Anda di halaman 1dari 28

Tekanan International Monetary Fund Terhadap Pemerintah dan

Kepentingannya Dalam Krisis Politik Indonesia 1997-1998


Oleh Yandi Hermawandi1
This study will examine the international economic pressures in the Indonesias
political crisis in the period 1997-1998. The 1998 Political crisis contains a
demand for reforms in various sectors, including politics, in Indonesia. The
political crisis itself has resulted in the loss of the Indonesia New Order
governments legitimacy and its political power. On the other hand, the
international economic pressures are derived from the International Monetary
Fund (IMF) in the Indonesia financial crisis of 1997-1998. The fact says that
since late October 1997, the government of Indonesia had invited the IMF to
conduct Letter of Intent several times to fix the severe condition of the Rupiah.
This study will also examine the interests of the IMF putting pressure on the New
Order.
Keywords: Economic crisis, political crisis, International Monetary Fund, New
Order Government.

1. Pendahuluan
Krisis politik Indonesia 1998 yang ditandai dengan adanya tuntutan reformasi
politik dipahami sebagai akibat hilangnya atau bangkrutnya legitimasi pemerintah
Orde Baru sebagai pemegang mandat kekuasaan politik di Indonesia (Fatah,
1998:xi-xiii). Krisis politik di Indonesia diantaranya berisi tuntutan terhadap
adanya reformasi di berbagai sektor, termasuk politik, di Indonesia. Reformasi
politik adalah perubahan secara terencana terhadap struktur lembaga masyarakat
atau negara, yang diarahkan kepada distribusi kekuasaan, dengan tujuan untuk
menciptakan keterbukaan politik, memperluas partisipasi massa, terutama bagi
kelompok masyarakat tertentu (www.oocities.org).
Krisis politik bukanlah gejala sosio-politik yang datang tiba-tiba. Hal ini
merupakan akumulasi dari tuntutan perubahan politik sejak 1980-an. Hanya saja
krisis politik yang dapat memobilisasi massa sedemikian masif dan mendapatkan
perhatian yang serius dari masyarakat seperti pada 1997-1998 ini tidak pernah
1

Penulis adalah alumni Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional.

terjadi sebelumnya. Hal inilah kemudian yang menjadikan momentum perubahan


kepemimpinan politik dalam krisis politik ini menjadi sangat kuat.
Sebelum terjadinya krisis politik 1998, Indonesia di bawah pemerintah
Orde Baru mengundang International Monetary Fund (IMF) dalam penanganan
krisis keuangan mata uang rupiah yang justru menjadikan Indonesia terjerembab
pada krisis ekonomi yang semakin mendalam. Dalam kondisi ekonomi yang
sangat buruk hasil dari beberapa nasihat IMF inilah yang kemudian memunculkan
aksi-aksi keprihatinan dan gerakan reformasi politik.
Penelitian ini akan fokus menjelaskan tekanan ekonomi internasional
dalam krisis politik Indonesia 1997-1998. Tekanan ekonomi internasional yang
dimaksud adalah berasal dari peran institusi ekonomi internasional yaitu IMF
dalam penanganan krisis keuangan Indonesia 1997-1998. Hal ini dapat dilihat dari
sebuah fakta bahwa sejak akhir Oktober 1997, pemerintah Indonesia mengundang
IMF dengan melakukan beberapa kali nota kesepakatan (Letter Of Intent) untuk
memperbaiki kondisi keuangan rupiah yang sakit parah ketika itu.
Berdasarkan argumen yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini
akan mengkaji pertanyaan penelitian berikut ini. Pertama, Bagaimana tekanan
IMF sebagai kekuatan ekonomi internasional terhadap pemerintah Orde Baru
yang menciptakan krisis politik Indonesia periode Oktober 1997 hingga Mei
1998? Kedua, Apa yang melatarbelakangi IMF melakukan tekanan terhadap
pemerintah Orde Baru yang berujung pada reformasi politik 1998?
Batasan periodisasi penelitian ini dilakukan sejak diundangnya IMF dalam
penanganan krisis keuangan rupiah pada Oktober 1997 sampai dengan mundurnya
presiden Soeharto dari kursi kepresidenannya pada Mei 1998. Dengan demikian,
penelitian mengenai tekanan IMF terhadap pemerintah Orde Baru ini menjadi
semakin terfokus dalam periode yang telah dibatasi seperti yang telah disebutkan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data yang digunakan juga
bersifat kualitatif. Data kualitatif yang dikumpulkan merupakan data yang
berbentuk kata-kata dan teks tertulis (Masoed, 1994:169). Menurut Neuman,

1997:329), penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut.


Pertama, Untuk mendapatkan arti atau makna tertentu biasanya peneliti ikut
membenamkan dirinya ke dalam suatu data kualitatif. Kedua, konsep biasanya
berbentuk motif-motif dan generalisasi. Ketiga, pengukuran biasanya bersifat ad
hoc dan sangat bergantung pada latar belakang individu atau peneliti. Keempat,
data biasanya berbentuk dokumen, transkip, dan observasi. Kelima, teori biasanya
bersifat induktif. Keenam, tidak ada prosedur khusus dalam penelitian kualitatif.
Ketujuh, analisisnya bersumber pada motif-motif atau generalisasi dari fakta-fakta
atau data-data yang telah diorganisir agar dapat disajikan menjadi sebuah potret
atau gambaran yang utuh dan konsisten.
Data-data yang didapat merupakan sumber data primer dan sekunder. Data
primer didapatkan dari dokumentasi langsung IMF. Sedangkan data sekunder
berasal dari teks-teks yang telah melalui proses interpretasi atau pemaknaan dalam
konteks tertentu. Dengan demikian, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik studi kepustakaan, yang didapat dari dokumen resmi IMF,
buku, jurnal ilmiah, majalah, artikel surat kabar, dan artikel-artikel lain yang
didapat dari situs-situs internet.
Data-data yang didapat tersebut digunakan untuk memperoleh generalisasi
yang bersifat ilmiah atau memperoleh pengetahuan ilmiah yang baru, dan dapat
pula berguna sebagai pelengkap informasi yang telah dikumpulkan sendiri oleh
peneliti. Dan akhirnya data-data tersebut dapat memperkuat penemuan atau
pengetahuan yang telah ada (Nasution, 2001:145-146).
Data yang berhasil dijaring kemudian dikumpulkan dan dianalisis dengan
menggunakan metode penulisan deskriptif-analitik. Metode deskriptif analitis
adalah penggambaran sebuah peristiwa atau keadaan secara rinci yang kemudian
dikumpulkan dan digabungkan menjadi sebuah fakta-fakta secara umum atau
merupakan generalisasi yaitu pernyataan atau hubungan antara dua konsep atau
lebih.

Penelitian akan menggambarkan secara rinci tekanan IMF sebagai


kekuatan ekonomi internasional terhadap pemerintah Orde Baru dalam krisis
politik Indonesia 1997-1998. Selain itu, kepentingan IMF dalam melakukan
tekanan terhadap pemerintah Orde Baru juga akan digambarkan secara rinci.
Penggambaran tekanan IMF dan kepentingannya tersebut dikumpulkan dan
digabungkan menjadi sebuah fakta-fakta secara umum atau digeneralisasi.

