Anda di halaman 1dari 30

Makalah Bahasa Indonesia

Etika dan Estetika Peran, Berbahasa dalam Forum Ilmiah

Kelompok 6 (D-IV GIZI 0 tahun), anggota :


1. Atika Setyowati Putri

(1234100006)

2. Muhammad Bagus Bahtiar

(1234100009)

3. Arief Hermanto

(1234100020)

4. Alvin Nabela

(1234100023)

5. Citra Nurani

(1234100034)

6. Winda Irawati

(1234100038)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
Jalan Besar Ijen No 77 C Malang. 65112. Telp (0341) 566075. Fax (0341) 556746

2012/2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul "Etika dan Estetika
dalam Forum Ilmiah" tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai
tugas mata kuliah Bahasa Indonesia semester 1 (satu) Jurusan Gizi Poltekkes
Kemenkes Malang.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen Pengajar Bahasa Indonesia,
Bapak Hasan Aroni, SKM, MPH yang telah memberikan tugas untuk menulis makalah ini.
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini kami mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.

Malang, 18 November 2012

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
BAB II...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN......................................................................................................... 3
2.1.

Pengertian Forum Ilmiah............................................................................3

2.2.

Jenis-jenis Forum Ilmiah............................................................................. 3

2.3.

Pengertian Etika......................................................................................... 6

2.1.1.

Etika Alamiah....................................................................................... 8

2.1.2.

Etika Objektif....................................................................................... 9

2.1.3.

Etika Universal................................................................................... 10

2.1.4.

Etika Sosiokultural............................................................................. 12

2.1.5.

Etika Ilmiah atau Etika Kritis..............................................................12

2.4.

Pedoman Etika Utama.............................................................................. 13

2.5.

Kepekaan Etika........................................................................................ 14

2.6.

Pentingnya Etika...................................................................................... 15

2.7.

Pengertian Estetika.................................................................................. 16

2.8.

Etika dan Estetika dalam Forum Ilmiah....................................................21

2.9.

Estetika Berbahasa Indonesia dalam Forum Ilmiah.................................23

2.10.

Manfaat Etika dan Estetika Berbahasa Indonesia dalam Forum Ilmiah.24

BAB III................................................................................................................... 26
PENUTUP.............................................................................................................. 26
3.1.

Simpulan.................................................................................................. 26

3.2.

Saran....................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 28

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Forum ilmiah merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh
mahasiswa yang berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi. Biasanya,
dilakukan presentasi dan diikuti dengan diskusi ilmiah. Agar forum ilmiah
dapat

berjalan

dengan

efektif,

maka

mahasiswa

memerlukan

suatu pengetahuan mengenai etika dan estetika berforum ilmiah, khususnya


dalam penggunaan bahasa Indonesia yang merupakan suatu media
komunikasi utama.
Etika merupakan suatu aturan, yaitu aturan penggunaan bahasa
Indonesia dalam forum ilmiah ini. Seperti halnya sebuah kehidupan, aturan ini
diperlukan untuk membatasi kesalahan khusunya dalam pemilihan kata dan
kalimat yang digunakan dalam berforum ilmiah. Mengetahui estetika
berbahasa Indonesia dalam forum Ilmiah ini juga sangat diperlukan,
guna menyempurnakan diskusi dalam suatu forum ilmiah. Oleh karena itu,
makalah ini disusun dengan harapan dapat digunakan sebagai pedoman
mahasiswa dalam melakukan forum ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, ada tiga hal yang dikaji dalam
makalah ini.
1. Bagaimana pengertian forum ilmiah?
2. Bagaimana pengertian etika dan estetika?
3. Bagaimana etika dan estetika dalam forum ilmiah?
4. Apa manfaat etika dan estetika dalam forum ilmiah?

1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah
1. mendeskripsikan forum ilmiah;
2. mendeskripsikan etika dan estetika;
3. mendeskripsikan etika dan estetika dalam forum ilmiah;
4. mendeskripsikan manfaat etika dan estetika dalam forum ilmiah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

Pengertian Forum Ilmiah


Forum ilmiah merupakan suatu pertemuan yang biasanya dilakukan

oleh mahasiswa ataupun pelaku - pelaku ilmiah lainnya, yang berfungsi sebagai
sarana penyebaran informasi ilmiah, baik secara konseptual maupun prosedural.
Dalam forum ilmiah, presentasi ilmiah merupakan suatu kegiatan yang pasti
dilakukan. Kegiatan itu berfungsi untuk menyebarkan informasi ilmiah. Karena
mahasiswa merupakan intelektual yang berkewajiban menyebarkan ilmu yang
dimilikinya, kemahiran untuk melakukan presentasi ilmiah merupakan suatu
kebutuhan.
Agar presentasi ilmiah dapat berjalan dengan efektif, ada kiat - kiat yang
perlu diterapkan, yaitu1 :
1. Menarik perhatian dan minat pelaku ilmiah.
2. Menjaga agar presentasi tetap fokus pada masalah yang dibahas.
3. Menjaga etika ketika tampil di depan forum ilmiah.

2.2.

Jenis-jenis Forum Ilmiah


Sebelum membahas lebih jauh mengenai forum ilmiah, berikut akan

ditunjukkan beberapa jenis dari forum ilmiah 2.


1. Diskusi Panel
Diskusi Panel merupakan suatu diskusi yang terdiri atas seorang
pemimpin, sejumlah peserta, dan beberapa pendengar. Dalam jenis diskusi ini
tempat duduk diatur sedemikian rupa sehingga pendengar dapat mengikuti
jalannya diskusi dengan seksama. Setelah berlangsung tanya jawab antara
1 Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-I. Diakses pada tanggal 18 November 2012.
2

Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-II. Diakses pada tanggal 18 November 2012.

pemimpin dan peserta, peserta dan pendengar, pemimpin merangkum hasil


tanya - jawab atau pembicaraan, kemudian mengajak pendengar ikut
mendiskusikan masalah tersebut sekitar separuh dari waktu yang tersedia.

2. Seminar
Pertemuan

berkala

yang

biasanya

diselenggarakan

oleh

sekelompok mahasiswa dalam rangka melaporkan hasil penelitiannya, dan


umumnya di bawah bimbingan seorang dosen atau ahli. Tujuan diskusi jenis ini
tidak untuk memutuskan sesuatu. Seminar dapat bersifat tertutup atau terbuka.
Yang terakhir dapat dihadiri oleh umum, tetapi mereka tidak ikut berdiskusi,
melainkan hanya bertindak sebagai peninjau.
Untuk menyelenggarakan seminar harus dibentuk sebuah panitia.
Pembicara yang ditentukan sebelumnya, umumnya menguraikan gagasan atau
topiknya dalam bentuk kertas kerja.

