapat menebus dirinya dipahami bahwa seorang
isteri dapat memohonkan perceraian dengan cara mengeluarkan bayaran kepada
suaminya agar suaminya dapat menceraikan dirinya, yang dalam bahasa Fiqih disebut
“Khulu”.
Dilihat dari akibat perceraian dan dikaitkan dengan ketentuan apakah perceraian
tersebut dapat dilakukan rujuk atau tidak, maka perceraian dibagi kedalam dua
kelompok besar, yaitu thalak raj’i dan thalak Bain. Menurut ketentuan hukum Islam
bahwa: “Thalak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah”. (Republik Indonesia, Inpres No.1/1999)
Sedangkan thalak Bain terbagi kedalam dua macam, yaitu: thalak bain sugro dan
talak bain kubro. Menurut ketentuan Hukum Islam bahwa: Thalak bain shughra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah” .Sedangkan “Thalak Ba’in Kubro adalah talak yang
terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan
habis masa iddahnya”.
9
Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jika suatu perceraian
telah terjadi; seorang suami telah mengucapkan ikrar thalak terhadap isterinya dan
perceraian tersebut jelas memenuhi persyaratan hukum Islam, maka pengembalian
hubungan perkawinan yang telah diputus tersebut hanya bisa dilakukan melalui suatu
upaya hukum “ruju” atau “nikah baru”. Menurut ketentuan hukum Islam tidak
ditemukan jalan lain selain kedua jalan tersebut.
1. Thalak
“Ta’rif thalak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud disini
melepaskan ikatan perkawinan”. (Sulaiman Rasyid, 1954)
Thalak adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak suami dengan cara
mengucapkan ikrar thalaknya terhadap isteri yang diceraikannya tersebut.
Dari pengertian thalak tersebut dapat dipahami bahwa suatu thalak adalah
perbuatan hukum yang terjadi melalui suatu proses sehingga diperlukan beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan sahnya thalak tersebut adalah suami
yang mukallaf, adanya ikatan pernikahan yang hakiki, dan sighat yang jelas.
10
Rukun-ruku talak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Dari pengertian bahwa thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, maka tentu
thalak itu terjadi pada pasangan suami isteri yang telah terikat dalam perkawinan
yang sah; tanpa ikatan perkawinan tentu tidak ada thalak; hal ini sebagaimana Hadist
Nabi yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dan ia menghasankannya yang artinya:
“ Tidak ada nazar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada
pemerdekaan terhadap budak yang tidak dimilikinya dan tidak ada thalak baginya
terhadap istri yang tidak dimilikinya”.
Tidak semua ucapan seorang suami kepada isteri mengandung pengertian thalak,
sebab thalak adalah sesuatu yang mempunyai dampak yang tidak kecil bahkan
didalamnya mengandung sesuatu yang bernilai sakral.
11
Sighot thalak dilihat dari sisi kalimatnya dapat berupa kalimat yang jelas
(Sharih) dan dapat pula berupa kalimat sindiran (Kinayah). Sighot thalak yang jelas
merupakan kalimat yang dengan jelas suami menyatakan thalak kepada isterinya,
sementara kalimat sindiran, kalimat yang diucapkan hanya merupakan kalimat yang
mengandung pengertian thalak di dalamnya, seperti kalimat: “kamu haram bagiku”.
Hanya saja jika kalimat thalak termasuk dalam kalimat yang shorih maka akan
dianggap sebegai thalak meskipun tanpa niat, sementara kalimat sindiran akan
dianggap sebagai thalak jika diikuti dengan niat thalak.
