Pemodelan 2-D Magnetotellurik Pada Sistem Panasbumi Area "Parkir", Kabupaten Oku Selatan, Sumatera Selatan
Pemodelan 2-D Magnetotellurik Pada Sistem Panasbumi Area "Parkir", Kabupaten Oku Selatan, Sumatera Selatan
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tektonik Area Penelitian
Area penelitian terletak di pulau Sumatera yang merupakan bagian dari
busur kontinen Sunda-Banda dan terletak dekat dengan pertemuan antara lempeng
Indo-Australia dengan lempeng Eurasia (gambar 2.1). Lempeng Indo-Australia
bergerak ke arah utara menunjam (subduksi) di bawah lempeng Eurasia yang relatif
diam dengan kecepatan rata-rata 6 cm/tahun (Hamilton, 1979). Walaupun sejarah
panjang dan kompleks mengenai subduksi-kolisi-rifting telah terjadi sejak 250 juta
tahun yang lalu, geometri subduksi saat ini merupakan subduksi yang dimulai pada
20 juta tahun yang lalu (Hall, 2009). Akibat dari subduksi tersebut terbentuklah
sistem sesar Sumatera yang berarah utarabarat - selatantimur sepanjang kurang
lebih 1650 km pada sisi barat pulau Sumatera.
Sistem sesar Sumatera merupakan salah satu sesar geser terbesar di dunia di
samping sesar San Andreas di Amerika (1287 Km), sesar Anatolia di Turki
(1500 km) dan sesar Filipina (1320 Km).
Gambar 2.1. Peta Tektonik Pulau Sumatera (modifikasi dari Hall, 2009)
Secara umum sistem sesar Sumatera merupakan sesar geser menganan namun
cenderung berbeda dengan sesar geser besar lain. Sistem sesar Sumatera mengalami
segmentasi yang intensif berdasarkan kehadiran struktur-struktur geologi tambahan
yang dapat terbentuk pada sistem sesar geser seperti dilational/extensional step
over, contractional step over, dsb (gambar 2.2). Sieh & Natawidjaja (2000)
kemudian membagi sistem sesar Sumatera menjadi 19 segmen menggunakan foto
udara dan peta geologi skala regional.
Gambar 2.2. Struktur tambahan yang dapat terbentuk pada sesar geser (Anonim, 2015)
untuk naik sampai ke kerak bagian atas, mengaktifkan vulkanisme dan membentuk
sistem panas bumi.
Bellier dan Sebrier (1994) berpendapat bahwa danau Ranau merupakan
suatu kaldera yang terbentuk akibat runtuhnya suatu gunung api. Pendapat tersebut
berdasarkan kehadiran aliran piroklastik yang ekstensif di sekitar danau. Gunung
api yang membentuk danau Ranau diduga berhubungan dengan pull-apart basin
yang saat ini sudah punah akibat terbentuknya sesar baru di tengah pull-part basin.
Struktur pull-apart tersebut sebenarnya cenderung sulit diidentifikasi pada model
elevasi digital namun pendapat tersebut mengacu pada fakta bahwa beberapa
kaldera yang terbentuk di Sumatera (danau Singkarak, danau Toba dan danau
Pasumah) memiliki kenampakan geometri pull-apart basin. Selain itu, 9 dari 50
gunung api yang terdapat di Sumatera juga terbentuk pada pull-apart basin.
Area penelitian yang berada di sebelah utara danau Ranau tidak memiliki
kenampakan geometri pull-apart basin yang jelas seperti pada area panas bumi
Suoh namun jejak extensional bend dapat diamati pada model elevasi digital.
Elevasi rata-rata area penelitian juga lebih rendah (zona depresi) dibandingkan
dengan segmen Kumering yang berada di sebelah selatan danau Ranau. Beberapa
satuan lava juga ditemukan di area penelitian (sub-bab II.2) dimana satuan lava di
area penelitian memiliki umur yang tidak jauh berbeda dengan umur batuan
piroklastik yang berasal dari letusan gunung api purba yang membentuk danau
Ranau (gambar 2.4). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, penulis menduga bahwa area
penelitian merupakan kemenerusan dari pull-apart basin yang sudah punah seperti
yang digambarkan oleh Bellier dan Sebrier.
Jejak magmatisme termuda pada area penelitian yang berupa batuan beku
adalah satuan lava Tebatgayat yang berumur sekitar 0,4 0,2 juta tahun. Jejak
magmatisme pada area penelitian termasuk kategori punah namun masih memiliki
potensi adanya magma di kedalaman yang ditunjukkan oleh data geokimia air panas
(sub-bab II.4). Sebagai perbandingan, area panas bumi Amiata, Italia juga berkaitan
dengan jejak magmatisme yang sudah punah (0,3 juta tahun)
namun masih
Gambar 2.3. Model elevasi digital sistem sesar Sumatera segmen Kumering.
18
mata air panas merupakan air yang berasal dari magma namun mata air panas 2 dan
3 terletak sangat dekat dengan garis air meteorik mengindikasikan pencampuran
dengan air meteorik yang tinggi (gambar 2.5.c). Hasil dari berbagai analisis
geokimia tersebut mengindikasikan bahwa pasokan fluida terbesar dari mata air
panas berasal dari air meteorik namun diperkirakan terdapat pula fluida yang
berasal dari magma (juvenile) dalam proporsi yang kecil (Kusnadi et al, 2011).
Walaupun mineral pada air panas kurang dapat diandalkan untuk
menggambarkan temperatur reservoir, mineral alterasi menunjukkan hasil yang
lebih jelas. Keberadaan mineral haloysit, montmorilonit/smektit dan paligorskit
menunjukkan bahwa pembentukan mineral alterasi berada dalam kondisi
temperatur yang berkisar antara 70-200C dengan pH fluida yang netral, umumnya
terbentuk pada zona argilik sedangkan mineral klorit menunjukkan pembentukan
mineral dengan suhu yang cukup tinggi (250C) pada pH netral, biasanya terbentuk
pada zona phillik. Kehadiran mineral pirophilit menunjukan pembentukan mineral
alterasi pada temperatur yang cukup tinggi (200C) dengan pH asam, biasanya
terbentuk pada zona argilik lanjut (Kusnadi et al, 2011).
10
(a)
(b)
11
Gambar 2.5. (a) Plot diagram Cl-HCO3-SO4. (b) Plot diagram k-Na-Mg.
(c) Plot isotop D vs 18O (Kusnadi et al, 2011). APL, APS, APKB,
APAR, berada di luar area penelitian.
12
Gambar 2.6. Peta kompilasi geosains area penelitian (modifikasi dari Kusnadi et al., Hadi et al, 2011)
13
14
dan Dresen, 2008). Data dari pengukuran fluks CO2 menghasilkan nilai gradien
temperatur sebesar 520C/km di bawah batuan dasar sehingga pada kedalaman
sekitar 4,5 km (1 km dari nilai cut-off kedalaman gempa) sudah memungkinkan
temperatur untuk terjadinya pelelehan sebagian (Bertrand et al, 2015).
Gambar 2.7. Diagram fence dari pemodelan resistivitas 3-D zona vulkanik Taupo
(Bertrand et al., 2015).
15
Gambar 2.8. Profil lapangan Rotokawa yang ditumpuk dengan kedalaman gempa mikro
(Bertrand et al., 2015).
Profil resistivitas yang ditumpuk dengan kontur isothermal serta zonasi tipe
alterasi berdasarkan data sumur pengeboran telah dilakukan pada lapangan Ohaaki
(gambar 2.9). Nilai resistivitas rendah dibawah 10 -m bersesuaian dengan zona
alterasi perlapisan smektit-illit dan kontur isothermal 200C. Nilai resistivitas lebih
dari 10 -m bersesuaian dengan zona alterasi illit serta epidot. Kedua tipe alterasi
tersebut bersesuaian dengan temperatur lebih dari 200C (Mroczek et al, 2016).
Gambar 2.9. Profil resistivitas pada lapangan Ohaaki yang ditumpuk dengan kontur
isothermal dan tipe alterasi berdasarkan data sumur pengeboran (Mroczek et al, 2016).
16
Gambar 2.10. Rose Diagram geoelectric strike yang diperoleh dengan menggunakan metode
fase tensor untuk seluruh frekuensi dan seluruh titik pengukuran pada zona vulkanik Taupo
(Bertrand et al, 2015).