3. Simposium
Pertemuan

ilmiah

untuk

mengetengahkan

atau

membandingkan

berbagai pendapatatau sikap mengenai suatu masalah yang diajukan oleh


sebuah panitia. Uraian pendapat dalam simposium ini diajukan lewat kertas kerja
yang dinamakan prasaran. Dan beberapa prasaran yang disampaikan dalam
simposioum harus berhubungan.

4. Konferensi
Pertemuan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi atau badan
resmi sehubungan dengan masalah tertentu. Jika konferensi hanya bertujuan
menyampaikan hasil keputusan suatu organisasi atau badan pemerintah
mengenai suatu masalah maka hal tersebut dinamakan dengar pendapat atau
jumpa pers.

5. Lokakarya (Academic Workshop)


Suatu acara di mana beberapa orang berkumpul untuk memecahkan
masalah tertentu dan mencari solusinya. Sebuah lokakarya adalah pertemuan
ilmiah yang kecil.
6. Whole Group
Bentuk

diskusi

kelompok

besar

(pleno, klasikal,

paripurna

dan

sebagainya).
7. Buz Group
Diskusi kelompok kecil yang terdiri dari (4-5) orang.
8. Syndicate Group
Bentuk diskusi dengan cara membagi kelas menjadi beberapa kelompok
kecil yang terdiri dari (3-6) orang yang masing - masing melakukan tugas tugas yang berbeda.
9. Brain Storming
Diskusi iuran pendapat, yakni kelompok menyumbangkan ide baru
tanpa dinilai, dikritik, dianalisis yang dilaksanakan dengan cepat (waktu pendek).
10. Informal Debate
Diskusi dengan cara membagi kelas menjadi 2 kelompok yang pro dan
kontra yang dalam diskusi ini diikuti dengan tangkisan dengan tata tertib yang
longgar

agar diperoleh

kajian

yang

dimensi

dan

kedalamannya

tinggi.

Selanjutnya bila penyelesaian masalah tersebut dilakukan secara sistematis


disebut diskusi informal. Adapun langkah dalam diskusi informal adalah :
(1) Menyampaikan problema.
(2) Pengumpulan data.
(3) Alternatif penyelesaian.
(4) Memlilih cara penyelesaian yang terbaik.

11. Fish Bowl


Diskuasi dengan beberapa orang peserta dipimpin oleh seorang ketua
mengadakan diskusi untuk mengambil keputusan. Diskusi model ini biasanya
diatur dengan tempat duduk melingkar dengan 2 atau 3 kursi kosong menghadap
peserta diskusi. Kelompok pendengar duduk mengelilingi kelompok diskusi
sehingga seolah - olah peserta melihat ikan dalam mangkok.

12. Santiaji
Pertemuan yang diselenggarakan untuk memberikan pengarahan
singkat menjelang pelaksanaan suatu kegiatan.
13. Muktamar
Pertemuan para wakil organisasi mengambil keputusan mengenai suatu
masalah yang dihadapi bersama.
14. Diskusi Kelompok
Diskusi dengan anggota kelompok dalam suatu organisasi.
15. Bedah Buku
Kumpulan pakar - pakar ilmuwan untuk membicarakan hal - hal yang
menyangkut ilmu pengetahuan tertentu yang ada pada sebuah buku yangg
dianggap sumber.
2.3.

Pengertian Etika
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah,

istilah etika pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang
rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir.
Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir
inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf

Yunani besar Aristoteles (384-322 S.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan


filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi dari pada asal - usul kata ini, maka etika
berarti: ilmu tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja belum
cukup untuk mengerti dengan istilah etika 3.
Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa
dalam bahasa Indonesia pun kata ethos cukup banyak dipakai, misalnya dalam
kombinasi ethos kerja, ethos profesi, dan sebagainya. Memang ini suatu kata
yang diterima dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu
sebaiknya dipertahankan ejaan aslinya ethos), tapi tidak langsung melainkan
melalui bahasa Inggris, di mana kata itu termasuk kosa kata yang baku.
Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat
dalam kamus. Mengenai kata etika ada perbedaan yang mencolok, jika kita
membandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus
yang baru. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarmita,
sejak 1953) etika dijelaskan sebagai: ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral). Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai
ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan kita membaca dalam koran Dalam
dunia bisnis etika merosot terus, maka kata etika di sini hanya bisa berarti
etika sebagai ilmu. Tapi yang dimaksudkan daalam kalimat seperti itu ternyata
bukan etika sebagai ilmu. Kita bisa menyimpulkan bahwa kamus lama dalam
penjelasannya tidak lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang baru (departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1988), disitu
etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Kamus baru ini memang
lebih lengkap. Dengan penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti Dalam
dunia bisnis etika merosot terus, karena disini etika ternyata dipakai dalam arti
yang ketiga.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini. Pertama, kata
etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
3 K. Bertens, Etika,(Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 4-6.

lakunya. Kedua, etika berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral. Yang
dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga, etika mempunyai arti lagi: ilmu
tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan kemungkinan etis yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat. Seringkali
tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral.
2.1.1.

Etika Alamiah

Menunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya telah dikenal


secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling berhadapan. Telah terbukti
bahwa agar seseorang dapat melakukan sutau pekerjaan yang berikutnya
(katakanlah tahap kedua: penulis) dengan baik, maka seseorang itu harus
terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan yang mendahuluinya (katakanlah
pekerjaan tahap pertama: penulis). Jika seseorang melakukan evaluasi tidak
berdasarkan pengetahuan yang kokoh tentang fakta-fakta yang ada, maka ia
akan melakukannya dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus megetahui
seluruh fakta yang relevan sebelum ia melakukan penilaian moral (yang
berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini tampak jelas bahwa
membangun serta menunjukkan fakta - fakta dan membuat penilaian moral
terhadap fakta-fakta itu merupakan dua pekerjaan yang berbeda sama sekali
(Edwards, 1972:69).
Para filosof utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert
Spencer dan bahkan juga John Dewey dalam hal ini memandang bahwa suatu
tindakan itu dapat dinilai etis atau tidak etis berdasarkan seberapa besar
tindakan itu mendatangkan suatu kemanfaatan alamiah seperti kesenangan,
kepuasan, dan kebaikan masyarakat. Media massa Amerika Serikat misalnya,
memandang bahwa salah asuh terhadap anak sebagai akibat dari anak - anak
dibesarkan di dalam keluarga yang kedua atau salah satu orang tuanya pecandu
alkohol adalah tidak etis. Terence Oliver namun demikian, memandang bahwa
tidak perlu (baca: tidak etis) jika kemudian wartawan menghabiskan berbulan bulan untuk mempublikasikannya, karena yang menjadi persoalan prioritas
adalah seberapa besar kekuatan kita untuk mengentaskannya. Beda pendapat
antara para wartawan dengan Oliver semata - mata merupakan implikasi dari
cara pandang etika naturalistik masing - masing.