2. Landasan Konseptual
A. Teori Ekonomi Politik
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan ekonomi politik yang akan
menjelaskan substansi politik dengan menggunakan metodologi ekonomi. Hal ini
berbeda dengan pendekatan politik ekonomi yang menjelaskan substansi
ekonomi dengan menggunakan metodologi politik (Deliarnov, 2006: 16).
Pendekatan ekonomi politik juga secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah
seni mengelola ekonomi sebuah negara (Staniland, 2003: 16).
B. IMF sebagai Kekuatan Ekonomi Internasional
Untuk menjelaskan tekanan ekonomi internasional yang dilakukan oleh IMF
kepada pemerintah Orde Baru dalam penanganan krisis keuangan Indonesia 19971998, penelitian ini akan menjelaskannya dengan teori ekonomi politik
neoliberalisme, teori Structural Adjustment Program (SAP), dan teori agenda
Washington Consensus.
Penelitian mengenai peran IMF di Indonesia ini akan dijelaskan dengan
teori ekonomi politik neoliberalisme. Menurut Winarno (2009: 88-91), gagasan
mengenai ekonomi politik neoliberalisme dipelopori oleh Milton Friedman.
Milton menentang kebijakan ekonomi yang berkembang sebelumnya, yaitu

keynesian. Paling tidak ada 3 hal penting yang mendasari gagasan ekonomi
neoliberalisme ini.
Pertama, mengenai intervensi pasar. Bagi kalangan neoliberalisme
intervensi negara dalam mekanisme pasar hanya dibutuhkan ketika pasar
menemui kegagalan. Kedua, Neoliberalisme menggugat program-program
kesejahteraan dan welfare state yang ditawarkan oleh Keynesianisme. Ketiga,
pengagungan terhadap pasar. Neoliberalisme percaya bahwa pasar bebas akan
menciptakan kesejahteraan dan perdamaian. Di bawah mekanisme pasar dan
dibimbing oleh apa yang disebut sebagai tanda-tanda pasar, setiap individu akan
memanfaatkan sumber dayanya secara efisien.
Di lembaga internasional seperti IMF, gagasan-gagasan neoliberalisme
dijalankan oleh para pendukungnya dengan menggunakan strategi deregulasi,
privatisasi, dan berbagai paket atau program reformasi lainnya (liberalisasi
ekonomi). Program reformasi IMF yang merupakan strategi dalam praktik
neoliberalisme ini disebut Structural Adjustment Program (SAP) (Winarno, 2009:
94-95).
Menurut Nafies (2009:51), program reformasi SAP yang dijalankan IMF
ini intinya berkisar pada pasar bebas, perdagangan bebas, dan pengurangan peran
negara di sektor ekonomi. Dengan SAP, IMF berkonsentrasi pada sektor
permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi dengan fokusnya pada pasokan
mata uang, defisit anggaran, dan nilai tukar.
Terkait dengan LoI, Harinowo (2004:94) menjelaskan bahwa pinjaman
IMF kepada sebuah negara umumnya diberikan bersamaan dengan suatu program
yang berisi kesanggupan negara penerima pinjaman untuk melakukan langkahlangkah tertentu sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan. Program ini secara
terperinci dimuat dalam sebuah dokumen yang disebut dengan Letter of Intent
(LoI). Dengan kata lain, LoI merupakan persyaratan tertentu (conditionalities)
yang harus dijalankan oleh negara penerima pinjaman dari IMF.

Dalam perjalanannya, conditionalities IMF ini kemudian berkembang


menjadi ke arah penerapan Washington Concesus, terutama dalam upaya
penanganan krisis di banyak negara. Joseph (Stiglitz, 2002: 53-54) menjelaskan
bahwa IMF memang menerapkan agenda Washington Consensus dalam
menangani negara-negara yang terkena Krisis keuangan Asia 1997, termasuk
Indonesia. Menurutnya, Washington Consensus pada dasarnya terdiri dari tiga
pilar, yaitu pengetatan fiskal, privatisasi, dan liberalisasi pasar.
C. Teori Kekuatan Modal
Sedangkan

untuk

menjelaskan

pertanyaan

penelitian

kedua,

apa

yang

melatarbelakangi IMF melakukan tekanan terhadap pemerintah Orde Baru


sehingga menciptakan krisis politik Indonesia yang berujung pada mundurnya
presiden Soeharto pada Mei 1998, akan menggunakan teori kekuatan modal yang
terdiri dari teori kepentingan pemodal internasional dan teori kepentingan pelaku
finansial global di IMF.
Teori pertama mengenai kepentingan pemodal internasional di tubuh IMF
adalah berasal dari teori yang dikembangkan oleh Robison (1986: 176-203). Teori
ini menjelaskan diskursus politik dan bisnis di Indonesia yang menjelaskan
adanya rivalitas antara kelompok pro ekonomi kapitalisme Barat (internasional)
dengan kelompok ekonomi sentralistik. Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto dinilai berada di antara kebijakan ekonomi yang liberal (pro
kapitalis internasional) dan sentralistik. Pada 1967 hingga awal 1970-an, Orde
Baru gencar melakukan kebijakan liberal dalam rangka mengundang investasi
asing untuk memperbaiki struktur ekonomi yang hancur ditinggalkan Orde Lama.
Barulah pada 1971, kebijakan sentralistik kemudian diterapkan oleh Orde Baru
seiring terjadinya bonanza minyak dunia. Kebijakan ini berlangsung hingga awal
1980-an dengan berakhirnya bonanza minyak dunia.
Robison menekankan bahwa aktor yang bersaing dalam perebutan
pengaruh kebijakan ekonomi ini berkumpul pada dua kutub. Di kutub pertama
adalah kelompok pro kapitalisme internasional (termasuk pro IMF dan Bank

Dunia) atau biasa disebut sebagai kelompok Mafia Barkeley atau kelompok
Bappenas. Sedangkan di kutub lain adalah kelompok Opsus (Operasi Khusus)
atau Center for Strategic and International Studies (CSIS) di bawah Ali Moertopo.
Kutub terakhir ini adalah mereka yang pro terhadap nasionalisme ekonomi atau
pro terhadap kebijakan ekonomi sentralistik.2
Robison juga meneliti bahwa Indonesia di bawah pemerintah Orde Baru
adalah sebuah negara komprador. Argumen ini didasarkan pada teori
ketergantungan. Masuknya kapitalisme Indonesia ke dalam sistem global berarti
subordinasi

struktur

ekonomi

Indonesia

kepada

kepentingan

pemodal

internasional dan subordinasi terhadap pemodal domestik Indonesia. Komprador


yang dimaksudkan oleh Robison adalah kelompok teknokrat yang berada di
Bappenas atau kelompok Mafia Barkeley yang berperan dalam memberikan
pengaruh terhadap kebijakan ekonomi Indonesia berpihak pada kepentingan
kapitalisme internasional.3
Teori selanjutnya berasal dari Winters (1999: 224-226) yang menyoroti
peran struktur ekonomi internasional mobile capitalist (kapitalis internasional)
termasuk IMF yang bernegosiasi dengan para pengambil kebijakan ekonomi di
Indonesia. Winters menilai bahwa struktur modal di Indonesia pada masa Orde
Baru bersifat kombinasi antara modal negara dengan non negara. Modal negara
yang berupa devisa berlimpah ruah terutama ketika masa bonanza minyak sejak
awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Setelah boom minyak berakhir pada
pertengahan 1980-an, negara kemudian membuka akses yang luas terhadap
berbagai modal di luar pendapatan negara seperti FDI, investasi portofolio,
pinjaman antar negara, dan pinjaman swasta.
Baik Robison maupun Winters hanya saja tidak membahas secara khusus
peran IMF yang langsung berinteraksi dengan pemerintah Indonesia. Analisis
yang serupa dengan Robison dan Winters dalam menjelaskan krisis keuangan
1997 dalam perspektif ekonomi politik dilakukan oleh Rosser (2002:3). Dia
2
3