“Tidak ada pembebasan dan thalak dalam kondisi emosional” (Maktabah Syamilah)
Dari tiga persyarat sighot thalak tersebut, dapat dipahami bahwa proses
terjadinya thalak menurut fiqih Islam melalui sesuatu jenjang dan persyaratan
tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 117 Kompilasi
Hukum Islam bahwa “ Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan Agama
12
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129,130 dan 131”
Perbuatan hukum yang disebut thalak merupakan perbuatan yang tidak hanya
berakibat hukum kepada pasangan suami isteri yang bercerai namun juga jelas
menimbulkan pengaruh kepada pihak lain, dan karenanya tindakan hukum thalak
tidak dibenarkan hanya dilakukan secara rahasia, namun harus disaksikan minimal
oleh dua orang saksi yang adil. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat
At-Thalak ayat 2 yang artinya :
Persyaratan kedua bahwa ikrar yang diucapkan harus dalam kondisi sadar
jelas tergambar dalam pemeriksaan dimuka sidang, sebab jika seorang suami yang
akan menceraikan isterinya dalam kondisi tidak waras maka tentu ia tidak bisa
13
mengajukan permohonan kepada pengadilan dan jika ia tidak dapat hadir di muka
sidang dalam sidang penyaksian ikrar thalak ia harus menguasakan kepada orang lain
dengan suatu kuasa yang tertuang dalam Akta Otentik; hal itu merupakan gambaran
ketelitian pemeriksaan di muka sidang untuk terciptanya hasil pemeriksaan yang
sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Kemudian tentang syarat adanya saksi, jelas bahwa sidang penyaksian ikrar
thalak dilakukan pada suatu pemeriksaan majelis hakim yang terdiri dari tiga hakim
ditambah dengan seorang panitera pengganti yang bertindak sebagai saksi dalam
pengucapan ikrar thalak tersebut.
2. Khulu’
Dengan adanya penebusan dalam proses thalak tersebut, maka khulu’ disebut juga
dengan istilah “thalak tebus; artinya thalak yang diucapkan oleh suami dengan
pembayaran dari pihak isteri kepada suami.
14
Pengertian khulu sebagai thalak tebus didasarkan kepada hadits riwayat Bukhori
dan Nasa’i dari Ibnu Abbas: “Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada
Rasulullah SAW sambil berkata yang artinya :
“Saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin
mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW: ‘ Maukah kamu
mengembalikan kebunya (Tsabit, suaminya) ?. Jawabnya: “Mau, Maka Rasulullah
bersabda: “terimalah (Tsabit) kebun itu dan thalaklah ia satu kali” (H.A. Nawawi
Rambe)
Pada dasarnya yang memiliki hak cerai itu adalah suami, maka jika perceraian
dilakukan atas dasar keinginan isteri diperlukan beberapa syarat yaitu antara lain
adalah:
3. Fasakh
15
bentuk fasakh ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Zaid bin
Ka’an yang artinya :
Perceraian karena fasakh berbeda dengan perceraian dengan thalak atau khulu;
perceraian karena fasakh lebih dikatakan sebagai pembatalan nikah karena adanya
suatu sebab. Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa Nabi membubarkan
perkawinannya dengan seorang perempuan dari bani Ghifar karena perempuan
tersebut memiliki suatu penyakit lain yang menghalangi keharmonisan hubungan
suami isteri seperti penyakit gila, kusta dan lain sebagainya.
Selain karena adanya penyakit tertentu, perceraian karena fasakh juga dapat
terjadi karena salah seorang dari pasangan suami isteri murtad atau karena ternyata
pasangan suami isteri tersebut memiliki hubungan yang dilarang melakukan
perkawinan seperti saudara sesusuan dan lain sebagainya.
4. Li’an
Kata Li’an berasal dari kata “La’n” yang berarti laknat. Perceraian karena li’an
merupakan akibat dari tuduhan seorang suami kepada isterinya bahwa isterinya
tersebut telah melakukan zina namun ia tidak dapat menghadirkan empat orang saksi
dan suami tersebut berani bersumpah atas kebenaran tuduhannya. Dan jika suami
tidak berani bersumpah dan tetap pada tuduhannya, maka sang isteri bersumpah atas
kebohongan tuduhan suaminya tersebut.
