1. Pendahuluan
Krisis politik Indonesia 1998 yang ditandai dengan adanya tuntutan reformasi
politik dipahami sebagai akibat hilangnya atau bangkrutnya legitimasi pemerintah
Orde Baru sebagai pemegang mandat kekuasaan politik di Indonesia (Fatah,
1998:xi-xiii). Krisis politik di Indonesia diantaranya berisi tuntutan terhadap
adanya reformasi di berbagai sektor, termasuk politik, di Indonesia. Reformasi
politik adalah perubahan secara terencana terhadap struktur lembaga masyarakat
atau negara, yang diarahkan kepada distribusi kekuasaan, dengan tujuan untuk
menciptakan keterbukaan politik, memperluas partisipasi massa, terutama bagi
kelompok masyarakat tertentu (www.oocities.org).
Krisis politik bukanlah gejala sosio-politik yang datang tiba-tiba. Hal ini
merupakan akumulasi dari tuntutan perubahan politik sejak 1980-an. Hanya saja
krisis politik yang dapat memobilisasi massa sedemikian masif dan mendapatkan
perhatian yang serius dari masyarakat seperti pada 1997-1998 ini tidak pernah
1
2. Landasan Konseptual
A. Teori Ekonomi Politik
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan ekonomi politik yang akan
menjelaskan substansi politik dengan menggunakan metodologi ekonomi. Hal ini
berbeda dengan pendekatan politik ekonomi yang menjelaskan substansi
ekonomi dengan menggunakan metodologi politik (Deliarnov, 2006: 16).
Pendekatan ekonomi politik juga secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah
seni mengelola ekonomi sebuah negara (Staniland, 2003: 16).
B. IMF sebagai Kekuatan Ekonomi Internasional
Untuk menjelaskan tekanan ekonomi internasional yang dilakukan oleh IMF
kepada pemerintah Orde Baru dalam penanganan krisis keuangan Indonesia 19971998, penelitian ini akan menjelaskannya dengan teori ekonomi politik
neoliberalisme, teori Structural Adjustment Program (SAP), dan teori agenda
Washington Consensus.
Penelitian mengenai peran IMF di Indonesia ini akan dijelaskan dengan
teori ekonomi politik neoliberalisme. Menurut Winarno (2009: 88-91), gagasan
mengenai ekonomi politik neoliberalisme dipelopori oleh Milton Friedman.
Milton menentang kebijakan ekonomi yang berkembang sebelumnya, yaitu
keynesian. Paling tidak ada 3 hal penting yang mendasari gagasan ekonomi
neoliberalisme ini.
Pertama, mengenai intervensi pasar. Bagi kalangan neoliberalisme
intervensi negara dalam mekanisme pasar hanya dibutuhkan ketika pasar
menemui kegagalan. Kedua, Neoliberalisme menggugat program-program
kesejahteraan dan welfare state yang ditawarkan oleh Keynesianisme. Ketiga,
pengagungan terhadap pasar. Neoliberalisme percaya bahwa pasar bebas akan
menciptakan kesejahteraan dan perdamaian. Di bawah mekanisme pasar dan
dibimbing oleh apa yang disebut sebagai tanda-tanda pasar, setiap individu akan
memanfaatkan sumber dayanya secara efisien.
Di lembaga internasional seperti IMF, gagasan-gagasan neoliberalisme
dijalankan oleh para pendukungnya dengan menggunakan strategi deregulasi,
privatisasi, dan berbagai paket atau program reformasi lainnya (liberalisasi
ekonomi). Program reformasi IMF yang merupakan strategi dalam praktik
neoliberalisme ini disebut Structural Adjustment Program (SAP) (Winarno, 2009:
94-95).
Menurut Nafies (2009:51), program reformasi SAP yang dijalankan IMF
ini intinya berkisar pada pasar bebas, perdagangan bebas, dan pengurangan peran
negara di sektor ekonomi. Dengan SAP, IMF berkonsentrasi pada sektor
permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi dengan fokusnya pada pasokan
mata uang, defisit anggaran, dan nilai tukar.
