Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Megakolon, seperti megarektum, merupakan sebuah istilah. Megakolon merujuk pada
dilatasi kolon yang tidak disebabkan oleh obstruksi mekanis. Definisi megakolon bervariasi
dalam beberapa literatur, sebagian besar menganut bahwa diameter saekum lebih dari 12 cm
adalah megakolon. Sebagai tambahan, dikarenakan diameter kolon berbeda-beda di setiap
bagian, diameter rektosigmoid yang lebih dari 6,5 cm dan kolon asenden yang lebih dari 8 cm
dikatakan megakolon.1
Megakolon terbagi atas gangguan kongenital dan didapat. (Patologi Robbin) Penyakit
Hirschsprung merupakan megakolon kongenital. Pada tahun 1988, Hirschsprung melaporkan
dua kasus bayi meninggal dengan perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan
penuh massa feses. Ini merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab
obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini tidak terdapat pleksus mienterik sehingga
bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Setelah penemuan kelainan
histologik ini barulah muncul teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.2
Megakolon didapat dapat terjadi akibat (1) penyakit Chagas; pada penyakit tersebut
tripanosoma secara langsung menginvasi dinding usus dan merusak pleksus, (2) obstruksi
organik usus oleh neoplasma atau striktur peradangan, (3) megakolon toksik sebagai
komplikasi kolitis ulseratif atau penyakit Crohn, (4) gangguan psikosomatis fungsional.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Penyakit Hirschsprung
2.1.1 Insidensi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari 5000 sampai 8000 kelahiran
hidup; penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki dengan rasio 4:1. Penyakit
ini jauh lebih sering ditemukan pada mereka yang juga mengidap anomali
kongenital lain, seperti hidrosefalus dan divertikulum Meckel.3
2.1.2 Histologi Normal Usus
Histologi traktus digestivus terbagi atas empat lapisan, yaitu tunika mukosa,
tunika submukosa, tunika muskularis eksterna dan tunika serosa (atau
adventisia). Keempat lapisan ini sama pada seluruh bagian traktus digestivus
hanya terdapat beberapa modifikasi dan spesialisasi pada regio tertentu.4
a. Tunika Mukosa
Lumen traktus digestivus dilapisi oleh epitel, di bawahnya terdapat jaringan
ikat longgar yang disebut lamina propria. Lamina propria yang kaya akan
vaskularisasi ini berisi kelenjar dan pembuluh limfe, yang tergabung dalam
sistem mucosa-associated lymphoid tissue (MALT). Beberapa sel lamina
propria bertugas mensintesis dan mengeluarkan faktor pertumbuhan yang
mengatur siklus sel epitel. Lapisan muskularis mukosa mengelilingi
lamina propria, terdiri atas lapisan sirkular dalam dan lapisan otot polos
longitudinal luar. Epitel, lamina propria dan muskularis mukosa secara
kolektif disebut tunika mukosa.4
b. Submukosa
Tunika submukosa merupakan lapisan jaringan ikat fibroelastik ireguler dan
tebal. Tunika ini tidak mengandung kelenjar kecuali di esofagus dan
duodenum. Lapisan ini mengandung pembuluh darah dan pembuluh limfe,
juga komponen sistem saraf enterik yang disebut pleksus Meissner
submukosa. Pleksus ini yang juga mengandung badan sel saraf
parasimpatik mengontrol motilitas mukosa dan aktivitas sekresi kelenjar.4
c. Muskularis eksterna
2

Tunika muskularis eksterna terdiri atas lapisan sirkular dalam dan lapisan
otot polos longitudinal luar.4

Gambar 2.1 Histologi traktus digestivus4


Tunika submukosa dikelilingi oleh lapisan muskularis yang tebal, yaitu
tunika muskularis eksterna yang berperan dalam aktivitas peristaltik.
Peristaltik menggerakkan isi lumen di sepanjang traktus digestivus. Tunika
muskularis eksterna tersusun atas otot polos (kecuali di esofagus) dan
biasanya terdiri atas lapisan sirkular dalam dan lapisan longitudinal luar. Sel
khusus yang mirip otot polos, yaitu sel interstisial Cajal, melakukan
kontraksi ritmik, diperkirakan merupakan pacemaker kontraksi tunika
muskularis eksterna. Komponen kedua yanng tergolong sistem saraf enterik
yaitu pleksus mienterikus Auerbach, terletak di antara kedua lapisan otot
ini dan mengatur aktivitas muskularis eksterna. Pleksus Auerbach
mengandung badan sel saraf parasimpatik postganglionik.4

d. Serosa dan adventisia


Tunika muskularis eksterna ditutupi oleh lapisan jaringan ikat tipis yang
dapat oleh epitel skuamos simpleks peritoneum viseral. Jika organ/traktus
digestivus terletak intraperitoneal, maka lapisan ini disebut tunika serosa.
3