16
Landasan yuridis cerai li’an adalah firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 6
yang artinya :
“ Dan orang-orang yang menuduh isteri-isterinya berzina padahal mereka tidak dapat
mengajukan para saksi, kecuali dirinya sendiri maka kesaksian salah seorang dari
mereka adalah empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah, bahwa
sesungguhnya dia tergolong orang-orang yang benar.”
5. Zhihar
Zhihar berasal dari kata “Zhihar” artinya punggung. Namun menurut istilah fiqih
Zihar adalah ucapan suami kepada isterinya dengan kata antara lain: Engkau dengan
aku seperti punggung ibuku”. Dalam arti lain zihar adalah ucapan suami yang
mengandung arti bahwa isterinya seperti ibunya.
Pada zaman jahiliyyah, zihar termasuk bagian dari thalak, lalu Islam datang
membatalkannya dan menganggap zihar bukan bagian dari thalak, hanya saja suami
yang telah menzihar isterinya wajib membayar kiffarat dan suami tersebut tidak
dibenarkan berhubungan suami isteri dengan isterinya tersebut sebelum ia membayar
kiffarat yaitu memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu, puasa dua bulan
berturut-turut dan jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin. Hal tersebut
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mujadalah, ayat 3-4 yang artinya:
17
“ Dan orang-orang yang menzihar isteri-isteri mereka, kemudian mereka mencabut
kembali apa yang mereka katakan, maka hendaklah memerdekakan seorang budak
perempuan, sebelum mereka sentuh menyentuh. Demikian nasehat kepada kamu
sekalian tentang perkara ini. Dan Allah Maha tahu apa yang kamu kerjakan. Barang
siapa tidak mampu, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum mereka
sentuh menyentuh, barang siapa yang tidak mampu, hendaklah memberi makan enam
puluh orang miskin”
Meskipun zihar bukan bagian dari thalak namun akibat dari zihar tersebut
menyebabkan putus hubungan suami isteri sebelum suami yang menzihar isterinya
membayar kiffarat.
6. Thalak Ta’lik
18
Seorang suami yang menceraikan isterinya perlu diketahui apakah perceraian
itu dilakukan dengan terpaksa atau tidak, ucapan thalaknya benar atau tidak;
demikian juga seorang isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan cara
bersedia membayar suaminya dengan iwadl tentu perlu diketahui terlebih dahulu
besar iwadl dan apakah iwadlnya itu disetujui atau tidak oleh suaminya. Demikan
juga perceraian akibat li’an yang harus didahului oleh proses tuduhan dan
pemeriksaan saksi dan sumpah yang harus dilakukan pada suatu kondisi dan proses
tertentu; demikian juga putusnya hubungan suami isteri akibat zihar perlu diketahui
apakah ucapan suami tersebut termasuk zihar atau bukan, sehingga perlu diperiksa
terlebih dahulu.
Dari hal-hal tersebut diatas, maka tepat jika proses suatu perceraian perlu
melalui suatu lembaga yang mampu menentukan apakah perceraian yang akan
dilakukan tersebut dibenarkan oleh hukum agama atau tidak. Berdasarkan alasan
tersebut diatas dalam hukum Islam yang tertuang pada Pasal 115 Kompilasi Hukum
Islam menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
19
pada tiga permasalahan yaitu : Perceraian, Penetapan Sahnya Pernikahan dan Akibat
Perceraian.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian
yang dilakukan diluar lembaga peradilan dinyatakan tidak sah menurut hukum.
Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan hukum Islam jelas bahwa perceraian adalah
sesuatu yang dilarang yang hanya dapat dilakukan jika tidak bercerai akan
menimbulkan permasalahan bagi kedua pasangan suami isteri, dan karenanya
perceraian tidak dibenarkan jika hanya didasarkan kepada emosional sepihak itupun
hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan.
a. Adalah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
20
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (Peraturan
Pemerintah UU No.1/1974)
Alasan hukum yang akan digunakan dapat bersifat alternatif dalam arti hanya satu
alasan yang diajukan dan dapat pula kumulatif dalam arti dari alasan-alasan hukum
yang digunakan lebih dari satu alasan. Alasan hukum perceraian sebagaimana
tersebut di atas merupakan faktor-faktor utama yang merusak kebahagiaan rumah
tangga pasangan suami isteri sehingga jika salah satu pihak telah menentukan sikap
sebagaimana alasan tersebut maka pihak lain dapat mengajukan permohonan/gugatan
perceraian kepada Pengadilan Agama.
21
tidak dapat dinilai siapa yang menjadi sumber perselisihan; meskipun sumber
perselisihan tersebut terjadi akibat ulah atau sikap seorang suami tidak berarti suami
tersebut tidak berhak untuk mengajukan permohonan talak demikian pula sebaliknya.
Dalam perspektif ilmu hukum, upaya hukum merupakan salah satu substansi dari
hukum formil (hukum acara), di mana upaya hukum merupakan salah satu upaya dari
penegakan hukum. Sedangkan dalam perspektif praktik hukum, upaya hukum
berkenaan dengan "suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa
dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan
perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-
undang." (Mukti Arto, Yogyakarta 2007)
Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana, telah
berlaku kaidah umum bahwa suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tidak dapat dirubah apalagi dibatalkan. Akan tetapi dalam kenyataan tidak
mustahil putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut mengandung
suatu cacad hukum yang sebelumnya tidak diketahui oleh hakim yang memeriksa
perkara, baik pada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding atau kasasi dengan
mengingat bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak dapat menembus kebenaran
secara hakiki; hakim bisa saja dibohongi oleh saksi-saksi pada saat pemeriksaan
sidang, padahal saksi-saksi tersebut merupakan kunci penentuan suatu keputusan.
Oleh karena itulah, meskipun dalam HIR dan R.Bg. tidak dikenal lembaga
Peninjauan Kembali, namun dalam RV telah dipersiapkan seperangkat aturan tentang
lembaga Peninjauan Kembali yang dikenal pula dalam Hukum Acara sebagai
lembaga “ Recuest Civiel”, yaitu suatu lembaga yang memberikan kesempatan untuk
22
dibuka kembali pemeriksaan perkara yang telah memperoleh putusan berkekuatan
hukum tetap. Lembaga Peninjauan Kembali juga dibenarkan dan dikembangkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu antara lain sebagaimana
tertuang dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa :”Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau
keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-
bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut;
23
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata. (UU No. 5/2004)
Dari rumusan di atas, dipahami bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan
alasan adanya hal-hal baru yang diketahui setelah putusan dijatuhkan sementara
upaya hukum biasa telah lewat atau telah dilakukan akan tetapi upaya tersebut
mengalami kegagalan.
Dengan salah satu alasan atau lebih, pihak yang berkepentingan dalam hal ini
termasuk perkara perceraian pada pengadilan Agama dapat mengajukan permohonan
peninjauan kembali melalui Pengadilan Agama yang memutus perkara pada tingkat
pertama sekaligus dengan membayar biaya peninjauan kembali. Pengajuan upaya
hukum Peninjauan Kembali meliputi perkara perceraian yang dijatuhkan dengan
thalak raj’i, thalak bain sugro, thalak bain kubro dan termasuk thalak yang dijatuhkan
dengan sumpah lian.
Dalam setiap persidangan upaya atau tindakan yang mengarah kepada pemalsuan
fakta atau pemutarbalikkan fakta adalah sesuatu yang tidak jarang terjadi, sebab
pihak-pihak berperkara berupaya keras untuk memenangkan perkaranya di
pengadilan.