Terkait dengan LoI, Harinowo (2004:94) menjelaskan bahwa pinjaman
IMF kepada sebuah negara umumnya diberikan bersamaan dengan suatu program
yang berisi kesanggupan negara penerima pinjaman untuk melakukan langkahlangkah tertentu sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan. Program ini secara
terperinci dimuat dalam sebuah dokumen yang disebut dengan Letter of Intent
(LoI). Dengan kata lain, LoI merupakan persyaratan tertentu (conditionalities)
yang harus dijalankan oleh negara penerima pinjaman dari IMF.
untuk
menjelaskan
pertanyaan
penelitian
kedua,
apa
yang
Dunia) atau biasa disebut sebagai kelompok Mafia Barkeley atau kelompok
Bappenas. Sedangkan di kutub lain adalah kelompok Opsus (Operasi Khusus)
atau Center for Strategic and International Studies (CSIS) di bawah Ali Moertopo.
Kutub terakhir ini adalah mereka yang pro terhadap nasionalisme ekonomi atau
pro terhadap kebijakan ekonomi sentralistik.2
Robison juga meneliti bahwa Indonesia di bawah pemerintah Orde Baru
adalah sebuah negara komprador. Argumen ini didasarkan pada teori
ketergantungan. Masuknya kapitalisme Indonesia ke dalam sistem global berarti
subordinasi
struktur
ekonomi
Indonesia
kepada
kepentingan
pemodal
menjelaskan bahwa kesepakatan IMF dengan pemerintah Orde Baru yang tertuang
dalam sejumlah conditionalities LoI telah menciptakan persaingan antara mobile
capitalist (kapitalis internasional) dengan para birokrat-politisi dan konglomerat
(kapitalis domestik). Dalam krisis keuangan 1997, para kapitalis internasional
memasukan sejumlah agenda ke dalam LoI untuk melakukan liberalisasi ekonomi
di Indonesia. Hal ini kemudian mendapatkan penentangan dari para kapitalis
domestik yang terutama muncul dari kalangan pebisnis kelurga dan kroni presiden
Soeharto.
Sejalan dengan Rosser, Schwarz (1994:139) mendefinisikan kapitalis kroni
(crony capitalists) atau para pebisnis kroni (crony businessmen) dengan merujuk
kepada kelompok bisnis yang memiliki kedekatan atau hubungan personal dengan
Soeharto. Mereka terdiri dari beberapa pebisnis keturunan China (terutama seperti
Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Prajogo Pangestu) dan kerabat keluarga
Soeharto.
Teori mengenai kepentingan IMF selanjutnya berasal dari Joseph (Stiglitz
2002: 207). Dalam perkembangannya, IMF tidak lagi berjalan hanya untuk
mencapai kepentingan mandat utamanya, yaitu mempertahankan stabilitas
keuangan global dan meyakinkan ketersediaan dana bagi negara-negara yang
terancam resesi atau krisis. Akan tetapi, IMF juga berjalan untuk mencapai
kepentingan pelaku finansial internasional. Dengan demikian ada perubahan
mendasar dari IMF yaitu dari melayani kepentingan ekonomi global menjadi
melayani para pelaku finansial global. Peran IMF dalam melindungi kepentingan
pelaku finansial global terutama pada penanganan berbagai krisis keuangan 1997
di Asia Timur ini dijalankan melalui menerapkan serangkaian kebijakan (bisa
berbentuk conditionalities) dari IMF agar terciptanya jaminan pembayaran Utang
Luar Negeri (ULN) negara-negara G7 dan kreditur internasional (Stiglitz, : 208).
3. Analisis Masalah
A. Tekanan IMF Terhadap Pemerintah Orde Baru 1997-1998
pinjaman
dengan pertimbangan
dapat
10
11
mencapai sekitar US$ 8 miliar, sedangkan kuartal I tahun 1998 sekitar US$ 6
miliar (Tambunan, 1998:22).
Kebijakan penutupan 16 bank yang direkomendasikan IMF ini dinilai
tanpa persiapan matang. Tidak tersedianya bank alternatif membuat krisis
bertambah parah di mata masyarakat. Dengan tidak adanya kepercayaan dari
publik, terjadi penarikan simpanan secara besar-besaran dari perbankan nasional
oleh masyarakat. Melemahnya kinerja perbankan ini semakin memperlemah nilai
rupiah. Hal ini berdampak pada naiknya tingkat inflasi dan berkurangnya daya
beli masyarakat. Sebagai akibat dari itu semua, maka krisis keuangan semakin
membesar (Hadi, 2004:45).