Paparan

di

dalam

journal

tersebut

mengingatkan

kita

tentang

perdebatan etika berkenaan dengan peliputan kasus kecelakaan Diana Spencer


(Putri Inggeris) oleh wartawan foto yang mengejar dan merekam kejadian itu.
Perdebatan terfokus pada isu menolong orang yang kecelakaan dahulu atau
merekamnya untuk keperluan tugas jurnalistiknya?
2.1.2.

Etika Objektif

Pengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah subjektif itu


samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika objektif, namun demikian kita
gunakan dengan maksud untuk menunjuk setiap kalimat etika yang dikemukakan
secara bebas tidak dimuati suatu kepentingan apapun dari orang yang
mengemukakannya (Edwards, 1972:70). Objektifisme - subjektifisme. Kedua
istilah tersebut telah diperguanakan secara samar-samar, membingunkan dan
dalam pengertian yang jauh berbeda dari apa yang kita pikirkan. Kita
mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu teori yang
disebut subjektifis jika dan hanya jika, beberapa pernyataan etik menyatakan
atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu kondisi tertentu hendak
bersikap khusus yang tertentu terhadap sesuatu itu. Sebuah teori dapat
dikatakan sebagai objektifis jika tidak mengikutsertakan hal ini (Brandt,
1959:153).
Rentang antara subjektifisme dan ojektifisme, misalnya dapat kita lihat
melalui contoh berikut ini: Katakanlah kita secara sukarela menolong mengantar
nenek kita dengan mengendarai mobil ke rumah yang berada di pojok lain kota
yang sama dengan tempat kita tinggal. Di tengah jalan kita mengendarai mobil
dengan sangat baik, namun tiba-tiba seorang yang mengendarai mobil lain
dalam keadaan mabuk menabrak mobil yang kita kendarai. Hasilnya, nenek kita
terjepit dan kakinya patah serta harus dioperasi di rumah sakit. Patutkah jika kita
mengatakan bahwa itu semua karena salah kita, atau orang lain mengatakan
demikian? (Hospers, 1982:142).
Siapapun

yang menyatakan

bahwa

kita yang

bersalah

berarti

menyatakan sesuatu secara subjektif; sebaliknya pernyataan yang paling patut


tetapi objektif adalah jika berbunyi: kecelakaan itu terjadi sebagai akibat dari
pengemudi mabuk yang menabrak mobil kita. Sekiranya kita hendak

menunjukkan rasa dan kebesaran jiwa kita sehingga kita menyatakan bahwa itu
semua salah kita, maka kita telah menunjukkan sikap yang patut menurut
budaya kita (Indonesia) tetapi bersifat subjektif.

2.1.3.

Etika Universal

Dua gejala umum kita kenali di dalam masyarakat yaitu pertama,


bentuk-bentuk pranata sosiokultural tertentu terdapat di dalam setiap masyarakat
manusia seperti : keluarga berkewajiban mendidik dan membesarkan anak-anak
mereka. Kedua, adanya kesamaan prinsip-prinsip dasar dari sistem nilai
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ( Brandt, 1959:286). Profesor
Kluckhohn, misalnya mengemukakan bahwa: Setiap budaya memiliki konsep
tentang pembunuhan, membedakannya dari hukuman mati, pembunuhan di
dalam peperangan, dan berbeda dari jenis pembunuhan lainnya. Pandangan
tentang perzinaan dan pengaturan hubungan seksual lainnya, dan larangan
dusta di dalam situasi yang tertentu, tentang gantirugi dan imbal balik, dan hak
dan kewajiban antara anak dan orangtua, kesemua konsep - konsep moral
tersebut bersifat universal.
Brandt dengan pernyataan dan kutipannya Dari Kluckhohn tersebut
hendak mengemukakan bahwa konsep - konsep moral yang bersifat universal itu
menunjukkan adanya etika yang juga bersifat universal. Hal ini dimungkinkan
oleh karena manusia merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang
cenderung bertatakrama (Solatun, 2004:52).
Richard B. Brandt secara lebih rinci memaparkan tentang gejala
universal tersebut bahwa:
1. Semua manusia, setidaknya ketika mereka tidak dihadapkan pada
tekanan - tekanan yang tidak biasa (luar biasa), adalah dalam
kesepakatan mengenai prinsip - prinsip dasar etika. Pengertiannya
adalah bahwa, persoalan - persoalan etika dapat diatur secara rasional;
dalam hal ini ketidaksepakatan mengenai etika tidak bersumber dari
ketidaksepakatan mengenai prinsip - prisip dasar etika itu sendiri, kita
harus beranjak dari kesalahpahaman tentang fakta - fakta non - etika.

Dengan demikian, jika kita dapat sampai pada kesepakatan mengenai


fakta - faktanon etika melalui pemabahasan dengan metoda ilmiah, maka
kita aka memeproleh kesepakatan bulat tentang etika.
2. Premis antropologis yang mengemukakan bahwa ada banyak variasi
(ragam - macam) keyakinan tentang tingkah laku yang benar dan salah,
dalam masyarkat yang berbeda, telah difahamkan bahwa tingkah laku
benar atau salah tidak akan menjadi pengetahuan intuitif.
3. Banyak anggapan sebagai premis yang dirumuskan dari antropologi
bahwa,

lebih

banyak

perbedaan

pendapat

mengenai

etika

jika

dibandingkan dengan perbedaan pendapat mengenai fakta - fakta non etika. Berdasarkan pandangan ini, dikemukakan sebgai dasar pikiran
bahwa pandangan-pandangan mengenai etika pada hakikatnya lebih
menyangkut persoalan - persoalan tingkah laku emosional.
4. Orang - orang, paling tidak ketika mereka dalam keadaan serius,
mengemukakan pertanyaan - pertanyaan mengenai etika dengan suatu
cara yang umum (seragam) dan menyampaikan hanya satu macam
alasan (atau pandang baku) di dalam mempertahankan pranata atau
standard

etika.