24
Pemutarbalikan fakta dalam sengketa perdata umum seringkali terjadi dan
membuka kemungkinan yang luas termasuk didalamnya perkara perdata perkawinan
yang mengarah kepada perceraian. Penggugat atau pemohon dengan kelihaian kata-
kata atau dengan keberhasilan menghadirkan saksi-saksi palsu telah dapat
mempengaruhi hakim sehingga fakta yang ditemukan dalam sidang berbeda dengan
fakta yang sebenarnya misalnya dalam hal sumber permasalahan atau sumber
kesalahan sehingga kesalahan diarahkan kepada tergugat atau termohon.
Pada kasus perceraian ketika perkara telah melalui beberapa proses dari
tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi dan dilanjutkan dengan upaya Peninjauan
kembali yang didalamnya terjadi perdebatan antara para pihak berperkara jelas
merupakan fakta yang tidak perlu pembuktian lagi (notoir) bahwa kedua belah pihak
berperkara telah terjadi perselisihan yang sulit untuk didamaikan.
Dengan demikian jika ditemukan fakta tentang pemutarbalikkan fakta, hal itu
tidak akan merusak alasan utama dari suatu perceraian.
25
Dalam sengketa perdata umum, hal itu sering terjadi; berbeda dengan perkara
sengketa perkawinan yang mengarah kepada perceraian jelas yang dipersoalkan
bukan hal kepemilikan namun lebih menjurus kepada hal-hal yang mempunyai nilai
abstark yaitu cinta kasih dan kebencian dua hal yang tidak bisa dipaksakan untuk
diputarbalikkan, kebencian tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi cinta kasih atau
sebaliknya cinta kasih tidak bisa dipaksa untuk dirubah menjadi kebencian.
Salah satu syarat formal suatu gugatan atau permohonan adalah adanya suatu
tuntutan atau permohonan dan bahkan tidak jarang tuntutan atau permohonan tersebut
tidak hanya terdiri dari satu tuntutan atau permohonan namun dikumulasikan dengan
tuntutan atau permohonan lainnya.
26
Peninjauan Kembali. Dalam kondisi seperti itu, Pasal 66 ayat (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004 memberikan jawaban dengan ungkapan : “Permohonan peninjauan
kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.
Perceraian yang diajukan oleh isteri dan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, putusan tersebut tidak memerlukan eksekusi, berbeda dengan putusan dalam
perkara cerai thalak, maka meskipun tidak dalam arti eksekusi, namun masih
diperlukan suatu proses pelaksanaan isi putusan melalui persidangan penyaksian
pengucapan ikrar talak yang tidak boleh dihentikan walaupun pihak lawan
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Ketika suatu putusan pengadilan dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
pada dasarnya putusan tersebut sudah final.
Kedua belah pihak berperkara secara yuridis harus menerima putusan itu
dengan lapang dada terlepas dari suka atau tidak suka, kecewa atau merasa puas.
Hanya saja dengan kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan maka setelah
dilakukan upaya hukum biasa dimungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan dalam
27
upaya hukum luar biasa yaitu upaya hukum Peninjauan Kembali yang tujuannya tidak
lain untuk mencari kebenaran secara maksimal.
Suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ternyata
dalam pemeriksaan upaya hukum peninjauan kembali diketemukan kekeliruan dan
permohonan Peninjaan kembali dikabulkan maka dapat digambarkan dampak yang
terjadi khususnya pada perkara perceraian pada Peradilan Agama sebagai berikut:
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, seorang suami atau
isteri yang telah diputuskan hubungan perkawinannya dengan perceraian mereka
dapat melakukan perkawinan baru dengan pihak lain. Apabila permohonan peninjaan
kembali dikabulkan maka pasangan suami isteri tersebut secara yuridis kembali
berposisi sebagai pasangan suami isteri yang sah, sehingga menimbulkan keadaan
seorang isteri mempunyai dua suami yang sah dan atau seorang suami mempunyai
dua isteri yang sah. Dari kondisi diatas, upaya hukum peninjauan kembali yang
dikabulkan akan berdampak sebagai berikut :
28
Jika permohonan peninjauan kembali dilakukan oleh suami dan termohon
Peninjauan Kembali (isteri) telah menikah lagi dengan laki-laki lain maka yang
terjadi akan lebih jauh bertentangan tidak hanya dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia namun secara umum bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku bagi seluruh ummat manusia yaitu seorang isteri
mempunyai suami lebih dari seorang.
Sikap suka atau tidak suka merupakan bagian dari hak asasi setiap manusia,
tidak ada sumber sistem hukum apapun yang memaksa orang untuk menyukai atau
membenci sesuatu. Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian yang
dikabulkan merupakan bagian dari unsur pemaksaan agar seseorang menyukai
sesuatu; seorang suami yang telah menceraikan isterinya dipaksa untuk mencintai
mantan isterinya begitupula sebaliknya. Keputusan agar seorang yang sudah tidak
lagi berkehendak berumah tangga dipaksa untuk menyatu dalam satu rumah tangga
29
atau perkawinan dapat diartikan bahwa kedua belah pihak dipaksa untuk saling
mencintai sebagai syarat utama sebuah perkawinan.
Dari kajian di atas jelas upaya hukum Peninjauan Kembali khusus dalam
bidang perceraian tidak eksis diterapkan dalam percaturan hukum formil di Indonesia
yang diselesaikan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sehingga
diperlukan suatu ketentuan eksepsional bagi upaya hukum Peninjauan Kembali. Hal
ini sangat dimungkinkan dengan melihat bahwa hukum senantiasa tumbuh dan
berkembang sejalan dengan perkembangan sosial masyarakat sebagaimana telah
terjadi pada perkembangan hukum di Indonesia pasca reformasi dewasa ini.
Namun pada putusan tentang sengketa harta bersama yang ternyata keliru
menurut pemeriksaan pada upaya hukum peninjauan kembali maka jelas hal itu akan
30
menunjukkan bahwa upaya hukum peninjauan kembali telah mampu menegakkan
keadilan dan menemukan kebenaran formil dan meteriil. Harta yang semula
ditetapkan sebagai harta bersama ternyata tidak terbukti sebagai harta bersama
dengan adanya novum baru yang menunjukkan bahwa harta tersebut adalah harta
bawaan salah satu pihak, atau harta milik pihak ketiga atau lain sebagainya yang
menunjukkan bahwa harta tersebut bukan sebagai harta bersama. Putusan peninjauan
kembali dalam hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan hukum Islam namun hal ini tidak menimbulkan kondisi sebagaimana
yang terjadi dalam putusan peninjauan kembali dalam bidang perceraian, oleh karena
itu upaya hukum peninjauan kembali dalam hal sengketa harta bersama tetap eksis
diterapkan.
F. Kesimpulan
Hukum Islam mengatur kembalinya hubungan suami istri yang telah bercerai
berdasar putusan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum tetap hanya dapat
dilakukan dengan cara rujuk dan nikah baru, oleh karena itu putusan perceraian yang
telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum
Peninjauan Kembali;
31
berlaku, bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
dan hanya menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi.
Upaya hukum peninjauan kembali dalam bidang khusus perceraian tidak eksis
karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku sedangkan pada perkara-
perkara yang merupakan akibat adanya suatu perceraian, upaya hukum Peninjauan
Kembali masih eksis berlaku karena berkaitan dengan pemulihan atas putusan yang
keliru dan hal tersebut telah sesuai serta tidak bertentangan dengan hukum Islam.
G. Saran
Dengan ditemukannya fakta yuridis dan fakta permasalahan dalam hal upaya
hukum Peninjauan Kembali khusus dalam bidang perceraian pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama yang tidak eksis diterapkan terkecuali dalam perkara-
perkara sebagai akibat adanya perceraian maka diperlukan beberapa saran terutama
dalam hal pembentukan dan perbaikan ketentuan yang selama ini masih berlaku yaitu
sebagai berikut:
32