Pilar terakhir dari LoI pertama ini menyangkut reformasi struktural.
Reformasi struktural ini direncanakan untuk dicapai melalui perdagangan luar
negeri dan investasi, deregulasi dan privatisasi, lingkungan dan jaring pengaman
sosial (Jusmaliani, 2001:61). Tekanan IMF melalui LoI pertama yang
mendasarkan pada agenda Konsesus Washington diantaranya adalah terkait
komitmen pemerintah dengan organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal ini
terkait dengan adanya upaya penghapusan peraturan mengenai keharusan
kandungan lokal untuk kendaraan bermotor sesuai komitmen dengan WTO pada
tahun 2000 (www.imf.org).
Selain
itu,
pemerintah
juga
harus
semakin
memperluas
dan
12
pada LoI pertama Oktober 1997. Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal dalam LoI
kedua mencakup, penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang
(pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha
pengurangan pemerintah seperti menghilangkan subsidi bahan bakar minyak
(BBM) dan listrik, membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan
peningkatan pendapatan pemerintah (Tambunan, 1998:210).
Dalam
usaha
meningkatkan
pendapatan
pemerintah,
IMF
juga
IPTN
(Industri
Pesawat
Terbang
Nusantara)
(Toha,
13
1997 melalui Keppres No 47/1997. Dengan adanya tekanan IMF melalui LoI
Kedua pada Januari 1998, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Keppres
No 5/1998 untuk menangguhkan kembali proyek-proyek besar tersebut (Bisnis
Indonesia, 7 dan 8 Juli 2004).
Terkait dengan tekanan IMF terhadap penghapusan hak istimewa pajak
bagi mobil nasional, pemerintah Indonesia justru secara resmi memberikan
dispensasi bagi 15 ribu unit mobil Timor yang tidak laku terjual di pasaran pada
Februari 1998 (Bisnis Indonesia, 24 April 1996). Respons ini termasuk
mengejutkan, karena berarti pemerintah Indonesia tidak mengikuti tekanan IMF
terkait pendapatan pemerintah melalui reformasi sektor pajak.
Selain mengenai proyek-proyek besar dan hak istimewa pajak mobil
nasional, pemerintah Indonesia juga merespons tekanan IMF lainnya terkait
monopoli cengkeh BPPC. Pemerintah membubarkan BPPC, dan kemudian
mendirikan perusahaan koperasi baru terkait jual beli cengkeh tersebut pada
Februari 1998 (Rosser, 2002:173). Sayangnya, ternyata praktik monopoli cengkeh
ini tidak berhenti dengan adanya koperasi baru tersebut. Praktik monopoli ini
terus berlanjut hingga kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF
selanjutnya pada April 1998.
c. LoI Ketiga April 1998
Memorandum tambahan dalam LoI ketiga sekaligus juga merupakan kelanjutan,
pelengkap, dan modifikasi dari 50 butir LoI Januari 1998 yang tetap mencakup
kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter serta reformasi perbankan (sektor
keuangan) dan struktural.
Agenda Konsensus Washington masih tetap ditekankan agar pemerintah
berkomitmen melaksanakannya. Terkiat dengan privatisasi, LoI ketiga ini
menekankan kembali niat pemerintah untuk melakukan divestasi dan reformasi
perusahaan negara (BUMN). IMF terus menekankan pemerintah untuk
mengembangkan mekanisme peningkatan efisiensi BUMN serta memperkuat
keuangan publik.
14
Respons
Dampak Langsung
Pemerintah
terhadap
Penanganan Krisis
LoI
Restrukturisasi
SK. Menkeu No
Moneter
Tidak ada. Justru
Pertama
Keuangan terkait
86/1997 (likuidasi
masalah bank-bank
terhadap 16 bank
menimbulkan
bermasalah)
pembangunan daerah.
capital flight,
sehingga
memperparah krisis
LoI
- Penangguhan proyek-
Keppres No 5/1998
moneter.
Tidak ada.
15
Kedua
proyek besar
tentang
penangguhan
proyek-proyek
besar pembangunan
pembangkit listrik.