Mereka

kemudian

menganggap

bahwa

cara

mengemukkan pertanyaan pertanyaan mengenai etika ini adalah satu satunya yang dapat diterima dan benar, atau sesekali dikemukakan
bahwa dengan demikian, istilah - istilah etika harus dipandang sebagai
suatu yang dapat didefinisikan secara tepat dengan suatu cara, dengan
mana jenis standar mengenai alasan yang disampaikan benar - benar
merupakan suatu alasan yang konklusif bagi pernyataan mengenai etika
yang dikemukakan.
5. Terkadang

diyakini

bahwa

ilmu

sosial

dapat

memberitahu

kita

bahwasanya kegunaan sisitem moral, nurani dan pembahasan mengenai


etika semata - mata sebagai sebuah cara informal kontrol sosial atau
untuk menyediakan aturan guna menengahi konflik - konflik kepentingan.
Dengan demikian diperoleh tafsiran bahwa norma etika itu benar jika dan
hanya jika kesemuannya itu sesuai atau cocok untuk keperluan mencapai
tujuan tersebut (Brandt, 1959:86-87).

Terciptanya perdamaian, kesenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan


merupakan tujuan manusia yang bersifat universal. Oleh karenanya pada setiap
komunitas manusia juga dengan sendirinya terdapat standar tentang baik buruk, patut tidak patut yang berlaku universal yang dapat menjadi kerangka
standard etika universal.

2.1.4.

Etika Sosiokultural

Setiap

komunikasi

insani,

hampir

dapat

dipastikan

merupakan

komunikasi antar budaya. Hal ini dikarenakan setiap ada dua orang manusia
atau lebih selalu memiliki perbedaan budayanya masing - masing meski hanya
dalam derajat yang sangat kecil (Deddy Mulayan & Jalaluddin Rakhmatc
editor-,1996:vi).
Pendekatan nilai dalam komunikasi beranggapan bahwa pola - pola
komunikasi akan berbeda antara satu penganut nilai budaya dengan lainnya,
sebagaimana anggota masing-masing entitas budaya juga berorientasi nilai nilai dasar kultural yang berbeda. Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna
yang direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks
kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari entitas budaya
mana pengkonstruksi berasal (Gudykunst, 1983:54). Muatan etika yang melekat
di dalam konstruksi tersebut oleh karenanya juga akan sangat bergantung pada
sistem budaya pengkonstruksinya. Standar kepatutan di dalam setiap transaksi
komunikatif, oleh karenanya akan beragam menurut ragam budaya yang
melatarbelakangi komunikator yang terlibat, termasuk pengkonstruksi realitas
sosial politik melalui wacana tertulis di dalam opini media massa cetak.

2.1.5.

Etika Ilmiah atau Etika Kritis

Kritikisme etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian yang


sangat penting di dalam kajian kritis terhadap setiap fenomena komunikatif.
Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada segi - segi moral dari segala
sesuatu yang terjadi dan terdapat di dalam teks dan dampak yang mungkin

timbul dari teks itu. (Dalam hal ini: penulis) telah terjadi perdebatan seru tentang
bagaimana etika memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan
oleh etika di dalam kehidupan dunia seni dan media (Berger, 1998:195).
Standar validitas (keabsahan) etika dari suatu pernyataan kritis tentang
produksi teks dan dampak yang ditimbulkan dari padanya didasarkan pada
prinsip - prinsip metodologi keilmuan. Rumusan metodologis hasil dari proses ini
oleh karenanya juga disebut sebagai rumusan etika kritis atau etika ilmiah yang
termasuk kedalam wilayah pembahasan metaetika atau metaethics (Solatun,
2004:62).
Pengujian (dapat dibaca: penilaian) dengan mempergunakan kerangka
metodologis ini lebih ditujukan pada kerangka penilaiannya dan bukan pada
objek yang dinilainya. Langkah seperti ini menjadi penting sehubungan dengan
kita memerlukan penjelasan tentang derajat kepatutan kerangka pemikiran
dibalik produksi pernyataan tekstual. Dua segi yang paling penting untuk diuji
dengan menggunakan kerangka metodologis seperti ini adalah konsistensi dan
generalitas dari struktur (kerangka) pikir yang melatarbelakangi diproduksinya
suatu pernyataan tekstual dan juga yang non-tekstual- (Solatun, 2004:63) .

2.4.

Pedoman Etika Utama


Pedoman etika utama yang ditegaskan Bormann dalam dua tulisannya4:
1. Partisipan harus dibolehkan memutuskan pikirannya sendiri
tanpa dicurangi, ditipu, atau dimanipulasi.
2. Partisipan harus didorong untuk menumbuhkan

dan

mengembangkan potensinya sendiri.


3. Alasan yang logis dan penilaian yang relevan haruslah didukung
4. Konflik dan ketidaksetujuan yang lebih berfokus pada partisipan
sebagai person alih-alih pad aide atau informasi haruslah
dihindari.
5. Partisipan yang memanipulasi anggota kelompok yang sematamata untuk kepentingan sendiri adalah tidak etis.
4 Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1996), hlm. 154.

6. Dalam

peranannya

sebagai

penasihat,

partisipan

harus

menyajikan informasi secara jujur, wajar, dan akurat.


7. Berkenaan dengan kelompok atau individu eksternal, partisipan
dalam kelompok tersebut membela pernyataan yang benarbenar tentang fakta, pernyataan nilai yang patut dipuji, dan
nasihat yang masuk akal.
8. Partisipan harus berkomunikasi satu sama lain sebagaimana ia
menginginkan orang lain berkomunikasi denggannya.
9. Praktik-praktik komunikasi dalam kelompok seharusnya dinilai
dalam kerangka semua nilai dan criteria etika yang relevan,
bukan semata-mata atau terutama berdasarkan nilai tujuan atau
sasaran yang ingin dicapai.

2.5.

Kepekaan Etika
Dennis Gouran menyatakan secara tegas bahwa kepekaan etika

merupakan fungsi kepemimpinan yang setiap peserta diskusi kelompok kecil


harus bersedia melakukannya.5 Kelompok tidak selalu sadar akan implikasi
keetikaan

dari

keputusannya.