Jika organnya terletak retroperitoneal, ia melekat pada dinding yang disusun


oleh jaringan ikat ireguler yang disebut tunika adventisia.4
2.1.3 Embriologi
Secara genetis, penyakit Hirschsprung bersifat heterogen, dan diketahui
terdapat beberapa defek yang berlainan yang menimbulkan akibat yang sama.
Sekitar 50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena
merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf
mienterikus.3
Penyebab penyakit Hirschsprung sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dimengerti, walaupun pemikiran saat ini memperkirakan bahwa penyakit ini
diakibatkan adanya defek migrasi sel neural crest, yang merupakan prekursor
embrionik sel ganglion intestinal. Dalam kondisi normal, sel neural crest
bermigrasi ke intestinal dari sefalad ke kaudal. Proses ini sempurna pada usia
gestasi 12 minggu, tetapi migrasi dari kolon midtransversum ke anus
membutuhkan waktu 4 minggu. Selama periode ini, fetus sangat rawan
mengalalmi defek migrasi sel neural crest. Ini menjelaskan mengapa
aganglionosis meliputi rektum dan rektosigmoid.5 Hal ini menyebabkan
obstruksi fungsional dan peregangan progresif kolon yang terletak proksimal
dari segmen yang terkena. Pada sebagian besar kasus hanya rektum dan sigmoid
yang aganglionik, tetapi pada sekitar seperlima kasus yang terkena adalah
segmen yang lebih panjang, dan bahkan keseluruhan kolon (walaupun jarang).3
2.1.4 Klasifikasi
Pada morbus Hirschsprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi
rektum sampai sigmoid, jenis ini disebut Hirschsprung klasik. Daerah
aganglionik yang meluas lebih tinggi dari sigmoid disebut Hirschsprung
segmen panjang. Aganglionosis yang mengenai seluruh kolon disebut kolon
aganglionik total, dan bila mengenai seluruh kolon dan hampir seluruh usus
halus disebut aganglionosis universal.2
2.1.5 Manifestasi klinis
Gejala utamanya berupa gangguan defekasi, yang dapat mulai timbul 24 jam
pertama setelah lahir. Dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru
menarik perhatian orang tuanya setelah umur beberapa bulan.2
4

Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah mekonium keluar


terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau dan perut
membuncit seluruhnya. Pada pemeriksaan colok dubur, terasa ujung jari
terjepit lumen rektum yang sempit.2
Adakalanya, gejala obstipasi kronik ini diselingi oleh diare berat dengan feses
yang berbau dan berwarna khas akibat timbulnya penyulit berupa enterokolitis.
Enterokolitis antara lain disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada
daerah kolon yang iskemik akibat distensi dinding yang berlebihan. 2
Enterokolitis ditandai dengan distensi abdomen dan nyeri, dan terdapat tanda
toksisitas sistemik yaitu demam, gagal tumbuh, dan letargi. Bayi sering
dehidrasi dan mengalami leukositosis atau terdapat peningkatan neutrofil
segmen pada apusan darah tepi. Pada pemeriksaan rektal, ditemui dorongan kuat
feses cair berbau busuk, menunjukkan akumulasi feses yang tertekan pada kolon
distal yang obstruksi.5 Enterokolitis dapat muncul sebelum tindakan operasi atau
bahkan berlanjut setelah operasi definitif.2
Waktu timbulnya gejala klinis, baik yang dini waktu neonatus atau yang
lambat setelah umur beberapa bulan, tidak berhubungan dengan panjang
pendeknya segmen aganglionik.2
2.1.6 Diagnosis
Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut
membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis.2
Diagnosis definitif penyakit Hirschsprung ditegakkan dengan biopsi rektal.
Sampel tunika mukosa dan submukosa diambil pada 1 cm, 2 cm dan 3 cm dari
linea dentata. Biopsi ini bisa dilakukan di tempat tidur pasien pada periode
neonatal tanpa anastesi, karena sampel yang diambil di usus ini tidak memiliki
inervasi somatik sehingga tidak menyebabkan rasa sakit. Pada anak yang lebih
besar, prosedur ini harus dilakukan dengan sedasi intravena. Gambaran
histopatologi Hirschsprung yaitu tidak adanya sel ganglion di pleksus
mienterikus, peningkatan serabut saraf asetilkolinesterase, dan adanya berkas
saraf yang hipertrofi.5
Penting untuk melakukan barium enema pada anak dimana diagnosis
Hirschsprung diragukan. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi zona
transisi antara kolon ganglionik yang dilatasi dan segmen rektum aganglionik
5