- Penghapusan hak
istimewa pajak mobil
Menolak.
Tidak ada.
- Penghapusan hak
Pemerintah
Tidak ada.
monopoli BPPC
mendirikan
nasional
koperasi baru
menggantikan
BPPC pada
LoI
Pencabutan Subsidi
Februari 1998.
Pemerintah
Ketiga
menaikan harga
berbagai tempat di
1998.
Indonesia.
bahwa
pemerintah
tidak
berkomitmen
terhadap
pengetatan
16
17
18
ketika itu belum bersedia menganggap Timor adalah produk Indonesia, karena
seluaruh komponennya diproduksi di Korsel (Kompas Online, 30 April 1997).
Berbeda dengan Jepang, Uni Eropa secara langsung pernah meminta
pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang kebijakan mobil nasional terutama
terkait dengan Inpres No. 2/1996. Wakil presiden UE Leon Brittan
mengemukakan kalangan industri otomotif Eropa tidak puas dengan adanya
Inpres mengenai mobil nasional tersebut. Pada Bulan April 1996, menteri
perdagangan Eropa, AS, Jepang, dan Kanada menggelar pertemuan di Kobe
Jepang untuk membahas kebijakan proteksi tersebut. Mereka mengkritik
kebijakan proteksi khusus di bidang otomotif oleh pemerintah Indonesia terkait
pembebasan bea masuk (BM) dan pajak barang mewah (PPn-BM) terhadap mobil
nasional Timor (Bisnis Indonesia, 24 April 1996).
Terkait dengan LoI pertama Oktober 1997 dan LoI kedua Januari 1998,
Dirjen Pajak secara resmi mengumumkan dispensasi bagi 15 ribu unit mobil
Timor yang tidak laku terjual di pasaran Februari 1998. Hal ini jelas kontra
dengan tekanan IMF yang menginginkan adanya penghapusan hak istimewa
pajak bagi mobil nasional ini. Dispensasi pencabutan fasilitas bebas pajak bagi
Timor memang amat sulit dipahami. Hak istimewa pajak bagi Timor memang
tidak terkait dengan kepentingan nasional, kecuali semata-mata merupakan
kebanggaan nasional (national pride) (Ismawan, 2001:112-113).
Ketika IMF mulai meragukan komitmen pemerintah Orde Baru dalam
menerapkan butir-butir yang tertuang dalam LoI pertama Oktober 1997, IMF
kemudian melanjutkannya pada LoI kedua Januari 1998. LoI ini merupakan
lanjutan dari LoI pertama dan penegasan IMF terhadap komitmen pemerintah
untuk melaksanakan semua saran-sarannya. Salah satu saran IMF yang membatasi
aktivitas bisnis keluarga Soeharto dalam LoI kedua ini adalah desakan untuk
segera menghentikan praktik monopoli cengkeh.
Dalam rangka mengikuti saran IMF, pada Februari 1998 pemerintah
melalui menteri koperasi Subiakto Cakrawerdaya akan membentuk sebuah
19
perusahaan koperasi baru yang akan didirikan untuk menggantikan monopoli jual
beli cengkeh yang selama ini dilakukan oleh Badan Penyangga Perdagangan
Cengkeh (BPPC). Dengan ini, dia mengklaim bahwa dengan adanya perusahaan
koperasi baru tersebut maka jual beli cengkeh akan terbebas dari berbagai bentuk
peraturan dan monopoli (Rosser, 2002:176). Pemerintah kemudian membubarkan
BPPC.
Kenyataannya ternyata berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh
menteri koperasi di atas. Hingga LoI ketiga antara IMF dengan pemerintah Orde
Baru pada pertengahan April 1998, monopoli cengkeh ternyata tetap terjadi
meskipun BPPC sudah dibubarkan. Para pengusaha rokok yang dulu dipaksa
untuk membeli cengkehnya ke BPPC sekarang diharuskan membeli ke PT
Kembang Cengkeh Nasional (PT KCN). PT KCN sendiri sendiri rupanya
perusahaan milik Tommy Soeharto, yang dulu merupakan pemegang saham
terbesar di BPPC (Xpos, No 17, Edisi 25 April 1 Mei 1998).