Apakah

seorang

anggota

menganggap

kemungkinan ini sebagai perhatian dari temannya, dalam beberapa hal mereka
mungkin sampai pada keputusan yang berbeda. Peserta yang secara etis peka
berusaha menghindari keputusan tidak etis yang disengaja dan berusaha
meningkatkan penelaahan isu-isu lebih dari sudut pandang yang murni
pragmatis. Daripada memberikan penilaian etika yang tergesa-gesa dogmatis,
kalau tidak ini erarti itu, peserta diskusi yang peka mengajukan pertanyaan
tentang ide dan tindakan yang dapat dienarkan secara etis.
Gouran mengemukakan lima pertimbangan untuk menuntun penilaian
derajat tanggung jawab etis yang diperlihatkan dalam proses pengambilan
keputusan kelompok kecil tertentu.
1. Apakah kita memperlihatkan ketertarikan yang dibutuhkan pada
orang yang akan dipengaruhi oleh keputusan kta?
2. Apakah kita mengkaji pertanyaan diskusi sesuai dengan tanggung
jawab yang mampu dilakukan?
5 Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1996), hlm. 156.

3. Apakah

kita

salah

menggambarkan

sikap

atau

salah

menggunakan sumber informasi?


4. Apakah kita mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak perlu
yang mungkin mengurangi perasaan harga diri peserta?
5. Apakah setiap orang dalam kelompok diberipenghargaan yang
sesuai?

2.6.

Pentingnya Etika
Pada dekade 1980-an, banyak bukti menunjukkan meningkatnya

perhatian masyarakat terhadap menurunnya perilaku etis, khususnya pada


kalangan para pejabat yang memiliki tanggung jawab publik ataupun pribadi 6.
What Ever Happened to Ethics? tanya liputan utama majalah Time (25 mei
1987), A Nation of Liars? desak U.S. News and World Report (23 Februari
1987). Sebuah pengumpulan pendapat pada Februari 1987 oleh U.S News dan
CNN memperlihatkan bahwa lebih dari setengah peserta survey yakni bahwa
orang-orang sekarang lebih kurang jujur dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.
Time melaporkan: Lebih dari 100 anggota pemerintahan Reagan pernah
mendapatkan tuduhan atas pelanggaran etika atau hukum yang dihancurkan
terhadap mereka. Jumlah itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Menurut Time,
Banyak bagian etis nasional yang telah sangat merosot karena dari Gedung
Putih hingga gereja-gereja, sekolah-sekolah, industri, pusat - pusat kesehatan,
lembaga hukum, dan pasar saham. Time menyimpulkan: Etika, yang sering
disepelekan sebagai sebuah kata yang terlalu manis, kini berada dipusat
perdebatan nasional baru.
Sebuah masyarakat tanpa etika adalah masyarakat yang menjelang
kehancuran, ucap filosof S.Jack Odell. Menurut Odell, konsep dan teori dasar
etika memberikan kerangka yang dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau
moral setiap orang. Odel yakin bahwa prinsip - prinsip etika adalah prasyarat
wajib bagi keberadaan sebuah komunitas sosial. Tanpa prinsip - prinsip etika
mustahil manusia bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan, kecemasan,
keputusasaan, kekecewaan, pengertian, dan ketidakpastian.

6 Ibid. 6-7.

Suatu sistim etika kemasyarakatan atau pribadi bukanlah obat yang


mujarab dan berlaku bagi seluruh persoalan individu maupun kolektif. Apa yang
dapat disumbangkan oleh teori etika dan refleksi sistemik tentang etika? Satu
jawaban diajukan oleh filosof Carl Wellman: Sebuah sistem etika tidak
menyelesaikan seluruh persoalan praktis, tetapi kita tidak bisa memilih dan
bertindak secara rasional tanpa sistem etika yang jelas atau samar - samar.
Sebuah teori etika tidak mengatakan pada seseorang

apa yang harus

dilakukannya pada situasi tertentu, tetapi ia juga tidak diam sama sekali; teori
etika mengatakan kepadanya apa yang harus di pertimbangkan untuk
memutuskan apa yang harus ia lakukan. Fungsi praktis dari sebuah sistem etika
terutama adalah untuk mengalahkan perhatian kita pada pertimbangan yang
relevan, alasan - alasan yang menentukan kebenaran atau kekeliruan suatu
tindakan.

2.7.

Pengertian Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat 7. Secara sederhana, estetika

adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan


bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai
estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Secara etimologi Estetika berasal dari bahasa Yunani, ,
dibaca aisthetike. Kali pertama digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb
Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan
lewat perasaan.
Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:
1.

Studi mengenai fenomena estetis.

2.

Studi mengenai fenomena persepsi.

7 Anonymous, Ensiklopedia Bebas Wikipedia, Estetika, diakses pada


tanggal 18 November 2012.

3.

Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis.

== Penilaian keindahan == Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai


dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir
dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan.
Misalnya, pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan
menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti
kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa
maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan
warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu
memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat
terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal
dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang
diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya
yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat
banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata
memperlihatkan keindahan.
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali
dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah
oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan
kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan - aturan,
kesimetrisan, dan keberadaan. Keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek.
Aspek jasmani dan aspak rohani.
Pengendalian aspek - aspek estetika komoditas, termasuk di dalamnya
komoditas informasi berbasis media massa cetak, telah menjadi bagian inti dari
kreatifitas seni populer, terutama seni komoditas yang merupakan bagian penting
dari industri yang dikelola dan dikendalikan oleh para kapitalis. Misinya
(pengendalian segi - segi estetika tersebut ) adalah untuk menjual (barang barang) kebutuhan, misi jangka panjangnya adalah untuk mempertahankan
sistem kelas.
Wolfgang Fritz Haug, seorang Marxis Jerman telah mengembangkan
sebuah konsep yang relevan dengan diskusi masalah ini. Haug mengemukakan