yang konstriksi. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum melakukan irigasi rektal


sehingga perbedaan ukuran antara usus proksimal dan distal dapat diketahui.
Walaupun barium enema hanya menunjang diagnosis, pemeriksaan ini
bermanfaat mengeksklusi penyebab lain obstruksi intestinal distal, diantaranya
yaitu sindrom kolon kiri kecil (small left colon syndrome) yang terjadi pada bayi
dengan ibu diabetik, atresia kolon, sindrom sumbatan mekonium. Barium enema
pada aganglionosis kolon total memperlihatkan dengan jelas kolon yang
memendek.5

Gambar 2.2 Barium enema pada Hirschsprung memperlihatkan zona transisi di regio
rektosigmoid6

2.1.7 Diagnosis Banding


Pada neonatus, harus dipikirkan kemungkinan atresia ileum atau sumbatan
anorektum oleh mekonium yang sangat padat (meconium plug syndrome).
Penyakit ini hampir tidak pernah dijumpai di Indonesia. Sedangkan pada masa

bayi dan anak, obstipasi dapat disebabkan oleh obstipasi dietik, retardasi mental,
hipotiroid dan psikogenetik.2
2.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan penyakit Hirschsprung adalah dengan mengatasi
obstruksi, mencegah enterokolitis, membuang segmen aganglionik dan
mengembalikan kontinuitas usus.2
Untuk mengobati gejala obstruksi dan mencegah enterokolitis dapat dilakukan
bilasan kolon dengan garam faal. Cara ini efektif pada segmen aganglionik yang
pendek. Untuk segmen aganglionik yang panjang dapat dilakukan kolostomi.5
Penyakit Hirschsprung membutuhkan terapi pembedahan pada semua kasus.
Pembedahan klasik terdiri atas beberapa tahap prosedur. Ini meliputi kolostomi
pada periode bayi baru lahir, diikuti dengan operasi tarik terobos setelah anak
mencapai berat badan 10 kg. Ada 3 jenis operasi definitif yang digunakan saat
ini. Pada setiap prosedur, prinsipnya adalah mengonfirmasi lokasi zona
transisi antara segmen ganglionik dan aganglionik, reseksi segmen
aganglionik dan melakukan anastomosis segmen ganglionik ke anus atau
kubah mukosa rektal.5
Baru-baru ini telah dibuktikan bahwa prosedur tarik terobos kini dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode bayi baru lahir. Pengerjaannya
menggunakan prinsip yang sama seperti pada pengerjaan yang bertahap. Banyak
ahli bedah yang melakukan diseksi intraabdominal menggunakan laparoskop.
Teknik ini bermanfaat khususnya pada bayi baru lahir karena memberikan
visualisasi pelvis yang baik. Pada anak dengan distensi kolon yang signifikan,
penting untuk memberikan masa dekompresi menggunakan rectal tube jika
operasi tarik terobos akan segera dilakukan. Pada anak yang lebih besar dengan
abdomen yang distensi berat, hipertrofi kolon, penting untuk melakukan
kolostomi agar usus terdekompresi sebelum melakukan prosedur operasi tarik
terobos. Tidak ada batasan umur maksimal untuk melakukan operasi tarik
terobos.5
Terdapat 3 jenis operasi tarik prosedur untuk penyakit Hirschsprung, yang
pertama merupakan teknik yang orisinil yaitu prosedur Swenson. Pada operasi
ini, rektum aganglionik didiseksi di pelvis dan dipindahkan ke bawah menuju
anus. Kolon ganglionik dianastomosis ke anus dengan pembedahan perianal.5
7

Gambar 2.3 Prosedur Swenson reseksi dengan anastomosis end-to-end dengan eksterioriorisasi
ujung usus ke anus.5

Pada prosedur Duhamel, diseksi dilakukan di luar rektum terbatas pada ruang
retrorektal, kolon ganglionik dianastomosis di posterior tepat di atas anus.
Dinding anterior kolon ganglionik dan dinding posterior kolon aganglionik
dianastomosis menggunakan stapler. Walaupun kedua prosedur di atas efektif,
prosedur ini memiliki kekurangan yaitu adanya kemungkinan kerusakan saraf
parasimpatis yang berdekatan dengan rektum.5

Gambar 2.4 Prosedur Duhamel membiarkan rektum pada tempatnya dan membawa kolon
ganglionik ke ruang retrorektal.5

Prosedur Soave meminimalisasi kekurangan 2 prosedur di atas dengan diseksi


dari dalam rektum. Mukosa rektum dibuka sampai tunika muskularis, kemudian
kolon ganglionik dibawa melalui lumen ini dan dianastomosiskan ke anus.5

Gambar 2.5 Prosedur Soave dilakukan dengan diseksi endorektal dan pengangkatan mukosa dari
segmen distal aganglionik dan membawa segmen ganglionik ke anus melalui kanal
seromuskular5

Pada semua kasus, pentuk untuk menentukan level sel ganglion yang mulai
ada. Banyak ahli bedah meyakini bahwa anastomosis harus dilakukan minimal 5
cm dari titik dimana sel ganglionik mulai ada. Ini menghindari tarik terobos
pada zona transisi, yang berkaitan dengan insidensi komplikasi akibat
pengosongan segmen tarik terobos yang tidak adekuat. Hingga 1/3 pasien yang
dilakukan operasi tarik terobos pada zona transisi membutuhkan reoperasi di
kemudian hari.5
Komplikasi utama operasi ini adalah enterokolitis post operasi, konstipasi,
striktura anastomosis. Ketiga prosedur ini dapat digunakan untuk aganglionosis
kolon total, dimana ileum digunakan untuk segmen yang ditarik terobos.5
2.1.9 Prognosis
Prognosis baik jika gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pascabedah seperti
kebocoran anastomosis, atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi.2

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit megakolon kongenital. Ini merupakan
kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada
penyakit ini tidak terdapat pleksus mienterik sehingga bagian usus yang bersangkutan
tidak dapat mengembang. Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari 5000 sampai
8000 kelahiran hidup; penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki dengan rasio 4:1.
Penyebab penyakit Hirschsprung diperkirakan akibat adanya defek migrasi sel neural
crest, yang merupakan prekursor embrionik sel ganglion intestinal. Hal ini menyebabkan

10

obstruksi fungsional dan peregangan progresif kolon yang terletak proksimal dari
segmen yang terkena
Penyakit Hirschsprung terbagi atas aganglionosis segmen pendek, segmen panjang,
total dan aganglionosis universal.
Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah mekonium keluar terlambat,
yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau dan perut membuncit seluruhnya. Pada
Hirschsprung pada anak yang lebih besar dengan enterokolitis ditandai dengan distensi
abdomen dan nyeri, dan terdapat tanda toksisitas sistemik yaitu demam, gagal tumbuh,
dan letargi. Bayi sering dehidrasi dan mengalami leukositosis.
Diagnosis definitif penyakit Hirschsprung ditegakkan dengan biopsi rektal. Gambaran
histopatologi Hirschsprung yaitu tidak adanya sel ganglion di pleksus mienterikus,
peningkatan serabut saraf asetilkolinesterase, dan adanya berkas saraf yang hipertrofi.
Prinsip penanganan penyakit Hirschsprung adalah dengan mengatasi obstruksi,
mencegah enterokolitis, membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas
usus. Sedangkan terapi definitifnya adalah dengan pembedahan. Saat ini terdapat 3 jenis
prosedur operasinya yaitu prosedur Swenson, Duhamel dan Soave.
Prognosis baik jika gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pascabedah seperti
kebocoran anastomosis, atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gamarra

RM.

Acute

megacolon

Dec

2014.

Diakses

melalui

http://emedicine.medscape.com/article/180872-overview#a6 pada 3 Agustus 2015 pukul


20.00
2. Sjamsuhidajat R, Karnadiharja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah.
Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. hal. 786-8.
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins: buku ajar patologi edisi 7 volume 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hal. 632-3.
4. Gartner LP, Hiatt JL. Color textbook of histology third edition. US: Elsevier Saunders;
2007. pg. 381-2.

11

5. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. Schwartzs
principles of surgery eighth edition. US: McGraw-Hill Inc; 2005. pg. 1495-7.
6. Langer JC. Hirschsprungs disease. In: Mattei P. Fundamentals of pediatric surgery. New
York: Springer; 2011. pg. 476.

12

Anda mungkin juga menyukai