Ibid., hal. 134-135


Ibid., hal. 114-115

menjelaskan bahwa kesepakatan IMF dengan pemerintah Orde Baru yang tertuang
dalam sejumlah conditionalities LoI telah menciptakan persaingan antara mobile
capitalist (kapitalis internasional) dengan para birokrat-politisi dan konglomerat
(kapitalis domestik). Dalam krisis keuangan 1997, para kapitalis internasional
memasukan sejumlah agenda ke dalam LoI untuk melakukan liberalisasi ekonomi
di Indonesia. Hal ini kemudian mendapatkan penentangan dari para kapitalis
domestik yang terutama muncul dari kalangan pebisnis kelurga dan kroni presiden
Soeharto.
Sejalan dengan Rosser, Schwarz (1994:139) mendefinisikan kapitalis kroni
(crony capitalists) atau para pebisnis kroni (crony businessmen) dengan merujuk
kepada kelompok bisnis yang memiliki kedekatan atau hubungan personal dengan
Soeharto. Mereka terdiri dari beberapa pebisnis keturunan China (terutama seperti
Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Prajogo Pangestu) dan kerabat keluarga
Soeharto.
Teori mengenai kepentingan IMF selanjutnya berasal dari Joseph (Stiglitz
2002: 207). Dalam perkembangannya, IMF tidak lagi berjalan hanya untuk
mencapai kepentingan mandat utamanya, yaitu mempertahankan stabilitas
keuangan global dan meyakinkan ketersediaan dana bagi negara-negara yang
terancam resesi atau krisis. Akan tetapi, IMF juga berjalan untuk mencapai
kepentingan pelaku finansial internasional. Dengan demikian ada perubahan
mendasar dari IMF yaitu dari melayani kepentingan ekonomi global menjadi
melayani para pelaku finansial global. Peran IMF dalam melindungi kepentingan
pelaku finansial global terutama pada penanganan berbagai krisis keuangan 1997
di Asia Timur ini dijalankan melalui menerapkan serangkaian kebijakan (bisa
berbentuk conditionalities) dari IMF agar terciptanya jaminan pembayaran Utang
Luar Negeri (ULN) negara-negara G7 dan kreditur internasional (Stiglitz, : 208).
3. Analisis Masalah
A. Tekanan IMF Terhadap Pemerintah Orde Baru 1997-1998

Tekanan IMF terhadap pemerintah Indonesia dalam penanganan krisis moneter


1997-1998 adalah sebuah upaya agar Indonesia menjalan program-program
ekonomi neoliberalisme. Program-program ekonomi neoliberalisme tersebut
tercermin dari serangkaian Letter of Intent (LoI) maupun Memorandum of
Economic and Financial Policy (MEFP) antara IMF dengan pemerintah
Indonesia. LoI yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada
1997-1998 sendiri terjadi sebanyak tiga kali, yakni LoI pertama Oktober 1997,
LoI kedua Januari 1998, dan LoI ketiga April 1998.
a. LoI Pertama Oktober 1997
Ketika terjadi fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS sejak
bulan April hingga Oktober 1997 (lihat Gambar 1), pemerintah kemudian
meminta bantuan kepada IMF dan Bank Dunia dalam rangka penyelesaian krisis
mata uang ini. Pada 8 Oktober 1997, pemerintah secara resmi meminta IMF dan
Bank Dunia untuk memberikan

pinjaman

dengan pertimbangan

dapat

mempercepat pemulihan ekonomi dengan adanya tambahan dana untuk cadangan


devisa dan modal (Mann, 1998: 66-67). Pada 31 Oktober 1997, terjadilah
kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF yang tertuang dalam LoI
pertama yang berisikan perjanjian 3 tahun dengan bantuan dana sebesar 7,3 miliar
SDR (sekitar 43 miliar dollar AS).
Gambar 1. Fluktuasi Nilai Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar AS
Periode April 1997-Desember 1998

Sumber: Bank Indonesia, www.bi.go.id


Pemerintah diwakili oleh Menkeu Marie Muhammad dan Gubernur BI
Soedrajad Djiwandono dalam penandatanganan LoI dengan IMF ini. Dalam
kesepakatan LoI pertama ini IMF memberikan persyaratan yang berupa
rekomendasi atau bantuan teknis (SAP) kepada Indonesia terutama dalam
beberapa hal penting terkait kebijakan moneter ketat, disiplin fiskal, privatisasi,
deregulasi perdagangan dan investasi, serta kebijakan restrukturisasi dan
rekapitulasi perbankan.
Secara garis besar LoI pertama ini terdiri dari tiga pilar utama yakni
kerangka kebijaksanaan makro ekonomi, restrukturisasi sektor keuangan, dan
reformasi struktural. Kerangka kebijaksanaan makro ekonomi dalam LoI tersebut
di antaranya meliputi kebijaksanaan fiskal dimana pemerintah menghemat
anggaran sekitar 1 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 1997-1998,
meningkatkan cukai tembakau dan alkohol, dan meningkatkan penerimaan pajak
pemerintah dari sektor non-migas (Jusmaliani, 2001:54). Dalam kebijaksanaan
fiskal ini pemerintah berkomitmen untuk mengurangi anggaran pengeluaran
pembangunan dan proyek-proyek infrastruktur perusahaan negara.
Sedangkan mengenai restrukturisasi sektor keuangan, pemerintah dengan
dibantu IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) merumuskannya

10

dalam empat bagian. Program restrukturisasi ini bertujuan untuk mengembalikan


kepercayaan masyarakat pada sistem keuangan Indonesia yang dilanda krisis.
Program restrukturisasi keuangan yang menyita perhatian adalah terkait
pemecahan masalah-masalah spesifik bank-bank pemerintah dan bank-bank
pembangunan daerah.
Terkait dengan upaya pemulihan kondisi nilai mata uang rupiah dan
pemecahan masalah-masalah spesifik yang dialami bank-bank tersebut, IMF
merekomendasikan dalam LoI pertama untuk melikuidasi 16 Bank. Rencana
kebijakan penutupan 16 bank ini memberikan implikasi yang sangat negatif
kepada Indonesia. Pada saat itu beredar selebaran gelap tentang bank-bank yang
akan ditutup, sehingga terjadi penarikan dana besar-besaran (rush) dari
masyarakat (Batubara, 2008:17).
Atas rekomendasi IMF, pada tanggal 1 November 1997 pemerintah
melikuidasi 16 bank berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 86/1997. Hal ini
kontan membuat kepercayaan terhadap perbankan semakin merosot. Kembali
terjadi rush secara besar-besaran. Dalam kondisi seperti itu, beredar pula rumor
tentang bank-bank yang akan dilikuidasi tahap kedua. Bank-bank akhirnya
meminta bantuan fasilitas BI sebagai the lender of the last resort. Selain itu,
kebijakan likuidasi 16 bank bermasalah ini juga telah menyebabkan capital flight
(pelarian modal) dan spekulasi valuta asing yang sangat intens. Di mana-mana
barisan antrian orang untuk mengambil uang dari bank.
Terkait dengan pelarian modal, diperkirakan sepanjang tahun 1998
eksodus modal swasta mencapai US$ 14,2 miliar. Hal itu terjadi menyusul
kerusuhan sosial dan ketidakpastian politik, serta tidak adanya jaminan berbisnis
di Indonesia, yang sekaligus mencerminkan bahwa tingkat suku bunga yang tinggi
di dalam negeri ternyata tidak mampu menahan modal tetap di dalam negeri.
Dibandingkan tahun 1996 dan hingga kuartal pertama tahun 1997, selama kuartal
keempat tahun 1997 dan kuartal pertama tahun 1998 arus modal keluar lebih besar
daripada arus modal masuk. Diperkiran defisit modal untuk kuartal IV tahun 1997

11

mencapai sekitar US$ 8 miliar, sedangkan kuartal I tahun 1998 sekitar US$ 6
miliar (Tambunan, 1998:22).
Kebijakan penutupan 16 bank yang direkomendasikan IMF ini dinilai
tanpa persiapan matang. Tidak tersedianya bank alternatif membuat krisis
bertambah parah di mata masyarakat. Dengan tidak adanya kepercayaan dari
publik, terjadi penarikan simpanan secara besar-besaran dari perbankan nasional
oleh masyarakat. Melemahnya kinerja perbankan ini semakin memperlemah nilai
rupiah. Hal ini berdampak pada naiknya tingkat inflasi dan berkurangnya daya
beli masyarakat. Sebagai akibat dari itu semua, maka krisis keuangan semakin
membesar (Hadi, 2004:45).
Pilar terakhir dari LoI pertama ini menyangkut reformasi struktural.
Reformasi struktural ini direncanakan untuk dicapai melalui perdagangan luar
negeri dan investasi, deregulasi dan privatisasi, lingkungan dan jaring pengaman
sosial (Jusmaliani, 2001:61). Tekanan IMF melalui LoI pertama yang
mendasarkan pada agenda Konsesus Washington diantaranya adalah terkait
komitmen pemerintah dengan organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal ini
terkait dengan adanya upaya penghapusan peraturan mengenai keharusan
kandungan lokal untuk kendaraan bermotor sesuai komitmen dengan WTO pada
tahun 2000 (www.imf.org).
Selain

itu,

pemerintah

juga

harus

semakin

memperluas

dan

menyederhanakan hal-hal terkait investor asing. Pemerintah diminta untuk


mempelajari sektor ritel untuk membuka kemungkinan modal asing di sektor
tersebut. Agenda lain yang tak kalah pentingnya terkait Konsensus Washington
dalam LoI pertama itu adalah mengenai privatisasi BUMN. Dalam rangka
meningkatkan persaingan domestik dengan maksud mendongkrak efisiensi, maka
pemerintah harus melakukan privatisasi BUMN.
b. LoI Kedua Januari 1997
Dalam MEFP maupun LoI Kedua Januari 1997 ini digarisbawahi bahwa
pemerintah harus lebih komitmen dengan apa yang telah disepakati dengan IMF

12

pada LoI pertama Oktober 1997. Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal dalam LoI
kedua mencakup, penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang
(pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha
pengurangan pemerintah seperti menghilangkan subsidi bahan bakar minyak
(BBM) dan listrik, membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan
peningkatan pendapatan pemerintah (Tambunan, 1998:210).
Dalam

usaha

meningkatkan

pendapatan

pemerintah,

IMF

juga

menekankan komitmen pemerintah terhadap beberapa hal, termasuk menaikan


cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas pajak,
diantaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN), dan fasilitas pajak dan
tarif bea masuk, termasuk dalam hal ini IMF juga meminta penghapusan hak
istimewa pajak untuk mobil nasional, dan meninjau kembali bantuan pemerintah
kepada

IPTN

(Industri

Pesawat

Terbang

Nusantara)

(Toha,

www.ekonomi.lipi.go.id). Selain itu pemerintah diminta mengenakan pajak


tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak objek
pajak.
Selain mengenai fiskal, LoI kedua ini juga menekankan penghapusan
beberapa hal menyangkut praktik monopoli cengkeh BPPC dan monopoli
BULOG atas bahan-bahan pokok seperti gula, jagung, kedelai, minyak goreng,
terigu, kecuali beras. Jika semua hal itu dipenuhi, IMF menjanjikan akan segera
mencairkan utang luar negerinya untuk membantu memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia.
Terkait dengan adanya tekanan dari IMF untuk melakukan penghematan
pengeluaran anggaran pemerintah, pemerintah Indonesia menangguhkan sejumlah
proyek besar terkait pembangunan 15 pembangkit listrik di Indonesia. Tekanan
terhadap penangguhan pembangunan 15 pembangkit listrik ini sesungguhnya
merupakan bentuk tekanan lanjutan dari IMF yang menganggap pemerintah
Indonesia tidak konsisten terhadap penghematan pengeluaran anggarannya dengan
dikeluarkannya izin melanjutkan proyek-proyek besar tersebut pada 1 November

13

1997 melalui Keppres No 47/1997. Dengan adanya tekanan IMF melalui LoI
Kedua pada Januari 1998, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Keppres
No 5/1998 untuk menangguhkan kembali proyek-proyek besar tersebut (Bisnis
Indonesia, 7 dan 8 Juli 2004).
Terkait dengan tekanan IMF terhadap penghapusan hak istimewa pajak
bagi mobil nasional, pemerintah Indonesia justru secara resmi memberikan
dispensasi bagi 15 ribu unit mobil Timor yang tidak laku terjual di pasaran pada
Februari 1998 (Bisnis Indonesia, 24 April 1996). Respons ini termasuk
mengejutkan, karena berarti pemerintah Indonesia tidak mengikuti tekanan IMF
terkait pendapatan pemerintah melalui reformasi sektor pajak.
Selain mengenai proyek-proyek besar dan hak istimewa pajak mobil
nasional, pemerintah Indonesia juga merespons tekanan IMF lainnya terkait
monopoli cengkeh BPPC. Pemerintah membubarkan BPPC, dan kemudian
mendirikan perusahaan koperasi baru terkait jual beli cengkeh tersebut pada
Februari 1998 (Rosser, 2002:173). Sayangnya, ternyata praktik monopoli cengkeh
ini tidak berhenti dengan adanya koperasi baru tersebut. Praktik monopoli ini
terus berlanjut hingga kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF
selanjutnya pada April 1998.
c. LoI Ketiga April 1998
Memorandum tambahan dalam LoI ketiga sekaligus juga merupakan kelanjutan,
pelengkap, dan modifikasi dari 50 butir LoI Januari 1998 yang tetap mencakup
kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter serta reformasi perbankan (sektor
keuangan) dan struktural.
Agenda Konsensus Washington masih tetap ditekankan agar pemerintah
berkomitmen melaksanakannya. Terkiat dengan privatisasi, LoI ketiga ini
menekankan kembali niat pemerintah untuk melakukan divestasi dan reformasi
perusahaan negara (BUMN). IMF terus menekankan pemerintah untuk
mengembangkan mekanisme peningkatan efisiensi BUMN serta memperkuat
keuangan publik.

14

Dalam LoI ketiga ini, pemerintah terus ditekan untuk berkomitmen


terhadap pembatasan subsidi bagi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Hal ini
sesuai dengan kebijaksanaan LoI terkait dengan program anggaran pemerintah.
Program ini tentu saja semakin memantapkan agenda Konsensus Washington di
Indonesia melalui LoI ketiga ini. Upaya pembatasan subsidi BBM dan listrik ini
terkait dengan pengetatan fiskal yang menjadi program dalam setiap penanganan
krisis ekonomi atau moneter oleh IMF di seluruh negara yang terkena krisis.
Dalam upaya menekan pemerintah untuk berkomitmen dalam pengetatan fiskal
melalui pembatasan subsidi.
Dengan adanya komitmen kepada IMF, pemerintah kemudian
mengumumkan kenaikan harga BBM pada 4 Mei 1998. Ternyata kenaikan
harga BBM ini disambut gegap gempita oleh masyarakat dengan melakukan
sejumlah demonstrasi untuk menentang kenaikan harga BBM tersebut. Aksi
unjuk rasa kemudian terus bergelora hingga bermotif SARA dan kerusuhan
anarkis di berbagai tempat. Hal inilah yang menjadi awal tuntutan masyarakat
untuk menurunkan Suharto dari kursi kepresidenannya pada Mei 1998
(Wacana, Edisi Khusus 1997-1998, www.elsppat.or.id).
Tabel 1. Matriks Tekanan IMF, Respons Pemerintah Orde Baru, dan
Dampak Langsung Tekanan IMF terhadap Penanganan Krisis Moneter
Tekanan IMF

Respons

Dampak Langsung

Pemerintah

terhadap
Penanganan Krisis

LoI

Restrukturisasi

SK. Menkeu No

Moneter
Tidak ada. Justru

Pertama

Keuangan terkait

86/1997 (likuidasi

kebijakan ini telah

masalah bank-bank

terhadap 16 bank

menimbulkan

pemerintah dan bank

bermasalah)

kepanikan pasar dan

pembangunan daerah.

capital flight,
sehingga
memperparah krisis

LoI

- Penangguhan proyek-

Keppres No 5/1998

moneter.
Tidak ada.

15

Kedua

proyek besar

tentang
penangguhan
proyek-proyek
besar pembangunan
pembangkit listrik.

- Penghapusan hak
istimewa pajak mobil

Menolak.

Tidak ada.

- Penghapusan hak

Pemerintah

Tidak ada.

monopoli BPPC

mendirikan

nasional

koperasi baru
menggantikan
BPPC pada
LoI

Pencabutan Subsidi

Februari 1998.
Pemerintah

Tidak ada. Respons

Ketiga

listrik dan BBM

menaikan harga

ini memicu chaos di

BBM pada 4 Mei

berbagai tempat di

1998.

Indonesia.

B. IMF Berkepentingan Melindungi Pemodal Internasional dan Pelaku


Finansial Global.
Tekanan IMF terkait pengetatan pengeluran pemerintah ini tentu saja sangat
merugikan bagi bisnis keluarga Soeharto yang sedang berjalan kala itu. Jika
tekanan IMF itu dipatuhi pemerintah Orde Baru, Tutut dan Titik berpotensi
kehilangan mega proyek pembangkit listrik barunya. 4 Meskipun ada tekanan dari
IMF, pemerintah nyatanya menyetujui dilanjutkannya mega proyek pembangkit
listrik yang tidak terlalu dibutuhkan masyarakat ini. Atas kejadian ini, IMF
menilai

bahwa

pemerintah

tidak

berkomitmen

terhadap

pengetatan

pengeluarannya (Newsweek, 26 Januari 1998).


Proyek pembangkit listrik ini bermula sejak diberlakukannya PP No.
10/1989 tentang izin usaha kelistrikan (IUK). Sejak itu antara tahun 1990 hingga
1997, perusahaan listrik negara (PLN) menandatangani 26 kesepakatan dengan
investor swasta untuk membangun pembangkit listrik. Hanya saja ketika
Indonesia terkena efek contagion krisis moneter di Thailand 1997, semua proyek
4

Suharto Family Values Loc.Cit.

16

tersebut ditangguhkan melalui keppres 39/1997 pada September 1997 (Bisnis


Indonesia, 7 dan 8 Juli 2004).
Berselang satu hari setelah paket IMF disepakati pada 31 Oktober 1997,
sebanyak 15 proyek pembangkit listrik diizinkan untuk dilanjutkan oleh presiden
Soeharto melalui Keppres No 47/1997 pada 1 November 1997. Meskipun tidak
jelas apakah proyek-proyek ini memang dilarang dilanjutkan oleh IMF (karena
detail kesepakatan paket IMF tidak diketahui publik), faktanya izin proyek-proyek
itu untuk dilanjutkan menjadi indikasi bahwa pemerintah Orde Baru tidak
berkomitmen dengan paket IMF yang sudah disepakati terkait pengetatan
pengeluran pemerintah. Beberapa kebijakan IMF yang ditolak untuk dilaksanakan
diantaranya adalah beberapa proyek yang dilakukan oleh Group Citra
Lamtorogung (yang dimiliki oleh Tutut), Group Nusamba (dimiliki oleh 3
yayasan yang dikontrol oleh presiden Soeharto), dan group Datam (yang dimiliki
oleh Siti Hadiati Harijadi/Titik). Meskipun akhirnya, atas tekanan IMF pemerintah
mengeluarkan Keppres No 5/1998 untuk menangguhkan kembali proyek-proyek
tersebut.
Proyek pembangkit listrik adalah salah satu contoh betapa proyek-proyek
besar seperti ini justru dikuasai oleh bisnis keluarga Soeharto beserta kroninya.
Proyek pembangkit listrik ini memang sangat menggiurkan bagi kalangan
pengusaha. Berdasarkan keppres No 37/1992, swasta diberikan keleluasaan untuk
membangun proyek kelistrikan nasional. Melalui kerjasama dengan PLN dengan
swasta melalui power purchase agreement (PPA), listrik yang dijual swasta harus
dibeli sampai 100 persen oleh PLN. meskipun harga jual swasta lebih mahal
dibandingkan harga jual PLN, perusahaan listrik negara ini tetap harus
membelinya (Tempo, 10 Maret 9 Mei 1998).
Beberapa konglomerat keluarga Soeharto ikut bergabung dalam bisnis
listrik swasta ini. Sudwikatmono, adik tiri presiden Soeharto, melalui PT
Cikarang Listrindo memperoleh hak monopoli menyuplai listrik untuk kawasan
industri Jababeka, Karawang, Jawa Barat. Bisnis ini juga diikuti oleh Lim Sioe

17

Liong melalui Grup Salim dengan membangun pembangkit listrik bertenaga


gas (PLTG) yang dipasarkan industri Bukit Indah City, Cikampek, Jawa Barat.
Pengusaha Hashim Djojohadikusumo, anak dari ekonom Prof Soemitro
Djojohadikusumo, dan anak Soeharto Bambang masing-masing menggarap
proyek Paiton I dan Paiton II. Selain itu, Bob Hasan (Grup Nusamba) bersama
anak-anak Soeharto semuanya terlibat menggarap proyek-proyek pembangkit
listrik di Indonesia.
Selain terkait pengetatan pengeluaran pemerintah, bisnis Tommy juga
berpotensi akan mengalami kebangkrutan jika paket reformasi usulan IMF
dijalankan pemerintah. Sebab, kesepakatan lain yang dibuat IMF itu juga
terkait dengan mobil nasional, Timor, yang dimiliki oleh Tommy. Tommy
dikenal masyarakat luas terutama ketika dia memenangkan tender mobil
nasional ini melalui perusahaannya PT TPN (Timor Putra Nasional) pada 1996.
Mobil ini sebenarnya secara penuh dibuat di Korea Selatan dan kemudian
diimpor ke Indonesia. Hanya saja mobil nasional yang diimpor ini dibebaskan
dari segala bentuk pajak dan bea masuk, dimana pebisnis otomotif lainnya
diharuskan membayar. Dengan adanya fasilitas kebijakan seperti itu, Tommy
meraup keuntungan besar karena menjual mobil nasional itu dengan harga
yang setengah lebih murah dari harga normal mobil-mobil yang dibuat di
Indonesia seperti Toyota, Ford, dan General Motors.
Kebijakan mobil nasional ini memang menjadi kontroversi terutama bagi
negara-negara produsen otomotif. Jepang yang melindungi produsen mobilnya
seperti Toyota pernah mempersoalkan kebijakan pemerintah terkait mobil nasional
ini secara resmi ke panel WTO (World Trade Organization). Jepang memang
ketika itu tidak membidik substansi Inpres No. 2/1996 mengenai program mobil
nasional atau pemberian proteksi tiga tahun kepada PT TPN selaku penyelenggara
tunggal program mobil nasional. Jepang mempersoalkan Keppres No 42/1996
yang melegalakn PT TPN memasukan sedan Timor dari perusahaan induknya,
KIA Motor Corp. Korea Selatan, dalam bentuk CBU (completely built up). Jepang

18

ketika itu belum bersedia menganggap Timor adalah produk Indonesia, karena
seluaruh komponennya diproduksi di Korsel (Kompas Online, 30 April 1997).
Berbeda dengan Jepang, Uni Eropa secara langsung pernah meminta
pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang kebijakan mobil nasional terutama
terkait dengan Inpres No. 2/1996. Wakil presiden UE Leon Brittan
mengemukakan kalangan industri otomotif Eropa tidak puas dengan adanya
Inpres mengenai mobil nasional tersebut. Pada Bulan April 1996, menteri
perdagangan Eropa, AS, Jepang, dan Kanada menggelar pertemuan di Kobe
Jepang untuk membahas kebijakan proteksi tersebut. Mereka mengkritik
kebijakan proteksi khusus di bidang otomotif oleh pemerintah Indonesia terkait
pembebasan bea masuk (BM) dan pajak barang mewah (PPn-BM) terhadap mobil
nasional Timor (Bisnis Indonesia, 24 April 1996).
Terkait dengan LoI pertama Oktober 1997 dan LoI kedua Januari 1998,
Dirjen Pajak secara resmi mengumumkan dispensasi bagi 15 ribu unit mobil
Timor yang tidak laku terjual di pasaran Februari 1998. Hal ini jelas kontra
dengan tekanan IMF yang menginginkan adanya penghapusan hak istimewa
pajak bagi mobil nasional ini. Dispensasi pencabutan fasilitas bebas pajak bagi
Timor memang amat sulit dipahami. Hak istimewa pajak bagi Timor memang
tidak terkait dengan kepentingan nasional, kecuali semata-mata merupakan
kebanggaan nasional (national pride) (Ismawan, 2001:112-113).
Ketika IMF mulai meragukan komitmen pemerintah Orde Baru dalam
menerapkan butir-butir yang tertuang dalam LoI pertama Oktober 1997, IMF
kemudian melanjutkannya pada LoI kedua Januari 1998. LoI ini merupakan
lanjutan dari LoI pertama dan penegasan IMF terhadap komitmen pemerintah
untuk melaksanakan semua saran-sarannya. Salah satu saran IMF yang membatasi
aktivitas bisnis keluarga Soeharto dalam LoI kedua ini adalah desakan untuk
segera menghentikan praktik monopoli cengkeh.
Dalam rangka mengikuti saran IMF, pada Februari 1998 pemerintah
melalui menteri koperasi Subiakto Cakrawerdaya akan membentuk sebuah

19

perusahaan koperasi baru yang akan didirikan untuk menggantikan monopoli jual
beli cengkeh yang selama ini dilakukan oleh Badan Penyangga Perdagangan
Cengkeh (BPPC). Dengan ini, dia mengklaim bahwa dengan adanya perusahaan
koperasi baru tersebut maka jual beli cengkeh akan terbebas dari berbagai bentuk
peraturan dan monopoli (Rosser, 2002:176). Pemerintah kemudian membubarkan
BPPC.
Kenyataannya ternyata berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh
menteri koperasi di atas. Hingga LoI ketiga antara IMF dengan pemerintah Orde
Baru pada pertengahan April 1998, monopoli cengkeh ternyata tetap terjadi
meskipun BPPC sudah dibubarkan. Para pengusaha rokok yang dulu dipaksa
untuk membeli cengkehnya ke BPPC sekarang diharuskan membeli ke PT
Kembang Cengkeh Nasional (PT KCN). PT KCN sendiri sendiri rupanya
perusahaan milik Tommy Soeharto, yang dulu merupakan pemegang saham
terbesar di BPPC (Xpos, No 17, Edisi 25 April 1 Mei 1998).
Dengan demikian bahwa praktik monopoli yang dilakukan KCN ini
berkolusi dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Caranya, setiap perusahaan
rokok yang ingin mendapatkan pita cukai, harus terbukti membeli cengkeh dari
KCN. Dengan adanya fakta seperti itu, menurut Ismawan, pemerintah hanya
melakukan demonopoli artifisal terhadap BPPC, karena ternyata tidak pernah
serius untuk menghilangkan praktik monopoli cengkeh ini.
4.2. Melindungi Kepentingan Pelaku Finansial Global dengan Menerapkan
Berbagai Kebijakan Terkait Jaminan Pembayaran ULN Negara-negara G7
dan Kreditur Asing di Indonesia
Ketika LoI kedua Januari 1998 tidak ditanggapi positif oleh pasar, rupiah terus
menurun hingga beberapa minggu. Indonesia kemudian disarankan untuk
menggunakan CBS (Currency Board System) untuk menanggulangi krisis mata
uang rupiah. Ide penggunakan CBS ini sejalan dengan Steve Hanke, guru besar
dari John Hopkins University Washington DC, yang diangkat presiden Soeharto
sebagai penasihat presiden sejak akhir Januari 1998. Hanke kala itu menyarankan

20

presiden untuk menggunakan CBS di Indonesia untuk mengatasi krisis mata uang
rupiah.
IMF benar-benar menolak rencana penerapan CBS di Indonesia ini.
Melalui juru bicaranya, Kathleen White, IMF mengatakan bahwa usulan Hanke
menimbulkan kekacauan pada upaya IMF menerapkan berbagai syarat pada
Indonesia seperti yang ditetapkan 15 Januari lalu. Menurutnya, IMF menghendaki
supaya Indonesia menerapkan sistem ekonomi pasar yang tidak lagi dikendalikan
seperti CBS yang diusulkan oleh Hanke (www.tempo.co.id). Dengan demikian
jelas bahwa upaya menolak penerapan CBS di Indonesia merupakan usaha IMF
agar agenda Washington Consesnsus berjalan di Indonesia sesuai dengan apa yang
tertuang dalam LoI maupun MEFP.
Direktur IMF, Michael Camdessus, juga mengirim surat terkait penolakan
IMF terhadap CBS ini langsung kepada presiden Soeharto pada 11 Februari 1998.
Dia memperingatkan presiden untuk tidak melanjutkan rencana penerapan CBS,
dan sebagai konsekuensinya jika Indonesia tetap menerapkannya IMF tidak dapat
melanjutkan bantuannya untuk Indonesia. Dalam rangka menekan pemerintah
untuk tidak menerapkan CBS, presiden AS Bill Clinton bahkan harus menelepon
langsung kepada Soeharto. Pada intinya Clinton menekankan kepada Soeharto
agar Indonesia bisa mentaati dan menjalani sejumlah persyaratan yang sudah
disepakati dengan IMF untuk menyelesaikan persoalan moneter yang menjerat
Indonesia.
Pada 23 Februari 1998, pemerintah melalui menteri keuangan berencana
akan menunda penerapan CBS ini. Ide penundaan penerapan CBS ini dinilai
terlalu dini karena sejatinya IMF dan negara-negara maju G7 akan mengadakan
pertemuan di London untuk membahas hal ini (www.sumitomocorp.co.jp). Hanya
saja ide penundaan CBS ini kemudian berubah pada SU MPR RI Maret 1998.
Dalam pidato pertanggungjawabannya bulan Maret 1998 di SU MPR RI,
Presiden Soeharto menyatakan bahwa rekomendasi yang diberikan oleh IMF tidak
ampuh menyelesaikan krisis moneter di Indonesia. Presiden Soeharto juga

21

menyatakan bahwa rekomendasi IMF itu akan disesuaikan dengan kondisikondisi di dalam negeri Indonesia. Soeharto menyebut rekomendasi IMF yang
akan disesuaikannya itu dengan istilah IMF Plus. Dia juga mengungkapkan
kembali rencananya menggunakan CBS dengan mematok kurs tetap di Indonesia.
Presiden juga menyatakan perlunya membentuk Dewan Nilai Tukar.
Hal ini kemudian ditanggapi langsung oleh IMF. Mantan wakil presiden
AS, Walter Mondale, tiba di Jakarta. AS mendesak pemerintah Indonesia untuk
secara serius melaksanakan program reformasi dari IMF. Karena merasa khawatir
dengan beralihnya perhatian pemerintah dari programnya kepada Dewan Nilai
Tukar (CBS), IMF mengumumkan tidak ada pembicaraan tentang program
reformasi perekonomian Indonesia sebelum bulan April 1998 dan memutuskan
untuk menunda pemberian 3 miliar dollar AS yang semula akan dicairkan pada 15
Maret 1998.
Pada 11 Maret 1998, SU MPR ini memilih Soeharto secara aklamasi
menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dan BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Pada 14 Maret 1998, presiden Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan
VII di Credential Room Istana Merdeka, dimana memasukan beberapa nama yang
dianggap kontroversial yaitu Tutut (anak sulung presiden Soeharto pertama) dan
Bob Hasan (pengusaha kroni Soeharto).
Pada 20 Maret 1998, Pemerintah melalui menteri keuangan baru Fuad
Bawazir mengumumkan akan menunda kembali penerapan CBS. Pemerintah
menilai bahwa penerapan CBS sudah tidak layak lagi di Indonesia. Dengan tidak
mengambil opsi penerapan CBS ini, pemerintah akan mempelajari alternatif lain
untuk menangani berbagai persoalan ekonomi saat itu (Rosser, 2002:181).
Penolakan IMF atas usulan penerapan CBS di Indonesia sebenarnya lebih
kepada upaya IMF melindungi negara-negara G7. G7 adalah importer dan
eksportir terbesar bagi Indonesia, sekaligus juga kreditur terbesar baik di sektor
swasta maupun pemerintah. Implementasi CBS dan kurs tetap merupakan
disinsentif bagi G7. Dengan CBS, peluang mengambil alih (take over)

22

perusahaan-perusahaan Indonesia lewat bursa saham di pasar modal menjadi lebih


kecil. Kecuali itu, keuntungan di bidang perdagangan internasional dan FDI juga
menyempit. Ini terkait dengan lonjakan daya beli dalam dollar AS - karena potensi
kurs rupiah dipatok pada titik yang overvalued yang mengalami pemangkasan
akibat implementasi CBS dan kurs tetap. Karena lonjakan daya beli yang
terkoreksi, investor asing di sektor riil harus menyediakan dollar AS lebih banyak
andaikata akan mengawali realisasi proyeknya di Indonesia (Ismawan, Op.Cit.,
100-101).
Terkait dengan penolakan IMF terhadap CBS ini didukung langsung
pemimpin negara-negara G7. Seusai sidang G7 di London, negara-negara industri
maju G7 secara resmi menolak ide penerapan CBS di Indonesia. Penolakan G7
terhadap CBS ini disampaikan langsung kepada presiden Soeharto oleh utusan
khusus PM Inggris Tony Blair, Wakil Menlu Derek fatchett, yang juga mewakili
Uni Eropa, mantan wapres AS Walter F Mondale yang dikirim presiden Bill
Clinton (Media Indonesia, 9 Maret 1998).
Selain terkait penolakan CBS di Indonesia, kepentingan IMF dalam
melindungi pelaku finansial global juga terbukti dalam LoI ketiga April 1998
ketika IMF dengan tegas meminta pemerintah Indonesia untuk membuat
peraturan mengenai kepailitan yang baru. Semua langkah itu tepat dengan asumsi
Sri Edi Swasono dan Stiglitz bahwa resep penanganan krisis moneter IMF lebih
didasarkan pada agenda kepentingan pelaku finansial global yang menginginkan
adanya jaminan dan pengamanan pembayaran ULN dan kredit asing lainnya.
Semua resep IMF itu tidak fokus dengan kaitan penanganan krisis moneter di
Indonesia ketika itu.
Berkaitan dengan peraturan kepailitan ini, menurut Hikmahanto, peraturan
ini penting karena dianggap sebagai pintu agar kreditur asing bisa keluar dari
Indonesia. Hal ini mengingat krisis tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir.
Proses memailitkan yang sangat mudah menjadi sarana untuk mengalihkan aset
debitur Indonesia kepada kreditur asing (www.seputar-indonesia.com).

23

Selanjutnya terkait dengan pengurangan subsidi yang ditekankan IMF


kepada pemerintah, hal ini jelas sangat merugikan masyarakat luas. Alasan IMF
untuk mengurangi subsidi jelas tidak ada hubungannya dengan upaya penanganan
krisis moneter. Lebih jauh dari itu, pengetatan subsidi pemerintah adalah sebuah
upaya agar neraca pembayaran pemerintah menjadi lebih baik dan itu berimplikasi
pada jaminan dan pengamanan pembayaran ULN negara-negara G7 dan kreditur
asing.
Kebijakan pemotongan subsidi ini jelas merugikan bagi pemerintah dan
negara secara luas yang sebelumnya masyarakat memang merasa nyaman dengan
pemerintah diantaranya karena adanya berbagai subsidi tersebut. Hampir di semua
negara berkembang, termasuk Indonesia, subsidi bahan kebutuhan pokok seperti
pangan dan BBM memang menjadi isu penting dan memiliki implikasi politis
yang sangat besar. Dengan adanya kebijakan pemotongan subsidi ini tampaknya
pemerintah Orde Baru benar-benar mempertaruhkan legitimasi politik yang
selama ini dimilikinya. Kebijakan pemotongan subsidi BBM, listrik dan bahan
makanan pokok pada 4 Mei 1998 justru menjadi pemicu kerusuhan sosial karena
semakin menekan masyarakat yang sedang dalam keadaan kesulitan akibat
kenaikan harga-harga bahan dasar pokok (Ramli, 2008:131).
4. Kesimpulan
Sejak adanya LoI pertama Oktober 1997 ini pemerintah Indonesia berada dalam
tekanan ekonomi internasional neoliberalisme IMF. Tekanan Neoliberalisme IMF
yang berbentuk Structural Adjustment Program (SAP) ini pada intinya berisikan
agenda Konsensus Washington yang terdiri dari tiga pilar, yakni pengetatan fiskal,
privatisasi perusahaan negara (BUMN), dan liberalisasi perekonomian. Agenda
Konsensus Washington yang didasari oleh pemikiran neoliberalisme ini pada
intinya menginginkan peran negara yang minimal dalam aktivitas ekonomi.
Dalam pemikiran neoliberalisme, peran negara dalam aktivitas ekonomi yang
digantikan oleh peran pasar bebas adalah sebuah keniscayaan. Adapun peran

24

negara akan diperlukan, jika suatu saat mekanisme pasar itu mengalami
kegagalan. Selabihnya, peran negara tidak diperlukan sama sekali.
Sejak awal keberadaannya di Indonesia, IMF dengan utang luar negerinya
tidak saja digunakan oleh AS untuk kepentingan politik hegemoninya terkait
Perang Dingin, tetapi juga digunakan para pemodal internasional untuk bisa
membuka akses penanaman modal asing di Indonesia dalam berbagai UU terkait
PMA dan liberalisasi ekonomi. Dengan demikian bisa dipahami bahwa tekanan
IMF kepada pemerintah Orde Baru melalui LoI atau MEFP merupakan
representasi kepentingan pemodal internasional.
Penelitian ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan lapangan
persaingan pengaruh antara dua kelompok yakni pemodal internasional dan
pemodal domestik. Pemodal internasional selalu menginginkan kompetisi terbuka
(liberalisasi) dalam berbagai sektor ekonomi agar bisa menanamkan investasinya
di Indonesia.
Selanjutnya berkaitan dengan perkembangannya terutama dalam berbagai
penanganan krisis ekonomi di beberapa negara, ternyata saran-saran IMF kepada
negara yang terkena krisis sarat akan kepentingan pelaku finansial global. Dalam
konteks menjaga kepentingan pemodal internasional dan pelaku finansial global
inilah, IMF menekan pemerintah-pemerintah yang terkena krisis untuk
menjalankan

sejumlah

conditionalities

yang

sesuai

dengan

Washington

Consensus, yaitu pengetatan fiskal, privatisasi, dan liberalisasi pasar melalui


structural adjustment program dalam bentuk LoI dan MEFP.
Dalam rangka melindungi kepentingan pemodal internasional dan pelaku
finansial global, IMF menekan pemerintah Orde Baru melalui LoI untuk
menerima paket reformasi ekonomi yang isinya justru dinilai telah menyebabkan
kerapuhan ekonomi dan ini berarti telah memperlemah legitimasi politik
pemerintah Orde Baru. Hilangnya klaim kekuatan ekonomi berarti memperlemah
legitimasi pemerintah Orde Baru itu sendiri.

25

Dengan demikian, dalam rangka melindungi kepentingan pemodal


internasional dan pelaku finansial global, IMF melakukan tekanan untuk
memperlemah legitimasi politik pemerintah Orde Baru. Dalam rangka melindungi
pemodal internasional di Indonesia, IMF melakukan semakin gencar liberalisasi
terhadap berbagai peraturan di Indonesia dengan cara membatasi akses bisnis
keluarga Soeharto dan kroninya. Selanjutnya dalam rangka melindungi
kepentingan pelaku finansial global, IMF menekan pemerintah Orde Baru dengan
menerapkan beberapa kebijakan yang bisa menjamin pembayaran ULN negaranegara G7 dan Kreditur Internasional di Indonesia.
Keberhasilan IMF menekan bisnis keluarga Soeharto dan kroninya serta
tekanan terhadap jaminan pemerintah Orde Baru dalam membayar ULN negaranegara G7 dan Kreditur Internasional di Indonesia merupakan refleksi
keberhasilan dalam bentuk delegitimasi politik Orde Baru. Dengan demikian,
berhasil atau tidaknya tekanan IMF terhadap pemerintah Orde Baru dapat menjadi
satu variabel penting dalam menentukan terjadinya krisis politik 1998 di
Indonesia.

Daftar Pustaka
Batubara, Marwan, dkk., Skandal BLBI: Ramai-ramai merampok Negara, Haekal
Media Center, Jakarta, 2008
Deliarnov, Ekonomi Politik, Erlangga, Jakarta, 2006
Fatah, Eep Saefulloh, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998
Hadi, Syamsul, dkk., Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit,
Jakarta, 2004
Harinowo, Cyrillus, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca Krisis,
Gramedia, Jakarta, 2004

26

Ismawan, Indra, Di Bawah Cengkraman IMF, Pondok Edukasi, Solo, 2001


Jusmaliani, Program stabilisasi IMF dan implikasinya terhadap kinerja
perekonomian Indonesia, Makalah, LIPI, 2001, diakses dari
www.elib.pdii.lipi.go.id, pada 15 Januari 2012
Mann, Richard, Plots and Schemes that Brought Down Soeharto, Gateway Books,
Singapore, 1998
Masoed, Mohtar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
LP3ES, Jakarta, 1994
Nafies, M. Danial, Indonesia Terjajah, Kuasa Neoliberalisme atas Daulat Rakyat,
Inside Press, Jakarta, 2009
Nasution, S., Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, 2001
Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches, Allyn & Bacon, USA, 1997
Ramli, Rizal, Lokomotif Perubahan: Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan
2000-2001, Cipta Persada, Jakarta, 2008
Rizky, Awalil, dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkram Indonesia,
E Publishing, Jakarta, 2008
Robison, Richard, the Rise of Capital, Allen & Unwin, Sidney, 1986
Rosser, Andrew, The Politics of Economic Liberalisation in Indonesia, Curzon
Press, UK, 2002
Schwarz, Adam, A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990s, Allen & Unwin,
Australia, 1994
Staniland, Martin, Apakah Ekonomi Politik Itu? Sebuah Studi Sosial dan
Keterbelakangan, terj., Rajawali Pers, Jakarta, 2003
Stiglitz, Joseph, Globalization and Its Discontents, Penguin Books, London, 2002
Tambunan, Tulus, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit
FE UI, Jakarta, 1998
Toha, Mahmud, Menata Masa Depan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis:
Perspektif Ekonomi Islam, diakses dari

27

http://www.ekonomi.lipi.go.id/informasi/publikasi/publikasi_detil2.asp?V
nomo=130, pada 29 Januari 2012
Winarno, Budi, Pertarungan Negara Versus Pasar, Media Pressindo,
Yogyakarta, 2009
Winters, Jeffrey, Power in Motion, Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Mobilitas
Investasi dan Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999

28

Anda mungkin juga menyukai