bahwa mereka yang megendalikan industri di dalam masyarakat kapitalis, telah


mempelajari untuk melarutkan seksualitas ke dalam (segala: penulis) komoditas
dan kemudian (dengan cara itu) memperoleh (peluang) pegendalian yang lebih
besar dan lebih besar lagi terhadap segi - segi kehidupan manusia yang
merupakan kepentingan utama untuk mengatur kelas (sosial, mencakup agar )
orang - orang membeli barang - barang dan jasa (Berger, 1998:51).
Estetisme yang merupakan cara berpikir filosofis Immanuel Kant untuk
menghindarkan pemikiran dan tindakan politik dari orientasi material dan
duniawi, telah bergeser dan digeser untuk tujuan - tujuan yang sebaliknya
(Williams, terjemahan Muhammad Hardani, 2003:302) . Goldmann, meski
memandang pemikiran Kant sebagai sebatas pandangan atas penampilan luar
masyarakat manusia, menilai bahwa ada hal positif dari dalam pandangan
estetisme Kant yang menganjurkan agar memperlakukan manusia sebagai
tujuan dan bukan sebagai alat atau faktor produksi.
Pandangan Kant dan dukungan dari Gldmann tersebut di muka
menunjukkan bahwa konstruksi realitas sosial, termasuk realitas sosial politik,
terlebih untuk konsumsi pasar media massa berupa informasi tekstual,
hendaknya mempertimbangkan segi - segi estetika meski tidak berarti harus
menjadikannya bagian dari estetisme. Segi-segi estetika bahasa - sebagai
kemasan pesan tekstual sekurang - kurangnya mencakup: estetika denotatif
dan estetika konotatif (Yasraf Amir Piliang, 2003:223).
Denotasi

dan

konotasi

merupakan

dua

proses

terpenting

dari

penggunaan bahasa verbal (tertulis dan lisan). Denotasi, penampakan, atau


penunjukan merupakan tindakan penggunaan bahasa yang mencerminkan
kebiasaan seluruh manusia didalam upayanya menciptakan dan menemukan
tanda - tanda yang menjadikannya mewakili sesuatu yang lain. Tanda di dalam
kehidupan berbahasa dikemukakan dalam bentuk ikon, indeks dan sibol - simbol.
Proses menciptakan dan menafsirkan simbol-simbol yang lazim disebut
dengan signifikasi, merupakan hal yang jauh lebih luas dari pada sekedar
bahasa. Sarjana seperti Ferdinand de Saussure menekankan bahwa, kajian
makna linguistik hanya merupakan bagian dari kajian yang lebih umum terhadap
penggunaan sistem simbol ini, dan kajian umum ini disebut dengan semiotika.

Para ahli semiotika meneliti jenis - jenis atau bentuk - bentuk relasi antara tanda
dan objek yang diwakilinya; yang dalam istilah Saussure antara signifier
(penanda) dengan signified (yang ditandai) (Saeed, 1997:5).
Penanda bahasa bersifat struktural dan mengacu pada sifat - sifat
keinderaan dalam bentuk - bentuk denotasi dan penampakan objek. Aspek
konotatif dari bentuk denotatif tersebut berupa konsep objek bersifat kultural
fungsional dan melekat di dalamnya sebagai suatu yang mengacu pada
gagasan, citraan, pengalaman, dan nilai - nilai objek itu (Yasraf Amir Pliang,
2003:223). Di dalam pandangan strukturalis, kata dianggap memperoleh
signifikansinya dari sebuah kombinasi antara denotasinya (rujukannya) dan
pengertian (di dalamnya). Contoh paling sederhana adalah ketika seseorang
berkata: Saya melihat ibu saya beberapa saat lalu, maka pendengar akan
memperoleh pengertian bahwa si pembicara melihat seorang perempuan. Ibu
dalam kalimat si pembicara merupakan salah satu jenis denotasi yang objektif.
Adapun konotasi yang dibangun dengan kata ibu saya adalah seorang
perempuan yang melahirkan si pembicara dari kandungannya (Saeed,
1997:292). Penanda denotatif tersebut akan memiliki konotasi yang berbeda jika
diucapkan dalam konteks yang berbeda, misalnya kata ibu tidak lagi digabung
dengan kata saya tetapi digabung dengan kata pertiwi, atau kata guru.
Makna konotatif yang dituju oleh dua kalimat terakhir adalah tanah tumpah
darah (homeland) dan seorang perempuan yang bekerja sebagai pengajar si
pembicara di sebuah lembaga pendidikan atau sekolah.
Persoalan penting yang mengemuka dari dalam suatu proses denotasi
adalah bahwa denotasi merupakan proses penggunaan bahasa sebagai
pengkemas makna. Keefektifan maksud dan tujuan pengkemasan sangat
bergantung pada seberapa efektif kita menampilkan segi - segi estetik ke dalam
kemasan itu. Yasraf misalnya mengemukakan bahwa, dalam upaya pemuatan
makna tertentu pada objek seni, setidak - tidaknya ada tiga aspek yang harus
diperhatikan, yaitu 1) kode, yaitu cara tertentu memilih, menyusun dan
mengkombinasikan tanda - tanda (apakah menurut relasi penanda atau petanda,
penanda atau penanda, atau penanda par - excellence), 2) makna yang
diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif, atau ironis), dan 3) ekspresi atau
idiom, yakni cara elemen - elemen bentuk dan tanda dikombinasikan sehingga

menghasilkan totalitas bentuk, baik yang berupa elemen linguistik maupun non linguistik (Yasraf Amir Piliang, 2003:224).
Yasraf menggambarkan proses pemuatan estetika kedalam kode dan
makna bahasa secara skematik sebagai berikut: Model proses estetik - semiotik
Yasraf tersebut di atas dapat dijadikan sebagai peta abrogasi dan apropriasi
dalam konteks dekolonisasi konstruktif. Abrograsi dan apropriasi merujuk pada
pengertian: penolakan terhadap kategori - kategori kebudayaan imperial,
estetiknya, standar normatifnya yang dibuat - buat atau standar penggunaan
kebenarannya dan asumsinya tentang makna tradisional dan fixed yang terdapat
dalam kata. Apropriasi merupakan proses penyerapan dan pembentukan ulang
bahasa agar dapat menanggung beban pengalaman kultural seseorang
(Ashcroft, Griffiths, &Tiffin, terjemahan Fati Soewandi dan Agus Mokamat,
2003:42).
Peta yang sama, dengan demikian juga dapat dipergunakan oleh pihak pihak yang berkepentingan sebaliknya untuk mengkonstruksi realitas dengan
motif - motif denaturalistik - kolonialistik. Kesadaran estetik di dalam
mempergunakan bahasa untuk keperluan mengkonstruksi realitas menjadi
sangat

penting

dan

menentukan

bentuk

relasi

sosiotekstual

yang

menggambarkan siapa mendustai siapa, siapa menguasai siapa, atau siapa


dijajah oleh siapa.
Konsep kolonisasi versus dekolonisasi dalam pada ini memperoleh
relevansinya dalam konteks perang teks antara masyarakat teks modernis
dengan masyarakat teks lainnya yang menganggap bahwa modernisme terlahir
dengan cacat dan ekses bawaannya yang telah mengakibatkan sakit
sosiokultural dunia yang hiperakut (hyperacute) . Yudhi Haryono dengan
mengutip pandangan Nasir Hamid Abu Zaid melukiskan bahwa masyarakat teks,
lahir, hidup, berjuang dan mati untuk teks. Masyarakat teks ini mendesain dirinya
dalam dua tipe. Pertama, sebagai paradigma pemikiran dan penghayatan.
Kedua, sebagai metode analisa - kritik-solusi kehidupan. Keduanya adalah
epistem yang dihadirkan sebagai langkah - langkah terorganisir demi
penyelamatan dari modernitas (M. Yudhie Haryono, 1005:27).