Dengan demikian bahwa praktik monopoli yang dilakukan KCN ini
berkolusi dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Caranya, setiap perusahaan
rokok yang ingin mendapatkan pita cukai, harus terbukti membeli cengkeh dari
KCN. Dengan adanya fakta seperti itu, menurut Ismawan, pemerintah hanya
melakukan demonopoli artifisal terhadap BPPC, karena ternyata tidak pernah
serius untuk menghilangkan praktik monopoli cengkeh ini.
4.2. Melindungi Kepentingan Pelaku Finansial Global dengan Menerapkan
Berbagai Kebijakan Terkait Jaminan Pembayaran ULN Negara-negara G7
dan Kreditur Asing di Indonesia
Ketika LoI kedua Januari 1998 tidak ditanggapi positif oleh pasar, rupiah terus
menurun hingga beberapa minggu. Indonesia kemudian disarankan untuk
menggunakan CBS (Currency Board System) untuk menanggulangi krisis mata
uang rupiah. Ide penggunakan CBS ini sejalan dengan Steve Hanke, guru besar
dari John Hopkins University Washington DC, yang diangkat presiden Soeharto
sebagai penasihat presiden sejak akhir Januari 1998. Hanke kala itu menyarankan
20
presiden untuk menggunakan CBS di Indonesia untuk mengatasi krisis mata uang
rupiah.
IMF benar-benar menolak rencana penerapan CBS di Indonesia ini.
Melalui juru bicaranya, Kathleen White, IMF mengatakan bahwa usulan Hanke
menimbulkan kekacauan pada upaya IMF menerapkan berbagai syarat pada
Indonesia seperti yang ditetapkan 15 Januari lalu. Menurutnya, IMF menghendaki
supaya Indonesia menerapkan sistem ekonomi pasar yang tidak lagi dikendalikan
seperti CBS yang diusulkan oleh Hanke (www.tempo.co.id). Dengan demikian
jelas bahwa upaya menolak penerapan CBS di Indonesia merupakan usaha IMF
agar agenda Washington Consesnsus berjalan di Indonesia sesuai dengan apa yang
tertuang dalam LoI maupun MEFP.
Direktur IMF, Michael Camdessus, juga mengirim surat terkait penolakan
IMF terhadap CBS ini langsung kepada presiden Soeharto pada 11 Februari 1998.
Dia memperingatkan presiden untuk tidak melanjutkan rencana penerapan CBS,
dan sebagai konsekuensinya jika Indonesia tetap menerapkannya IMF tidak dapat
melanjutkan bantuannya untuk Indonesia. Dalam rangka menekan pemerintah
untuk tidak menerapkan CBS, presiden AS Bill Clinton bahkan harus menelepon
langsung kepada Soeharto. Pada intinya Clinton menekankan kepada Soeharto
agar Indonesia bisa mentaati dan menjalani sejumlah persyaratan yang sudah
disepakati dengan IMF untuk menyelesaikan persoalan moneter yang menjerat
Indonesia.
Pada 23 Februari 1998, pemerintah melalui menteri keuangan berencana
akan menunda penerapan CBS ini. Ide penundaan penerapan CBS ini dinilai
terlalu dini karena sejatinya IMF dan negara-negara maju G7 akan mengadakan
pertemuan di London untuk membahas hal ini (www.sumitomocorp.co.jp). Hanya
saja ide penundaan CBS ini kemudian berubah pada SU MPR RI Maret 1998.
Dalam pidato pertanggungjawabannya bulan Maret 1998 di SU MPR RI,
Presiden Soeharto menyatakan bahwa rekomendasi yang diberikan oleh IMF tidak
ampuh menyelesaikan krisis moneter di Indonesia. Presiden Soeharto juga
21
menyatakan bahwa rekomendasi IMF itu akan disesuaikan dengan kondisikondisi di dalam negeri Indonesia. Soeharto menyebut rekomendasi IMF yang
akan disesuaikannya itu dengan istilah IMF Plus. Dia juga mengungkapkan
kembali rencananya menggunakan CBS dengan mematok kurs tetap di Indonesia.
Presiden juga menyatakan perlunya membentuk Dewan Nilai Tukar.
Hal ini kemudian ditanggapi langsung oleh IMF. Mantan wakil presiden
AS, Walter Mondale, tiba di Jakarta. AS mendesak pemerintah Indonesia untuk
secara serius melaksanakan program reformasi dari IMF. Karena merasa khawatir
dengan beralihnya perhatian pemerintah dari programnya kepada Dewan Nilai
Tukar (CBS), IMF mengumumkan tidak ada pembicaraan tentang program
reformasi perekonomian Indonesia sebelum bulan April 1998 dan memutuskan
untuk menunda pemberian 3 miliar dollar AS yang semula akan dicairkan pada 15
Maret 1998.
Pada 11 Maret 1998, SU MPR ini memilih Soeharto secara aklamasi
menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dan BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Pada 14 Maret 1998, presiden Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan
VII di Credential Room Istana Merdeka, dimana memasukan beberapa nama yang
dianggap kontroversial yaitu Tutut (anak sulung presiden Soeharto pertama) dan
Bob Hasan (pengusaha kroni Soeharto).
Pada 20 Maret 1998, Pemerintah melalui menteri keuangan baru Fuad
Bawazir mengumumkan akan menunda kembali penerapan CBS. Pemerintah
menilai bahwa penerapan CBS sudah tidak layak lagi di Indonesia. Dengan tidak
mengambil opsi penerapan CBS ini, pemerintah akan mempelajari alternatif lain
untuk menangani berbagai persoalan ekonomi saat itu (Rosser, 2002:181).
Penolakan IMF atas usulan penerapan CBS di Indonesia sebenarnya lebih
kepada upaya IMF melindungi negara-negara G7. G7 adalah importer dan
eksportir terbesar bagi Indonesia, sekaligus juga kreditur terbesar baik di sektor
swasta maupun pemerintah. Implementasi CBS dan kurs tetap merupakan
disinsentif bagi G7. Dengan CBS, peluang mengambil alih (take over)
22
23
24
negara akan diperlukan, jika suatu saat mekanisme pasar itu mengalami
kegagalan. Selabihnya, peran negara tidak diperlukan sama sekali.
Sejak awal keberadaannya di Indonesia, IMF dengan utang luar negerinya
tidak saja digunakan oleh AS untuk kepentingan politik hegemoninya terkait
Perang Dingin, tetapi juga digunakan para pemodal internasional untuk bisa
membuka akses penanaman modal asing di Indonesia dalam berbagai UU terkait
PMA dan liberalisasi ekonomi. Dengan demikian bisa dipahami bahwa tekanan
IMF kepada pemerintah Orde Baru melalui LoI atau MEFP merupakan
representasi kepentingan pemodal internasional.
Penelitian ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan lapangan
persaingan pengaruh antara dua kelompok yakni pemodal internasional dan
pemodal domestik. Pemodal internasional selalu menginginkan kompetisi terbuka
(liberalisasi) dalam berbagai sektor ekonomi agar bisa menanamkan investasinya
di Indonesia.
Selanjutnya berkaitan dengan perkembangannya terutama dalam berbagai
penanganan krisis ekonomi di beberapa negara, ternyata saran-saran IMF kepada
negara yang terkena krisis sarat akan kepentingan pelaku finansial global. Dalam
konteks menjaga kepentingan pemodal internasional dan pelaku finansial global
inilah, IMF menekan pemerintah-pemerintah yang terkena krisis untuk
menjalankan
sejumlah
conditionalities
yang
sesuai
dengan
Washington
25
Daftar Pustaka
Batubara, Marwan, dkk., Skandal BLBI: Ramai-ramai merampok Negara, Haekal
Media Center, Jakarta, 2008
Deliarnov, Ekonomi Politik, Erlangga, Jakarta, 2006
Fatah, Eep Saefulloh, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998
Hadi, Syamsul, dkk., Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit,
Jakarta, 2004
Harinowo, Cyrillus, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca Krisis,
Gramedia, Jakarta, 2004
26
27
http://www.ekonomi.lipi.go.id/informasi/publikasi/publikasi_detil2.asp?V
nomo=130, pada 29 Januari 2012
Winarno, Budi, Pertarungan Negara Versus Pasar, Media Pressindo,
Yogyakarta, 2009
Winters, Jeffrey, Power in Motion, Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Mobilitas
Investasi dan Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999
28