Intertekstualitas dalam arti sebenarnya maupun dalam arti yang lebih


spesifik dalam hal ini memperoleh pembenaran teoretiknya. Pembenaran yang
sama juga diperoleh untuk Teori Habitus and Field Pierre Bourdieu, dan konsepsi
Agency-Structure dari dalam Teori Strukturasi Anthony Giddens.

2.8.

Etika dan Estetika dalam Forum Ilmiah


Dalam suatu forum Ilmiah, sangat dibutuhkan sebuah komunikasi untuk

menunjang kelangsungan di dalam forum ilmiah tersebut.


Etika dan etiket berkomunikasi dalam forum ilmiah 8:
1. Jujur tidak berbohong
2. Bersikap dewasa tidak kekanak-kanakan
3. Lapang dada dalam berkomunikasi
4. Menggunakan panggilan atau sebutan orang yang baik
5. Menggunakan pesan bahasayang efektif dan efisien
6. Tidak mudah emosi atau emosional
7. Berinisiatif sebagai pembuka dialog
8. Berbahasa yang baik, ramah dan sopan
9. Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan
10. Bertingkah laku yang baik.
Etika berkaitan dengan keyakinan dan prinsip mengenai mana yang
benar dan mana yang salah, serta mana yang patut dan mana yang tidak patut.
Satu nilai yang harus dipegang dalam menjaga etika ketika berforum ilmiah
adalah menjaga sikap agar tidak merugikan orang lain. Kerugian mencakup hak
atau kesempatan, kehilangan muka, dan tersinggung perasaannya. Hak dalam
forum

ilmiah

meliputihak

bicara,

hak

membela

dan

mempertahankan

pendapatnya, serta hak untuk mendapatkan pengakuan. Kehilangan muka dapat


terjadi apabila aib atau kekurangan diungkapkan secara vulgar. Sementara itu,
apabila seseorang telah melakukan sesuatu yang sangat berharga, ia
mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan. Etika dalam forum ilmiah harus
dijaga agar tujuan forum tercapai dengan baik. Hal yang perlu diperhatikan oleh
penyaji dalam etika adalah kejujuran. Dalam dunia ilmiah, kejujuran merupakan
butir etis terpenting.
Setiap orang wajib bersikap sangat terbuka dalam segala hal
menyangkut informasi yang disajikan. Jika menyajikan data, penyaji harus
8

Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-II. Diakses pada tanggal 18 November 2012.

secara jujur menyebutkan apakah data itu hasil penelitiannya ataukah diambil
dari sumber lain. Jika diambil dari sumber lain, harus disebutkan secara lengkap
sesuai dengan kelaziman dunia ilmiah.
Adapun etika yang harus dijaga oleh peserta antara lain adalah sebagai berikut :
1. Setiap peserta harus jujur pada diri sendiri.
Artinya, dia akan bertanya jika memang tidak tahu, akan mencari
klasifikasi apabila masih bingung atau belum yakin, akan mengecek apakah
pemahamannya sudah benar ataukah belum, dan sebagainya.
2. Setiap peserta wajib menghargai pendapat atau gagasan orang lain.
Dalam hal ini mensyaratkan bahwa dia wajib menyimak apabila ada
orang yang berbicara atau bertanya. Misalnya, ketika orang lain telah
mengusulkan gagasan, dia tidak akan berbicara seolah - olah dialah pengusul
pertama gagasan tersebut. Ketika pertanyaan telah diajukan oleh peserta lain,
dia tidak akan mengulangi pertanyaan tersebut. Ketika peserta lain telah
menyatakan sesuatu dan dia menyetujuinya, dia dapat mengungkapkan
dukungannya.
Terkait dengan perilaku bertanya untuk memperoleh klarifikasi atau
informasi, satu kewajiban penanya adalah menyimak jawaban dari penyaji. Akan
lebih bagus jika penanya menunjukkan apresiasi positif terhadap jawaban yang
telah diberikan. Apabila dengan terpaksa penanya meninggalkan ruangan
sebelum jawaban diberikan, dia wajib meminta maaf dan meminta izin untuk
meninggalkan ruangan.
Jalannya forum ilmiah banyak ditentukan oleh moderator sebagai
pemandu. Etika yang harus dijaganya adalah bahwa dia harus adil. Artinya,
semua peserta sedapat - dapatnya memperoleh kesempatan yang relatif sama
dalam berpartisipasi aktif selama forum berlangsung. Keseimbangan tempat
duduk peserta dan kesetaraan gender harus benar - benar dijaga. Demikian juga
keseimbangan dalam hal waktu atau jumlah pertanyaan yang boleh diajukan
oleh peserta. Tidak kalah pentingnya, pemilihan kata dan kalimat yang digunakan
untuk berkomunikasi dalam forum ilmiah ini juga perlu dipertimbangan. Karena
kata - kata yang kasar dan tidak formal bisa jadi menyinggung perasaan
peserta forum.

Selain adil, seorang moderator juga harus menaati jadwal atau waktu
yang telah ditentukan. Pertama, moderator seyogyanya tidak terlalu banyak
mengambil waktu untuk berkomentar yang tidak fungsional. Kedua, moderator
harus mengatur waktu yang digunakan oleh semua pihak, baik penyaji maupun
peserta. Oleh sebab itu, moderator harus punya keberanian untuk menginterupsi
dengan santun pembicaraan seseorang agar tepat waktu.
Semua hal yang terungkap selama forum, baik inti uraian penyaji,
pertanyaan, maupun jawaban perlu dicatat secara rapi oleh notulis. Hasil catatan
yang telah ditata ringkas sebaiknya dicetak dan dibagikan minimal kepada
semua orang yang terlibat dalam forum tersebut. Hal ini memberi kesempatan
bagi pemilik gagasan atau konsep untuk meluruskannya jika ada hal - hal yang
kurang tepat.
Teknisi wajib memastikan bahwa peralatan teknologi yang digunakan
bekerja dengan baik. Dia harus melakukan cek terakhir sebelum forum dimulai
dan secara teratur mengontrol jalannya peralatan teknologi yang digunakan.
Apabila terjadi sesuatu pada teknologi, dia harus secara cepat bertindak
menyelamatkan jalannya kegiatan.

2.9.

Estetika Berbahasa Indonesia dalam Forum Ilmiah


Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam

membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan
turut mempengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa
romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah
keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sesuatu dalam keadaan apa adanya.
Dalam suatu forum ilmiah, kegiatan yang sangat ditonjolkan adalah
kemampuan berkomunikasi. Keberhasilan suatu forum ilmiah adalah, jika pelaku
ilmiah dapat berkomunikasi secara baik dan benar, sehingga informasi ilmiah
juga dapat tersampaikan secara optimal pula. Kemampuan berkomunikasi yang
baik bisa menjadi keindahan tersendiri dalam jalannya suatu forum ilmiah.
Berikut adalah contoh teknik komunikasi yang baik dalam kehidupan sehari-hari
:

Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-II. Diakses pada tanggal 18 November 2012.

Menggunakan kata dan kalimat yang baik menyesuaikan dengan

lingkungan.
Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara.
Menatap mata lawan bicara dengan lembut.
Memberikan ekspresi wajah yang ramah dan murah senyum.
Menggunakan gerakan tubuh / gesture yang sopan dan wajar.
Bertingkah laku yang baik dan ramah terhadap lawan bicara.
Memakai pakaian yang rapi, menutup aurat dan sesuai situasi kondisi.
Tidak mudah terpancing emosi lawan bicara.
Menerima segala perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi.
Mampu menempatkan diri dan menyesuaikan gaya komunikasi sesuai

dengan karakteristik lawan bicara.


Menggunakan volume, nada, intonasi suara serta kecepatan bicara yang

baik.
Menggunakan komunikasi non - verbal yang baik sesuai budaya yang
berlaku seperti berjabat tangan, merunduk, hormat atau semacamnya.
Dalam konteks bahasa Indonesia, contoh nilai keindahan dapat

dicontohkan dengan karya puisi. Puisi menggunakan kata - kata yang indah,
pembawaannya lembut dan berirama. Begitu halnya dalam berforum ilmiah, akan
terlihat lebih indah jika pelaku dalam forum tersebut, baik moderator, audience
maupun penyaji menyajikan karya ilmiahnya dengan komunikasi yang baik.
Diantaranya adalah, pemilihan kata - kata yang formal dan santun, penyusunan
kalimat yang baik dan teratur, juga penyajian kata - kata yang lembut namun
tetap tegas dan jelas. Penambahan senyuman dalam suatu forum ilmiah seperti
halnya suatu aksen yang dapat memperindah jalannya diskusi dalam forum
ilmiah tersebut.
2.10.

Manfaat Etika dan Estetika Berbahasa Indonesia dalam Forum

Ilmiah
Adapun manfaat yang kita dapatkan dalam beretika dan berestetika
berbahasa Indonesia dalam forum ilmiah adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Mendukung keberhasilan dari suatu forum ilmiah


Tidak menyinggung perasaan pihak lain
Mendapatkan perhatian para partisipan
Mendapatkan respon positif dari partisipan
Membuat suasana forum ilmiah menjadi lebih hidup

BAB III
PENUTUP
3.1.

Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa suatu forum ilmiah merupakan pertemuan

dilakukan oleh mahasiswa ataupun pelaku - pelaku ilmiah lainnya, yang


berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi ilmiah. Dalam forum ilmiah,
presentasi ilmiah merupakan suatu kegiatan yang pasti dilakukan. Sebab
mahasiswa merupakan intelektual yang berkewajiban menyebarkan ilmu yang
dimilikinya, kemahiran untuk melakukan presentasi ilmiah merupakan suatu
kebutuhan. Oleh karena itu, untuk penyempurnaan kegiatan di forum ilmiah,
diperlukan aturan - aturan yang harus dipenuhi. Adapun etika yang harus dijaga
oleh peserta antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, setiap peserta harus
jujur pada diri sendiri. Artinya, dia akan bertanya jika memang tidak tahu, akan
mencari klasifikasi apabila masih bingung atau belum yakin, akan mengecek
apakah pemahamannya sudah benar ataukah belum, dan sebagainya. Selain itu,
setiap peserta wajib menghargai pendapat atau gagasan orang lain dalam hal ini
mensyaratkan bahwa dia wajib menyimak apabila ada orang yang berbicara atau
bertanya. Misalnya, ketika orang lain telah mengusulkan gagasan, dia tidak akan
berbicara seolah - olah dialah pengusul pertama gagasan tersebut. Dalam suatu
forum

ilmiah,

kegiatan

yang

sangat

ditonjolkan

adalah

kemampuan

berkomunikasi.
Keberhasilan suatu forum ilmiah adalah, jika pelaku ilmiah dapat
berkomunikasi secara baik dan benar, sehingga informasi ilmiah juga dapat
tersampaikan secara optimal pula. Kemampuan berkomunikasi yang baik bisa
menjadi keindahan tersendiri dalam jalannya suatu forum ilmiah. Dalam konteks
bahasa Indonesia, contoh nilai keindahan dapat dicontohkan dengan karya puisi.
Puisi menggunakan kata - kata yang indah, pembawaannya lembut dan
berirama.

Begitu

halnya

indah jika pelaku dalam

dalam

berforum

ilmiah,

akan

forum tersebut, baik moderator,

terlihat

lebih

audience

maupun penyaji menyajikan karya ilmiahnya dengan komunikasi yang baik.

3.2.

Saran

Perlu adanya penerapan etika dan estetika dalam berbahasa


Indonesia, khususnya dalam forum ilmiah. Hal ini agar muncul respon
positif dari pelaku forum ilmiah yang dapat mendukung keberhasilan
forum ilmiah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, Ensiklopedia Bebas Wikipedia, Estetika, diakses pada tanggal 18
November 2012.
Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-I. Diakses pada
tanggal 18 November 2012
Anonymous, 2012. http://www.scribd.com/doc/53552426/BAB-II. Diakses pada
tanggal 18 November 2012
Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia
Johannesen, Richard L. 1996. Bandung: Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai