Anda di halaman 1dari 260

Vol. 5, No.

2, Desember 2013

ISSN Cetak
: 2087-9423
ISSN Electronik: 2085-6695

JURNAL
ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN TROPIS

Akreditasi LIPI
No.: 742/E/2012 Tanggal 7 Agustus 2012

Diterbitkan Oleh:
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis


Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis merupakan pengembangan dari E-Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis yang terbit semenjak Juni 2009, mulai Desember
2010 diterbitkan secara cetak dan elektronik. Jurnal ini merupakan jurnal ilmiah
dibidang ilmu dan teknologi kelautan tropis dan diterbitkan secara berkala sebanyak dua
kali dalam setahun. Jurnal ini terakreditasi secara nasional semenjak Agustus 2012
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No.:
742/2/2012 tanggal 7 Agustus 2012. Redaksi menerima paper dalam bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris yang dikirim melalui email ke alamat redaksi dan mengikuti
pedoman penulisan paper yang terdapat pada bagian belakang jurnal ini.
Diterbitkan oleh

: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Penanggung Jawab : Ketua Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Pemimpin Redaksi (Editor in Chief): Bisman Nababan, Ph.D.
Redaksi Pelaksana (Executive Editors):
Dr. Alimuddin (Aquaculture, BDP-IPB)
Dr. Ario Damar (Biological Oceanography, MSP-IPB)
Dr. Iskaq Iskandar (Physical Oceanography, UNSRI)
Dr. Muhammad Lukman (Marine Pollution and Ecotoxicology, UNHAS)
Dewan Redaksi/Mitra Bebestari (Editorial Board):
Augy Syahailatua, Ph.D. (Marine Fisheries and Marine Biology, P2O-LIPI)
Bambang Yulianto, Ph.D. (Marine Ecotoxicology, FPIK-UNDIP)
Dr. Eddy A. Subroto (Marine Geology, ITB)
Prof. Dr. Feliatra (Marine Microbiology, ITK-UNRI)
Prof. Dr. Dwi Djoko Eny Setyono (Marine Biology and Aquaculture, P2O-LIPI)
Dr. Henry Manik (Marine Acoustic & Instrumentation, ITK-IPB)
Prof. Dr. Inneke Rumengan (Marine Biotechnology, FPIK-UNSRAT)
Prof. Dr. Jamaluddin Jompa (Coral Reef and Marine Ecology, UNHAS)
Joko Santoso, Ph.D. (Aquatic Product Processing Technology, THP-IPB)
Dr. Jonson L. Gaol (Marine Remote Sensing & GIS, ITK- IPB)
Prof. Dr. Mulia Purba (Physical Oceanography, ITK-IPB)
Dr. Mutiara Putri (Physical Oceanography, ITB)
Neviaty P. Zamani, Ph.D. (Marine Biology, Coral Reef, ITK-IPB)
Rizal Idrus, Ph.D. (Marine Ecology, Coastal Zone Management, UNHAS)
Suhartati M. Natsir, Ph.D. (Marine Ecology, Marine Geology, P2O-LIPI)
Wahyu Pandoe, Ph.D. (Physical Oceanography, Modeling, BPPT)
Tri Prartono, Ph.D. (Chemical Oceanography, ITK-IPB)
Penyunting Pelaksana: Hilda Isniawati Nela Bada, Sri Ratih Deswati, Muhammad
Subhan, dan Sahat M.R. Tampubolon
Alamat Redaksi
: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK
Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
e-mail: jurnal_itkt@yahoo.com

Isi dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya

KATA PENGANTAR
Selamat datang terhadap Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Volume 5
Nomor 2 Desember 2013 yang terbit secara online dan cetak. Jurnal ini merupakan
media informasi hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan teknologi kelautan tropis
khususnya pada perairan Indonesia.
Pemimpin redaksi mengucapkan selamat kepada penulis dari 20 paper yang
diterbitkan dalam edisi ini setelah melalui seleksi dan review oleh tim reviewer (mitra
bebestari), dari sejumlah paper yang masuk.
Edisi ini dilengkapi dengan indeks yang dimuat pada halaman akhir jurnal untuk
memudahkan pembaca dalam menemukan halaman atau lokasi akan topik dan penulis
yang diinginkan. Semoga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis ini dapat
meningkatkan diseminasi dan ketersediaan informasi akan hasil-hasil penelitian di
bidang ilmu dan teknologi kelautan serta perikanan tropis.

Pemimpin Redaksi

ISSN Cetak
ISSN Elektronik

: 2087-9423
: 2085-6695

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis


Vol. 5, No. 2, Desember 2013
DAFTAR ISI
VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT
(TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA)
Syamsul Hidayat, Mulia Purba, dan Jorina Waworuntu ......................................................... 243
ARUS GEOSTROPIK PERMUKAAN MUSIMAN DI PERAIRAN ARAFURA-TIMOR
(SEASONAL SURFACE GEOSTROPHIC CURRENT IN ARAFURA-TIMOR WATERS)
Fachry Ramadyan dan Ivonne M. Radjawane ......................................................................... 261
KONDISI DAN DISTRIBUSI KARANG BATU (Scleractinia corals) DI PERAIRAN
BANGKA
(THE CONDITION AND DISTRIBUTION OF STONY CORALS (Scleractinia corals)
IN BANGKA WATER)
Rikoh Manogar Siringoringo dan Tri Aryono Hadi ................................................................ 273
CHEMICAL COMPOSITION AND ANTIOXIDANT ACTIVITY OF TROPICAL
BROWN ALGA Padina australis FROM PRAMUKA ISLAND DISTRICT OF SERIBU
ISLAND, INDONESIA
Joko Santoso, Fitriany Podungge, and Heru Sumaryanto ....................................................... 287
KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL KOSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN
CAKALANG (Katsuwonus pelamis)
(CHARACTERIZATION OF FUNCTIONAL PROPERTIES FISH PROTEIN
CONCENTRATE OF SKIPJACK ROE (Katsuwonus pelamis))
Frets Jonas Rieuwpassa, Joko Santoso, dan Wini Trilaksani .................................................. 299
KECERNAAN NUTRIEN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN LEMAK
BERBEDA PADA JUVENIL IKAN KERAPU PASIR (Epinephelus corallicola)
(NUTRIENT DIGESTIBILITY FEED WITH DIFFERENT LEVELS OF PROTEIN
AND LIPID ON CORAL ROCK GROUPER (Epinephelus corallicola) JUVENILE)
Muhammad Marzuqi dan Dewi Nasbha Anjusary .................................................................. 311
IMPLANTASI HORMON LHRH-a UNTUK MEMACU PERKEMBANGAN GONAD
IKAN KERAPU BEBEK GENERASI KE-2 (F-2)
(IMPLANTATION OF LHRH-a HORMONE TO STIMULATION OF GONAD DEVELOPMENT OF HUMPBACK GROUPER SECOND GENERATION ( F-2))
Tridjoko ................................................................................................................................... 325
PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS BENIH IKAN KERAPU MELALUI
PROGRAM HIBRIDISASI
(IMPROVEMENT OF SEED PRODUCTION AND QUALITY GROUPER BY HYBRIDIZATION PROGRAM)
Suko Ismi, Yasmina Nirmala Asih, dan Daniar Kusumawati ................................................. 333
PEWARISAN POLA WARNA IKAN KLON BIAK, Amphiprion percula
(HEREDITY OF BAND PATTERN IN CLOWN FISH, Amphiprion percula)
Sari B.M. Sembiring, K.M. Setiawati, J.H. Hutapea, dan W. Subamia .................................. 343

KARAKTERISASI EKSTRAK KASAR ENZIM POLYPHENOLOXIDASE DARI


UDANG WINDU (Penaeus monodon)
(CHARACTERIZATION OF CRUDE EXTRACT POLYPHENOLOXIDASE ENZYME
FROM BLACK TIGER SHRIMP (Penaeus monodon))
Made Suhandana, Tati Nurhayati, dan Laksmi Ambarsari ..................................................... 353
WATER MASS CHARACTERISTICS OF WEDA BAY, HALMAHERA ISLAND, NORTH
MALUKU
Abdul Basit and M.R. Putri ..................................................................................................... 365
KOMPOSISI SPESIES DAN PERUBAHAN KOMUNITAS IKAN KARANG DI
WILAYAH REHABILITASI ECOREEF PULAU MANADO TUA, TAMAN NASIONAL
BUNAKEN
(THE COMPOSITION OF SPESIES AND CHANGES IN REEF FISHES COMMUNITY AT
ECOREEF REHABILITATION SITE, MANADO TUA ISLAND, BUNAKEN NATIONAL
PARK)
Fakhrizal Setiawan, Tries B. Razak, Idris, dan Estradivari .................................................... 377
INTENSITAS CAHAYA LAMPU PIJAR TERHADAP PERKEMBANGAN
EMBRIOGENESIS DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA KERANG MUTIARA
(Pinctada maxima)
(FLUORESCENT LAMP LIGHT INTENSITY ON THE EMBRYOGENESIS DEVELOPMENT AND THE SURVIVAL OF PEARL OYSTER (Pinctada maxima) LARVAE)
Mat Sardi Hamzah ................................................................................................................... 391
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN KUE,GOLDEN
TREVALLY, Gnathannodon speciosus Forsskal DENGAN UKURAN PANJANG YANG
BERBEDA
(GROWTH AND SURVIVAL RATE OF GOLDEN TREVALLY, Gnathannodon speciosus
Forsskal WITH DIFFERENT LENGTH SIZE)
Anak Agung Alit ..................................................................................................................... 401
ZONASI DAN KEPADATAN KOMUNITAS INTERTIDAL DI DAERAH
PASANG SURUT, PESISIR BATUHIJAU, SUMBAWA
(ZONATION AND DENSITY OF INTERTIDAL COMMUNITIES AT COASTAL AREA OF
BATU HIJAU, SUMBAWA)
Fredinan Yulianda, Muhamad Salamuddin Yusuf, dan Windy Prayogo ................................ 409
PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI
SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT
(COASTLINE CHANGES AT BUNGUS BAY PADANG CITY, WEST SUMATERA
PROVINCE BASED ON SATELLITE IMAGERY ANALYSES)
Yulius dan M. Ramdhan .......................................................................................................... 417
VARIABILITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI
PERMUKAAN PERAIRAN PADA BERBAGAI MUSIM
(VARIABILITY AND SPATIAL DISTRIBUTION OF TOTAL SCATTERING COEFFICIENTS
OF SURFACE WATER IN VARIOUS SEASONS)
Murjat Hi. Untung, Bisman Nababan, dan Vincentus P. Siregar ............................................ 429
DETEKSI DAN KARAKTERISASI AKUSTIK SEDIMEN DASAR LAUT DENGAN
TEKNOLOGI SEISMIK DANGKAL DI PERAIRAN RAMBAT, BANGKA BELITUNG
(ACOUSTIC DETECTION AND CHARACTERIZATION OF MARINE SEDIMENT WITH
SHALLOW SEISMIC TECHNOLOGY IN RAMBAT WATERS, BANGKA BELITUNG)
Haqqu Ramdhani, Henry M. Manik, dan Susilohadi .............................................................. 441

PEMETAAN HABITAT DASAR DAN ESTIMASI STOK IKAN TERUMBU DENGAN


CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI
(SHALLOW WATER HABITAT MAPPING AND REEF FISH STOCK ESTIMATION
USING HIGH RESOLUTION SATELLITE DATA)
Vincentius P. Siregar, Sam Wouthuyzen, Adriani Sunuddin, Ari Anggoro, dan Ade Ayu
Mustika .................................................................................................................................... 453
PRODUKTIVITAS BIOMASA MAKROALGAE DI PERAIRAN PULAU AMBALAU,
KABUPATEN BURU SELATAN
(MACROALGAE BIOMASS PRODUCTIVITY IN AMBALAU ISLAND WATERS, SOUTH
BURU DISTRICT)
Saleh Papalia dan Hairati Arfah ............................................................................................... 465
Pedoman Penulisan Paper ....................................................................................................... 479
Indeks ...................................................................................................................................... 487
Ucapan Terima Kasih Kepada Mitra Bebestari ........................................................................ 491

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 243-259, Desember 2013

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT


TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA
Syamsul Hidayat1, Mulia Purba2*, dan Jorina Waworuntu3
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kabupaten Sumbawa Barat, Taliwang
2
Dept Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB, Bogor; *email: mpurbas@ipb.ac.id
3
Environmental Department, PT Newmont Nusa Tenggara
1

ABSTRACT
The purposes of this study were to determine the variability of temperature and its relation to
regional processes in the Senunu Bay. The result showed clear vertical stratifications i.e., mixed
layer thickness about 39-119 m with isotherm of 27C, thermocline layer thickness about 83204 m with isotherm of 1426C, and the deeper layer from the thermocline lower limit to the
sea bottom with isotherm <13C. Temperature and the thickness of each layers varied with
season in which during the Northwest Monsoon the temperature was warmer and the mixed
layer was thicker than those during Southeast Monsoon. During Southeast Monsoon, the
thermocline layer rose about 24 m. The 2001, 2006, and 2009 (weak La Nina years), the
Indonesia Throughflow (ITF) carried warmer water, deepening thermocline depth and reducing
upwelling strength. In 2003 and 2008 thickening of mixed layer occurred in transition season
was believed associated with the arrival of Kelvin Wave from the west. In 2002 and 2004
(weak El Nino period,) ITF carries colder water shallowing thermocline depth and enhancing
upwelling strength. In 2007 was believed to be related with positive IODM where the sea
surface temperature were decreasing due to intensification of southeast wind which induced
strong upwelling. The temperature spectral density of mixed layer and thermocline was
influenced by annual, semi-annual, intra-annual and inter-annual period fluctuations. The
cross-correlation between wind and temperature showed significant value in the annual period.
Keywords: temperature, thermocline, variability, ENSO, IODM.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabilitas suhu dan kaitannya dengan proses-proses
lokal dan regional. Hasil penelitian menunjukkan stratififikasi vertikal yang jelas yaitu lapisan
tercampur dengan ketebalan 39-119 m dan isoterm di atas 27C, lapisan termoklin dengan
ketebalan 83-204 m dan isoterm 14-26C, dan lapisan dalam dari batas bawah termoklin sampai
dasar perairan dengan isoterm kurang dari 13C. Suhu dan ketebalan setiap lapisan bervariasi
berdasarkan musim dimana pada Musim Barat suhu lebih hangat dan lapisan tercampur lebih
tebal dibandingkan Musim Timur. Pada Musim Timur lapisan termoklin terangkat sekitar 24 m.
Pada tahun 2001, 2006, dan 2009 (periode La Nina lemah) suhu dilapisan permukaan lebih
hangat, lapisan termoklin lebih tebal dan intensitas upwelling melemahdiduga disebabkan oleh
Arlindo membawa massa air hangat yang menyebabkan lapisan termoklin bertambah dalam dan
intensitas upwelling melemah. Pada tahun 2003 dan 2008 penebalan lapisan tercampur terjadi
pada Musim Peralihan I dan diduga berkaitan dengan tibanya Gelombang Kelvin. Pada tahun
2002 dan 2004 (periode El Nino lemah) menyebabkan suhu lapisan permukaan lebih dingin,
lapisan termoklin lebih dangkal dan intensitas upwelling menguat. Tahun 2007 diduga
berkaitan dengan IODM positif dimana SPL menurun akibat terjadinya intensifikasi angin yang
lebih kuat di atas perairan Samudera Hindia tropis bagian timur dan selatan Jawa Sumbawa
yang mengakibatkan upwelling yang kuat di wilayah ini. Spektrum densitas suhu pada lapisan
tercampur dan termoklin dipengaruhi fluktuasi tahunan, setengah tahunan, intra-tahunan dan
antar-tahunan. Korelasi silang angin dan suhu menunjukkan korelasi erat pada periode tahunan.
Kata kunci: suhu, termoklin, variabilitas, ENSO, IODM

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

243

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

I. PENDAHULUAN
Sirkulasi dan karakter massa air di
perairan selatan Sumbawa yang terletak di
timur laut S. India dipengaruhi oleh
fenomena loka dan non-lokal. Sistem
angin muson yang berubah arah sesuai
musim merupakan fenomena lokal yang
mengakibatkan variabilitas musiman dan
tahunan (Wyrtki, 1961; Fieux et al., 1993;
Clark et al., 1999). Fenomena non-lokal
yang berinteraksi dengan sistem angin
selain mempengaruhi variabilitas semi
tahuan
dan
tahunan
juga
akan
menimbulkan varibilitas antar tahunan.
Berbagai peran dari fenomena ini akan
terekam terutama dalam variabiliats suhu
baik secara spasial dan temporal serta
variabilitas lapisan permukaan tercampur
dan termoklin.
Pada saat bertiup Angin Muson
Tenggara (Juni September) di wilayah
ini poros Arus Katuliswa Selatan (AKS)
bergeser ke dekat panta Jawa Sumbawa
dan proses upwelling dapat terjadi
sehingga lapiasan permukaan tercampur
lebih tipis dan suhunya menurun serta
termokiln terangkat (Wyrtki, 1962; Purba,
2007). Pada musim ini intensias Arus
Lintas Indonesia (ARLINDO) yang masuk
dari sisi timur menaik. Variabilitas
ARLINDO dipengaruhi oleh fenomena El
Nino dan La Nina. Selama El Nino (La
Nina) Arlindo membawa massa air yang
lebih
dingin
(hangat)
sehingga
menyebabkan pendangkalan (pendalaman)
lapisan termoklin dan menguatkan
(mengurangi) intensitas upwelling di
sepanjang pantai barat Sumatera hingga
selatan Jawa Hautala et al., 1996; Ffield et
al., 2000; Gordon et al., 2003; Susanto et
al., 2005; McClean et al., 2005). Menurut
Susanto et al. (2001), pada saat periode El
Nino, wilayah upwelling di sepanjang
pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa
meluas hingga mendekati ekuator dan
berlangsung lebih lama hingga November

244

dari biasanya hanya sampai bulan


Oktober.
Pada saat Angin Musson Barat
Daya bertiup (Desember - Pebruari), poros
AKS bergesar ke selatan dan Arus Pantai
Jawa
(APJ)
mengalir
ke
timur
(Soeriatmadja, 1957; Wyrtki, 1962). APJ
membawa massa air yang lebih hangat
dan lapisan permukaan tercampur menjadi
lebi tebal (Sprintall et al., 2000). Pada
musim perlalihan (Mei dan Oktober),
Gelombang Kelvin dapat memasuki
wilayah ini dari sisi barat. Sprintall et al.
(2000) menunjukkan bahwa anomali suhu
yang lebih hangat pada bulan musim
peralihan I (April/Mei) di pantai selatan
Jawa
berkaitan
dengan
tibanya
Gelombang
Kelvin.
Kondisi
ini
menyebabkan
penebalan
lapisan
tercampur dan termoklin semakin tertekan
ke bawah. Fenomena Indian Ocean Dipole
Mode (IODM) yang terjadi di S. India
tropis mempengaruhi variabilitas karakter
massa air di wilayah in. Saat terjadi
IODM positif yang berkaitan dengan
pendinginan suhu permukaan laut dan
pendangkalan lapisan termoklin serta
menguatnya intensitas upwelling di bagian
timur Samudera Hindia dimana pengaruh
fenomena ini dapat juga mencapai selatan
Jawa Sumbawa (Saji et al., 1999; Saji
and Yamagata, 2003).
Penelitian sebaran menegak suhu
perairan secara temporal penting untuk
mengetahui stratifikasi vertikal massa air.
Fluktuasi ketebalan lapisan permukaan
tercampur dan naik turunnya lapisan
termoklin memberi sinyal tentang
terjadinya proses upwelling ataupun
downwelling serta tibanya massa air
tertentu di lokasi studi. Analisis spektrum
akan memberikan informasi tentang
variabilitas yang terjadi dan fenomena
yang diperkirakan penyebab variabilitas.
Informasi karakter massa air dan
dinamikanya sangat penting mengerti
proses fisik, kimia dan biologi daerah
studi. Adanya proses upwelling dapat

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

memberi
indikasi
meningkatnya
kesuburan perairan sehingga dapat
digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya hayatinya. Variabilitas ketebalan
lapisan permukaan tercampur dan
kenaikan suhu laut dapat digunakan untuk
mempelajari tren pemenasan global dan
kaitannya dengan pengelolaan sumber.
Tujuan penelitian ini adalah
menentukan menelaah variabilitas sebaran
vertikal suhu air laut secara temporal
dengan analisis spektrum dan kaitannya
terhadap
proses regional di perairan
Senunu.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perairan
barat daya Sumbawa yang merupakan
bagian dari perairan timur laut Samudera
Hindia. Lokasi penelitian berada pada
posisi koordinat stasiun 116.8091 BT dan
9.0723 LS (Gambar 1).

2.2. Data Angin


Data angin yang digunakan
merupakan angin harian hasil analisis
ulang yang diperoleh dari situs
http://www.ifremer.fr/cersat/en/data/down
load/gridded/mwfqscat.htm
periode
Januari 2000 - November 2009 dengan
resolusi spasial 0.5 x 0.5 atau sekitar 50
km x 50 km. Data tersebut kemudian
dijadikan rata-rata bulanan. Data yang
digunakan adalah data kecepatan angin
yang terdiri atas komponen zonal (timurbarat) dan komponen meridional (utaraselatan).
Data angin hasil reanalisis yang
berformat NetCDF diekstraksi dengan
bantuan perangkat lunak Ocean Data
View 4 sehingga dihasilkan data dalam
format dokumen (.txt) yang bisa diolah di
perangkat lunak Microsoft Excel 2007.
Selanjutnya setiap data dibuatkan sebaran
temporalnya menggunakan perangkat
lunak Ocean Data View 4.

Gambar 1. Lokasi penelitian

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

245

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

2.3. Data Suhu


Data suhu dari Januari 2000November 2009 diperoleh dari hasil
pengukuran rutin bulanan yang dilakukan
oleh PT Newmont Nusa Tenggara. Data
suhu ini diasumsikan sebagai data bulanan
karena rentang dan kekerapan pengukuran
suhu selama 21-35 hari lebih dari 50%
dari total seluruh pengukuran. Pengukuran
suhu dilakukan rata-rata satu kali dalam
satu bulan selama periode tersebut. Jangka
waktu tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa pada rentang periode tersebut
diharapkan dapat ditentukan variabilitas
suhu dengan periode fluktuasi yang bersifat antar-tahunan. Selain itu, dipertimbangkan juga ketersediaan data dimana
pada jangka waktu tersebut data hasil
pengukuran suhu tersedia hampir setiap
bulan.
Data suhu diambil secara vertikal
sehingga diperoleh data yang mewakili
kondisi seluruh lapisan kedalaman
perairan. Suhu diukur menggunakan alat
Conductivity Temperature Depth (CTD)
sehingga diperoleh data profil menegak.
Pada penelitian ini juga ditentukan
anomali suhu. Anomali suhu merupakan
nilai perbedaan antara suhu pada satu
bulan tertentu dibandingkan dengan nilai
suhu rata-rata bulan tersebut selama 10
tahun.
Data suhu selama satu tahun
dibagi berdasarkan pembagian musim
menurut Wyrtki (1961), yaitu suhu bulan
Desember-Februari mewakili kondisi
Musim Barat, suhu bulan Maret-Mei
mewakili Musim Peralihan I, suhu bulan
Juni-Agustus mewakili Musim Timur dan
suhu
bulan
September-November
mewakili Musim Peralihan II.
2.4. Sebaran Menegak dan Temporal
Suhu
Analisis data dilakukan dengan
membuat sebaran menegak suhu,sebaran
temporal suhu, anomali suhu bulanan,dan
kaitan variasi temporal suhu dengan

246

angin, Southern Oscillation Index (SOI)


dan Dipole Mode Index (DMI).
Metode yang digunakan untuk
penentuan batassetiap kedalaman lapisan
mengacu pada standar yang ditetapkan
oleh Ross (1970), yaitu kedalaman lapisan
tercampur ditentukan pada nilai perubahan
suhu terhadap kedalaman (dT/dZ) yang
lebih kecil dari 0.1C, kedalaman
termoklin adalah kedalaman dimana
gradien suhu terhadap kedalaman (dT/dZ)
lebih besar dan sama dengan 0.1C.
2.5. Spektrum Densitas Energi
Spektrum
densitas
energi
digunakan untuk mengetahui periode
fluktuasi
dan
nilai
densitas
energiparameterangin dan suhu pada
beberapa kedalaman lapisan tercampur
dan termoklin. Data deret waktu suhu dan
angin terlebih dahulu diubah dari domain
waktu menjadi domain frekuensi. Dalam
analisis FFT, komponen Fourier (
)
dari deret waktu
yang dicatat pada
selang waktu h (1 bulan) diberikan oleh
(Bendat dan Piersol, 1971):
...........(1)
dimana
= fungsi FFT pada frekuensi
ke k(fk); N= jumlah pengamatan; t = 0, 1,
2,...,N-1; h = 0, 1, 2,...,N-1; i =
(bilangan
imajiner).
Nilai
fungsi
spektrumnya (Sx) diperoleh dengan
rumus:
.................................. (2)
2.6. Korelasi Silang
Korelasi silang antara parameter
angin zonal dan angin meridional dengan
suhu digunakan untuk menentukan
kospektrum densitas energi, koherensi
kuadrat dan perbedaan fase diantara kedua
parameter. Angin dianggap sebagai
variabel X, sedangkan suhu dianggap
sebagai variabel Y.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

Korelasi silang dapat diperoleh


dengan terlebih dahulu menghitung
kospektrum densitas energi
dari
dua pasang data deret waktu
dan
yang dicatat setiap selang waktu h:
............... (3)
dimana =k/Nh, k=0,1,...,N-1;
=complex conjugate dari
;
=komponen fourier dari xt;
=komponen fourier dari yt. Koherensi
kuadrat (
) ditentukan dengan
rumus:
......................... (4)
dimana
= densitas energi spektrum
X(fk);
=densitas energi spektrum
Y(fk). Beda fase dapat dihitung dengan
rumus:
...................... (5)
dimana
;

= bagian imajiner dari


= bagian nyata dari

Kospektrum densitas energi menggambarkan besarnya energi pada periode


fluktuasi kedua parameter bersamaan.
Hubungan yang erat antara fluktuasi
kedua parameter tersebut digambarkan
oleh nilai koherensi yang tinggi begitu
juga sebaliknya. Beda fase menunjukkan
perbedaan waktu respon antara kedua
periode fluktuasi. Level signifikan
densitas energi seluruh parameter yang
dianggap signifikan pada level 95%
ditandai dengan garis putus-putus warna
hijau pada grafik spektrum densitas
energi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Sebaran Menegak dan Temporal
Suhu
Kisaran suhu dan ketebalan setiap
lapisan perairan Senunu tahun 2000-2009
disajikan pada Tabel 1dan Tabel 2. Secara
umum, lapisan tercampur diwakili oleh
isoterm 27C dan 28C. Lapisan
termoklin digambarkan oleh kontur
isoterm yang lebih rapat satu sama lain
dibatasi isoterm 26C di bagian atas dan
14C di bagian bawah. Lapisan dalam
diwakili oleh isoterm yang berada di
bawah batas bawah lapisan termoklin
yaitu isoterm kurang dari 13C. Profil
suhu menegak pada setiap musim
disajikan pada Gambar 2.
Suhu dan ketebalan lapisan
tercampur bervariasi berdasarkan musim.
Pada Musim Barat suhu berkisar 25.728.8C dan ketebalan lapisan berkisar 68119 m rata-rata 83 m. Pada Musim Timur
suhu 24.4-26.1C dan ketebalan lapisan
berkisar 53-63 m rata-rata 57 m. Lebih
tingginya suhu dan lebih tebalnya lapisan
tercampur pada Musim barat dibanding
Musim Timur diperkirakan pada Musim
Barat tibanya APJ ke lokasi studi dan
pada Musim Timur adanya pengaruh
upwelling Pada Musim Peralihan I suhu
26.2-28.2C dan ketebalan lapisan
berkisar 45-66 m rata-rata 53.5 m
(cenderung mengikuti Musim Barat). Pada
Musim Peralihan II suhu 24.5-27.0C dan
ketebalan lapisan berkisar 39-66 m ratarata 55 m (cenderung mengikuti Musim
Timur). Kecenderungan profil musim
peralihan mengikuti musim sebelumnya
diduga berkaitan dengan perlunya waktu
untuk menyesuaikan dinamika gerak
musim berikutnya.
Suhu dan ketebalan lapisan
termoklin juga bervariasi berdasarkan
musim. Pada Musim Barat suhu berkisar
13.3-25.6C dan ketebalan lapisan
berkisar 119-204 m rata-rata 148 m. Pada
Musim Timur suhu berkisar 14.5-24.3C

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

247

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

dan ketebalan lapisan berkisar 83-198 m


rata-rata 124 m. Hal ini diperkirakan pada
Musim Timur akibatnya terjadinya
upwelling mengakibatkan lapisan termoklin terangkat dan cenderung lebih dingin.
Pada musim barat tibanya APJ
menyebabkan termoklin tertekan dan
suhunya cenderung lebih tinggi karena
APJ membawa air hangat. Pada Musim
Peralihan I suhu berkisar 13.8-26.1C dan
ketebalan lapisan berkisar 91-177 m ratarata 137 m. Pada Musim Peralihan II suhu
berkisar 14.2-24.4C dan ketebalan
lapisan berkisar 96-160 m rata-rata 127 m.
Kondisi musim peralihan cenderung sama
dengan musim timur. Hal ini diperkirakan
karena ada kenderungan Angin Tenggara
di lokasi bertiup lebih awal dan berakhir
lebih lama (Wyrtki, 1961).
Lapisan dalam pada Musim Barat
dimulai pada kedalaman yang lebih dalam
dibandingkan Musim Timur. Hal ini
berarti lapisan dalam ikut tertekan ke
bawah saat terjadi penebalan lapisan
tercampur di Musim Barat dan ikut
terangkat naik saat terjadi penaikan massa

air di Musim Timur. Lapisan dalam relatif


stabil dan homogen karena gradien suhu
terhadap kedalaman pada lapisan ini kecil.
Perubahan ketebalan lapisan dalam
dipengaruhi oleh dinamika lapisan
termoklin dan lapisan tercampur.
Suhu yang lebih hangat dan
menebalnya lapisan tercampur sehingga
termoklin tertekan ke bawah pada Musim
Barat diperkirakan disebabkan di perairan
selatan Jawa hingga Timor mengalir Arus
Pantai Jawa (APJ) yang membawa massa
air hangat dan berada di lapisan atas
(Wyrtki, 1962; Fieux et al., 1993). APJ
mengalami intensifikasi ke arah timur
karena didorong oleh Angin Muson Barat
Laut pada Musim Barat. Sedangkan suhu
yang lebih dingin dan menipis lapisan
tercampur serta terangkatnya termoklin
disebabkan pada Musim Timur di selatan
Jawa-Sumbawa terjadi kekosongan massa
air lapisan atas akibat diseret Angin
Muson Tenggara yang kuat meninggalkan
pantai. Untuk mengisi kekosongan
tersebut massa air lapisan di bawahnya
naik ke atas. Massa air yang bergerak naik

Tabel 1. Kisaran suhu dan ketebalan lapisan tercampur, termoklin, dan dalam di
perairan Senunu tahun 2000-2009 pada Musim Barat dan Musim Peralihan I.
Lapisan
tercampur (surface mixed
layer)
termoklin
dalam (deep mixed layer)

Musim barat
Suhu (C) Tebal (m)

Musim peralihan I
Suhu (C) Tebal (m)

25.7-28.8

0-83

26.2-28.2

0-54

13.3-25.6
<13.3

84-232

13.8-26.1
<13.8

55-192

Tabel 2. Kisaran suhu dan ketebalan lapisan tercampur, termoklin dan dalam di
perairan Senunu tahun 2000-2009 pada Musim Timur dan Musim
Peralihan II
Lapisan
tercampur (surface mixed
layer)
termoklin
dalam (deep mixed layer)

248

Musim timur
Suhu (C) Tebal (m)

Musim peralihan II
Suhu (C) Tebal (m)

24.4-26.1

0-57

24.5-27.0

0-55

14.5-24.3
<14.5

58-182

14.2-24.4
<14.2

56-183

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

suhu (0C)

suhu (0C)
8

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

12

14

16

20

22

24

26

28

30

100

100

Kedalaman (m)

200

200

300

300

400

400

500

500
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7 0.8
dT/dZ

0.9

1.1

1.2

1.3

1.4

1.5

0.1

0.2

0.3

(a)
10

12

14

16

0.4
dT/dZ

0.5

0.6

0.7

0.8

(b)
suhu (0C)

suhu (0C)
8

18

20

22

24

10

26

100

100

200

200

Kedalaman (m)

Kedalaman (m)

18

Kedalaman (m)

10

300

12

14

16

18

20

22

24

26

28

300

400

400

500

500
0

0.1

0.2

0.3

0.4
dT/dZ

0.5

0.6

0.7

0.8

0.1

0.2

0.3
dT/dZ

0.4

0.5

0.6

(c)
(d)
Gambar 2. Profil suhu menegak di stasiun S16 tahun 2008: (a) Januari (musim barat);
(b) April (musim peralihan I); (c) Juli (musim timur); (d) Oktober (musim
peralihan II). Warna merah menunjukkan nilai suhu pada setiap kedalaman,
warna biru menunjukkan perubahan nilai suhu terhadap kedalaman (dT/dZ).
tersebut merupakan massa air perairan
dalam dari bagian timur yang bersuhu
rendah (Wyrtki, 1961; Susanto et al.,
2001).
Sebaran temporal suhu di perairan
Senunu periode tahun 2000-2009, anomali
suhu bulanan dan keterkaitannya dengan
angin, ENSO dan IODM disajikan pada
Gambar 3.

Suhu permukaan laut (SPL) yang


relatif tinggi ditandai isoterm 28C
terdapat di puncak Musim Barat 2001,
2002, 2005 dan 2009. Pada tahun 2003
dan 2008 SPL yang tinggi terjadi di
Musim Peralihan I. SPL tinggi di Musim
Barat diduga disebabkan masuknya massa
air hangat bersalinitas rendah dari bagian
barat Teluk Senunu yang dibawa oleh
Arus Pantai Jawa (Fieux et al., 1993).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

249

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

SOI

20
10
0
-10
-20
-30

d
2

SOI

DMI

1
20
10
0
0
-1
-10
-2
-20
-30 Jan-00

Jan-01

Jan-02

Jan-03

Jan-04

Jan-05

Jan-06

Jan-07

Jan-08

Jan-09

Jan-10

Tahun
2

DMI

1
0
Gambar
3. Sebaran temporal suhu bulanan perairan Senunu di Stasiun S16 (a); anomali
-1
suhu bulanan terhadap suhu bulanan rata-rata sepuluh tahun (b); Stickplot
-2
angin hasil reanalisis; (c) SOI bulanan 2000-2009 (d); DMI bulanan 2000Jan-00
Jan-01
Jan-02
Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Jan-10
2007 (e).

Tahun

Sedangkan SPL yang relatif tinggi


pada Musim Peralihan I diduga
diakibatkan oleh Gelombang Kelvin
(Sprintall et al., 2000).
Ketebalan lapisan tercampur dan
letak lapisan termoklin memiliki pola
yang berulang setiap tahun sekali
(annual). Lapisan tercampur paling dalam
pada Musim Barat sekitar 100 m,

250

kedalaman termoklin 100-200 m. Pada


Musim Peralihan I lapisan tercampur
mulai menipis dan lapisan termoklin
mulai terangkat ke arah permukaan. Pada
Musim Timur sampai awal Musim
Peralihan II lapisan tercampur paling tipis
(sekitar 50 m) dan kedalaman termoklin
50-150 m. Lapisan tercampur mulai

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

menebal kembali pada akhir Musim


Peralihan II.
Ketebalan lapisan tercampur tidak
persis sama setiap tahun (variasi
interannual), seperti Musim Barat 2001
dan 2006 relatif lebih tebal dibandingkan
Musim Barat tahun-tahun lainnya.
Pembentukan lapisan tercampur yang
sangat kuat tersebut diduga berkaitan
dengan kejadian La Nina. Menurut
Susanto et al. (2001), selama periode La
Nina massa air hangat dari Samudera
Pasifik bergerak menuju Samudera Hindia
melalui selat di sepanjang Jawa hingga
Timor.
Waktu
terjadinya
penebalan
lapisan tercampur juga tidak persis sama
setiap tahun, misalnya pada tahun 2001,
2006, dan 2009 penebalan intensif terjadi
pada puncak Musim Barat. Sementara
pada tahun 2003 dan 2008 penebalan
lapisan tercampur terjadi pada Musim
Peralihan I. Penebalan lapisan tercampur
ini diduga berkaitan dengan datangnya
Gelombang Kelvin di sepanjang pantai
selatan Jawa-Sumbawa (Sprintall et al.,
2000).
Pada Musim Barat tahun 2002,
2004, dan 2007 lapisan tercampur menipis
dan lapisan termoklin terangkat dan
menebal. Hal ini kemungkinan berkaitan
dengan munculnya gejala El Nino lemah
pada tahun 2002 dan 2004 dan IOD positif
pada tahun 2007. Menurut Susanto et al.
(2001), dangkalnya lapisan termoklin di
sepanjang pantai selatan Jawa-Sumbawa
berkaitan dengan ENSO melalui jalur
Arlindo dan anomali Angin Muson
Tenggara. Menurut Saji et al. (1999),
pendangkalan lapisan termoklin di timur
Samudera Hindia tropis disebabkan angin
zonal di wilayah tersebut bertiup lebih
kuat dan lebih lama daripada biasanya.
Anomali suhu yang jelas terjadi di
lapisan termoklin. Anomali suhu yang
bernilai positif sekitar +1.5 sampai +2.5
terjadi pada Musim Barat tahun 2001,
Musim Peralihan I tahun 2006, sepanjang

tahun 2008 dan Musim Barat dan Musim


Peralihan I tahun 2009. Anomali suhu
positif diduga berkaitan dengan kejadian
La Nina. Anomali suhu yang lebih tinggi
dibandingkan suhu rata-rata disebabkan
pada saat kejadian La Nina kolam air
hangat menumpuk di bagian barat
Samudera Pasifik tropis dan menyebabkan
presipitasi yang lebih tinggi dari biasanya
di
wilayah
Indonesia.
Hal
ini
menyebabkan suhu permukaan laut pun
lebih hangat. Anomali suhu bernilai
negatif sekitar -2.5 sampai -1.5 terjadi
pada tahun 2002 dan 2004 didugan
berkaitan dengan El Nino dan tahun 2007
diduga berkaitan dengan kejadian IODM.
Anomali suhu yang lebih rendah
dibandingkan suhu rata-rata disebabkan
pada periode El Nino tinggi muka air di
Samudera Pasifik tropis bagian barat lebih
rendah dari biasanya sehingga transpor
massa air dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia melalui Arlindo
melemah. Hal ini menyebabkan proses
penaikan massa air di selatan JawaSumbawa lebih intensif dari biasanya.
Massa air lapisan bawah ini merupakan
massa air dingin. Pada saat kejadian
IODM positif, suhu permukaan laut
menjadi lebih dingin dari biasanya karena
angin zonal yang bergerak ke barat bertiup
lebih lama dan kuat.
3.2. Spektrum Densitas Energi
Energi yang signifikan terdapat
pada semua periode fluktuasi 12 bulan
(variasi tahunan) di kedalaman tercampur
dan termoklin. Selain itu terdapat energi
signifikan di kedalaman 125 m pada
periode 19.33 bulan (variasi antartahunan) dan di kedalaman 200 m pada
periode 6 (variasi setengah tahunan), 8
bulan (variasi intra-tahunan) dan 29 bulan
(variasi antar-tahunan) (Tabel 3 dan
Gambar 4). Energi angin zonal dan
meridional hasil reanalisis yang signifikan
pada periode fluktuasi 12 bulan (variasi
tahunan) (Tabel 4 dan Gambar 5).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

251

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

Tabel 3. Periode fluktuasi suhu air laut dengan spektrum energi yang signifikan pada
kedalaman 5 m, 75 m, 125 m, dan 200 m di stasiun S16 tahun 2000-2009.
Kedalaman
(meter)

Periode
(bulan)

Spektrum energi signifikan


(C2/Siklus per bulan)

11.60

59.28

75

11.60

68.60

11.60

99.83

19.33

39.14

5.80
8.29
11.60
29

9.39
11.01
23.50
9.88

Spektrum Densitas Energi (( 0C2)/Siklus per Bulan)

200

100

100

80

80

60

60

40

40

20

20

0
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

variasi tahunan
variasi tahunan
variasi tahunan

variasi tahunan

100

Spektrum Densitas Energi ( 0C2/siklus per bulan)

125

0
120

80

60

40

20

0
0

10

20

30

40

Periode (Bulan)

50

60

70

80

90

100

110

120

80

90

100

110

120

Periode (Bulan)

(a)

(b)
100

Spektrum Densitas Energi ( 0C2/siklus per bulan)

100

Spektrum Densitas Energi ( 0C2/siklus per bulan)

Keterangan

80

60

40

20

80

60

40

20

0
0

10

20

30

40

50

60

70

Periode (Bulan)

(c)

80

90

100

110

120

10

20

30

40

50

60

70

Periode (Bulan)

(d)

Gambar 4. Spektrum densitas energi suhu air laut di stasiun S16 tahun 2000- 2009. (a)
kedalaman 5 m; (b) kedalaman 75 m; (c) kedalaman 125 m; (d)
kedalaman 200 m.

252

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

Tabel 4. Periode fluktuasi angin dengan spektrum energi yang signifikan di perairan
Senunu tahun 2000-2009.
Periode
(bulan)
11.60
11.60

Spektrum energi signifikan


((m/s)2/siklus per Bulan)
602.56
73.62

Keterangan
variasi tahunan
variasi tahunan

700

700

700

700

600

600

600

600

500

500

500

500

400

400

400

400

300

300

300

300

200

200

200

200

100

100

100

100

0
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

0
120

Spektral Densitas Energi ((m/s) 2/siklus per bulan)

Spektral Densitas Energi ((m/ s )2/siklus per bulan)

Komponen
angin
zonal
meridional

0
0

10

Periode (Bulan)

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

0
120

Periode (Bulan)

(a)
(b)
Gambar 5. Spektrum densitas energi angin hasil reanalisis di perairan Senunu tahun
2000-2009. zonal (a); meridional (b).
Fluktuasi dengan periode tahunan
(12 bulan) menggambarkan pola suhu
yang berulang setiap tahun. Dalam satu
tahun terdapat satu periode dimana suhu
permukaan laut menjadi lebih hangat dan
lapisan tercampur menebal (Musim Barat)
dan satu periode lainnya dimana suhu
permukaan laut lebih dingin dan lapisan
tercampur menjadi lebih tipis (Musim
Timur). Interval antara dua kondisi yang
sama adalah satu tahun. Suhu permukaan
laut yang lebih hangat dan menebalnya
lapisan tercampur dibawa oleh Arus
Pantai Jawa yang didorong Angin Muson
Barat Laut (Purba, 2009; Wyrtki, 1962).
Suhu permukaan laut yang lebih dingin
dan menipisnya lapisan tercampur
disebabkan penaikan massa air di
perairan Senunu yang dibangkitkan oleh
Angin
Muson
Tenggara.
Dengan
demikian fluktuasi tahunan diduga

merupakan respon terhadap variabilitas


tahunan Angin Muson (Wyrtki, 1961).
Fluktuasi setengah tahunan (6
bulan) menunjukkan fluktuasi suhu yang
terjadi pada satu musim peralihan ke
musim peralihan berikutnya. Fluktuasi
setengah tahunan diduga berkaitan dengan
Gelombang Kelvin yang membawa massa
air hangat dan mempertebal lapisan
tercampur pada musim-musim peralihan
(Sprintall et al., 2000). Fluktuasi setengah
tahunan ditemukan pada kedalaman 200
m yang mengindikasikan pengaruh
Gelombang Kelvin yang paling kuat pada
kedalaman 200 m di perairan Senunu.
Pengaruh Gelombang Kelvin yang kuat
pada lapisan termoklin juga ditemukan di
perairan selatan Jawa bagian barat (Farita
et al., 2006). Fluktuasi antar-tahunan
ditemukan pada periode 19 bulan (variasi
1.5
tahun)
yang
mengindikasikan

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

253

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

pengaruh IODM (Adisaputra, 2011) dan


periode 29 bulan yang mengindikasikan
pengaruh ENSO (Farita et al., 2006).
Fluktuasi intra-tahunan ditemukan pada
periode fluktuasi 8 bulan yang
mengindikasikan pengaruh angin di
Samudera Hindia bagian timur (remote
forcing) yang mengubah periode fluktuasi
tahunan di selatan Sumbawa menjadi 8
sampai 24 bulan (Meyers, 1996).Energi
signifikan suhu cenderung semakin
meningkat
dengan
bertambahnya
kedalaman di lapisan tercampur dan
mencapai puncaknya di kedalaman 125 m.
Setelah kedalaman tersebut spektrum
energi suhu semakin menurun dengan
bertambahnya kedalaman. Hal ini berarti
bahwa nilai suhu yang paling fluktuatif
terdapat pada kedalaman 125 m. Hasil
penelitian Farita et al. (2006) di selatan
Jawa juga menemukan bahwa suhu yang
paling fluktuatif terdapat pada lapisan
tengah kedalaman termoklin (125 m).
Densitas energi angin zonal yang lebih
tinggi mengindikasikan fluktuasi angin
zonal lebih kuat daripada angin
meridional. Perairan selatan Sumbawa
dominan dipengaruhi Angin Muson
Tenggara yang lebih berorientasi timurbarat dan Angin Muson Barat Laut yang
berorientasi
barat-timur
sehingga
komponen zonal menjadi lebih kuat
dibandingkan komponen meridional.
Penelitian-penelitian di sepanjang selatan
Jawa juga menunjukkan komponen zonal
lebih kuat dibandingkan komponen
meridional (Farita et al., 2006;
Tubalawony, 2007; Selowati, 2010;
Adisaputra, 2011).
3.3. Korelasi Silang
Hasil korelasi silang antara angin
hasil reanalisis dengan suhu disajikan
pada Gambar 6 dan 7, dan Tabel 5. Hasil
korelasi silang antara komponen angin
zonal dengan suhu menunjukkan bahwa
fluktuasi angin zonal dan suhu berkorelasi
pada periode 12 bulan di kedalaman 5 m,

254

75 m dan 125 m.Seperti pada spektrum


densitas energi suhu, energi terbesar saat
kedua fluktuasi terjadi bersamaan terdapat
pada kedalaman 125 m. Kedua fluktuasi
tersebut memiliki tingkat keeratan tinggi
yaitu 0.98 di kedalaman 5 m, 0.97 di
kedalaman 75 m dan 0.92 di kedalaman
125 m. Beda fase antara kedua parameter
adalah 30 hari di kedalaman 5 m, 27 hari
di kedalaman 75 m dan 22 hari di
kedalaman 125 m. Artinya fluktuasi suhu
terjadi setelah 30 hari angin berfluktuasi
di kedalaman 5 m, 27 hari angin berfluktuasi di kedalaman 75 m dan 22 hari
angin berfluktuasi di kedalaman 125 m.
Sedangkan
fluktuasi
angin
meridional dan suhu berkorelasi pada
periode 12 bulan di semua kedalaman
yang diteliti dengan tingkat keeratan
tinggi yaitu 0.97 di kedalaman 5 m, 0.94
di 75 m, 0.90 di 125 m dan 0.69 di 200 m.
Energi
semakin
besar
dengan
meningkatnya kedalaman dan terbesar
pada kedalaman 125 m kemudian
menurun pada 200 m. Fluktuasi angin
mendahului fluktuasi suhu selama 72 hari
di kedalaman 5 m, 71 hari di 75 m dan
125 m dan 66 hari di 200 m.
Hasil korelasi silang antara angin
hasil reanalisis dengan suhu pada
beberapa kedalaman lapisan tercampur
dan termoklin di
perairan Senunu
menunjukkan bahwa kedua fluktuasi
berkorelasi erat pada periode 12 bulan
atau terdapat variasi tahunan. Periode
fluktuasi ini diduga berkaitan dengan
dinamika sistem Angin Muson yang
bertiup di atas perairan Senunu.
Penelitian Farita et al. (2006) di
selatan Jawa bagian barat juga
menemukan energi signifikan pada
periode fluktuasi tahunan di kedalaman 0
m, 100 m dan 600 m. Beda fase antara
angin dengan suhu di selatan Sumbawa
tidak jauh berbeda dengan selatan Jawa
dimana pada penelitian yang sama
ditemukan bahwa beda fase antara angin
zonal dengan suhu sekitar 32-36 hari dan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

200

200

200

200

150

150

150

150

100

100

100

100

50

50

50

50

-50
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

Kospektrum Densitas Energi

Kospektrum Densitas Energi

Hidayat et al.

-50
120

-50
0

10

20

30

40

Periode (Bulan)

70

80

90

100

110

-50
120

(A2)

1.0

1.0

1.0

1.0

0.8

0.8

0.8

0.8

0.6

0.6

0.6

0.6

0.4

0.4

0.4

0.4

0.2

0.2

0.2

0.2

0.0
120

0.0

0.0
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

Koherensi Kuadrat

Koherensi Kuadrat

60

Periode (Bulan)

(A1)

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

0.0
120

Periode (Bulan)

Periode (Bulan)

(B1)

(B2)

-1

-1

-2

-2

-1

-1

-3

-3

-2

-2

-4
120

-3

-4
0

10

20

30

40

50

60

70

Periode (Bulan)

80

90

100

110

Beda Fase

Beda Fase

50

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

-3
120

Periode (Bulan)

(C1)
(C2)
Gambar 6. Korelasi silang antara angin zonal hasil reanalisis dengan suhu kedalaman 5
m (A1,, B1, C1), 75 m (A2, B2, C2) di stasiun S16 tahun 2000-2009. A.
Kospektrum densitas energi; B. Koherensi kuadrat; C. Beda fase.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

255

250

250

100

100

200

200

80

80

150

150

60

60

100

100

40

40

50

50

20

20

-50
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

Kospektrum Densitas Energi

Kospektrum Densitas Energi

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

-20

-50
120

10

20

30

40

50

(A3)

80

90

100

110

-20
120

(A4)

1.0

1.0

0.8

0.8

0.7

0.7

0.6

0.6

0.5

0.5

0.4

0.4

0.3

0.3

0.2

0.2

0.1

0.1

0.8

0.6

0.6

0.4

0.4

0.2

0.2

0.0
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

Koherensi Kuadrat

0.8

Koherensi Kuadrat

70

Periode (Bulan)

Periode (Bulan)

0.0

0.0
120

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

0.0
120

Periode (Bulan)

Periode (Bulan)

(B3)

(B4)

-1

-1

-1

-1

-2

-2

-2

-2

-3

-3

-3

-3

-4
120

-4

-4
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

Beda Fase

Beda Fase

60

10

20

30

40

50

60

70

Periode (Bulan)

Periode (Bulan)

(C3)

(C4)

80

90

100

110

-4
120

Gambar 7. Korelasi silang antara angin zonal hasil reanalisis dengan suhu kedalaman
125 m (A3, B3, C3), 200 m (A4, B4, C4) di stasiun S16 tahun 2000-2009.
A. Kospektrum densitas energi; B. Koherensi kuadrat; C. Beda fase.

256

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

Tabel 5. Hasil korelasi silang angin dengan suhu di stasiun S16 tahun 2000-2009.

komponen kedalaman
angin
(Meter)
zonal

meridional

5
75
125
5
75
125
200

periode
fluktuasi
(Bulan)
12
12
12
12
12
12
12

beda fase antara angin meridional dengan


suhu sekitar 65-72 hari. Penelitian
Adisaputra (2011) di perairan barat
Sumatera juga menunjukkan bahwa energi
signifikan
saat
angin
dan
suhu
berfluktuasi bersamaan pada periode
tahunan di kedalaman 5 m dan 75 m. Beda
fase antara fluktuasi angin zonal dengan
fluktuasi suhu adalah 44 hari dan 8 hari.
Beda fase antara angin meridional dengan
suhu berkisar 67-72 hari di kedalaman 5
m, 75 m dan 125 m.
IV. KESIMPULAN
Variasi musiman, tahunan dan
antara-tahunan dari stratifikasi vertikal
suhu secara temporal mengindisikan
adanya pengaruh sistem Angin Muson dan
fenomena regional di S. India dan S.
Pasifik. Saat Angin Muson Tenggara,
lapisan tercampur lebih tipis dengan suhu
lebih rendah, lapisan termoklin terangkat
dengan suhu lebih rendah. Sebaliknya saat
Angin Muson barat Lau bertiup, lapisan
tercampur lebih tebal dengan suhu lebih
tinggi dan lapisan termoklin lebih
tertekan, Pada Musim Peralihan I dan II,
stratifikasinya cenderung mirip dengan
kondisi musim sebelumnya. Sementara
suhu lapisan dalam tidak banyak
bervariasi tetapi batas atas lapisan ini

kospektrum
energi
signifikan
((m/s)2/spb).
((C2)/spb)
158.94
174.59
215.90
64.29
67.60
77.60
22.01

beda fase
koherensi

(tan-1)

hari

0.98
0.97
0.92
0.97
0.94
0.90
0.69

0.56
0.51
0.40
2.98
2.94
2.84
2.26

30
27
22
72
71
71
66

tertekan saat Musim Barat dan terangkat


saat Musim Timur.
Pengaruh dari fenomena regional
terlihat dari lebih tebalnya lapisan
tercampur pada tahun 2001, 2006 dan
2009 yang berkaitan dengan terjadinya
fenomen La Nina di tropis S. Pasifik.
Pengaruh Gelombang Kelvin terlihat
dengan menebalnya lapisan tercampur
pada Musim Peralihan I 2003 dan 2008.
Lapisan tercampur yang lebih tipis pada
tahun 2002 dan 2004 merupakan indikasi
pengaruh dari fenomena El Nino di tropis
S. Pasifik. Sementara penipisan lapisan
termoklin tahun 2007 berkaitan dengan
terjadinya fenomena IODM positif di
tropis S. India.
Analisi deret waktu memperlihatkan energi signifikan suhu di semua
kedalaman dan angin terdapat pada
periode fluktuasi 12 bulan (variasi
tahunan), periode 6 bulan (setengah
tahunan) di kedalaman 200 m dan peride
antar-tahunan yaitu 19 bulan di kedalaman
125 m dan 29 bulan di kedalaman 200 m.
Fluktuasi tahunan disebabkan pengaruh
sistem Angin Muson yang bertiup di atas
perairan
Senunu. Fluktuasi setengah
tahunan berkaitan dengan melintasnya
Gelombang Kelvin. Fluktuasi antartahunan pada periode 19 bulan
mengindikasikan
pengaruh
IODM,

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

257

Variabilitas Suhu di Perairan Senunu, Sumbawa Barat

sedangkan periode fluktuasi 29 bulan


berkaitan dengan ENSO. Korelasi silang
angin dengan suhu menunjukkan energi
signifikan
saat
kedua
parameter
berfluktuasi secara bersamaan pada
periode tahunan (12 bulan).
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputra, A. 2011. Variabilitas suhu,
arus dan angin di perairan barat
Sumatera serta inter-relasinya
dengan Indian Ocean Dipole Mode
(IODM) dan El Nino Southern
Oscillation
(ENSO).
Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 145hlm.
Farita, Y., M. Purba, dan A. Atmadipoera.
2006. Variabilitas suhu laut di
selatan Jawa Barat. Bullletin PSP,
XV(3):139-157.
Ffield, A. and A.L. Gordon. 1996. Tidal
mixing signatures in the Indonesia
Seas. J. Phys. Ocean. 26:19241937.
Ffield, A., K. Vranes, A.L. Gordon, R.D.
Susanto, and S. L. Garzoli. 2000.
Temperature variability within
Makassar Strait. J. Geophys. Res.
Lett., 27:237240.
Fieux, M., C. Andrie, P. Delecluse, A.G.
Illahude, A. Kartavtseef, F.
Mantisi, R. Molcard, and J.
Swallow. 1993. Measurements
within the Pacific-Indian Ocean
Throughflow Region. Deep-Sea
research I, 41(7):1091-1130.
Gordon, A.L., C.F. Giulivi, and A.G.
Ilahude. 2003. Deep topographic
barriers within the Indonesian seas.
Deep-Sea Research II, 50:22052228.
Hautala, S., J. Reid, and N. Bray. 1996.
The distribution and mixing of
Pacific water masses in the
Indonesian seas. J. Geophys. Res.,
101(C5):12,37512,389.

258

Irawati, N. 2005. Karakteristik tekanan


udara dan suhu permukaan laut di
pantai barat Sumatera dan pantai
timur Afrika serta kaitannya
dengan kejadian dipole mode di
Samudera Hindia Tropis. Tesis.
Sekolah
Pascasarjana
Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 41hlm.
McClean, J.L. and D.P. Ivanova. 2005.
Remote origins of interannual
variability in the Indonesian
Throughflow region from data and
a global Parallel Ocean Program
simulation. J. Geophys. Res. 110,
C10013.
Meyers, G. 1996. Variation of Indonesian throughflow and the El Nino
Southern Oscillation. J. Geophys.
Res., 101(C5):12.255-12.263.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut: suatu
pendekatan ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koesbiono, D.G. Bengen, M. Hutomo,
dan Sukardjo. PT Gramedia.
Jakarta. Indonesia. 496hlm.
Pickard, G.L. and W.J. Emery. 1990.
Descriptive physical oceanography. Pergamon Press. Oxford.
320p.
Purba, M. 2009. Dynamics of south JavaSumbawa waters during south east
monsoon. International Symposium
of
Marine
Science,
Technology and Policy. World
Ocean Conference. Manado, 12-14
Mei 2009.
Ross, D.A. 1970. Introduction to oceanography.
Appleton-century-cofts.
Meredith Corporation. New York.
384p.
Saji, N.H. and T. Yamagata. 2003.
Possible impacts of Indian Ocean
Dipole mode events on global
climate.
Climate
Research,
25:151-159.
Saji, N.H., B.H. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata. 1999.
A dipole mode in the tropical

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hidayat et al.

Indian Ocean. Nature, 401:360


363.
Selowati, Y.G. 2010. Variabilitas arus
geostropik permukaan dan angin di
peraian selatan jawa. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Insitut Pertanian Bogor.
Bogor. 45hlm.
Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Murtugudde
and
R.D.
Susanto.
2000.
Semiannual Indian Ocean forced
Kelvin wave observed in the
Indonesian seas in May 1997. J.
Geophys. Res. 105: 17217 17230.
Susanto, R.D. and A.L. Gordon. 2005.
Velocity and transport of the
Makassar Strait throughflow. J.
Geophys. Res. 110, C01005.
Susanto, R.D., A.L. Gordon and Q.
Zheng. 2001. Upwelling along the
coasts of Java and Sumatra and its
relation to ENSO. Geophys. Res.
Lett., 28(8):15991602.

Tubalawony, S. 2007. Kajian klorofil-a


dan nutrien serta interrelasinya
dengan dinamika massa air di
perairan barat Sumatera dan
selatan Jawa-Sumbawa. Disertasi.
Sekolah
Pascasarjana.
Insitut
Pertanian Bogor.
Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography
of the southeast Asian waters,
NAGA report, vol. 2, Univ. of
Calif., San Diego. 195p.
Wyrtki, K. 1962. The upwelling in the
region between Java and Australia
during the south-east Monsoon.
Aust. J. Mar. Freshwater Res.,
17:217-225.
Diterima
Direvisi
Disetujui

: 20 Oktober 2013
: 11 Februari 2013
: 3 September 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

259

260

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 261-271, Desember 2013

ARUS GEOSTROPIK PERMUKAAN MUSIMAN


DI PERAIRAN ARAFURA-TIMOR
SEASONAL SURFACE GEOSTROPHIC CURRENT
IN ARAFURA-TIMOR WATERS
1

Fachry Ramadyan1* dan Ivonne M. Radjawane1


Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung, Bandung; *Email: fachryramadyan@yahoo.com

ABSTRACT
Research on the seasonal geostrophic surface current during 2002-2011 in Arafura-Timor
waters was conducted using satellite altimetry data. Those data were absolute dynamic
topography and absolute geostrophic velocity data taken from Archiving Validation and
Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO). The dynamics of geostrophic surface
current varied in every monsoon due to the difference in absolute dynamic topography. During
northwest (NW) season, the absolut dynamic topography in Arafura Sea was higher than in
Timor Sea by an average difference of 0.10.2 m and the geostrophic surface current moved
from Arafura Sea toward Timor Sea. During southeast (SE) season, the absolute dynamic
topography in Arafura Sea lower than Timor Sea with an average difference of 0.03-0.04 m.
In this season, upwelling occurs in Banda Sea and sea surface water in this region becomes
lower and the current moved from Arafura Sea to Banda Sea. The absolut dynamic
topography difference between Arafura Sea and Timor Sea in NW and SE monsoons was
0.050.06 m and so the geostrophic surface current moved from Arafura Sea toward Timor
Sea. In Timor Sea, the current moved southwest towards the Indian Ocean. In NW and SE
Monsoons the the velocity of surface geostrophic current in Timor Sea (0,3 m/sec) was
higher compare in Arafura Sea (0.2 m/sec) due to the configuration of island surround the
Timor Sea and its topography.
Keywords: Geostrophic surface current, altimetrysatellite, Arafura-Timor Sea
ABSTRAK
Penelitian arus geostropik permukaan musiman selama tahun 2002-2011 di perairan ArafuraTimor dilakukan menggunakan data satelit altimetri. Data yang digunakan berupa data topografi
dinamik absolut dan data kecepatan geostropik absolut dari Archiving Validation and
Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO). Dinamika arus geostropik permukaan
bervariasi tiap musim akibat perbedaan arah dan kecepatan angin yang menyebabkan
perubahan topografi dinamik absolut. Saat Musim Barat Laut, topografi dinamik absolut di Laut
Arafura lebih tinggi dibanding di Laut Timor dengan rata-rata perbedaan antara 0,1 - 0,2 m dan
menyebabkan arus geostropik-permukaan bergerak dari Laut Arafura menuju LautTimor. Saat
Musim Tenggara, topografi dinamik absolut di Laut Arafura lebih rendah dibanding di Laut
Timor dengan rata-rata perbedaan antara 0,03 - 0,04 m. Pada musim Tenggara terbentuk daerah
upwelling di Laut Banda dan menyebabkan tinggi muka air laut perairan ini rendah sehingga
arus dari Laut Arafura bergerak ke arah Laut Banda. Perbedaan ketinggian topografi dinamik
absolut antara Laut Arafura dan Laut Timor saat Musim Barat Laut dan Musim Tenggara antara
0,05 0,06 m sehingga arus dari Laut Arafura bergerak menuju Laut Timor. Di Laut Timor,
arus bergerak ke arah barat daya menuju Samudra Hindia. Saat Musim Barat Laut dan Musim
Tenggara, arus geostropik permukaan di Laut Timor lebih cepat (0,3 m/detik) dibanding di Laut
Arafura (0,2 m/detik) akibat konfigurasi pulau-pulau sekitar Laut Timor dan topografi
perairanya.
Kata kunci: arus Geostropik-permukaan, satelit altimetri, Laut Arafura-Timor.

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

261

Arus Geostropik Permukaan Musiman...

I. PENDAHULUAN
Laut Arafura dan Laut Timor
terletak di bagian timur Indonesia. Kedua
laut ini merupakan bagian dari Paparan
Sahul yang berbentuk semi tertutp dengan
kedalaman rata-rata sekitar 30-90 m di
Laut Arafura dan 50-120 m di Laut Timor
dan sebagian kecil memiliki kedalaman
>3000 m (Alongi et al., 2011). Laut
Arafura berbatasan dengan Laut Banda di
sebelah utara, di sebelah timur berbatasan
dengan Selat Torres, di sebelah selatan
berbatasan dengan perairan utara Australia, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Laut Banda dan Laut Timor.
Sementara itu, Laut Timor berbatasan
dengan Laut Banda di sebelah utara, di
sebelah timur berbatasan dengan Laut
Arafura, di sebelah barat berbatasan
dengan Samudra Hindia, dan di sebelah
selatan berbatasan dengan pantai utaraAustralia. Bentuk topografi di Laut
Arafura cenderung datar, tidak banyak

perubahan bentuk dasar laut dibanding di


sekitar Laut Timor seperti terlihat pada
Gambar 1.
Perairan
Arafura-Timor
dan
sekitarnya memiliki arti penting dalam
sirkulasi arus global dan iklim dunia
karena merupakan bagian dari Indian
Pacific Warm Pool yang membawa
bahang (heat) dan uap air hangat dalam
jumlah besar dari laut ke atmosfir
sehingga disebut sebagai mesin panas
(heat engine) dalam sirkulasi atmosfer
global yang dipengaruhi oleh dinamika
ENSO (Alongi et al., 2011). Perairan ini
juga merupakan bagian dari jalur Arus
Lintas
Indonesia
(Arlindo)
yang
menghubungkan Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia (Gordon and Fine, 1996).
Selain itu wilayah ini juga merupakan
bagian dari pusat keanekaragaman hayati
laut dunia yang dinamakan wilayah Coral
Triangle (Allen and Wernet, 2002 in
Alongi, 2011).

Gambar 1. Peta batimeteri (dalam meter) perairan Arafura-Timor dan sekitarnya.


Kotak merah merupakan daerah kajian (ATSEA, 2011).

262

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramadyan dan Radjawane

Sirkulasi arus permukaan di


perairan Arafura-Timor dipengaruhi oleh
siklus angin muson barat laut dan
tenggara yang berubah secara periodik
tiap tahunnya. Hal ini menyebabkan
perubahan musiman dalam parameter
oseanografi diantaranya densitas, suhu
dan salinitas yang juga dipengaruhi oleh
aliran air sungai (Gordon dan Fine, 1996).
Akibat perubahan kekuatan dan arah dari
angin musiman yang berhembus mengakibatkan perubahan tinggi muka air laut di
Teluk Carpentaria dan dampaknya
menyebabkan aliran massa air ke barat
dari Laut Arafura mempengaruhi arus
Holloway (Ridgeway dalam Alongi et al.,
2011).
Kajian tentang dinamika arus
permukaan akibat perbedaan tinggi muka
air di perairan Arafura-Timor belum
banyak dilakukan. Masumoto et al.
(2004) memodelkan rata-rata sirkulasi
arus permukaan total dalam selang waktu
tahun 1950-1999 dengan menggunakan
simulasi model OGCMs. Hasil dari
penelitian menunjukkan sirkulasi arus
permukaan di Laut Timor bergerak ke
arah barat daya menuju Samudra
Hindia.Penelitian ini menghasilkan arus
permukaan dengan gaya pembangkit oleh
angin dan perbedaan tinggi muka laut.
Hasil
pengukuran
lapangan
yang
dilakukan pada bulan Mei 2010 oleh
Arafura and Timor Seas Ecosystem
Action (ATSEA) memperlihatkan pola
arus total sesaat dengan kedalaman yang
bervariasi (Wirasantosa et al., 2010).
Heliani (2010) meneliti variasi sirkulasi
arus geostropik permukaan musiman
untuk cakupun wilayah yang luas yaitu
perairan Indonesia, karena itu arus di
perairan Arafura-Timor tidak secara
khusus dikaji. Arus geostropik ini
ditimbulkan akibat adanya transpor
Ekman yang dibangkitkan oleh angin
yang membentuk daerah dengan slope
muka air laut yang lebih tinggi dan slope
muka air laut yang lebih rendah yang

diimbangni oleh gaya Coriolis (Hadi dan


Radjawane, 2009).
Mengingat letak perairan yang
sangat strategis dan dipengaruhi oleh
angin musim yang bertiup sepanjang
tahun, maka dipandang perlu melakukan
penelitian yang menganalisis dinamika
dan sirkulasi arus geostropik permukaan
musiman di perairan Arafura-Timor.
II. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan diperoleh
dari SSALTO/DUACS (Data Unification
and Altimeter Combination System) yang
didistribusi oleh AVISO (Validation and
Interpretation of Satellite Oceanograpic
Data) berupa data topografi dinamik
absolut (absolute dynamic topography
atau disingkat ADT) dan kecepatan
geostropik absolut. Data kecepatan angin
permukaan yang digunakan diperoleh dari
NCEP-Reanalysis yang disediakan oleh
NOAA/OAR/ESRL PSD. Domain daerah
kajian meliputi daerah perairan ArafuraTimor dengan koordinat 50 LS 15LS
dan 124 141BT selama tahun 20022011 (lihat Gambar 1).
Pengukuran arus geostropik di
permukaan (z=0) dari satelit altimetri
berkaitan dengan slope muka air permukaan, yaitu topografi dinamik absolut atau
absolute dynamic (Gambar 2). Topografi
dinamik merupakan perbedaan tinggi
muka laut di atas geoid. Pada AVISO,
topografi dinamik rata-rata atau mean
dynamic topogprahy (MDT) diperoleh
dengan merata-ratakan topografi dinamik
dari tahun 1993-1999. Perhitungan
topografi dinamik absolut sebagai berikut:
ADT = MDT+SLA

............... (1)

dimana, ADT = topografi dinamik


absolute (m), MDT = topografi dinamik
rata-rata (m), SLA = anomali tinggi muka
laut (tinggi muka laut terhadap MSS) (m)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

263

Arus Geostropik Permukaan Musiman...

Jarak antar satelit dengan permukaan laut sesaat yang diukur oleh satelit
altimetri belum bisa dimanfaatkan
langsung untuk keperluan geodesi maupun
oseanografi, sebab untuk mendapatkan
informasi tinggi muka laut terlebih dahulu
kita harus mengkonversi jarak yang
dihasilkan dari pengukuran satelit altimetri menjadi tinggi muka laut terhadap
bidang referensi tertentu. Oleh karena itu

kita harus menentukan bidang referensi


untuk mendefinisikan tinggi muka laut
yang dimaksud yang dalam hal ini bidang
referensi yang digunakan adalah Mean
Sea Surface (MSS). MSS secara geometri
dianggap ekuivalen dengan undulasi
geoid. MSS di hitung berdasarkan data
altimetri yang dirata-ratakan dalam jangka
waktu beberapa tahun. Gambaran skematik dari perhitungan topografi dinamik.

Gambar 2. Skematik topografi dinamik absolut (ADT). Tinggi topografi dinamik


(dynamic topography) diukur oleh satelit altimetri. Topografi dinamik
merupakan perbedaan tinggi muka laut di atas geoid. Tinggi muka air laut
(Sea Surface Height) merupakan tinggi muka air diukur dari ellipsoid. ADT
diperoleh dari perata-rataan topografi dinamik ditambah anomali tinggi
muka air laut terhadap perata-rataan tinggi muka air laut dalam selang
waktu tertentu (Sumber: Aviso).

264

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramadyan dan Radjawane

Gambar 3. Skema kecepatan geostropik permukaan arah y (Techet, 2006).


Selanjutnya kecepatan arus geostropik
absolut diperoleh dari perhitungan
menggunakan data topografi dinamik
absolut (Stewart, 2008) seperti rumusan
di bawah ini dan secara skematis
digambarkan dalam Gambar 3 sebagai
berikut:
Vs=

Us= -

...........

(2)

dimana,
Us=kecepatan arus geostropik permukaan
arah x (m/detik)
Vs=kecepatan arus geostropik permukaan
arah y (m/detik)
= topografi dinamik absolut (m)
g = gravitasi (m/detik2)
f = parameter Coriolis
2.1. Pengorganisasian Data
Data yang diperoleh dari satelit
altimetri bersifat 10-harian sesuai dengan
lintasan satelit yang orbitnya dalam
interval waktu 10 hari. Data angin bersifat
harian. Data topografi dinamik absolut
dan perhitungan kecepatan geostropik
absolut serta data kecepatan angin yang
diperoleh dihitung berdasarkan peratarataan bulan dan musim mengikuti
pembagian musim yang berlaku di

Indonesia. Musim Barat Laut berlangsung


pada bulan Desember, Januari dan
Februari, bulan Maret, April dan Mei
untuk Musim Peralihan I, bulan Juni. Juli
dan Agustus untuk Musim Tenggara serta
dan Musim Peralihan II pada bulan
September, Oktober dan November. Data
perhitungan bulanan diperoleh untuk
selang waktu 10 tahun dari bulan Januari
2002 sampai bulan Desember 2011. Dari
data bulanan dilakukan perata-rataan
musim untuk 3 bulan sesuai dengan
pembagian musim di atas. Dari hasil
perhitungan tersebut diperoleh gambaran
karakteristik arus geostropik permukaan
setiap musim.
2.2. Peta Kecepatan Angin Permukaan,
Topografi Dinamik Absolut dan
Arus Geostoropik Permukaan
Hasil pengolahan data seperti yang
telah dijelaskan di atas ditampilkan dalam
bentuk peta pola angin permukaan dan
sebaran topografi dinamik secara horisontal untuk setiap musim. Data angin diolah
menggunakan perangkat lunak Grads
sedangkan pengolahan data dan dilakukan
perhitungan arus geostropik permukaan
pada tiap musim.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

265

Arus Geostropik Permukaan Musiman...

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Dinamika Angin Permukaan,
Topografi Dinamik Absolut dan
Arus Geostropik Permukaan pada
Musim Barat Laut
Gambar 4a-c memperlihatkan
rerata angin permukaan, topografi
dinamik absolut dan arus geostropik
permukaan pada Musim Barat Laut
(Desember-Februari). Gambar 4a menunjukkan rerata angin permukaan selama
pada Musim Barat Laut selam 10 tahun
dari tahun 2002 sampai 2011 yang

bergerak dari arah barat laut menuju


tenggara dengan rerata kecepatan angin
antara 45 m/detik. Angin ini akan
menggerakkan massa air (transpor
Ekman) yang tegak lurus arah angin ke
arah timur dan timur laut. Akibat adanya
angin di Laut Arafura dan sekitarnya
terbentuk daerah konvergensi (slope
tinggi) dan di Laut Timor terbentuk
daerah divergensi (slope rendah). Pada
Gambar 4b daerah slope muka air laut
tinggi disimbolkan H dan daerah slope
muka air laut rendah disimbolkan L.

c
Gambar 4. Dinamika musim barat laut 2002-2011 (a) arah angin permukaan dinyatakan
dengan garis sedangkan panah merah merupakan rerata arah angin (b)
topografi dinamik absolut, L merupakan daerah dengan slope muka air laut
rendah dan H merupkan daerah slope muka air laut tinggi (c) arus
geostropik permukaan dinyatakan dengan panah hitam sedangkan arah
reratanya dinyatakan dengan panah merah. Catatan panah merah tidak
menunjukkan skala tertentu.

266

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramadyan dan Radjawane

Ketinggian topografi dinamik


absolut akan berkurang ke arah barat.
Sebaran topografi dinamik saat Musim
Barat Laut terlihat jelas perbedaannya
antara Laut Arafura dan Laut Timor.
Ketinggian topografi dinamik absolut
Laut Arafura mencapai 1 1,1 m dan di
Laut Timor antara 0,9 1 m seperti
ditunjukkan oleh Gambar 4b.
Arus geostropik permukaan bergerak dari slope tinggi (H) ke slope lebih
rendah (L) dan dibelokkan ke kiri karena
daerah kajian berada di Belahan Bumi
Selatan, berlawanan jarum jam, sehingga
secara umum arus geostropik permukaan
bergerak ke arah barat daya (lihat Gambar
4c). Di Laut Arafura arus geostropik
permu-kaan bergerak ke selatan menuju
perairan Australia dan ke arah barat daya
menuju Laut Timor dengan rata-rata
kecepatan 0,1 m/detik. Di dekat pesisir
Papua arus bergerak lebih cepat terutama
dekat daerah muara Sungai Digul dengan
arah pergerakan arus geostropik permukaan ke selatan (lihat Gambar 4c).
Arus geostropik permukaan dari
Laut Banda bergerak ke arah selatan dan
barat daya lalu berbelok menuju Pulau
Alor.Sebagian arus ini ada yang bergerak
melewati celah sempit antara Pulau Alor
dan Pulau Timor dan ada yang bergerak
ke selatan menuju Laut Timor. Selain
arus dari Laut Banda terlihat pula arus
yang bergerak dari arah barat di utara
Pulau Timor dan dari Laut Arafura.Arus
dari arah barat tersebut merupakan bagian
dari percabangan Arlindo yang bergerak
menuju Laut Banda lalu berbelok ke arah
barat daya menuju Laut Timor. Arus
geostropik permukaan di Laut Timor
selama Musim Barat Laut bergerak
sepanjang pantai Timor ke arah barat
daya menuju Samudra Hindia. Arus ini di
Laut Timor bergerak dengan rata-rata
kecepatan 0,2 0,3 m/detik. Masumoto et
al. (2004) menggunakan model numerik
dengan gaya pembangkit angin dan tinggi muka air laut memperlihatkan gerak

arus permukaan rata-rata ke arah barat


daya di sepanjang pantai Timor. Hal ini
menunjukkan kesesuaian dengan hasil
penelitian ini yang menggunakan perhitungan arus geostropik dari data tinggi
topografi perairan dan memperlihatkan
dominasi angin untuk pembentukan
arus di daerah ini.
3.2. Dinamika Angin Permukaan, Topografi Dinamik Absolut dan Arus
Geostropik Permukaan Musim
Tenggara
Hasil pemgolahan data rerata
angin permukaan, topografi dinamik
absolut dan arus geostropik permukaan
pada Musim Tenggara (Juni-Agustus)
diperlihatkan pada Gambar 5a-c. Gambar
5a menunjukkan angin permukaan pada
Musim Tenggara dalam tahun 2002-2011
bergerak dari arah tenggara menuju barat
laut dengan rerata kecepatan angin antara
5-6 m/detik. Angin ini akan menggerakkan massa air (transpor Ekman) tegak
lurus arah angin ke arah barat daya dan
selatan. Akibatnya di Laut Arafura dan
Laut Timor terbentuk daerah slope muka
air rendah dengan ketinggian relatif sama
dan di Laut Banda lebih rendah lagi,
sedangkan di Laut Timor ketinggian
muka air laut sedikit lebih tinggi
dibanding di Laut Arafura. Daerah
perairan di antara Laut Arafura dan Laut
Timor terbentuk daerah konvergensi
(slope muka air laut tinggi) dibanding
sekitarnya. Daerah slope muka air tinggi
didimbolak H dan rendah disimbolkan L
(Gambar 5b). Ketinggian topografi dinamik absolut akan berkurang ke arah
utara dan barat laut (menuju Laut Banda).
Ketinggian topografi dinamik absolut di
laut Arafura antara 0,8 0,87 m dan di
Laut Timor antara 0,9 0,91 m seperti
terlihat pada Gambar 6a, b. Menurut
(Wyrtki, 1961), pengaruh angin muson
Tenggara ini menyebabkan tinggi muka
laut di Laut Banda lebih rendah dari
sekitar dan terjadi upwelling.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

267

Arus Geostropik Permukaan Musiman...

L
H

c
Gambar 5. Seperti Gambar 4 untuk dinamika musim tenggara 2002-2011 (a) arah angin
permukaan (b) topografi dinamik absolut (c) arus Geostropik permukaan.

Gambar 6. Rerata tahunan topografi dinamik absolut tahun 2002-2011 untuk


(a) musim barat laut (b) musim tenggara.

268

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramadyan dan radjawane

Arus geostropik permukaan bergerak dari slope tinggi (H) ke slope lebih
rendah (L) dan dibelokkan berlawanan
jarum jam. Pada musim ini arus
geostropik permukaan bergerak dengan
arah yang bervariasi (Gambar 5c). Di Laut
Arafura, arus geostropik permukaan
bergerak ke arah barat menuju Laut
Banda, ke arah barat daya menuju Laut
Timor dengan rata-rata kecepatan 0,2-0,3
m/detik. Selain itu terdeteksi ada arus
yang bergerak dari perairan Australia
menuju Laut Arafura. Di daerah muara
Sungai Digul kecepatan arus berkurang
dibanding Musim Barat Laut. Arus ini
berasal dari arah selatan lalu bergerak ke
arah utara menuju Laut Banda.
Arus geostropik permukaan dari
Laut Banda bergerak ke arah barat menuju
Pulau Alor (Laut Flores). Namun,
sebagian arus ini ada yang bergerak
menuju Pulau Alor lalu berbelok menuju
Pulau Timor.Saat musim ini arus dari
percabangan Arlindo yang menuju Laut
Banda tidak sekuat saat Musim Barat
Laut. Arus geostropik permukaan di Laut
Timor selama Musim Tenggara bergerak
lebih cepat dibanding saat Musim Barat
Laut. Arus ini bergerak menyusuri pantai
Timor ke arah barat daya menuju Samudra
Hindia dengan rata-rata kecepatan 0,3
m/detik 0,4 m/detik. Arus di Laut Timor
didominasi dari Laut Banda, dimana arus
dibelokkan di utara Pulau Timor dan arus
yang bergerak ke arah selatan langsung
menuju Laut Timor.
Pada Gambar 5c, saat Musim
Tenggara arus di Laut Timor didominasi
arus berkecepatan tinggi dari Laut Banda
karena ketinggian muka laut di Laut
Banda dan sekitarnya lebih rendah akibat
upwelling dan semakin rendah ke arah
barat. Akibatnya arus geostropik permukaan di Laut Banda dan sekitarnya
akan dibelokkan ke arah selatan menuju
Laut Timor. Selain itu, pada musim ini
terdeteksi eddies di antara Laut Arafura
dan Laut Timor, yaitu di selatan

kepulauan Tanimbar. Eddies ini bergerak


dengan arah arus berlawanan jarum jam
dengan kecepatan rata-rata kurang dari 0,1
m/detik. Di utara Pulau Timor terdeteksi
arus dari arah utara dan barat selalu
berbelok menuju Laut Timor (Gambar 4c
dan Gambar 5c).
Hal ini disebabkan perbedaan
kedalaman dan bentuk topografi dasar laut
yang cukup drastis di antara Laut Timor
dan sekitarnya sehingga arus akan
dibelokkan (Gambar 7). Menurut Nontji
(2007), perbedaan kedalaman antara Laut
Timor dan Laut Arafura menyebabkan
arus dari Laut Flores dan Laut Banda yang
bergerak ke timur akan
membentur
Paparan Sahul yang sangat dangkal. Selatselat atau pintu-pintu keluar yang sempit
di permukaan tidak akan
bisa
mengimbangi air yang datang. Sebagai
kompensasi air ini akan tenggelam. Air
yang tenggelam itu akan menekan lapisan
air di bawahnya sehingga air akan
bergerak mencari jalan keluar lain. Jalan
keluar yang mungkin hanyalah melewati
alur sempit di sebelah selatan Timor, yaitu
alur yang cukup dalam menghubungkan
Laut Banda dan Samudra Hindia.
IV. KESIMPULAN
Dinamika arus geostropik permukaan di perairan Arafura-Timor terjadi
karena perubahan topografi dinamik
absolut (tinggi muka laut) akibat
perubahan angin muson tiap musimnya.
Saat Musim Barat Laut, topografi dinamik
absolut di Laut Arafura lebih tinggi
dibanding di Laut Timor dengan rata-rata
perbedaan antara 0,1-0,2 m. Saat Musim
Tenggara, topografi dinamik absolut di
Laut Arafura lebih rendah dibanding di
Laut Timor dengan rata-rata perbedaan
antara 0,03-0,04 m. Perbedaan ketinggian
topografi dinamik absolut antara Laut
Arafura dan Laut Timor saat Musim Barat
Laut dan Musim Tenggara antara 0,050,06 m.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

269

Arus Geostropik Permukaan Musiman...

Gambar 7. Topografi dasar perairan di Arafura-Timor.


Secara umum, arus geostropik
permukaan di Laut Arafura bergerak ke
arah barat daya menuju Laut Timor dan ke
arah barat menuju Laut Banda. Di Laut
Timor, arus bergerak ke arah barat daya
menuju Samudra Hindia akibat konfigurasi pulau-pulau sekitar dan bentuk
topografi dasar perairannya. Arus di dekat
perairan sempit antar pulau cenderung
berkecepatan lebih besar, seperti arus di
sekitar Pulau Timor. Saat Musim Barat
Laut dan Musim Tenggara, arus
geostropik permukaan di Laut Timor lebih
cepat dibanding di Laut Arafura akibat
perairan yang sempit.Arus geostropik
permukaan di Laut Arafura bergerak
dengan rata-rata kecepatan 0,2 m/detik
dan di Laut Timor 0,3 m/detik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Ketua Project Arafura
and Timor Seas Ecosystem Action
(ATSEA) yang telah memberikan ide
penulisan dan menyediakan hasil peneli-

270

tian di perairan Laut Arafura dan Laut


Timor.
Produk altimetri dihasilkan oleh
Ssalto/Duacs dan didistribusi oleh Aviso
dengan bantuan Cnes, (http://www.aviso.
oceanobs.com/duacs/).
Produk
NCEP
Reanalysis
disediakan oleh NOAA/OAR/ESRL PSD,
Boulder, Colorado, USA, dari situs
http://www.esrl. noaa.gov/psd/.
DAFTAR PUSTAKA
Alongi, D.M., K. Edyvane, do Ceu
Guterres, W.S. Pranowo, S.
Wirasantosa, and R. Wasson.
2011. Biophysical profile of the
Arafura and Timor Seas. Report
prepared for the Arafura Timor
Seas Ecosystem Action (ATSEA)
Program. 32p.
Gordon, A.L. and R.A. Fine. 1996.
Pathways of water between the
Pacific and Indian Oceans in the
Indonesian Seas. Nature, 379
(6561):145-149.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramadyan dan Radjawane

Hadi, S. dan I.M. Radjawane. 2009. Arus


laut. Diktat kuliah. Prodi Oseanografi, ITB. 164hlm.
Heliani, L.S. 2010. Dinamika fisis
perairan Indonesia dari data
Altimeter (I). http://lib.ugm.ac.id/
digitasi/upload/912_C1.pdf, Universitas Gajah Mada, 10hlm,
diakses tanggal 12 April 2012.
Masumoto, Y., H. Sasaki, T. Kagimoto,
N. Komori, A. Isida, Y. Sasai, T.
Miyama, T. Motoi, H. Mitsudera, K. Takahashi, H. Sakuma,
and T. Yamagata. 2004. A fiftyyear eddy-resolving simulation of
the world ocean preliminary
outcomes of OFES (OGCM for the
earth simulator). J. of the Earth
Simulator, 1:35-56.
Nontji, A. 2007. Mengapa laut Banda
subur. Pewarta Oseana, 8(3-4):1821.

Stewart, R. 2008. Introduction to physical


oceanography, Texas, Texas A &
M, University. 345p.
Techet, A. 2006. 2011 Geostrophic
currents. http://ocw.mit.edu/
courses/mechanical-engineering/2011-introduction-to-ocean-scienceand-engineering-spring-2006/
readings/geostrophic.pdf. [7 May
2012].
Wirasantosa, S., T. Wagey, S. Nurhakim,
and D. Nugroho (eds.). 2010,
ATSEA cruise report, ATSEA,
Program, 209p.
Wyrtki. 1961. Physical oceanography of
the southeast Asian Waters, Naga
report Vol 2. California, The
University of California Scripps
Institution of Oceanography. 195p.
Diterima :14 Januari 2013
Direvisi :23 Mei 2013
Disetujui :18 November 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

271

272

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 273-285, Desember 2013

KONDISI DAN DISTRIBUSI KARANG BATU (Scleractinia corals) DI


PERAIRAN BANGKA
THE CONDITION AND DISTRIBUTION OF STONY CORALS (Scleractinia
corals) IN BANGKA WATER
Rikoh Manogar Siringoringo1* dan Tri Aryono Hadi1
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Ancol Timur, Jakarta
*
Email: rikoh_ms@yahoo.com

1)

ABSTRACT
Bangka water is well known as the best tin producer in which there are many off-shore tinmining activities conducted by both local people and tin companies. Such condition apparently
brings negative impacts to marine life. Stony corals are considered as the major component of
coral reef ecosystems whose condition is influenced by environmental condition. The aim of this
study is to observe the general condition of coral reefs and the distribution of stony corals in
Bangka Water. The study was carried out between September and November 2010 by taking 10
stations. The method used was LIT as long as 70 meters installed parallel to the coast line. The
result indicates that generally the condition of coral reef was categorized as fair condition, the
coral cover averaging at 47, 82 %. There were 89 species of stony corals found, divided into 13
genera. The most dominant species was Porites lutea , particularly at Station 6 by 33,3%. The
prolonged turbidity mainly caused by tin-mining activities is thought to lead the coral reefs to
critical condition particularly in some areas.
Keywords: stony corals, coral cover, distribution, Bangka Water.
ABSTRAK
Perairan Bangka terkenal sebagai penghasil timah dimana banyak aktivitas penambangan timah
lepas pantai yang dilakukan oleh penduduk lokal maupun perusahaan-perusahan timah. Hal ini
membawa dampak negatif bagi kehidupan biota-biota laut. Karang batu merupakan komponen
utama penyusun ekosistem terumbu karang yang kondisinya banyak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum terumbu karang di
Perairan Bangka dan distribusi dari karang batu yang ada. Penelitian dilakukan bulan September
dan November 2010 dengan mengambil lokasi sebanyak 10 stasiun. Metode yang digunakan
adalah LIT sepanjang 70 meter sejajar garis pantai. Hasil menunjukan bahwa secara umum
kondisi terumbu karang di Perairan Bangka dikategorikan sedang yaitu dengan rata-rata
persentase tutupan karang mencapai 47,82%. Ditemukan sebanyak 89 jenis karang batu yang
terbagi kedalam 13 suku. Jenis Porites lutea merupakan jenis yang paling dominan terutama di
Stasiun 6 yaitu mencapai 33,3 %. Kekeruhan yang berkelanjutan yang utamanya dikarenakan
penambangan timah diduga menyebabkan kondisi terumbu karang menjadi kritis di beberapa
wilayah.
Kata kunci: karang batu, persentase tutupan karang, distribusi, Pulau Bangka.

I. PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan suatu
ekosistem yang mempunyai tingkat
produktifitas paling tinggi di bumi yang
didukung oleh kumpulan biota-biota yang
sangat beragam (Wu and Zhang, 2012).

Namun, kondisi terumbu karang akhirakhir ini sangat rentan terhadap gangguan
perubahan
lingkungan
perairan.
Perubahan
kualitas
perairan
akan
mempengaruhi kondisi terumbu karang
disekitarnya. Aktivitas manusia yang
berlangsung di darat akan mempengaruhi

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

273

Kondisi dan Distribusi Karang Batu

ekosistem
perairan
disekitarnya
khususnya ekosistem terumbu karang.
Menurut (Burke et al., 2002), tekanan
lingkungan akibat aktivitas di daratan
tersebut, dapat menurunkan keanekaragaman hayati di wilayah terumbu
karang sebesar 30 60%.
Demikian juga dengan kondisi
terumbu karang di perariran Pulau Bangka
yang tidak luput dari pengaruh aktifitas
manusia. Perubahan sekecil apapun yang
terjadi di darat dapat mempengaruhi
perairan
disekitarnya.
Aktifitas
penambangan timah baik yang dilakukan
di darat maupun di laut telah
mengakibatkan kekeruhan. Sedimentasi
terlihat baik di dasar perairan dan di
kolom air. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap terumbu karang serta biota lain
yang berasosiasi dengannya.
Beberapa
penelitian
terumbu
karang di Perairan Pulau Bangka sudah
pernah dilakukan sebelumnya. Zulkifli et
al. (2000), mendapati persentase tutupan
karang hidup di Kepulauan Bangka
berkisar antara 8-60% dimana rendahnya
kondisi di beberap lokasi disebabkan oleh
benturan fisik, sedimentasi dan bahan
kimia. Sedangkan Siringoringo et al.
(2006) mendapatikondisi terumbu karang
yang berada di sisi bagian selatan Pulau
Bangka yang diwakili Pulau Lepar
Pongok kondisinya cukup baik bahkan
masuk kategori sangat baik. Seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk
berikut dengan aktivitasnya di daerah
pesisir maupun laut, seperti aktivitas
penangkapan ikan dan penambangan
timah, maka kondisi terumbu karang perlu
dimonitor kembali untuk mengetahui
kondisi terkini yang merupakan hasil dari
perubahan dari kondisi lingkungan yang
terjadi
selama
beberapa
tahun
terakhir.Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi umum mengenai
kondisi terumbu karang dan distribusinya
di perairan Bangka. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi dasar untuk

274

pengelolaan wilayah pesisir. Perencanaan


pembangunan di wilayah pesisir tersebut
diharapkan tidak membawa dampak yang
lebih buruk terhadap ekosistem perairan
disekitarnya.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada Bulan
September
dan
November
2010.
Penelitian dilakukan di perairan Bangka
Selatan dan Bangka Barat. Pengamatan
dilakukan pada 10 titik (Stasiun 1 dan 2 di
Bangka Selatan; Stasiun 3,4, dan 5 di
Bangka Timur; dan Stasiun 6-10 di
Bangka Barat; Gambar 1). Peralatan yang
digunakan terdiri dari: pita berskala (roll
meter) 100 meter yang berguna sebagai
transek garis; GPS (Global Positioning
System) untuk mengetahui koordinat
lokasi penelitian; alat dasar selam
(masker, snorkel, fins) dan peralatan
SCUBA; alat tulis bawah air dan kamera
digital bawah air.
Pengambilan data di lapangan
dilakukan dengan metode LIT (Line
Intercept Transect), Belt Transect dan
pengamatan bebas (English et al., 1997).
Metode
LIT
digunakan,
karena
merupakan metode yang memiliki
kelebihan akurasi data dapat diperoleh
dengan baik, penyajian struktur komunitas
berupa persentase tutupan karang hidup
dan mati, bentuk substrat, dan keberadaan
biota lain. Transek dilakukan dengan
menarik pita berskala sepanjang 70 meter
sejajar garis pantai pada kedalaman 5-7
meter. LIT dilakukan sepanjang 10 meter
dengan tiga ulangan dan tiap ulangan
memiliki interval 20 meter. Transek
pertama dilakukan pada meter 0-10 meter,
transek kedua pada meter 30-40, dan
transek ketiga pada meter 60-70. Untuk
karang batu, semua biota yang ada
dibawah garis transek diukur panjangnya
dicatat jenisnya sehingga dapat diketahui
indeks keragamannya.Hasil pengukuran
dapat dihitung nilai persentase tutupan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siringoringo dan Hadi

Gambar 1.Lokasi pengamatan karang.


karang hidup. Selanjutnya nilai indeks
keragaman karang (H) dan dominansi (J)
juga dapat diketahui dengan menggunakan
program statistik Primer versi 5.2Untuk
jenis karang batu yang sulit diidentifikasi
di lapangan, sampelnya diambil untuk
diidentifikasi di laboratorium dengan
mengacu pada buku Veron (2000a, b dan
c).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi umum tutupan karang
Pengamatan
karang
dengan
metode LIT telah dilakukan pada 10
stasiun. Dari sepuluh lokasi tersebut, ada 2
lokasi yang sama sekali tidak ditemukan
karang hidup karena daerah tersebut
sangat keruh dan sedimentasi sangat
tinggi yaitu pada Stasiun 1 dan Stasiun 2.
Persentase tutupan karang dapat dilihat
pada Gambar 2. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa persentase tutupan

karang yang paling tinggi berada di


Stasiun 4 dan Stasiun 5. Stasiun-stasiun
tersebut berlokasi di Bangka Tengah dan
Bangka
Selatan,
dimana
kondisi
perairannya masih relatif jernih jika
dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hasil
penelitian Firdaus et. al. (2010),
mendapati bahwa nilai konsentrasi TSS di
P. Bangka cenderung semakin naik kearah
Utara, terutama di Teluk Kelabat (97,5
mgr/l), sedangkan di daerah Bangka
Tengah maupun Bangka Selatan didapati
konsentrasi tertingginya yaitu 36,5 mgr/l.
Persentase tutupan karang dimulai dari
21,33% sampai 76,46% dengan rerata
47,82 % atau dapat dikategorikan
sedang. Meskipun demikian, terlihat
kerusakan karang pada beberapa lokasi
khususnya yang berada dekat dengan
tambang timah pantai. Aktifitas kapal
keruk dan koloni karang yang tertutup
sedimen disajikan pada Gambar 3.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

275

Kondisi dan Distribusi Karang Batu

ST 1 (Sebagin), ST 2 (Tg. Brani), ST 3 (P.Ketawai), ST 4 (Gosong Semujur)


dan ST 5 (P. Dapur), ST 6 (Karang Haji), ST 7 (Tanjung Ular), ST 8 (Tanjung
Pengana), ST 9 (P. Perut), ST 10 (Teluk Limau)
Gambar 2. Persentase tutupan karang hidup pada masing-masing lokasi.

Gambar 3. A) kapal penghisap pasir, B) Favites sp. yang sebagian koloninya tertimbun
sedimen, C) Mycedium elephantotusyang sebagian permukaannya tertutup
oleh sedimen.
Hasil transek persentase kategori
karang dan biota lainnya juga dapat
diperoleh. Komposisi karang hidup terdiri
dari karang Non Acropora dan Acropora,
Persentase tutupan karang Acropora
tertinggi dijumpai di ST 3 hanya sebesar
4,13%. Jenis Acropora merupakan karang
yang rapuh dan sangat sensitif terhadap
kondisi lingkungan. Sebaliknya karang
dengan bentuk massif dan berpolip besar
lebih tahan bahkan bisa mendominasi
pada perairan.Pada tingkat sedimentasi
dan turbiditas yang tinggi, umumnya
karang masif (Porites, Favia, Favites,

276

Galaxea)
mengalami
penurunan
produktivitas, produksi mucus dan
berkurangnya
akumulasi
karbon.
Sedangkan pada karang bercabang
(Acropora), keadaan tersebut dapat
mengakibatkan
penarikan
polip,
meningkatnya produksi mucus dan
pemutihan (Erftemeijer et. al., 2012).
Kategori Si (Lumpur) terlihat hampir
dijumpai bahkan pada stasiun 1 dan 2
tutupannya sangat tinggi yaitu mencapai
100% dan 74,27%. Demikian juga dengan
tutupan TA (Turf Algae) yang hampir
ditemukan di semua lokasi dan paling

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siringoringo dan Hadi

banyak berada di wilayah Bangka Barat


terutama di Stasiun 9 (67,27%)
(Lampiran1).

kategori bentuk pertumbuhan karang


hidup lebih beragam daripada Bangka
Tengah. Hal ini sebagi indikasi bahwa
kondisi lingkungan mendukung untuk
pertumbuhan banyak jenis karang.
Spesies karang yang paling
mendominasi (ranking pertama) yang
memiliki frekwensi kehadiran tertinggi
adalah dari jenis Porites lutea dengan nilai
sebesar 33,3 %, berada pada ST 6.
Kemudian di ikuti oleh stasiun ST.7 yang
didominasi oleh jenis Goniopora lobata
dan stasiun dan ST.3 didominasi oleh
Physogyra lichstenteini (Gambar 3).
Karang-karang
yang
dikategorikan
sebagai
karang
resistant
terhadap
perubahan lingkungan adalah jenis karang
masif, mempunyai jaringan yang tebal
atau sedikit terintegrasi serta mempunyai
pertumbuhan rata-rata yang lambat yaitu
seperti dari jenis Porites, Goniopora,
Galaxea dan Pavona (McClanahan, 2004;
Marshal dan Schuttenberg, 2006). Lebih
lanjut, hasil penelitian James et al. (2005)
mendapati bahwa P. lutea mempu
bertahan pada kondisi lingkungan yang
keruh dan bahkanpertumbuhan radialnya
(3,98 1,32 mm/year) lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis karang masif
yang lain yaitu Montipora sp. (1,75 0,7
mm/year), dan Favia sp (2,86 2,5
mm/year).

3.2. Komposisi dan Keanekaragaman


Jenis Karang Batu
Dari jumlah kehadiran karang
yang ditemukan di sepanjang garis
transek, dapat dihitung nilai indeks
keanekaragaman dan kemerataannya.
Hasilnya disajikan pada Tabel 2. Selain
itu juga dibuat plot k dominansi karang
batu untuk masing-masing stasiun
pengamatan (Gambar 3).
Nilai keanekaragaman karang
tertinggi terdapat di ST 8 dan ST 9 dengan
nilai H > 3. Kisaran indek kemeratan (J)
antara 0.79 (ST.3) 0.94 (ST 5) (Tabel 2).
Nilai J yang tinggi pada ST 5
menunjukkan bahwa dominasi dari jenis
karang tertentu sangat minimal. Hal ini
diduga karena kondisi lingkungan masih
relatif stabil
dimana tambang timah
inkonvensional jarang ditemukan di
Bangka Selatan, selain itu kualitas air
yang dilihat dari konsentrasi Pb, Cd dan
Zn adalah paling rendah diantara daerah
yang lain (Prasetya et. al., 2010)
(Lampiran 1). Hal yang serupa juga
diperoleh dari hasil penelitian Muzaki et
al. (2010) yang mendapati bahwa di
daerah Bangka Selatan mempunyai

Tabel 2. Jumlah jenis (S), jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman(H) dan
kemerataan (J).
Lokasi

J'

H'

ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7

25
22
20
23
20

88
65
34
66
48

0.79
0.87
0.94
0.82
0.88

2.53
2.69
2.81
2.56
2.63

ST.8

36

90

0.87

3.11

ST.9
ST.10

34
29

77
103

0.88
0.86

3.10
2.90

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

277

Kondisi dan Distribusi Karang Batu

Gambar 3. Plot k-dominansi karang batu pada masing-masing lokasi.


Menurut Veron (2000), Physogyra.
Lichstensteini merupakan spesies yang
terdistribusi secara luas dan umum di
jumpai pada lingkungan dengan kondisi
turbiditas yang tinggi. Species ini
mempunyai karakteristik tentakel yang
besar yang keluar terutama pada malam
hari atau kondisi gelap. Adanya tentakel
yang besar ini membantu membersihkan
secara aktif permukaan karang dari
sedimen.
Hasil analisis menggambarkan
bahwa karang batu yang dijumpai
umumnya
didominasi
oleh
jenis
tertentu.Hal ini menggambarkan kondisi
perairan yang kurang baik sehingga hanya
jenis tertentu saja yang dapat tumbuh dan
berkembang.Tanjung Penganak yang
terletak di Bangka Barat (St. 9), kondisi
perairannya sangat keruh. Hasil penelitian
Ambalika et. al. (2010), mendapati bahwa
kondisi terumbu karang di Bangka Barat,
meliputi Pulau Pemula, Tanjung Penganak
dan Jebus, adalah dalam kondisi rusak
(<24,9%) karena sebagian besar ditutupi
lumpur dan banyak ditemukan kapal hisap
timah dan tambang timah konvensional di
daerah tersebut.
Anonim (2011),
melaporkan kurang lebih 21 kapal hisap

278

beroperasi
di
Pantai
Penganak.
Diperkirakan dengan adanya aktivitas
tambang yang terus menerus, ekosistem
terumbu karang di sekitar Tanjung
pengana akan rusak terkubur oleh
sedimentasi. Wolanski and Gibbs (1992)
menyebutkan pada banyak kasus, adanya
aktivitas penambangan atau pengerukan
lepas pantai berkontribusi pada hilangnya
habitat dari terumbu karang, terutama
mengakibatkan penimbunan sedimen yang
melebihi kecepatan tumbuh karang atau
mengakibatkan stress karena banyaknya
kontaminan yang terlarut dalam air. Lebih
lanjut Brown (1997), sedimentasiakan
menghalangi proses fotosintesis sehingga
menurunkan produktivitas zooxanthellae
dan pada akhirnya akan berujung pada
defisit cadangan makanan. Apabila
berlangsung terlalu lama maka akan
berakibat pemutihan.
3.2. Distribusi Jenis Karang
Dari hasil transek maupun koleksi
bebas, diperoleh 89 jenis spesies karang
yang masuk dalam 13 suku. Distribusi
jenis karang pada masing-masing lokasi
disajikan pada Tabel 3.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siringoringo dan Hadi

Tabel 3. Jenis-jenis karang yang ditemukan di Perairan Bangka.


Bangka Timur
No
I
1
II
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
III
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
IV
25
V
26
27
28
29
30
31
32

Suku
Jenis
POCILLOPORIDAE
Pocillopora damicornis
ACROPORIDAE
Acropora millepora
Acropora nobilis
Acropora sp1
Acropora sp2
Acropora sp3
Astreopora
myriophthalma
Montipora informis
Montipora undata
Montipora spumosa
Montipora sp1
Montipora sp2
PORITIDAE
Porites cylindrica
Porites lobata
Porites lutea
Porites nigrescens
Porites rus
Porites solida
Goniopora columna
Goniastrea retiformis
Goniastrea sp
Goniopora lobata
Goniopora sp
Goniopora minor
SIDERASTREIDAE
Psammocora contiqua
AGARICIIDAE
Pachyseris speciosa
Pchyseris rugosa
Pavona cactus
Pavona decussata
Pavona frondivera
Pavona varian
Pavona sp.

ST
ST.3 ST.4 ST.5 6

Bangka Barat
ST ST
7
8
ST9 ST 10

+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+
+
+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+
+
+

+
+

+
+

+
+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+
+

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

+
+
+

279

Kondisi dan Distribusi Karang Batu

VI
33
34
35
36
37
38
VII
39
40
41
VIII
42
43
44
45
IX
46
47
48
49
50
51
52
X
53
54
55
XI
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69

280

FUNGIIDAE
Fungia horrida
Fungia repanda
Fungia sp1
Fungia sp2
Lithopilon undulatum
Ctenacntis echinata
OCULINIDAE
Galaxea astreata
Galaxea fascicularis
Galaxea longisepta
PECTINIIDAE
Mycedium elephantotus
Pectinia paeonia
Pectinia alcicornis
Pectinia lactuca
MUSSIDAE
Acanthastrea echinata
Lobophyllia corimbosa
Lobophyllia hemprichii
Lobophyllia hattai
Lobophyllia sp
Symphyllia radian
Symphyllia sp
MERULINIDAE
Hydnopora rigida
Merulina ampliata
Merulina scabricula
FAVIIDAE
Caulastrea curfata
Favia favus
Favia mathai
Favia sp1
Favia sp2
Favia sp3
Favia sp4
Favites halicora
Favites flexuosa
Favites pentagona
favites sp1
favites sp2
Cyphastrea serailia
Cyphastrea sp

+
+
+

+
+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+
+

+
+

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+

+
+

Siringoringo dan Hadi

70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82

Diploastrea heliopora
Echinopora lamellosa
Leptastrea transversa
Leptastrea purpurea
Oulophyllia sp1
Oulophyllia sp2
Montastrea curta
Montastrea sp
Platygyra daedalea
Platygyra lamellina
Platygira sp.1
Platygira sp.2
Plesiastrea versipora

XIV CARYOPHYLLIIDAE
83 Euphyllia ancora
84 Physogyra lichstentaini
XII
85
86
87
88
XIII
89

DENDROPHYLLIIDAE
Turbinaria frondens
Turbinaria reniformis
Turbinaria sp1
Turbinaria sp.2
HELIOPORIDAE
Heliopora coerulea

+
+
+

+
+

+
+
+
+
+
+

+
+
+
+

+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+

A
B
Gambar 4. Beberapa karang masif yang resistan terhadap kondisi lingkungan dengan
turbiditas tinggi a. Porites lobata; b. Favia mathai.
Terlihat dari Tabel 3 bahwa yang
paling sering dijumpai pada tiap lokasi
adalah kelompok Faviid kemudian
kelompok Poritid (Gambar 4). Kedua
kelompok karang tersebut dikategorikan

sebagai karang masif yang mempunyai


tingkat toleransi yang tinggi terhadap
sedimentasi dan mampu beraklimatisasi
dengan baik di kondisi heterotroph
(Sanders and Szabo, 2005). Pada karang-

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

281

Kondisi dan Distribusi Karang Batu

karang masif, jaringan yang nekrosis


akibat sedimen hanya terbatas pada area
yang datar dan cekungan, sedangkan area
yang lain akan tetap hidup (Hodgson,
1990). Porites memanfaatkan gerakan
silia untuk membersihkan permukaan dari
sedimen atau memanfaatkan arus untuk
membersihkan sedimen di permukaanpermukaan yang cembung dan datar
(Stafford-Smith,
1993)
Sedangkan
golongan Favidae mempunyai tentakeltentakel yang panjang sehingga memungkinkan untuk dapat membersihkan
permukaan secara aktif dari sedimen
(Todd et al., 2001).
Karang jenis Acropora terlihat
hanya
tersebar
dibeberapa
lokasi
saja.Karang Acropora termasuk jenis fastgrowing corals yang sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan. Menurut
Wesseling et al. (1999), apabila dalam
kondisi arus yang lemah, Acropora
menjadi sangat intolerant terhadap
penutupan sedimen dan akan menderita
kematian yang tidak dapat balik apabila
sedimentasi mengubur keseluruhan karang
dan hal ini berbeda dengan karang jenis
Poritesyang mampu melakukan recovery
meskipun telah terkubur keseluruhan
selama 3 hari.
IV. KESIMPULAN
Secara umum kondisi terumbu
karang di wilayah Bangka bagian timur
lebih baik daripada di Bangka Barat dan
Selatan. Persentase tutupan karang
berkisar antara 21,33% sampai 76,46%
dengan rerata 47,82% (dapat dikategorikan dalam kondisi sedang). Ditemukan
sebanyak 89 jenis karang batu yang
terbagi kedalam 13 suku. Jenis karang
yang paling dominan yaitu karang masif
terutama Porites lutea yaitu mencapai
33,3%. Kelompok karang masif (Poritiid
dan Faviid) lebih banyak dijumpai
terutama pada perairan keruh dibandingkan dengan kelompok Acroporoid.

282

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Amdal kapal isap di
Bangka tidak jelas. http://ahok.org/
berita/amdal-kapal-isap-timah-dibangka-tidak-jelas/. [Diakses pada
tanggal 30 Agustus 2013].
Ambalika, I., K. Muslih, H. Sodikin,
Hanafi, J. Aqobah, S. Jurana, R.
Kurnia, E. Chandra, D. Septiawan
dan Herpin. 2010. Eksplorasi
terumbu karang (laporan tahunan
2010).
Universitas
Bangka
Belitung, Bangka. 14hlm.
Burke, L., E. Selig, and M. Spalding.
2002. Reefs at risk in southeast
Asia. World Resources Institute.
72p.
Brown, B.E. 1997. Coral bleaching:
causes and consequences. Coral
Reef, 16:129-138.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker
(ed.). 1994. Survei Manual for
tropical marine research. SEANAustralia marine science project.
Australian Institute of Marine
Science.Townsville. 390p.
Erftemeijer, P. L.A., B. Riegl, B.W.
Hoeksema and P.A. Todd. 2012.
Environmental
impacts
of
dredging and other sediment
disturbances on corals: a review.
Marine
Pollution
Bulletin,
64:1737-1765.
Firdaus, F. R., R. Hardika, D. Syahputra,
R. Oktavian dan Helfinalis. 2010.
Karakteristik endapan sedimen
laut total suspended solid (TSS) di
perairan Bangka. Dalam: R.
Nuchsin (ed.). Perairan Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung
sumber daya laut dan osenaografi.
LIPI Press, Jakarta. 125-135pp.
Hodgson, G. 1990. Tetraclyne reduces
sedimentation damage to corals.
Mar Biol., 104:493-496.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siringoringo dan Hadi

James, M., C. Crable and J. Smith. 2005.


Sediment impacts on growth rates
of acropora and porites corals from
fringing reefs of Sulawesi,
Indonesia. Coral reef, 24:437-441.
Marshall, P. and H. Schuttenberg. 2006. A
reef manager's guide to coral
bleaching. Great Barrier Reef
Marine Park , Townsville. 178 pp.
McClanahan, T.R. 2004. The relationship
between bleaching and mortality
of common corals. Marine
Biology, 144: 1239-1245.
Muzaki, F.M., F. Muhajir, G. Ariyanto, R.
Rimayanti dan R. M. Siringoringo.
2010. Kondisi terumbu karang di
perairan Kabupaten Bangka Barat,
Bangka Tengah dan Bangka
Selatan. Dalam: R. Nuchsin (ed.).
Perairan
Provinsi
Kepulauan
Bangka Belitung sumber daya laut
dan osenaografi. LIPI Press,
Jakarta. 16-29hlm.
Prasetya, N.B.A., W. Aulia, A. Syahbana,
dan E. Kewe. 2010. Pemantauan
kadar logam berat Pb, Cd, Cu, Zn
dan Ni dalam air laut dan sedimen
di Perairan Pulau Bangka. Dalam:
R. Nuchsin (ed.). Perairan Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung
sumber daya laut dan osenaografi.
LIPI Press, Jakarta. 136-151hlm.
Sanders, D. and R.C.B. Szabo. 2005.
Scleractinian assemblages under
sediment input: their characteristics and relation to the nutrient
input concept. Palaeogeography,
Palaeoclimatology,
Palaeoecology, 216:139-181.
Siringoringo,
R.M.,
Giyanto,
A.
Budiyanto, dan H. Sugiarto. 2006.
Komposisi dan persentase tutupan
karang batu di perairan LeparPongok,
Bangka
Selatan.
Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia, 41:7184.

Stafford-Smith, M.G. 1993. Sedimentrejection efficiency of 22 species


of Australian scleractinian corals.
Mar Biol., 115:229-243.
Todd, P.A., P.G. Sanderson, and L.M.
Chou.
2001.
Morphological
variation in the polyps of the
scleractinian coral Favia speciosa
(Dana)
around
Singapore.
Hydrobiologia, 444:227-235.
Veron, J.E.N. 2000a. Corals of the world.
Vol 1. Australian Institute of
Marine Scinces, Townsville. 463p.
Veron, J.E.N. 2000b. Corals of the
world.Vol 2. Australian Institute of
Marine Scinces, Townsville. 429p.
Wesseling, I., A.J. Uychiaoco, P. Alino,
T. Aurin, J.E. Vermaat. 1999.
Damage and recovery of four
Philippine corals from short-term
sediment burial. Mar. Ecol. Prog.
Ser., 176:11-15.
Wolanski, E. and R. Gibbs. 1992.
Resuspension and clearing of
dredge spoils after dredging,
Cleveland Bay, Australia. Water
Environment Research, 64:910914.
Wu, S.H. and W.J. Zhang. 2012. Current
status, crisis and conservation of
coral reef ecosystem in China. In
Proceedings of the International
Academy
of
Ecology
and
Environmental
Sciences.
Hongkong. March 2012. Hlm.:111.
Zulkifli, H. Elizal, W. Endang, Z. Dahlan,
Kannedy dan Harmida. 2000.
Kondisi terumbu karang di
perairan Pulau Bangka, Propinsi
Sumatra
Selatan.
Dalam:
Prosiding
SEMIRATA
2000
Bidang MIPA BKS-PTN Wilayah
Barat FMIPA Universitas Riau.
Pekanbaru. 8-9 Mei 2000,
Hlm.:19-34.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

283

Kondisi dan Distribusi Karang Batu

Diterima : 11 April 2013


Direvisi : 30 April 2013
Disetujui : 3 September 2013

284

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siringoringo dan Hadi

Lampiran 1. Persentase tutupan masing-masing kategori bentik

Live coral
Acropora
Non
Acropora
DC
DCA
HA
MA
OT
R
S
SC
SI
SP
TA

Bangka Selatan
Bangka Barat
ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 ST.5 ST.6 ST.7 ST.8 ST.9 ST.10
0
0 64.66 76.46 27.4 53.67 39.13 44.40 21.33 55.47
0
0 4.13 2.03
0 0.00 0.00 0.00 1.17
3.83
0
0 60.53 74.43 27.4 53.67 39.13 44.40 20.17
0
0 0.00 0.00 0.40 0.00 0.00 0.17 0.00
0
0 1.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0
0 0.00 0.00 1.10 0.33 0.00 0.00 0.00
0
0 0.00 7.07 1.77 0.00 3.57 3.93 0.77
0 10.40 0.40 2.13 4.80 3.13 0.67 0.67 0.00
0 0.00 0.50 0.00 0.00 4.33 0.00 0.00 0.60
0 2.00 0.00 4.53 24.20 6.17 2.43 0.67 3.20
0 0.00 0.00 0.00 1.47 0.00 0.00 0.00 0.00
100 74.27 15.57 1.93 7.30 1.70 17.83 0.00 6.63
0 4.93 5.90 0.40 2.33 0.00 0.53 3.57 0.20
0 8.40 11.93 7.47 29.23 30.67 35.83 46.60 67.27

51.63
0.00
0.00
6.53
0.00
0.33
0.00
0.00
0.00
0.00
0.50
37.17

Lampiran 2. Status mutu air laut di perairan Bangka (Prasetyaet. al., 2010)
No

Unsur

Min

Max

Rerata

Pb (Selatan)
Pb (Timur)
Pb (Utara)
Cd (Selatan)
Cd (Timur)
Cd (Utara)
Cu (Selatan)
Cu (Timur)
Cu (Utara)
Ni (Selatan)
Ni (Timur)
Ni (Utara)
Zn (Selatan)
Zn (Timur)
Zn (Utara)
Total skor

0.001
0.001
0.001
<0.001
0.001
<0.001
0.001
0.001
<0.001
0.001
0.001
<0.001
<0.001
<0.001
<0.001

0.003
0.003
0.002
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
<0.001
<0.001
<0.001

0.0018
0.002
0.0019
0.0005
0.001
0.0009
0.001
0.001
0.0009
0.001
0.001
0.0009
<0.001
<0.001
<0.001

NAB*(KMBLH, Skor
04)
0.008
0

0.001

0.008

0.050

0.050

*Nilai Ambang Batas

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

285

286

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 287-297, Desember 2013

CHEMICAL COMPOSITION AND ANTIOXIDANT ACTIVITY OF


TROPICAL BROWN ALGAE Padina australis FROM PRAMUKA ISLAND,
DISTRICT OF SERIBU ISLAND, INDONESIA
1

Joko Santoso1*, Fitriany Podungge1, and Heru Sumaryanto1


Department of Aquatic Products Technology, Faculty of Fisheries and Marine
Sciences, Bogor Agricultural University, Bogor.
*
E-mail: jsantoso@ipb.ac.id

Abstract
The proximate composition, dietary fiber, and total phenol contents as well as
antioxidant activity of tropical brown alga Padina australis collected from the Pramuka
Island, District of Seribu Island, Indonesia during the rainy season of 2011 were
determined in order to evaluate their potential nutritional value and activity of natural
antioxidant compound. The content of ash, protein, and fat were 22.26, 10.76, and 4.17
g/100 g dry matter, respectively; whereas the amounts of soluble, insoluble, and total
dietary fibers were 8.4, 5.4, and 13.8 g/100 g, respectively. Methanol extract of P.
australis contained the highest total phenol of 246.1 mg GAE/1000 g dry sample. The
extract also had the highest activity on DPPH radical scavenging, measured by IC50 of
267.1 ppm. Both the total phenol and IC50 value extracts decreased in the following
order: methanol > ethyl acetate > n-hexane.
Keywords: antioxidant, dietary fiber, DPPH-scavenging, Padina australis, proximate
composition
I. INTRODUCTION
Seaweeds or marine macroalgae
are potential renewable resource in the
marine environment.
Approximately
6000 species of seaweeds in the world
have been identified and are grouped into
different classes i.e. green (Chlorophytes),
brown
(Phaeophytes)
and
red
(Rhodophytes) algae (Devi et al., 2011).
Indonesia as an archipelagic country has a
large number of seaweeds.
Siboga
expedition (1899-1900) succeeded to
collect 555 species of seaweeds from
Indonesian territorial waters, and among
them, around 20-30 have been utilized by
local people as foodstuff or traditional
medicine (Mubarak et al., 1991).
From foodstuff viewpoint, seaweeds become an important part of the
diet of many Asian countries, such as
Japan, China, and Korea. Japan particularly, is the most important seaweed

consumer (Arasaki and Arasaki, 1983;


Nisizawa et al., 1987; Nisizawa, 2002).
Seaweeds are the richest source of
minerals (Ruperez, 2000; Norziah and
Ching, 2000; Santoso et al., 2006) and
rich in dietary fibers contents (Wong and
Cheung 2000, Santoso et al., 2002;
Benjama and Masniyom, 2012). Seaweeds
also contain fat and protein in low
concentration (Wong and Cheung, 2000;
Snshez-Machado et al., 2004; Denis et
al., 2010). Moreover, seaweeds contain a
wide range of bioactive compounds
mainly polyphenols with potential
antioxidant activity.
Several
studies
have
been
conducted and revealed that extract of
green, brown, and red seaweeds had
antioxidant activities, measured by several
markers such as peroxide value, chelating
ion metal, and scavenging of radical
(Santoso et al., 2004a; 2010; Devi et al.,

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

287

Chemical Composition and Antioxidant Activity...

2011; OSullivan et al., 2011; Meenakshi


et al., 2012). Polyphenols derived from
seaweeds may be more potent than
analogous polyphenols derived from
terrestrial plant sources due to presence of
up to eight interconnected phenol rings
(Hemat, 2007). In addition, bioactive
compounds identified in seaweeds
including alkaloids, terpenes, ascorbic
acid, tocopherols, carotenoids and
phlorotannins
have
demonstrated
antioxidant activity within in vitro studies
(Hu et al., 2008; Heo et al., 2009; Li et
al., 2011).
The nutrient compositions and
bioactive compounds of seaweeds vary
according to the species, maturity,
environmental growth condition, and
seasonal period (Ito and Hori, 1989;
Mabeau and Fluerence, 1993; Ortiz et al.,
2006). In addition, the changes in
ecological condition have an influence on
the synthesis of nutrient and non-nutrient
compounds,
including
antioxidant
compound (Stengel et al., 2011; Benjama
and Masniyom, 2012).
Seaweeds grown in the tropical
climate such as Indonesia are exposed to
high level of light, temperature and
desiccation that can lead to increase in
producing reactive radical species. In
order to survive, seaweeds may produce
some bioactive compounds and may
change the content of nutrient and nonnutrient. In this study, tropical brown alga
P. australis were collected from the coast
of Pramuka Island, Seribu Islands District,
Indonesia, during a rainy season.
The objectives of the study were to
measure the proximate composition and
dietary fiber profile, to determine the
phenolic content of tropical brown alga P.
australis extracted in different solvent,
and to evaluate the function of seaweed
components as an antioxidant source
through analysis of radical-scavenging
activity.

288

II. METHODS
2.1. Location and Sampling
Preparation
Fresh tropical brown alga P.
australis samples were collected in
February 2011 from the intertidal region
of Pramuka Island, Seribu Island District,
Indonesia (Figure 1). Immediately the
samples were placed in plastic bags
containing sea water in order to prevent
evaporation and transported to the
laboratory under refrigerated condition.
Then, the plant was washed thoroughly
with tap water to remove all sand
particles, epiphytes and other impurities.
The samples were divided into two
groups, specifically fresh and dried
samples for the analysis of the proximate
composition and the content of dietary
fibers, and for extraction of antioxidant
compound, respectively. Dried sample
forms were obtained after being dried
using sun rays for two days and grounded
in an electric mixer. The powder sample
was then stored in refrigerator for further
use.
2.2. P. australis Extracts
The procedure of extraction was
conducted according to the previous
research conducted by Santoso et al.
(2010) with slightly modification. The
powder of P. australis was macerated in
each solvent i.e., methanol, ethyl acetate,
or n-hexane at a ratio of 1:16 (w/v) for 48
h under dark condition.
Then the
extraction was filtered through glass
funnel and Whatman no. 42 filter paper.
Each filtrate was concentrated to dryness
under reduced pressure at temperature of
40 oC using a rotary flash evaporator until
become paste. Each crude extract in paste
form was filled up by nitrogen gas to
prevent
decomposition
of
active
compound inside, then was kept at -20 oC
until analysis.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Santoso et al.

Figure 1. The map of research site in Pramuka Island, Seribu Island District
2.3. Proximate Analysis
The proximate analysis consisted of
moisture, ash, fat and protein were
carried out according to the procedures of
the Association of Official Analytical
Chemists (AOAC, 1995). The content of
carbohydrate
was
calculated
by
subtracting the weights of moisture, ash,
fat and protein from 100 g sample.
2.4. Determination of Dietary Fiber
Contents
Insoluble and soluble dietary fibers
were determined according to an
enzymatic-gravimetric method referred to
the research conducted by Suzuki et al.
(1996) and Santoso (2003).
Water
insoluble dietary fiber was obtained after
boiling in water with pancreatin enzyme
and phosphate buffer, filtered off by a
glass fiber filter with ethanol and acetone.
Water soluble dietary fiber was
precipitated from the filtrate using
ethanol. The final corrected amounts of
both dietary fibers were calculated by
subtracting the weights of ash and protein
from the each fiber precipitate; while the

total dietary fiber was calculated by


summing the contents of insoluble and
soluble dietary fibers.
2.5. Determination of Total Phenolic
Contents
Total phenolic contents of each
crude extracts from P. australis were
determined by spectrophotometry using
Follin-Ciocalteu reagents (Yangthong et
al., 2009). Each extract of P. australis
was diluted with ethanol, added with
distillated water and Follin-Ciocalteu
reagents. The mixture was allowed to
stand for 5 min and added with sodium
carbonate. Homogenized mixture was
then incubated in the dark room for one
hour.
The resulting absorbance was
measured by a spectrophotometer (UV1200
UV-VIS
Spectrophotometer,
Shimadzu, Kyoto, Japan) at a wavelength
of 725 nm.
Phenolic content was
expressed in milligram per gram of dry
weight samples based on a standard curve
of gallic acid (GA), which was expressed
as milligrams per 1000 gram of gallic acid
equivalent (GAE).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

289

Chemical Composition and Antioxidant Activity...

2.6. DPPH Radical-Scavenging Activity


Antioxidant activity assay was
conducted through the ability of the
sample on reducing the stable free radical
DPPH according to the method described
by Aranda et al. (2009) with minor
modifications. Each crude extract was
weighed and then was added to ethanol
with a ratio of 1:1000. Extracts with
several concentrations with the addition of
DPPH solution were loaded into the
micro-well plate. The mixture was
homogenized and incubated at 37 C for
30 minutes. The resulting absorbance was
measured by a microplate reader
(Microplate Reader 168-1130, Biorad,
California USA) at a wavelength of 517
nm. Regression equation was obtained
from the relationship between sample
concentration and percentage inhibition of
free radical activity.
2.7. Statistical Analysis
All the data were presented as
mean standard deviations. Statistical
analyses were performed using students t
test and one-way analysis of variance.
Multiple comparisons of means were
conducted using the least significance
difference (LSD) test. All computations
were done by employing the statistical
software (SPSS version 16).
III. RESULTS AND DISCUSSION
3.1. Proximate Composition and
Dietary Fiber Contents
The fresh alga sample contained
moisture,
ash,
protein,
fat
and
carbohydrate of 90.56 g/100 fresh weight,
2.11 g/100 fresh weight, 1.02 g/100 fresh
weight, 0.40 g/100 fresh weight and 5.90
g/100 fresh weight, respectively (Table 1).
After converting them to 100 g dry matter
samples, their content were shown to be

290

high. Among three nutrient compounds,


ash (mineral) became the highest content
in compared to protein and fat. In our
previous research, we determined the
proximate composition of fresh P.
australis collected in dry season. The
content of ash, protein and fat were 32.54,
8.97 and 4.73 g/100 g dry matter,
respectively (Santoso et al., 2006). The
content of ash was higher in dry season,
whereas the content of protein was higher
in rainy season. The content of fat both in
rainy and dry season was almost same.
Benjama and Masniyom (2012) reported
that the high ash content of G. fisheri and
G. tenuisipitata also was found in summer
season, whereas the protein content was
found high in rainy season. However, the
high fat content of G. fisheri and G.
tenuisipitata were found in summer and
rainy seasons, respectively. These levels
varied depending on the species,
environmental growth condition and
seasonal period (Ito and Hori, 1989;
Mabeau and Fluerence, 1993; Ortiz et al.,
2006).
Dietary fibers belong to the nonnutritional compounds as an important
dietary constituent, which possesses a
wide range of positive properties
(Leontowicz et al., 2001). In this study,
the amounts of soluble, insoluble and total
dietary fibers of 8.4, 5.4 and 13.8 g/100 g
fresh weight, respectively (Figure 2). The
content of total dietary fiber of brown
algae P. australis, Sargassum polycystum
and Turbinaria conoides were 9.6, 10.1
and 9.5 g/100 g fresh weight, respectively
(Santoso et al., 2006). However, G.
fisheri contained total dietary fiber of 57.5
- 64.0 g/100 g dry weight and G.
tenuisipitata had total dietary fiber of 56.6
60.2 g/100 g dry weight (Benjama and
Masniyom, 2012).

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Santoso et al.

Table 1. Proximate composition of fresh brown alga P. australis


Composition
Moisture
Ash
Protein
Fat
Carbohydrate (by difference)

Values (g/100 g)
Fresh weight
Dry matter
90.56 0.16
2.11 0.17
22.26 1.98
1.02 0.04
10.76 0.54
0.40 0.01
4.17 0.04
5.90 0.37
62.21 3.34

Figure 2. The contents of soluble, insoluble and total dietary fiber of P. australis
The ratio of soluble dietary fiber
and insoluble dietary fiber of P. australis
was 1.6. This value was higher in
compared to red algae G. fisheri (0.39 0.42) and G. tenuisipitata (0.35 0.45)
(Benjama and Masniyom 2012), since the
genus Gracilaria has high content of
soluble dietary fiber as sulphated
galactants (Wong and Cheung 2000).
Different with dietary fiber from
terrestrial plants, dietary fibers in
seaweeds contain some acidic group such
as sulphuric group; therefore they have
different
characteristics
in
physicochemical
and
physiological
effects, such as water holding capacity
(Suzuki et al., 1996; Wong and Cheung,
2000), oil holding capacity (Wong and
Cheung, 2000), swelling capacity (Wong
and Cheung, 2000), binding of vitamins

and minerals (Yoshie et al., 2000),


binding of bile salts (Wang et al., 2001),
and lipid metabolism effect (Wang et al.,
2002).
3.2. Total Phenol Contents
Phenolic
compounds
were
commonly found in plants and have been
reported to have several biological
activities including potential antioxidants
and free radical scavengers apart from
primary defense role (Soobratte et al.,
2005). Methanol extract of P. australis
contained the highest total phenol of 246.1
mg GAE/1000 g dry sample, followed by
extract of ethyl acetate and n-hexane with
values were 90.17 mg and 17.3 mg
GAE/1000 g dry sample, respectively
(Figure 3).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

291

Chemical Composition and Antioxidant Activity...

Figure 3. Total phenol content of each extract of P. australis. Letters over each
column in the graph not sharing the same are significantly different (p<0.05)
Compared to ethanol extract of
brown alga Sargassum pallidum, the total
phenol content was higher than P.
australis in spite of different standard and
extraction method. Fractionated ethanol
extract of S. pallidum with chloroform,
ethyl acetate and n-buthanol contained the
total phenol of 1.80, 11.54 and 12.12 mg
CHA/g extract (CHA = chlorogenic acid)
(Ye et al., 2009). The levels of phenols in
the methanol extract of brown algae
ranged from 1.5 mg GAE/g dry weight in
Laminaria hyperborea to 4.5 mg
GAE/gdry weight in Ascophyllum
nodosum (OSullivan et al., 2011).
Ganesan et al. (2008) observed methanol
extract of red seaweeds Eucheuma
cottonii and Gracilaria edulis contained
total phenol of 1.5 and 4.1 mg GAE/g dry
weight, respectively. Chandini et al.
(2008) on the other hand observed lower
levels of phenols in the aqueous fractions
of Sargassum marginatum and Turbinaria
conoides which contained of 0.29 and
0.86 mg GAE/g on a dry weight basis,
respectively.
Furthermore,
methanol
extract of T. conoides contained total
phenol of 1.23 mg GAE/g (Devi et al.,
2011). Chew et al. (2008) reported that

292

phenol
content
can
vary
quite
considerably depending on the variety of
seaweed.
3.3. DPPH Radical-Scavenging Activity
Methanol extracts of P. australis
had stronger ability to scavenge DPPH
radical in compared to others (Figure 4).
IC50 value is defined as the concentration
of substrate that can reduce 50% activity
of DPPH radical. The IC50 value results
decreased in the following order:
methanol > ethyl acetate > n-hexane; with
values were 267.1, 1160.2 and 1629.5
ppm, respectively.
The effects of antioxidants on
DPPH radical scavenging is thought to be
due to hydrogen donating ability. When a
DPPH solution is mixed with a substrate
as hydrogen atom donor, a stable nonradical form of DPPH is obtained with
simultaneous change of the violet color to
pale yellow (Molyneux, 2004). Hence,
DPPH has been used extensively as a free
radical to evaluate reducing substances
and is a useful reagent for investigating
the free radical scavenging activities of
compound (Duan et al., 2006).

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Santoso et al.

Figure 4. DPPH radical-scavenging activity of each extract of P. australis measured


by IC50. Letters over each column in the graph not sharing the same are
significantly different (p<0.05)
Based on IC50 value, the
antioxidant compound are classified as
follows: very powerful antioxidant when
the IC50 values less than 0.05 mg/mL,
strong antioxidant if the value of IC50
between 0.005 to 0.10 mg/mL,
intermediate and weak when the IC50
values ranged from 0.10 to 0.15 mg/mL
and from 0.15 to 0.20 mg/mL,
respectively
(Molyneux,
2004).
According to the classification, the highest
value of methanol extract belongs to weak
activity.
There was a positive correlation
between total phenol content and
antioxidant activity determined by DPPH
radical scavenging. Devi et al. (2011)
reported that methanol extract of T.
conoides contained the highest number of
phenolic compound, exhibited higher
radical scavenging activity. Similar result
was reported by OSullivan et al. (2011)
that methanol extract of A. nodosum had
total phenol content of 4.5 mg GAE/g dry
weight also had highest activity on DPPHradical scavenging of 25%. In contrary
methanol extract of Fucus vesiculosus

only contained total phenol of 2.5 mg


GAE/g dry weight; however, it had
highest activity on reducing a ferric
oxidant to a ferrous complex by electrontransfer with value was 109.8 M ascorbic
acid.
Bioactive compounds identified in
seaweeds including alkaloids, terpenes,
ascorbic acid, tocopherols, carotenoids,
and phlorotannins (Hu et al., 2008; Heo et
al., 2009; Li et al., 2011). The antioxidant
activity of polyphenols depends on their
nature
(i.e.
phenolic
acids,
hydroxycinnamic acids, flavonoids, etc.)
and chemical structure (mono or
dihydroxylation, etc.) (Cuvelier et al.,
1992; Pulido et al., 2000). Furthermore,
Santoso (2003) and Santoso et al. (2004b)
succeeded to identify several active
compounds from seaweed namely
gallocatechin, epigallocatechin, catechin,
epicatechin, epigallocatechin gallate,
gallocatechin gallate, epicatechin gallate,
catechin gallate, and catechol.
There are different mechanisms of
the antioxidant defense system, i.e. (1)
scavenging of oxygen and hydroxyl

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

293

Chemical Composition and Antioxidant Activity...

radicals, (2) reduction of lipid peroxyl


radical,
(3)
inhibition
of
lipid
peroxidation, or (4) chelation of metal
ions (Pulido et al., 2000). Therefore, the
different results are often come out
depend on the method which usedas a
marker.
IV. CONCLUSION
Brown alga P. australis contained
highly nutritional compound namely
mineral. Brown alga P. australis also
could be a source of natural antioxidant
compounds. However, it is remaining to
study on activities related to the
fractionation,
purification
and
identification of components.
REFERENCES
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official
method of analysis of the
Association of Official Analytical
of Chemist. The Association of
Official
Analytical
Chemist.
Washington, D.C. 1899p.
Aranda, R.S., L.A.P. Lopez, J.L. Arroyo,
B.A.A. Garza, and N.W. Torres.
2009. Antimicrobial and antioxidant activities of plants from
northeast of Mexico. EvidenceBased Complement Alternative
Medicine, 2011:1-6.
Arasaki, S. and T. Arasaki. 1983. Low
calorie, high nutrition, vegetables
from the sea, to help you look and
feel better. Japan Publication Inc.,
Japan. 196p.
Benjama, O. and P. Masniyom. 2012.
Biochemical composition and
physicochemical properties of two
red seaweeds (Gracilaria fisheri
and G. tenuistipitata) from the
Pattani Bay in Southern Thailand.

294

Songklanarin J. of Science and


Technology, 34(2):223-230.
Chandini, S.K., P. Ganesan, and N.
Bhaskar. 2008. In vitro antioxidant
activities of three selected brown
seaweeds
of
India.
Food
Chemistry, 107:707-713.
Chew, Y.L., Y.Y. Lim, M. Omar, and
K.S. Khoo. 2008. Antioxidant
activity of three edible seaweeds
from two areas in south east Asia.
LWT Food Science and Technology, 41:1067-1072.
Cuvelier, M.E., H. Richard, and C. Berset.
1992. Comparison of the antioxidative activity of some acidphenols: structure-activity relationship. Bioscience Biotechnology
and Biochemistry, 56:324-325.
Denis, C., M. Morancais, M. Li, E.
Deniaud, P. Gaudin, G. WielgoszCollin, G. Barnathan, P. Jaouen,
and J. Fluerence. 2010. Study of
the chemical composition of edible
red
macroalga
Grateloupia
turuturu from Brittany (France).
Food Chemistry, 119:913-917.
Devi, G.K., K. Manivannan, G.
Thirumaran, F.A.A. Rajathi, and P.
Anantharaman.
2011. In vitro
antioxidant activities of selected
seaweeds from southeast coast of
India. Asian Pacific J. of Tropical
Medicine, 205-211.
Duan, X.J., W.W. Zhang, X.M. Li, and
B.G. Wang. 2006. Evaluation of
antioxidant property of extract and
fractions obtained from a red alga,
Plysiphonia urceolata.
Food
Chemistry, 95:37-43.
Ganesan, P., C.S. Kumar, and N. Bhaskar.
2008. Antioxidant properties of
methanol extract and its solvent
fractions obtained from selected
Indian red seaweeds. Bioresource
Technology, 99:2717-2723.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Santoso et al.

Hemat, R.A.S. 2007. In fat and muscle


dysfunction. In: Hemat RAS (ed.).
Andropathy. Dublin,
Ireland:
Urotext. pp. 83-85.
Heo, S.J., S.C. Ko, S.H. Cha, D.H. Kang,
H.S. Park, and Y.U. Choi. 2009.
Effect of phlorotannins isolated
from Ecklonia cava on melanogenesis and their protective effect
against photo-oxidative stress
induced by UV-B radiation.
Toxicology in Vitro, 23:1123-1130.
Hu, C.C., J.T. Lin, F.J. Lu, F.P. Chou, and
D.J. Yang. 2008. Determination of
carotenoids in Dunaliella salina
cultivated
in
Taiwan
and
antioxidant capacity of the algal
carotenoid extract. Food Chemistry, 109:439-446.
Ito, K. and K. Hori. 1989. Seaweed:
Chemical
composition
and
potential food uses. Food Reviews
International, 5:101-144.
Leontowicz, M., S. Gorinstein, E.
Bartnikowska, H. Leontowicz, G.
Kulasek, and S. Trakhtenberg.
2001. Sugar beet pulp and apple
pomace dietary fibers improve
lipid metabolism in rats fed
cholesterol.
Food
Chemistry,
72:73-78.
Li, Y.X., I. Wijesekara, Y. Li, and S.K.
Kim. 2011. Phlorotannins as
bioactive agents from brown algae.
Process Biochemistry, 46:22192224.
Mabeau, S. and J. Fluerence. 1993.
Seaweeds in food products:
biochemical
and
nutritional
aspects. Trends in Food Science
and Technology, 4:103-107.
Meenakshi, S., S. Umayaparvathi, M.
Arumugam, and T. Balasubramanian. 2012. In vitro antioxidant properties and FTIR analysis
of two seaweeds of Gulf of
Mannar.
Asian Pacific J. of
Tropical Biomedicine, 66-70.

Molyneux, P. 2004.The use of the stable


free
radical
diphenylpicrylhydrazil (DPPH) for estimating
antioxidant activity. Songklanarin
J. of Science and Technology,
26(2):211-219.
Mubarak, H., Sulistyo, W.S. Atmadja,and
Y. Soselisa. 1991. Distribution and
potency resources of seaweeds. In:
Martosubroto, P., N. Naamin, and
B.B.A Malik (eds.). Distribution
and potency of fish resources in
Indonesian water.
Direktorat
Jenderal Perikanan, Puslitbang
Perikanan, Puslitbang Oseanologi
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia, Jakarta. 95-105pp. (in
Indonesian).
Nisizawa, K., H. Noda, R. Kikuchi, and T.
Watanabe.
1987.
The main
seaweeds in Japan. Hydrobiologia, 151/152:5-29.
Nisizawa, K. 2002. Seaweeds kaiso.
Bountiful harvest from the seas.
Sustenance for health and well
being by preventing common lifestyle related diseases.
Japan
Seaweed Association, Kochi.
105p.
Norziah, M.H. and C.Y. Ching. 2000.
Nutritional composition of edible
seaweed
Gracilaria
changgi.
Food Chemistry, 68:69-76.
Ortiz, J., N. Romero, P. Robert, I. Araya,
J. Lpez-Hernndez, C.E. Bozzo,
C.E. Navarrete, A. Osorio, and A.
Rios. 2006. Dietary fiber, amino
acid, fatty acid and tocopherol
contents of the edible seaweeds
Ulva lactuca and Durvillaea
antartica. Food Chemistry, 99:
98-104.
OSullivan, A.M., Y.C. OCallaghan,
M.N. OGrady, B. Queguineur, D.
Hanniffy, D.J. Troy, J.P. Kerry,
and N.M. OBrien. 2011. In vitro
and cellular antioxidant activities
of seaweed extracts prepared from

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

295

Chemical Composition and Antioxidant Activity...

five brown seaweeds harvested in


spring from the west coast of
Ireland. Food Chemistry, 126:
1064-1070.
Pulido, R., L. Bravo, and F. SauraCalixto. 2000. Antioxidant activity
of
dietary
polyphenols
as
determined by a modified ferric
reducing/antioxidant power assay.
J. of Agricultural Food Chemistry,
48:3396-3402.
Ruperez, P. 2000. Mineral content of
edible marine seaweeds. Food
Chemistry, 79:23-26.
Snchez-Machado, D.I., J. LpezCervantes, J. Lpez-Hernndez,
and P. Pasiero-Losada.
2004.
Fatty acid, total lipid, protein and
ash contents of processed edible
seaweeds.
Food Chemistry,
85:439-444.
Santoso, J., Y. Yoshie, and T. Suzuki.
2002. The distribution and profile
of nutrients and catechins of some
Indonesian seaweeds. Fisheries
Science, 68 (suppl):1647-1648.
Santoso, J. 2003. Studies on nutritional
components
and
antioxidant
activity in several Indonesian
seaweeds. Disertation. Tokyo
University of Fisheries, Tokyo.
119p.
Santoso, J., Y. Yoshie, and T. Suzuki.
2004a. Antioxidant activity of
methanol extracts from Indonesian
seaweeds in an oil emulsion
model. Fisheries Science, 70:183188.
Santoso, J., Y. Yoshie, and T. Suzuki.
2004b. Polyphenolic compounds
from seaweeds: distribution and
their
antioxidative
effects.
Development in Food, 42:169-177.
Santoso, J., S. Gunji, Y. Yoshie-Stark, and
T. Suzuki. 2006. Mineral content
of Indonesian seaweeds and
mineral solubility affected by basic

296

cooking. Food Science and


Technology Research, 12(1):59-66.
Santoso, J., D. Fitriani, and Y. Wardiatno.
2010.
Phenol content and
antioxidant activity of benthic
macroalga Caulerpa racemosa
(Forsskal) from Hurun Bay,
Lampung. Biota, 15(3):369-378.
Soobrattee, M.A., V.S. Neergheen, A.
Luximon-Ramma, O.I. Arouma,
and T. Bahorun. 2005. Phenolic
as potential antioxidant therapeutic
agents: mechanism and actions.
Mutation Research, 579:200-213.
Stengel, D.B., S. Connan, and Z.A.
Popper. 2011. Algal chemodiversity and bioactivity: sources
of natural variability and implycations for commercial application.
Biotechnology Advances, 29:483501.
Suzuki, T., Y. Ohsugi, Y. Yoshie, T.
Shirai, and T. Hirano.
1996.
Dietary fiber content, waterholding capacity and binding
capacity of seaweeds. Fisheries
Science, 62:454-461.
Wang, W., M. Onnagawa, Y. Yoshie, and
T. Suzuki. 2001. Binding of bile
salts to soluble and insoluble
dietary fibers of seaweeds.
Fisheries Science, 67:1169-1173.
Wang, W., Y. Yoshie, and T. Suzuki.
2002. Effect of small particle size
on digestibility and lipid in rats.
Nippon Suisan Gakkaishi, 68:172179.
Wong, K.H. and C.K. Cheung. 2000.
Nutritional evaluation of some
subtropical
red
and
green
seaweeds. Part I proximate
composition, amino acid profiles
and
some
physico-chemical
properties. Food Chemistry. 71:
475-482.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Santoso et al.

Yangthong, M., H.T. Nongporn, and W.


Phromkunthong. 2009. Antioxidant activities of four edible
seaweeds from the southern coast
of Thailand. Plant Foods Human
Nutrition, 64:218-223.
Ye, H., C. Zhou, Y. Sun, E. Zhang, J. Liu,
Q. Hu, and X. Zeng.
2009.
Antioxidant activities in vitro of
ethanol extract from brown
seaweed Sargassum pallidum.
European
Food
Research
Technology, 230:101-109

Yoshie, Y., W. Wang, and T. Suzuki.


2000. Dietary fiber from seaweed:
distribution and their binding
capacities. In: Carman, O.,
Sulistiono, A. Purbayanto, T.
Suzuki, S. Watanabe, and T.
Arimoto (eds.). The Proceeding of
the JSPS-DGHE International
Symposium on Fisheries Science
in Tropical Area. 569-573pp.
Received : 13 June 2013
Revised : 15 November 2103
Approved : 30 November 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

297

298

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 299-309, Desember 2013

KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL KOSENTRAT PROTEIN TELUR


IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)
CHARACTERIZATION OF FUNCTIONAL PROPERTIES FISH PROTEIN
CONCENTRATE OF SKIPJACK ROE (Katsuwonus pelamis)
Frets Jonas Rieuwpassa1*, Joko Santoso2, dan Wini Trilaksani2
1
Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
*
e-mail: jhorieuwpassa@yahoo.com
2
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
ABSTRACT
By product that rich in protein such as fish roes are potential as raw material for protein
concentrate. This research aimed to utilize skipjack roes to produce protein concentrate and to
characterize its functional properties. The method used to extract protein was defatting method
using isopropyl alcohol and ethanol with extraction times of 1, 2, and 3 hours. The results
showed that skipjack roes contained 19.81% of protein, 3.41% of fat, 71.32% of moisture,
2.04% of ash, and 1.53% of carbohydrate (by difference). Defatting method using isopropyl
alcohol for 3 hours produced the best roe protein concentrate (RPC). The product meets to the
quality requirements of fish protein concentrate type B, contained protein and fat of 71.79%
and 2.78%, respectively. This product also had functional properties as follows: water
absorption capacity (1.57 ml/g), oil absorption capacity (1.82 g/g), emulsion capacity (81.65%),
bulk density (0.51 g/ml), foaming capacity (1.90 ml), foaming stability (0.22 ml) and protein
digestibility (95.86%). Lysine and leucine became the major essential amino acid of RPC, with
values were 70.76 and 64.91 mg/g protein, respectively. The composition of amino acids of RPC
skipjack consisted of 8 essentials amino acids, 5 non-essentials amino acids and 2 semiessentials amino acids.
Keywords: extraction, fish roe skipjack, roe protein concentrate
ABSTRAK
Produk hasil samping kaya protein seperti telur ikan berpotensi sebagai bahan baku pembuatan
konsentrat protein. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan telur ikan cakalang dalam
pembuatan konsentrat protein dan mengkarakterisasi sifat fungsionalnya. Metode yang
digunakan untuk ekstraksi protein adalah metode penghilangan lemak menggunakan pelarut
isopropil alkohol dan etanol dengan lama ekstraksi 1, 2, dan 3 jam. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa telur ikan cakalang memiliki kandungan protein 19,81%, lemak 3,41%, air
71,32%, abu 2,04% dan karbohidrat (melalui pengurangan) 1,53%. Metode penghilangan lemak
dengan menggunakan isopropil alkohol selama 3 jam menghasilkan konsentrat protein telur
ikan (KPTI) terbaik. Produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu konsentrat protein
ikan tipe B, mengandung protein dan lemak berturut-turut 71,19% dan 2,78%. Produk tersebut
juga mempunyai sifat fungsional sebagai berikut: daya serap air (1,57 ml/g), daya serap minyak
(1,82 g/g), kapasitas emulsi (81,65%), densitas kamba (0,51 g/ml), kapasitas buih (1,90 ml),
stabilitas buih (0,22 ml) dan daya cerna protein (95,86%). Lisin dan leusin menjadi asam amino
esensial utama KPTI cakalang dengan nilai berturut-turut 70,76 dan 64,91 mg/g protein.
Komposisi asam amino KPTI cakalang terdiri dari 8 asam amino esensial, 5 asam amino nonesensial dan 2 asam amino semi-esensial.
Kata kunci: ekstraksi, telur ikan cakalang, konsentrat protein telur ikan

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

299

Karakterisasi Sifat Fungsional Kosentrat

I. PENDAHULUAN
Industri perikanan berbasis pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah
satu industri tertua dan masih sangat
tradisional dalam proses pengolahannya.
Setiap proses pengolahan ikan cakalang
asap akan menghasilkan hasil samping
berupa kepala, insang, telur dan isi perut.
Pires et al. (2012) menyatakan bahwa
hasil samping berbasis protein dari
industri pengolahan dapat dijadikan
pangan dan pakan serta memiliki potensi
suplemen bioaktif dan pangan fungsional.
Pemanfaatan hasil samping berbasis
protein terus dikembangkan,salah satunya
adalah konsentrat protein ikan (KPI).
Menurut Ibrahim (2009), konsentrat
protein ikan merupakan produk yang
dihasilkan dengan cara menghilangkan
lemak dan air, sehingga menghasilkan
konsentrat protein yang tinggi. Kebanyakan produk ini diaplikasikan ke dalam
makanan yang berkarbohidrat tinggi.
Pembuatan konsentrat protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk
protein yang mudah untuk diaplikasikan
kedalam produk pangan berprotein
rendah.
FAO (1976) mengklasifikasikan
KPI menjadi tiga tipe, yaitu (1) Tipe A,
merupakan tepung yang tidak berasa ikan,
tidak berwarna serta tidak berbau, dengan
kadar protein minimal 67,7% dan
kandungan lemak maksimal 0,75%. KPI
dapat dicampurkan pada hampir semua
produk makanan dengan konsentrasi 510%, tanpa mengurangi daya terima
konsumen terhadap produk tersebut; (2)
KPI Tipe B, yaitu yang diperoleh dengan
cara menghilangkan lemaknya melalui
proses ekstraksi, sampai diperoleh produk
dengan kandungan lemak kurang dari 3%.
Flavor ikan masih tampak dalam sebagian
besar makanan yang ditambahkan KPI;
(3) KPI Tipe C, merupakan tepung ikan
yang biasa diproduksi secara higienis,
dengan kan-dungan lemak lebih besar dari

300

10%, serta bau dan flavor ikan yang


tajam.
Telur ikan cakalang merupakan
hasil samping industri pengolahan ikan
asap yang berpotensi sebagai sumber
bahan baku pembuatan KPI karena
mengandung
protein
yang
tinggi.
Kapasitas produksi industri pengolahan
ikan asap setiap harinya sekitar 60-80 ekor
dan menghasilkan hasil samping sekitar
20-30% berupa jeroan, isi perut dan telur
ikan. Menurut Intarasirisawat et al.
(2011), telur ikan cakalang mengandung
protein yang tinggi, yaitu 21,5%.
Beberapa penelitian telah memanfaatkan
telur ikan sebagai bahan pembuatan
konsentrat protein telur ikan (KPTI)
diantaranya: cathfish roe (Sathivel et al.,
2009), telur ikan mrigal (Cirrhinus
mrigala) (Chalamaiah et al., 2011), Telur
ikan Channa striatus dan Labeo rohita
(Galla et al., 2012), telur ikan tuna dan
kakap merah (Wiharja et al., 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
proses ekstraksi terbaik melalui metode
deffating untuk pembuatan konsentrat
protein telur ikan dengan memanfaatkan
telur ikan cakalang sebagai bahan baku
dan menentukan karakterisasi sifat
fungsionalnya.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan Baku
Bahan utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah telur ikan cakalang
yang diperoleh dari hasil samping industri
pengolahan ikan cakalang asap di Desa
Galala Kota Ambon, Provinsi Maluku.
Pelarut yang digunakan dalam proses
ekstraksi adalah isopropil alkohol (IPA)
dan etanol.
Telur ikan cakalang segar diuji
proksimat (AOAC, 2005) awal untuk
mengetahui komposisi kimianya. Telur
ikan kemudian dicuci hingga bersih
dengan air dingin (suhu10oC), setelah itu
diblender hingga lumat. Telur ikan lumat
siap diekstrak menjadi konsentrat protein.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Rieuwpassa et al.

2.2. Ekstraksi Konsentrat Protein


Telur Ikan Cakalang (KPTI)
Proses ekstraksi KPTI berdasarkan
metode Sikorski dan Nazck (1981) yang
dimodifikasi. Telur ikan lumat diekstrak
dengan metode deffating menggunakan
pelarut
IPA dan etanol dengan
perbandingan telur ikan lumat dan pelarut
adalah 1:3 (b/v) untuk menghilangkan
lemak dan air. Ekstraksi dilakukan dengan
lama ekstraksi selama 1, 2 dan 3 jam,
kemudian disaring menggunakan kertas
saring. Endapan hasil penyaringan
dikeringkan dengan menggunakan cabinet
dry pada suhu 452oC selama 4 jam. Hasil
pengeringan ditepungkan dengan menggunakan dishmill dan diayak dengan
saringan ukuran 60 mesh.
2.3. Uji Organoleptik (Soekarto dan
Hubies, 1982)
Pengujian organoleptik untuk
sampel konsentrat protein telur ikan
menggunakan uji skoring terhadap bau.
Skor yang diberikan sebagai berikut:
1=bau ikan sangat kuat, 2=bau ikan kuat,
3=bau ikan lemah, 4=bau ikan sangat
lemah dan 5=tidak berbau ikan. Sampel
disajikan secara acak dengan memberikan
kode angka pada sampel. Para panelis
berasal dari mahasiswa Teknologi Hasil
Perikanan, berjumlah 30 penelis.
2.4. Derajat Putih (Faridah et al., 2006)
Alat yang digunakan untuk
mengukur derajat putih adalah whiteness
meter. Contoh sebanyak 3 g ditempatkan
dalam
satu
wadah.suhu
sampel
diseimbangkan dengan meletakkan wadah
sampel diatas tester, kemudian wadah
berisi sampel beserta cawan berisi standar
(berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke
dalam tempat pengukuran dan alat akan
menampilkan nilai derajat putih dan
nomor urutan pengukuran.
Derajat putih (%) = (derajat putih/110 x
100)

2.5. Proksimat (AOAC, 2005)


Pengujian komposisi kimia bahan
baku telur ikan cakalang dan KPTI
menggunakan metode AOAC (2005) yang
terdiri dari kadar protein, kadar lemak,
kadar air, kadar abu dan karbohidrat (by
difference).
2.6. Densitas kamba (Wirakartakusumah et al., 1992)
Sebanyak 10 g sampel diukur
volumenya dengan gelas ukur 50 ml.
Densitas kamba dinyatakan dalam g/ml.
Densitas kamba (g/ml) = berat bahan (g) /
volume bahan (ml)
2.7. Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et
al., 1972)
Kapasitas emulsi diukur dengan
cara 5 g konsentrat protein telur ikan
ditambah-kan 20 ml air dan 20 ml minyak
jagung, kemudian dihomogenisasi selama
1 menit dan disentrifus pada 7500 rpm
selama 5 menit. Kapasitas
emulsi
dihitung dengan menggunakan rumus:
Kapasitas Emulsi = (volume emulsi
setelah disentrifus/volume awal) x 100
2.8. Daya Buih (Huda et al., 2012)
Tepung KPTI 1 g ditambahkan ke
dalam 10 ml air dan dihomogenisasi
selama satu menit. Campuran larutan
KPTI dipindahkan ke dalam 25 ml beaker
glass. Kapasitas busa dilihat dari busa
yang terbentuk dibandingkan dengan
kapasitas volume awal. Stabilitas busa
merupakan rasio dari kapasitas busa
selama waktu observasi dibandingkan
dengan kapasitas busa awal.
2.9. Daya Serap Air (Beuchat, 1977)
Sampel sebanyak 1g dimasukkan
ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah
dengan 10 ml akuades, kemudian diaduk
dengan spatula dan didiamkan pada suhu
kamar selama 30 menit. Setelah itu
disentrifus pada 3.000 rpm selama 30

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

301

Karakterisasi Sifat Fungsional Kosentrat

menit. Volume air bebas atau yang tidak


terserap oleh sampel diukur dengan gelas
ukur. Perhitungannya sebagai berikut:

Asam amino(%) = (luas area sample/luas


area standar) x (konsentrasi standar/bobot
sample) x BM x FK X 100

Daya serat air (ml/g) = (berat awal+air


terserap) (berat akhir+air tak terserap)

Asam Amino (mg/g protein) = (1000 x


kadar asam amino (%)) / kadar protein(%)

2.10. Daya Serap Lemak (Beuchat,


1977)
Sampel sebanyak 1 g dimasukkan
kedalam tabung sentrifus lalu ditambahkan dengan 10 ml minyak nabati,
kemudian diaduk dengan spatula dan
didiamkan pada suhu kamar selama 30
menit. Setelah itu disentrifus pada 3.000
rpm selama 30 menit. Volume minyak
yang bebas atau tidak terserap oleh
sampel, diukur dengan gelas ukur.
Perhitungannya sebagai berikut:

Dimana: FK = faktor koreksi, BM = berat


molekul.

Daya serap minyak (g/g) = (volume awal


volume akhir) / berat sampel
2.11. Komposisi Asam Amino (AOAC,
1995)
Sampel
sebanyak
0,5
g
dimasukkan ke dalam gelas piala 25 ml
kemudian ditambahkan HCl 6 N sebanyak
10 ml. Gelas piala dipanaskan selama 24
jam pada suhu 100oC. Sampel disaring
dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan
5 ml larutan pengering (metanol,
picolotiocianat, tri-etilamin) kemudian
dikeringkan.
Larutan
derivatisasi
(metanol, Na-asetat, dan trietilamin)
ditambahkan dan sampel didiamkan
selama 20 menit. Larutan asetat 1 M
sebanyak 200 ml ditambahkan dan sampel
siap diinjeksikan ke HPLC.
Kondisi alat HPLC sebagai berikut :
temperatur pada suhu ruang, kolom yang
digunakan adalah pico tag 3,9 x 150 mm,
kecepatan aliran 1,5 ml/menit, batas
tekanan 3000 psi, program gradien, fase
gerak asetonitril 60% dan buffer natrium
asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan
panjang gelombang 254 nm.

302

2.12. Analisis Data


Rancangan
percobaan
yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial (RAL) menurut Steel and Torrie
(1993) dengan 2 taraf dan 2 ulangan. Jika
terdapat
pengaruh
(p<0,05)
maka
dilakukan uji lanjut Duncan. Semua data
dianalisis dengan menggunakan minitab
14 dan SPSS 13.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Komposisi Proksimat Telur Ikan
Cakalang
Bahan baku yang digunakan untuk
membuat konsentrat protein adalah hasil
samping telur ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi proksimat telur ikan
Cakalang
Komposisi
Protein
Lemak
Air
Abu
KH (by difference)

Persentase (%bb)
19,81 0,54
3,41 0,22
71,32 + 0,16
2,04 + 0,70
1,53 + 0,53

Komposisi proksimat telur ikan


cakalang menunjukkan bahwa telur cakalang tergolong memiliki kandungan
protein yang tinggi yaitu 19,81%. Hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
hasil penelitian Intarasirisawat et al.
(2011) yang juga menkaji komposisi gizi
telur ikan cakalang meliputi kandungan
protein 20,15%, lemak 3,39%, abu 1,94%,
air 72,17% dan KH 2,35%. Ditambahkan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Rieuwpassa et al.

pula bahwa telur ikan cakalang memiliki


kandungan protein yang lebih tinggi dan
lemak yang rendah dibandingkan dengan
jenis tuna lain seperti tongol (Thunnus
tonggol) dan bonito (Euthynnus affinis).
Variasi komposisi kimia telur ikan
dipengaruhi oleh faktor biologi mencakup
jenis
spesies,
kematangan
gonad,
makanan, musim, lokasi memijah dan
kondisi pengolahan (Mohmoud et al.,
2008). Sahena et al., (2009) mengatakan
bahwa kuantiti dan komposisi lemak ikan
berbeda pada spesies dan habitat. Menurut
Venugoval (2008) bahwa ikan yang
tergolong berlemak rendah mempunyai
kadar lemak kurang dari 3%, berlemak
sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan
berlemak tinggi mempunyai kadar lemak
lebih dari 7%.
3.2. Penentuan Konsentrat Protein
Telur Ikan Cakalang Terbaik
Penentuan mutu KPI dilakukan berdasarkan syarat FAO (1976) yang
meliputi kadar protein, kadar lemak, nilai
bau dan derajat putih. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis pelarut dan
lama ekstraksi berpengaruh secara nyata
(p<0,05) terhadap kandungan protein,
kadar lemak dan derajat putih yang
dihasilkan sedangkan untuk nilai bau tidak
berpengaruh secara nyata (p>0,05).
Syarat mutu KPI ialah memiliki
kadar protein minimal 67,5%, lemak
maksimal 0,75%, tidak berbau amis dan
memiliki warna yang baik. Kadar protein
tertinggi yang diperoleh pada perlakuan
IPA dengan lama ekstraksi 2 jam yaitu
72,47% dan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 3
jam. Hasil yang diperoleh lebih rendah
dibandingkan hasil penelitian Galla et al.
(2012) dan Chamalaiah et al. (2011)
dengan nilai protein 75-90%. Balaswamy
et al. (2007) menyatakan bahwa persentase protein dari beberapa konsentrat
protein
telur
ikan
menunjukkan
kandungan protein yang tinggi. Selain itu,

kandungan kadar protein yang berbedabeda pada beberapa konsentrat protein


dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor
diantaranya jenis ikan, cara ekstraksi,
jenis pelarut, lama ekstraksi dan cara
pengeringan (Gambar 1).
Kadar lemak terendah diperoleh
pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam
yaitu 2,78% lebih rendah dibanding
Chamalaiah et al. (2011) dengan kadar
lemak 8,8% pada konsentrat protein telur
ikan mgiral. Hal ini dikarenakan proses
ekstraksi
berulang
yang
mampu
mendegradasi lemak, semakin lama
ekstraksi akan menghasilkan kadar lemak
yang rendah. Menurut Tirtajaya et al.
(2008),
kemampuan
masing-masing
pelarut untuk mengagregasi protein serta
mengekstraksi lemak dan air berbeda
sehingga akan mempengaruhi kadar
protein dan lemak konsentrat protein yang
dihasilkan. Pelarut alkohol merupakan
pelarut organik bersifat polar yang
memiliki kemampuan untuk memisahkan
fraksi gula larut air dan lemak tanpa
melarutkan proteinnya (Amoo et al.,
2006) (Gambar 2).
Derajat putih adalah analisis yang
menentukan keputihan suatu bahan yang
sangat erat dengan daya terima konsumen.
Nilai derajat putih tertinggi diperoleh pada
perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam.
Peningkatan warna putih disebabkan oleh berkurangnya kadar lemak
setelah di-ekstrak. Semakin lama ekstraksi
dapat memberikan warna yang lebih baik.
Nilai derajat putih yang dihasilkan lebih
rendah dibandingkan dengan hasil
penelitian Wiharja et al. (2013) untuk
telur ikan tuna dan kakap merah yang
menghasilkan nilai derajat putih 64,34%
dan 65,42%. Windsor (2001) menerangkan bahwa kandungan lemak pada ikan
dan by-product perikanan cenderung
berwarna kuning, sehingga dilakukan
ekstraksi untuk menghasilkan konsentrat
protein dengan kecerahan yang baik.
Ditambahkan pula bahwa terlarutnya

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

303

Karakterisasi Sifat Fungsional Kosentrat

Gambar 1. Hasil analisis kadar protein KPTI Cakalang ( : etanol,


: isopropil
alkohol). Angka-angka yang dikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c)
menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 2. Hasil analisis kadar lemak KPTI Cakalang (


: etanol,
: isopropil
alkohol). Angka-angka yang dikuti huruf superskrip berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
pigmen carotenoid pada lemak yang
terdapat dalam telur ikan terekstrak
selama proses ekstraksi. Hasil analisis
derajat putih KPTI cakalang disajikan
pada Gambar 3.
Nilai
bau
ditentukan
secara
organoleptik dengan menggunakan uji
skoring. Skala yang digunakan adalah 1-5,
semakin kecil nilai maka semakin berbau
ikan dan sebaliknya semakin besar nilai
maka semakin tidak berbau ikan. Nilai
tertinggi bau diperoleh ada perlakuan IPA
lama ekstraksi 3 jam. Tujuan lain proses
ekstraksi adalah menghilangkan bau amis.
Menurut Rawdkuen et al. (2009) bahwa

304

proses ekstraksi tidak hanya mampu


menghilangkan lemak akan tetapi juga
menghilangkan material-material lain
seperti darah, pigmen dan bahan penyusun
bau. Hasil analisis skoring bau KPTI
cakalang dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil uji parameter KPI
maka perlakuan IPA dengan lama
ekstraksi 3 jam merupakan perlakuan
terpilih yang menghasilkan KPTI dengan
mutu yang baik yang nantinya akan
dikarakterisasi sifat fungsionalnya. KPTI
yang dihasilkan merupakan KPI tipe B
karena masih memiliki kadar lemak
dibawah 3%.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Rieuwpassa et al.

Gambar 3. Hasil analisis kadar derajat putih KPTI Cakalang ( : Etanol,


: isopropil
alkohol). Angka-angka yang dikuti huruf superskrip berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 4. Hasil analisis skor bau KPTI Cakalang ( : etanol,


: isopropil alkohol).
Angka-angka yang dikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan tidak berbeda
nyata (p>0,05)

urnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

305

Karakterisasi Sifat Fungsional Kosentrat

3.3. Karakterisasi Konsentrat


Protein Telur Ikan cakalang
Setelah diperoleh perlakuan terbaik
dalam ekstraksi KPTI cakalang, maka
pada tahap selanjutnya dilakukan karakterisasi sifat fungsionalnya (Tabel 2).
Daya serap air didefinisikan sebagai
kemampuan pangan untuk menahan air
yang ditambahkan dan yang ada dalam
bahan pangan itu sendiri selama proses
yang dilakukan terhadap pangan. Hasil
penelitian menunjukkan daya serap air
KPTI cakalang adalah 1,53 g/ml (setiap
1,53 g KPTI cakalang mampu menyerap 1
ml air). Wiharja et al. (2013) melaporkan
daya serap air pada konsentrat protein
telur ikan tuna dan kakap merah adalah
5,38 g/ml dan 6,25 g/ml. Hal ini
memperlihatkan bahwa KPTI cakalang
memiliki daya serap air yang sangat lebih
baik dibandingkan dengan KPTI tuna dan
kakap merah. Pengikatan air oleh KPTI
disebabkan karena adanya asam amino
yang bersifat polar yang mampu mengikat
molekul air.
Tabel 2. Karakterisasi sifat fungsional
KPTI Cakalang
Sifat fungsional
Daya serap air (ml/g)
Daya serap minyak (g/g)
Kapasitas emulsi (%)
Densitas kamba (g/ml)
Kapasitas buih (ml)
Stabilitas buih (10 menit)

Nilai
1,570,01
1,820,01
81,650,24
0,510,00
1,900,21
0,221,06

Daya serap minyak adalah sifat yang


dapat menunjukkan adanya interaksi suatu
bahan terhadap minyak (Santoso et al.,
2009). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daya serap minyak KPTI cakalang
adalah 1,82 (g/g), ini berarti setiap 1,82 g
KPTI mampu menyerap 1 g minyak. Hal
ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil
penelitian Pires et al. (2012) yang
menghasilkan daya serap minyak 4,67 g/g

306

pada tepung hidrolisis protein ikan Hake


dan tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Wiharja et al. (2013) yang
menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah
dengan daya serap minyak 1,77 g/g dan
1,89 g/g.
Kapasitas emulsi yang baik bila
bahan dapat menyerap air dan minyak
secara seimbang. Chalamaiah et al. (2011)
menyatakan bahwa kapasitas emulsi
protein bergantung pada keseimbangan
ikatan hidrofilik dan lipofilik. Kapasitas
emulsi konsentrat protein telur yang
rendah disebabkan karena pada titik
isoelektrik terjadi dispersi pada air. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kapasitas
emulsi KPTI cakalang adalah 81,65%.
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume
ruang yang ditempati dan dinyatakan
dalam satuan g/ml. Suatu bahan
dinyatakan kamba (bulky) bila nilai
densitas kambanya kecil (Rieuwpassa
2005). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai densitas kamba KPTI
cakalang adalah 0,51 g/ml lebih kecil bila
dibandingkan dengan hasil penelitian
Chamalaiah et al. (2011) yaitu 0,77 g/ml
untuk KPTI mragal (Cirrhinus mrigala).
Kekuatan protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang
menentukan karakteristik dari buih
protein. Chamalaiah et al. (2011)
menyatakan bahwa kapasitas buih
bergantung pada fleksibilias molekul dan
sifat fisiko kimia protein. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kapasitas buih KPTI
cakalang adalah 1,90 ml dan stabilitas
buihnya pada menit ke 10 adalah 0,22.
3.4. Komposisi Asam Amino KPTI
Cakalang
Protein merupakan molekul yang
terbentuk dari asam-asam amino pada
bahan pangan. Menurut Vaclavik dan
Christian (2008) protein terdiri atas asam
amino yang tergabung melalui ikatan
peptida. Asam-asam amino pembentuk

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Rieuwpassa et al.

protein terdiri dari asam amino esensial,


asam amino non esensial dan asam amino
semi esensial. Jumlah asam amino yang
terdapat dalam KPTI cakalang adalah
849,70 g/g protein. Komposisi asam
amino KPTI cakalang terpilih dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi asam amino KPTI
Cakalang.
Asam amino

mg/g
Protein
Treonin
44,30
Metionin
22,29
Valin
48,47
Asam amino Phenilalanin 38,31
esensial
Isoleusin
36,63
Tirosin
37,05
Lisin
70,76
--------------------------------Total
362,72
Asam aspartat 77,59
Asam glutamat 118,54
Asam amino Serin
51,26
Non esensial Glisin
41,79
Alanin
54,88
--------------------------------Total
344,06
Asam amino Histidin
30,06
Semi esensial Arginin
112,27
--------------------------------Total
142,92
Total asam amino
849,70

amino
yang
memiliki
kelebihan
diantaranya perbaikan otot, penyerapan
kalsium, sebagai antibodi, enzim dan
hormon. Asam glutamat merupakan asam
amino esensial dengan jumlah tertinggi
yaitu 118,54 mg/g protein. Penelitian
Galla et al. (2012) juga menemukan asam
glutamat dalam jumlah tinggi pada KPTI
Channa striatus dan Lates carcarifer
masing-masing 113,4 mg/g protein dan
153,8 mg/g protein. Selain asam amino
esensial dan non-esensial, asam amino lain
yang terdapat pada KPTI cakalang adalah
asam amino semi-esensial yang terdiri dari
arginin (112,27 mg/g protein) dan histidin
(30,64 mg/g protein).
IV. KESIMPULAN

Penggunaan
isopropil
alkohol
sebagai pelarut dengan lama ekstraksi 3
jam pada proses deffating menghasilkan
KPTI cakalang dengan kadar protein
71,79%, lemak 2,78%, nilai bau yang
mendekati netral dan derajat putih yang
baik. KPTI yang dihasilkan tergolong KPI
tipe B. Secara fungsional KPTI yang
dihasilkan memiliki kemampuan daya
serap minyak, daya serap air, kapasitas
emulsi dan densitas kamba yang baik
untuk
dijadikan
bahan
tambahan,
substitusi dan bahan pengikat untuk
aplikasi produk berbasis protein tinggi.
KPTI memiliki 8 asam amino esensial, 5
asam amino non esensial dan 2 asam
amino semi esensial yang sangat
Komposisi asam amino menentukan dibutuhkan oleh tubuh manusia.
kualitas protein terutama asam amino
esensial. Lisin merupakan asam amino DAFTAR PUSTAKA
esensial dengan jumlah tertinggi yaitu
70,76 mg/g protein dibandingkan dengan [AOAC] Association of Official Analitical
asam amino lain. Hussain et al. (2007)
Chemist. 2005. Official methods of
menyatakan bahwa ikan mengandung
analysis of the association of
asam amino lisin dalam jumlah yang
official analytical chemist 18th
tinggi tetapi memiliki asam amino
edition. Gaithersburg, AOAC
metionin yang rendah jika dibandingkan
International, USA.
dengan beras dan bahan pangan sereal
lainnya. Lisin merupakan salah satu asam

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

307

Karakterisasi Sifat Fungsional Kosentrat

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official


methods of analysis the the
association of official analytical
chemist 16th edition. VirginiaArlington, USA.
Amoo, I. A., O.O. Adebayo, and A.O.
Oyeleye. 2006. Chemical evaluation of winged beans (Psophocarous tetragonolabus), Pitanga
cherries (Eugenia uniflora) and
Orchid
fruit
(Orchid
fruit
myristica) African. J. Food
Agricultural Nutrition Development, 2:1-12.
Balaswamy, K., T. Jyothirmayi, and D. G.
Galla. 2007. Chemical composition and some functional properties
of fish egg (roes) protein
concentrate of rohu (Labeo rohita).
J. Food Sciences Technology,
44:293296.
Beuchat, L.R. 1977. Functional and
electrophoretic characteristics of
succinylated peanut flour protein.
J. Agricultural Food Chemistry,
25(6):258-261.
Chalamaiah, M., K. Balaswamy, G. N.
Galla,P. G. Prabhakara Galla, and
T. Jyothirmayi. 2011. Chemical
composition and functional properties of Mrigal (Cirrhinus mrigala)
egg protein concentrates and their
application in pasta. J. Food
Sciences
Technology.
DOI
10.1007/s13197-011-0357-5.
Faridah, D.N., H.D. Kusumaningrum, N.
Wulandari, D. Indrasti. 2006.
Modul praktikum analisis pangan.
Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan.
Fakultas
Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 47hlm.
Galla, N.R., K. Balaswamy, A. Satyanarayana, and P.P. Galla. 2012.
Physico-chemical, amino acid
composition,
functional
and
antioxi-dant properties of roe

308

protein concentrates obtained from


channa striatus and lates calcarifer.
Food Chemistry, 132:11711176.
Hussain, N., N. Akhtar, and S. Hussain.
2007. Evaluation of weaning food
khitchri incorporated with different
levels of fish protein concentrate.
Animal Plant Sciences, 17(1-2):1217.
Huda, N., P. Santana, R. Abdullah, and
T.A. Yang. 2012. Effect of
different dryoprotectant on funtional properties of thredfin bream
surimi powder. J. Fisheries
Aquatic Sciences, 7(3):215-223.
Ibrahim, M.S. 2009. Evaluation of
production and quality of saltbiscuits supplemented with fish
protein concentrate. World J. Dairy
Food Sciences,4(1):28-31.
Intarasirisawat, R., S. Benjakul, and W.
Visessanguan. 2011. Chemical
compositions of the roes from
Skipjack, Tongol, and Bonito.
Food Chemistry, 124:13281334.
Mahmoud, K.A., M. Linder, J. Fanni, and
M. Parmentier. 2008. Characterisation of the liid fractions obtained
by proteolytic and chemical
extractions from rainbow trout
(Oncorchynchus mykiss). Procces
Biochemistry, 43(4):276-383.
Pires,C., S. Costa, A.P. Batista, M.C.
Nunes, A. Raymundo, and I.
Batista. 2012. Properties of protein
powder prepared from Cape hake
by-products. J. Food Enginering,
108:268275.
Rawdkuen, S., S.U. Samart, S. Khamsorn,
M. Chaijan, and S. Benjakul. 2009.
Biochemical and gelling properties
of Tilapia Surimi and protein
recovered using an acid-alkaline
process. Food Chemistry, 112:
112119.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Rieuwpassa et al.

Rieuwpassa, F. 2005. Biskuit konsentrat


protein ikan dan probiotik sebagai
makanan
tambahan
untuk
meningkatkan antibodi IgA dan
status gizi balita. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
73hlm.
Sathivel, S., H. Yin, P.J. Bechtel, and J.M.
King. 2009. Physical and nutritional properties of Catfish roe spray
dried protein powder and its
application in an emulsion system.
J. Food Enginering, 95:7681.
Soekarto, T. dan M.S. Hubies. 1982.
Metodologi penelitian organoleptik. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 56hlm.
Santoso, J., E. Hendra, dan T.M. Siregar.
2009. Pengaruh substitusi susu
skim dengan konsentrat protein
ikan nila hitam (Oreochromis
niloticus) terhadap karekteristik
fisiko-kimia makanan bayi. J. Ilmu
Teknologi Pangan, 7(1):87-107.
Sikorski, Z.E. and M. Naczk. 1981.
Modification of technological
properties of fish protein concentrates. Food Sciences Nutrition,
14:201230.
Sahena. F., I.S.M. Zaidul, S. Jinap, N.
Saari, H. Jahurul, and K.A. Abbas.
2009. PUFAs in fish: extraction,
fractionation, importance in health.
Comprehensive Reviews in Food
Sciencesand Food Safety, 8(2):59
74.
Tirtajaya, I., J. Santoso, dan K. Dewi.
2008. Pemanfaatan konsentrat
protein ikan patin (Pangasius
pangasius)
pada
pembuatan
cookies coklat. J. Ilmu Teknologi
Pangan, 6 (2):87-103.

Venugoval, V. 2008. Seafood processing;


adding value through quick
freezing retortable packaging and
cook chilling. New York.
Vaclavik, V.A., and E. W. Christian. 2008.
Essential of food science (3rd ed.).
New york.
Wiharja, S. Y., J. Santoso, and L.A.
Yakhin. 2013. Utilization of tuna
and Red Snapper roe protein
concentrate as emulsifier in
mayonnaise. 13th ASEAN food
conference,
9-13
September.
Meeting future food demand:
securrity
and
suctanaibillity.
Singapore. 1-10pp.
Windsor, M.L. 2001. Fish protein
concentrate.
FAO
online.
http://www. FAO.org. [2 Febuari
2013].
Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah,
and A.M. Syarif. 1992. Sifat fisik
pangan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 34hlm.
Yasumatsu, K., K. Sawada, S. Moritaka,
M. Misaki, J. Toda, T. Wada, and
K. Ishi. 1972. Whipping and
emulsifying properties of soybean
products. J. Agriculture Bio
Chemistry, 36:719-727.
Diterima : 26 September 2013
Direvisi : 15 November 2013
Disetujui : 10 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

309

310

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 311-323, Desember 2013

KECERNAAN NUTRIEN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN LEMAK


BERBEDA PADA JUVENIL IKAN KERAPU PASIR (Epinephelus corallicola)
NUTRIENT DIGESTIBILITY FEED WITH DIFFERENT LEVELS OF PROTEIN
AND LIPID ON CORAL ROCK GROUPER (Epinephelus corallicola) JUVENILE
Muhammad Marzuqi1* dan Dewi Nasbha Anjusary2
1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Gondol
*
email:marzuqi_rim@yahoo.co.id
2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRACT
The aims of this study was to determine the nutrient digestibility coefficient of diet with
diertary levels of protein and lipid on coral rock grouper (Epinephelus corallicola) juvenile.
This study used completely randomized design with factorial arranged in 3 different treatment
of dietary protein levels i.e., 36%, 42%, and 48%;and 2 different treatment of dietary lipid
levels i.e., 9% and 18%; with 3 repetition. The average initial body weight of fishes for this
study was 29.19 0.97 g/fish. Fishes were reared in 18 pieces of polycarbonate tank with water
volume of 30 liters with stocked density of 7 fishes/tank. The tank equipped with aeration with
water flow change of 20 liters/hour. Fish were fed 2 times per day on at satiation and fish
rearing for 150 days. Parameters measured were protein, lipid, carbohydrate and energy of
digestibility coefficient . The results showed that the interaction of protein and lipid levels that
differ in feed ratio significantly affected on protein, lipid, carbohydrate, and energy digestibility
coefficients. In general, feed with a protein content of 36% and 9% lipid produced good
nutrient digestibility coefficient and better economic value.
Keywords: protein, lipid, feed nutrient digestibility, coral rock grouper
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan nutrien pakan dengan kadar protein dan
lemak berbeda pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola). Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial dengan 3 perlakuan kadar
protein pakan berbeda yaitu 36%, 42% dan 48%, dan 2 perlakuan kadar lemak pakan berbeda
yaitu 9% dan 18%, masing-masing diulang 3 kali. Ikan uji untuk penelitian ini mempunyai
kisaran bobot awal rata-rata 29,19 0,97 g/ekor, dipelihara dalam 18 buah bak polikarbonat
dengan volume air 30 liter dan masing-masing ditebar dengan kepadatan 7 ekor/bak. Bak
dilengkapi sistem aerasi dan air mengalir dengan pergantian air 20 liter/ jam. Pakan diberikan
sebanyak 2 kali setiap hari secara at satiation (pemberian pakan buatan sampai kenyang) dan
ikan dipelihara selama 150 hari. Parameter yang diamati adalah nilai kecernaan protein, nilai
kecernaan lemak, nilai kecernaan karbohidrat dan nilai kecernaan energi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi kadar protein dan lemak yang berbeda dalam ransum pakan
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kecernaan protein, nilai kecernaan lemak, nilai
kecernaan karbohidrat dan nilai kecernaan energi. Secara umum, pakan dengan kandungan
protein 36% dan lemak 9% menghasilkan nilai kecernaan pakan lebih baik serta memiliki nilai
yang lebih ekonomis.

Kata kunci: protein, lemak, kecernaan, ikan kerapu pasir

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

311

Kecernaan Nutrien Pakan dengan

I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu pasir (Epinephelus
corallicola) merupakan salah satu jenis
ikan laut yang memiliki nilai ekonomis
penting, karena mempunyai harga jual
cukup tinggi. Keberhasilan produksi
benih ikan kerapu ini akan mendorong
berkembangnya usaha pembesaran baik di
tambak maupun keramba jaring apung.
Pada budidaya ikan kerapu, ketersediaan
pakan merupakan faktor penting yang
dapat mendukung keberhasilan dan
keberlanjutan
usaha.
Biaya
yang
dikeluarkan untuk penyediaan pakan
cukup tinggi mencapai 35-60% dari total
biaya operasional usaha. Kendala yang
terjadi di lapangan adalah harga pakan
ikan yang tinggi terutama disebabkan
sebagian besar bahan baku penyusun
pakan ikan khususnya sumber protein
diperoleh dari impor.
Pakan
diperlukan
untuk
pertumbuhan, kesehatan ikan dan untuk
peningkatan mutu produksi. Untuk
keperluan tersebut ikan memerlukan
nutrien
berupa
protein,
lemak,
karbohidrat, vitamin, dan mineral yang
kebutuhannya berbeda sesuai dengan
umur dan jenis ikan (Suwirya et al.,
2001). Kandungan nutrisi pakan yang
lengkap selalu dikaitkan dengan bahan
yang digunakan dalam menyusun
formulasi pakan. Salah satu nutrien pakan
yang penting yang dibutuhkan ikan yaitu
protein dan lemak. Protein merupakan
sumber energi selain karbohidrat bagi
kelangsungan hidup dan pertumbuhan,
sedangkan lemak merupakan sumber
energi yang terbesar bagi tubuh ikan. Ikan
kerapu sebagai ikan karnivora cenderung
membutuhkan pakan dengan konsentrasi
protein yang tinggi yaitu 45-55% (Ellis et
al., 1996; Giri et al., 1999; Rahmansyah
et al., 2001; Laining et el., 2003;
Kabangga et al., 2004) Beberapa
penelitian terhadap ikan
ukuran
pendederan (juvenil) pada
kerapu

312

Epinephelus
akaara
membutuhkan
protein dalam pakan 49,5% (Chen and
Tsai, 1994), Epinephelus striatus lebih
dari 55% (Ellis et al., 1996), juvenil
kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
ukuran 5,5 g adalah 54,2% dan ukuran 17
g dibutuhkan 50,1% (Giri et al., 1999;
Rahmansyah et al., 2001), juvenil kerapu
batik (E. polyphekadion) 48% (Marzuqi et
al., 2004) dan juvenil
kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) sebesar 48%
(Marzuqi et al., 2007)
Disamping kebutuhan protein
diatas
untuk
mengoptimalkan
pertumbuhan ikan, maka pada pakan perlu
ditambahkan lemak sebagai pengganti
sumber energi yang disumbangkan oleh
protein,
sehingga
protein
dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk
pertumbuhan. Kebutuhan lemak bagi ikan
berbeda-beda dan sangat tergantung dari
stadia ikan, jenis ikan dan lingkungan.
Pada
fase
pendederan,
ikan
membutuhkan lemak berkisar 8-14%
(Cho dan Watanabe, 1985 dalam
Watanabe, 1988), juvenil ikan kerapu
bebek (Cromileptes altivelis) berkisar 910% (Giri et al., 1999), ikan Labeo rahita
ukuran 7,5 g membutuhkan lemak 6%
(Gangadhara et al., 1997).
Pemanfaatan
nutrien
berupa
protein dan lemak sangat erat hubungannya dengan proses pencernaan.
Kemampuan ikan untuk mencerna sangat
dipengaruhi oleh kandungan nutrien yang
terdapat dalam pakan. Menurut Anggordi
(1990), daya cerna pakan dari suatu
organisme dipengaruhi oleh beberapa
faktor, di antaranya adalah: komposisi
pakan, pemberian pakan dan jumlah
konsumsi pakan. Proses fisika dan kimia
dalam tubuh mempunyai peranan penting
pada proses pencernaan (Zonneveld et al.,
1991). Untuk itu, agar protein dan lemak
pakan dapat dimanfaatkan dengan baik
dan maksimal, maka diperlukan adanya
informasi yang jelas tentang daya cerna,
sehingga diketahui komposisi pakan yang

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Marzuqi dan Anjusary

tepat untuk juvenil ikan kerapu pasir.


Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui
nilai kecernaan pakan
dengan kadar protein dan lemak yang
berbeda pada juvenil ikan kerapu pasir.
II. METODE PENELITIAN
Ikan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah juvenil ikan kerapu
pasir (Epinephelus corallicola) yang
sudah mencapai umur 150 hari dengan
bobot rata-rata 29,19 0,97 g dan
panjang 12,5 0,71 cm. Ikan kerapu ini
berasal dari hasil pembenihan Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Laut Gondol, Bali.
Air media pemeliharaan menggunakan air laut dengan salinitas 33-34 yang
ditempatkan pada bak-bak penelitian
berjumlah 18 buah dengan volume 30
liter. Semua bak dilengkapi sistem aerasi
dan air mengalir dengan pergantian air 20
liter/jam dengan kepadatan ikan sebesar 7
ekor/30 liter.
Rancangan penelitian yang di
gunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama
adalah kadar protein berbeda yaitu 36%,
42% dan 48%, dan faktor kedua adalah
kadar lemak berbeda yaitu 9% dan 18%,
sehingga didapatkan 6 perlakuan, masingmasing (A= protein 36%: lemak 9%; B=
protein 42%: lemak 9%; C= protein 48%:
lemak 9%; D= protein 36%: lemak 18%;
E= protein 42%: lemak 18%; F= protein
48%: lemak 18%). Setiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali. Komposisi
pakan disajikan pada Tabel 1. Analisa
komposisi proksimat pakan
meliputi
analisis kadar air dan kadar abu, protein,
lemak dilakukan menurut metode AOAC
(1990).
Pakan uji yang digunakan dalam
bentuk pelet kering dengan diameter 4,2
mm. Pemberian pakan ini dilakukan 2 kali
setiap harinya yaitu pada pukul 08.00
WITA dan 15.00 WITA. Pemberian

pakan dilakukan secara sedikit demi


sedikit sampai ikan tidak mau makan atau
kenyang (at satiation). Jumlah pakan
yang diberikan per hari dihitung dengan
melihat selisih bobot pakan antara
sesudah dan sebelum pemberian pakan.
Pengamatan kecernaan nutrien
pakan dilakukan dengan menggunakan
indikator Cr2O3. Sebelum pengumpulan
feses, terlebih dahulu ikan diadaptasikan
dengan pakan uji selama 3 hari, kemudian
pada hari ke 4 setelah pemberian pakan,
sisa pakan segera diambil (disifon).
Pengambilan feses setiap satu jam sekali.
Feses yang diperoleh dikumpulkan dan
disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm
selama 10 menit, kemudian disimpan
dalam freezer untuk menunggu dianalisis.
Penentuan kadar Cr2O3 pakan dan feses
dilakukan berdasarkan metode yang
digunakan Takeuchi (1988).
Parameter yang diamati meliputi
nilai kecernaan protein, lemak, karbohidrat, dan energi. Penghitungan daya
cerna nutrien meliputi daya cerna protein,
lemak, karbohidrat, dan daya cerna
energi. Rumus perhitungan daya cerna
nutrient (apparent digestibility / AD)
menurut Takeuchi (1988) adalah sebagai
berikut:
AD (%) =

%Cr2 O3 pakan x %nutrient feses


100 100 x

%Cr2 O3 feses x %nutrient pakan

Sehingga untuk menghitung daya cerna


protein, lemak, karbohidrat dan daya
cerna energi yaitu dengan rumus sebagai
berikut:
a. Daya cerna protein
DP =

%Cr2 O3 pakan x % protein feses


100 100 x

%Cr2 O3 feses x % protein pakan

b. Daya cerna lemak


DL =

%Cr2 O3 pakan x %lemak feses


100 100 x
%Cr2O3 feses x %lemak pakan

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

313

Kecernaan Nutrien Pakan dengan

Tabel 1. Komposisi dan analisis proksimat pakan penelitian (% bobot kering)


Pakan uji (protein %, lemak %)
Bahan pakan (%)

A
(36, 9)
28,55
28,78
0
31,60
4,74
1,30
1,70
2,0

B
(42, 9)
33,31
33,57
0
22,82
4,04
1,30
1,70
2,0

C
D
E
(48, 9) (36, 18) (42, 18)
38,07
28,55
33,31
38,37
28,78
33,57
0
0
0
14,06
10,85
2,07
3,33
13,74
13,04
1,30
1,30
1,30
1,70
1,70
1,70
2,0
2,0
2,0

F
(48, 18)
38,07
30,70
5,96
0,08
12,68
1,30
1,70
2,0

Tepung ikan
Tepung rebon
Kasein
Dekstrin
Minyak cumi
Campuran vitamin1
Campuran mineral2
Carboxy methyl
cellulose /CMC
Astaxantin
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
Cr2O3
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
Afisel
0,23
0,16
0,08
11,98
11,91
6,42
Jumlah
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Analisis proksimat (%)
Protein
37,56
43,62
46,87
37,35
43,34
48,93
Lemak
9,38
9,01
9,09
18,66
18,95
17,30
Abu
16,26
18,75
20,26
28,19
29,49
25,56
Serat
1,85
2,15
2,48
1,85
2,16
1,54
Energi (kkal)3
4,57
4,55
4,72
4,52
4,58
4,77
E-P Ratio
12,57
10,29
9,56
12,10
10,57
9,69
Karbohidrat/BETN4
36,76
28,62
23,79
15,80
8,23
8,21
1
Campuran vitamin (mg/100 g pakan): Thiamin-HCl 5.0; riboflavin 5.0; Capantothenate 10.0;
niacin 2.0; pyridoxin-HCl 4.0; biotin 0.6; folic acid 1.5;
cyanocobalamin 0.01; inositol 200; -aminobenzoic acid 5.0; menadion 4.0; vit A
palmitat 15.0; chole-calciferol 1.9; -tocopherol 20.0; cholin chloride 900.0
2
Campuran mineral (mg/100g pakan): KH2PO4 412; CaCO3 282; Ca(H2PO4) 618;
FeCl3.4H2O 166; ZnSO4 9.99; MnSO4 6.3; CuSO4 2; CoSO4.7H2O) 0.05; KJ
0.15; Dekstrin 450; Selulosa 553.51.
3
Energi={(protein x 5,65 kkal/gr)+(lemak x 9,45 kkal/gr)+(karbohidrat x 4,10
kkal/gr)}/100 (NRC, 1993)
4
Karbohidrat=((100-(protein+lemak+abu))
c. Daya cerna karbohidrat
DK =

2.1. Analisis Data


Penelitian ini menggunakan analisis
kuantitatif.
Data dari hasil penelitian ini

%Cr2 O3 pakan x %karbohidrat feses


100 100 x
sebelumnya diuji kenormalan data dengan
%Cr2O3 feses x %karbohidrat pakan

menggunakan
program
SPSS
15
d. Daya cerna energi
(Statistical Product and Solve Solution
DE =
15), selanjutnya data yang tidak normal

%Cr2 O3 pakan x %energi feses kemudian dianalisis ragam untuk


100 100 x
%Cr2O3 feses x %energi pakan ditransformasi ke arcsin (%). Setelah

data normal, kemudian dianalisis ragam

314

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Marzuqi dan Anjusary

untuk mengetahui pengaruh pada tiap


perlakuan yang dilanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (BNT) pada taraf
kepercayaan 5% (P>0,05) dan 1%
(P<0,01). Dari hasil perhitungan uji beda
nyata terkecil (BNT) tersebut, perlakuan
yang berbeda nyata kemudian diuji respon
dengan polynomial orthogonal untuk
mengetahui perlakuan yang terbaik.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecernaan
nutrien
pakan
merupakan salah satu indikator penting
untuk pengujian pakan. Hasil pengamatan
terhadap nilai kecernaan nutrien pakan
pada juvenil ikan kerapu pasir diberi
pakan yang mengandung kadar protein
dan kadar lemak yang berbeda dalam
pakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Perbedaan kadar protein dan kadar lemak
yang
berbeda
dalam
pakan
mempengaruhi nilai kecernaan pakan
pada juvenil ikan kerapu pasir (P<0,05).
Pengaruh nyata ini terlihat pada
pemberian persentase protein, persentase
lemak dan interaksi antara keduanya.
Untuk mengetahui sejauh mana
kecenderungan
atau
respon
hasil
penelitian yang diamati maka dilakukan

analisis regresi. Hubungan antara


persentase protein dan lemak yang
berbeda terhadap nilai kecernaan protein
pada juvenil ikan kerapu pasir dapat
dilihat pada Gambar 1.
Nilai kecernaan protein tertinggi
didapat pada perlakuan pakan E yaitu
sebesar 96%. Dari perlakuan lemak yang
sama sebesar 18%, dengan jumlah kadar
protein yang lebih rendah sebesar 36%,
nilai kecernaan protein menurun menjadi
95,16% (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan
penjelasan Laining et al. (2003) bahwa
koefisien kecernaan protein cenderung
meningkat dengan meningkatnya kadar
protein dalam pakan, namun hal ini tidak
terjadi pada perlakuan pakan dengan
protein 48% dan lemak 18% serta pada
perlakuan pakan A (36%), B (42%) dan C
(48%) dengan penambahan lemak sebesar
9%, nilai kecernaan ikan terhadap protein
cenderung menurun dengan penambahan
kadar protein.
Hal ini dapat terjadi karena adanya
pengaruh aktivitas enzim. Dijelaskan oleh
Afrianto et al. (2005) bahwa pada
prinsipnya, nilai kecernaan ikan terhadap
pakan buatan yang diberikan tergantung
pada tingkat penerimaan ikan dan enzim
yang dimilikinya.

Tabel 2. Data nilai rata-rata kecernaan nutrien pada juvenil ikan kerapu pasir
(Epinephelus corallicola).
Pakan uji (protein
%, lemak %)

Parameter uji

Protein
Lemak
Karbohidrat
Energi
b
bc
d
A (36, 9)
94,98 0,24
95,75 0,19
89,89 0,42
93,51c0,20
b
a
c
B (42, 9)
94,88 0,13
94,80 0,84
84,59 1,42
92,28a0,68
C (48, 9)
93,69a0,06
93,44a0,42
77,25b1,57
90,56a0,38
D(36,18)
95,16bc0,36
96,10bc0,78
71,47b1,75
92,13a0,81
c
c
a
E(42,18)
96,00 0,33
97,17 0,49
43,41 5,30
92,59a1,03
F(48,18)
95,67bc0,13
96,44bc0,29
38,47a0,05
91,93a0,05
*) Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (P>0,05).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

315

Daya Cerna L
(%)

97
96
95
94
93
92

Lemak 9

Kecernaan Nutrien Pakan


dengan
30
36

42

48

Protein (%)

96,5

Daya Cerna Protein (%)

y = -0,0165x + 1,4308x + 65,08

Lemak 18

96
95,5
95
94,5

P36L9

P42L9

P48L9

P36L18

P42L18

P48L18

Lemak 9

Lemak 18

Protein dalam lemak 9%

Protein dalam lemak 18%

94
y = -0,175x + 101,87
93,5

Lemak 9

93
30

36

42
Protein (%)

48

54

Gambar 1. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
protein pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola)
Sedangakan Hasan (2000) dalam
Amalia et al., (2013) yang menyatakan
bahwa kehadiran enzim dalam pakan
buatan dapat membantu dan mempercepat
proses pencernaan sehingga nutrien dapat
cukup tersedia untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan. Semakin
banyak enzim yang ditambahkan ke
dalam pakan, maka akan menghasilkan
lebih banyak protein yang dihidrolisis
menjadi asam amino, sehingga akan
meningkatkan daya cerna ikan terhadap
pakan.
Selanjutnya
Fujaya
(2004)
melaporkan bahwa aktivitas enzim
dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan
substrat, suhu, pH, serta inhibitor Dalam
penelitian ini digunakan jumlah substrat
yang berupa nutrien dengan jumlah
berbeda, oleh karena itu nilai kecernaan
yang menurun diduga disebabkan oleh
jumlah nilai kadar nutrien pada komposisi
pakan. Menurut Mudjiman (2004),
aktivitas enzim amilase, lipase, dan
protease
sangat
dipengaruhi
oleh
komposisi makanan. Aktivitas enzim
pencernakan secara umum bervariasi
menurut umur ikan, faktor fisiologis dan
musim (Hepher, 1988) Pada prinsipnya
kerja enzim sebagian besar bekerja secara
khas, yang artinya setiap jenis enzim
hanya dapat bekerja pada satu macam
senyawa atau pada reaksi kimia yang
tertentu saja (Copeland, 1996; Enger and

316

Ross, 2000). Selain dipengaruhi oleh


tingkat penerimaan ikan dan enzim yang
dimilikinya, penurunan nilai kecernaan
juga dipengaruhi oleh nilai kadar
komponen nonprotein yang diberikan
pada tiap perlakuan. Menurut Hasting
(1969) dan Choubert (1983) dalam
Usman et al., (2003) bahwa kecernaan
protein dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain sumber protein, ukuran
partikel, perlakuan sebelum dan setelah
pembuatan pakan, jenis dan ukuran ikan,
jumlah konsumsi pakan, suhu, dan
komponen nonprotein dalam pakan.
Ikan membutuhkan energi untuk
aktivitas hidupnya. Dikatakan Mudjiman
(2004) bahwa secara alami, semua energi
yang dibutuhkan oleh seekor ikan berasal
dari protein. Jadi, protein digunakan
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan
tubuh.
Di
samping
itu,
untuk
pemeliharaan tubuh dapat digunakan
energi yang berasal dari lemak dan
karbohidrat. Oleh karena itu, secara
terbatas lemak dan karbohidrat dapat
digunakan untuk menggantikan peran
protein sebagai sumber energi dalam
pemeliharaan tubuh. Dengan demikian
protein akan lebih terarah untuk sumber
energi pertumbuhan. Berdasarkan nutrien
pakan dalam peneltian ini memberikan
gambaran bahwa kadar karbohidrat yang
digunakan
diduga
mempengaruhi
penurunan nilai kecernaan protein.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

54

Marzuqi dan Anjusary

Menurut
Hardy
(1991)
bahwa
perbandingan antara karbohidrat dan
protein
dalam
pakan
sangat
mempengaruhi pemanfaatan protein untuk
pembentukan
jaringan.
Apabila
karbohidrat dalam pakan tidak mencukupi
sebagai sumber energi maka ikan
terutama ikan buas seperti ikan kerapu,
akan memanfaatkan protein tidak hanya
untuk pembentukan jaringan tetapi juga
sebagai sumber energi untuk gerak.
Persentase karbohidrat yang diberikan
pada perlakuan lemak 9% lebih tinggi
daripada perlakuan lemak 18%, tetapi
kadarnya menurun seiring dengan
penambahan persentase protein yang
diberikan. Dapat dilihat pula bahwa pada
perlakuan pakan dengan persentase
protein yang lebih rendah, maka
persentase karbohidrat lebih tinggi.
Karbohidrat yang diberikan menggantikan
peran protein sebagai sumber energi
dalam pemeliharaan tubuh, sehingga
protein dimanfaatkan sepenuhnya untuk
pertumbuhan. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai kecernaan protein pada
perlakuan lemak 9% dengan persentase
protein tinggi memiliki nilai yang lebih
rendah daripada perlakuan dengan
pemberian persentase protein yang lebih
rendah dikarenakan pencernaan ikan
terhadap protein sebagai energi digantikan
dengan pencernaan karbohidrat sehingga
nilai kecernaan karbohidrat juga tinggi
(Tabel 2).
Jika dilihat dari nilai konversi
kecernaan terhadap persentase protein
yang diberikan, asupan protein yang
terkonsumsi
oleh ikan cenderung
meningkat pada setiap perlakuan. Dari
nilai asupan protein tersebut diperoleh
nilai kebutuhan protein juvenil ikan
kerapu pasir yang berkisar antara 34,1945,92%. Menurut Marzuqi et al. (2004),
nilai kebutuhan protein dari tiap ikan
berbeda-beda menurut umur dan spesies
ikan tersebut. Teng et al. (1978)
melaporkan bahwa juvenil Epinephelus

salmoides membutuhkan protein sebesar


50%, E. akaara sebesar 49,5% (Chen et
al. 1995), E. malabaricus sebesar 47,8%
(Chen & Tsai, 1994), dan E. striatus lebih
dari 55% (Ellis et al., 1996). Ikan kerapu
sebagai ikan karnivora membutuhkan
pakan dengan persentase protein yang
relatif tinggi. Giri et al. (1999)
menyatakan bahwa kebutuhan protein
untuk pertumbuhan berbagai ikan kerapu
relatif tinggi yaitu 47,8 60% dan ikan
kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
membutuhkan protein sebesar 54,2%.
Ditambahkan oleh Marzuqi et al.
(2007), kebutuhan protein optimum untuk
benih ikan kerapu sunu adalah 47,02 %.
Sedangkan untuk komposisi pakan untuk
jenis ikan kerapu baik untuk pendederan
maupun pembesaran agak berbeda karena
komposisi pakannya harus disesuaikan
dengan spesies dan stadia (umur) ikan
kerapu.
Dari hasil penelitian ini diperoleh
bahwa nilai kecernaan protein pada ikan
kerapu pasir tinggi yaitu sekitar 93,69%96,00%. Menurut Zonneveld et al. (1991)
bahwa pakan yang dikonsumsi ikan harus
dapat
dicerna
untuk
mendukung
pertumbuhannya.
Dijelaskan
oleh
Mudjiman (2004) bahwa daya cerna
protein pada umumnya sangat tinggi
hingga dapat mencapai lebih dari 90%.
Menurut Marzuqi et al. (2006), nilai
kecernaan protein yang tinggi itu sangat
penting artinya karena protein tersebut
merupakan sumber energi utama. Di
samping digunakan sebagai sumber
energi, protein juga digunakan untuk
pembentukan sel-sel baru dalam proses
pertumbuhan.
Berdasarkan Tabel 2 di atas
dilanjutkan dengan uji statistik sehingga
didapatkan hasil bahwa perbedaan
persentase protein dan persentase lemak
berpengaruh nyata (P <0,05) terhadap
nilai kecernaan lemak pada juvenil ikan
kerapu pasir. Pengaruh nyata ini terlihat
pada pemberian persentase protein,

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

317

Kecernaan Nutrien Pakan dengan

Daya Cerna Lemak (%)

98
97,5
97
96,5
96
95,5
95
94,5
94
93,5
93
92,5

sumber energi daripada ikan omnivora


(pemakan segalanya) atau herbivora
(pemakan tumbuhan) (Buwono, 2000).
Dijelaskan pula oleh Laining et al. (2003)
bahwa ikan kerapu bebek memerlukan
lemak dalam pakannya antara 9%-11%.
Menurut Jauhari (1990) menyatakan
bahwa lemak dan karbohidrat merupakan
sumber energi alternatif untuk memenuhi
kebutuhan metabolik dengan tujuan untuk
menghemat energi.
Selanjutnya
pada
Tabel
2
menunjukkan bahwa pada tingkat
kecernaan lemak yang tinggi menghasilkan kecernaan protein yang tinggi pula,
begitupun sebaliknya. Hal ini dapat terjadi
karena asam lemak yang ada pada lemak
yang digunakan dapat memberikan
kontribusi pada metabolisme ikan,
sehingga mempengaruhi tingkat kecernaan dari protein. Menurut penelitian
Palinggi et al. (2002), ikan kuwe yang
dipelihara dengan pakan yang mengandung sumber lemak, asam lemak yang
dibutuhkan ikan kuwe dapat memberikan
kontribusi
pada fungsi metabolismenya,
98
97
akibatnya
mempengaruhiLemak 18 tingkat
96
kecernaan
dari protein.
Salah satu fungsi
95
Lemak 9
94
protein 93 yaitu sebagai sumber energi
92
sepenuhnya
telah 36terpenuhi42 melalui 48lemak
30
yang ada.
Protein (%)
Daya Cerna Lemak
(%)

persentase lemak dan interaksi antara


keduanya. Hubungan antara persentase
protein dan lemak yang berbeda terhadap
nilai kecernaan lemak pada juvenil ikan
kerapu pasir dapat dilihat pada Gambar 2.
Nilai kecernaan lemak tertinggi
diperoleh pada perlakuan pakan E pada
kadar protein 42% dan lemak 18% dengan
nilai 97,17%. Nilai kecernaan lemak
menurun pada perlakuan pakan A (36%),
B (42%) dan C (48%) karena adanya
penurunan jumlah pemberian lemak pada
perlakuan tersebut menjadi 9%. Menurut
Wiramiharja et al. (2007), lemak berperan
penting sebagai sumber energi terutama
sebagai asam lemak essensial dalam
pakan ikan budidaya terutama untuk ikan
karnivora di mana keberadaan karbohidrat
sebagai sumber energi rendah sedangkan
ikan membutuhkan pakan dengan kadar
protein tinggi. Karena keberadaan
karbohidrat sebagai energi rendah, maka
beberapa bagian protein digunakan
sebagai sumber energi.
Lemak
memiliki
kandungan
energi
yang
paling
besar
bila
dibandingkan dengan protein dan
karbohidrat. Umumnya, ikan dapat
mencerna dan memanfaatkan lemak lebih
efisien dibanding hewan darat. Ikan
karnivora (pemakan daging) lebih efisien
dalam memanfaatkan lemak sebagai

P36L9
y = -0,025x2 + 2,1283x + 51,88
Lemak 18

Lemak 9

30

36

P42L9

P48L9

P36L18

P42L18

P48L18

Lemak 9

Lemak 18

Protein dalam lemak 9%

Protein dalam lemak 18%

y = -0,19x + 102,64

42

48

54

Protein (%)

Gambar 2. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
lemak pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola).

318

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

54

Marzuqi dan Anjusary

100

Protein (%)

y = -1,05x + 128,01
Lemak 9

90

Daya Cerna Karbohidrat (%)

89,89% dari pakan A (36, 9). Setelah


kadar protein dan lemak dinaikkan pada
perlakuan pakan B (42, 9), pakan C (48,
9), pakan D (36, 18), pakan E (42, 18) dan
pakan F (48, 18), nilai kecernaan ikan
terhadap karbohidrat menurun. Hal ini
mungkin karena sumber karbohidrat yang
berupa dextrin, penggunaannya dalam
formulasi dan pembuatan pakan dikurangi
pada setiap perlakuan. Jumlah pemberian
dextrin (karbohidrat) berkurang pada
setiap perlakuan dengan penambahan
kadar protein dan kadar lemak (Tabel 2).
Penurunan nilai kecernaan karbohidrat
juga disebabkan pula oleh adanya
penggunaan filler yang berupa avisel
(alfa-selulosa) dalam formulasi tersebut.
Banyak jenis ikan yang tak memiliki
enzim selulose yang dapat mencernakan
selulosa. Oleh karena itu, serat biasanya
digolongkan sebagai bahan bukan sumber
energi. Nilai rata-rata nilai kecernaan
karbohidrat pada perlakuan lemak 18%
lebih rendah dari perlakuan lemak 9%
dikarenakan pada perlakuan lemak 18%,
rata-rata nilai pemberian avisel semakin
tinggi.
Menurut
Buwono
(2000),
kandungan serat kasar dalam ransum
98
Lemak banyak/tinggi
18
pakan
tidak boleh terlalu
97
96
karena
justru dapat
mengganggu daya
95
Lemak 9
94
cerna
dan
daya
serap
dalam sistem
93
92
pencernaan
pada
ikan. 42
30
36
48

Daya Cerna Lemak


(%)

Secara umum, nilai kecernaan


lemak tinggi yaitu sekitar 93,46%96,78%. Nilai kecernaan lemak yang
tinggi membuktikan bahwa konsumsi ikan
terhadap lemak juga tinggi. Nilai
koefisien kecernaan lemak tergantung
pada sumber lemak, dan nilainya akan
menurun bila titik cair lemak meningkat
(Usman et al., 2003).
Berdasarkan Tabel 2 di atas
dilakukan
uji
statistik
sehingga
didapatkan hasil bahwa perbedaan
persentase protein dan persentase lemak
berpengaruh nyata (P< 0,05) terhadap
nilai kecernaan karbohidrat pada juvenil
ikan kerapu pasir. Pengaruh yang berbeda
nyata ini terlihat pada pemberian
persentase protein, persentase lemak dan
interaksi antara keduanya. Hubungan
antara persentase protein dan lemak yang
berbeda
terhadap
nilai
kecernaan
karbohidrat pada juvenil ikan kerapu pasir
dapat dilihat pada Gambar 3.
Dalam penelitian ini digunakan
sumber karbohidrat yang berupa dextrin.
Nilai kecernaan karbohidrat berkisar
antara 38,47-89,89% %. Menurut
penelitian Usman et al. (2003), nilai
koefisien kecernaan dextrin berkisar
antara 82,84-95,56%. Berdasarkan Tabel
2 di atas, untuk nilai kecernaan
karbohidrat didapatkan hasil bahwa
perlakuan tertinggi diperoleh sebesar

80
70
60
50

y = -2,75x + 166,62

40

P36L9

P42L9

P48L9

P36L18

P42L18

P48L18

Lemak 9

Lemak 18

Protein dalam lemak 9%

Protein dalam lemak 18%

Lemak 18

30
20
10
0
30

36

42
Protein (%)

48

54

Gambar 3. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
karbohidrat pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

319

54

Kecernaan Nutrien Pakan dengan

Penurunan nilai daya cerna juga


dapat disebabkan karena jenis sumber
karbohidrat yang digunakan. Seperti
dijelaskan oleh Shimeno (1974) bahwa
ikan karnivora umumnya memiliki
aktivitas enzim pencernaan yang rendah.
Hal ini menyebabkan tingkat kecernaan
pakan yang mengandung pati sangat
rendah. Proses yang sama juga terjadi
pada pakan yang mengandung dextrin dan
sukrosa. Sehingga secara otomatis tingkat
kecernaan ikan terhadap karbohidrat kecil
dan semakin menurun seiring adanya
penurunan jumlah dextrin (karbohidrat)
yang digunakan. Selain itu, kemampuan
ikan untuk memanfaatkan karbohidrat
tergantung pada kemampuannya dalam
menghasilkan enzim amilase (pemecah
karbohidrat). Karbohidrat diserap oleh
jaringan tubuh terutama dalam bentuk
glukosa,
yang
berfungsi
dalam
metabolisme yaitu sebagai sumber energi,
sebagai cadangan energi yang ditimbun
dalam bentuk glikogen, dan untuk diubah
menjadi trigliserida maupun asam-asam
amino non esensial. Umumnya, ikan
menyimpan pati dalam bentuk -amilase
(Buwono, 2000).
Menurut Shiau and Lan (1996)
bahwa kebutuhan kandungan karbohidrat
pakan
berbeda-beda
untuk
setiap
kelompok ukuran dan spesies ikan.
Suwirya et al. (2002) melaporkan bahwa
yuwana ikan kerapu bebek akan tumbuh
dengan baik apabila diberikan pakan
dengan kadar karbohidrat sekitar 8,21%28,68% dengan kadar optimumnya adalah
15,66%.
Berdasarkan Tabel 2 di atas
dilanjutkan dengan uji statistik sehingga
didapatkan hasil bahwa perbedaan
persentase protein dan persentase lemak
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai
kecernaan energi pada juvenil ikan kerapu
pasir. Pengaruh nyata ini terlihat pada
pemberian persentase protein, dan
interaksi antara penambahan persentase
protein dan lemak. Hubungan antara

320

persentase protein dan lemak yang


berbeda terhadap nilai kecernaan energi
pada juvenil ikan kerapu pasir dapat
dilihat pada Gambar 4.
Dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa
nilai kecernaan energi tertinggi diperoleh
pada perlakuan pakan A dengan
penambahan protein 36% dan lemak 9%
yaitu sebesar 93,51%. Nilai kecernaan
menurun pada pakan B dengan
penambahan protein 42% dan lemak 9%
yaitu sebesar 92,28%. Pada pakan C
dengan penambahan protein 48% dan
lemak 9%, nilai kecernaan menurun
kembali menjadi 90,56%. Pada perlakuan
lemak 18%, hal serupa tidak terjadi.
Pengurangan nilai daya cerna energi ini
diduga disebabkan adanya kebutuhan
energi yang tinggi sedangkan kebutuhan
protein untuk pertumbuhan juga tinggi.
Menurut Widyatmoko (2007), ikan
kerapu membutuhkan makanan yang
mengandung protein dan energi yang
tinggi. Pada pakan A (36%) dengan kadar
protein paling rendah di antara pakan B
(42%) dan C (48%) dengan kadar lemak
9%, mempunyai kebutuhan protein yang
sama untuk aktivitas dan pertumbuhan,
namun protein yang tersedia paling
rendah, sehingga pemanfaatan energi
menjadi tinggi dan harus disuplai dari
karbohidrat dan lemak. Pada perlakuan
pakan D (36%), E (42%) dan F (48%)
meskipun kadar lemak lebih tinggi yaitu
sebesar 18%, namun pada perlakuan ini
terjadi penurunan yang nyata terhadap
jumlah dextrin (karbohidrat) yang
diberikan dan merupakan sumber energi
yang termasuk dalam karbohidrat.
Jumlah energi yang diperlukan
bagi pertumbuhan dan pemeliharaan
(maintenance), dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain spesies ikan, umur ikan,
komposisi ransum, tingkat reproduksi dan
tingkat metabolisme standar (Buwono,
2000). Menurut Indriani (2008), nilai
daya cerna energi pada ikan kerapu pasir
dengan pemberian substitusi PST (protein

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Daya Cerna Lemak


(%)

98
97
96
95
94
93
92

Lemak 18

Marzuqi dan Anjusary


30

Lemak 9

36

42

48

54

Protein (%)

Daya Cerna Energi (%)

95

y = -0,43x + 110,18
Lemak 9

94
93
92

Lemak 18

P36L9

P42L9

P48L9

P36L18

P42L18

P48L18

Lemak 9

Lemak 18

Protein dalam lemak 9%

Protein dalam lemak 18%

y = -0,0156x 2 + 1,2867x + 65,91

91
90
89
30

36

42
Protein (% )

48

54

Gambar 4. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
energi pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola).
sel tunggal) yaitu berkisar antara 85,8092,08%.
Pada penelitian ini, secara umum
nilai kecernaan energi pada ikan tinggi
yaitu sekitar 90,56%-93,51%. Hal ini
dikarenakan,
perlakuan
pakan
menggunakan penambahan protein dan
lemak yang merupakan sumber energi
selain karbohidrat yang dibutuhkan oleh
ikan. Menurut Palinggi et al. (2002),
lemak merupakan sumber energi yang
potensial dan mudah dicerna, sebagai
pembawa
vitamin
yang
terlarut,
komponen membran sel yang menguatkan
ketahanan membran, dan meningkatkan
absorbsi nutrien.

kecernaan lemak sebesar 95,75%, nilai


kecernaan karbohidrat sebesar 89,89%
dan nilai kecernaan energi sebesar
93,51%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada
Bapak Sumardi, Bapak Sari, Bapak
Darsudi, Ibu Ayu Kenak dan Ibu Ari
Arsini atas peran sertanya dalam
membantu dan mendukung penelitian ini
khususnya
analisis
pakan
dan
pemeliharaan ikan sampai penelitian ini
terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

IV. KESIMPULAN
Interaksi persentase protein dan
lemak yang berbada dalam pakan
memberikan pengaruh nyata terhadap
nilai kecernaan protein, nilai kecernaan
lemak, nilai kecernaan karbohidrat dan
nilai kecernaan energi pada juvenil ikan
kerapu pasir. Secara umum penggunaan
pakan dengan kandungan protein 36%
dan lemak 9% menghasilkan nilai
kecernaan yang baik. Nilai kecernaan
protein yaitu sebesar 94,98%, nilai

Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 2005.


Pakan ikan. Kanisius. Yogyakarta.
148hlm.
Amalia, R., Subandiyono, and E. Arini.
2013. The effect of papain on
dietary protein utility and growth
of african catfish (Clarias
gariepinus). J. Aquaculture Management and Technology, 2(1):136143.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

321

Kecernaan Nutrien Pakan dengan

Anggordi, R. 1990. Ilmu makanan ternak


umum. PT Gramedia. Jakarta.
145hlm.
AOAC (Assocation of Official Analytical
Chemists). 1990. Official methods
of analysis, 12th Edition. Association of Official Analytical
Chemists.
Washington,
D.C.
1141p.
Buwono, I.D. 2000. Kebutuhan asam
amino esensial dalam ransum ikan.
Kanisius. Yogyakarta. 56hlm.
Chen, X., L. Lin, and H. Hong. 1995.
Optimum content of protein in
artificial diet for
Epinephelus
akaara. J. Oceanogr, 14:407-412.
Ellis, S, S., G. Viala, and W.O. Watanabe.
1996. Growth and feed utilization
of hatchery-reared juvenil of
nassau grouper fed four practical
diets. Prog. Fish. Cult., 58:167172.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi ikan dasar
pengembangan teknik perikanan.
Cetakan pertama. Rineka Putra.
Jakarta. 165hlm.
Gangadhara, B., M.C. Nandeesha, T.J.
Varghese, and P. Keshavanath.
1997. Effect of varying and lipid
levels on growth of rohu, Labeo
rohita. Asian Fish. Sci., 10(2):139147.
Giri, N. A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi.
1999. Kebutuhan protein, lemak
dan
vitamin C pada juwana
kerapu
tikus
(Cromileptes
altevelis). J. Penelitian Perikanan
Indonesia, 5(3):38-46.
Hardy, R.W. 1991. Feed manufacturing
and use. Takeda Chemical
Industries, Ltd. Japan. 48p.
Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes.
Cambridge
University Press,
Cambridge, New York. 388p.
Indriani, W. 2008. Pemanfaatan protein
sel tunggal dalam ransum pakan
buatan terhadap daya cerna nutrien
pada
juvenil
kerapu
pasir

322

(Epinephelus corallicola). Skripsi.


Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Brawijaya.
Malang. Tidak diterbitkan. 88hlm.
Jauhari, R. Z. 1990. Kebutuhan protein
dan asam amino pada ikan
Teleostei. Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang.
60hlm.
Kabangnga, N.,
N.N. Palinggi, A.
Laining, dan D.S. Pongsapan.
2004. Pengaruh sumber lemak
pakan yang berbeda terhadap
pertumbuhan,
retensi,
serta
koefisien kecernaan nutrien pakan
pada
ikan
kerapu
bebek,
Cromileptes altivelis. J. Penelitian
Perikanan Indonesia, 10(5):71-79.
Laining, A., N. Kabangnga, dan Usman.
2003. Pengaruh protein pakan
yang berbeda terhadap koefisien
kecernaan nutrien serta performansi biologis kerapu macan,
Ephinephelus fuscoguttatus dalam
keramba
jaring
apung.
J.
Penelitian Perikanan Indonesia,
9(2):29-34.
Marzuqi, M., N.A. Giri, dan K. Suwirya.
2004. Kebutuhan protein dalam
pakan untuk pertumbuhan yuwana
ikan kerapu batik (Epinephelus
polyphekadion). J. Penelitian
Perikanan Indonesia, 10(1):25-32.
Marzuqi, M., N.A. Giri, dan K. Suwirya.
2007. Kebutuhan protein optimal
dan kecernaan nutrien pakan untuk
benih
ikan
kerapu
sunu
(Plectropomus leopardus). J.
Aquacultura Indonesiana, 8(2):
113-119.
Mudjiman, A. 2004. Makanan ikan.
Penebar
Swadaya.
Jakarta.
182hlm.
Palinggi, N., Rachmansyah, dan Usman.
2002. Pengaruh pemberian sumber
lemak berbeda dalam pakan
terhadap pertumbuhan ikan kuwe,

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Marzuqi dan Anjusary

Caranx sexfasciatus. J. Penelitian


Perikanan Indonesia, 8(3):25-29.
Rachmansyah, P.R., P. Masak, A.
Laining, dan A. G. Mangawe.
2001. Kebutuhan protein pakan
bagi pembesaran ikan kerapu
bebek, Cromileptes altivelis. J.
Penelitian Perikanan Indonesia,
7(4):40-45.
Shiau, S.Y. and C.W. Lan. 1996.
Optimum dietary protein level and
protein energy ratio for growth of
grouper Epinephelus malabaricus.
Aquaculture, 145:259-266.
Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi.
2001. Pengaruh n-3 HUFA
terhadap
pertumbuhan
dan
efisiensi pakan yuwana ikan
kerapu
bebek
Cromileptes
altivelis. J. Penelitian Perikanan
Indonesia, 5:38-46.
Suwirya, K. Wardoyo, N. A. Giri, dan M.
Marzuqi. 2002. Pengaruh asam
lemak esensial terhadap sintasan
dan vitalitas larva kerapu bebek
Cromileptes altivelis. J. Penelitian
Perikanan Indonesia, 9(2):15-20.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory workchemical evaluation of dietary
nutrient. In Watanabe, T. (ed.).
Fish nutrition and mariculture.
Department of Aquatic Bioscience, Tokyo University of
Fisheries. 179-233pp.
Teng S.K., T.E. Chua, and P.E. Lim.
1978. Preliminary observation on
the dietary protein requirement of
estuary grouper, Epinephelus
Salmoides Maxwell cultured in
floating net-cages. Aquaculture,
15:257-271.

Usman, N.N. Palinggi, dan N. A. Giri.


2003. Pemanfaatan beberapa jenis
karbohidart bagi pertumbuhan dan
efisiensi pakan yuwana ikan
kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis). J. Penelitian Perikanan
Indonesia, 9(2):21-28.
Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and
mariculture, JICA textbook, the
general
aquaculture
course,
Departement of Aquatic Bioscience, Tokyo University of
Fisheries. Tokyo. 233p.
Widyatmoko. 2007. Peranan pakan buatan
dalam pengembangan budidaya
kerapu. PT. Suri Tani Pemuka.
Aquafeed Operation. Pengembangan
teknologi
budidaya
perikanan. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan.
25hlm.
Wiramiharja, H. Rina, M.H. Irma, and N.
Yukiyasu. 2007. Nutrisi dan bahan
pakan ikan budidaya. Fresh water
aquaculture development project.
Balai Budidaya Air Tawar Jambi
dan Japan International Coorporation Agency. 78p.
Zonneveld, N.E.A Huisman, dan J.H
Boon.
1991.
Prinsip-prinsip
budidaya ikan. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Yakarta. 128hlm.
Diterima :18 Oktober 2013
Direvisi :28 Oktober 13
Disetujui :6 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

323

324

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 325-332, Desember 2013

IMPLANTASI HORMON LHRH-a UNTUK MEMACU PERKEMBANGAN


GONAD IKAN KERAPU BEBEK GENERASI KE-2 (F-2)
IMPLANTATION OF LHRH-a HORMONE TO STIMULATION OF GONAD
DEVELOPMENT OF HUMPBACK GROUPER SECOND GENERATION ( F-2 )
Tridjoko
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Gondol Bali
Email: tridjoko_gondol@yahoo.co.id
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of LHRH-a hormone implantation on gonadal
development of humpback grouper, Cromileptes altivelis 2nd generation (F-2). Individuals used
were 20 female grouper fish with weight range of 600-800 gram/fish and total length range of
28.0-30.0 cm. The treatment used 5 fish each with tagging. Grouper fishes were stocked into
the 75 m3 circular concrete tank. Hormone of LHRH-a with dosage of 50 g/kg body weight
was used as implant treatment of (A) 1 time,, (B) 2 times, (C) 3 times, and (D) without implant.
The results showed that implantation of LHRH-a hormone were significantly stimulate gonad
development of humpback grouper second generation (F-2). Treatment of 3 times implant every
month showed the best results produced oocyte diameter up to 480 m, while the control of
oocyte diameter only reached <400 m.
Keywords: LHRH-a hormone, implantation, Humpback grouper, gonad development
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh implantasi hormon LHRH-a terhadap
perkembangan gonad ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis generasi ke-2 (F-2). Individu
yang digunakan adalah 20 ekor ikan kerapu bebek betina dengan kisaran bobot antara 600-800
gram/ekor dan panjang total antara 28,0-30,0 cm. Pada setiap perlakuan digunakan 5 ekor ikan
dan masing-masing diberi tanda. Bak yang digunakan adalah bak semen berbentuk bulat
volume 75 m3. Sebagai perlakuan adalah implantasi pelet hormon LHRH-a dosis 50 g/kg
bobot tubuh dengan frekuensi implantasi berbeda, yaitu: (A) 1 kali implantasi ; (B) 2 kali
implantasi (C) 3 kali implantasi dan (D) tanpa implantasi. Pengambilan sampel dilakukan
setiap 2 bulan yaitu untuk melihat perkembangan diameter oosit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa implantasi hormon LHRH-a berpengaruh nyata terhadap perkembangan gonad ikan
kerapu bebek generasi ke-2. Pada perlakuan 3 kali implantasi berturut-turut setiap bulan
menunjukkan hasil yang terbaik yaitu dengan diameter oosit mencapai 480 m. Sedangkan
yang kontrol diameter oosit hanya mencapai < 400 m.
Kata Kunci : hormon LHRH-a, implantasi, ikan kerapu bebek, perkembangan gonad

I. PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang menjadi
kendala dalam usaha pembenihan ikan
kerapu khususnya ikan kerapu bebek
adalah ketersediaan induk. Selama ini
induk ikan kerapu bebek yang dipijahkan
berasal dari alam yang biasa ditangkap
oleh para nelayan. Untuk memperoleh

induk ikan kerapu bebek ini relatif sulit,


karena hanya ada pada perairan-perairan
tertentu saja. Untuk menanggulangi
tantangan tersebut, maka sebagai alternatif
sudah dilakukan kajian dan usaha-usaha
untuk menyediakan induk dari hasil
budidaya generasi pertama (F-1) dan
ternyata sudah berhasil memijah dengan
baik (Tridjoko, 2003; Sari et al., 2013).

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

325

Implantasi Hormon Lhrh-a untuk Memacu...

Dari generasi F-1 yang telah berhasil


memijah, selanjutnya telah menghasilkan
calon induk generasi ke-2 (F-2) (Tridjoko
et al., 2006 ; Tridjoko et al., 2012).
Dengan keberhasilan memproduksi benih
ikan kerapu bebek F-2 tersebut maka
diharapkan teknologinya terus dapat
diperbaiki dan dimodifikasi untuk jenis
ikan kerapu lain sehingga produksinya
terus dapat ditingkatkan. Oleh karena itu
hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
proses pembenihan hingga menghasilkan
juvenil antara lain : kondisi induk, proses
kematangan gonad, penanganan telur,
teknik pemeliharaan larva, teknik pemberian pakan, dan penyakit. Dengan
demikian tahapan demi tahapan penelitian
perlu dicermati dengan saksama sehingga
didapatkan kualitas dan kuantitas benih
yang diharapkan.
Penggunaan hormon LHRH-a
pada ikan merupakan salah satu cara untuk
memacu perkembangan gonad. Hormon
berperan sangat penting dalam proses
reproduksi ikan. Perkembangbiakan ikan
secara alami banyak bergantung pada
kesiapan induk matang telur yang hanya
terjadi pada musim-musim tertentu. Untuk
perkembangbiakan secara buatan, rekayasa hormon dapat dilakukan dengan cara
implantasi hormon LHRH-a (Vanstone et
al., 1977; Crim, 1985; Lee et al., 1986;
Kuo et al., 1988; Tridjoko et al., 1997).
Disamping hormon LHRH-a , hormon
17-metiltestoteron (17-MT) mempunyai fungsi penting, yaitu secara alami
baik langsung maupun tidak langsung
merangsang perkembangan gonad ikan
kerapu betina dan jantan. Hasil penelitian
Yashiro et al. (1993)
membuktikan
bahwa hormon 17-MT dapat mempercepat proses perubahan kelamin betina
menjadi jantan pada ikan Ephinephelus
malabaricus. Pada ikan tersebut biasa
didapatkan yang jantan pada umur lebih
dari 5 tahun dengan bobot tubuh kurang
lebih 6 kg. Namun setelah disuntik dengan

326

hormon 17-MT didapatkan yang jantan


antara umur 34 - 50 bulan. Selanjutnya
Debas et al. (1989) menyatakan bahwa
hormon testosteron dosis 500 pg/kg induk
ikan efektif digunakan untuk injeksi
perubahan kelamin betina menjadi jantan
pada ikan Epinephelus microdon. Namun
pada sea bass, Dicentrarchus labrax yang
efektif pada dosis 2500 pg/kg (Yashiro et
al., 1993). Ikan kerapu termasuk ikan yang
bersifat protogynous hermaphrodite di
mana betina dewasa akan mengalami
perubahan kelamin menjadi jantan seperti
pada C. altivelis (Mishima dan Gonzales,
1994); E. fario (Kuo et al., 1988); E.
microdon (Debas et al., 1989).
Pada beberapa spesies teleostei,
ovulasi
dapat
dirangsang
dengan
penyuntikan LHRH-a. Hal ini dapat
dibuktikan oleh Hirose dan Ishida (1974)
dalam Hoar et al., (1983) dengan sekali
penyuntikan LHRH berdosis tinggi ( 2, 4
dan 8 mg/g) efektif dalam merangsang
ovulasi dengan keberhasilan berturut-turut
40,50 dan 83 % pada ikan ayu dewasa
(Plecogosus altivelis). Sedangkan Hoar
(1983) melakukan penyuntikan LHRH
setiap hari selama 5 hari dengan dosis : 1,
2 atau 10 mg/g, efektif dalam merangsang
ovulasi ikan mas koki ( 80%). Namun
demikian penelitian mengenai implantasi
hormon LHRH-a terhadap perkembangan
oosit ikan kerapu bebek (F-2) belum
pernah dilakukan.
Tujuan penelitian
implantasi dengan menggunakan hormon
LHRH-a ini adalah untuk mengetahui
pengaruh hormon terhadap perkembangan
oosit ikan kerapu bebek (F-2)
II. METODE PENELITIAN
Ikan yang digunakan dalam
percobaan ini adalah ikan kerapu bebek
hasil budidaya generasi ke-2 (F-2).
Jumlah induk betina yang digunakan
sebanyak 20 ekor dengan kisaran bobot
tiap ekor antara 600-800 gram dan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Tridjoko

panjang total antara 28,0 - 30,0 cm. Tiap


sampel individu yang diimplantasi diberi
tanda berupa microchip yang berisi
kode di punggung sebelah kanan untuk
memudahkan identifikasi, sedangkan yang
tidak diimplantasi tidak diberi tanda.
Percobaan ini dilakukan di Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Laut Gondol Bali selama 8
bulan. Bak yang digunakan untuk
percobaan adalah bak beton volume 75
m3 yang diisi 20 ekor sesuai dengan
perlakuan. Pada bak pemeliharaan dilengkapi dengan aerasi sebagai sumber
oksigen dan pergantian air diupayakan
antara 200-400%/hari dengan sistem air
mengalir terus-menerus.
Pengambilan
sampel untuk melihat perkembangan
diameter oosit
dilakukan dengan cara
kanulasi, yaitu dengan memasukkan pipa
plastik diameter 1 mm ke dalam saluran
pelepasan telur, kemudian disedot dan
dilihat di bawah mikroskop yang telah
dilengkapi dengan mikrometer. Selama
pemeliharaan ikan diberi pakan berupa
ikan segar, cumi-cumi dan ditambahkan
vitamin mix sebanyak 3 - 5% biomassa/
hari.
Sebagai
perlakuan adalah
implantasi
hormon LHRH-a dosis 50
g/kg bobot tubuh dengan frekuensi
implantasi berbeda, yaitu: (A) 1 kali
implantasi ; (B) 2 kali implantasi, (C) 3
kali implantasi dan (D) tanpa implantasi.
Masing-masing perlakuan digunakan 5
individu. Pembuatan pelet hormon
mengikuti prosedur seperti yang disarankan Lee et al. (1986) dan Prijono (1987)
yaitu mencampurkan hormon LHRH-a
dengan cocoa butter dan kolesterol. Pelet
hormon tersebut diimplantasikan pada
bagian punggung (dorsal) induk kerapu
bebek betina. Pengamatan tingkat
kematangan gonad berdasarkan perkembangan ukuran telur dan dilakukan setiap
2 bulan dengan cara induk ikan kerapu
dibius dengan 2-penoxy ethanol dosis 50 -

150 ppm hingga induk pingsan. Kanulasi


dimasukkan pada saluran pelepasan telur
kemudian disedot perlahan-lahan untuk
mengetahui perkembangan gonad atau
diameter oosit. Tahap berikutnya induk
ikan disadarkan kembali dengan cara
melepaskan ikan tersebut pada media air
yang segar, selanjutnya dilepas kembali ke
dalam
bak pemeliharaan semula.
Analisis data dilakukan pada pengukuran
diameter oosit, untuk selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam pada tingkat
kepercayaan 95%, serta uji beda nyata
terkecil (BNT) untuk melihat pengaruh
perlakuan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan kisaran diameter
oosit pada perlakuan A dari bulan Maret
sampai
dengan
bulan
September
menunjukkan semakin membesar seiring
dengan perjalanan waktu. Demikian juga
pada perlakuan B kisaran diameter oosit
pada bulan Maret hingga bulan September
mengalami kenaikan. Pada perlakuan C
kisaran diameter oosit pada bulan Maret
hingga bulan September adalah sebagai
berikut: 70-80, 190-200, 270-280, dan
450-480 m. Namun kisaran diameter
oosit induk ikan kerapu bebek F-2 pada
perlakuan D menunjukkan kecenderungan
lebih kecil bila dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (Tabel 1). Pengaruh
implantasi dengan menggunakan pelet
hormon LHRH-a secara keseluruhan
menunjukkan
adanya
peningkatan
perkembangan gonad. Terutama pada
perlakuan 3 kali implan nampak jelas
responsnya hingga akhir percobaan. Hal
ini diduga karena adanya mekanisme
perkembangan yang merupakan aksi
umpan balik positif testoteron terhadap
sekresi hormon gonadotropin (GTH) dari
hipofisa. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa testoteron atau
androgen lain yang dapat diaromatisasi

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

327

Implantasi Hormon Lhrh-a untuk Memacu...

merangsang penimbunan GTH hipofisa


(Crim et al., 1988) dalam darah.
Konsentrasi GTH yang meningkat akan
merangsang perkembangan oosit. Pada
ovarium ikan terdapat bakal sel telur yang
dilindungi suatu jaringan pengikat yang
bagian luarnya dilapisi peritoneum dan
bagian dalamnya dilapisi epitelium.
Sebagian dari sel-sel epitelium akan
membesar dan berisi nucleus. Butiran ini
kelak akan menjadi telur. Sebagian dari
epitelium menjadi pipih dengan inti yang

memanjang, kemudian melingkupi sel


telur sebagai lapisan granulose dan bagian
luar terdapat lapisan teka yang berasal dari
jaringan pengikat. Oleh karena itu maka
selama perkembangan oosit ukurannya
bervariasi (Hoar et al., 1983).
Dari hasil pengamatan perkembangan gonad ikan kerapu bebek,
menunjukkan bahwa perlakuan implantasi
pelet hormon LHRH-a berpengaruh nyata
terhadap diameter oosit (P<0.05).

Tabel 1. Hasil pengamatan diameter oosit ikan kerapu bebek generasi ke-2 (F-2).

Perlakuan

Diameter oosit (m )

Nomor kode
sampel

Maret

Mei

Juli

September

2A76

60

150

225

350

8900

50

140

220

360

C432

60

125

220

375

9A42

60

175

225

400

751F

55

150

220

375

433C

65

180

250

400

556E

60

190

250

425

326B

65

180

240

400

67G1

65

185

245

375

6560

70

185

250

400

1458

75

200

270

475

2916

70

190

275

450

45D7

80

195

275

460

2235

75

200

280

480

B495

75

195

280

470

TK

50

125

220

375

TK

50

125

220

350

TK

50

175

210

325

TK

50

150

215

300

TK

50

125

215

325

Keterangan : TK = Tidak diberi kode.

328

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Tridjoko

Tabel 2. Rata-rata diameter oosit pada akhir percobaan.

Perlakuan

Rata-rata standar deviasi

A
B
C
D

372 18.90 b
400 17.67 b
467 12.04 c
335 28.50 a

Keterangan: Nilai pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 1. Perkembangan oosit ikan kerapu bebek selama penelitian berlangsung.


Pada Gambar 1 terlihat jelas
bahwa induk ikan kerapu bebek yang
diimplantasi 3 kali berturut-turut setiap
bulan, sangat responsif terhadap perkembangan oosit. Induk yang diimplan 1 kali
hingga bulan September rata-rata diameter
oosit sebeser 372 m. Sedangkan pada
induk yang tanpa diimplan rata-rata
diameter oosit hingga percobaan berakhir
adalah 335 m. Secara keseluruhan semua
perlakuan
menunjukkan
terjadinya
perkembangan oosit, tetapi yang diimplan
3 kali
adalah yang paling cepat dan
sudah menunjukkan kematangan telur
tahap akhir. Secara histologis kematangan
telur tahap akhir ditandai dengan posisi
inti selnya yang berada di kutub,

sedangkan telur-telur yang masih dalam


fase dorman atau belum mengalami
kematangan tahap akhir ditandai dengan
posisi inti selnya yang masih di tengah
(Nagahama, 1983). Implantasi hormon
LHRH-a
secara
fisiologis
dapat
melepaskan GTH dengan perlahan-lahan.
Hormon gonadotrofin akan merangsang
perkembangan sel-sel granulosa dan
setelah mencapai perkembangan tertentu
sel-sel granulosa akan melepaskan
estradiol. Estradiol akan merangsang hati
untuk membentuk vittellogenin yang akan
merangsang proses vitelogenesis di dalam
ovarium. Setelah mencapai tingkat
tertentu proses vitellogenesis berakhir selsel granulosa akan mensekresikan hormon

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

329

Hormon Lhrh-a untuk Memacu...

steroid perangsang kematangan gonad


(MIS = maturation inducing steroid)
(Nagahama, 1983; Lam, 1985). MIS
merangsang GVBD (germinal vesicle
break down ) yang merupakan tanda
kematangan akhir dari oosit. Penggunaan
hormon untuk proses kematangan gonad
efektif apabila digunakan bertepatan pada
saat musim pemijahan di alam (Tamaru et
al., 1987). Demikian juga hasil penelitian
Crim et al. (1983) dalam Tamaru (1990)
menyimpulkan bahwa organ yang
berperan untuk proses pematangan gonad
pada ikan dipengaruhi oleh perubahan
musim dan hormonal. Oleh karena itu,
dengan melakukan 3 kali implan berturutturut selama 3 bulan ternyata cukup efektif
dalam memicu perkembangan oosit induk
ikan kerapu bebek F-2.
IV. KESIMPULAN
Implantasi
hormon LHRH-a
berpengaruh nyata terhadap perkembangan gonad ikan kerapu bebek generasi
ke 2 (F-2). Pada perlakuan 3 kali
implantasi yang dilakukan berturut-turut
setiap bulan menunjukkan hasil yang
terbaik dengan diameter oosit mencapai
480 m. Sedangkan yang kontrol diameter
oosit hanya mencapai < 400 m.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bpk/Ibu: Bagus Winaya, M. Rivai,
kelompok Peneliti/Teknisi serta para
Siswa/
Mahasiswa
Praktek
Kerja
Lapangan/Magang yang telah membantu
selama penelitian ini berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Crim, L.W. 1985. Methods for acute and
chronic hormone administration in
fish. In: Proceeding for a
workshop held at Tungkang

330

Marine Laboratory Taiwan, April


22-24, 1985. 1-9pp.
Crim, L. W., N.M. Serwood, and C.E.
Wilson. 1988. Sustamed hormone
release II effectiveness of LHRH
analogue (LHRH) administration
by either single time injection or
cholesterol pellet implantation on
plasma. Gonadotropin levels in
abrassay model fish, the juvenile
rainbar trout. Aquaculture, 74:8795.
Debas,L., Fostier, A., Fuchs, J., Weppe,
M., Nedelec, G., Benett, A., Cauty,
C., Jalabert, B. 1989. The sexuality
of cultured hermaphroditic fish
species: analysis of morphological
and endocrinological features in a
protogynous hermaphrodite; Epinephelus microdon, as a basic for
further to control reproduction in
the grouper. Advances in tropical
aquaculture: workshop held in
Tahiti, Frech Polynesia, February,
Actes Collog, IFREMER, Tahiti,
French Polynesia, 9p.
Hoar, W.S. D.J., Randal, and E.M
Donaldson. 1983. Fish physiology.
volume IX. Reproduction part B
behaviour and fertility control.
Academic Press Inc. London. 277346pp.
Kuo, C.M., Y.Y. Ting, and S.L. Yeh.
1988. Induce sex reversal and
spawning of blue spotted grouper,
Ephinephelus fario. Aquaculture,
74:113-126.
Lam,T.J. 1982. Application of endocrinology to fish culture. Can. Fish
Aquat. Sci. 39:121-137.
Lee, C.S., C.S. Tamaru, and C.D. Kelly.
1986. Technique for making
chronic release LHRH-a and 17a
MT pellet for intramuscular
implantation in fishes. Aquaculture, 59:161-168.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Tridjoko

Mishima, H. and B. Gonzales. 1994.


Some biological and ecological
aspect on Cromileptes altivelis
around Palawan Island, Philippines. Suisanzoshoku, 42(2):345349
Nagahama, Y. 1983. The functional
morphology of teleost gonads. In:
Hoar (Ed.). Fish physiology. Vol.
IX. Reproduction, Part A, endocrine tissues and hormones. Academic Press. New York. 233-275pp.
Prijono, A. 1987. Petunjuk pembuatan
pellet hormon LHRH-a, cholesterol dan silastik hormon 17a MT
untuk implantasi induk ikan
bandeng Chanos-chanos. Sub
Balai Penelitian Budidaya Pantai,
Gondal, Bali. 11hlm.
Sari B.M, Tridjoko, dan Haryanti. 2013.
Keragaman genetik ikan kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis)
generasi F-1 dan F-3. J. Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 5(1):
103-111.
Tamaru, C.S., C.S. Lee., C.D. Kelly, and
J.E. Banno. 1987. Effectiviness of
chronic LHRH-a and 17 a MT
therapy, administered at different
times prior to the spawning season,
on the maturation of milkfish
(Chanos-chanos). Thesis, the
University of Tokyo, Faculty of
Agriculture, 40-44pp.
Tamaru, C.S. 1990. Studies on the use of
chronic and acute LHRH-a
treatments on controlling maturation and spawning in the milkfish
(Chanos-chanos Forskal). Thesis,
the University of Tokyo, Faculty of
Agriculture, 158p.
Tridjoko, B. Slamet dan D. Makatutu.
1997. Pematangan induk kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis)
dengan
rangsangan
suntikan
hormon LHRHa 17- metyltes-

tosteron. J. Penelitian Perikanan


Indonesia, 3(4):30-34.
Tridjoko, B. Slamet , D. Makatutu, dan K.
Sugama.
1999.
Pengamatan
pemijahan dan
perkembangan
telur kerapu bebek (Cromileptes
altivelis)
pada
bak
secara
terkontrol. J. Penelitian Perikanan
Indonesia, 2(2):55-62.
Tridjoko. 2003. Pengamatan perkembangan gonad dan pemijahan ikan
kerapu
bebek,
Cromileptes
altivelis hasil budidaya (F1/
turunan pertama) pada bak secara
terkontrol.
Prosiding vol. 2
Seminar
Nasional
Perikanan
Indonesia.
Sekolah
Tinggi
Perikanan, Jakarta.
Tridjoko, Haryanti, I.G.N. Permana, dan
S. Ismi., 2006. Evaluasi kualitas
induk
ikan
kerapu
bebek,
Cromileptes altivelis hasil budidaya (F-1). Aquacultura Indonesiana, 7(1):45-52.
Tridjoko, K. Suwirya, dan S.B. Moria.
2012. Reproduksi ikan kerapu
bebek turunan ke 2 (F-2) dan
induk kerapu bebek dari alam (F0). Prosiding Indoaqua, Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur.
Puslitbangkan, Jakarta. Hlm.:
1067-1073.
Vanstone, W.E., Tiro, Jr., L.B. Villaluz,
A.C. Ramsingh, D.C. Kumagai, S.
Dulduco, P.T. Barnes, M.M.L.,
and C.E. Duenas. 1977. Breeding
and larval rearing of the milkfish
Chanos-chanos (Pisces Chanidae)
SEAFDEC, Aquaculture Department, Tech. Report 3:3-17.
Yashiro, N., J. Kongkumnerd, V.
Vatanakul, and N. Ruangpanit.
1993. Histological changes in
gonad of grouper, Epinephelus
malabaricus. The Proceeding of
Grouper
Culture,
Songkhla,
Thailand. 16-26pp.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

331

Hormon Lhrh-a untuk Memacu...

Yashiro,
N.,
V.
Vatanakul,
J.
Kongkumnerd, and N. Ruangpanit.
1993. Variation of sex steroids
levels in maturing grouper. The
Proceeding of Grouper Culture,
Songkhla, Thailand. 8-15pp.
Diterima : 25 Oktober 2013
Direvisi : 6 Desember 2013
Disetujui : 10 Desember 2013

332

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 333-342, Desember 2013

PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS BENIH IKAN KERAPU


MELALUI PROGRAM HIBRIDISASI
IMPROVEMENT OF SEED PRODUCTION AND QUALITY GROUPER
BY HYBRIDIZATION PROGRAM
Suko Ismi1*, Yasmina Nirmala Asih1, dan Daniar Kusumawati1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Balitbang KP KKP, Gondol-Bali
*
Email: sukoismi@yahoo.com

ABSTRACT
Several types of grouper hybrid seeds can now be massively produced in a hatchery.
Hybrid seeds can increase diversification of aquaculture species and potential to increase fish
production. Therefore, an improvement in hybrid seed production both in high quantity and
quality is very important. This research was conducted to produce massively cantik grouper
hybrid seeds i.e.,a crossbreed between female tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) and
male marbled grouper (Epinephelus microdon). This research examined the cantik grouper
seed production compared with the production of tiger grouper and marbled grouper
fingerlings. The research results showed that cantik hybrid grouper seeds production had
higher survival rate (24.59%) than tiger grouper (17.44%) and marbled grouper (4.63%). The
total length of the seed at the age of 45 days for cantik grouper was 3.59 0.21 cm, tiger 3.24
0.55 cm, and batik 2.61 0.42 cm, respectively. Seed abnormality for cantik grouper was
4.13%, tiger grouper 30.21%, and marled tiger 0.57%, respectively. Based on genetic variation
analyses, the cantik grouper had a closer genetic relationship with the marbled grouper
compared with the tiger grouper.
Keywords: Marbled grouper, hybridization program, seeds production, quality
ABSTRAK
Beberapa jenis benih ikan kerapu hibrida saat ini sudah dapat diproduksi secara masal
di hatchery. Benih hibrida selain menambah diversifikasi spesies juga mempunyai prospek
budidaya yang berpeluang untuk meningkatkan produksi perikanan di masa datang. Oleh karena
itu perlu adanya pemantapan produksi benih ikan kerapu hibrida agar dapat menghasilkan benih
yang mempunyai kuantitas dan kualitas yang baik, dan pada akhirnya diharapkan dapat
membantu pemenuhan kebutuhan benih pada perikanan budidaya dan pembenihannya dapat
diterapkan di masyarakat sebagai usaha yang menguntungkan. Dalam penelitian ini diproduksi
secara masal benih ikan kerapu cantik, yaitu hasil persilangan antara ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) betina dan ikan kerapu batik (Epinehelusmicrodon) jantan. Pada
penelitian ini dikaji hasil produksi benih ikan kerapu cantik dibandingkan dengan produksi
benih ikan kerapu macan dan ikan kerapu batik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelangsungan hidup benih ikan kerapu cantik (24,59%) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan
kerapu macan (17,44%) dan ikan kerapu batik (4,63%). Panjang total benih pada umur 45 hari
masing-masing ikan kerapu cantik 3,59 0,21 cm; ikan kerapu macan 3,24 0,55 cm dan batik
2,61 0,42 cm. Abnormalitas benih ikan kerapu cantik 4,13%, ikan kerapu macan 30,21% dan
ikan kerapu batik 0,57%. Hasil analisis variasi genetik ikan kerapu cantik mempunyai
kekerabatan lebih dekat dengan ikan kerapu batik dibandingkan dengan ikan kerapu macan.
Kata kunci: ikan Kerapu cantik, kualitas, program hibridisasi, pembenihan kerapu

I.

PENDAHULUAN
Ikan kerapu adalah komoditas
perikanan Indonesia yang diunggulkan

dan mempunyai nilai ekonomi yang


tinggi, mempunyai harga yang mahal serta
merupakan komoditas ekspor. Saat ini

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

333

Peningkatan Produksi dan Kualitas Benih...

budidaya ikan kerapu sudah berkembang,


maka perlu ketersediaan benih secara
kontinu, untuk mencukupi kebutuhan
benih perlu adanya usaha pembenihan
ikan kerapu, yang teknologinya sudah
dapat diaplikasikan (Sugama et al., 2001,
2012; Ismi, 2011). Benih ikan kerapu
yang sudah dapat memasok kebutuhan
budidaya adalah ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) (Ismi,
2006a; 2008, 2010a, 2010b; Ismi et al.,
2012b). Hingga saat ini di tingkat petani
harga kerapu harga kerapu bebek Rp.
350.000/kg, kerapu macan Rp. 125.000/kg
dan salah satu kerapu yang banyak di
minati karena enak rasanya adalah kerapu
batik (Epinephelus microdon) harga
dilapangan
Rp.140.000/kg
namun
mempunyai pertumbuhan yang lambat
dan hingga saat ini produksi benihnya
masih sulit (Giri, 2001).
Hibridisasi adalah salah satu cara
untuk meningkatkan keragaan genetik
ikan di mana karakter-karakter dari
tetuanya akan saling bergabung menghasilkan turunan yang tumbuh cepat, tahan
terhadap penyakit bahkan perubahan
lingkungan yang ekstrim dan bahkan
terkadang menghasilkan ikan yang steril
(Hickling, 1968).
Benih
hibrid
selain
dapat
menambah diversifikasi spesies juga
mempunyai prospek budidaya yang
berpeluang untuk meningkatkan produksi
perikanan di masa datang (Sunarma et al.,
2007). Karena itu pada ikan kerapu perlu
adanya peningkatan produksi dan kualitas
benih melalui hibridisasi sehingga dapat
membantu
kebutuhan
benih
pada
perikanan budidaya dan pembenihannya
dapat diterapkan di masyarakat sebagai
usaha yang menguntungkan. Salah satu
kerapu hasil hibridisasi adalah kerapu
cantang hasil persilangan antara ikan
kerapu macan dan ikan kerapu kertang
(Epinephelus lanceolatus) (Ismi dan Asih,
2011a, 2011b). Kerapu cantang sudah

334

dapat dikembangkan dengan baik dari


benih hingga konsumsi (Ismi, 2012a).
Untuk menambah diversitas maka saat ini
telah berhasil dikembangkan hibridisasi
antara ikan kerapu macan dan ikan
kerapu batik yang diberi nama kerapu
cantik (Asih dan Ismi, 2011). Diharapkan
hasil hibridisasi yaitu kerapu cantik dapat
meningkatkan produksi dan mempunyai
kualitas lebih baik dari kerapu batik dan
macan. Karena itu dalam penelitian ini
dipelihara
secara massal benih ikan
kerapu cantik, macan dan batik dari
ketiganya dikaji hasil produksi dan
kualitasnya, untuk membuktikan apakah
kerapu cantik hasilnya lebih baik sehingga
dapat
menambah
diversitas
dan
meningkatkan kualitas benih sehingga
dapat dipakai sebagai usaha pembenihan
di masyarakat.
II. METODE PENELITIAN
Telur kerapu yang dipakai adalah:
kerapu macan, kerapu batik dan kerapu
cantik, larva kerapu dipelihara pada tangki
ukuran 8 m3, pemeliharaan hingga juvenil
ukuran sekitar 3 cm, pemeliharaan larva di
ulang
tiga kali dengan waktu yang
berbeda, data yang diperoleh dianalisa
secara deskriptif.
Manajemen pembenihan mengikuti aturan cara pembenihan ikan yang
baik (Anonim, 2008) dan tahapan
pemeliharaan larva mengikuti panduan
yang telah ada (Sugama et al., 2001).
Telur ikan kerapu ditebar dengan
kepadatan 10 butir/liter.
Pola pemberian pakan dan
manajemen air dilakukan berdasarkan
standar pemeliharaan yang telah ada
(Tabel 1 dan Tabel 2). Larva pertama kali
diberi makan setelah mulut terbuka, yaitu
pada hari ke-3, dan pakan yang diberikan
adalah pakan alami rotifer dengan
kepadatan awal 5-6 ind/ml. Rotifer
diberikan dua kali sehari (pagi dan sore)
dengan jumlah pemberian disesuaikan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ismi et al.

dengan sisa di dalam tangki pemeliharaan.


Rotifer dalam air pemeliharaan larva
dihitung setiap hari dari umur 3 hingga 8
hari kepadatan dipertahankan 5 ind/ml.
Setelah umur larva 8 hari hingga umur 25
hari, kepadatan rotifer ditingkatkan
menjadi 10-15 ind/ml.
Saat larva hari ke-2 sampai hari
ke-25,
pada
tangki
pemeliharaan
ditambahkan Nannochloropsis sp. sebagai
green water dan sebagai pakan untuk
rotifer (Ismi et al., 2012c). Pada larva
umur 6 hari mulai diberi pakan buatan
yang berupa mikro pelet (merek dagang
Love Larva), ukuran pelet disesuaikan
dengan ukuran mulut
larva. Pelet
diberikan 4-6 kali sehari. Naupli artemia
diberikan mulai saat larva berumur 15 - 20
hari, pemberian dilakukan hingga larva
berumur 35-45 hari, banyaknya pemberian
disesuaikan dengan perkiraan jumlah larva
dan hanya diberikan 2 kali sehari (pagi
dan sore). Pemberian artemia ini harus

termakan habis oleh larva selama 1-2 jam


setelah diberikan.
Parameter yang diamati: pertumbuhan larva yang diukur dari panjang
total, setiap 5 hari sekali secara sampling
setiap produksi diambil masing-masing
jenis ikan 20 ekor. Kelangsungan hidup
dihitung jumlah keseluruhan pada akhir
penelitian. Jumlah rotifer di air
pemeliharaan cara menghitung diambil air
pemeliharaan secara sampling 50 ml
kemudian rotifer dihitung di bawah
mikroskop (ind/ml) dan jumlah rotifer di
dalam perut larva dihitung dengan cara
memencet perut larva kemudian dihitung
jumlah rotifer di bawah mikroskop.
Abnormalitas dihitung dari jumlah benih
yang cacat dibagi total jumlah produksi
benih yang dihasilkan dikali 100%. Uji
vitalitas : masing-masing benih : ikan
kerapu macan, batik dan cantik setiap kali
panen diambil 50 ekor kemudian benih
direndam dengan air tawar 15-20 menit

Tabel 1. Pola pemberian pakan pada pemeliharaan larva ikan kerapu selama penelitian.
Pakan
2
Nannochloropsis sp.
Rotifer
Artemia
Pakan buatan/

3 6

Hari setelah menetas


15 20 25 30
35

40

45

50

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Table 2. Manajemen air, pembersihan dasar tangki dan pemberian minyak ikan pada
pemeliharaan larva ikan kerapu.

Perlakuan
Minyak ikan
Pergantian air
Pembersihan dasar
tangki

10

Hari setelah menetas


12 20 25 30 35

40 45

50

xxxxxxxx
10% xxxxxx20% xxxxxx50% xxxxxx100%xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

335

Peningkatan Produksi dan Kualitas Benih...

dan benih di keringan di udara selama 2-5


menit. Analisis ekonomi dihitung dari
operasional yang dipakai selama produksi
sampai ukuran sekitar 3 cm , variasi
genetik dianalisis dengan RAPD, kualitas
air meliputi: DO, salinitas, suhu, pH yang
diukur setiap hari.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian produksi masal
pemeliharaan larva kerapu macan, batik
dan cantik dapat dilihat pada Tabel 3.
Daya tetas telur ketiga jenis ikan kerapu
> 80% yang berarti mempunyai kualitas
telur yang bagus dan layak untuk
pembenihan. Terlihat dari produksi benih
hibrid ikan kerapu cantik menghasilkan
kelangsungan hidup lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil produksi ikan
kerapu macan dan batik. Panjang total
pada akhir penelitian : benih kerapu cantik
hampir sama dengan kerapu macan dan
lebih besar dari kerapu batik.
Dilihat dari kualitas benih
persentase benih yang cacat ikan kerapu
cantik lebih kecil dibandingkan dengan
kerapu macan namun masih lebih besar
jika dibandingkan dengan kerapu batik.
Dari hasil produksi tersebut ikan kerapu
cantik
menunjukkan
keunggulan
dibandingkan dengan produksi kerapu
macan dan batik.
Beberapa macam cacat yang
dialami juvenil antara lain insang terbuka,
cacat pada mulut (mulut atas pendek dan
mulut bawah pendek) dan tulang belakang

bengkok di antaranya: lordosis (tubuh


melengkung ke atas), kiposis (tubuh
melengkung ke bawah, skiolosis (tubuh
terlihat memendek yang disebabkan
tulang belakang melengkung keatas dan
ke bawah) (Ismi, 2006b). Dari beberapa
penelitian
menyebutkan
bahwa
abnormalitas pada benih ikan
yang
dihasilkan dari pembenihan disebabkan
oleh banyak faktor di antaranya adalah
genetik (Paperna, 1978; Piron, 1978).
Hasil pengukuran pertumbuhan
panjang dari ikan kerapu macan, batik dan
cantik, dengan panjang total awal larva
1,6 0,2 mm dipelihara selama 45 hari,
ikan kerapu cantik menjadi 3,59 0,21cm
mendekati ikan kerapu macan 3,24 0,55
cm sedangkan dengan ikan kerapu batik
hanya 2,61 0,42 cm (Gambar 1).
Dari penelitian ini terbukti bahwa
benih ikan kerapu cantik yang merupakan
hasil hibridisasi nampaknya dapat lebih
meningkatkan hasil produks benih (Tabel
3) dan dapat meningkatkan kualitas selain
menambah diversifikasi benih ikan kerapu
untuk menyuplai kebutuhan budidaya laut.
Seperti kita ketahui bahwa ikan kerapu
macan adalah salah satu ikan kerapu yang
benihnya sudah dapat diproduksi secara
kontinu (Ismi, 2005; Ismi, et al., 2012a;
2012c dan Sugama et al., 2012),
sedangkan ikan kerapu batik hingga saat
ini benih masih sulit untuk diproduksi,
dari
beberapa
hasil
penelitian
pemeliharaan larva kelangsungan hidup
hingga juvenil masih di bawah 5 % (Giri,
2001; Setiawati dan Harianto, 2003;

Tabel 3. Hasil rata-rata produksi massal benih ikan kerapu macan, batik dan cantik dari
3 kali siklus produksi.
Jenis ikan
kerapu
Kerapu macan
Kerapu batik
Kerapu cantik

336

Daya tetas telur


(%)

Kelangsungan
hidup (%)

Panjang total
(cm)

Abnormalitas
(%)

81,30
83,50
82,90

17,47
4,63
24,59

3,240,55
2,610,42
3,590,21

30,21
0,57
4,13

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Panjang total (cm)

Ismi et al.

7
6
5
4
3
2
1
0
-1

K. Macan
K. Batik

K. Cantik
1

10

15

20

25

30

35

40

45

Hari

Gambar 1. Panjang total benih ikan kerapu macan, ikan kerapu batik dan ikan kerapu
cantik.
Harianto et al., 2005). Dari penelitian ini
kelangsungan hidup produksi ikan kerapu
batik juga masih rendah yaitu hanya
mencapai 4,63%, jauh lebih kecil dari
produksi ikan kerapu macan 17,47% dan
batik 24,59%.
Jika dilihat dari hasil produksi
benih ikan kerapu cantik dan ikan kerapu
macan hasilnya lebih baik dari ikan
kerapu batik, maka bisa dikatakan
pemeliharaannya
lebih
mudah,
dibandingkan dengan ikan kerapu batik.
Secara performa (Gambar 2) dan
pertumbuhannya mendekapi/hampir sama
dengan ikan kerapu macan (Gambar 1).
Tetapi dari hasil analisa variasi genetik
untuk melihat jarak kekerabatan antara
ikan kerapu hibrid dengan tetuanya (wild
type) diuji dengan RAPD menggunakan
1 set primer OPA1 OPA20 ikan kerapu
cantik
mempunyai kekerabatan lebih
dekat dengan ikan kerapu batik
dibandingkan dengan ikan kerapu macan
(Gambar 3).

Dari pengamatan sisa rotifer pagi


hari sebelum ditambahkan rotifer jumlah
rotifer di bak pemeliharaan dari ke tiga
jenis larva ikan kerapu hampir sama dapat
dilihat pada Gambar 4. Sisa rotifer pada
hari ke dua masih sekitar 3 ind/ml
selanjutnya naik menjadi sekitar 6 -12
ind/ml, kepadatan rotifer selalu bertahan
sesuai kebutuhan dan akan ditambah
setiap hari jika kurang.
Jumlah rotifer dalam perut larva,
nampaknya pada ikan kerapu macan dan
cantik lebih banyak dari kerapu batik
(Gambar 5). Jumlah rotifer yang dimangsa
dengan semakin bertambah umur larva
semakin banyak, setelah umur 15 hari
nampaknya larva sudah aktif makan pakan
tambahan dan perut larva sudah tidak
transparan lagi karena kulit larva mulai
menebal maka pengamatan jumlah rotifer
dalam perut susah dilakukan.
Salah satu cara untuk menguji
ketahanan atau kekuatan benih ikan
adalah dengan uji vitalitas, pada penelitian

Gambar 2. Performa ikan kerapu macan (A), ikan kerapu cantik (B) dan ikan kerapu
batik (C).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

337

Peningkatan Produksi dan Kualitas Benih...

Gambar 3. Dendogram tingkat similaritas ikan kerapu macan (A), ikan kerapu hibrida
cantik (B) dan ikan kerapu batik (C).

Gambar 4. Kepadatan rotifer di dalam air pemeliharaan larva kerapu macan, kerapu
batik dan kerapu cantik.

Gambar 5. Jumlah rotifer dalam isi perut larva ikan kerapu macan, kerapu batik dan
kerapu cantik.

338

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ismi et al.

ini benih hasil produksi dari ke tiga jenis


ikan kerapu yaitu macan, batik dan cantik
diuji dengan perendaman air tawar dan
pengeringan. benih kerapu macan, batik
dan cantik mempunyai vitalitas yang sama
setelah perlakuan uji, benih hanya
pengalami kematian kurang dari 5%.
Parameter kualitas air selama penelitian
dapat dilihat pada Tabel 4. Selama
pemeliharaan larva dengan kondisi air
tersebut larva tidak mengalami gejala-

gejala klinis apapun yang disebabkan oleh


kondisi air pemeliharaan karena itu
kualitas air tersebut masih dalam taraf
layak untuk pemeliharaan ketiga larva
ikan kerapu.
Analisis ekonomi yang dihitung
dari operasional pemeliharaan larva dapat
dilihat pada Tabel 5. Dari hasil
keuntungan produksi benih kerapu cantik
lebih besar dibandingkan dengan produksi
benih kerapu macan dan batik.

Tabel 4. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan larva.

Parameter

Ikan Kerapu Macan

Perlakuan
Ikan Kerapu Batik

28,20 -29,70
8,12 - 8,17
33,00 - 34,00
4,30 - 6,30

28,40 - 30,10
8,14 - 8,19
33,00 - 34,00
4,80 - 6,50

Suhu (oC)
pH
Salinitas (g/L)
DO (mg/L)

Ikan Kerapu
Cantik
28,30 - 29,80
8,15 - 8,19
33,00 - 34,00
4,70 - 6,40

Tabel 5. Analisa ekonomi pemeliharaan larva kerapu macan, batik dan cantik selama
pemeliharaan.

Uraian Bahan

Harga
(Rp)

Biaya Produksi
Telur ikan kerapu:
- Macan
2
- Batik
2
- Cantik
2
Pakan buatan (1 siklus)
Artemia
450000,0
(kaleng)
Bahan pengkaya dan vitamin
Minyak ikan
40000,0
Listrik (bln)
200000,0
Pupuk plankton (1 siklus)
Kaporit, klorin, Tiosulfat

Ikan Kerapu Macan


Jumlah
Jumlah
(Rp)
bahan
X1000

Ikan Kerapu Batik


Jumlah
Jumlah
(Rp)
bahan
X1000

Ikan Kerapu Cantik


Jumlah
Jumlah
(Rp)
bahan
X1000

100000
btr

100000
btr

100000
btr

2900,0
6 bh

JUMLAH
1000,0

2700,0

0,5
3,0

9912,0

HASIL KOTOR
Teknisi hasil kotor x 20%
HASIL BERSIH

20,0
600,0
500,0
100,0
200,0
7470,0
9912,0
2442,0
488,4
1953,6

200,0
1000,0

2 bh

250,0

Lain-lain
Panen 3 cm*

200,0

900,0

4000,0
8 bh

250,0
0,5
3,0

3844

20,0
600,0
500,0
100,0
200,0
3778,0
3844,0

500,0

3600,0
250,0

0,5
3,0

19543

660,0
132,0
528,0

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

20,0
600,0
500,0
100,0
200,0
9770,0
19543,0
9773,0
1954,6
7818,4

339

Peningkatan Produksi dan Kualitas Benih...

Keuntungan yang diperoleh dari


produksi benih kerapu cantik Rp.
7.818.400 jauh lebih tinggi dari pada ikan
kerapu macan Rp. 1.953.600 walaupun
kelangsungan hidup ikan kerapu macan
(17,47%) tidak jauh berbeda dengan ikan
kerapu cantik (24,59%), tetapi pada ikan
kerapu macan benih yang cacat lebih
banyak yaitu sebesar 30,21% dari benih
yang dihasilkan sedangkan ikan kerapu
cantik hanya 4,13%. Karena benih yang
cacat
tidak
laku
terjual,
maka
mempengaruhi dari keuntungan ikan
kerapu macan, hal ini membuktikan juga
bahwa kualitas benih hibrid kerapu cantik
lebih bagus dibandingkan dengan ikan
macan.
IV. KESIMPULAN
Hibridisasi antara ikan kerapu
macan
dan
kerapu
batik
dapat
meningkatkan produktivitas dan kualitas
benih ikan kerapu. Ikan kerapu cantik
mempunyai
kelangsungan
hidup,
pertumbuhan dan kualitas larva lebih baik
dibandingkan dengan hasil produksi ikan
kerapu macan dan ikan kerapu batik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Pedoman umum cara
pembenihan ikan yang baik
(CPIB). Departemen Kelautan dan
Perikanan
Direktorat
Jendral
Perikanan Budidaya Direktorat
Pembenihan. 61hlm.
Giri, N.A. 2001. Pembenihan ikan kerapu
batik (Epinephelus microdon)
sebagai upaya penyediaan benih
untuk pengembangan budidaya
laut. Warta penelitian perikanan
Indonesia, 7(1):3.
Harianto, J.H., K.M. Setawati, Wardoyo,
dan N.A. Giri. 2005. Pengaruh
perbedaan kepadatan awal larva
kerapu
batik
(Epinephelus
microdon) terhadap sintasan dan

340

keragaman
larva.
Prosiding
Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol. 127hlm.
Hickling, C. 1968. Fish hybridization.
Proc. of world symp. On warm
water pond fish culture. FAO Fish
Rep., 44:1-10.
Ismi, S. 2005. Pemeliharaan larva kerapu.
Bahan kuliah pada desiminasi
budidaya laut berkelanjutan. Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut Gondol bekerja sama dengan
Japan International Cooperation
Agency) dan Dirjen Perikanan
Budidaya Departemen Kelautan
dan Perikanan. 8hlm.
Ismi, S. 2006a. Beberapa macam cacat
tubuh (abnormalitas) kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dari hasil
hatcheri. Prosiding Konferensi
Nasional Akuakultur Makasar 2325 Nov. 2005. Masyarakat
Akuakultur Indonesia 2006.
Ismi, S. 2006b. Usaha pendederan benih
kerapu
macan
(Epinephelus
fuscoguttatus). Media Akuakultur,
1(3):97-10.
Ismi, S. 2008. Pendederan benih kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) di tambak merupakan salah
satu alternatif usaha perikanan.
Prosiding
Seminar
Nasional
Perikanan 2008. Sekolah Tinggi
Perikanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Jakarta, 4-5
Desember 2008. Hlm.:378-381.
Ismi, S. 2010a. Pendederan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) sebagai
salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani pada
pembenihan ikan laut. Pros.
Simposium Nasional Pembangunan Sektor Kelautan Dan Perikanan
kawasan Timur Indonesia 2010.
Ambon, 1-2 Agustus 2010.
Hlm.:224 -2306.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ismi et al.

Ismi, S. dan Y.N. Asih. 2010b. Teknik


pemeliharaan
larva
untuk
peningkatan mutu benih kerapu
pada produksi massal secara
terkontrol.
Prosiding
Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur
Buku I. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Budidaya. Hlm.:331-338.
Ismi, S., dan Y.N. Asih. 2011a.
Pengamatan perkembangan benih
kerapu hybrid persilangan antara
kerapu
macan
(Epinephelus
fuscoguttatus) dan kerapu kertang
(Epinephelus lanceolatus). Prosiding Seminar Nasional Kelautan
VII. Surabaya, 18 Juli 2011.
Hlm.:100-104.
Ismi, S., dan Y.N. Asih. 2011b. Perkembangan telur dan tingkah laku larva
kerapu hybrid cantang. Prosiding
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Bali19-21 Juli 2011.
Hlm.:9-12.
Ismi, S. 2011. Perkembangan pembenihan
ikan laut di Bali. Prosiding
pertemuan
Ilmiah
Nasional
Tahunan VII ISOI 2010. Pangkal
Pinang, Bangka Belitung, 6-7
Oktober 2010. Hlm.:25-30.
Ismi, S. 2012. Usaha pendederan kerapu
hybrid cantang di
tambak.
Prosiding Indoaqua Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur. Makasar 811 Juni 2012. Hlm.:153-156.
Ismi. S., Y.N. Asih, D. Kusumawardani,
dan
T.H.
Prihadi.
2012a.
Pendederan benih kerapu sebagai
usaha
untuk
meningkatkan
pendapatan masyarakat pesisir.
Prosiding Seminar Insentif Riset
SINas (INSINas2012). Bandung,
29-30 November 2012. Hlm.:312318.
Ismi, S., T. Sutarmat, N.A. Giri, M.A.
Rimmer, R.M.J. Knuckey, A.C.
Berding, and K. Sugama. 2012b.
Nursery management of grouper: a

best-practice manual. Australian


Centre for International Agricultural Research (ACIAR) 2012.
44p.
Ismi, S., Y.N. Asih, B. Slamet, dan K.T.
Suwirya. 2012c. Pengaruh kepadatan Nannochloropsis sp. Pada
pemeliharaan larva kerapu bebek
(Cromileptes
altivelis)
secara
terkontrol. J. Ris. Akuakulture,
7(3):407419.
Paperna., I. 1978. Swimbladder and
skeletal deformations in hathery
dred Sparus aurata. J. Fish Biol.,
12:109-114.
Piron, R.D. 1978. Spontaneous sketal
deformities in Zebra Danio
(Brachydanio rerio) ber for fish
toxicity tests. J. Fish Biol., 13:7983.
Setiawati, K.M. dan J.H. Hutapea. 2003.
Pemeliharaan larva kerapu batik,
Epinephelus
microdon
pada
salinitas yang berbeda. Prosiding
Seminar Nasional Revitalisasi
Teknologi Kretivitif
dalam
Mendukung
Agribisnis
dan
Otonomi Daerah.
Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi,
E. Setiadi, dan S. Kawahara. 2001.
Petunjuk teknis produksi benih
ikan kerapu bebek, Cromileptes
altivelis. Balai Riset Budidaya
Laut Gondol, Pusat Riset dan
Pengembangan Eksploirasi laut
dan
Perikanan
Departemen
Kelautan dan Perikanan dan Japan
International Cooperation Agency.
40hlm.
Sugama, K., M.A. Rimmer, S. Ismi,
I.Koesharyani, K. Suwirya, N.A.
Giri, and V.R. Alava. 2012.
Hatchery management of tiger
grouper (Epinephelus fuscoguttatus): a best-practice manual.
Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR)
2012. 66p.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

341

Peningkatan Produksi dan Kualitas Benih...

Sunarma, A., D.W.B. Hastuti, dan Y.


Sistina. Penggunaan ekstender
madu
yang
dikombinasikan
dengan krioprotektan berbeda pada
pengawetan sperma ikan nilem
(Indonesian
Shark-minnow,
Osteochilus hasseltii Valenciennes, 1842). Prosiding Masyarakat
Akuakultur Indonesia, Surabaya 57 Juni 2007. Hal.:9-18.
Diterima :17 November 2013
Direvisi :3 Desember 2013
Disetujui :11 Desember 2013

342

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 343-351, Desember 2013

PEWARISAN POLA WARNA IKAN KLON BIAK, Amphiprion percula


HEREDITY OF BAND PATTERN IN CLOWN FISH, Amphiprion percula

Sari B.M. Sembiring1*, K.M. Setiawati1, J.H. Hutapea1, dan W. Subamia2


1
Institute for Mariculture Research and Development, Bali
*
e-mail: moriasembiring@yahoo.co.id
2
Research and Development Institute for Ornamental Fish Culture, Depok
ABSTRACT
One of marine ornamental fishes which was succeeded on its breeding, from eggs production to
larval and juvenile rearing at Institute for Mariculture Research and Development, Gondol was
Clown fish, Amphiprion percula. In local name, the fish also known as Biak Clown fish. In
culture development, the fish frequently faced the problem on color pattern which was not meet
with export demand. The fish should be bright orange and thin black stripe pattern. In this
experiment, analysis was conducted to understand the juvenile color variation produced from 3
pairs broodstock. Larvae and juvenile were reared in the indoor hatchery for 2-3 months,then
reared at outdoor tanks for other 3-4 months. Amplification of broodstock and juvenile genoms
using specific primer for pigment sequens. Parameters observed on juvenile were classified into
three color pattern classes i.e., class I (thick black stripe and disperse), class II(thick black
stripe), and class III (thin black stripe). Numbers of juvenile analyzed from its pair broodstock
and each class were 2-3 fishes. Color perform similarity coefficient was analyzed molecularly
using sequencing. Sequencing process followed: DNA isolation, amplification using gen Tyr
primer, purification PCR product and finally DNA sequencing. Sequencing analyses of PCR
product, after alignment showed that similarity coefficient of color pattern of class I, II, and III
between broodstock and juvenile was only 50 %, and phenotipically, color pattern appeared on
juvenile were different than its broodstock. The changes of color perform on Clown fish also
affected by interaction between genotype and environment and feed pigment concentration.
Keywords: heredity, color pattern, Tyr gene, clown fish, A. percula
ABSTRAK
Dalam pengembangan budidaya ikan klon hitam, Amphiprion percula, sering ditemui kesulitan
dalam memperoleh benih dengan kualitas yang memenuhi kriteria ekspor, yaitu warna benih
yang oranye cerah dan setrip hitam yang tebal. Dalam penelitian ini analisis dilakukan untuk
mengevaluasi variasi warna benih secara fenotipe serta koefisien kemiripan genotype dengan
gen Tyr dari tiga pasang induk. Selanjutnya larva dan benih yang dihasilkan dipelihara di
hatchery indoor selama 2-3 bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemeliharaan di outdoor
selama 3-4 bulan. Amplifikasi genom induk dan benih menggunakan primer yang mengkode
sekuen gen Tyr yang mengontrol pengontrol pigmen gen Tyr. Variabel yang diamati meliputi
performa warna klas I (hitam tebal melebar), klas II (bergaris hitam tebal), dan kelas III
(bergaris hitam tipis). Jumlah benih yang dianalisis dari setiap klas sebanyak 2-3 ekor untuk
setiap pasang induk. Koefisien kemiripan performa warna dengan gen Tyr dianalisis secara
molekuler menggunakan sekuensing. Hasil sekuensing menunjukkan nilai koefisien kemiripan
performa pola warna klas I; II dan III antara induk dan benih hanya 50 persen, akibatnya
secara fenotipe pola warna yang muncul pada benih berbeda dari induknya.
Kata kunci: pewarisan, pola warna, gen Tyr, ikan klon hitam, A. percula

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

343

Pewarisan Pola Warna Ikan...

I. PENDAHULUAN
Ikan klon Biak atau klon hitam
(Amphiprion percula) adalah ikan hias air
laut yang memiliki daya tarik pada
warnanya. Warna merupakan salah satu
parameter dalam penentuan nilai ikan
hias. Semakin cerah warna suatu jenis
ikan, maka semakin tinggi nilainya. Ikan
dengan nama dagang true clown fish ini
memiliki warna kuning oranye dengan 3
ban putih pada bagian kepala, badan dan
pangkal ekor dengan ciri khusus terdapat
warna hitam di sepanjang bagian sisi
badan (Allen, 2000; Poernomo et al.,
2003). Namun perkembangan pola warna
hingga muncul 3 ban putih secara lengkap
dengan warna hitam di sepanjang sisi
badan masih tidak stabil.
Pembenihan ikan klon Biak atau
klon hitam telah dilakukan pada tahun
2010. Permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan budidaya ikan klon biak
ini adalah sulitnya memperoleh benih
dengan kualitas yang memenuhi kriteria
ekspor dengan warna benih yang oranye
cerah dan setrip hitam yang tebal. Di
samping itu benih yang dihasilkan dari 1
pasang induk masih sangat bervariasi.
Sebagaimana
telah
diketahui
bahwa pola pigmen merupakan karakter
fenotipe yang selalu diturunkan dari induk
pada turunannya. Selain faktor gen
sebagai
pengontrol
pola
pigmen,
lingkungan juga mempengaruhi fisiologi
sel pigmen yang mendorong perubahan
formasi pola pigmen yang muncul. Salah
satu gen yang diketahui bertanggung
jawab dalam mengkode pola pigmen dari
ikan adalah gen tyrosinase (Tyr) (Haffter
et al., 1996; Inagaki et al., 1998;
Kusumawati, 2011). Secara spesifik gen
tyrosinase bertanggung jawab terhadap
sintesis enzim tirosinase yang merupakan
kunci
utama
untuk
mensintesis
melanocyte dan mutasi pada gen
tyrosinase memberikan dampak defisiensi

344

pigmentasi pada retina dan kulit embrio


ikan rainbow trout (Boonanuntanasarn et
al., 2004).
Fenomena perubahan warna ini
sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut
mengenai penyebab terjadinya degeneratif
benih urunan pertama (F1). Oleh sebab itu
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
variasi warna benih yang dihasikan oleh
beberapa pasang induk secara fenotipe
dan
juga
mengetahui
persentase
kemiripan/perbedaan antara benih dan
induk dengan menggunakan primer yang
mengkode sekuen gen pengontrol pigmen
dalam hal ini gen tyrosinase.
II. METODOLOGI
2.1. Pemeliharaan Induk, Larva dan
Benih
Hewan uji yang digunakan adalah
induk dan benih ikan hias klon Biak yang
berasal dari hasil pembenihan secara
terkontrol di Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol, Bali. Penelitian
ini menggunakan 3 pasang induk yang
berasal dari hasil penangkapan di alam
dengan diberi kode IA1; IA3 dan IA7.
Benih yang dihasilkan (F1) dari setiap
pasang induk dikelompokkan berdasarkan
pola warna garis hitam. Larva dan benih
dipelihara di hatchery indoor selama 3
bulan, kemudian dilanjutkan dengan
pemeliharaan di outdoor selama 3-4
bulan. Setelah 6-7 bulan pemeliharaan,
selanjutnya dilakukan pengamatan warna
secara fenotipe. Variabel pola warna benih
yang diamati sebagai berikut (Gambar 2):
pola warna klas I (hitam tebal melebar),
klas II (bergaris hitam tebal), klas III
(bergaris hitam tipis). Jumlah sampel yang
dianalis untuk mengetahui persentase
kemiripan/perbedaan antara benih dan
induk sebanyak 2 - 3 ekor benih dari
masing-masing pola warna kelas I; II dan
III.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Sembiring et al.

Gambar 1. Pola warna induk ikan klon biak dari alam.

Gambar 2. Performawarna benih klas I (hitam tebal melebar terutama diantara strip
putih di kepala dan badan dan atau antara strip putih di badan dan ekor) (A),
klas II (hanya bergaris hitam tebal) (B) dan klas III (bergaris hitam tipis)
(C).
2.2. Isolasi DNA
DNA ikan diisolasi dari bagian
sirip
dan
atau
daging
dengan
menggunakan Nucleospin tissue kit
(Macherey-Nagel). Tahapan isolasi DNA
sesuai dengan standar protokol dari
produk tersebut.
2.3. Amplifikasi PCR Menggunakan
Primer Gen Tyrosinase (Tyr)
DNA
ikan
diamplifikasi
menggunakan primer gen Tyr yang
mengkode pola pigmen (Sugie et al.,
2004). Hasil produk PCR (amplikon)
dielektroforesis menggunakan gel agarosa

2% dalam 0,5 x SB buffer, yang


selanjutnya
diamati
dengan
UV
transilluminator serta dicetak dengan gel
doc camera.
2.4. Purifikasi Hasil PCR
Sebelum disequensing, hasil PCR
terlebih dahulu dipurifikasi dengan
QIAquick PCR Purification Kit (Qiagen).
Proses purifikasi mengikuti standar
protokol dari kit tersebut. Larutan hasil
purifikasi dikonfirmasi terlebih dahulu
dengan elektroforesis menggunakan gel
agarosa 2% dalam 0,5x SB buffer.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

345

Pewarisan Pola Warna Ikan...

2.5. Sekuensing
Sekuensing fragmen DNA hasil
amplifikasi PCR dilakukan di Lembaga
UIN, Jogjkarta menggunakan prinsip
chain terminator ddNTPs secara otomatis
dengan mesin ABI Prism Sequencer.
2.6. Analis Data
Data hasil sequencing terlebih
dahulu dilakukan alligment menggunakan
program ClustalW dari situs EBI:
hhtp://www.ebi.ac.uk/egi-in/CLUSTALW
(Higgins et al., 1994). Selanjutnya hasil
alligment
dianalisis
menggunakan
beberapa software yaitu: Phydit untuk
analisis
similarity
dan
perbedaan
nukelotida, Phylip untuk mengkonstruksi
filogenetik tree dan treeview32 program
untuk visualisasi filogenetik tree.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Benih yang dihasilkan dari 3
pasang induk yang dipijahkan, ternyata
semua mempunyai pola warna yang
berbeda (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1

di atas, terlihat bahwa benih yang


dihasilkan hampir 50% mempunyai
performa warna pada klas II, yaitu hanya
bergaris hitam tebal tanpa adanya
bayangan warna hitam yang terletak di
belakang mata. Sementara pola warna klas
I hanya berkisar antara 4,5 - 37,3%. Jika
dilihat dari pola warna induk yang hampir
sama antara induk jantan dan betina,
diharapkan seharusnya turunannya lebih
dari 50 persen berada pada warna klas I.
Namun demikian kenyataannya pola
warna benih yang paling tinggi muncul
pada klas II. Hal ini sesuai dengan hasil
dari analisis similarity dan perbedaan
nuleotida (Tabel 2), ternyata bahwa
jumlah nukelotida yang mengkode gen
Tyr antara induk terhadap benihnya
sebagian
besar
berbeda.
Kisaran
perbedaan nukleotida antara induk dengan
benihnya sebesar 14 29% dari total 133
nukleotida yang dianalisis. Hal ini yang
menyebabkan adanya perbedaan pola
warna antara induk dengan anakannya
pada ikan klon biak.

Tabel 1. Persentase benih berdasarkan performan warna klas (I, II, III) dari hasil
pemijahan 3 pasang induk ikan klon Biak (A. percula).
Persentase benih (%)
Induk

II

III

1A1

4.5

62.2

33.3

1A3

37.3

39,0

23.7

1A7

14.3

71.4

14.3

Keterangan: klas I : hitam tebal melebar terutama diantara strip putih di kepala dan
badan dan atau antara strip putih di badan dan ekor; klas II hanya bergaris
hitam tebal dan klas III bergaris hitam tipis (lihat Gambar 2).

346

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Sembiring et al.

3.1. Amplifikasi Primer Tyr


Regulasi suatu pigmen dikontrol
secara genetik yang dikode oleh suatu gen
yang memiliki susunan nukleotida
interspesifik yang sesuai terhadap pola
pigmen yang terbentuk (Sugie et al.,
2004). Gen tyrosinase merupakan salah

satu gen yang bertanggung jawab dalam


mengkode pola pigmen. Hasil amplifikasi
DNA genom hasil isolasi dengan primer
Tyr (F) dan Tyr (R) ditunjukkan pada
Gambar 3. Amplifikasi gen Tyr dengan
primer Tyr (F) dan Tyr (R) menghasilkan
sebuah produk yang berukuran 70 bp.

Tabel 2. Hasil analisis similarity gen Tyr antara induk dengan benih ikan klon biak, A.
percula menggunakan software Phydit.

Keterangan: 133 nukleotida yang dianalisis, segitiga bawah ke kiri merupakan nilai %
similarity/kemiripan, dan segitiga atas ke kanan merupakan nilai
perbedaan jumlah nukleotida

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

347

Pewarisan Pola Warna Ikan...

Berdasarkan pohon filogenetik


yang terbentuk yang berasal dari
penjajaran antara alligment DNA yang
dimiliki menunjukkan bahwa koefisien
kemiripan performa warna induk IA1; IA3
dan IA7 pada klas I berkisar antara 0.250.64 (25%-64%), sedangkan pada klas II
sebesar 0.23-0.76 (23%-76%) dan pada
klas III antara 0.26-0.65 (26%-65%)
(Tabel 3) dan (Gambar 4). Ternyata
M 1

4 5

6 7

berdasarkan analisis genetik, performa


kemiripan induk dan benih memang benar
diturunkan dengan pengaruh gen induk
jantan dan betina yang hampir sama. Hal
ini dapat dilihat dari
hasil analisis
similarity (lihat Tabel 2). Sebagai contoh
adalah sampel dengan kode E4-F yang
mempunyai nilai kemiripan terhadap
induk jantan sebesar 58,7% dan induk
betina 53,3%.
9 10 11 12 13 14 15 16

50 bp

70 bp

10 bp

Gambar 3. Performasi pita DNA melalui amplifikasi PCR dengan menggunakan


primer Tyr pada benih dan induk ikan klon biak (Amphiprion percula) (M;
maker ultra low range; 1-16 sampel ikan klon biak).

Gambar 4. Dendrogram kemiripan genetic populasi induk IA1 dan benih ikan hias klon
biak (Amphiprion percula).

348

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Sembiring et al.

Tabel 3. Persentase kemiripan performan warna antara benih dan induk ikan klon biak
(A. percula) dari hasil analisa sequencing.
Kode
induk
IA1

Pola
warna
I
II
III

IA3

II

III

IA7

II

III

Kode
sampel
D-1
E-1
C-2
B-3
D-4
E-4
A-5
B-5
D-5
A-6
B-6
C-6
A-7
D-7
E-7
2-8
4-8
5-8
2-9
3-9
4-9
1-10
2-10
3-10

Jantan
0.420
0.333
0.234
0.641
0.412
0.587
-

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar


4, terlihat bahwa koefisien kemiripan
performan warna menunjukkan nilai ratarata 50 persen, ini berarti bahwa pola
warna dari benih tersebut sebenarnya
hanya mempunyai kemiripan 50 persen
dengan induknya, akibatnya
secara
fenotipe pola warna yang muncul pada
benih berbeda dari induknya. Seperti
terlihat dari Tabel 2, salah contoh sampel
E4-F dari hasil analisis similarity ternyata
ada perbedaan nukleotida sebanyak 19
nukleotida dari 46 nukleotida yang
mengkode gen Tyr pada induk jantan,
demikian juga pada induk betina ada
perbedaan sebanyak 21 nukleotida dari 45
nukelotida. Adanya perbedaan jumlah
nukleotida antara induk dan anaknya,
diduga
akibat
terjadinya
proses

Koefisien kesamaan performan warna


Betina
Jantan
Betina
Jantan
0.478
0.478
0.432
0.395
0.500
0.533
0.579
0.571
0.502
0.443
0.250
0.355
0.465
0.000
0.489
0.514
0.306
0.400
0.444
0.355
0.411
0.484
0.263
0.667
0.550
0.610
0.518
0.611
0.756
0.556
0.488
0.645
0.651

Betina
0.504
0.639
0.359
0.600
0.500
0.500
0.432
0.500
0.500

rekombinasi selama meiosis sebagai


pindah silang kromosom antara kromosom
yang berpasangan dan ini dikenal juga
sebagai hukum segregasi. Proses ini
menyebabkan benih memiliki kombinasi
gen yang berbeda dari induknya, dan
dapat menghasilkan alel kimerik yang
baru.
Pada populasi seksual, gen
direkombinasi pada setiap generasi,
menghasilkan genotipe baru. Kebanyakan
keturunan spesies seksual mewarisi
separuh gennya dari induk betina dan
separuhnya lagi dari induk jantan, susunan
genetiknya dengan demikian berbeda
dengan kedua induknya atau dengan
individu yang lain di dalam populasi
(Indrawan et al., 2007).
Melalui pendekatan secara genetik,
suatu karakter fenotipe akan selalu

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

349

Pewarisan Pola Warna Ikan...

diturunkan oleh induk pada turunannya,


namun kenyataannya terdapat berbagai
macam hal yang menyebabkan adanya
penyimpangan karakter fenotipe, hal ini
yang membuat adanya keanekaragaman
genetik
dari
suatu
populasi.
Penyimpangan karakter fenotipe ini dapat
terjadi karena adanya interaksi dari
beberapa faktor seperti mutasi, migrasi,
rekombinasi, seleksi, dan hanyutan
genetik (genetic drift). Mutasi, migrasi,
dan rekombinasi gen akan memperkaya
keragaman dalam populasi alami,
sedangkan seleksi dan hanyutan genetik
cenderung mengurangi variasi (FordLloyd dan Jackson, 1986). Suryanto
(2003), Elrod dan Stansfield (2007) juga
mengemukakan bahwa keragaman genetik
dalam sebuah populasi organisme
terutama dihasilkan oleh tiga mekanisme
yaitu mutasi, perpasangan alel secara
bebas atau rekombinasi, dan migrasi gen
dari satu tempat ketempat lain.
Selain
faktor
gen
sebagai
pengontrol pola pigmen, pakan dan
lingkungan juga mempengaruhi fisiologi
sel pigmen yang mendorong perubahan
formasi pola pigmen yang muncul.
Seperti yang dikemukan oleh Hansen
(2011),
bahwa
pemberian
naupli
kopepoda memberikan pigmen warna
yang lebih kuning pada larva ikan kod
daripada perlakuan (kopepoda dan
pengkayaan rotifer), pengkayaan rotifer,
dan rotifer Chlorella. Demikian juga
Menurut Setiawati et al., 2011, kopepoda
merupakan pakan alami yang umumnya
ditemukan pada ikan klown asli yang
dipelihara di karamba jaring apung.
Selanjutnya Gouveia et al., (2003)
menyatakan bahwa ekspresi pigmentasi
dari beta-karoten yang terkandung dalam
daging atau kulit ikan merupakan
komponen biologi pembentuk warna
merah pada ikan. Beberapa hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa
factor lingkungan juga berpengaruh
terhadap pigmentasi pada ikan diantaranya

350

dari hasil penelitian Kusumawati (2011),


yang menyatakan adanya korelasi positif
terhadap migrasi pola pigmen ikan badut
pada eksperimen pemeliharaan dengan
dua kondisi yang berbeda yaitu outdoor
dan indoor. Selanjutnya Said et al.,
(2005), juga menyatakan bahwa selain
faktor makanan, lingkungan pemeliharaan
dapat mempengaruhi penampakan warna
pada ikan. Ikan yang dipelihara pada
kondisi terang akan memberikan reaksi
warna yang berbeda dengan ikan yang
dipelihara di tempat gelap karena adanya
reaksi melanosom yang mengandung
pigmen melanofor terhadap rangsangan
cahaya yang ada. Oleh karena itu pola
warna yang ada pada benih ikan klon biak
selain dipengaruhi oleh faktor genetik,
juga dipengaruhi oleh faktor pakan,
lingkungan atau adanya interaksi genotipe
dengan lingkungan.
IV. KESIMPULAN
Sepasang primer Tyr yang
mengkode sekuen gen pengontrol pigmen
dapat digunakan untuk analis penurunan
warna secara genetik pada ikan klon biak.
Koefisien kemiripan warna antara
induk dan benih pada ikan hias klon biak
secara genotipe menunjukkan separuh
gennya dipengaruhi induk betina dan
separuhnya lagi dari induk jantan.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. 2000. Marine fishes of south
east Asia. Periplus Edition Ltd.
Australia. 292p.
Boonanuntanasam, S., G. Yoshizaki, K.
Iwai, and T. Takeuchi. 2004.
Molecular
cloning,
gene
expression in albino mutants and
gene knockdown studies of
tyrosinase mRNA in tainbow trout.
Pigment Cell Research, 17:413421.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Sembiring et al.

Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007.


Genetika.
(Damaring,
T.W.
Penterjemah). Penerbit Erlangga
Jakarta. 417p.
Hansen, M.H. 2011. Effects of feeding
with copepod nauplii (Acartia
tonsa) compared to rotifers
(Brachionus ibericus, Cayman) on
quality parameters in Atlantic cod
(Gadus
morhua)
larvae.
Norwegian University of Science
and Technology. Department of
Biology. 91p.
Kusumawati, D. 2011. Kajian gen
pengkode pola pigmen dan profil
protein pada ikan badut hitam
(Amphiprion
percula).
Tesis
Program Studi Pasca Sarjana
Jurusan
Biologi.
Universitas
Brawijaya, Malang. 76hlm.
Ford-Lloyd, B. and Jackson. 1986. Plant
genetic resources and introduction
to their conservation and use.
Edward Arnold Pty. Ltd. Australia.
152p.
Gouveia, L., P. Rema, O. Pereira, dan J.
Empis. 2003. Coloring ornamental
fish
(Cyprinus
carpio
and
Carassius auratus) with microalgal biomass. Aquaculture Nutrition, 9: 123129.
Haffter, P., J. Odenthal, M.C. Mullins, S.
Lin, M.J. Farrell, E. Vogelsang, F.
Haas, M. Brand, F.J.M.V. Eden,
M.F. Seiki, M. Granato, M.
Hammerschmidt, C.P. Heisenberg,
Y.J. Jiang, D.A. Kane, R.N. Kelsh,
N. Hopskin, and C.N. Volhard.
1996.
Mutations
affecting
pigmentation and shape of the
adult Zebrafish. Development
Genes and Evaluation, 206:260276.
Inagaki, H., A. Koga, Y. Bessho and H.
Hori. 1998 The tyrosinase gene
from
Medakafish:
transgenic
expression rescues albino muta-

tion. Pigment Cell Research,


11:283-290.
Indrawan, M., R.B. Primack dan J.
Supriatna. 2007. Biologi konservasi. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta. 345hlm.
Poernomo, A., S. Mardlijah, M.L. Linting,
E.M. Amin, and Widjopriono.
2003. Ikan hias laut Indonesia.
Penebar Swadaya. 182hlm.
Said, S.D., W.D. Supyawati, dan
Noortiningsih. 2005. Pengaruh
jenis pakan dan kondisi cahaya
terhadap penampilan warna ikan
pelangi merah, Glossolepis incisus
jantan. J. Iktiologi Indonesia,
5(2):61-67.
Setiawati, K.M., Gunawan, H.T., Yudha,
J.H., Hutapea, dan K., Suarsana.
2011.
Pengaruh shelter pada
pemeliharaan benih ikan klon biak
(Amphiprion percula) di karamba
jaring apung. Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur, 2:79-85.
Storebaken, T. and H.K. No. 1992.
Pigmentation of rainbow trout.
Aquaculture, 100:209-229.
Sugie, A., Y. Terai, R. Ota, and N. Okada.
2004. The evaluation of genes for
pigmentations in African cichild
fishes. Gene, 343:337-346.
Suryanto, D. 2003. Melihat keanekaragaman organisme melalui beberapa teknik genetika molecular.
Program
Studi
Bioteknologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas
Sumatera Utara. http://library.usu.
ac.id/download/fmipa/biologidwiss.pdf. [Diakses, 20 Agustus
2013]
Diterima : 15 November 2013
Direvisi : 3 Desember 2013
Sisetujui : 18 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

351

352

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 353-364, Desember 2013

KARAKTERISASI EKSTRAK KASAR ENZIM POLYPHENOLOXIDASE


DARI UDANG WINDU (Penaeus monodon)
CHARACTERIZATION OF CRUDE EXTRACT POLYPHENOLOXIDASE
ENZYME FROM BLACK TIGER SHRIMP (Penaeus monodon)
1

Made Suhandana1, Tati Nurhayati1*, dan Laksmi Ambarsari2


Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
*
Email: tnurhayati@apps.ipb.ac.id; nurhayati7870@yahoo.com
2
Departemen Biokimia, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRACT
Shrimp is a very important export commodity with high market value world wide. However, it
is still facing problem related to the waste and deterioration quality as main issues for the
shrimp industry. In this experiment, polyphenoloxidase from the carapace of Penaeus monodon
was extracted and characterized. The research was carried out to obtain the optimum
extraction condition and to evaluate the properties of enzyme i.e., pH, optimum temperature for
activating enzyme, kinetic enzyme, and chelating on metal ion. The best method for PPO enzyme
extraction used buffer with 1:3 proportion. The optimum activity of enzyme was at pH 7 and
temperature of 35C. The kinematic enzyme (Km) value and the maximum substrate
concentration were 5.42 mM and 7.5 mM, respectively. Na+, Ca2+, Zn2+, and EDTA with
concentration 5 and 10 mM inhibited enzyme activity. Cu2+at concentration of 10 mM and
Mn2+ at concentration 5 mM also inhibited enzyme activity
Keywords: carapace, characterization, polyphenoloxidase, shrimp
ABSTRAK
Udang merupakan komoditas ekspor yang penting, namun tidak luput dari permasalahan limbah
dan kemunduran mutu yang dihadapi oleh hasil perikanan lainnya. Pada penelitian ini enzim
polyphenoloxidase diekstraksi dan dikarakterisasi dari karapas Penaeus monodon. Penelitian
dilakukan dengan menentukan optimasi ekstraksi, pH optimum dan suhu optimum aktivitas
enzim, kinetika enzim, dan pengaruh pemberian ion logam. Metode terbaik untuk ekstaksi
enzim PPO menggunakan perbandingan buffer 1:3 secara bertingkat. pH optimum kerja enzim
PPO adalah 7 dengan suhu optimum 35 C. Konsentrasi substrat untuk memperoleh aktivitas
optimum enzim adalah 7,5 mM. Penghitungan kinetika enzim menunjukkan Km enzim PPO
sebesar 5,42 mM. Na+, Ca2+, Zn2+, serta EDTA dengan konsentrasi 5 dan 10 mM menghambat
kerja enzim PPO, demikian juga dengan. Cu2+ 10 mM dan Mn2+ 5 mM menghambat kerja enzim
PPO.
Kata kunci: karapas, karakterisasi, polyphenoloxidase, udang

I. PENDAHULUAN
Udang merupakan komoditas
ekspor yang menjanjikan bagi Indonesia.
Tingkat ekspor udang ke luar negeri yang
tinggi menjadi sumber pendapatan yang
tinggi pula bagi Indonesia. Ekspor udang
Indonesia pada tahun 2010 mencapai
volume 145.092 ton dengan nilai

mencapai US$ 1.056.399.000 (KKP,


2011). Ekspor udang ke negara-negara
Eropa dalam beberapa tahun terakhir
mengalami penurunan. Penurunan ini
disebabkan oleh adanya residu senyawasenyawa antibiotik yang ditemukan pada
udang. Selain adanya bahan kimia,
penurunan ekspor udang ke luar negeri
juga disebabkan oleh penurunan kualitas

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

353

Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim...

dari udang yang akan diekspor terkait


dengan kemunduran mutu.
Penampakan, bau, tekstur, dan
nilai gizi adalah empat parameter yang
dinilai oleh konsumen dalam memilih
makanan. Penampakan dipengaruhi oleh
warna, dan merupakan parameter pertama
yang
dinilai
untuk
mengevaluasi
makanan. Warna dapat dipengaruhi oleh
beberapa komponen, yaitu pembentukan
pigmen, khlorofil, karotenoid, antosianin,
dan lain-lain, atau pembentukan warna
melalui
reaksi
enzimatis
dan
nonenzimatis. Salah satu reaksi warna
yang penting adalah terbentuknya
browning pada buah-buahan, sayursayuran, dan seafood khususnya krustasea
(Kim et al., 2000). Pembentukan black
spot pada udang merupakan salah satu
contoh
pembentukan
warna
yang
disebabkan
oleh
aktivitas
enzim
polyphenoloxidase (PPO) (Martinez and
Whitaker, 1995).
Montero et al. (2001) menyatakan
bahwa melanoisis adalah proses yang
dipicu oleh mekanisme biokimia akibat
oksidasi fenol menjadi quinon melalui
kompleks
enzim
yang
disebut
polyphenoloxidase. Proses ini diikuti oleh
polimerasi nonenzimatik quinon sehingga
menimbulkan senyawa pigmen dengan
berat molekul tinggi dan sangat gelap.
Proses kemunduran mutu pada udang
terjadi saat post mortem. Walaupun
timbulnya warna tidak berbahaya bagi
konsumen,
namun
secara
drastis
mengurangi nilai jual produk dan
menyebabkan kerugian yang cukup tinggi.
Penghambatan proses pembentukan
blackspot
dapat
dilakukan
menggunakan senyawa inhibitor. Senyawa
inhibitor digunakan saat penanganan
udang sehingga proses enzimatis sebagai
tahap awal pembentukan melanin dapat
dihambat. Penentuan senyawa inhibitor
yang efektif dilakukan menggunakan uji
aktivitas penghambatan secara in vitro
dengan enzim PPO sebagai substratnya.

354

Oleh karena itu perlu dilakukan usaha


untuk mengekstraksi PPO dari udang.
Fakta
menunjukkan
bahwa
PPO
diperlukan untuk substrat pengujian, dan
juga merupakan enzim yang penting bagi
udang terutama dalam hal pembentukan
cangkang baru. Selain itu enzim tersebut
terlibat dalam hal penyembuhan luka.
PPO juga berperan dalam pertahanan diri
dan perlindungan terhadap serangan
patogen. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk menguak potensi PPO tersebut.
Polyphenoloxidase pada udang
banyak ditemukan pada bagian karapas
udang (Montero et al., 2001). Zamorano
et al. (2009) menyebutkan bahwa PPO
tertinggi ditemukan pada karapas, diikuti
abdominal eksoskeleton, cephalothorax,
pleopod, dan telson. Berdasarkan hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya,
ekstraksi
PPO
dapat
dilakukan menggunakan karapas udang.
Karapas udang merupakan salah satu jenis
limbah yang dihasilkan dari proses
pengolahan udang. Berdasarkan fakta
tersebut ekstraksi enzim polyphenoloxidase dapat berperan sebagai alternatif
pemanfaatan limbah udang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengekstraksi dan
mengkarakterisasi enzim PPO yang
dihasilkan dari karapas udang.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah karapas udang windu
yang diperoleh dari pasar di daerah Bogor.
Bahan-bahan lain yang digunakan adalah
akuades, buffer sodium fosfat (Merck),
NaCl (Merck), Brij 35 (Merck), Buffer
Tris-HCl (Applichem), L-DOPA (Sigma).
Alat-alat yang digunakan pada penelitian
ini
adalah
sentrifuse
(Sorvall),
spektrofotometer (Yamato), pipet mikro
(Axygen), inkubator (Thermoline), dan
Freezer.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Suhandana et al.

2.2. Ekstraksi Enzim Polyphenoloxidase


Ekstraksi
dilakukan
dengan
mengacu modifikasi metode Simpson et
al., (1987). Sampel dibuat dalam bentuk
bubuk menggunakan nitrogen cair dalam
waring blender. Sampel (50 g) dicampur
dengan 150 mL buffer (0,05 M buffer
sodium fosfat, pH 7,2; yang mengandung
1,0 M NaCl dan 0,2% Brij 35. Campuran
diaduk secara kontinu pada suhu 4 oC
selama 30 menit, diikuti dengan
sentrifugasi dengan kecepatan 8000 x g
pada suhu 4 oC selama 30 menit
menggunakan sentrifuse dingin.
2.3. Penentuan Metode Ekstraksi
Terbaik
Penentuan
metode
ekstraksi
terbaik dilakukan dengan memodifikasi
perbandingan sampel dengan buffer
ekstraksi yang digunakan. Perbandingan
yang digunakan antara lain 1:1, 1:2, 1:3,
dan 1:3 secara bertingkat. Metode ektraksi
terbaik ditentukan dari nilai aktivitas
spesifik
enzim.
Aktivitas
enzim
ditunjukkan dalam satuan U. Nilai 1U
menunjukkan
peningkatan
absorban
0,001/ menit. Optimasi assay dilakukan
dengan menguji waktu inkubasi saat
pengujian. Suhu yang digunakan adalah
30 dan 35 oC. Pengujian aktivitas enzim
berdasarkan metode Bono et al. (2010)
2.4. Penentuan Suhu dan pH Optimum
Suhu dan pH optimum ditentukan
menggunakan metode Bono et al. (2010).
Sampel enzim sebanyak 0,2 mL
ditambahkan dengan 2,8 mL 0,01 M LDOPA yang dilarutkan dalam 0,05 M
buffer fosfat pH 6,5. Campuran tersebut
diinkubasi pada suhu 30, 35, 40, 45, 50,
55 oC selama 5 menit. Sampel yang telah
diinkubasi
diukur
pada
panjang
gelombang 475 nm. pH optimum
ditentukan dengan melarutkan sampel
enzim dalam 2,8 mL 0,01 M L-DOPA

yang dilarutkan dengan 0,05 M buffer


fosfat pH 5, 6, 7, 8, 9. Campuran
kemudian diinkubasi pada suhu optimum
yang telah diperoleh sebelumnya selama 5
menit.
2.5. Penentuan Kinetika Enzim
Kinetika enzim ditentukan menggunakan metode Bono et al. (2010).
Sebanyak 0,2 mL enzim ditambahkan
dengan 2,8 mL L-DOPA yang dilarutkan
dalam 0,05 M buffer fosfat dengan pH
sesuai pH optimum. Konsentrasi L-DOPA
yng digunakan adalah 2.5, 5, 7.5, 10, 12.5
mM. Campuran tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu optimum yang telah
diperoleh sebelumnya selama 5 menit.
Sampel yang telah diinkubasi diukur pada
panjang gelombang 475 nm.. Aktivitas
enzim ditunjukkan dalam satuan U. Nilai
1U menunjukkan peningkatan absorban
0,001/ menit. Konstanta MichaelisMenten (Km) dan Kecepatan maksimum
(V maks) ditentukan dengan plot
Lineweaver-Burk.
2.6. Pengaruh Ion Logam dan Inhibitor
terhadap Enzim
Pengaruh ion logam dan inhibitor
terhadap enzim ditentukan menggunakan
modifikasi metode Bono et al. (2010).
Sampel enzim 0,2 mL ditambahkan
dengan 0,2 mL larutan Cu2+, Ca2+, Zn2+,
Mn2+, Na, Co2+, ethylene diamine
tetraacetic acid (EDTA) dilarutkan dalam
20 mM buffer Tris-HCl (pH 7,1). Masingmasing campuran diprainkubasi selama 20
menit pada suhu ruang. Sebanyak 2,6 mL
0,01 M L-DOPA yang dilarutkan dalam
0,05 M buffer fosfat ditambahkan ke
dalam campuran. Campuran kemudian
diinkubasi pada suhu optimum yang telah
diperoleh sebelumnya selama 5 menit, dan
diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 475 nm.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

355

Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim...

2.7. Pengujian Aktivitas Enzim (Bono


et al., 2010)
Aktivitas polyphenoloxidase ditentukan dengan mereaksikan 0,2 mL enzim
ditambahkan dengan 2,8 mL 0,01 M LDOPA yang dilarutkan dalam 0,05 M
buffer fosfat pH 6,5. Campuran reaksi
kemudian diinkubasi pada suhu 35 oC
selama 5 menit. Kemudian sampel yang
telah diinkubasi diukur pada panjang
gelombang 475 nm. Aktivitas enzim
ditunjukkan dalam satuan U, dengan 1U
berarti peningkatan absorban 0,001/menit.
2.8. Penentuan Kadar Protein
Kadar protein ditentukan menggunakan metode Bradford (1976).
Coomassie blue digunakan untuk pewarna
dan bovine serum albumin digunakan
sebagai standar.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

optimasi. Tahapan ini merupakan


modifikasi dari metode yang dilakukan
oleh Simpson et al. (1987). Metode
tersebut menggunakan perbandingan
sampel banding buffer sebesar 1:3. Pada
penelitian ini dilakukan beberapa
modifikasi perbandingan buffer, yaitu
menggunakan perbandingan 1:3 secara
bertingkat (SP1), 1:1 (SP2), 1:2 (SP3), 1:3
(SP4).
Hasil penelitian menggambarkan
ekstrak dengan perbandingan sampel :
buffer sebesar 1:3 yang dilakukan secara
bertingkat menghasilkan aktivitas spesifik
yang lebih besar dibandingkan dengan
yang lain (Gambar 1). Hal ini diduga
karena dengan metode bertingkat jumlah
protein yang terekstrak lebih banyak
dibandingkan yang lain. Diduga pelet
hasil ekstraksi tahap pertama masih
menyisakan protein dan protein ini yang
terekstrak
pada
tahap
ekstraksi
berikutnya.

3.1. Ekstraksi Enzim


Polyphenoloxidase
Tahapan ekstraksi enzim kasar
dilakukan melalui beberapa tahap

Gambar 1. Aktivitas spesifik dari beberapa ekstrak enzim polyphenoloxidase


menggunakan perbandingan buffer yang berbeda

356

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Suhandana et al.

Ekstrak enzim polyphenoloxidase


SP1 selanjutnya diuji untuk mengetahui
aktivitas spesifik dari masing-masing
ekstrak. Ekstraksi bertingkat pada sampel
SP1 dilakukan sebanyak 3 kali ekstraksi.
Hasil uji ini memperlihatkan bahwa dari
masing-masing tahap ekstraksi aktivitas
spesifik yang diperlihatkan masih tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa pada
ekstraksi tahap pertama belum terekstrak
seluruh protein dalam hal ini enzim pada
sampel. Sehingga pada ekstraksi tahap
kedua dan ketiga masih ditemukan
aktivitas enzim.

3.2. Optimasi Assay


Optimasi assay dilakukan untuk
mengetahui waktu konversi substrat LDOPA menjadi produk. Pada tahap ini
juga diberikan perbandingan suhu
inkubasi antara suhu 30 dan 35 C. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin
lama waktu inkubasi nilai absorban akan
semakin besar. Namum rasio perubahan
absorbansi dengan waktu (dA/dt) semakin
lama semakin menurun, yang berarti
bahwa jumlah substrat yang bisa
dikonversi menjadi produk semakin kecil.

Gambar 2. Peningkatan absorbansi sampel yang diinkubasi pada suhu 30 C.

Gambar 3. Peningkatan absorbansi sampel yang diinkubasi pada suhu 35 C.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

357

Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim...

Suhu
inkubasi
berpengaruh
terhadap peningkatan absorbansi sampel.
Suhu 35 C memberikan laju peningkatan
yang lebih besar dibandingkan suhu 30
C. Laju peningkatan absorbansi di dua
menit pertama untuk suhu 35 C adalah
0,004 sedangkan pada suhu 30 C sebesar
0,003. Suhu yang lebih tinggi akan
meningkatkan gerakan rotasi, vibrasi,
translasi ataupun bentuk gerakan lain,
sehingga
terjadi
transfer
elektron
(Suhartono, 1989). Hal ini yang
menyebabkan inkubasi menggunakan
suhu 35 C memberikan laju perubahan
substrat yang lebih besar. Montero et al.
(2001) menyebutkan polyphenoloxidase
menunjukkan aktivitas tertinggi antara 40
dan 60 oC, tetapi stabil pada suhu 35 oC.
Semakin lama waktu inkubasi laju
peningkatan absorbansi akan semakin
kecil. Hal ini terjadi karena laju perubahan
substrat akan menurun seiring dengan
penambahan waktu inkubasi. Kecepatan
pembentukan kompleks enzim substrat
sama dengan kecepatan penguraiannya.
Kecepatan ini sama dengan kecepatan
maksimum reaksi enzim yang dicapai
pada
konsentrasi
substrat
tertentu
(Suhartono, 1989). Ketika jumlah substrat
mengalami penurunan selama waktu

inkubasi, maka jumlah produk yang


dihasilkan juga akan semakin menurun.
3.3. Penentuan Suhu Optimum
Pengaruh suhu pada reaksi
enzimatis merupakan suatu fenomena
yang kompleks. Bertambahnya suhu
sampai dengan suhu tertentu akan
menyebabkan kenaikan kecepatan reaksi
enzim karena bertambahnya energi kinetik
yang mempercepat gerak vibrasi, translasi
dan rotasi enzim serta substrat, sehingga
memperbesar peluang keduanya untuk
bereaksi. Suhu yang lebih besar dari suhu
maksimum akan menyebabkan protein
enzim mengalami perubahan konformasi
yang bersifat detrimental. Substrat juga
dapat mengalami perubahan konformasi
sehingga gugus reaktifnya mengalami
hambatan dalam memasuki sisi aktif
enzim (Suhartono, 1989).
Suhu inkubasi berpengaruh pada
enzim polyphenoloxidase. Peningkatan
aktivitas enzim terlihat ketika suhu
dinaikkan menjadi 35 C. Penurunan
aktivitas terlihat ketika enzim diinkubasi
diatas suhu 35 C (Gambar 4). Hal senada
juga disebutkan oleh Benjakul et al.
(2005) yang menyebutkan phenoloxidase
(PO) dari cephalothorax kuruma prawn
memiliki aktivitas maksimum pada suhu
35 oC.

Gambar 4. Suhu optimum aktivitas enzim polyphenoloxidase.

358

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Suhandana et al.

Penelitian lain menyebutkan suhu


optimum beberapa enzim PPO dari
sumber yang berbeda. Gimenez et al.
(2010) menyatakan aktivitas polyphenoloxidase yang ditemukan pada karapas
dan ekstrak jeroan Norway lobster
meningkat sebanding dengan peningkatan
suhu hingga 60 oC. Ekstrak karapas
menunjukkan kestabilan pada suhu 45 oC.
Zamorano et al. (2009) melaporkan tidak
ada kisaran maksimum yang jelas pada
suhu 15-60 oC tetapi stabilitas yang tinggi
dicapai pada suhu 30-35 oC. Cong et al.
(2005) menyatakan phenoloxidase dari
hemolymph Ruditapes philippinarum
memiliki aktivitas tertinggi pada suhu 40
C. Fan et al. (2011) menyatakan PO
Artemia sinica optimal pada suhu 50 C.
Penelitian yang dilakukan oleh Manheem
et al. (2012) menunjukkan bahwa
kehilangan aktivitas PPO tertinggi
ditemukan ketika enzim dipanaskan pada
suhu 80 C dan 90 C. Ketika suhu yang
digunakan berkisar antara 50-70 C
penurunan aktivitas yang terjadi tidak
berbeda nyata. Namun peningkatan
aktivitas terjadi ketika enzim dipanaskan
pada suhu 40 C.

3.4. Penentuan pH Optimum


Penentuan pH optimum dilakukan
menggunakan variasi pH buffer yang
berbeda (Gambar 5). Buffer merupakan
salah satu komponen penting pada reaksi
enzimatis karena kemampuannya untuk
menjaga pH. pH buffer yang digunakan
bervariasi mulai dari pH 5-9. Pengujian
aktivitas enzim pada rentang pH tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas optimum
enzim polyphenoloxidase berada pada
nilai pH 7. Ketika pH dinaikkan dari 5-7
aktivtas enzim mengalami peningkatan,
namun ketika pH dinaikkan lagi diatas 7
aktivitas enzim mengalami penurunan.
Benjakul et al. (2005) menyebutkan
phenoloxidase (PO) dari cephalothoraxkuruma prawn memiliki aktivitas
maksimum pada pH 6,5. dan stabil pada
kisaran pH 3-10.
Semua reaksi enzim dipengaruhi
oleh pH medium tempat reaksi terjadi.
Oleh karena itu pada setiap percobaan
dengan enzim diperlukan buffer untuk
mengontrol pH reaksi. Percobaan yang
menggunakan enzim murni hasil isolasi,
biasanya dipergunakan buffer buatan atau
buffer artifisial misalnya buffer fosfat,
asetat, buffer tris dan HEPES.

Gambar 5. pH optimum aktivitas enzim polyphenoloxidase.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

359

Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim...

Pada umumnya enzim aktif pada


pH netral, yaitu pada pH cairan makhluk
hidup. Akan tetapi kisaran keaktifan
enzim dapat mencapai pH 5-9 (Suhartono,
1989).
Montero et al. (2001) polyphenoloxidase menunjukkan aktivitas spesifik
yang berbeda pada beberapa lokasi di
tubuh tiger prawn serta aktif pada pH 5
dan 8. Zamorano et al. (2009) melaporkan
karakterisasi dan distribusi jaringan
polyphenoloxidase (PPO) pada deepwater
pink shrimp (Parapenaeus longirostris)
setelah mati. Enzim memiliki aktivitas
tertinggi pada pH 4,5 serta stabil pada pH
4,5 dan 9,0. Cong et al. (2005)
menyatakan
phenoloxidase
dari
hemolymph Ruditapes philippinarum
optimum pada pH 7. Fan et al. (2011)
menyatakan PO Artemia sinica optimal
pada pH 7.
3.5 Kinetika Enzim Polyphenoloxidase
Aktivitas enzim PPO diuji
menggunakan konsentrasi substrat (LDOPA) yang berbeda mulai dari 2,5 mM
sampai dengan 12,5 mM. Aktivitas
ditunjukkan dalam satuan aktivitas relatif
(%).
Konsentrasi
substrat
yang
memberikan aktivitas enzim optimum
adalah sebesar 7,5 mM. Konsentrasi
enzim dibawah 7,5 mM menunjukkan
aktivitas enzim yang terus meningkat,
namun ketika konsentrasi substrat
dinaikkan diatas konsentrasi 7,5 mM
aktivitas enzim mengalami penurunan
(Gambar 6).
Pembentukan kompleks enzim
substrat membatasi kecepatan reaksi
enzimatis. Kecepatan maksimum reaksi
enzim dicapai pada tingkat konsentrasi
substrat yang sudah mampu mengubah
seluruh enzim menjadi kompleks enzim
substrat pada keadaan lingkungan yang
memungkinkan. Konsentrasi substrat
dibawah konsentrasi ini, reaksi enzim
tergantung pada konsentrasi substrat yang
ditambahkan, sedangkan pada konsentrasi

360

substrat diatas konsentrasi tersebut


kecepatan reaksi menjadi tidak tergantung
pada konsentrasi substrat (Suhartono,
1989).
Substrat yang digunakan untuk
pengujian kinetika enzim adalah L-DOPA
dengan berbagai konsentrasi. L-DOPA
memiliki kemampuan berikatan yang
lebih baik dibandingkan dengan substrat
lain. Cong et al. (2005) menyebutkan
bahwa afinitas L-DOPA dengan enzim
lebih tinggi dibandingkan dengan substrat
lain, yaitu tirosin. Hal ini dibuktikan dari
nilai Km untuk substrat L-DOPA lebih
kecil dibandingkan dengan tirosin.
Polyphenoloxidase (1,2-benzenediol : Oxygen Oxidoreductase; EC.
1.10.3.1)
merupakan
enzim
yang
mengandung Cu, yang juga dikenal
dengan catechol oxidase, catecholase,
diphenol
oxidase,
o-diphenolase,
phenolase, dan tyrosinase (Martinez dan
Whitaker, 1995). Polyphenoloxidase
bertanggung jawab untuk mengkatalis
terjadinya dua reaksi dasar. Enzim
mengkatalis hidroksilasi ke posisi O yang
berdekatan dengan hidroksil yang lain
menggunakan substrat berupa fenol dan
O2. Reaksi kedua adalah oksidasi dari
diphenol menjadi o-benzoquinon, yang
selanjutnya teroksidasi menjadi melanin
(produk berwarna coklat) biasanya
melalui mekanisme non enzimatis (Kim et
al., 2000).
Kinetika
enzim
berdasarkan
persamaan Lineweaver-Burk menunjukan
bahwa Km enzim PPO dari Penaeus
monodon sebesar 5,42 mM (Gambar 7).
Nilai Km ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan beberapa penelitian
lain, seperti enzim pada Ruditapes
philippinarum sebesar 2,2 mmol/L (Cong
et al., 2005), Charybdis japonica sebesar
2,90 mM (Fan et al., 2009), Penaeus
vannamei sebesar 1,47 mM (GarciaCarreno et al., 2008), Parapenaeus
longirostris sebesar 1,85 mM (Zamorano
et al., 2009). Nilai Km yang rendah ini

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Suhandana et al.

disebabkan karena ekstrak enzim PPO


masih kasar sehingga diduga pengotor di
dalamnya
masih
banyak.
Metode

pemurnian dapat digunakan untuk


meningkatkan aktivitas spesifik enzim
PPO.

Gambar 6. Konsentrasi substrat optimum untuk aktivitas enzim polyphenoloxidase.

Gambar 7. Kinetika enzim polyphenoloxidase.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

361

Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim...

3.6 . Pengaruh Ion Logam terhadap


Enzim
Ion logam mempengaruhi aktivitas
enzim polyphenoloxidase (PPO). Ion
logam
dapat
meningkatkan
atau
menurukan aktivitas enzim setelah
berinteraksi dengan enzim. Ion logam
yang meningkatkan aktivitas enzim
disebut dengan aktivator sedangkan yang
menurunkan aktivitas enzim disebut
dengan inhibitor. Ion logam yang
mempengaruhi kerja aktivitas enzim PPO
dapat dilihat pada Gambar 8.
Kontrol menunjukkan aktivitas
PPO yang tidak ditambahkan ion logam,
ditunjukkan dengan aktivitas relatif 100%.
Gambar menunjukkan bahwa Na+, Ca2+,
Cu2+, Zn2+, dan EDTA dengan konsentrasi
10 mM menurunkan aktivitas enzim PPO.
Demikian halnya dengan Na+, Ca2+, Mn2+,
Zn2+, dan EDTA dengan konsentrasi 5
mM. Namun Cu dengan konsentrasi 5
mM, Mn2+ dengan konsentrasi 10 mM,
dan Co dengan konsentrasi 5 dan 10 mM
meningkatkan aktivitas enzim PPO.
Penelitian yang dilakukan oleh
Cong et al. (2005) menyebutkan bahwa

logam Cu2+, Zn2+, Ca2+ menghambat


aktivitas kerja enzim PO. Zn2+
menghambat aktivitas PO Ruditapes
tertinggi pada konsentrasi 1 mM.
Demikian
halnya
dengan
EDTA
menghambat aktivitas PPO sebesar 100%
pada konsentrasi 10 mM. Penelitian yang
dilakukan oleh Fan et al., (2009)
menyatakan bahwa Cu, Zn, Ca, Mg, dan
EDTA juga menghambat enzim PPO.
EDTA dengan konsentrasi 10 mM
menghambat enzim sampai 100%. Hasil
tersebut
menyatakan
bahwa
PPO
merupakan jenis metaloenzim.
Selain beberapa ion logam, enzim
PPO juga bisa dihambat oleh beberapa
inhibitor protease. Protease sendiri bisa
dihambat oleh beberapa ion logam. Ferrer
et al. (1989) menyatakan ekstrak PO kasar
umumnya memiliki aktivitas yang rendah.
Semua protease inhibitor mencegah
aktivasi phenoloxidase. Benjakul et al.
(2006) menyatakan sistein dan glutathione
menunjukkan aktivitas penghambatan
pada PO kuruma prawn.

Gambar 8. Pengaruh beberapa logam terhadap enzim polyphenoloxidase konsentrasi


logam 5 mM konsentrasi logam 10 mM

362

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Suhandana et al.

IV. KESIMPULAN
Metode terbaik untuk mengekstraksi enzim adalah menggunakan
perbandingan buffer 1:3 secara bertingkat.
Suhu untuk pengujian enzim adalah 35
C. pH optimum kerja enzim PPO adalah
7 dengan suhu optimum 35 C.
Konsentrasi L-DOPA yang digunakan
untuk memperoleh aktivitas optimum
enzim adalah 7,5 mM. Penghitungan
kinetika enzim menunjukkan bahwa nilai
Km enzim PPO sebesar 5,42 mM.
Beberapa ion logam digunakan untuk
melihat pengaruh enzim terhadap ion
logam. Na+, Ca2+, Cu2+, Zn2+, dan EDTA
dengan konsentrasi 10 mM menghambat
aktivitas enzim PPO. Selain itu Na+, Ca2+,
Mn2+, Zn2+, dan EDTA dengan
konsentrasi 5 mM juga menghambat kerja
enzim PPO.
DAFTAR PUSTAKA
Benjakul, S., W. Visessanguan, and M.
Tanaka. 2005. Properties of
phenoloxidase
isolated
from
theCephalothorax
of
kuruma
prawn (Penaeus japonicus). J. of
Food Biochem., 29:470485
Benjakul, S. W. Visessanguan, and M.
Tanaka. 2006. Inhibitory effect of
cysteine and glutathione on
phenoloxidasefrom kuruma prawn
(Penaeus japonicus). Food Chem.,
98:158163.
Bono, G., C. Badalucco, A. Corrao, S.
Cusumano, L. Mammina, and G.B.
Palmegiano. 2010. Effect of
temporal variation, gender and size
on cuticle polyphenol oxidase
activity in deep-water rose shrimp
(Parapenaeus longirostris). Food
Chem., 123:489493.

Bradford, M.M. 1976. A rapid and


sensitive method for quantification
of microgramquantities of protein
utilizing the principle of protein
dye binding. Anal. Biochem.,
72:234-254.
Cong, R, W. Sun, G. Liu, T. Fan, X.
Meng, L. Yang, and Zhu. 2005.
Purification and characterization of
phenoloxidasefrom clam Ruditapes
philippinarum. J. FSI., 18:61-70.
Fan, T., Y. Zhang, L. Yang, X. Yang, G.
Jiang, M. Yu, and R. Cong. 2009.
Identification and characterization
of a hemocyanin-derived phenoloxidase from the crab Charybdis
japonica. J.CBPB., 152:144149.
Fan, T., J. Zhao, X. Fan, M. Yu, and G.
Jiang. 2011. Purification and
characterization of phenoloxidase
from brine shrimp Artemia sinica.
Acta Biochim Biophys Sin.,43:
722728
Ferrer, O.J, J.A. Koburger, W.S. Otwell,
R.A. Gleeson, B.K. Simpson, and
M.R. Marshall. 1989. Phenoloxidase from the cuticle of florida
spiny lobster (Panulirus argus):
mode of activation and characterization. J. of Food Science,
54(1):63-67
Garcia-Carreno, F.L., K. Cota, and
M.A.N.D. Toro. 2008. Phenoloxidase activity of hemocyanin in
whiteleg
shrimp
Penaeus
vannamei: conversion, characterization of catalytic properties, and
role in Postmortem melanosis. J.
Agric. Food Chem., 56:6454
6459.
Kim, J., M.R. Marshall, and C.Wei. 2000.
Polyphenoloxidase. Dalam: Haard
N.F. and B.K. Simpson (eds.).
Seafood enzymes: utilization and
influence on postharvest seafood
quality.
New York: Marcel
Dekker, Inc. hlm.:271-316.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

363

Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim...

[KKP]

Kementerian Kelautan dan


Perikanan. 2011. Statistik ekspor
hasil perikanan. Pusat Data,
Statistik, dan Informasi, Sekretariat
Jenderal,
Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Manheem, K., S. Benjakul, K. Kijroongrojana, and W. Visessanguan.
2012. The effect of heating
conditions on polyphenol oxidase,
proteases and melanosisin precooked Pacific white shrimp
during refrigerated storage. Food
Chem., 131:13701375
Martinez, M.V. and J.R. Whitaker. 1995.
The biochemistry andcontrol of
enzymatic browning. Trends in
Food Science & Technology,
6:195-200.
Montero, P, A. Avalos, and M. PerezMateos. 2001. Characterization of
polyphenoloxidase of prawns
(Penaeus japonicus). Alternatives
to inhibition: additives and highpressure treatment. Food Chem.,
75:317324.

364

Simpson B.K., M.R. Marshall, and W.S.


Otwell. 1987. Phenoloxidase from
shrimp
(Penaeus
setiferus):
purification and some properties. J.
Agric. Food Chem., 35:918-921
Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan
bioteknologi. Bogor: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi
Antar
Universitas
Bioteknologi, Institut Pertanian
Bogor.
Zamorano, J.P., O. Martinez-Alvarez, P.
Montero, and M.C.Gomez-Guilln.
2009. Characterisation and tissue
distribution of polyphenol oxidase
of deepwaterpink shrimp (Parapenaeus
longirostris).
Food
Chemistry, 112:104111.
Diterima :7 Oktober 2013
Direvisi :8 Desember 2013
Disetujui :17 Desember 2013

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 365-376, Desember 2013

WATER MASS CHARACTERISTICS OF WEDA BAY, HALMAHERA ISLAND,


NORTH MALUKU
Abdul Basit1* and M.R. Putri2
Technical Implementation Unit for Marine Life Conservation
Indonesian Institute of Science, Poka, Ambon
*
Email: itbabdulbasit79@yahoo.com
2
Research Group of Oceanography Bandung Institute of Technology, Bandung
1

ABSTRACT
The water quality parameters at 23 observation points in Weda Bay were collected using the
Sea-Bird's Conductivity Temperature and Depth (CTD) 911 and Dissolved Oxygen (DO) meter
ARO-USB 66 during Weda Expedition in 13 23 March 2013 (transition monsoon) with
research vessel Baruna Jaya VII. The main goal of this research was to identify characteristics
of water masses in Weda Bay. The results showed that the thickness of mixed layer in Weda
Bay was about 40 m with the average levels of temperature, salinity, and oxygen at about 29.2
C, 34.0, and 7.0 mg/L, respectively. Within thermocline layers, it was observed that there was
the water type of Southern Subtropical Lower Water (SSLW) identified by the presence of
salinity maximum above 35.0 occupied between 25.7 and 24.5 sigma-theta (16,2 C < < 20,5
C). Furthermore, there were oxygen homogenous layers at 5.1 mg/L situated at between 26
and 24.7 sigma-theta (15C < < 20C). In addition, oxygen inversion was found at 0.15 mg/L
in the layer of between 26.8 and 26.0 sigma-theta (10C < < 15C). In the intermediate layer
(>500 m), the temperature and salinity tended to be constant at 7.8 C and 34.7, controlled by
the sill separating Halmahera sea and Western North Pacific Ocean (WNPO). These water mass
characteristics revealed the strong influences from WNPO to Weda Bay. The water, driven by
Indonesian throughflow (ITF), flowed into Halmahera Sea before turned into Weda Bay.
Keywords: temperature, salinity, oxygen, SSLW, Weda bay

I. INTRODUCTION
Halmahera sea is one of
Indonesian Throughflow (ITF) eastern
pathways bringing water masses from
Western North Pacific Ocean (WNPO)
waters. It is about 30 % of total ITF
transport
flowing
through
eastern
pathways while the rest is through western
pathways (Ffield dan Gordon, 1992;
Gordon, 2005; Gordon et al., 2010).
Itensity of ITF transport is seasonally
influenced by monsoon winds, which
reach a maximum during southeast
monsoon (from southeast winds) and a
minimum during northwest monsoon
(from northwest winds, Wyrtki, 1961;
Gordon, 2005; Gordon et al., 2010). The
ITF water masses from the two pathways
meet in Banda sea before exiting to Indian

Ocean through Timor passage and Ombai


strait (Gordon, 2005).
The circulation around Halmahera
sea was mainly driven by New Guinea
Coastal current (NGCC) and New Guinea
Coastal under current (NGCUC) (Lukas et
al., 1991; Wijffels et al., 1995; Cresswell
and Luick, 2001 ). According to numerical
result (Miyama et al., 1995), the former
flowed northwestward from boreal spring
(April-June) to summer (July-September)
and
southwastward
from
autumn
(October-December) to winter (JanuaryMarch). The latter always flowed
northwestward and intensified during
borel summer. However, the retroflection
flow of Mindanau current (MC) between
Mindanao
and
Halmahera
shifts
southward and become stronger in autumn

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

365

Water Mass Characteristics...

than it is in winter (Miyama et al., 1995).


As consequence of this, the SPTW
boundary in autmn was further to
southward than it was in winter (Kashino
et al., 1996).
Weda Bay was situated in front of
Central and Eastern Halmahera Coast in
which Weda Bay Nickel (WBN Project),
the second largest nickel company in
Indonesia, located and its location was
facing direclty to Halmahera sea. This
water played an important role for local
people because most of them worked as
fisherman with Weda Bay as main fish
ground. However, marine ecosytem of
Weda Bay would be threatened due to the
plan of WBN to dump million tonnes of
its tailing to the unique Weda Bay (Uliyah
et al., 2010). As consequence of this, fish
from Weda Bay cannot be consumed
anymode if the plan is not stopped.
Information about water mass
characteristics in Weda Bay is very
limited, especially for vertical distribution.
Even, It might be that this published
hydrographic observation in this area was
for the first time. The main aim of this
study is to give more information about
the caracteristics of water masses in Weda
Bay so that it can be used as preliminary
data to monitor the water condition of
Weda Bay. In addition, the results of this
study can be used as a quantitative basis
for modelling ecosystems in local and
regional areas, especially in eastern
Indonesian waters, leading to improve
fisheries and water-quality management
and species preservation. In this study, the
characteristics of water masses in Weda
Bay during transition monsoon
(on
March) will be discussed by analysing the
distributions of physical and water quality
data both in horizontal and vertical
distribution.

366

II. METHODS
2.1. Field Sites
The observation were conducted in
23 stations in which 18 stations designated
for hydrology (open circle) and 5 stations
designated for biology (shaded blue box)
located close to the shore (Figure 1). The
water depth around the biology stations
(B1, B2, B3, B4, and B5) were only
between 35 m and 70 m, while the depth
for hidrology stations were between 300
m and 1700 m.
The morphology of Weda Bay
formed a deep and steep basin with the
depth of between 500 m and 1700 m in
the middle of this bay(Figure 2). This
condition could lead to the water masses
in Weda Bay had uniform physical
conditions in horizontal distribution.
Furthermore, the depth was decreasing
toward the Southern and Eastern
Halmahera coasts while the depth was
increasing toward Halmahera Sea.
2.2. Conductivity Temperature Depth
(CTD)
The
Conductivity-TemperatureDepth (CTD) Sea Bird Electronics SBE 911 (CTD-911) was vertically cast down
in 18 stations to measure temperature,
depth pressure, and conductivity. The
maximum depth of CTD measurement
was up to 6800 m. The accuracy and
resolution of temperature sensor was
0.001 oC and 0.0002 oC. The accuracy
and resolution of conductivity sensor was
0.0003
Siemens/meter
(S/m)
and
0.00004 S/m. The accuracy and
resolution of pressure sensor was 0.015%
of full scale and 0.001% of full scale. The
data collected from measurements were
processed by SBE Data Processing 5.37e
before analysing them.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Basit dan Putri

Figure 1. Twenty three observation stations; 18 hydrology stations (in open circle) and 5
biology stations (in shaded blue box), in Weda Bay, North Maluku.

Figure 2. Bathymetric map around Weda Bay

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

367

Water Mass Characteristics...

2.3. Dissolved Oxygen (DO)


The phosphorescent memory DO
meter with ARO-USB 66 model was cast
to obtain vertical profile of oxygen at
hydrology stations. This equipment has
resolution of 0.001 tp 0.004 mg/L and the
measurment ranges of dissolved oxygen
and water temperature are 0 to 20 mg/L
and -5 to 45 C respectively. The data
collected from measurements were
processed by infinity series acquisition
tools.

III. RESULTS AND DISCUSSION


3.1. Water Masses Properties at Biology
Stations
The graph shows that the values of
temperature, salinity, and density at
Biology Stations (B1, B2, B3, and B4)
were nearly uniform, at about 29.4 C,
34.0, and 21.2 kg/m3 respectively (Figure
3). Turbulence generated by the winds,
air-sea fluxes of heat/freshwater, breaking
waves, current shear and other physical
processes are the main factors that cause
the sea water in surfaces areas mix and
thus lead to a thin layers with uniform
values temperature and salinity as called
mixed layer (Wijesekera and Gregg, 1996;
Steward, 2003). The influence of
freshwater was more obvious at station 3
in which there was salinity at 33. 83
within 3 m that was not found in other
stations.

depth (meter)

2.4. Data Analysis


The horizontal and vertical profiles
of temperature (T), salinity (S) and
density (D) for the 18 stations were made
to identify general caracteristics of water
mass. In addition, T-S and T-O diagrams
were made to analyse the relation between
salinity and temperature; temperature and
oxygen in the same time along the water
column to identify the water mass
characteritics (Neumann and Pierson,
1966; Emery, 2003). In this study, the
analyse was made to identify the origin of

water masses refer to water mass


classsification of Wyrtki (1961) and
Kashino et al (1996).

temperature (C)

salinity

density (kg/m3)

Figure 3. Vertical profile of temperature and salinity to the at biology stations in Weda
Bay.

368

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Basit dan Putri

3.2. Water Mass Properties at


Hydrology Stations
The range of depth among 18
hydrology stations was between 300 m
(station 6) and 1700 m (station 15) and the
deepest measurement was up to 1500 m
(at station 15 ). There were 9 hydrology
stations (4, 8, 11, 12, 14, 15, 16, 17, and
18) with more than 1000 m deep but there
were only at 4 stations (8, 11, 15 and 18)
for collecting data with CTD and DO
meter at more than 1000 m depth.
Surface waters
The uniform values of water quality
parameters were also observed in the
water surface coloumn of the hydrology
stations. In these coloumns, the average
values of temperature, salinity and sigmatheta were at about 29.2 C, 34 , and 21.3
kg/m3 respectively. By using Mixed
Layer Depth (MLD) Criteria proposed by
Wyrti, 1964; Levitus, 1982), it was found
that MLDs in these areas were located
within 50 m from the surfaces. This result
was similar to the MLD around Western
Equatorial Pacific Ocean found by Lukas
(1991).
The lowest salinity at the surface
was found at stations 17 at about 33.6 at

= 21(at 1 m depth) (Figure 4). At this


station, the salinity with less then 34.0
was found until 59 m depth ( = 21.54).
Similarly, this profile was also found at
station 18. These levels were even less
than the salinity at stations around the
Weda Bay coast. The salinity with less
than 34.0 was also abserved at stations 9
and 11 but only up to 3 m depth. The
spatial distribution of salinity between 1
and 5 m was shown in Figure 3. It is
suggested that the water mass with low
salinity at station 17 and 18 was mainly
from the surface water masses of Western
North Pacific Ocean. Atmadipoera et al. (
2004) found that there was extremely low
salinity (less then 34.0) during March,
May and June in Western North Pacific
ocean at 2 N, 130E (based on TRITON
buoy data) that was at just northern
Halmahera sea. Therefore, from the two
similirities as mentioned above, it is
suggested that these waters enter into
Halmahera seas and then turn into Weda
Bay. However, this influence seems to
decrease when the waters enter toward the
Weda Bay Coast. This was indicated by
the higher salinity at about 0.06 toward
the coast (Figure 3).

Figure 4. Horisontal distribution of salinity within the depth of between 1 and 5 m at 18


hydrology stations in Weda Bay.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

369

Water Mass Characteristics...

such as seasonal weather variation, tide


and current (Wyrtki, 1961; Thorpe,2009 ).
It was observed that there were
water masses with the salinity maximum
at more than 35 within the thermocline
layers at hydrology stations, except at
around station 1, at around 25.0 sigma
theta (Figure 8 & 9). This water mass
type was similar to the water mass type of
Western North Ocean Pacific identified by
Wyrtky (1961). He found that there was
influence of Southern Subtropical Lower
Water (SSLW) in Western North Pacific
Ocean characterized by the existence of
salinity maximum within the thremocline
layers (Table 1). Similarly, this
characteristic was also observed by
Ilahude and Gordon (1996) at Halmahera
Sea and Kashino et al. (1996) at just
North Halmahera sea (Pacific Ocean).
Therfore, it is suggested that the present of
SSLW in Weda Bay within thermocline
layer was from Western North Pacific
Ocean flowing through Halmahera Sea
before turned into Weda Bay. The
influence of SSLW decreased toward the
coast of Weda bay as indicated by the
salinity maximum at station 1 at just
below 35 (Figure 9).

depth (meter)

3.3. Thermocline Waters


From Figure 5, there was a
significant decrease of termperature from
29C at 50 m depth and 21.4 sigma-theta
to 12C at 300 m depth and 26.4 sigmatheta. It was obtained that the average
termocline thickness and thermocline
depth (DTC) at 18 hydrology stations of
Weda Bay was around 116 m (Figure 6)
and around 163 m respectively (Figure 7).
The former was obtained by considering
the minimal surface temperature and its
variability around this area, it was
proposed that the thickness of thermocline
layer may be said to extend between 23
and 15 C) by Wyrtki (1961). The later
was estimated by using the definition of
DTC as proposed by Kessler (1990) and
Wang et al.(1999) i.e., the depth at which
the temperature around Pacific Ocean is
20C from the sea surface. As
comparison, the annual average of
thermocline thickness and thermocline
depth around Halmahera Sea were > 100
m (Wyrtki, 1961) and 150 m (Wang et al.,
1999) respectively. The depth and
thikness variations of thermocline are
mainly influenced by dynamical processes

temperature (C)

salinity

density (kg/m3)

Figure 5. Vertical profile of temperature (left), salinity (middle) and density to the depth
at 18 hydrology stations in Weda Bay.

370

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Basit dan Putri

Figure 6. The thickness of thermocline layers at 18 hydrology stations in Weda Bay.

Figure 7. The depth of thermocline layers at 18 hydrology stations in Weda Bay.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

371

Water Mass Characteristics...

Figure 8. T-S diagram at 18 hydrology stasions in Weda Bay.

Figure 9. Salinity distribution on sigma-theta of 25 kg/m3 in Weda Bay.

372

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Basit dan Putri

Tabel 1. Properties of subsurface water masses in the Western North Pacific Ocean
(WNPO) (Wyrtki 1961; Kashino et al. 1996) and Weda Bay.
Water type
Charac- Southern subtropical lower water Antarctic intermediate waters
Water mass
(SSLW)
(AAIW)
teristics
T
S
O2
T
S
O2
3.2 WNPO by Smax 19 - 27 35.0 - 35.6
3.5
Wyrtki
Smin
5 - 7 34.45 - 34.6 1.9 - 3.0
(1961)
Omin
3.5 - 5 34.5 - 34.6 2.0 - 2.4
WNPO
by
Smax
20
35.2
4.5
Kashino et Ohom 10 - 20 34.55 - 35.45
4
al (1996)
5.1 Smax 18 - 20 35.0 - 35.2
Weda Bay
5.2
Ohom 15 - 20 34.98 - 35.2
4.1
The influence of SSLW was also
identified from Temperature-Oxygen (TO) diagram. In general, the concentration
of oxygen in Weda Bay decreased
significantly from 7.0 mg/L at the surface
to 5.2 mg/L at 20 C. After that, the
concentration decreased sligthly and
tended to be constant at about 5.1 mg/L in
between 20 C and 15 C. This oxygen
homogenous (Ohom) layer is one of the
characteristics from SSLW that cannot be
found in NSLW (Tsuchiya et al.1989,
Kashino et al., 1996). The oxygen
homogenous layer around Halmahera sea
was also found by Kashino et al. (1996)
that confirmed the presence of SSLW
influence to the water mass conditions of
Weda bay waters (Table 1).
In addition, the water type of SSLW
in Weda bay waters was also indicated by
the existence of oxygen inversion found
between 15 C and 10 C (Figure 10).
The oxygen content in this layer was
higher by 0.15 mg/L compared to the
upper layer (20 C < < 15 C). The
oxygen concentration increased from 5.1

mg/L at 15 C to reach a maximum at


about 5.25 mg/L at 11 C ( Figure 10).
Then, the oxygen decreased and tended to
reach a minimum below 8 C. The finding
of oxygen inversion was similar to the
Wyrtki (1961) observation around
Halmahera Sea. The formation of oxygen
inversion was related to the movements of
water masses rather than to biological
processes (Wyrtki ,1961). A rapid
opposite horizontal movement at the
boundary of the two water masses
(Subtropical
Lower
Water
and
Intermediate Water) can cause the
vertically downward movement of Lower
Water with relatively low oxygen content
to exchange Intermediate Water with
relatively high oxygen content lied below
it, so that the inversion is observed at the
boundary between the two water masses
(Wyrtki ,1961). In Weda Bay, the center
of inversion lied at around 15 C and this
was the boundary between the two water
masses as discussed in section 3.3, that
comfirmed Wyrtki (1961) theory.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

373

Water Mass Characteristics...

Figure 10. Temperature-salinity (T-O) diagram at 18 hydrology stations in Weda Bay.


3.4. Intermediate waters
The temperature,
salinity and
sigma-theta tended to be constant at about
7.8, C 34.7 and 27.1 respectively in the
deeper 600 m up to 1700 m (maximum
depth of this observation). The
characteristics of Antarctic Intermediate
waters (AAIW) in Pacific Ocean were
indicated by the presence of salinity
minimum and oxygen minimum 34.55 and
2.5 ml/L with sigma theta 27.2 ( = 6 C)
(Table 1) (Wyrtki, 1961; Tsuchiya, 1990;
Kashino et al, 1996 ). These
characteristics were not seen in this
observation area. It was suggested that the
disappearance of AAIW in this area was
due to the existence of sill with the depth
of about 700 m separating Halmahera Sea
and Pacific Ocean, so it was inhibiting the
flow from Pacific Ocean to Halmahera
Sea (Cresswell and Luick, 2001). These
results agreed with the water masses of
Halmahera Sea observed during Snellius I
expedition 1929-1930 by (Van Riel, 1937)
and during northwest monsoon (January
March 1994) by Ilahude and Gordon
(1994). Weda Basin was adjacent to

374

Halmahera Basin in which the depth


increased toward Halmahera Basin and no
sill found between the two basins. As
consequence of this, the waters of Weda
bay within thermocline layer and depeer
were renewed by the flow of Halmahera
Sea and thus the water mass
characteristics in Weda Bay was strongly
influenced by the water masses from
Halmahera Sea.
IV. CONCLUSION
There was strong influence from
the water masses of Western North Pacific
Occean (WNPO) to the conditions of
Weda Bay water. This water was derived
from Halmahera Sea driven by ITF before
turned into Weda Bay. In the surface
layer, the influence was indicated by the
low salinity at just below 34.0 . In the
thermocline layer, the influence of WNPO
was indicated by the presence of SSLW
water type. In the intermediate layer, the
water type of AAIW was not detected, due
to the sill separating Halmahera Sea from
WNPO.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Basit dan Putri

ACKNOWLEDGMENTS
Weda Bay Expedition was conducted
by Technical Implementation Unit for
Marine Life Conservation, Indonesian
Institut of Science. We thank Dr. Augy
Syahailatua, Chairman of by Technical
Implementation Unit for Marine Life
Conservation for his support to conduct
this expedition. We are also very grateful
to Willem M. Tatipatta and Johanis
Dominggus Lekalette for their help in
collecting data during expedition.
REFERENCES
Atmadipoera, A., Y. Kuroda, J.I.
Pariwono, and A. Purwandani.
2004. Water mass variation in the
upper layer of the Halmahera eddy
region observed from a TRITON
buoy. MTS/IEEE Techno Ocean,
3:14961503.
Cresswell, G. R. and J.L. Luick. 2001.
Current measurement in the
Halmahera Sea. J. of Geophysical
Research, 106(C7):13945-13951.
Emery, W. J. 2013. Water types and water
masses. Science, 1556-1567
Ffield, A. and A.L. Gordon. 1992.
Vertical mixing in the Indonesian
Thermocline. J. of Physical
Oceanography, 22(2):184-195.
Gordon, A.L., J. Sprintall, H.M. Van
Aken, D. Susanto, S. Wijffels, R.
Molcard, A. Ffield, W. Pranowo,
and S. Wirasantosa. 2010. The
Indonesian throughflow during
20042006 as observed by the
INSTANT program. Dynamics of
Atmospheres and Oceans, 50:115128.
Gordon, A.L. 2005. The Indonesian seas
and their throughflow. Oceanography, 18(4): 1427.
Ilahude, A.G. and A.L. Gordon. 1994.
Thermocline stratification within
the Indonesian Seas. J. of

geophysical research, 101(C5):


12,401-12,409.
Kashino, Y., M. Aoyama, T. Kawano, N.
Hendiarti, Syaefudin, Y. Anantasena, K. Muneyama, and H.
Watanabe. 1996. The water masses
between Mindanau and New
Geuniea. J. Geophys. Res., 101:
12,391-12,400.
Kessler, W. S. 1990. Observations of long
Rossby waves in the northern
tropical Pacific. J. Geophys. Res.,
95: 5183-5217.
Lukas, R., E. Firing, P. Hacker, P.L.
Richardson, C.A. Collins, R. Fine,
and
R.
Gammon.
1991.
Observations of the Mindanau
current during the Western
Equatorial
Pacific
Ocean
Circulation Study, J. Geophys.
Res., 96:7089-7104.
Neumann, G. and W.J. Pierson. 1966.
Principles of physical oceanography. London. Prentice-Hall
International.
Miyama, T., T. Awaji, K. Akitomo, and
N. Imasato. 1995. Study of
seasonal transport variations in the
Indonesian seas, J. Geophys. Res.,
100: 20,517-20,541.
Thorpe, S.A. 2009. Elements of physical
oceanography. London. Elsevier.
Wijffels, S., E. Firing, and J. Toole. 1995.
The mean structure and variability
of Mindanau current at 8. J.
Geophys. Res., 100:18,421-18,435.
Tsuchiya, M. 1991. Flow path of the
Antarctic Intermediate Water in
the western equatorial South
Pacific Ocean. Deep Sea Research,
38(1):S273-S279.
Tsuchiya, M., R. Lukas, R.A. Fine, E.
Firing, and E. Lindstrom. 1989.
Source waters of Pacific equatorial
undercurrent. Prog. Oceanogr,
23:101147.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

375

Water Mass Characteristics...

Uliyah, L., B.N. Furqon, R. Damanik,


and D. Setiawan. 2010. World
Bank must stop the plan to finance
the second largest Indonesia
Nickel
Mine.
JATAM,
http://english.jatam.org/content/vie
w/129/1/. [Retrieved on 15
December 2013].
Van Riel, P.M. 1937. The Snellius
expedition in the Eastern Part of
the Netherlands East Indies 19231930. vol. 1, E. J. Brill Cologne
Germany.

376

Wang, B., R. Wu, and R. Lukas. 1999.


Annual adjustment of thermocline
in the Tropical Pacific Ocean. J. of
Climate, 13:596616.
Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography
of southeast Asian Waters, Naga
Report, vol. 2. The University of
California, Scripps Institution of
Oceanography,
La
Jolla,
California.
Diterima : 23 Oktober 2013
Direvisi : 18 November 2013
Disetujui : 20 Desember 2013

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 377-390, Desember 2013

KOMPOSISI SPESIES DAN PERUBAHAN KOMUNITAS IKAN KARANG


DI WILAYAH REHABILITASI ECOREEF PULAU MANADO TUA, TAMAN
NASIONAL BUNAKEN
THE COMPOSITION OF SPESIES AND CHANGES IN REEF FISHES
COMMUNITY AT ECOREEF REHABILITATION SITE, MANADO TUA ISLAND,
BUNAKEN NATIONAL PARK
Fakhrizal Setiawan1*, Tries B. Razak2, Idris3, dan Estradivari4
Wildlife Conservation Society, Indonesia Marine Program, Jakarta
*
Email: setiawan.rizal@gmail.com
2
Marine Spatial Ecology Lab., School of Bio. Sciences, Queensland Univ., St Lucia
3
Indonesian Coral Reef Foundation, Jakarta; 4World Wildlife Fund, Jakarta
1

ABSTRACT
The study conducted from 2006 to 2012 with an interval of every two years in the ecoreef
area of Manado Tua island found 2,936 individual reef fishes of 181 species that include into
32 families. Species composition value of the 10 dominant species of reef fishes was 55.48% of
the total species. The highest number of species was Plotosus lineatus with schooling behavior
which only discovered in 2010 at a depth of 3 meters. Ecoreef area of Manado Tua island, when
analyzed from the abundance and biomass of reef fishes exhibited a succession of reef fish that
have been stable, with peak abundance and higher biomass in 2008 and 2010. Reef fish found in
ecoreef seemed to start a new living and become a new habitat for them. These were indicated
by the highest biomass during the previous year but the number of individuals and spesies were
decline. There was no change in the structure of reef fish communities in the ecoreef area of
Manado Tua Island, which characterized by non significant different ecological index between
the years. Cluster analyses grouped reef fish species into 2 groups i.e., the group of 2006 and
the group of 2008, 2010, and 2012. Early survey in 2006 showed lower abundance of reef fish
species for allegedly associated with low ecoreef organisms.
Keywords: ecoreef, spesies composition, community structure, reef fish.
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan sejak tahun 2006 hingga 2012 dengan selang waktu tiap dua
tahun di area ecoreef Pulau Manado Tua mendapatkan ikan karang sebanyak 2.936 individu
dalam 181 spesies yang masuk dalam 32 famili. Nilai komposisi spesies dari 10 spesies
dominan ikan karang mencapai 55,48% dari total keseluruhan spesies yang ditemukan dengan
jumlah terbesar dari jenis Plotosus lineatus dikarenakan sifatnya yang schooling meskipun
hanya diketemukan di tahun 2010 pada kedalaman 3 meter tetapi jumlahnya mengalahkan
spesies lain yang ditemukan tiap tahun. Daerah ecoreef Pulau Manado Tua, jika dilihat dari
kelimpahan dan biomassa ikan karangnya memperlihatkan suksesi ikan karang yang sudah
stabil, dimana puncak kelimpahan dan biomasaa ikan karang tertinggi di tahun 2008 hingga
2010. Namun demikian ikan karang yang terdapat di ecoreef mulai menempati habitat baru bagi
mereka, ini diindikasikan dengan biomassa tertinggi dari tahun sebelumnya namun jumlah
individu dan spesiesnya turun. Tidak ada perubahan struktur komunitas ikan karang yang berarti
di area ecoreef Pulau Manado Tua, dengan dicirikan data indeks ekologi yang tidak jauh
perubahannya antar tahun. Hasil kluster analisis untuk melihat kesamaan spesies secara
temporal mengelompokkan ikan karang kedalam 2 group yaitu group tahun 2006 dan group
tahun 2008, 2010, dan 2012, hal ini karena proses suksesi ikan karang yang menempati area
ecoreef. Awal survei di tahun 2006 memperlihatkan kelimpahan spesies ikan karang rendah
karena diduga organisme yang berasosiasi dengan ecoreef.
Kata kunci: ecoreef, komposisi spesies, struktur komunitas, ikan karang

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

377

Komposisi Spesies dan Perubahan...

I. PENDAHULUAN
Taman
Nasional
Bunaken
merupakan kawasan pelestarian alam
berbasis lautan yang dikelola oleh
pemerintah dan ditetapkan berdasarkan
SK. Menteri Kehutanan No.730/KptsII/1991 dengan luas 89.065 Ha. Namun
30-40 tahun yang lalu aktifitas menangkap
ikan yang merusak mengakibatkan
kerusakan terumbu karang. Berdasarkan
Razak (2006), setelah tiga dekade berlalu,
area yang rusak juga tidak menunjukkan
proses pemulihan yang nyata sehingga
Tahun 2003 sebanyak 620 modul ecoreef
ditenggelamkan di site Muka Gereja di
depan Desa Negeri di Pulau Manado Tua
(N 1o 37,388 E 124o 42,819).
Ecoreef merupakan salah satu
metode terumbu buatan yang dapat
digunakan dalam merehabilitasi terumbu
karang. Salah satu fungsi ekologis
terumbu buatan menurut (Miller dan
Falace, 2000) yaitu menciptakan habitat
baru dan dapat meningkatkan kelimpahan
ikan karena ketersediaan shelter (tempat
berlindung). Serta fungsi lainnya adalah
meningkatkan biomassa ikan (Manembu
et al., 2012). Area yang dijadikan lokasi
rehabilitasi ini adalah bekas hamparan
karang tepi yang saat ini berupa hamparan
rubble dan pasir yang konturnya miring
hingga terjal sampai kedalaman 12-13 m
serta kedalaman selanjutnya berupa pasir.
Menurut Razak (2006), luas area
rehabilitasi sebesar 1200 m2 (lebar 16 m
dan panjang 75 m) dengan empat baris
penyusunan modul ecoreef. Baris A (2,54m), baris B (4-6m), baris C (6-8m) dan
baris D (8-10m).
Proses
rehabilitasi
ekosistem
terumbu karang dengan terumbu buatan
banyak dilakukan saat ini dan umumnya
penelitian tersebut banyak melihat aspek
dari sisi karangnya seperti penempelan
larva karang di reef ball (Bachtiar dan
Prayogo, 2010) atau di rock pile (Fox et
al., 2005) dan laju pertumbuhan karang

378

(Reymundo, 2001; Lindahl, 2003; Okubo


et al., 2005; Fadli, 2009; Ketjulan, 2013).
Penelitian ikan karang di terumbu buatan
sebagian besar memperlihatkan nilai yang
positif terhadap peningkatan ikan karang
yang ada. Teknik transplantasi karang
dapat menarik ikan karang pemakan
plankton seperti Chromis dan Dascyllus
pada daerah pasir dan substrat rubble
juvenil seperti ikan Scaridae dan
Haemulidae di Puerto rico (Bowden and
Kerby, 1997). Namun hasil penelitian
Dhahiyat et al. (2003) belum memperlihatkan proses rehabilitasi yang berarti
melalui teknik transplantasi dengan
indikasi meningkatknya ikan karang di
Pulau Pari dalam kurun waktu 1 tahun.
Teknik Reef ball yang dipasang di Teluk
Buyat sejak tahun 1999 hingga 2012
mampu meningkatkan keberadaan komunitas ikan karang (Manembu et al., 2012).
Selanjutnya metode rock pile yang dilakukan di TN. Komodo selama 3 tahun oleh
Fox et al. (2005) terbukti meningkatkan
kualitas perairan dengan ditemukannya
organism seperti alga, sponge, tunikata,
echinodermata, gurita dan berbagai jenis
ikan.
Serta metode biorock dimana
struktur yang dibangun dapat ditumbuhi
dan didiami oleh berbagai macam organisme karang, termasuk ikan, kepiting,
kima, gurita, lobster dan bulu babi yang
biasanya ditemukan pada terumbu karang
yang sehat (Goreau, 1996).
Informasi
mengenai
kondisi
komunitas ikan karang yang mendiami
area ecoreef di Manado Tua hingga saat
ini belum diketahui secara pasti. Sehingga
untuk melihat tingkat keberhasilan proses
rehabilitasi selain informasi tutupan
karang juga informasi ikan karang yang
berasosiasi didalamnya. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui komposisi spesies
dan perubahan komunitas ikan karang dari
tahun 2006 hingga 2012 di area rehabilitasi terumbu karang menggunakan
modul ecoreef di Pulau Manado Tua.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Setiawan et al.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan sejak
tahun 2006 hingga 2012 di area
rehabilitasi ecoreef Muka Gereja di Desa
Negeri, Pulau Manado Tua (1o 37,388
LU dan 124o 42,819 BT; Gambar 1).
Pengumpulan data dilakukan dengan
frekuensi 2 (dua) tahun sekali. Metode
pencatatan ikan karang menggunakan
metode visual sensus, dengan menggunakan garis maya yang ditarik paralel
dengan transek garis membentuk luasan
persegi panjang (Hill and Wilkinson,
2004) sepanjang 50 meter pada tiga
kedalaman yaitu 3, 6, dan 9-10 m.
Analisis ikan karang meliputi komposisi
spesies (Fachrul, 2007 dalam Latuconsina
et al., 2012) seperti:
Ks = ni/N x 100 % ................(1)
dimana: Ks=komposisi spesies ikan
karang (%), ni= jumlah individu tiap
spesies dan N= jumlah individu seluruh
spesies ikan. Biomassa ikan karang: Data
panjang ikan (cm) kemudian dikonversi
ke dalam berat (kg) dengan menggunakan
rumus hubungan panjang dan berat ikan
untuk tiap spesies (Kulbicki, 2005;
Marnane et al., 2003):
W = a x Lb ............................(2)
dimana: W: Berat (gr); L : Panjang Total

(cm); a & b : indeks spesifik (per spesies).


Struktur komunitas ikan karang meliputi
indeks keanekaragaman Shanon-Wiener:
S

H pi ln pi ...................(3)
i 1

indeks kesamaan:
E = H/ H maks .......................(4)
dan indeks dominansi:
S

D=

pi2 ..........................(5)

i 1

(Ludwig and Reynolds, 1988). Tingkat


pengelompokkan berdasarkan kesamaan
spesies ikan karang dilihat dengan analisis
cluster berdasarkan Indeks kesamaan
Bray-Curtis yang menggunakan data
pengelompokkan tersebut adalah nilai
kelimpahan species ikan karang tiap tahun
dengan indeks Bray-Curtis (Krebs, 1989):
B=

....................(6)

dimana: B = Pengukuran Ketidaksamaan


Bray-Curtis, Xij, Xik = No. Individu dalam
spesies I dalam tiap sampel, I,j = baris dan
kolom ke-1,2,3.x. Pengukuran indeks
kesamaan Bray-Curtis dapat menggunakan rumus komplemen indeks pengukuran
Bray-Curtis yaitu 1,0 B (Krebs, 1989).

Gambar 1. Lokasi penelitian di area rehabilitasi ecoreef pulau Manado Tua

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

379

Komposisi Spesies dan Perubahan...

Hasil perhitungan indeks Bray Curtis


ditampilkan dalam bentuk bentuk
dendogram Pengolahan data menggunakan perangkat lunak MVSP dan analisis
statistic uji-t menggunakan SPSS.
Identifikasi ikan karang menggunakan
buku Reef Fish Tropical Pacific
Identification (Allen et al., 2003) dan
Pictorial Guide to: Indonesian Reef
Fishes (Kuiter and Tonozuka, 2001)
sedangkan konstanta a dan b didapat dari
Froese and Pauly (2010) dan Kulbicki et
al. (2005).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Komposisi Spesies Ikan Karang
Selama pengamatan (kurun waktu
6 tahun), ikan yang tercatat di sekitar area
ecoreef adalah sebanyak 2.936 individu
yang tergolong kedalam 181 spesies yang
masuk dalam 32 famili. Terdapat beberapa
famili yang memiliki jumlah spesies
terbesar seperti Labridae sebesar 45
spesies, Poma-centridae 29 spesies,
Chaetodontidae 19 spesies, Acanthuridae
17 spesies, Scaridae 13 spesies, Siganidae
7 spesies, Serranidae 6 spesies,
Pomacanthidae 5 spesies, Mullidae 4
spesies dan Balistidae 3 spesies dan
sisanya kurang dari 3 spesies (Tabel 1).
Lokasi ecoreef dimana bersubstrat
campuran pasir, rubble dan karang sangat
cocok untuk ikan dari famili Labridae
karena umumnya spesies di dalam famili
tersebut berdasarkan Allen et al, (2003)
biasa
dijumpai
didaerah
tersebut.
Berdasarkan data Tabel 1, 10 spesies ikan
yang memiliki komposisi spesies terbesar
yaitu Plotosus lineatus sebesar 12,43 % ,
Ctenochaetus
striatus
7,53
%,
Pomacentrus brachialis 6,20 %, Dascyllus

380

reticulates
5,72
%,
Pomacentrus
auriventris 5,35 %, Aeoliscus strigatus
4,46 %, Pomacentrus amboinensis 4,29
%, Cirrhilabrus exquisitous 3,64 %,
Chromis ternatensis 3,61 % dan
Pomacentrus adelus 2,25 %. Tingginya
spesies Plotosus lineatus dikarenakan ikan
ini memiliki sifat bergerombol dalam
jumlah besar dalam dua kelompok
meskipun hanya diketemukan di tahun
2010 pada kedalaman 3 meter tetapi
jumlahnya mengalahkan spesies lain yang
ditemukan tiap tahun. Ditambahkan pula
ikan ini bersifat omnivora pemakan
zoobenthos, cacing, alga, moluska dan
krustacea kecil yang berada didasar dan
terkubur di dalam pasir dan substrat dasar
di area ecoreef mendukung itu semua.
Spesies Ctenochaetus striatus yang cukup
banyak dijumpai dikarenakan banyak alga
yang menyelimuti rubble dan struktur
ecoreef yang menjadi makanan ikan ini.
Sedangkan untuk spesies dari famili
Pomacentridae (Pomacentrus brachialis,
Dascyllus
reticu-lates,
Pomacentrus
auriventris, dan Poma-centrus amboinensis) yang juga banyak ditemukan
dikarenakan mereka pemakan zooplankton di kolom air dan struktur ecoreef yang
memberikan ruang untuk sembunyi sangat
cocok untuk ikan Pomacentridae karena
saat menangkap zooplankton ikan
Pomacentridae sangat rentan menjadi
mangsa ikan carnivora besar.
Total komposisi dari 10 spesies ikan
karang di area ecoreef Pulau Manado Tua
ini mencapai 55,48% dari total
keseluruhan spesies yang ditemukan. Hal
ini cukup menarik karena total 10 spesies
dominan ini sudah separuh lebih dari
keseluruhan spesies yang di temukan di
areal ecoreef Pulau Manado Tua.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Setiawan et al.

Tabel 1. Komposisi spesies ikan karang di area ecoreef pulau Manado Tua.
Family/Spesies

Acanthuridae
Acanthurus achilles
Acanthurus bariene
Acanthurus
grammoptilus
Acanthurus marginatus
Acanthurus nigricans
Acanthurus nigrofuscus
Acanthurus nigroris
Acanthurus pyroferus
Acanthurus tristis
Ctenochaetus binotatus
Ctenochaetus
marginatus
Ctenochaetus striatus
Naso caeruleacauda
Naso lituratus
Naso minor
Zebrasoma scopas
Zebrasoma veliferum
Apogonidae
Apogon compressus
Aulostomidae
Aulostomus chinensis
Balistidae
Balistapus undulatus
Pseudobalistes
flavimarginatus
Sufflamen chrysopterus
Bleniidae
Meiacanthus
grammistes
Caesionidae
Caesio lunaris
Pterocaesio tile
Carangidae
Caranx melampygus
Aeoliscus strigatus
Chaetodontidae
Chaetodon adiergastos
Chaetodon auriga
chaetodon citrinellus
Chaetodon collare

ind/
ekor

Komposi
si spesies
(%)

1
1

0.03
0.03

Chaetodon ephippium
Chaetodon kleinii
Chaetodon lunulatus

1
65
5

0.03
2.21
0.17

3
9
2
3
1
21
5
42

0.1
0.31
0.07
0.1
0.03
0.72
0.17
1.43

Chaetodon myeri
Chaetodon ornatissimus
Chaetodon rafflesi
Chaetodon reticulatus
Chaetodon speculum
Chaetodon trifascialis
Chaetodon vagabundus
Forcipiger longirostris

3
1
6
3
5
3
17
23

0.1
0.03
0.2
0.1
0.17
0.1
0.58
0.78

6
221
25
6
9
40
3

0.2
7.53
0.85
0.2
0.31
1.36
0.1

36
2

1.23
0.07

8
4

0.27
0.14

0.17

0.03

0.2

7
1
1

0.24
0.03
0.03

0.24

Hemitaurichthys polylepis
Heniochus acuminatus
Lethrinidae
Lethrinus sp.
Monotaxis grandoculis
Lujanidae
Macolor niger
Monacanthidae
Amanses scopas
Paraluteres prionurus
Pervagor janthinosoma
Mullidae
Mulloidichthys flavolineatus

2
8

0.07
0.27

Parupeneus barberinus
Parupeneus macronemus
Parupeneus multifasciatus

8
7
7

0.27
0.24
0.24

0.03

1
31

0.03
1.06

4
1

0.14
0.03

1
131

0.03
4.46

Nemipteridae
Scolopsis bilineata
Scolopsis lineatus
Ostraciidae
Ostracion cubicus
Ostracion meleagris
Pinguipedidae
Parapercis clathrata
Parapercis hexophthalma
Plotosidae
Plotosus lineatus

1
5

0.03
0.17

5
5

0.17
0.17

365

12.43

1
4
1
2

0.03
0.14
0.03
0.07

Family/Spesies

ind/
ekor

Komposi
si spesies
(%)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

0.03

381

Komposisi Spesies dan Perubahan...

Tabel 1 (lanjutan)
Family/Spesies

Pomacanthidae
Centropyge bicolor
Centropyge bispinosus
Centropyge tibicen
Centropyge vroliki
Pygoplites diacanthus
Pomacentridae
Abudefduf vaigiensis
Acanthochromis
polyacanthus
Amblyglyphidodon
leucogaster
Amphiprion clarkii
Amphiprion
sandaracinos
Chromis amboinensis
Chromis atripes
Chromis caudalis
Chromis dimidiata
Chromis margaritifera
Chromis ternatensis
Chromis weberi
Chromis xanthura
Chrysiptera parasema
Heniochus chrysostomus
Heniochus varius
Cirrhitidae

ind/
ekor

7
1
7
4
3
12

Komposi
si
spesies
(%)
0.24
0.03
0.24
0.14
0.1
0.41

Family/Spesies

ind/
ekor

Komposisi
spesies
(%)

Cheilinus oxycephalis
Cheilinus trilobatus
Cheilio inermis
Cirrhilabrus exquisitous
Cirrhilabrus solorensis
Coris gaimard
Epibulus insidiator
Gomphosus varius

1
12
2
107
15
4
8
6

0.03
0.41
0.07
3.64
0.51
0.14
0.27
0.2

20

0.68

Halichoeres chrysus

0.2

5
14

0.17
0.48

Halichoeres hortulanus
Halichoeres leucurus

28
4

0.95
0.14

2
1
4
23
5
50
106
55
5
28
2
7

0.07
0.03
0.14
0.78
0.17
1.7
3.61
1.87
0.17
0.95
0.07
0.24

1
1
3
4
1
17
3
2
1
1
4
23
2

0.03
0.03
0.1
0.14
0.03
0.58
0.1
0.07
0.03
0.03
0.14
0.78
0.07

Cirrhitichthys falco
Paracirrhites arcatus
Paracirrhites forsteri
Diodontidae
Holocentridae
Myripristis murdjan
Labridae

1
9
4

0.03
0.31
0.14

0.1

12
8
8
1
168
22
4

0.41
0.27
0.27
0.03
5.72
0.75
0.14

Anampses geographicus
Anampses lineatus
Anampses melanurus
Anampses meleagrides
Cheilinus chlorurus
Cheilinus fasciatus

3
3
1
3
2
9

0.1
0.1
0.03
0.1
0.07
0.31

Halichoeres melanurus
Halichoeres nebulosus
Halichoeres prosopeion
Halichoeres purpurescens
Halichoeres richmondi
Halichoeres scapularis
Hemigymnus fasciatus
Hemigymnus melapterus
Hologymnosus annulatus
Labrichthys unimaculatus
Labroides bicolor
Labroides dimidiatus
Labroides pectoralis
Macropharyngodon
meleagris
Novaculichthys taeniourus
Oxycheilinus digramma
Dascyllus melanurus
Dascyllus reticulatus
Dascyllus trimaculatus
Neoglyphidodon nigroris
Plectroglyphidodon
lacrymatus
Oxycheilinus digramma
Pomacentrus adelus
Pomacentrus amboinensis
Pomacentrus brachialis
Pomacentrus chrysurus

6
8
66
126
182
21

0.2
0.27
2.25
4.29
6.2
0.72

382

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Setiawan et al.

Tabel 1 (lanjutan)
Family/Spesies

Pomacentrus lepidogenys
Pomacentrus
molluccensis
Pomacentrus vaiuli
Ptereleotridae
Nemateleotris magnifica
Scaridae
Chlorurus bleekeri
Chlorurus bowersi
Chlorurus sordidus
Scarus dimidiatus
Scarus forsteni
Scarus globiceps
Scarus hypselopterus
Scarus niger
scarus oviceps
Scarus prasiognathus
Scarus psittacus
Scarus quoyi
Scarus sp.
Serranidae
Cephalopholis boenak
Cephalopholis leopardus
Cephalopholis urodeta
Epinephelus fasciatus
Pseudanthias huchti

ind/
ekor

Komposi
si
spesies
(%)
0.07

13
11

0.44
0.37

0.17

3
2
11
2
1
1
3
16
1
3
1
1
1

0.1
0.07
0.37
0.07
0.03
0.03
0.1
0.54
0.03
0.1
0.03
0.03
0.03

2
7
9
4
9

0.07
0.24
0.31
0.14
0.31

3.2. Perubahan Struktur Komunitas


Ikan Karang
3.2.1. Kelimpahan Ikan Karang
Jumlah individu ikan karang yang
berada di areal ecoreef tertinggi terdapat
di tahun 2010 pada kedalaman 3 meter
sebesar 540 Individu dan terendah di
tahun 2006 pada kedalaman 6 meter
sebesar 140 individu. Sedangkan jumlah
spesies tertinggi terdapat di tahun 2008
pada kedalaman 6 meter sebesar 75
spesies dan terendah di tahun 2006 pada
kedalaman 6 meter sebesar 42 spesies

Family/Spesies

Pseudanthias squamipinnis
Siganidae
Siganus argenteus
siganus doliatus
Siganus guttatus
Siganus punctatus
Siganus sp.
Siganus unimaculatus
Siganus vulpinus
Synodonthidae
Synodus jaculum
Tetraodontidae
Arothron nigropunctatus
Oxycheilinus rhodochrous
Oxycheilinus unifasciatus
Pseudocheilinus hexataenia
Pseudodax mollucanus
Stethojulis strigiventer
Stethojulis trilineata
Canthigaster compressa
Canthigaster valentini
Zanclidae
Zanclus cornutus
Jumlah

ind/
ekor

14

Kompo
sisi
spesies
(%)
0.48

3
1
2
2
2
1
1

0.1
0.03
0.07
0.07
0.07
0.03
0.03

0.03

3
1
2
10
2
3
5
1
11

0.1
0.03
0.07
0.34
0.07
0.1
0.17
0.03
0.37

33

1.12

2936

100

(Gambar 2). Kecendrungan jumlah


individu tertinggi berada di tahun 2010
disebabkan proses suksesi ikan karang
yang terjadi paling baik ditahun tersebut
namun secara keseluruhan tidak ada
perubahan yang berarti antara jumlah
spesies
tiap
tahunnya
hal
ini
mengindikasikan spesies ikan karang di
area ecoreef Pulau Manado Tua komposisi
spesiesnya stabil.
Berbeda dengan jumlah individu
dimana satu data ditahun 2010 di
kedalaman 3 meter sangat berbeda dengan
data tahun dan kedalaman lainnya. Hal ini

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

383

Komposisi Spesies dan Perubahan...

dikarenakan spesies Plotosus lineatus


yang ditemukan dalam jumlah melimpah
sebesar 365 individu dimana jumlah ini
terbanyak dibandingkan seluruh spesies
yang ditemukan antara tahun 2006 hingga
2012. Terlihat trend jumlah individu yang
terus meningkat dari tahun 2006 hingga
2008 dan stabil hingga 2010 dan turun
kembali di 2012, namun jumlah spesies
fluktuasinya tidak jauh terlihat meski
ditahun 2008 dan 2010 memiliki jumlah
spesies tertinggi.
Fluktuasi jumlah
individu dan jumlah spesies ikan karang
yang terdapat di area ecoreef dapat dilihat
pergantian spesies dominan dimana tahun
2006 dominan dari spesies Ctenochaetus
striatus (Acanthuridae) dan Pomacentrus
brachialis (Pomacentridae) kemudian
bergeser di tahun 2008 dominan dari
spesies Dascyllus reticulates (Pomacentridae) dan Cirrhilabrus exquisitous
(Labridae). Di tahun 2010 dominan dari
spesies Plotosus lineatus (Plotosidae) dan
Pomacentrus auriventris (Pomacentridae).
Fluktuasi spesies juga berubah di tahun
2012 dimana dominan dari spesies
Chromis ternatensis (Pomacentridae) dan
Ctenochaetus striatus (Acanthuridae).
Fluktuasi spesies yang dominan di lokasi
ecoreef diduga berdasarkan tipe pemakan

dan jenis makanan yang tersedia di area


tersebut (Gambar 3).
Hasil
pengelompokkan
ikan
karang berdasarkan tipe pemakannya
mengelom-pokkan di tahun 2006 tertinggi
dari tipe pemakan Omnivora /pemakan
segala, hal ini diduga area ecoreef masih
didominasi substrat pasir dan rubble dan
karang serta larva masih sedikit menempel
sehingga hanya jenis ikan omnivore yang
mampu hidup di daerah ini. Selanjutnya di
tahun 2008 kelimpahan tertinggi berasal
dari ikan tipe pemakan Plankti-vora,
Omnovora dan Carnivora. Di tahun
tersebut terlihat mulai tidak ada spesies
ikan tipe pemakan dominan hal ini
memperlihatkan proses suksesi mulai
berjalan. Di tahun 2010, dominan mulai
dikuasai dari ikan tipe pemakan Bentik
invertebrata, disini mulai terlihat biotabiota penghuni ecoreef baru mulai
mendiami sehingga banyak ikan pemakan
biota penghuni dasar. Selanjutnya tahun
2012, dominan tipe pemakan plankton/
planktivora (zooplankton) yang umumnya
berasal dari family Pomacentridae. Disini
terlihat ikan pemakan plankton umumnya
mendiami karang bercabang sehingga
memperlihatkan proses perbaikan ekosistem terumbu karang berjalan dengan baik.

Gambar 2. Histogram komposisi jumlah individu dan spesies dari tahun 2006 hingga
2012.

384

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Setiawan et al.

Gambar 3. Kelimpahan ikan karang berdasarkan tipe pemakan dari tahun 2006-2012.
3.2.2. Biomassa Ikan Karang
Biomaasa ikan karang di areal
ecoreef selama kurun waktu 6 tahun
tertinggi terdapat di tahun 2012 pada
kedalaman 3 meter sebesar 19,09 Kg/250
m2 dan terendah di tahun 2010 pada
kedalaman 3 meter sebesar 7,22
Kg/250m2
(Gambar
4).
Secara
keseluruhan tren biomassa ikan karang di
area ecoreef Pulau Manado Tua untuk
kedalaman 3 meter dan 9-10 meter
menurun hingga tahun 2010 dan
meningkat lagi di tahun 2012, sedangkan
kedalaman 6 meter meingkat di tahun
2008 kemudian menurun ditahun 2010
namun meningkat lagi ditahun 2012
sehingga secara keseluruhan biomassa
ikan karang meningkat di tahun 2012.
Dilihat dari data kelimpahan dan
biomassanya, memperlihatkan di tahun
2012 ukuran ikannya relatif lebih besar
karena rata-rata biomassa ikannya tinggi

namun kelimpahannya kecil dibandingkan


tahun sebelumnya, hal inilah dapat
diasumsikan ukuran ikannya relatif lebih
besar. Daerah ecoreef Pulau Manado Tua,
jika dilihat dari kelimpahan dan biomassa
ikan karangnya memperlihatkan suksesi
ikan karang yang sudah stabil, dimana
puncak kelimpahan dan biomasaa ikan
karang tertinggi di tahun 2008 hingga
2010. Namun demikian ikan karang yang
terdapat di ecoreef mulai menempati dan
tumbuh besar dan menjadi habitat baru
bagi mereka, ini diindikasikan dengan
biomassa tertinggi dari tahun sebelumnya
namun jumlah individu dan spesiesnya
turun.
Hasil
dari
biomassa
ini
memperlihatkan bahwa ecoreef dapat
dikatakan memberikan nilai positif kearah
stok perikanan karang di area ini, yang
nantinya membantu mening-katkan hasil
tangkapan nelayan di wilayah Manado
Tua.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

385

Komposisi Spesies dan Perubahan...

Gambar 4. Biomassa rata-rata (SE) ikan karang dari tahun 2006-2012 di area
ecoreef Pulau Manado Tua.
3.2.3. Indeks Ekologi
Struktur komunitas yang diolah
meliputi indeks keanekaragaman (H),
Indeks kemerataan (E) dan indeks
dominansi (C). Indeks keanekaragaman
mulai tahun 2006 hingga 2012 antara 1,78
3,40 dimana ini masuk dalam kisaran
rendah hingga tinggi dengan nilai rata-rata
sedang. Indeks kemerataan antara 0,28
0,65 dan masuk dalam kategori tertekan
hingga labil. Sedangkan indeks dominansi
berada antara 0,05 0,44 dan kesemuanya
masuk dalam katori rendah (Gambar 5).
Nilai indeks keanekaragaman terendah
pada kedalaman 3 meter pada tahun 2010,
hal ini dikarenakan diketemukannya
spesies Plotosus lineatus dalam jumlah
besar sehingga mempengaruhi komunitas
ikan karang disana. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Odum, 1971 bahwa perubahan
nilai indeks struktur komunitas dalam
suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh
adanya kelompok spesies yang dominan.

386

Dilihat dari indeks kemerataan


mulai dari tahun 2006 hingga 2012
komunitas dalam keadaan tertekan hingga
labil namun secara keseluruhan masuk
kategori labil. Hal ini dimungkinkan
apabila keseimbangan komunitas belum
stabil sehingga komunitas masih dapat
berfluktuatif menuju keseimbangannya.
Hanya ditahun 2010 di kedalaman 3 meter
komunitas tertekan karena ditemukannya
schooling spesies Plotosus lineatus dalam
jumlah besar. Nilai indeks dominansi
semuanya masuk dalam kisaran rendah,
hal ini mengindikasikan komunitas ikan
karang di area ecoreef tidak ada yang
mendominasi satu sama lainnya. Secara
keseluruhan tidak ada perubahan struktur
komunitas ikan karang yang besar, hal ini
dicirikan
data
yang
tidak
jauh
perubahannya antar tahun di area ecoreef
Pulau Manado Tua serta masih
dikategorikan baik. Hanya dikarenakan
satu spesies yaitu Plotosus lineatus yang

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Setiawan et al.

Gambar 5. Indeks H, C, dan E di tiga kedalaman dari tahun 2006 hingga 2012.

Gambar 6. Dendogram pengelompokkan spesies ikan karang secara temporal.


sedang berada di area tersebut dalam
jumlah besar pada tahun 2010 di
kedalaman 3 meter mempengaruhi komunitas disana, namun ditahun berikutnya
komunitas kembali normal.
3.2.4. Kesamaan Spesies Ikan Karang
secara Temporal
Indeks Bray-Curtis saat ini
digunakan dalam pengelompokkan ikan
karang berdasarkan data kelimpahannya
per spesies. Pengelompokkan ikan karang
bertujuan untuk melihat tingkat kesamaan
antar tahun pengamatan. Pengelompokkan

ikan Pada taraf penskalaan dendogram


41,9% yang merupakan nilai rata-rata dari
indeks similaritas Bray-Curtis antar tahun
diperoleh 2 kelompok group. Kelompok
group pertama adalah tahun 2008, 2010
dan 2012 sedangkan yang kedua adalah
tahun 2006 (Gambar 6). Pengelompokkan
ini menun-jukkan bahwa terdapat
perbedaan komposisi spesies ikan karang
antar groupnya. Terlihat pengelompokkan
kelimpahan spesies ikan karang yang
ditemukan antara tahun 2008, 2010 dan
2012, pengelompokkan ini diduga suksesi
ikan karang yang terjadi menuju

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

387

Komposisi Spesies dan Perubahan...

komposisi tetap jenis ikan karang yang


menempati area ecoreef. Tahun 2006
memiliki jenis ikan karang yang relatif
lebih sedikit dibandingkan tahun tahun
berikutnya, hal ini dikarenakan proses
penenggelaman ecoreef yang relatif baru
sehingga proses suksesi ikan karang yang
menempati area ecoreef relatif baru
sehingga ikan karang masih sedikit
jumlahnya yang tercatat di tahun 2006.
IV. KESIMPULAN
Komunitas ikan karang yang
terdapat di area rehabilitasi ecoreef selama
kurun waktu 6 tahun memperlihatkan
proses suksesi yang masih berjalan,
dimana
puncak
kelimpahan
dan
biomassanya teretinggi di tahun 2008 dan
2010. Ikan karang yang terdapat di
ecoreef mulai menempati dan tumbuh
besar dan menjadi habitat baru bagi
mereka,
ini
diindikasikan
dengan
biomassa tertinggi di tahun 2012
dibandingkan tahun sebelumnya namun
jumlah individu dan spesiesnya turun.
Keberadaan ecoreef sangat membantu
dalam meningkatkan kondisi ekosistem
terumbu karang yang telah rusak, terbukti
dapat
meningkatkan
keberadaan
komunitas ikan karang yang nantinya
berimbas pada hasil perikanan nelayan
setempat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih
kepada Tries B. Razak, Idris, dan
Estradivari yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Kepada Bapak Inyo,
Robert, dan Patras dan staf Taman
Nasional Bunaken atas bantuan dan
kerjasamanya selama mengikuti penyelaman, penulis mengucapkan terimakasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

388

DAFTAR PUSTAKA
Allen, G, R. Steene., P. Hulmann, and N.
Deloach. 2003. Reef fish tropical
Pacific identification. New World
Publication, Inc. Jacksonville.
Florida. USA. 457p.
Bachtiar, I dan W. Prayogo. 2010. Coral
recruitment on reef ball modules at
the Benete Bay, Sumbawa island,
Indonesia. J. of Coastal Development, 13(2):119-129.
Bowden and A. Kerby. 1997. Coral
transplantation in sheltered habitats using unattached fragments
and cultured colonies. Proceedings
of the 8th International Coral Reef
Symposium, Vol. 2. Australia.
Hlm:2063-2068.
Dhahiyat, Y., D. Sinuhaji, dan H.
Hamdani. 2003. Struktur komunitas ikan karang di daerah
transplantasi karang Pulau Pari,
Kepulauan Seribu. J. Iktiologi
Indonesia, 3(2):87-94.
Fadli, N. 2009. Growth rate of acropora
formosa fragments that transplanted on artificial substrate made
form coral rubble. J. Biodiversitas,
10(4):181-186.
Fox H., P.J. Mous, J.S. Pet, A.H. Muljadi,
and R.L. Caldwell. 2005. Experimental assessment of coral reef
rehabilitation
following
blast
fishing. J. Conservation Biology,
19:98-107.
Froese, R. and D. Pauly. 2010. FishBase.
world wide web electronic publiccation. www.fishbase.org, version
(11/2010). [Diakses pada tanggal
15 Juli 2013].
Goreau, T.J. 1996. Biorock/mineral
accreation technology for reef
restoration, mariculture and shore
protection. http://globalcoral.org.
html. [Diakses pada tanggal 9
Desember 2013].

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Setiawan et al.

Hill, J. and C. Wilkinson. 2004. Methods


for ecological monitoring of coral
reefs: a resource for managers.
Australian Institute of Marine
Science and Reef Check, Australia.
117p.
Ketjulan, R. 2013. Kelangsungan hidup
karang (acropora formosa) pada
area yang telah mengalami
kerusakan di perairan pulau Hari.
J. Mina Laut Indonesia, 1(1):128133.
Krebs, C.H.J. 1989. Ecological methodology. Univ. of British Columbia.
Harper Collins Publisher. 645p.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 2001.
Pictorial guide to Indonesia Reef
Fishes. Zoonetics. Seaford Vic
3198. Australia. Volume 1. 302p.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 2001.
Pictorial guide to Indonesia reef
fishes. Zoonetics. Seaford Vic
3198. Australia. Volume 2. 622p.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 2001.
Pictorial Guide to Indonesia reef
fishes. Zoonetics. Seaford Vic
3198. Australia. Volume 3. 865p.
Kulbicki, M., N. Guillemot, and M.
Amand. 2005. A general aproach
to length-weight relationships for
New Caledonian lagoon fishes. J.
Cybium, 29(3):235-252.
Latuconsina, H, M. N. Nessa, dan R.A.
Rappe. 2012. Komposisi spesies
dan struktur komunitas ikan
padang lamun di perairan Tanjung
Tiram-Teluk Ambon dalam. J.
Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 4(1):35-46.
Lindahl, U. 2003. Coral reef rehabilitation
through transplantation of staghorn
corals: effect of artificial stabilization and mechanical damages. J.
Coral Reefs, 22:217-223.
Ludwig, J. A. and J.F. Reynolds. 1988.
Statistical ecology: a primer on
methods and computing. John
Wiley & Sons, New York. 337p.

Manembu, I., L. Adrianto, D.G. Bangen,


dan F. Yulianda. 2012. Distribusi
karang dan ikan karang di kawasan
reef ball Teluk Buyat Kabupaten
Minahasa Tenggara. J. Perikanan
dan Kelautan Tropis, 8(1):28-32.
Miller M. and A. Falace. 2000. Evolution
method for trophic resource
nutrients, primary production and
associated assemblages. 95-127pp.
In: Seaman (ed.). Artificial reef
evolution with application to
natural marine habitats. CRC press
LLC, Washington.
Marnane, J.M., R.L. Ardiwijaya, J.T.
Wibowo, S.T. Pardede, A.
Mukminin, Y. Herdiana, dan S.
Haryanta. 2003. Laporan teknis
survey 2003-2004 di kepulauan
Karimunjawa, Jawa tengah. WCS.
75p.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of
ecology. W.B. Saunders co.,
Philadelphia. 574p.
Okubo, N., H. Taniguchi, and T.
Motokawa.
2005.
Successful
methods for transplanting fragments of Acropora Formosa and
Acropora hyacinthus. J. Coral
Reefs, 6(24):333-342.
Razak, T. 2006. Hard coral and reef fish
community on the ecoreefs
rehabilitation site Manado Tua
Island, Bunaken National Park,
North Sulawesi, Indonesia. A
monitoring report. 35p.
Raymundo, L.J. 2001. Mediation of
growth by conspecific neighbors
and the effect of site in
transplanted fragments of the coral
Porites attenuate Nemenzo in the
Central Philippines. J. Coral
Reefs, 20:263-272.
Diterima : 19 November 2013
Direvisi : 6 Desember 2013
Disetujui : 13 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

389

390

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 391-400, Desember 2013

INTENSITAS CAHAYA LAMPU PIJAR TERHADAP PERKEMBANGAN


EMBRIOGENESIS DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA
KERANG MUTIARA (Pinctada maxima)
FLUORESCENT LAMP LIGHT INTENSITY ON THE EMBRYOGENESIS
DEVELOPMENT AND THE SURVIVAL OF
PEARL OYSTER (Pinctada maxima) LARVAE
Mat Sardi Hamzah
UPT. Loka Pengembangan Bio Industsi Laut Mataram, P2O-LIPI, NTB
E-mail: mats.cancuhou@yahoo.co.id
ABSTRACT
One of the important factors in determining the success of pearl oyster (Pinctada maxima)
culture is the quality and quantity of larvae produced in brood stock spawning process in the
laboratory. Problems were often found in larval rearing and larvae attachment to the substrate
that were low in quality and little number of larvae. The study purposes were observe the
embryogenesis development and the survival rate of pearl oyster larvae under different
fluorescent lamp light intensities. The study was conducted in August 1nd 30th, 2011 in
Sambelia Bumi Gemilang Hamparan Mutiara laboratory, East Lombok. Results revealed that
different in light intensities effected the survivorship of the pearl oyster larvae significantly
(p<0.01). Honest Significant Difference (HSD) test indicated that the highest survival rate
occurred in dark condition (dark treatment) of 38%, followed by intensity of 10 watts (34.67%),
5 watts (30.67%) and 15 watts (4.66%) resfectively
Keywords: embryogenesis development, survivorship, pearl oyster (Pinctada maxima) larvae,
fluorescent lamp light intensity
ABSTRAK
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan usaha budidaya kerang mutiara
(Pinctada maxima) adalah kualitas dan jumlah larva yang dihasilkan dari proses pemijahan
induk kerang di laboratorium. Kendala yang sering ditemukan dalam proses pembesaran larva
hingga penempelan pada kolektor adalah kualitas dan jumlah larva yang masih rendah. Tujuan
penelitian adalah untuk mengamati perkembangan embriogenesis dan kelangsungan hidup larva
kerang mutiara berdasakan intensitas cahaya bolham lampu pijar yang berbeda. Penelitian
dilakukan pada tanggal 01 30 Agustus 2011 di laboratorium Bumi Gemilang Hamparan
Mutiara Sambelia, Lombok Timur. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa intensitas cahaya
yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup larva
kerang mutiara (p<0,01). Uji Beda Nyata Jujur diperoleh bahwa kelangsungan hidup tertinggi
tercatat pada kondisi ruangan yang gelap (perlakuan gelap) yaitu mencapai 38% dan disusul
intensitas cahaya lampu 10 watt (34,67%), 5 watt (30,67%), dan 15 watt (4,66%).
Kata kunci: perkembangan embriogensis, kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada
maxima), intensitas cahaya bolham lampu pijar

I. PENDAHULUAN
Teknologi pengembangan budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai
oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk
hatchery dan operasi penyuntikan. Namun

seiring dengan perkembangan teknologi


bidang kelautan, maka pada dekade tahun
1980-an telah terjadi alih teknologi.
Contohnya beberapa perusahan budidaya
kerang mutiara yang ada di Indonesia
telah mandiri dan tidak lagi tergantung

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

391

Intensitas Cahaya Lampu Pijar...

pada teknisi Jepang seperti pada beberapa


perusahaan budidaya kerang mutiara
dibeberapa lokasi di Indonesia (PT.
Poloma Agung di Sumbawa, NTB; PT.
Disty Kumala Bahari di Buleleng, Bali;
PT. Tiara Indopearl di kepulauan Aru,
Maluku Tenggara; Pulau Banggai,
Sulawesi Tengah dan Flores, Nusa
Tenggara Timur ASBUMI (1996), dan
UPT. Loka Pengembangan Bio Industri
Laut Mataram, Puslit. Oseanografi LIPI,
baru sebatas pemijahan dan pembesaran
anakan yang berawal dari spat kolektor
Hamzah (2008). Dalam proses pemijahan
dan perawatan larva di laboratorium
hingga menempel pada kolektor umumnya
dilakukan pada ruang gelap (tanpa
cahaya) sehingga masih banyak larva
yang mati. Hal ini diindikasikan dengan
larva yang menempel pada kolektor dan
dinding bak kadang hasilnya tidak
memadai. Hal ini tergambar dari beberapa
hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hamzah
(2008)
bahwa
persentasi
kelangsungan hidup larva kerang mutiara
(Pinctada maxima) yang menempel pada
kolektor dan dinding bak adalah bervariasi
antara 8,71-28,57% dengan nilai rerata
sebesar 15,27% dari jumlah yang ditebar
sebanyak 1.400 larva. Hasil penelitian
Hamzah (2013) diperoleh persentasi
kelangsungan hidup rerata sebesar 4,76%
dari jumlah yang ditebar sebanyak 5.000
larva.
Marzuky
(2010)
diperoleh
persentasi kelangsungan hidup larva
antara 15,73-28,13% (5.330-11.000 larva)
dari jumlah yang ditebar sebanyak 36.700
larva. Fluktuasi persentasi kelangsungan
hidup yang berbeda-beda ini adalah
diduga dipicu oleh selain faktor pakan,
juga faktor kimia dan fisika. Sebagaimana
penjelasan yang dikemukakan oleh Su et
al. (2007) bahwa Faktor kimia, dan fisika
dalam hal ini cahaya adalah merupakan
faktor pembatas terhadap kelangsungan
hidup dan daya penempelan larva pada
kolektor. Lebih jauh dijelaskan pula
bahwa tingkah laku larva kerang mutiara,

392

P. martensii lebih condong bersifat


phototaxis negatif dan lebih senang
menyebar dan menempel pada daerah
yang kurang cahaya. Demikian juga
penjelasan yang sama dikemukakan oleh
Zhao et al. (2003), Alagarswami et al.
(1983) dan Su et al. (2007).
Dari rangkaian di atas, maka
dilakukan penelitian dengan menggunakan intensitas cahaya bolham lampu pijar
bening yang berbeda untuk melihat
pertumbuhan dan kelangsungan hidup
larva kerang mutiara. Implemntasi hasil
kajian ini dapat dijadikan pengetahuan
dasar bagi pengembang budidaya kerang
mutiara (Pinctada maxima) dalam upaya
meningkatkan kelangsungan hidup larva
di laboratorium.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada tgl 01
30 Agustus 2011 di laboratorium PT.
Bumi Gemilang Hamparan Mutiara
Sambelia, Lombok Timur. Perusahaan ini
terfokus pada budidaya kerang mutiara
(Pinctada maxima) yang memiliki sarana
laboratorium yang cukup lengkap yaitu
pemijahan induk kerang, kultur pakan
alami, jalur pemeliharaan benih hingga
operasi penyuntikan di laut serta
dilengkapi dengan sarana penunjang
lainnya. Wadah pengamatan berupa ember
plastik berjumlah 16 buah dengan
kapasitas muat 20 liter/ember. Dari jumlah
ini kemudian di bagi menjadi 4 bagian
sesuai dengan jumlah ulangan perlakuan
cahaya bolham lampu pijar bening yaitu
ruang gelap (0 watt), 5 watt, 10 watt dan
15 watt, diulang 4 kali sebagai ulangan
perlakuan. Bolham lampu pijar pada
masing-masing
perlakuan
dipasang
ditengah penutup ember dan diletakan
pada ketinggian 40 cm dari permukaan air
ember.
Hal
ini
bertujuan
unuk
menghindari panas yang ditimbulkan oleh
pancaran sinar lampu pijar yang dapat
mempengaruhi kondisi suhu air uji.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hamzah

Pengukuran intensitas sinar bolham lampu


pijar pada jarak 40cm dari permukaan air
uji adalah dipergunakan Lux Metter,
merek KRISBOW Seri KW06_Light
meter 0_20.000Lux. Besaran ukuran
intensitas cahaya lampu pijar yaitu : 1 Lux
= 0,001496 watt/m2, dengan demikian
hasil pengukuran pada masing-masing
perlakuan diperoleh 5 watt =65 Lux
(0,097240 watt/m2), 10 watt = 90 Lux
(0,134640 watt/m2) dan 15watt = 117 Lux
(0,175032 watt/m2). Ruang pengamatan
seluas 3 m x 2 m, dilengkapi rak susun
untuk penempatan ember/wadah uji dan
dibungkus dengan kelambu kain warna
hitam yang tembus pandang, sehingga
sirkulasi udara tetap lancar. Pada masingmasing unit perlakuan dipasang sekat
dengan menggunakan papan triplek agar
pancaran sinar/cahaya antar perlakuan
tidak saling mempengaruhi. Dalam ember
uji tersebut dipasang aerator dengan
menggunakan
slang
aerasi
untuk
mensuplai oksigen terlarut pada setiap
unit perlakuan.
Seleksi induk kerang mutiara
yang matang gonad (tingkat kematangan
gonad 70% - 90%), selanjutnya dilakukan
proses pemijahan pada ruang gelap
dengan perbandingan jantan dan betina 4 :
2 yaitu jantan sebanyak 4 ekor dan betina
2 ekor, diharapkan agar sel telur yang
dikeluarkan dapat dibuahi semua. Teknik
pemijahan dapat digunakan dengan
menggunakan perlakuan sok suhu atau
tellehormon (pelepasan sel sperma
disekitar induk betina) agar terpancing
dan
segera
melepaskan
telurnya
sebagaimana perlakuan alamiahnya. Telur
yang telah dibuahi segera dilakukan
penyaringan dengan menggunakan net
plankton (screen net) dengan ukuran 25
m, 40 m, 60 m dan 120 m. Telur
yang sudah tersaring dimasukan dalam
wadah dengan volume air 10 liter dan
selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah
telur atau larva yang ada dengan
menggunakan rumus volumetri yaitu:

Volume = Jumlah telur yang dihitung x


Volume sampel x 2 ml x volume telur
dalam mangkuk. Jadi jumlah telur yang
ditebar 3.000 butir tiap unit perlakuan
dapat dihitung sebagai berikut : Volume
telur dalam mangkok 40 ml, diambil 2ml
air sampel (rerata telur 37,5 butir). Untuk
mempermudah pengamatan jumlah telur
dalam sampel air 2ml, maka masukan
beberapa tetes alkohol 75% agar
telur/larva mati, sehingga memudahkan
perhitungan. Pengamatan pertumbuhan
cangkang dilakukan setiap 2 hari dengan
menggunakan mikrometer yang dipasang
pada lensa okuler dengan satuan
milimikron (m) yang diletakkan dibawah
mikroskop.
Bersamaan
dengan
pengukuran pertumbuhan juga dilakukan
pergantian air/penyaringan larva untuk
menghitung
jumlah
yang
hidup.
Pemberian pakan campuran diberikan
setiap hari sebanyak kurang lebih 10.000
se/ml yaitu pagi dan sore hari dengan jenis
antara lain Pavlova lutheri/Monochyris
lutheri, Chaetoceros sp., Nannochloropsis
sp. dan Issochrysis galbana. Pengamatan
kualitas air dilakukan sebelum pergantian
air media yaitu suhu menggunakan
termometer batang, salinitas dengan
refraktometer dan derajat keasaman air
dengan pH meter. Data kelangsungan
hidup
larva
dianalisis
dengan
menggunakan Anova dan Uji Beda Nyata
Jujur (BNJ) bila perlakuan memberikan
respons yang berpengaruh nyata (Sudjana,
1991).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan Embriogensis
Larva Kerang Mutiara
Hasil pengamatan fase perkembangan
embriogenesis larva kerang mutiara
(Pinctada maxima) selama periode
pengamatan disajikan pada Tabel 1. Pada
Tabel 1, terlihat bahwa larva berkembang
cukup cepat mencapai fase D-veliger

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

393

Intensitas Cahaya Lampu Pijar...

membutuhkan waktu hanya 20 jam


untuk perlakuan intensitas cahaya 15watt
(117 Lux) dan 22 jam untuk 10watt (90
Lux), disusul 5watt (65 Lux) dan kontrol
(ruang gelap atau 0 watt) yaitu dicapai 24
jam. Perbedaan perkembangan harian
embriogenesis ini, sesuai penjelasan yang
dikemukakan oleh Yen at al. (2006)
bahwa faktor intensitas cahaya turut
mempengaruhi
perkembangan
jenis
bivalvia. Lebih jauh dijelaskan pula
bahwa intensitas cahaya yang tidak terlalu
tinggi dapat melindungi tubuh larva pada
stadia veliger dari radiasi ultra violet.
Intensitas cahaya yang sesuai dengan
kehidupan larva dan diimbangi dengan
kondisi lingkungan (suhu dan salinitas)
berpotensi memicu ekspresi genotip,
sehingga berdampak pada peningkatan
aktivitas enzim dalam mencerna protein
untuk proses pertumbuhan (Susilowati dan
Sumantadinata, 2011; Yen et al., 2006).
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa reaksi
metabolime enzim kerang mutiara
meningkat dan tumbuh dengan baik pada
kondisi suhu antara 26-29C, sementara
salinitas menurut Doroudi et al. (1999)
adalah antara 27-32ppt. Sebaliknya pada
suhu medium rendah (10C) dapat
menghambat aktivitas enzim dalam
mencerna protein, sehingga memperlambat periode inkubasi (Batu, 1982).
Mantel adalah organ penting yang
berfungsi dalam pembentukan cangkang
moluska melalui ekspresi komponen
protein dari sel (Gardner et al., 2011).
3.2. Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan
Analisis
varians
(Tabel
2)
meperlihatkan bahwa perlakuan intensitas
cahaya bolham lampu pijar memberikan
respons yang berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap kelangsungan hidup
larva kerang mutiara (Pinctada maxima).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
berbeda intensitas cahaya yang diberikan

394

berbeda pula hasil kelangsungan hidup


larva kerang mutiara. Uji Beda Nyata
Jujur (Tabel 3) diperoleh
bahwa
persentasi kelangsungan hidup tertinggi
tercatat pada perlakuan kontrol atau ruang
gelap (0 watt) dibandingkan terhadap
perlakuan intensitas cahaya 15 watt (117
Lux) dan memberikan respons berbeda
sangat nyata dan berbeda tidak nyata
terhadap perlakuan intensitas cahaya
5watt (65 Lux) dan 10 watt (90 Lux).
Keadaan ini terlihat jelas pada Gambar 1,
bahwa perlakuan kontrol (0 watt) masih
mendominasi
kelangsungan
hidup
tertinggi yaitu mencapai sebesar 38%
yang terdiri dari larva yang menempel
pada kolektor 24,67% (2.960 larva) dan
dinding bak 13,33% (1.600 larva) dari
jumlah total yang ditebar tiap perlakuan
sebanyak 12.000 larva. Sementara ukuran
pertumbuhan larva pada akhir pengamatan
tercatat perlakuan kontrol atau ruang
gelap (0 watt) cenderung lebih besar dan
tidak jauh berbeda dengan hasil pada
intensitas cahaya lampu 5 watt (65 Lux)
dan 10 watt (90 Lux) (Gambar 2).
Keadaan ini telah dijelaskan terdahulu
bahwa
intensitas
cahaya
yang
cocok/sesuai
dapat
mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhan bivalvia
(Yen
et
al.,
2006).
Persentasi
kelangsungan hidup tertinggi yang tercatat
pada perlakuan kontrol atau ruang gelap
(0 watt) adalah diduga bahwa sebaran
larva lebih senang menyebar dan
penempel pada daerah yang gelap.
Dugaan ini dapat dibenarkan, sesuai
dengan penjelaskan yang dikemukakan
oleh Su et al. (2007) dan Zhao at al.
(2003) bahwa tingkah laku sebaran larva
kerang mutiara, Pinctada martensii lebih
condong bersifat phototaxis negatif atau
tidak tertarik pada cahaya lampu dan
senang menempel pada substrat yang
berwarna gelap.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hamzah

Tabel 1. Hasil pengamatan perkembangan embriogenesis larva kerang mutiara


(Pinctada maxima) pada intensitas cahaya lampu pijar yang berbeda
berdasarkan klasifikasi Haws and Ellis (2000), Hamzah (2008).
Kontrol (0watt)
(Ruang gelap)

Fase

Keterangan

Sel Sperma

Induk Jantan

Sel Telur

Induk Betina

Telur

Embriogenesis
(Planktonik)
Proses
Pembelahan Sel

5watt 10watt
15watt
(65Lux) (90Lux) (117Lux)

Pembuahan (vertilisasi) 45 menit


-

Membelah menjadi 2 sel setelah 46 menit


Membelah menjadi 4 sel setelah 53 menit
Membelah menjadi 8, 16, 32 sel setelah 2 jam
Fase morula (multi sel) pada umur 2,5 jam
Fase blastula dicapai pada umur 3,5 jam
dan mulai bergerak berputar-putar
- Fase gastrula dicapai setelah berumur 7 jam &
bersifat fotonegatif serta bergerak dengan silia

Trocophore

Pembentukan granula setelah pembelahan sel


terakhir sudah bersilia setelah berumur antara
7 - 9jam

9j

8j

7j

D-veliger

Cangkang berbentuk D, garis ensel (hinge)


mulai tampak umur antara 20 24 jam

24j

22j

20j

Umbo-veliger

Pembentukan cangkang kedua setelah


adanya tonjolan bagian dorsal yang disebut
umbo, berumur antara 12 14 hari

14h

13h 12h

Eye spot

Tampak bintik hitam pada dua sisi cangkang


pertanda mulai menempel pada kolektor,
berumur antara 15-17 hari

17h

16h

Pedi-veliger
(umbo akhir)

Mulai terbentuk kaki (byssus) yang menonjol


pada bagian dorsal digunakan untuk menepel,
berumur 18 20 hari

20h

19h

18h

Metamorfisis
(Bentik)
Plantigrade

Fase transisi akhir planktonik, pembentukan


22h
cangkang telah sempurna lengkap dengan anterior,
Posterior & byssus, berumur antara 20 22 hari

20h

20h

Post-larva

Berkembang & tumbuh dalam keadaan menempel 24h


pada kolektor, berumur antara 22-24 hari

Spot (juvenil)

Spat

Berkembang & tumbuh menjadi fase juvenil


berumur antara 29-30 hari

30h

Bentuk morfologi telah lengkap menyerupai


40h
anakan kerang mutiara ,berumur antara 33-40 hari

22h

29h

36h

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

15h

22h

29h

33h

395

Intensitas Cahaya Lampu Pijar...

Demikian juga hasil penelitian yang


dilakukukan oleh Hamzah (2003, 2007)
bahwa larva kerang mutiara (Pinctada
maxima) maupun larva kerang mabe

(Pteria pengiun) lebih banyak menempel


pada kolektor yang berwarna gelap
dibandingkan dengan kolektor yang
berwarna merah, kuning, hijau dan putih.

Tabel 2. Analisis varians kelangsungan hidup larva kerang mutiara bedasarkan


perlakuan intensitas cahaya lampu pijar yang berbeda.
Sumber keragaman

DB

JK

KT

F_hitung

F.tabel
0,05
0,01
______________________________________________________________________
Perlakuan cahaya
3
2.491.200
830,40 21,82**
3,49 5,95
Galat
12
456,600
38,05
Total
15
2.949.656,6
______________________________________________________________________
Keterangan: ** = berpengaru sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Tabel 3. Hasil uji beda nyata jujur kelangsungan hidup larva kerang mutiara
berdasarkan perlakuan intensitas cahaya lampu pijar yang berbeda.
______________________________________________________________________
Intensitas cahaya
Rerata perlakuan
Beda intensitas cahaya
______________________________________________________________________
15watt (117 Lux)
140
5watt (65Lux)
920
780**
10watt (90Lux)
1040
800**
120tn
0watt (Ruang gelap)
1140
1000**
220tn
100tn
______________________________________________________________________
BNJ0,05 = 335,058; BNJ 0,01 = 489,765
Keterangan : **= berbeda sangat nyata; tn = berbeda tidak nyata

Gambar 1. Persentansi kelangsungan hidup larva kerang mutiara berdasarkan perlakuan


intensitas cahaya lampu pijar yang berbeda.

396

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hamzah

Gambar 2. Pertumbuhan harian larva kerang mutiara berdasarkan perlakuan intensitas


cahaya lampu pijar yang berbeda.

3.3. Kualitas Air


Pengamatan kualitas air selama
periode pengamatan antara lain suhu,
salinitas dan derajat keasaman (pH)
terlihat pada Gambar 3. Pada gambar ini
terlihat bahwa kondisi suhu yang tercatat
pada perlakuan kontrol atau ruang gelap
(0 watt) bervariasi antara 26,5-28,50C
dengan nilai rerata 27,42C; 5 watt (65
Lux) antara 27-29C dengan nilai rerata
28,21C dan 10 watt (90 Lux) antara 2829C dengan nilai rerata 28,43C.
Sementara peralakuan 15 watt (117 Lux)
kondisi suhu bervariasi antara 28,3-29,2C
dengan nilai rerata 28,55C. Kondisi
salinitas pada semua perlakuan hampir
sama yaitu bervariasi antara 32-33,5,
sementara pH juga sama yaitu antara 7,57,7. Kondisi kualitas air ini masih berada
dalam kisaran ambang toleransi kehidupan
larva kerang mutiara (Pinctada maxima)
(Hamzah, 2013; Alagarswami et al.,
1983).
IV. KESIMPULAN
Persentasi kelangsungan hidup
larva lebih tinggi tercatat pada perlakuan
kontrol atau ruang gelap (0watt) yaitu

sebesar 38% yang terdiri dari 24,67%


(2.960 larva) menempel pada kolektor dan
sisanya 13,33% (1.600 larva) menempel
pada dinding bak uji, dari jumlah total
yang ditebar tiap perlakuan sebanyak
12.000 larva dibandingkan dengan
perlakuan intensitas cahaya lampu pijar
yang lainnya.
Perkembangan
embriogenesis
larva kerang mutiara (Pinctada maxima)
yang diletakan pada perlakuan dengan
intensitas cahaya 15watt (117 Lux) dan 10
watt (90 Lux) mencapai fase D-veliger
dan fase post-larva (mulai menempel)
yaitu bersamaan waktunya yaitu berturutturut 20 jam dan 22 hari. Sementara
perlakuan kontrol/ruang gelap (0watt) dan
5watt (65 Lux) mencapai kedua fase
tersebut pada waktu yang sama yaitu
berturut-turut 24 jam dan 24 hari. Namun
ukuran pertumbuhan larva mencapai fase
spot
(juvenil)
tercatat
perlakuan
kontrol/ruang gelap (0 watt) dan 5 watt
(65 Lux) serta disusul intensitas cahaya10
watt (90 Lux) adalah cenderung lebih
besar dibandingkan dengan ukuran larva
yang dipelihara pada intensitas cahaya
lampu pijar 15 watt (117 Lux).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

397

Intensitas Cahaya Lampu Pijar...

Gambar 3. Kondisi lingkungan media bak pemeliharaan larva berdasarkan perlakuan


intensitas cahaya lampu pijar yang berbeda.
UCAPATAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis
tujukan kepada saudari Mala Hadianti,
yang
telah
sepakat
melaksanakan
kerjasama riset ini. Luaran hasil dari riset
ini adalah saudari Mala Hadianti telah
menyelesaikan Sarjana (S1) pada Fakultas
Pertanian, Program Studi Budidaya
Perairan Univ. Mataram.
DAFTAR PUSTAKA
ASBUMI. 1996. Prosiding Seminar
Nasional Budidaya Mutiara di
Indonesia di selenggarakan pada
Tgl 27 Nopember 1996 di
Auditorium,
Dep.
Pertanian
Jakarta. 72p.

398

Alagarswami, K., S. Dharmaraj, T.S.


Velayudhan, A. Chellam, A.C.C.
Victor, and A.D. Gandhi. 1983.
Larval rearing and production of
spat of pearl oyster Pinctada fucata
(GOULD). Aquaculture, 34:287301.
Batu, J.T.F.L. 1982. Pengantar ke fisiologi
hewan air. (edisi ketiga). Fakultas
Perikanan Dept. Hidrobiologi
Bagian Biota Laut. Institut
Pertanian Bogor. 212hlm.
Zhao, B., S. Zhang, and P.Y. Qian. 2003.
Larvae settlemet of the silver- or
goidlip pearl oyster, Pinctada
maxima (Jameson) in response to
natural biofilms and chemical
cues. Aquaculture, 220:883-901.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Hamzah

Doroudi, M.S., Southgate, P.C. and R.J.


Mayer. 1999. The combined
effects of temperature and salinity
on embryos and larvae of the
black-lipped pearl oyster Pincyada
margaritifera.
Aquaculture
Research, 30:271-277.
Gardner, L.D., D. Nills, A. Wiegand, D.
Leavesley, and A. Euzur. 2011.
Spatial analysis of biomineralization associated gene expression
from the mantle organ of the pearl
oyster, Pinctada maxima. BMC
Genomics.
http://www.biomed
central.com/1471-2164/12/455.
[Diakses: 20 Agustus 2013].
Hamzah, M.S. 2003. Pengaruh warna spat
kolektor terhadap daya tempel
larva Kerang Mutiara (Pinctada
maxima) dalam bak pendederan.
Dalam: buku pesisir dan pantai
Indonesia VIII. Ruytno, Pramudji
dan I. Supangat (eds.). Puslit.
Oseanografi LIPI, Jakarta, hlm.7984.
Hamzah, M.S. 2007. Pengaruh warna
jaring sebagai spat kolektor
terhadap daya tempel larva kerang
mabe (Pteria penguin) di Teluk
Kapontori, Pulau Buton Sulawesi
Tenggara.
Dalam:
Prosiding
Seminar
Kelautan
III.Muh.
Taufiqrrohman, Urip Prayogi,
Giman dan Arif Winarno (eds.).
Universitas Hangtuah 24 April
2007, Surabaya, hlm.:80-86.
Hamzah, M.S. 2008. Kelangsungan hidup
dan perkembangan larva kerang
mutiara (Pinctada maxima) dengan
pemberian jenis pakan alami yang
berbeda.
Dalam:
Prosiding
Seminar Nasional Kelautan IV.
Didik Hardianto dan Muh.
Taufiqrrohman
(eds.)
Univ.
Hangtuah 24 April 2008 Surabaya,
hlm.:179-183.

Hamzah, M.S. 2013. Daya penempelan


larva kerang mutiara (Pinctada
maxima) pada kolektor dengan
posisi tebar dan kedalaman
berbeda. J. Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, 5(1):60-68.
Haws, M. and S. Ellis. 2000. Aquafarmer
information sheet: colectiong
black-lipped pearl oyster spat.
Resources Center Univ. of Hawaii
at Hilo, HI 96720 USA. Center for
Tropical and Subtropical Aquaculture CTSA Publication No. 144.
Marzuki, R. 2010. Pengaruh pemberian
kombinasi pakan alami dengan
jenis yang berbeda terhadap
perkembangan dan kelulushidupan larva Kerang Mutiara
(Pinctada maxima) dalam bak
pendederan.
Skripsi
Fakultas
Perikanan Univ. 45. 70hlm.
Sudjana, 1991. Desain dan analisis
eksperimen, Edisi II. Penerbit
Tarsito, Bandung. 416hlm.
Susilowati, R. dan K. Sumantadinata.
2011. Keragaman genetik tiram
mutiara sebagai informasi dasar
untuk pemuliaan tiram mutiara.
Dalam: refleksi pengembangan
budidaya kekerangan di Indonesia. M.F. Sugadi, I Nyoman A.
Giri, dan D. Pringgenies (eds.).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelaulatan dan Perikanan,
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan
Budidaya,
Jakarta. Hlm.:53-67.
Yen, X., Zhang, G., and Yang F., 2006.
Effect of diet, stoking density and
environmental factor on growth,
survival and metamorphosis of
Manila. Ruditapes philippinarum
larvae. Aquaculture, 253:350-358.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

399

Intensitas Cahaya Lampu Pijar...

Su, Z.X., L.Huang, Y. Yan, and H.X. Li.


2007. The effect of different
substrate on pearl oyster, Pinctada
martensii
(Dunker)
larvae
settlement. Aquaculture, 271:377383.
Diterima : 8 September 2013
Direvisi : 4 Desember 2013
Disetujui : 17 Desember 2013

400

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 401-408, Desember 2013

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN KUE,


GOLDEN TREVALLY, Gnathannodon speciosus Forsskal DENGAN UKURAN
PANJANG YANG BERBEDA
GROWTH AND SURVIVAL RATE OF GOLDEN TREVALLY, Gnathannodon
Speciosus Forsskal WITH DIFFERENT LENGTH SIZE
Anak Agung Alit
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Balitbangkp-KKP, Gondol
Email: A_Alit@yahoo. com
ABSTRACT
Golden travelly is a type of fish that can live on the surface, belongs to Carangidae family, for a
length of 5-8 cm can function as marine ornamental fish with the name of yellow crime or
yellow samba, and can be used for consumption. The study was conducted to determine the
effect of length on the initial stocking of fish seed to the growth and survival rate of golden
travelly. Fish samples were cultured fish golden travelly of 45 days old hatchery and stocked
with density of 300 pc/tank in 9 tanks with volume of 1 m feber/tanks. Golden travelly were fed
with commercial fish by feeding frequency of 3 times/day untill satiation. The tested treatments
were based on initial different lengths i.e., treatment A (1.5 to 2.0 cm/pc), B (2.5 to 3.0 cm/pc),
and C (3.5 to 4,0 cm/pc). Feeding was based on 10-15 % of body weight. Measured variables
were body length growth, survival rate, and quality of water. Growth and survival rate were
analysed using analyses of variance (ANOVA). The results showed that the growth rate of fish
golden travelly Gnathannodon speciosus Forsskal was best at treatment B (2.5 to 3.0 cm/pc)
with 7% per day and 92% survival rate.
Keywords: fish seed golden trevally, tanks , growth, and survival.
ABSTRAK
Ikan kue merupakan jenis ikan laut yang bisa hidup dipermukaan, termasuk famili dari ikan
Carangidae, untuk ukuran panjang 58 cm sebagai ikan hias laut dengan nama ikan pidana
kuning atau samba kuning, dan bisa dikonsumsi. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh ukuran panjang benih ikan pada awal tebar terhadap pertumbuhan dan
sintasan benih ikan kue. Hewan uji digunakan adalah benih ikan kue hasil budidaya dari
hatcheri umur 45 hari dan ditebar dengan kepadatan 300 ekor/bak menggunakan bak-bak feber
dengan volume 1m sebanyak 9 buah. Benih ikan kue diberi pakan komersial dengan frekuensi
pemberian pakan 3 kali/hari sampai kenyang. Perlakuan yang diuji cobakan adalah ukuran
panjang awal tebar berbeda yaitu: Perlakuan A (ukuran 1,5 2,0 cm/ekor/), B (2,5- 3,0
cm/ekor), dan C (3,5- 4,0 cm/ekor). Pemberian pakan 10 15% dari bobot badan. Peubah yang
diamati adalah pertumbuhan panjang tubuh, sintasan, dan kualitas air. Data pertumbuhan dan
sintasan menggunakan analisis sidik ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan benih ikan kue, Gnathannodon speciosus Forsskal yang terbaik adalah perlakuan
B (panjang 2,5 3,0 cm/ekor) adalah 7% per hari dengan sintasan 92%.
Kata kunci: benih ikan kue, bak feber, pertumbuhan, dan sintasan.

I. PENDAHULUAN
Ikan kue dari jenis Golden trevally, Gnathanodon speciosus Forsskal
merupakan jenis ikan yang bisa hidup

dipermukaan, ikan ini termasuk famili dari


ikan Carangidae. Untuk ukuran panjang
10 15 cm disebut ikan glondongan
(Gushiken, 1983; Shokita et al., 1991).
Ikan ini biasanya hidup pada perairan

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

401

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup...

pantai yang dangkal, karang dan batu


karang, dan secara alami dapat memijah,
serta tidak musiman. Seiring dengan
perkembangan permintaan pasar yang
meningkat, mendorong pada usaha
penangkapan secara alami dan tidak
terkendali sehingga populasi ikan kue
secara alami akan berkurang, dan juga
akibatnya terjadinya kerusakan lingkungan karang, karena cara penangkapannya yang kurang baik sehingga batu
karang dan perairan akan menjadi rusak,
apalagi dengan menggunakan bahan yang
beracun seperti sianida (potas).
Ikan kue ini pertumbuhannya
relatif cepat, umur juvenil bisa mencapai
30-35 hari, dan juga mencapai ukuran
panjang 23.9-26.6 cm pada bobot 282.2383.9 g, dapat dipelihara selama 7- 9.5
bulan untuk ukuran konsumsi. Ikan ini
relatif mudah dibudidayakan (Kordi,
2005) sehingga merupakan species yang
ditargetkan
untuk
pengembangan
budidaya laut (Gushiken S, 1983). Upaya
pembenihan skala masal sudah dilakukan
melalui berbagai penelitian yang mengarah pada peningkatan kelangsungan
hidup benih (Setiadharma et al., 2007).
Kegiatan penelitian perbenihan ikan kue
telah dimulai di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut Gondol
sejak tahun 2006 dan induk ikan sudah
berhasil dipelihara dalam bak terkontrol
dan dapat memijah secara alami
(Setiadharma et al., 2006a dan 2006b).
Untuk memenuhi permintaan pasar
ekspor dan lokal khususnya ikan hias,
benih ikan kue dapat dibudidayakan
sampai pada ukuran panjang 3 8 cm.
Pada umumnya permintaan pasar ikan
hias menggunakan standar harga dengan
panjang tubuh ( per cm), makin panjang
tubuh ikan harganya akan lebih mahal,
setelah mencapai bobot 200 250 g
termasuk ikan konsumsi dan dijual kiloan
(mati),
harga jual ikan kue ukuran
konsumsi tergantung harga pasar. Penelitian peningkatan produktivitas larva ikan

402

kue, Gnathannodon Speciosus Forsskal


dengan kepadatan yang berbeda di
hatcheri
telah
dilakukan,
namun
sintasannya masih rendah mencapai
25,5% (Alit, 2012). Selanjutnya dilakukan
penelitian pendederan atau pembesaran
benih ikan kue dengan ukuran panjang
yang berbeda. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui pengaruh ukuran
panjang pada awal tebar terhadap
pertumbuhan dan sintasan benih ikan kue
yang dihasilkan dengan kualitas yang
baik.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian telah dilakukan di Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Laut Gondol, Bali dengan
menggunakan bak-bak fiber sebanyak 9
buah dengan masing-masing volume 1
ton, hewan uji digunakan adalah benih
ikan kue berasal dari hasil budidaya yang
berumur sekitar 45 hari ditebar dengan
kepadatan 300 ekor/bak. Benih ikan kue
diberi pakan komersial dengan frekuensi
pemberian pakan 3 kali/hari sampai
kenyang. Perlakuan yang diuji cobakan
adalah ukuran panjang awal tebar berbeda
yaitu; Perlakuan A (ukuran 1,5 2,0
cm/ekor), B (2,5 3,0), dan C (3,5 4,0)
dipelihara di bak-bak fiber dengan sistem
pergantian air
secara terus menerus
(sirkulasi). Penelitian dilakukan selama
42 hari. Masing-masing bak dilengkapi
aerasi menggunakan blower untuk
menyuplai oksigen. Pergantian air
dilakukan setiap hari dan dilakukan
penyifonan untuk membuang atau sisasisa pakan yang berlebih dan mengganti
kembali air yang tersifon.
Sampling
benih
ikan
kue
dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 30 ekor setiap bak menggunakan
serok. Peubah pertumbuhan yang dihitung
adalah pertambahan bobot akhir tubuh
ikan (%) setelah pemeliharaan laju pertumbuhan harian (SGR) ikan yang

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Alit

Tabel 1. Komposisi pakan buatan (pelet)


yang diberikan selama penelitian.
Komposisi

Pakan buatan (%)

Protein
Lemak
Serat kasar
Abu

48.0
12.0
2.0
12.0

dihitung berdasarkan formulasi berikut:


1. Laju pertumbuhan harian (Changboo et
al., 2004)
SGR

ln Wt ln Wo
=
t

100 %

Dimana :
SGR = laju pertumbuhan bobot harian
(%/hari)
Wo = bobot rata-rata ikan pada awal
penelitian (g)
Wt = bobot rata-rata ikan pada akhir
penelitian (g), dan
t = lama pemeliharaan (hari).
2. Rasio konversi pakan ikan (Takeuchi,
1988)
(FCR ) = jumlah konsumsi pakan

pertambahan bobot
3. Sintasan ikan (Effendie, 1978)
Nt
S = x 100%
No
dimana: S = sintasan ikan (%),
Nt = jumlah ikan pada akhir penelitian
(ekor),
No = jumlah ikan pada awal penelitian
(ekor)

Pada penelitian ini, parameter yang


diamati adalah data pertambahan bobot,
laju pertumbuhan harian, konversi pakan,
dan tingkat kelangsungan hidup ikan pada
akhir penelitian. Data dianalisis Anova
berdasarkan rancangan acak lengkap.
Perbedaan antara perlakuan diuji dengan
uji Tukey (Steel and Torrie, 1995). Untuk
mengetahui dampak penggunaan pakan
terhadap pertumbuhan ikan uji, maka
dilakukan
pengelolaan
data.
Data
dianalisis dengan metode sidik ragam
dengan tingkat kepercayaan 95%,
selanjutnya
dilakukan
uji
Least
Singnificant Different (LSD) untuk
mengetahui perbedaan antara perlakuan
(Steel and Torrie, 1995). Pengukuran
kualitas air seperti suhu, salinitas, pH,
oksigen, amoniak, fospat, dan nitrit.
Analisa komposisi pakan dapat dilihat
pada Tabel 1.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeliharaan benih ikan kue
dilakukan di hatcheri Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Laut Gondol, dengan menggunakan bakbak feber dengan volume 1 ton, dengan
diisi air laut sebanyak 0,80 ton dan
pemberian pakan untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup dengan ukuran
panjang yang berbeda menggunakan
pakan komersial atau pakan buatan
(pellet) dapat disajikan pada Tabel 1,
pengamatan dan perhitungan ketiga
perlakuan dengan pertumbuhan selama
pemeliharaan 42 hari dapat dilihat pada
Tabel 2. Hasil panjang tubuh benih ikan
kue pada awal penimbangan setiap
sampling dan akhir penelitian seperti :
sintasan, laju pertumbuhan dapat dilihat
pada Grafik pertumbuhan panjang, dan
sintasan dari
ketiga perlakuan sampai
akhir penelitian (Gambar 1).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

403

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup...

Tabel 2. Pertumbuhan, konversi pakan, dan sintasan benih ikan kue selama 42 hari.
Perlakuan (ukuran panjang yang berbeda)
Variabel

A
(1,5-2,0 cm/ekor)
Waktu pemeliharaan (hari)
42
Bobot awal (g)
0,450,28
Pertambahan bobot akhir (g)
2,250,62
Panjang total awal (cm)
2,75 0,85
Panjang total akhir (cm)
4,85 1,05
Pertambahan panjang (cm)
2,10 0,78
Laju pertumbuhan harian (%)
5,36
Konversi pakan
1,75
Sintasan (%)
65 0,80
Hasil pengamatan pertumbuhan
selama 42 hari pada perlakauan A mencapai laju pertumbuhan harian sebesar
5,36%, B = 7,00%, dan C 6,42 (Tabel 2.).
Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil uji
sidik ragam perlakuan A berbeda nyata
(P<0,05) dengan perlakuan B, dan C.
Selama pemeliharaan benih ikan
kue sampai akhir penelitian perlakuan B
laju pertumbuhan harian lebih baik mencapai 7,00% per hari, dan juga kelulusan
hidup lebih tinggi dibanding perlakuan A,
serta C dapat dilihat pada Tabel 2. Hal ini
diduga bahwa perlakuan B, lebih cepat
untuk mendapatkan pakan buatan dan
selalu lincah dibanding dengan perlakuan
A, dan C. Menurut Wedemeyer (1996),
padat penebaran dan pergantian air
mempunyai pengaruh yang mendasar
terhadap pertumbuhan serta konversi
pakan. Rasio konversi pakan benih ikan
kue selama penelitian 42 hari adalah
sekitar 1,85 1,95 (Tabel 2), dan berdasarkan analisis ragam tidak menunjukkan perbedaaan yang berarti
(P>0,05). Nilai lebih rendah dibanding
dengan hasil penelitian Sugama et al.
(1986b) yang menyatakan ikan kerapu
lumpur, Epinephelus etauvina tumbuh
paling cepat dengan konversi pakannya
paling rendah (pakan timbang) 5,1 8,5.
Makin rendah nilai konversi pakan suatu

404

B
( 2,5-3,0 cm/ekor)
42
0,550,25
2,950,75
3,55 0,78
5,80 1,10
2,25 0,98
7,00b
1,95
920,76b

C
(3,5-4,0 cm/ekor)
42
0,600,20
2,700,63
4,50 0,82
6,35 1,15
1,85 0,77
6,42ab
1,82
740,70b

pakan semakin baik, karena jumlah pakan


yang dihabiskan untuk berat tertentu
adalah semakin sedikit. Untuk mendukung
keberhasilan pembesaran atau pendederan
benih ikan perlu dilakukan penelitian
yang mendasar antara lain pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan dapat
dipengaruhi oleh padat penebaran, pakan,
umur, kualitas air (suhu, salinitas, oksigen, amoniak, dan pH (Mayunar et al.,
1991). Untuk pembesaran atau pendederan benih ikan kue dengan ukuran
panjang yang berbeda, kebutuhan pakan
buatan seperti, pellet sangat mutlak
dibutuhkan untuk menambah, mengganti
atau melengkapi nutrisi pakan pada saat
dibutuhkan oleh benih ikan kue setiap
saat. Sutarmat et al. ( 2003) melaporkan
bahwa jenis pakan buatan (pellet) juga
memberikan pertumbuhan lebih baik dari
pada ikan segar pada ikan kerapu bebek
(Cromileptis altivelis). Kualitas pakan
yang baik diperlukan untuk pertumbuhan,
pencegahan infeksi mainnutrisi dan peningkatan kualitas produksi. Untuk
keperluan tersebut diperlukan bahan
berupa protein, lemak, vitamin, dan
mineral (Suwirya, 1994). Dalam pemeliharaan ikan, dosis pakan merupakan
salah satu elemen yang penting karena
60% dari biaya produksi digunakan untuk
penyedian pakan (Lamidi et al., 1994).

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Alit

Gambar 1. Pertumbuhan panjang total benih ikan kue selama pemeliharaan 42 hari.
Setelah pemeliharaan 14 hari
sampai 42 hari pertumbuhan perlakuan B
lebih cepat, hal ini mungkin disebabkan
ukuran panjang lebih sedang dibanding
perlakuan A, dan B, dan juga
mendapatkan pakan buatan yang dapat
dimanfaatkan secara efektif, serta secara
keseluruhan mendapatkan pakan sehingga
pertumbuhannya
hampir
merata,
sedangkan
perlakuan
A untuk
mendapatkan pakan pellet benih ikan kue
kurang lincah
sehingga pertumbuhan
bobot agak lambat (Gambar 1).
Selama pemeliharaan di hatcheri
dari panjang awal yang berbeda sekitar
1,50 4,0 cm sampai akhir penelitian
mencapai ukuran 4,85 5,98 cm,
perlakuan A (panjang 1,5 - 2,0 cm/ekor)
benih agak banyak mengalami kematian
pada minggu pertama penelitian, diduga
pada ukuran panjang benih kurang dari 2
cm, jadi ikan gerakan masih lemah setelah
10 hari baru secara bertahap ikan sehat
untuk mencari makan. Sedangkan per-

lakuan C (panjang 3,5 - 4,0 cm/ekor)


mengalami kematian lebih sedikit
dibanding dengan perlakuan A (Tabel 2).
Nilai sintasan benih ikan kue
dengan menggunakan bak feber di
hatcheri dengan perlakuan ukuran panjang
yang berbeda perlakuan B (panjang 2,53,0 cm/ekor) memperlihatkan lebih baik,
dan juga pembesaran di hatcheri memiliki
beberapa keunggulan diantaranya adalah
waktu pemeliharaan cukup pendek,
pergantian air dan panen mudah
dilakukan, tanpa pengelolaan tanah dan
pengawasan lebih mudah. Perlakuan A
jumlah kematian lebih banyak dibanding
dengan perlakuan B dan C kematian
perlakuan C dan A hampir setiap minggu
ada namun tidak sebanyak perlakuan A.
Hal ini diduga bahwa perlakuan A (1,52,0 cm/ekor) tubuhnya masih lemah
sedikit ada gonjangan, waktu sampling
dan juga sensitif dengan perubahan
lingkungan, ikan mudah stress sehingga
ikan cepat mati.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

405

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup...

Tabel 3. Nilai kualitas air benih ikan kue, Gnathannodon speciosus Forsskal selama
memeliharaan 42 hari dengan ukuran panjang yang berbeda.
Perlakuan (ukuran panjang yang berbeda)
Parameter
Suhu /temperature C
pH
Salinitas (ppt)
DO (mg/l)
Amoniak/ ppm NH3
Fosfat/phosphate (ppm)
N02/nitrite (ppm)

A
(1,5 2,0 cm/ekor/)
29.20 29.82
7.25 7.95
33.00- 35.30
6.15 7.18
0.247 - 0. 625
0.024-0.615
0.020-0.685

Faktor lain penyebab kematian selama


pemeliharaan diduga akibat kekurangan
ruang gerak sempit dan perubahan suhu
yang ekstrim (Weatherly, 1972). Hasil
penelitian ini tidak sama dengan hasil
penelitian yang dilakukan Basyari dan
Purba (1991) pada ikan kerapu lumpur
bahwa
semakin
tinggi
penebaran
sintasannya cendrung menurun dan padat
penebarannya tinggi akan meningkatkan
resiko kematian.
Sintasan ketiga perlakuan: A, B,
dan C, berbeda nyata (P>0.05), hal ini
disebabkan bahwa benih ikan kue yang
berukuran pajang 1,5 2,0 cm/ekor
tubuhnya masih lemah dan gerakan juga
kurang cepat dibanding dengan perlakuan
B, dan C dan juga tubuh lebih kuat dan
gerakan gesit dan cepat .
Pertambahan bobot akhir rata-rata pada
akhir penelitian untuk ketiga perlakuan
adalah tidak berbeda nyata ketiga
perlakuan mengalami pertambahan bobot
meningkat,
namun
pertumbuhan
perlakuan B (panjang 2,5-3,0 cm/ekor)
lebih baik.
Pengamatan kualitas air dimonitor
selama pemeliharaan 42 hari adalah
salinitas, oksigen terlarut, suhu, dan pH.
Nilai salinitas selama pemeliharaan
berkisar 33.00 35.30 ppt, oksigen
terlarut 6,10- 7,25 Mg/L, fosfat 0,024
0,768, Nitrit 0.020 0,827 ppm, dimana

406

B
(2,5- 3,0 cm/ekor)
29.22 - 29.92
7.00 7.90
33.20 - 35.20
6.20 7.23
0.265 - 0.665
0.027 0.626
0.022 0.726

C
(3,5- 4,0 cm/ekor)
29.20 30,10
7.15 7.98
33.10 35.25
6.10 7.25
0.267- 0.865
0.038 0.768
0.030 0.827

nilai-nilai tersebut masih dalam batas


toleransi untuk mendukung pertumbuhan
dan sintasan untuk pembesaran benih
ikan kue. Menurut Schmitttou (1991)
oksigen terlarut masih menunjukkan
kriteria yang aman untuk kehidupan
akuatik. Kondisi kualitas air dapat dilihat
pada Tabel 3.
IV. KESIMPULAN
Pertumbuhan terbaik benih ikan
kue, Gnathannodon speciosus Forsskal
diperoleh pada perlakuan B (panjang 2,5
3,0 cm/ekor) dengan laju pertumbuhan 7%
per hari dan sintasan sebesar 92%.
Dengan demikian, ukuran panjang 2,5
3,0 cm benih ikan kue merupakan ukuran
panjang paling ideal untuk digunakan
sebagai usaha pendederan di hatcheri.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada Katimin, Ahkwat,
Kadek Sri Adnyana, dan juga kepada Ayu
Kenak, Ari Arsini, Kadek Ani Ariani dan
Deny Puji Utami yang telah membantu
dalam menganalisa kualitas air.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Alit

DAFTAR PUSTAKA
Alit, A.A. 2012. Increased productivity of
fish seed Golden Trevally,
Gnathannodon speciosus Forsskal
with
different
densities
in
hatchery.
Prosiding Seminar
Nasional Biodiversitas IV. Surabaya, 15 Sepember 2012. Hlm.: 433439.
Basyari. A. dan D.N. Purba. 1991.
Pengaruh
perbedaan
sumber
protein utama dalam makanan
buatan terhadap pertumbuhan
benih ikan kerapu lumpur,
Epinepheluse etauvina (Forskal).
J. Penelitian Budidaya Pantai,
7(2):102109.
Changboo, Z., D. Shuanglin, W. Fang,
dan H. Guoqiang. 2004. Effects of
Na/K ratio in seawater on growth
and energy budget of juvenile
Litopenaeus vannamei. Aquaculture, 234:485-496.
Effendi M.I. 1978. Biologi perikanan,
bagian 1, study natural history,
Fakultas Perikanan. IPB, Bogor.
105hlm.
Gushiken, S. 1983. Revision of the
Carangid fish of Japan. Galaxea. 2.
135-264.
Kordi, K.M.G.H. 2005. Early life history
of fishes: an energetics approach.
Chapmen and Half. London. 276p.
Mayunar, S. Redjeki, dan S. Mutiningsih.
1991. Pemeliharaan larva kerapu
macan Epinephelus fuscoguttatus
dengan
berbagai
frekuensi
pemberian ransum rotifer. J.
Penelitian
Budidaya
Pantai,
7(2):3541.
Lamidi., Asmanelli, dan Z. Syafara. 1994.
Pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan lemak, Cheilinus
undulatus
dengan
frekuensi
pemberian pakan yang berbeda. J.
Penelitian
Budidaya
Pantai,
10(5):81-87.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torry. 1995. Prinsif


dan Prosedur Statistika. Alih
bahasa: Sumantri, B. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 772hlm.
Suwirya, K. 1994. Kecernaan beberapa
sumber lemak pakan pada udang
windu, Penaeus monodon. Balai
Penelitian
Perikanan
Pantai.
Maros. J. Penelitian Budidaya
Pantai, 10(1):43-48.
S. Shkita, K. Kakazu, A. Tomori and T.
Tonna, 1991. Aquaculture in
tropical areas, Mydori shobo, Co
Ltd. 359p.
Setiadharma, T. dan Asmanik. 2006a.
Laju penyerapan nutrisi endogen
dan perkembagan larva ikan kue
(Gnathannodon speciosus Forsskal).
Prosiding
Konferensi
Akuakultur
Indonesia
2006.
Universitas Diponogoro, Semarang. Hlm.:264-268.
Setiadharma,T., A. Prijono, N.A. Giri,
dan Tridjoko. 2006b. Domestikasi
dan pematangan gonad calon induk
ikan kue (Gnathannodon specious
Forsskal) pemeliharaan secara
terkontrol. Laporan Hasil Riset
2006. Bali Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut. 8hlm.
Schmittou, H.R. 1991. Budidaya keramba:
suatu metode produksi ikan di
Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan. Jakarta.
126p.
Sugama, K, E. Danakusumah, P. Sunyoto,
dan H. Eda. 1986b. Effect of
feeding frequency on the growth of
young estuary grouper, Ephinephelus etauvina (Forskal) cultured
in floating net cage. Scientfic
report of mariculture research and
development project ATA-192 in
Indonesia. Sub Balai Penelitian
Budidaya Pantai BojonegaraSerang. Hlm.:242-250.
Sutarmat, T., A. Hanafi, K. Suwirya, S.
Ismi, Wardoyo, dan S. Kawahara.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

407

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup...

2003. Pengaruh beberapa jenis


pakan terhadap performasi ikan
kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis) di keramba jaring apung.
J. Penelitian Perikanan Indonesia,
9(4):3136.
Takeuci, T. 1988. Laboratory workchemical evaluation of dietary
nutrient. In: Wanabe, T. (ed.). Fish
nutrition and mariculture. Tokyo.
JICA Kanagawa International
Fisheries Training Center. 179233pp.

408

Wedemeyer. A. 1996. Pishiologi of fish in


intensive culture system. International Thompson Publishing. New
York. 227p.
Weatherley. A.H. 1972. Growth and
ecology of fish population.
Academic Press. New York. 45p.
Diterima : 11 Desember 2013
Direvisi : 22 Desember 2013
Disetujui : 30 Desember 2013

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 409-416, Desember 2013

ZONASI DAN KEPADATAN KOMUNITAS INTERTIDAL DI DAERAH


PASANG SURUT, PESISIR BATUHIJAU, SUMBAWA
ZONATION AND DENSITY OF INTERTIDAL COMMUNITIES AT COASTAL
AREA OF BATU HIJAU, SUMBAWA
Fredinan Yulianda1*, Muhamad Salamuddin Yusuf2, dan Windy Prayogo2
1
Department of Aquatic Living Resources Management, FPIK IPB, Bogor
*
Email: fredinan@indo.net.id
2
PT. Newmont Nusa Tenggara
ABSTRACT
Characteristics of coastal tidal areas of Batu Hijau vary from sandy substrate type, sandy to
rocky reef with a wide expanse of intertidal ranges from 100 meters to 350 meters. To find out
zoning intertidal community,the observation conducted at five locations intertidal beach, each
consisting of three zones: the high tide, middle tide and low tide. Living structure in tidal areas
of coastal Batu Hijau, Sumbawa consists of the main communities and associated biota. The
main intertidal community composed of coral, seagrass, algae, and other fauna, while the
intertidal biota associated with tidal habitat consists of a group of molluscs, echinoderm,
crustacean, worms and fish. Distribution of intertidal communities formed three zones
consisting of (1) seagrass (21.3%) in the upper zone (high tide), (2) algae (35.5%) in the central
zone (mid tide), and (3) coral (28.5%) and algae (42.5%) in the lower zone (low tide). The main
groups of biota in the form of tidal zoning system consisting of two groups of molluscs (51.12%)
in the upper zone, while the echinoderms that predominate in the central zone (36.96%) and
lower (66.89%). No significant differences between the structure and composition of marine
intertidal communities in September 2011 (rainy season) and April 2012 (dry season).
Keywords: intertidal (tidal), percent cover, density, community, biota
ABSTRAK
Karakteristik daerah pasang surut pesisir Batu Hijau bervariasi mulai dari tipe substrat
berpasir, karang berpasir hingga berbatu dengan lebar hamparan intertidal berkisar dari 100
meter hingga 350 meter. Untuk mengetahui zonasi komunitas intertidal dilakukan pengamatan
biota intertidal pada lima lokasi pantai intertidal yang masing-masing terdiri dari tiga zona yaitu
pasang tinggi, pasang tengah dan pasang rendah. Struktur kehidupan di daerah pasang surut,
pesisir Batu Hijau, Sumbawa terdiri dari komunitas utama dan biota yang berasosiasi.
Komunitas utama intertidal terdiri dari karang, lamun, alga dan fauna lainnya, sedangkan biota
intertidal yang berasosiasi dengan habitat pasang surut terdiri dari kelompok moluska,
ekhinodermata, krustase, cacing dan ikan. Sebaran komunitas intertidal membentuk tiga zona
yang terdiri dari (1) lamun (21,3%) di zona atas (pasang tinggi), (2) alga (35,5%) di zona tengah
(pasang sedang), dan (3) karang (28,5 %) dan alga (42,5%) di zona bawah (pasang rendah).
Kelompok biota utama di daerah pasang surut membentuk sistem dua zonasi yang terdiri dari
kelompok moluska (51,12%) pada zona atas, sedangkan kelompok ekhinodermata yang
mendominasi di zona tengah (36,96%) dan bawah (66,89%). Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara struktur komunitas dan komposisi biota intertidal pada September 2011
(musim hujan) dan April 2012 (musim kemarau).
Kata kunci: intertidal (pasang surut), persen tutupan, kepadatan, komunitas, biota

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

409

Zonasi dan Kepadatan Komunitas...

dan mengetahui kepadatan komunitas


intertidal di pesisir Batu Hijau, Sumbawa.

I. PENDAHULUAN
Daerah pasang surut (intertidal)
Batu Hijau yang terdiri Maluk, Mangkun,
Madasanger,
Sejorong
dan
Puna
mempunyai habitat datar dan cukup luas
kecuali Puna. Daerah intertidal ini akan
terlihat pada saat air surut dan akan
terbenam saat air pasang. Lokasi ke lima
daerah intertidal terletak di bagian Barat
Sumbawa yang dipengaruhi oleh Selat
Alas dan Lautan Hindia. Maluk dan
Mangkun terletak terlindung di Teluk,
Madasanger dan Sejorong agak terbuka,
dan Puna yang terletak di Tanjung
merupakan daerah intertidal yang terbuka
(Yulianda, 2008).
Daerah intertidal terletak paling
pinggir dari bagian ekosistem pesisir dan
laut dan berbatasan dengan ekosistem
darat. Intertidal merupakan daerah pasang
surut (intertidal) yang dipengaruhi oleh
kegiatan pantai dan laut. Kondisi
komunitas pasang surut tidak banyak
perubahan kecuali pada kondisi ekstrim
tertentu dapat merubah komposisi dan
kelimpahan organisme intertidal. Daerah
ini merupakan daerah yang paling sempit
namun
memiliki
keragaman
dan
kelimpahan organisme yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan habitathabitat laut lainnya. Daerah intertidal Batu
Hijau terletak di kawasan yang paling
mudah di jangkau oleh manusia sehingga
rentan perubahan komunitas.
Kelompok organisme intertidal
umumnya terdiri dari lamun (sea grass),
rumput laut (seaweed), komunitas karang
(coral community), dan biota yang
berasosiasi dengan karang dan lamun.
Keragaman dan sebaran organisme sangat
berkaitan dengan keragaman karakteristik
habitat dan sangat dipengaruhi oleh
ketergenangan air laut. Keragaman habitat
akan menentukan komunitas dan biota
yang berasosiasi dengan sistem ekologi di
daerah pasang surut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkarakterisasi zonasi

410

II. METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan selama bulan
September 2011 dan April 2012 di daerah
pasang surut pesisir Batu Hijau, pantai
Selatan Sumbawa bagian barat (Gambar
1). Pengamatan biota intertidal dilakukan
pada tanggal 26-30 September 2011 dan
7-10 April 2012 di lima lokasi pesisir
Batu Hijau, yaitu Puna, Sejorong,
Madasanger, Mangkun dan Maluk.
Pengamatan
biota
intertidal
dilakukan dalam transek 1 x 1 m yang dioperasikan secara sistematis pada tiga
zona tegak lurus dari garis pantai ke arah
tubir laut, yaitu pasang tinggi, pasang
tengah dan pasang rendah. Setiap garis
transek memiliki tiga ulangan horizontal.
Biota yang diamati terdiri dari 4
kelompok, yaitu lamun (sea grass),
rumput laut (seaweed), komunitas karang
(coral communities), dan fauna. Rumput
laut terdiri dari alga hijau, alga merah, dan
alga coklat. Komunitas karang terdiri dari
karang keras, karang lunak, spong,
ascidian, anemone laut, dan zoanthid.
Biota yang berasosiasi terdiri dari kerangkerangan, ikan udang, bintang laut, bulu
babi, dan biota laut lainnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Pantai pesisir Batu Hijau di lima
lokasi pengamatan secara umum memiliki
karakteristik relatif sama yaitu substrat
yang keras. Namun setiap pantai memiliki
karakteristik khusus. Pantai Maluk
merupakan sebuah teluk dimana pantai
sebelah Utara agak landai sehingga daerah
pasang surut cukup lebar sekitar 400
meter. Tipe substrat berbatu, pasir hingga
pasir
berkarang.
Pantai
Mangkun
mempunyai dataran pasang surut yang
lebar yaitu sekitar 250-300 meter.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulianda et al.

Gambar 1. Lokasi pengamatan di lima stasiun (lingkaran tertutup warna hijau) daerah
pasang surut di pesisir Batu Hijau.
Pantai intertidal Sejorong cukup lebar
(300 meter) dengan substrat pasir padat
dan pasir berkarang. Sub stasiun pertama
di zona atas (dekat pantai) memiliki
substrat berpasir, sedangkan di zona
tengah ber-substrat pasir campur karang,
dan di zona bawah (ke arah laut) substrat
berkarang. Pantai Madasanger cukup lebar
hingga mencapai 350 meter dengan tipe
substrat pasir, batu karang dan campuran.
Tipologi pantai Madasanger tidak merata,
rataan substrat pada daerah pasang tinggi
agak tinggi, kemudian agak menurun pada
stasiun tengah dan naik kembali pada
stasiun bawah. Pada sebagian zona atas
dan zona tengah memiliki kedalaman
yang reltif lebih tinggi (sekitar 70 cm
pada saat surut) sehingga selalu terendam.
Pantai Puna bersubstrat berbatu, lebar
dataran lebih sempit (100-200 meter),
dan curam. Stasiun intertidal Puna
mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan stasiun lainnya. Karena komunitas
intertidal didominasi oleh biota yang berasosiasi dengan pantai berbatu yang

dicirikan dengan alga dan herbivora. Kepadatan dan keragaman fauna umumnya
lebih tinggi ditemukan pantai intertidal
berbatu (Diaz-Tapia et al., 2013).
Kondisi biota dan komunitas
intertidal secara umum tidak banyak perubahan selama pengamatan September
2011 dan April 2012 meskipun ada kecenderungan perubahan komposisi yang
dominan dan populasi biota hamper di
semua lokasi. Perubahan dan dinamika
lingkungan intertidal terjadi secara
bertahap mulai dari topografi rataan, tipe
substrat dan kedalaman. Perbedaan
lingkungan yang agak terlihat di daerah
intertidal adalah pengaruh gelombang
yang menghantam pantai yang sedikit
mempengaruhi komposisi biota intertidal.
Sebaran lamun (sea grass) umumnya
terdapat di daerah pasang tinggi terutama
di Maluk, Madasanger, Mangkun dan
Sejorong. Komunitas rumput laut dan
karang lebih banyak di daerah pasang
yang lebih rendah. Karang di beberapa
tempat seperti di Mangkun dan

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

411

Zonasi dan Kepadatan Komunitas...

Madasanger mengalami pertumbuhan


cukup baik meskipun tidak kontinu karena
tekanan lingkungan yang kering, panas
dan gerusan arus intertidal. Beberapa
lamun meperlihatkan pengaruh dari
kekeringan dan kepanasan bahkan
sebahagian mati, namun sebagian mulai
tumbuh kembali. Komunitas biota tidak
terlalu berbeda signifikan meskipun ada
perubahan komposisi jenis tetapi biota
penyusun utama masih ditemukan seperti
bulu babi (sea urchin), brittle star,
moluska (terutama di Puna) dan cacing
polychaeta. Populasi biota yang umumnya
diambil oleh masyarakat cenderung
menurun seperti seperti moluska jenis
Cypraea sp., Turbo sp. dan bulu babi
berbulu pendek, sebaliknya biota-biota
yang tidak diambil oleh masyarakat masih
ditemukan dalam jumlah yang banyak
seperti teritip (Barnacle), beberapa gastropoda seperti Littorina dan Nerita. Lima
lokasi pengamatan intertidal sudah banyak
didatangi oleh masyarakat (madak) ketika
air surut untuk mengambil beberapa biota
seperti bulu babi, moluska (kerangkerangan), ikan dan udang.

Sebaran lamun umumnya menempati area paling atas di daerah pasang


tinggi terutama di Maluk, Madasanger dan
Sejorong. Lamun mensyaratkan lingkungan yang relatif tenang dengan tipe
substrat yang agak halus (Matsuura et al.,
2000). Sedangkan komunitas rumput laut
dan karang lebih banyak di daerah pasang
yang lebih rendah (Gambar 2 dan 3).
Lamun umumnya tumbuh di substrat
pasir, pecahan karang dan sedikit substrat
agak halus yang merupakan karakteristik
fisik dari substasiun zona atas (pasang
tinggi).
Lamun masih ditemukan dengan
persentase kecil di zona tengah di
beberapa stasiun seperti di Mangkun dan
Puna. Rumput laut merupakan komunitas
yang memiliki penyebaran yang sangat
luas dan ditemukan di semua zona. Persen
tutupan rumput laut semakin meningkat
ke arah laut.
Sedangkan komunitas
karang yang terdiri dari karang keras dan
fauna lainnya (ascidian, spong, anemon
laut, karang lunak) umumnya hidup paling
baik di daerah zona bawah meskipun
penyebarannya cukup luas.

Gambar 2. Persen tutupan komunitas intertidal di pesisir Batu Hijau bulan September
2011.

412

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulianda et al.

Komunitas biota umumnya lebih banyak


ditemukan di zona tengah (mid tide) dan
bawah (low tide) daerah intertidal yang
agak terendam oleh air laut, kecuali pada
pantai intertidal berbatu fauna lebih
berlimpah (Gambar 4 dan 5). Umumnya
komunitas biota tidak terlalu berbeda
signifikan karena tidak ada perubahan
lingkungan yang ekstrim meskipun ada

perubahan komposisi jenis tetapi biota


penyusun utama masih ditemukan seperti
bulu babi (sea urchin), brittle star dan
polikhaeta. Namun beberapa biota
kadang-kadang secara temporal menonjol
ditemukan pada saat pengamatan seperti
kelinci laut (sea slug), kerang/gastropoda
(mollusc) and hermit crab.

Gambar 3. Persen tutupan komunitas intertidal di pesisir Batu Hijau bulan April 2012.

Gambar 4. Kepadatan biota intertidal di pesisir Batu Hijau bulan September 2011.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

413

Zonasi dan Kepadatan Komunitas...

Gambar 5. Kepadatan biota intertidal di pesisir Batu Hijau bulan April 2012.
3.2. Pembahasan
Karakteristik daerah intertidal di
lima stasiun cukup beragam berdasarkan
tipe susbstrat, rataan atau morfologi
pantai, luas atau lebar area, dan
kemiringan pantai. Hal ini menyebabkan
keragaman kepadatan biota dan persen
tutupan komunitas intertidal realtiff tinggi
yang ditunjukkan oleh simpangan baku
yang tinggi. Meskipun demikian komposisi biota dan komunitas intertidal
relatif sama di lima lokasi pengamatan,
tertutama di stasiun Maluk, Mangkun,
Madasanger dan Sejorong. Sedangkan di
stasiun Puna agak berbeda sedikit karena
tipologi substrat yang didominasi pantai
berbatu. Komunitas intertidal di Puna
lebih dominan kelompok grazer dan
populasi biota seperti kelompok moluska
(Littorina, Nerita dan Crassostrea) dan
kelompok ekhinodermata (bulu babi dan
bintang laut) sangat dominan. Umumnya
hewan-hewan grazer akan sangat tergantung dengan keberadaan produser
(rumput laut atau lamun) (Lesser, 2011).
Pola sebaran komunitas intertidal
di Pesisir Batu Hijau berdasarkan ke-

414

beradaannya
dapat
dikelompokkan
menjadi dua, yaitu komunitas darat (zona
atas) dan komunitas laut (zona bawah).
Komunitas darat adalah komunitas yang
banyak ditemukan di dekat pantai dan
akan berkurang sebarannya ke arah laut.
Komunitas ini adalah komunitas lamun
(sea grass) yang mensyaratkan substrat
pasir dengan sedikit substrat agak halus
dan cenderung hidup pada di area yang
terbenam air meskipun pada saat air surut.
Lamun membutuhkan nutrien yang
konsentrasinya akan lebih tinggi ditemukan di substrat yang agak halus
(Hemminga and Duarte, 2000). Substrat
ke arah laut makin kasar dan dominasi
karang semakin meningkat menyebabkan
sebaran lamun ke arah laut terbatas hanya
pada zona tengah. Zona tengah ini
merupakan daerah transisi dimana faktor
lingkungan lebih beragam sehingga semua
komunitas yang
terdiri dari lamun,
komunitas karang dan rumput laut masih
ditemukan meskipun tidak menonjol.
Komunitas laut adalah komunitas yang
cenderung lebih banyak ditemukan di
zona tengah dan bawah (ke arah laut).

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulianda et al.

Komunitas ini adalah karang dan biota


asosiasinya, dan rumput laut. Karang,
komunitas karang dan rumput laut
mensyaratkan lingkungan yang lebih
jernih, substrat yang kasar, keras dan
relatif stabil (Allen and Steene, 1994;
Raffaelli and Hawkins, 1996). Karktersitik
ini lebih banyak terdapat di zona tengah
dan bawah. Karang memang merupakan
komunitas yang hidup di perairan yang
dangkal, terdapat sinar matahari dan selalu
membutuhkan air yang bergerak (masa air
selalu berganti) (Dubinsky and Stambler,
2011). Diantara komunitas intertidal,
karang merupakan komunitas yang paling
mudah dan terbesar yang mengalami
perubahan akibat dinamika perairan
pesisir (Duarte et al., 2008). Di sekitar
tubir karang (zona bawah) karang hidup
lebih baik dibandingkan di zona lebih
atas, sehingga komunitas karang lebih
menguasai zona bawah. Rumput laut yang
mempunyai toleransi yang lebih luas
dibandingkan karang dapat hidup di
seluruh zona. Namun demikian rumput
laut tumbuh lebih baik di zona tengah dan
zona bawah. Faktor nutrien dan kecerahan perairan yang merupakan faktor
yang signifikan di zona tengah dan bawah,
merupakan faktor utama yang menentukan
pertumbuhan rumput laut. Rumput laut
dapat berasosiasi dengan lamun dan
karang dengan tingkat keterkaitan yang
berbeda. Daerah intertidal merupakan
daerah yang relatif homogen sebaran
nutriennya dari zona atas hingga zona
bawah, sehingga sebaran komunitas
rumput laut lebih banyak dipengaruhi
tingkat perendaman air dan kecerahan
perairan lebih baik di zona bawah.
Dengan demikian komunitas rumput laut
cenderung meningkat ke arah laut.
Kepadatan biota intertidal tidak
sama di tiga zona intertidal, kecuali kelompok biota krustase, cacing dan ikan
yang relatif sama menyebar di tiga zona
intertidal . Populasi moluska lebih banyak
ditemukan di zona atas, dan semakin ke

arah laut kepadatannya berkurang. Moluska lebih menyukai daerah yang agak
datar dan terbuka yang merupakan
karakteristik zona atas. Selain itu populasi
moluska memiliki pola hidup yang mengelompok yang ditunjukkan dengan
ditemukan moluska dengan jumlah yang
tinggi pada habitat yang sesuai. Hal ini
juga menyebabkan simpangan baku kepadatan moluska paling tinggi dibandingkan dengan kelompok biota
lainnya. Moluska memiliki asosiasi yang
lebih kuat dengan sistem ekologi zona atas
yang dibentuk oleh lamun dan pantai
berbatu dibandingkan dengan sistem
komunitas karang atau rumput laut
lainnya.
Komunitas ekhinodermata yang
didominasi oleh bintang laut mengular
(brittle star) dan bulu babi (sea urchin)
memiliki sebaran yang terbalik dengan
moluska, yaitu lebih banyak ditemukan di
zona bawah. Kelompok biota ekhinodermata lebih menyukai daerah yang
terlindung dan tertututup oleh kerangka
karang. Sementara komunitas karang
tumbuh lebih baik di zona ke arah laut
(zona tengah dan bawah). Selain itu bulu
babi yang memiliki kebiasaan makan
grazer memiliki ketergantungan yang
tinggi dengan keberadaan alga. Alga
(rumput laut) hidup lebih berlimpah di
zona bawah. Meskipun bulu babi juga
memakan lamun, namun bulu babi lebih
banyak di habitat karang dan rumput laut.
Hal ini memperlihatkan asosiasi ekhinodermata lebih kuat dengan rumput laut
dan karang dibandingkan dengan lamun.
IV. KESIMPULAN
Komunitas dan biota intertidal di
pesisir Batu Hijau secara umum tidak
berbeda pada bulan September 2011 dan
April 2012. Zona intertidal pesisir Batu
Hijau terdiri dari (1) zona atas yang terdiri
dari komunitas lamun dan biota asosiasi
moluska, (2) zona bawah yang terdiri dari

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

415

Zonasi dan Kepadatan Komunitas...

komunitas karang dan rumput laut yang


dilengkapi dengan biota asosiasi ekhinodermata.
Moluska lebih banyak berasosiasi
dengan sistem ekologi lamun dan pantai
berbatu, sedangkan ekhinodermata lebih
banyak berasosiasi dengan sistem ekologi
karang dan rumput laut.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. R. and R. Steene. 1994. IndoPacific coral reef. Field guide.
tropical reef research. Singapore.
378p.
Daz-Tapia, P., I. Brbara , and I. Dez
Multi.
2013.
Scale
spatial
variability in intertidal benthic
assemblages: differences between
sand-free and sand-covered rocky
habitats. J. of Estuarine, Coastal
and Shelf Science, 133:97-103.
Dubinsky, Z. and N. Stambler. 2011.
Coral reefs: an ecosystem in
transition. Springer dordrecht
heidelberg, New York. 562p.

Duarte, C.M., W.C. Dennison, R.J.W.


Orth, and T.J.B. Carruthers. 2008.
The
charisma
of
coastal
ecosystems:
addressing
the
imbalance. Estuaries and Coasts:
J. CERF., 31:233238, DOI
10.1007/s12237-008-9038-7.
Hemminga, M.A. and C.M. Duarte. 2000.
Sea grass ecology. Cambridge
University Press, UK. 308p.
Lesser, M. 2011. Advances in marine
biology. Academic Press. USA.
215p.
Matsuura, K, O.K. Sumadhiharga, and K.
Tsukamoto. 2000. Field guide to
Lombok island: identification
guide to marine organism in
seagrass beds of Lombok island,
Indonesia.
Ocean
Research
Institute, University of Tokyo,
Tokyo, vii+449p.
Raffaelli, D. and S. Hawkins. 1996.
Intertidal ecology. Chapman and
Hall, London, UK. 356p.
Yulianda, F. 2008. Biota intertidal di Batu
Hijau, Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat, Indonesia: PT Newmont
Nusa Tenggara, 110p.
Diterima :17 Oktober 2012
Direvisi : 20 Desember 2013
Disetujui : 31 Desember 2013

416

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 417-427, Desember 2013

PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG,


PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN
ANALISIS CITRA SATELIT
COASTLINE CHANGES AT BUNGUS BAY PADANG CITY, WEST SUMATERA
PROVINCE BASED ON SATELLITE IMAGERY ANALYSES
Yulius1* dan M. Ramdhan1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan-KKP, Jakarta
*
e-mail: yulius.lpsdkp@gmail.com dan chani_ok@yahoo.com
ABSTRACT
The Bungus Bay with 21,050 meters of coastline length and 1,383.86 ha of surface area
confines with a rounded shape surface. This study aimed to determine coastline changes in the
Bungus Bay based on overlay analyses of satellite imagery of 2000, 2006, 2010, and 2011. The
method used in this research was visual interpretation using four key interpretation such as hue
image, texture association, and shape. The results showed that in general there were
abrasion processes in the Bungus Bay. The abrasion processes were more dominant in
the Buo Bay, Kaluang Bay, and Kabuang Bay. The largest coastline changes occurred in the
northern Bungus Bay for 26 m/yr, while in the Kaluang Bay and Kabuang Bay exhibited a
moderate change of 9 m/yr. In general, the rate of coastline change in the Bungus Bay was 5.9
m/yr.
Keywords: abration, accretion, coastline changes, Bungus Bay
ABSTRAK
Teluk Bungus dengan panjang garis pantai 21.050 meter dan luas permukaan 1.383,86 ha,
memiliki bentuk permukaan yang cenderung membulat ke arah daratan. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan perubahan garis pantai Teluk Bungus berdasarkan analisa tumpang susun
citra satelit tahun 2000, 2006, 2010, dan 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode interpretasi visual dengan menggunakan empat kunci interpretasi yaitu; rona
citra, asosiasi tekstur, dan bentuk. Hasil menunjukkan bahwa secara umum terjadi proses erosi
atau abrasi di Teluk Bungus dengan abrasi yang lebih dominan di Teluk Buo, Teluk Kaluang,
dan Teluk Kabuang. Laju perubahan garis pantai terbesar terdapat di bagian utara Teluk
Bungus sebesar 26 m/thn, sedangkan di Teluk Kaluang dan Teluk Kabuang menunjukkan laju
perubahan garis pantai menengah sebesar 9 m/thn. Secara umum, laju perubahan garis pantai di
Teluk Bungus adalah 5,9 m/thn.
Kata kunci: abrasi, akresi, perubahan garis pantai, Teluk Bungus

I. PENDAHULUAN
Teluk Bungus memiliki panjang
garis pantai 21.050 meter dan luas
permukaan 1.383,86 ha mempunyai
bentuk permukaan yang cenderung
membulat (Kusumah, 2008). Teluk ini
termasuk dalam Kecamatan Bungus Teluk
Kabung dan merupakan salah satu

kecamatan pesisir di wilayah selatan Kota


Padang dengan luas 100,78 km2 dan
jumlah penduduk 23.400 jiwa (Anonim,
2006). Kecamatan ini berada pada posisi
0100121 0100502 Lintang Selatan
(LS) dan 100o2158 10002636 Bujur
Timur (BT) dan terletak di bagian barat
pantai Pulau Sumatera.

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

417

Perubahan Garis Pantai...

Kecamatan Bungus Teluk Kabung berada


pada ketinggian rata-rata sekitar 0-5 m dpl
untuk daerah pesisir, dan < 85 m untuk
daerah perbukitan. Temperatur udara
berkisar antara 22,5C 31,5C dan curah
hujan 314,47 mm/bulan (Anonim, 2006).
Secara geografis Teluk Bungus
berbatasan langsung dengan Kecamatan
Lubuk Begalung dan Kecamatan Lubuk
Kilangan, Kota Padang yang terletak di
sebelah utara, di bagian selatan dengan
Kabupaten Pesisir Selatan, di bagian barat
dengan Pantai Barat Sumatera atau
Samudera Hindia, dan di bagian timur
dengan Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota
Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Secara administratif Kecamatan Bungus
Teluk Kabung memiliki 6 (enam)
kelurahan, yaitu: Teluk Kabung Selatan,
Bungus Selatan, Teluk Kabung Tengah,
Teluk Kabung Utara, Bungus Timur dan
Bungus Barat (Anonim, 2006).
Kawasan pantai bersifat dinamis,
artinya ruang pantai (bentuk dan lokasi)
berubah dengan cepat sebagai reaksi
terhadap proses alam dan aktivitas
manusia (Solihuddin, 2010). Teluk
Bungus
merupakan
wilayah
yang
memiliki
pemanfaatan ruang yang
dinamis terutama di daerah pesisir seperti
kawasan
pelabuhan,
industri,
permukiman, perkebunan, wisata serta
kawasan konservasi (Yulius et al., 2011).
Secara langsung maupun tidak langsung,
kegiatan di wilayah ini telah mengubah
dinamika pantainya, disamping perubahan
yang diakibatkan oleh dinamika alami
pesisir dan laut (Yulius et al., 2009).
Untuk
keperluan
perencanaan
pengelolaan kawasan pantai, diperlukan
penelitian tentang perubahan garis pantai
sehingga pembangunan yang dilakukan
tidak berdampak terhadap lingkungan
(Sakka et al., 2011). Rencana pemerintah
daerah Kota Padang untuk mengembangkan Teluk Bungus sebagai pusat

418

informasi kelautan, laboratorium kelautan,


aktifitas pelabuhan, penangkapan dan/atau
budidaya ikan (Anonim, 2012), sehingga
perlu
dilakukan
penelitian
terkait
perubahan garis pantai di Teluk Bungus.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan garis pantai dan
laju perubahan garis pantai di Teluk
Bungus, Kota padang. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan untuk
mendukung pemanfaatan Teluk Bungus
baik untuk pusat informasi kelautan,
laboratorium
kelautan,
aktifitas
pelabuhan,
penangkapan
dan/atau
budidaya ikan maupun pemanfaatan
lainnya.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Teluk
Bungus, Kota Padang, Provinsi Sumatera
Barat dengan area batas studi 100222 BT,
1054 LS dan 1002558,8 BT,
1440,8 LS (Gambar 1).
2.2. Data dan Perangkat Lunak
Data citra satelit yang digunakan
dalam studi ini adalah citra SPOT yang
beresolusi 10 m dengan tanggal
pengambilan 12 April 2011, citra ALOS
dengan resolusi spasial 10 m tanggal
pengambilan 29 September 2010, citra
Ikonos resolusi spasial 4 m tanggal
pengambilan 12 April 2006 dan citra
Landsat-7 dengan resolusi 30 m tanggal
pengambilan 15 Juli 2000.
Perangkat lunak yang digunakan
untuk mengolah data terdari ER Mapper
7.0 untuk mengolah data citra, Arc GIS
yang dilengkapi dengan ekstensi image
analysis untuk melakukan interpretasi
visual, proses digitasi garis pantai pada
citra satelit, mengolah data vektor dan
pembuatan peta-peta tematik.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulius dan Ramdhan

Gambar 1. Lokasi penelitian

Gambar 2. Diagram alir penelitian

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

419

Perubahan Garis Pantai...

2.3. Diagram Alir Penelitian


Rangkaian pengerjaan dalam kajian
perubahan garis pantai di Teluk Bungus
Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat
secara diagram alir dapat dijelaskan
sebagai
berikut;
pertama dengan
menginventarisasi data citra satelit SPOT
2011, ALOS 2010, IKONOS 2006 dan
LANDSAT 2000 yang selanjutnya dilakukan
pemotongan
citra
dari
hasil pemotongan citra tersebut dapat
dilakukan koreksi geometrik yang
selanjutnya dilakukan penajaman citra
kemudian dilakukan dijitasi, selanjutnya
seluruh hasil dijitasi garis pantai akan
dibandingkan dengan referensi garis
pantai dari peta RBI (2008) secara
tumpang susun (overlay). Hasil overlay
tersebut dapat menggambarkan perubahan
garis pantai Teluk Bungus, sebagaimana
ditunjukan pada Gambar 2.
2.4. Koreksi Geometrik Citra
Koreksi geometrik citra dilakukan
dengan rektifikasi citra berdasar acuan
peta RBI skala 1:10.000. Untuk
melakukan rektifikasi minimal diperlukan
4 buah titik yang digunakan sebagai
ground control point (GCP). Penentuan
titik-titik GCP diletakkan pada pojok
kanan atas, pojok kiri atas, pojok kanan
bawah dan pojok kiri bawah. Hal tersebut
dilakukan agar citra terektifikasi secara
merata. Sistem koordinat yang digunakan
dalam proses rektifikasi adalah koordinat
geografis dengan ellipsoid referensi World
Geodetic System 1984.
2.5. Penajaman Citra
Penajaman citra digunakan untuk
mempermudah interpretasi objek pada
tampilan citra. Penajaman citra meliputi
penajaman
kontras
(contrast
enhancement) yaitu memperbaiki tampilan
citra dengan memaksimumkan kontras
antara pencahayaan dan penggelapan.
Filtering yaitu memperbaiki tampilan citra

420

dengan mentranformasi nilai-nilai digital


citra seperti mempertajam batas area yang
mempunyai nilai digital yang sama (edge
enhancement).
2.6. Digitasi Garis Pantai
Setelah citra terkoreksi multi
temporal, tahap selanjutnya adalah proses
on screen digitation (digitasi pada layar
monitor). Digitasi dimaksudkan untuk
mengubah format data raster ke format
data vektor. Objek yang didigitasi adalah
garis pantai. Seluruh proses digitasi
menggunakan fasilitas image analysis
pada perangkat lunak ArcGIS yang dapat
menampilkan data raster dan vektor
sekaligus.
2.7. Tumpang Susun (Overlay)
Setelah tahap digitasi selesai,
proses selanjutnya adalah menumpangsusunkan (overlay) keempat garis pantai
tersebut diatas. Setelah itu dilakukan
analisis perubahan garis pantai tahun
2000, 2006, 2010, dan 2011.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Garis pantai adalah garis batas
pertemuan antara daratan dan air laut,
dimana posisinya tidak tetap dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air
laut dan erosi pantai yang terjadi
(Setyawan, 1992 dalam Wilisandy dan
Saputro, 2006). Citra terkoreksi akan
menampilkan objek daratan dan lautan di
lokasi studi dengan sistem koordinat dan
proyeksi yang sama. Garis pantai di
digitasi secara visual dengan memperhatikan batasan antara darat dan laut.
Digitasi dilakukan dengan memperhatikan
resolusi citra, karena resolusi citra yang
terkecil adalah citra Landsat (30 m) maka
tampilan zoom pada layar digitasi diatur
mengikuti resolusi pada citra Landsat
(Gambar 3, 4, 5, dan 6).

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulius dan Ramdhan

Garis pantai berwarna pada gambar 3,4,5,


dan 6 merupakan hasil digitasi citra
satelit. Warna kuning hasil digitasi dari
citra SPOT tahun 2011, warna oranye
merupakan hasil digitasi citra ALOS
tahun 2010, warna merah hasil digitasi
citra IKONOS tahun 2006, dan warna
ungu merupakan hasil digitasi garis pantai
citra Landsat tahun 2000. Pada gambar 5,

hasil digitasi citra IKONOS 2006 terlihat


ada objek seperti daratan yang berada di
atas garis pantai, hal ini disebabkan oleh
resolusi spasial IKONOS paling tinggi (4
meter) dan mampu mendeteksi objek
perairan dangkal lebih jelas, sehingga
objek terumbu karang/sedimen perairan
yang berada di bawah permukaan air laut
tampak seperti daratan.

Gambar 3. Hasil digitasi garis pantai dari citra SPOT tahun 2011.

Gambar 4. Hasil digitasi garis pantai dari citra ALOS tahun 2010.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

421

Perubahan Garis Pantai...

Gambar 5. Hasil digitasi garis pantai dari citra IKONOS tahun 2006.

Gambar 6. Hasil digitasi garis pantai dari citra LANDSAT tahun 2000.

422

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulius dan Ramdhan

Untuk mengetahui perubahan dan


laju perubahan garis pantai pada periode
waktu yang berbeda dilakukan tumpang
susun (overlay) keempat garis pantai hasil
digitasi diatas (Gambar 7). Dari tumpang
susun ini dilakukan analisis perubahan
garis pantai untuk tahun 2000, 2006,
2010, dan 2011.
Berdasarkan hasil analisis perubahan
garis pantai Teluk Bungus dengan metode
tumpang susun, secara visual diperoleh

bahwa untuk perbandingan hasil citra


Landsat tahun 2000, Ikonos tahun 2006,
Alos tahun 2010, dan Spot tahun 2011,
terlihat dengan jelas adanya perubahan
garis pantai pada setiap citra menjorok ke
arah daratan menandakan terjadi proses
abrasi
sangat
dominan,
sehingga
menghasilkan lautan yang menjorok ke
daratan (teluk) seperti teluk Buo (A), teluk
Kaluang (C) dan teluk Kabuang (E)
(Gambar 8).

Gambar 7. Tumpang susun (overlay) hasil digitasi garis pantai pada


daerah studi.

Gambar 8. Peta hasil analisis perubahan garis pantai dengan perbandingan jarak pantai
hasil digitasi citra satelit dengan garis pantai RBI di Teluk Bungus

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

423

Perubahan Garis Pantai...

Tabel 1. Analisis perbandingan jarak pantai hasil digitasi citra satelit dengan garis
pantai RBI.
Perbedaan dengan garis pantai RBI
(tahun 2008)

Lokasi
Titik
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Keterangan: jarak
ukuran 30 m

SPOT
2011
-14
13
-2
16
-36
10
-40
32
-10
dalam meter, (-) ke

ALOS
IKONOS
LANDSAT
2010
2006
2000
-7
2
70
4
11
345
-1
18
118
11
31
55
-28
-6
228
7
11
442
-31
-40
-2
57
14
31
16
-17
-16
arah darat, (+) ke arah laut, tingkat ketelitian

Tabel 2. Analisis perhitungan laju perubahan garis pantai pertahun di Teluk Bungus.

Lokasi

SPOT
(2011)

ALOS
(2010)

A
B
C
D
E
F
G
H
I

-14
13
-2
16
-36
10
-40
32
-10

-7
4
-1
11
-28
7
-31
57
16

Keempat data citra satelit di atas, hanya


ada dua citra satelit yang memiliki
resolusi spasial yang sama yaitu citra
satelit SPOT tahun 2011 dan citra satelit
ALOS tahun 2010 dengan resolusi 10
meter. Kedua satelit tersebut, waktu
perekaman datanya dilakukan pada saat

424

Perubahan Garis
Keterangan
Pantai (m/thn)
-7
9
-1
5
-8
3
-9
-25
-26

Abrasi
Akresi
Abrasi
Akresi
Abrasi
Akresi
Abrasi
Abrasi
Abrasi

yang sama yaitu pada saat siang hari dan


diasumsikan memiliki kondisi pasang
surut yang sama. Sehingga dapat
dilakukan perhitungan laju perubahan
garis pantai di areal Teluk Bungus, seperti
yang terlihat pada tabel 3.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulius dan Ramdhan

Gambar 9. Grafik perbandingan jarak pantai hasil digitasi citra satelit dengan garis
pantai RBI.

Gambar 10. Mangrove yang tumbuh di sekitar Teluk Bungus (Yulius et al., 2009)
Dari perubahan garis pantai
tersebut, dapat disimpulkan bahwa titik B,
D, dan F terjadi akresi dengan nilai 9, 5
dan 3 m/thn (Tabel 1, 2 dan Gambar 9).
Akresi atau sedimentasi di perairan Teluk
Bungus disebabkan oleh limpasan
sedimen dari daratan. Hal ini ditunjukan
dengan banyaknya terumbu karang yang
ditutupi oleh sedimen dan juga munculnya
tumbuhan mangrove Rhizophora sebagai

zona awal pada hutan mangrove yang ada


di Teluk Bungus (Gambar 10).
Sedimentasi di Teluk Bungus ditunjukan
oleh tipe sedimen yang umumnya
didominasi oleh material pasir berlumpur
(Yulius et al., 2011). Grafik perbedaan
antara SPOT 2011 dan Landsat 2000
berbeda jauh karena permasalahan beda
resolusi spasial dan perbedaan waktu
pengambilan sebelas tahun (Gambar 9).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

425

Perubahan Garis Pantai...

Gambar 11. Pantai bertebing Teluk Bungus yang rentan terkena abrasi.
Pada titik A, C, E, G, H dan I
terjadi abrasi dengan nilai tertinggi 26
m/thn di titik I dan terendah 1 m/thn di
titik C (Tabel 2, 3 dan Gambar 9). Abrasi
yang terjadi pada daerah kajian Teluk
Bungus
disebabkan
oleh
karena
gelombang pada dinding batuan penyusun
pantai sehingga membentuk daratan pantai
yang curam dan sempit sepanjang pantai
(Gambar 11), yang mengakibatkan
bentukan tanjung di daerah yang
berhadapan dengan lautan lepas berupa
tanjung yang vertikal atau tegak lurus dan
kasar (Yulius et al., 2009).

menunjukkan perubahan garis menengah


dengan laju sebesar 9 m/thn. Secara
umum, rata-rata laju perubahan garis
pantai di Teluk Bungus adalah 5,9 m/thn.

IV. KESIMPULAN

Anonim. 2009. Monografi kecamatan


Bungus Teluk Kabung. Badan
Pusat Statistik (BPS). Padang.
79hlm.
Anonimous. 2012. Rencana tata ruang
wilayah (RTRW) kota Padang
tahun 2004-2013. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Pemerintah Kota
Padang. Padang. 77hlm.
Kusumah, G. dan H. Salim. 2008. Kondisi
morfometri dan morfologi Teluk
Bungus Padang. J. Segara,
4(2):101-110.

Berdasarkan analisis tumpang


susun data satelit Landsat tahun 2000,
2000, Ikonos tahun 2006, Alos tahun
2010, dan Spot tahun 2011 secara umum
ditemukan perubahan garis pantai yang
menjorok kearah daratan (erosi atau
abrasi). Proses abrasi lebih dominan
ditemukan di darah teluk Buo, teluk
Kaluang, dan teluk Kabuang.
Laju
perubahan garis pantai
terbesar terdapat di bagian utara Teluk
Bungus sebesar 26 m/thn, sedangkan di
Teluk Kaluang dan Teluk Kabuang

426

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diucapkan kepada
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan, KKP atas
bantuan dana untuk menyelesaikan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Yulius dan Ramdhan

Sakka, M. Purba, I.W. Nurjaya, H.


Pawitan, dan V.P. Siregar. 2011.
Studi perubahan garis pantai di
delta
sungai
Jeneberang,
Makassar. J. Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis: 3(2):112-126.
Solihuddin, T. 2010. Morfodinamika delta
Cimanuk, Jawa Barat berdasarkan
analisis citra landsat. J. Ilmiah
Geomatika, 16(1):77-85.
Wilisandy, G. dan H. Saputro. 2006. Studi
perencanaan
penanggulangan
abrasi pantai Slamaran kota
Pekalongan
[tugas
akhir].
Semarang: Universitas Diponegoro.

Yulius, G. Kususmah, dan H. Salim. 2011.


Pola spasial sebaran material dasar
perairan di Teluk Bungus, Kota
Padang. J. Ilmiah Geomatika,
17(2):127-135.
Yulius, G. Kususmah, dan H. Salim. 2009.
Pola spasial karakteristik pantai di
Teluk Bungus, Kota Padang. J.
Ilmiah Geomatika, 15(2):55-63.
Diterima :19 November 2013
Direvisi :8 Desember 2013
Disetujui :30 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

427

428

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 429-440, Desember 2013

VARIABILITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOEFISIEN TOTAL


HAMBURAN DI PERMUKAAN PERAIRAN PADA BERBAGAI MUSIM
VARIABILITY AND SPATIAL DISTRIBUTION OF TOTAL SCATTERING
COEFFICIENTS OF SURFACE WATER IN VARIOUS SEASONS
Murjat Hi. Untung1, Bisman Nababan2*, dan Vincentus P. Siregar2
Fakultas Pascasarjana, Program Studi Teknologi Kelautan, IPB, Bogor.
2
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK- IPB, Bogor
*
Email: bisman@ipb.ac.id; simson_naban@yahoo.com

ABSTRACT
Variability and spatial distribution data of the total scattering coefficients ares useful in the
development of bio-optical algorithms of ocean color satellite. The purpose of this study was to
determine the variability and spatial distribution of the total scattering coefficient at 9
wavelengths () in different seasons. Field data collection were conducted in the Northeastern
Gulf of Mexico (NEGOM) of the spring , summer, and fall in 1999-2000 by using the ac-9 insitu Spectrophotometer and restricted to coastal waters of 10 m isobath and offshore of 1000 m
isobath. The data were filtered using the moving average method and tested with the KruskalWallis. The results showed that the average value of the total scattering coefficients were
significantly different among spring, summer, and fall. In general, the total scattering
coefficients were relatively high, especially in the coastal waters near the mouth of the river
each season and relatively low in offshore waters except during the summer that the total
scattering coefficients were also relatively high in offshore watersdue to the intrusion of the
Mississippi river flow toward offshore containing high nutrients that can promote the growth of
phytoplankton in the offshore, suspended material and lower salinity jointly to increase the total
scattering coefficients.
Keywords: variability, spatial distribution, total scattering coefficient, bio-optic, NEGOM.
ABSTRACT
Nilai variabilitas dan distribusi spasial koefisien total hamburan bermanfaat dalam
pengembangan algoritma bio-optik satelit ocean color. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan variabilitas dan distribusi spasial koefisien total hamburan pada 9 panjang
gelombang () dalam berbagai musim. Pengumpulan data lapangan dilakukan di perairan
Northeastern Gulf of Mexico (NEGOM) pada musim semi, panas, dan gugur tahun 1999-2000
dengan menggunakan ac-9 in-situ Spectrophotometer yang dibatasi pada perairan pesisir dengan
isobaths 10 m dan laut lepas dengan isobaths 1000 m. Data difilter menggunakan metode
moving average dan diuji menggunakan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai rata-rata koefisien total hamburan secara signifikan berbeda antar musim semi, panas, dan
gugur. Secara umum, koefisien total hamburan relatif tinggi ditemui di perairan pesisir
khususnya dekat muara sungai setiap musim dan relatif rendah di perairan offshore kecuali pada
musim panas koefisien total hamburan yang relatif tinggi juga ditemui pada perairan offshore.
Koefisien total hamburan yang relatif tinggi pada musim panas di perairan offshore disebabkan
oleh adanya intrusi aliran sungai Mississippi ke arah offshore yang mengandung banyak nutrient
yang dapat meningkatkan pertumbuhan fitoplankton di perairan offshore dan materi tersuspensi
serta menurunkan salinitas yang secara bersama-sama meningkatkan koefisien total hamburan.
Kata kunci: variabilitas, distribusi spasial, koefisien total hamburan, bio-optik, NEGOM.

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

429

Variabilitas dan Distribusi Spasial...

I. PENDAHULUAN
Sifat optik perairan dipengaruhi
oleh intensitas dan sudut datang cahaya
serta materi yang terkandung di dalam
kolom perairan. Intensitas cahaya setelah
mengenai perairan akan mengalami proses
absorpsi dan hamburan yang mengakibatkan jumlah intensitas cahaya mengalami penurunan secara exponensial
dengan kedalaman kolom perairan
tersebut. Sifat optik perairan ini dibagi
dalam dua kategori yaitu apparent optical
properties (AOP) yaitu sifat optik yang
dipengaruhi oleh intensitas dan sudut
ruang cahaya datang serta kandungan
materi dalam air dan inherent optical
properties (IOP) yaitu sifat optik yang
hanya dipengaruhi oleh kandungan materi
dalam kolom air seperti fitoplankton,
padatan tersuspensi, bahan organik,
(Mobley, 1994; Kirk, 1994).
Absorpsi merupakan proses penyerapan energi oleh kolom air dan materi
yang terkandung di dalamnya sedangkan
hamburan adalah proses penghamburan
energi oleh kolom air maupun materi yang
terkandung dalam kolom air tersebut.
Hamburan disini dapat berupa hamburan
balik (backward scattering) maupun
hamburan maju (forward scattering).
Total hamburan merupakan gabungan dari
hamburan balik dan hamburan maju.
Peristiwa hilangnya energi (cahaya)
melalaui proses absorpsi dan hamburan
disebut proses atenuasi. Secara umum,
atenuasi (c) adalah hasil penjumlahan
absorpsi (a) dengan hamburan (b) (Boss et
al., 2001; Miller et al., 2003, Kirk, 1994;
Mobley, 1994).
Spektrum cahaya merah lebih
cepat diserap oleh kolom perairan
dibandingkan dengan spektrum cahaya
biru dan hijau karena gelombang ini
mempunyai frekuensi yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan spektrum biru dan
hijau yang mempunyai frekuensi yang
lebih besar (Mobley, 1994). Materi

430

terkandung dalam kolom perairan seperti


fitoplankton, bahan organik, dan colored
dissoleved organic matter (CDOM) juga
mempunyai sifat absorpsi dan hamburan
yang akan mempe-ngaruhi hilangnya
energi cahaya (atenuasi) dalam kolom
perairan (Kirk, 1994; McKee dan
Cunningham, 2006; Capone et al., 2002;
Pegau et al., 2003; Morel et al., 2007;
Tonizzo et al., 2009). Dengan demikian,
variasi spektral absorpsi dan hamburan di
perairan akan dipengaruhi secara langsung
oleh perbedaan kosentrasi serta komposisi
dari bahan atau material dalam kolom air
(Pegau et al., 2003; Morel et al., 2007).
Perairan Northeastern Gulf of
Mexico (NEGOM) merupakan lingkungan
perairan yang dipengaruhi oleh enam
sungai besar yang memiliki kontribusi
yang sangat tinggi untuk mensuplai
nutrien, chlorophyll, dan bahan organik
terlarut yang berasal dari daratan
sepertisungai
Mississippi,
Mobile,
Escambia, Chocta-whatche, Apalachicola,
dan Suwannee (Guo et al., 1995; Gilbes et
al., 1996; Turner and Rabalais, 1999;
Pennock et al., 1999; Del Castillo et al.,
2000). Selain itu faktor oseanografi seperti
upwelling, Loop Current, cold and warm
eddies, El Nino Southern Oscillation
(ENSO), dan musim juga berperan sangat
penting dalam menentukan variabilitas
bio-optik perairan ini (Nababan, 2005;
Gilbes et al., 1996; Muller-Karger, et al.,
1991; Muller-Karger, 2000; Weisberg et
al., 2000; He and Weisberg, 2002, 2003).
Sejauh ini, masih sedikit penelitian terkait
variabilitas dan distribusi spasial total
hamburan
di
perairan
NEGOM,
khususnya perairan tropis sehingga
penelitian ini sangat penting dilakukan
(Nababan et al., 2011; Nababan, 2005;
Bunge et al., 2002). Informasi terkait
variabilitas dan distribusi spasial total
hamburan sangat bermanfaat dalam
penyediaan informasi bio-optik yang
nantinya dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan algoritma bio-optik untuk

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Untung et al.

satelit ocean color. Tujuan dari penelitian


ini adalah untuk mendapatkan informasi
variabilitas dan distribusi spasial koefisian
total hamburan (scattering) pada 9
panjang gelombang () pada berbagai
musim di wilayah perairan NEGOM.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan
data
lapangan
dilakukan di perairan Northeastern Gulf of

Mexico (NEGOM) selama 2 minggu


dalam tiga musim (semi, panas, gugur)
pada tahun 1999-2000 (Tabel 1). Lokasi
survei dengan koordinat 27.3 - 30.7 N
dan 82.6 - 89.6 W (Gambar 1) dengan
posisi yang membentang dari delta Sungai
Mississippi hingga teluk Tampa dengan
dibatasi pada perairan pantai dengan
kedalaman (isobaths) 10 m dan perairan
laut lepas (offshore) dengan kedalaman
1000 m.

Tabel 1. Jadwal pelaksanaan pengambilan data lapangan.


No. cruise
1
2
3
4
5

Tanggal mulai
15 Mei 1999
15 Agustus 1999
13 November 1999
15 April 2000
28 Juli 2000

Tanggal selesai
28 Mei 1999
28 Agustus 1999
23 November 1999
26 April 2000
8 Agustus 2000

CruiseID
Sp-99
Su-99
Fa-99
Sp-00
Su-00

Musim
Semi
Panas
Gugur
Semi
Panas

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

431

Variabilitas dan Distribusi Spasial...

2.2. Pengumpulan Data Lapangan


Dalam
pengumpulan
data
lapangan, alat yang digunakan berupaGPS
(Global Positioning System), ac-9 in-situ
Spectrophotometer,
dan
debubbler.
Sample air laut permukaan (kedalaman 3
m) dipompa dengan laju 10 liter/menit
dari bagian depan kapal (hull) dan
dialirkan kedalam tabung debubbler
(tabung penghilang gas tercampur dalam
air laut) di laboratorium basah dalam
kapal. Air laut dalam debubbler disimpan
selama sekitar 1 menit (air laut sudah
bebas dari gas tercampur) kemudian dari
bagian bawah tabung debubbler dialirkan
dengan menggunakan selang yang lebih
kecil ke sensor absorpsi dan atenuasi
instrumen ac-9 dengan laju air 1
liter/menit.
Instrument
ac-9
yang
dialiri air laut dan menyala disambungkan
dengan lap top yang sudah diatur
settingannya sehingga dapat melakukan
perekaman data setiap 5 detik secara
terus-menerus (continue). Data hasil
pengukuran disimpan setiap 6 atau 8 jam
untuk menghindari ukuran file yang tidak
terlalu besar. Pembersihan tabung sensor
absorpsi dan atenuasi instrumen ac-9
dilakukan paling tidak sekali dalam sehari
untuk
menghilangkan
kemungkinan
bakteri, jamur, atau phytoplankton yang
lengket dalam tabung tersebut.
Pengambilan data absorpsi dan
atenuasi dengan mengunakan air murni
(Milli-Q) untuk tujuan koreksi alat ac-9
dilakukan di laboratorium sebelum
pengambilan
data
di
lapangan.
Pengukuran data absorpsi dan atenuasi
dengan menggunakan air murni (Milli-Q)
juga dilakukan beberapa kali selama
pengambilan data di lapangan sebagai
bagian dari koreksi alat ac-9.
2.3. Pengolahan Data
Proses analisis data dilakukan
pertama kali dengan melakukan proses
filtering dengan metode moving average
terhadap seluruh data absorpsi dan

432

atenuasi dari instrumen ac-9 baik data air


murni (Milli-Q) maupun data lapangan.
Proses ini dilakukan untuk menghilangkan data extrim yang mungkin terjadi
akibat masih adanya gas terlarut dalam air
laut yang dialirkan kedalam tabung ac-9
ataupun gangguan lain terhadap alat ac-9.
Setelah proses filtering selesai, data
absorpsi dan atenuasi dikoreksi dengan
menggunakan data absorpsi dan atenuasi
air murni (Milli-Q) dengan persamaan
berikut:
(1a)
(1b)
dimana: am dan cm adalah absopsi dan
atenuasi hasil koreksi, at dan ct adalah
total absorpsi dan atenuasi sampel, awr dan
cwr adalah absorpsi dan atenuasi dari air
murni.
Khusus untuk data absorpsi masih
dilakukan koreksi akibat kemungkinan
masih
ditemukannya
error
akibat
hamburan yang masih ditermukan pada
tabung absorpsi dengan menggunakan
motode koreksi scattering error dengan
persamaan berikut (Barnard, 2003)
(2)
dimana: a() adalah absorpsi hasil koreksi
(scattering correction), am() adalah
absorpsi hasil koreksi nilai air murni,
am(ref) adalah absorpsi hasil koreksi nilai
air murni panjang gelombang near
infrared (715 nm)
Perhitungan
koefisien
total
hamburan (scattering) dilakukan dengan
menggunakan rumus berikut:

dimana: b adalah koefisien total hamburan


(scattering), c adalah koefisien atenuasi
dan a adalah koefisien absorpsi

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Untung et al.

Untuk mengetahui perbedaan ratarata koefisien total hamburan antar musim


dan lokasi dilakuan uji statistik KruskalWallis
(Walpole,
1993)
dengan
menggunakan rumus berikut:

dimana: H adalah nilai uji Kruskal-Wallis,


n adalah jumlah sampel, c adalah jumlah
kelas, R adalah jumlah rangking pada
sampel ke-i.
III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Variabilitas Koefisien Total


Hamburan
Nilai rata-rata koefisien total
hamburan di perairan NEGOM berkisar
antara 0,18 (+0,13) m-1 (=412 nm,
musim gugur_99) sampai 0,73(+0,41) m-1
(=510 nm, musim panas-99) (Tabel 2).
Hasil ini menunjukkan bahwa koefisien
total hamburan secara umum lebih besar
pada gelombang hijau sebagai akibat
pengaruh phytoplankton. Koefisien total
hamburan pada masing-masing panjang
gelombang secara umum lebih tinggi pada
musim panas dibandingkan dengan musim
semi dan gugur pada tahun yang sama dan
kisaran nilai rata-rata paling tinggi terjadi
pada musim panas tahun 1999 yaitu
0,50(+0,31) m-1 (=412 nm (biru)) dan

0,73(+0,41) m-1 (=510 nm (hijau)) (Tabel


2).
Relatif tingginya koefisien total
hamburan pada musim panas khususnya
pada panjang gelombang hijau disebabkan
oleh adanya pengaruh angin barat dan
barat laut yang menyebabkan arus
permukaan menyeret air tawar dan
partikel lainnya ke arah timur dan
tenggara muara sungai Mississippi yang
kemudain difasilitasi oleh Loop Current
untuk menyeret air tawar dan partikel
lainnya tersebut ke laut lepas ke arah
timur/tenggara muara Mississippiyang
mengakibatkan
terjadinya
blooming
fitoplankton di laut lepas (offshore) pada
musim ini dan tidak terjadi pada musim
lainnya (Nababan et al., 2011; Nababan,
2005; Walsh et al., 2003).
3.2. Distribusi Spasial Koefisien Total
Hamburan
Pada musim semi 1999, distribusi
nilai koefisien total hamburan pada
gelombang biru, hijau, dan merah
maksimum ditemukan di sekitar muara
sungai Mississippi sementara pada musim
semi 2000 nilai koefisien total hamburan
gelombang biru, hijau, dan merah
maksimum ditemukan di muara sungai
Mobile (Gambar 2 dan 3). Hal ini
disebabkan pada musim semi 1999,
pengambilan data lapangan dilakukan

Tabel 2. Nilai rata-rata (simpangan deviasi) koefisien total hamburan masing-masing


musim.
Panjang gelombang ()
Musim

440

488

Semi_99

0,43(0,42)

412

0,48(0,42)

0,50(0,43)

0,52(0,48)

510

0,50(0,47)

532

0,48(0,45)

555

0,47(0,41)

650

0,45(0,.35)

676

0,35(0,31)

Panas_99

0,58(0.44)

0,65(0.42)

0,69(0,41)

0,73(0,41)

0,69(0,40)

0,68(0,39)

0,65(0,36)

0,63(0.,35)

0,50(0,31)

Gugur_99

0,18(0,13)

0,29(0,28)

0,36(0,24)

0,43(0,23)

0,39(0,23)

0,37(0,30)

0,37(0,23)

0,36(0,31)

0,28(0,10)

Semi_00

0,35(0,10)

0,34(0,10)

0,32(0,04)

0,32(0,02)

0,31(0,21)

0,31(0,30)

0,28(0,25)

0,27(0,23)

0,24(0,20)

Panas_00

0,42(0,36)

0,39(0,32)

0,44(0,38)

0,44(0,26)

0,34(0,32)

0,33(0,32)

0,29(0,26)

0,27(0,24)

0,27(0,22)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

715

433

Variabilitas dan Distribusi Spasial...

pada bulan Mei yang lebih dekat ke


musim summer dibandingkan pengambilan data lapangan pada musim semi
2000 yang dilakukan pada bulan April.
Arah angin permukaan pada bulan Mei
berasal dari barat dan timur laut
sedangkan arah angin pada bulan April
berasal dari timur dan timur laut
(Nababan, 2005). Pergerakan angin ini
mengakibatkan arus permukaan pada

bulan Mei bergerak ke arah timur dan


tenggara yang menyeret debit air tawar
dari Sungai Mississippi bergerak ke arah
timur atau tenggara dan sebaliknya pada
bulan April arus permukaan cenderung
bergerak ke arah barah dan barat daya dan
mengakibatkan tidak terlihatnya intrusi
sungai Mississippi ke arah timur atau
tenggara dari muara sungai Mississippi
(Nababan et al., 2011; Walsh et al., 2003).

Gambar 2. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim semi 1999 di wilayah perairan NEGOM.

Gambar 3. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim semi 2000 di wilayah perairan NEGOM.

434

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Untung et al.

Secara umum, distribusi spasial


koefi-sien total hamburan pada saat
musim semi 1999 dan 2000 cenderung
lebih tinggi di perai-ran pesisir khususnya
dekat muara sungai dibandingkan daerah
offshore. Koefisien total hamburan yang
tinggi di daerah pesisir ini akibat dari
pengaruh debit air sungai yang membawa
banyak nutrien dan mengakibatkan
adanya blooming fitoplankton di daerah
pesisir khususnya dekat muara sungai.

Pada musim panas, sebaran


koefisien total hamburan relatif lebih
tinggi di daerah pesisir khususnya dekat
muara sungai dan penyebaran ini sampai
ke daerah offshore (Gambar 4 dan 5).
Pada musim panas 1999, koefisien total
hamburan yang relatif tinggi di daerah
offshore lebih luas dibandingkan pada
musim panas tahun 2000 (Gambar 4 dan
5). Hal ini disebabkan oleh karena debit
sungai Mississippi pada musim panas

Gambar 4. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim panas 1999 di wilayah perairan NEGOM.

Gambar 5. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim panas 2000 di wilayah perairan NEGOM.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

435

Variabilitas dan Distribusi Spasial...

1999 jauh lebih tinggi dibandingkan pada


musim panas 2000 serta ukuran Loop
Current yang menyeret aliran sungai
Mississippi ke arah offshore pada musim
panas 1999 lebih besar dibandingkan pada
musim dingin 2000 (Nababan, 2005).
Pada musim gugur 1999, distribusi
koefisien total hamburan hanya terlihat
relatif tinggi pada muara sungai
Mississippi, Mobile, dan Apalachicola dan
sangat rendah pada daerah offshore
(Gambar 6). Hasil ini mengindikasikan
bahwa aliran sungai dari sungai-sungai

yang bermuara ke NEGOM tidak tersebar


ke arah offshore dan mungkin juga karena
debit air sungai pada musim ini relatif
lebih rendah dibandingkan pada musim
lainnya (Nababan, 2005).
3.3. Variabilitas Antar Musim
Secara umum koefisien total
hamburan di perairan timur laut Teluk
Meksiko antar musim memiliki pola dan
nilai rata-rata yang berbeda nyata
(berbeda sangat nyata pada =0,01 Uji
Kruskall-Wallis; Gambar 7).

Gambar 6. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim gugur 1999 di wilayah perairan NEGOM.

Gambar 7. Perbandingan koefisien total hamburan antar musim di perairan NEGOM.

436

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Untung et al.

Perbedaan koefisien total hamburan dalam pola dan nilai rata-rata


disebabkan oleh adanya perbedaan arah
dan kecepatan angin arus, posisi arus
Loop, dan debit air sungai setiap musim
(Nababan et al., 2011; Nababan, 2005;
Walsh et al., 2003). Pada Gambar 7 juga
terlihat bahwa musim panas 1999
memiliki nilai rata-rata koefisien total
hamburan
yang
paling
tinggi
dibandingkan musim lainnya (Gambar 7).
Hal ini terjadi karena posisi arus Loop
lebih dekat ke muara sungai Mississippi
dan ukuran arus Loop ini lebih besar dari
musim lainnya sehingga membantu
penyebaran air tawar yang kaya nutrien
dan materi tersuspensi ke laut lepas lebih

jauh (Nababan et al., 2011). Berdasarkan


perhitungan statistik dengan menggunakan uji beda nyata menunjukan bahwa
variabilitas distribusi koefisien total
hamburan yang diperoleh setiap wilayah
pada masing-masing musim berbeda nyata
(berbeda sangat nyata pada =0,01 Uji
Kruskall-Wallis; Gambar 8). Hasil juga
menunjukkan bahwa nilai rata-rata koefisien total hamburan secara umum lebih
tinggi di perairan pesisir dibandingkan
dengan perairan offshore (Gambar 8). Hal
ini dikarenakan nutrien, bahan organik,
dan bahan tersuspensi lebih besar
terdistribusi di perairan pesisir (Newall
dan Fisher, 2002; Nababan, 2005; Son et
al., 2012).

Gambar 8. Variabilitas koefisien total hamburan antar musim tiap wilayah pengamatan.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

437

Variabilitas dan Distribusi Spasial...

IV. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Nilai rata-rata koefisien total


hamburan di perairan NEGOM berkisar
antara 0,18(+0,13) m-1 pada panjang
gelombang biru (=412 nm) sampai
0,73(+0,41) m-1 pada panjang gelombang
hijau (=510 nm).
Nilai hamburan
tertinggi berada pada panjang gelombang
hijau menandakan pengaruh phytoplankton sangat dominan.
Secara umum, koefisien total
hamburan (scattering) relatif tinggi
ditemui di perairan pesisir khususnya
dekat muara sungai setiap musim dan
relatif rendah di perairan offshore kecuali
pada musim panas koefisien total
hamburan yang relatif tinggi juga ditemui
pada perairan offshore. Koefisien total
hamburan yang relatif tinggi pada musim
panas di perairan offshore disebabkan oleh
adanya intrusi aliran sungai Mississippi ke
arah offshore yang mengandung banyak
materi tersuspensi dan nutrient sehingga
mengakibatkan blooming fitoplankton di
perairan offshore dan meningkatkan
koefisien total hamburan.
Secara umum, perbedaan musim
juga
berpengaruh
nyata
terhadap
variabilitas dan distribusi spasial koefisien
total hamburan di perairan timur laut
Teluk Meksiko. Faktor angin, arus, dan
posisi Loop Current sangat mempengaruhi
distribusi dan variabilitas koefisien total
hamburan di timur laut Teluk Meksiko.

Bunge, L., J. Ochoa, A. Badan, J.


Candela, and J. Sheinbaum. 2002.
Deep flows in the Yucatan
Channel and their relation to
changes in the Loop Current
extension. J. of Geophysical
Research, 107(12):26-33
Capone, A., T. Digaetano, A. Grimaldi, R.
Habel, D.L. Presti, E. Migneco, R.
Masullo, F. Moro, M. Petruccetti,
C. Petta, P. Piattelli, N. Randazzo,
G. Riccobene, E. Salusti, P.
Sapienza, M. Sedita, L. Trasatti, L.
Ursella. 2002. Measurements of
light transmission in deep sea with
the AC9 Trasmissometer. Nuclear
Instruments and Methods in
Physics Research A.,487:423434.
Del Castillo, C.E., F. Gilbes, P.G. Coble,
and F.E. Muller-Karger. 2000. On
the dispersal of riverine colored
dissolved organic matter over the
West Florida Shelf, Limnol.
Oceanogr., 45(6):1425-1432.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih diberikan
kepada Prof. Dr. Frank E. Muller-Karger,
Direktur Institute of Marine Remote
Sensing, University of South Florida, St.
Petersburg, Florida dan Prof. Dr.
Chuanmin Hu, College of Marine Science,
University of South Florida yang telah
memberikan fasilitas dan bimbingan
dalam pengambilan data lapangan dalam
pelaksanaan penelitian ini.

438

Gilbes, F., C. Thomas, J.J. Walsh, and F.E.


Muller-Karger. 1996. An episodic
chlorophyll-a plume on the west
Florida shelf. Continental Shelf Res.,
16(9):1201-1224.

Guo,

L., P.H. Santschi, and K.W.


Warnken. 1995.
Dynamics of
dissolved organic carbon (DOC) in
oceanic environments, Limnol.
Oceanogr., 40(8):1392-1403.

He, R. and R.H. Weisberg. 2002. West


Florida
shelf
circulation
and
temperature budget for the 1999
spring transition. Continental Shelf
Res., 22:719-748.
He, R. and R.H. Weisberg. 2003. West
Florida
shelf
circulation
and
temperature budget for the 1998 fall
transition. Continental Shelf Res.,
23:777-800.

Kirk, J.T.O. 1994. Light and photosynthesis in aquatic ecosystems.


Cambridge Univ. Press. UK. 500p.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Untung et al.

McKee, D., and A. Cunningham. 2006.


Identification and characterisation
of two optical water types in the
Irish Sea from in situ inherent
optical properties and seawater
constituents.
Mobley, C.D. 1994. Light and water:
radiative transfer in natural waters.
Academic Press, Inc., Sacramento.
579p
Morel, A., B. Gentili, H. Claustre, M.
Babin, A. Bricaud, J.P. Ras, and F.
Tieche. 2007. Optical properties of
the clearest natural waters.
Laboratoired Oceanographie de
Villefranche.
Muller-Karger, F.E., J.J. Walsh, R.H. Evans,
and M.B. Meyers. 1991. On the
seasonal phytoplankton concentration
and sea surface temperature cycles of
the Gulf of Mexico as determined by
satellites. J. Geophys. Res., 96(C7):
12645-12665.

Muller-Karger, F.E. 2000. The spring


1998 Northeastern Gulf of Mexico
(NEGOM) cold water event:
remote sensing evidence for
upwelling and for eastward
advection of Mississippi water (or:
how an errant Loop Current
Anticyclone took the NEGOM for
a spin). Gulf of Mex. Sci., 18(1):
55-67.
Nababan, B. 2005. Bio-optical variability
of surface waters in the
northeastern Gulf of Mexico.
Dissertation. University of South
Florida. St. Petersburg. 159p.
Nababan, B., F.E. Muller-Karger, C. Hu,
and D.C. Biggs. 2011. Chlorophyll
variability in the northeastern gulf
of mexico. International J. of
Remote Sensing, 32:1-19.
Newall, E.J.R., and T.R. Fisher. 2002.
Production
of
chromophoric
dissolved
organic
matter
fluorescence in marine and
estuarine
enviroments.
An

investigation into the role of


phytoplankton. 7-21pp.
Pegau, W.S., J.R.V. Zaneveld, and J.L.
Mueller. 2003. Inherent optical
property measurement concepts:
physical principles and instruments. College of Oceanographic
and Atmospheric Sciences.
Pennock, J.R., J.N. Boyer, J.A. HerreraSilveira, R.L. Iverson, T.E.
Whitledge, B. Mortazavi, and F.A.
Comin. 1999. Nutrient behavior
and phytoplankton production in
Gulf of Mexico estuaries. In: T.S.
Bianchi, J.R. Pennock, and R.R.
Twilley (eds.). Biogeochemistry of
Gulf of Mexico estuaries. John
Wiley and Sons, Inc. New York.
109-162pp.
Son, Y.B., W.D. Gardner, M.J.
Richardson, J. Ishizaka, J.H. Ryu,
S.H. Kim, and S.H. Lee. 2012.
Tracing offshore low-salinity
plumes in the Northeastern Gulf of
Mexico during the summer season
by use of multispectral remotesensing
data.
Oceanographic
Society of Japan and Springer.
Sullivan, J.M., M.S Twardowski, J.R.V.
Zaneveld, C.M. Moore, A.H.
Barnard, P.L. Donaghay, and B.
Rhoades. 2006. Hyperspectral
temperature and salt dependencies
of absorption by water and heavy
water in the 400 - 750 nm spectral
range. Appl. Opt., 45:5294-5309.
Turner, R. E. and N. N. Rabalais. 1991.
Changes in Mississippi River
quality this century. Bioscience,
3:140-147.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika.
Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 507hlm.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

439

Variabilitas dan Distribusi Spasial...

Walsh, J.J., R.H. Weisberg, D.A. Dieterle,


R. He, B.P. Darrow, J.K. Jolliff,
K.M. Lester, G.A. Vargo, G.J.
Kirkpatrick, K.A. Fanning, T.T.
Sutton, A.E. Jochens, D.C. Biggs,
B. Nababan, C. Hu, and F.E.
Muller-Karger.
2003.
Phytoplankton response to intrusions of
slope water on the West Florida
Shelf: Models and observations, J.
Geophys. Res., 108(C6):31903212.

440

Weisberg, R. H., B. D. Black, and Z. Li.


2000. An upwelling case study of
Florida's west coast, J. Geophys.
Res., 105(C5):11,459-11,469.
Diterima : 25 Juli 2013
Direview : 26 Desember 2013
Disetujui : 30 Desember 2013

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 441-452, Desember 2013

DETEKSI DAN KARAKTERISASI AKUSTIK SEDIMEN DASAR LAUT


DENGAN TEKNOLOGI SEISMIK DANGKAL DI PERAIRAN
RAMBAT, BANGKA BELITUNG
ACOUSTIC DETECTION AND CHARACTERIZATION OF MARINE SEDIMENT
WITH SHALLOW SEISMIC TECHNOLOGY IN RAMBAT WATERS,
BANGKA BELITUNG
Haqqu Ramdhani1*, Henry M. Manik2, dan Susilohadi3
Program Studi Teknologi Kelautan, Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor
*
E-mail: haqquramdhani@gmail.com
2
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelauatan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
3
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut, Bandung
1

ABSTRACT
High resolution of marine seismic reflection seismic were used to detect the layers of
seafloor sediment and to interpret the seismic data geologically. The objectives of this
study weres to detect and to characterize the seafloor sediment in the Rambat area,
West Bangka, Bangka Belitung. Acquisition data was held on 10-24 August 2012
located between 105.100'00" - 105.500'00 " N and 1.700'00"-1.9 00'00" W. Several
methods used to process the data were geometry processing, band pass filter, predictive
deconvolution, and Autocoralation Gain Control (AGC) in order to reduce the
multiple noise and to ease the data interpretation. Seismic cross section found in Cross
Rambat (CRMBT) line 11 exhibited sedimentation process of the sea floor which rocky
substrates. The process was assumed to be occurred due to legal and illegal mining
activities for long period of time.
Keywords: seismic, acoustic, sediment, band pass filter, deconvolution, noise
ABSTRAK
Seismik refleksi dasar yang beresolusi tinggi digunakan untuk mendeteksi lapisanlapisan sedimen dasar laut dan memudahkan dalam menginterpretasi data seismik
secara geologi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi
sedimen dasar laut di daerah Rambat, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung.
Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 - 24 Agustus 2012 pada koordinat
105.10000 105.50000 LU dan 1.700001.90000 BB. Pemrosesan data
menggunakan beberapa metode seperti Geometry processing, Band pass filter,
Predictive deconvolution, dan Autocoralation Gain Control (AGC) untuk mengurangi
noise dan multiple untuk memudahkan interpretasi data. Penampang seismik yang
terdapat pada Cross Rambat (CRMBT) line 11 menunjukan adanya proses sedimentasi
yang menutupi dasar laut yang bersubstrat batuan, proses sedimentasi ini telah lama
terjadi yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan secara legal maupun illegal.
Kata kunci: seismik, akustik, sedimen, band pass filter, deconvolution, noise

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

441

Deteksi dan Karakterisasi Akustik...

I. PENDAHULUAN
Untuk mengetahui sumber daya
mineral dan energi dibutuhkan suatu ilmu
dan teknologi atau instrumen yang dapat
mengekplorasi sumber daya mineral dan
energi yang ada di dasar laut, yaitu
metode
seismik.
Metode
seismik
merupakan salah satu metode eksplorasi
yang didasarkan pada pengukuran respon
gelombang suara yang menjalar pada
suatu
medium
dan
kemudian
didirefleksikan
dan
direfraksikan
sepanjang perbedaan lapisan sedimen atau
batas-batas batuan. Metode seismik
refleksi dibagi menjadi dua yaitu metode
seismik dangkal dan metode seismik
dalam. Seismik dangkal (shallow seismik
reflection) biasanya diaplikasikan untuk
eksplorasi batubara dan bahan tambang
lainnya. Sedangkan seismik dalam
digunakan untuk eksplorasi daerah
prospek hidrokarbon (minyak dan gas
bumi). Kedua kelompok ini menuntut
resolusi dan akurasi yang berbeda dan
teknik lapangan yang berbeda (Hasanudin,
2005).
Kebutuhan data geofisika kelautan
memperlihatkan kecenderungan yang
meningkat akibat semakin maraknya
kegiatan eksplorasi sumber daya mineral
dan energi di laut. Salah satu metode yang
cukup handal untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah metode seismik refleksi.
Metode ini memiliki keakuratan yang
tinggi untuk mengetahui karakteristik
dasar laut, seperti ketebalan dan volume
endapan sedimen permukaan laut, struktur
dasar laut, dan kedalaman suatu perairan
(Susilawati, 2004). Kemampuan dasar dari
metode ini menyajikan informasi resolusi
tinggi dengan pengoperasian yang relatif
sederhana, sehingga metode ini sering
digunakan pada penelitian geologi
kelautan.
Aktivitas penambangan timah di
Indonesia telah berlangsung lebih dari 200
tahun, dengan jumlah cadangan yang
cukup besar terutama di daerah Bangka

442

Belitung. Potensi timah yang berlimpah


itu belum diatur secara optimal dan
banyak
penambang
illegal
yang
sembarangan menambang timah tanpa
mengetahui titik yang harus mereka
gunakan. Oleh karena itu dengan adanya
peneitian ini diharapkan para penambang
illegal didaerah rambat tidak sembarangan
membuat tambang yang mengakibatkan
sedimentasi laut serta mengetahui titik
potensi tambang timah.
Oleh karena itu penelitian ini
menggunakan seismik refleksi dangkal
(shallow seismic reflection), karena
menitik beratkan kepada resolusi tinggi
untuk dapat melihat lapisan-lapisan
sedimen dasar laut dan memudahkan
untuk menginterpretasikan data seismik
refleksi secara geologi untuk mendeteksi
dan mengkarakterisasi sedimen dasar laut
dengan teknologi seismik di daerah
Rambat, Bangka Belitung. Tujuan dari
penelitian ini ialah untuk deteksi dan
karakterisasi akustik sedimen dasar laut
dengan teknologi seismik dangkal di
Perairan Rambat, Bangka Belitung. Untuk
mencapai tujuan khusus tersebut maka
dikembangkan beberapa tujuan khusus,
diantaranya: menganalisis karakterisitik
sinyal akustik setiap lapisan sedimen,
menganalisis proses terjadinya batuan
dalam
sedimen
untuk
pendugaan
kandungan mineral, menginterpretasi data
seismik , dan memetakan sedimen dasar
laut.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 - 24 Agustus 2012 di
daerah Rambat,Kabupaten Bangka Barat,
Bangka Belitung. Lokasi penelitian berada
pada
koordinat
105.10000

105.50000 LU dan 1.70000


1.90000 BB dengan jumlah keseluruhan 360 km yang terdiri dari 14 Cross
Line dan 19 Straight Line (Gambar 1).

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramdhani et al.

Gambar 1. Peta alur pengambilan data (sumber: OC Enviro Consultant).


Sebagian besar lokasi lokasi penelitian
merupakan daerah laut dangkal yang
merupakan habitat terumbu karang yang
sudah
mulai
terdegradasi
akibat
sedimentasi karena adanya pengeboran
dasar laut oleh masyarakat sekitar dan
perusahaan
pertambangan
milik
pemerintah maupun swasta.
Secara geografis posisi Kabupaten
Bangka Barat terletak pada ujung barat
dari Pulau Bangka yang membentuk
semenanjung, dengan batas-batas sebagai
berikut: sebelah utara, berbatasan dengan
Laut Natuna; sebelah selatan, berbatasan
dengan Selat Bangka; sebelah timur,
berbatasan dengan Kabupaten Bangka;
sebelah barat, berbatasan dengan Selat
Bangka.
Secara topografi wilayah Kabupaten Bangka Barat terdiri dari rawa-rawa,
daratan rendah, bukit-bukit dengan
puncak bukit terdapat hutan lebat,
sedangkan pada daerah rawa terdapat
hutan bakau dengan rendah daerah pantai
landai berpasir. Sebagai bagian dari
daratan maka Kabupaten Bangka Barat

berikilim sama seperti kabupaten lain di


Pulau Bangka yakni beriklim tropis.
2.2. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam
survei seismik dangkal ini menggunakan
peralatan geofisika kelautan seperti
Sparker Array, Hydrophone, Echosounder, Capasitor Bank dan Power
Supply, dan beberapa peralatan penunjang
lainnya yang terdiri atas Genset 1000Kva,
Geset 10000 KVa, GPS, DGPS dan
Adaptor.
2.3. Akuisisi Data Seismik
Pendugaan
seismik
pantul
dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan
geologi bawah dasar laut dalam bentuk
penampang seismik yang bersifat menerus. Metode ini merupakan metode yang
dinamis dengan memanfaatkan hasil
pantulan gelom-bang akustik oleh bidang
pantul pada bidang batas antara lapisan
sedimen

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

443

MARINE RADIO

POWER
SUPPLY

BOAT GROUND

GARMIN
ECHOSOUNDER

C-NAV ANTENA

12 meter
ECHOSOUNDER
C-NAV
ANTENA

GROUND

AC SOURCE

BOAT OFFSET

TO SPARKER

AC

DATA FLOW

LEGEND

0.95 meter

Deteksi dan Karakterisasi Akustik...

GENSET
10.000 kVA

GENSET
1000 kVA

BOAT
TERMINAL
AC

KEMUDI
KAPAL

Garmin 420s
GPS
DATA LOGGER
LAPTOP

C-NAV
RECEIVER UNIT

TO SPARKER

THERMAL
PRINTER

BAND PASS
FILTER

CAPACITOR
BANK

FROM HIDROPHONE

Gambar 2. Konfigurasi alat pada kapal survey.


yang satu dengan yang lainnya akibat
adanya perbedaan densitas dan cepat
rambat gelombang akustik.
Secara umum kegiatan akuisisi
data seismik dimulai dengan membuat
sumber getar buatan yang berupa ledakan
oleh sparker, kemudian mendeteksi sinyal
pantulan
dengan
hydrophone
dan
merekamnya pada suatu alat perekam.
Kedua
peralatan
tersebut
ditarik
dibelakang kapal dengan jarak aman
sehingga nantinya data yang dihasilkan
merupakan refleksi murni dari bidang
pantulnya (Gambar 2). Selain itu untuk
mendapatkan data seismik dengan resolusi
tinggi dan mempunyai kualitas yang baik,
maka diperlukan peralatan pemrosesan
sinyal
yang
ditempatkan
setelah
hydrophone dan sebelum unit perekam.
Untuk pengontrolan peledakan sparker
dapat menggunakan perangkat lunak
Sonar Weis. Perangkat lunak ini
dijalankan untuk meledakan sparker
dengan Trigger Interval 125 ms dan 250
ms. Sparker dengan energi tinggi
dikembangkan untuk survey seismik
kelautan beresolusi tinggi Sparker dapat
dioperasikan dalam pengulangan kece-

444

patan 12 shots/min dan mempunyai


banyak susunan ukuran, ketahanan, dan
stabilitas (Sun et al., 2009).
2.4. Analisis Data
2.4.1. Acoustic Impedance
Bagian energi refleksi dari sinyal
akustik terjadi pada batas, biasanya
litologi, antara lapisan kontras impedansi
akustiknya. Impedansi akustik dari
sedimen adalah hasil dari bagian terbesar
densitas dan kecepatan gelombang
kompresional medium (Evans at al.,.
1995). Refleksi dari sinyal akustik di
medium udara-air, air-sedimen, atau
sedimen-sedimen menghubungkan hasil
dari perubahan di impedansi akustik di
batas-batas medium dihitung berdasarkan
rumus berikut (Sylwester, 1983):

dimana: Z adalah acoustic impedansi dari


sedimen
v adalah kecepatan gelombang di
suatu sedimen
adalah densitas suatu sedimen

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramdhani et al.

Rasio amplitudo gelombang yang


dipantulkan dengan amplitudo gelombang
insiden untuk insiden bidang gelombang
pada batas antara dua media yang
memiliki impedansi akustik yang berbeda
adalah koefisien refleksi Rayleigh. Pada
kejadian normal Koefisien Refleksi
Rayleigh R diberikan dengan (Sylwester,
1983):

dimana R adalah koefisien refleksi


Rayleigh, Z1 adalah acoustic impedance,
di atas medium suatu sedimen, Z2 adalah
acoustic impedance, di bawah medium
suatu sedimen
Sylwester (1983) menyatakan
bahwa kekuatan sinyal yang dipantulkan
tergantung pada kontras impedansi akustik
(R) di seluruh permukaan bidang pantul.
Dimana kontras antara bahan yang
berdekatan besar, seperti pada antarmuka
air-udara, sebagian besar energi insiden
akan terpantulkan. Kontras antarmuka
pada sedimen-sedimen bervariasi dan
biasanya berhubungan dengan perubahan
litologi.
Profil
seismik
refleksi
menyediakan gambar impedansi akustik
variasi bawah permukaan relative yang

menunjukkan distribusi interface antara


lapisan dengan sifat akustik yang berbeda.
Akustik impedansi adalah produk dari
kerapatan
batuan
dan
kecepatan
gelombang
kompresional
(P-wave)
(Huuse and Feary, 2005).
Untuk
mempertegas
bentuk
impedansi akustik karena itu koefisien
refleksi merambat pada sebuah medium,
adalah positif ketika gelombang bergerak
dari bahan impedansi rendah ke bahan
impedansi yang lebih tinggi, dan dalam
hal ini fase dari sinyal yang dipantulkan
tetap tidak berubah. Ini adalah situasi
umum di urutan sedimen dimana
impedansi
(yang
tergantung
pada
kepadatan litologi) meningkat dengan
kedalaman endapan.
2.4.2. Bidang Gelombang Pantul pada
Sedimen Dasar
Nilai-nilai dari kecepatan dan
kepadatan di dalam air dan dalam sedimen
paling atas, diketahui. Dapat disumsikan
bahwa sedimen bertindak sebagai cairan,
dan oleh karena itu kita menggunakan
persamaan bagian sebelumnya untuk
menghitung koefisien refleksi dan
pergeseran fasa, sebagai fungsi dari sudut
dating (Lurton, 2002) (Gambar 3).

Gambar 3. Struktur air dan sedimen (sumber: Lurton, 2002).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

445

Deteksi dan Karakterisasi Akustik...

2.4.3. Frequency Filtering


Menurut Yilmaz (1987) menjelaskan Frekuensi filtering dapat berupa
band-pass, band-reject, high-pass (low
cut), atau low-pass (hight-cut) filter.
Semua filter ini didasarkan pada prinsip
konstruksi yang sama dari sebuah wavelet
phase nol dengan spektrum amplitudo
yang memenuhi salah satu dari empat
spesifikasi.
Band-pass filter merupakan yang
paling sering digunakan, karena biasanya
digunakan untuk menghilangkan beberapa
jejak noise frekuensi rendah, seperti
ground roll, dan beberapa ambient noise
frekuensi tinggi. Energi seismik refleksi
dengan sumber suara sparker biasanya
terbatas pada bandwidth sekitar 10-70 Hz,
dengan frekuensi dominan sekitar 30 Hz.
Band-pass filter dilakukan pada
berbagai tahap dalam pengolahan data.
Jika diperlukan, dapat dilakukan sebelum
dekonvolusi untuk menekan energi sisa

ground-roll dan ambien noise frekuensi


tinggi yang tidak akan mencemari
autokorelasi sinyal.
Band pass filter adalah filter yang
hanya melewatkan sinyal-sinyal yang
frekuensinya tercantum dalam pita
frekuensi atau pass band tertentu.
Frekuensi dari sinyal yang berada
dibawah pita frekuensi maupun diatas,
tidak dapat dilewatkan atau diredam oleh
rangkaian band pass filter. Menurut
Shenoi (2006) Spesifikasi normal dari
sebuah band pass filter H (s) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 6 adalah
frekuensi cutoff 1 dan 2, besarnya nilai
maksimum di bandpass antara frekuensi
cutoff, atenyasi maksimum di passband ini
atau magnitudo minimum pada frekuensi
cutoff 1 dan 2, dan s frekuensi ( =
3 atau 4) di stopband di mana atenuasi
minimum atau magnitud maksimum
besarnya ditentukan.

Gambar 4. Jenis spesifikasi dari bandpass filter.

446

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramdhani et al.

2.5. Pengolahan Data


Dalam pengolahan data seismik
untuk penelitian ini ada beberapa tahapan
perangkat lunak yang digunakan adalah
Seisee, CoGeo, Petrel,
Matlab dan
Microsoft
Exel
digunakan
untuk
mengevaluasi dan menganalisis data serta
Seise digunakan untuk melihat tampilan
digital data seismik dan mengekstraknya
dalam Microsoft Exel. Beberapa tahapan
pengolahan data seismik selengkapnya
disajikan pada Gambar 5.
Pada tahapan perosesan data ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan
untuk mendukung penginterpretasian data
seismik. Pertama geometri, dilakukan
untuk memasukkan koordinat pada saat
penembakan sinyal seismik, yang
berfungsi untuk mengetahui letak dan
posisi penembakan dengan menggunakan
GPS. Kedua filtering, pada tahap ini
menggunakan band pass filter yang
berfungsi untuk membuang sinyal yang
tidak diinginkan (noise) dan menekan
sinyal dari ground serta frekuensi tinggi
yang dapat mengganggu sinyal yang
diinginkan. Ketiga predictive deconvolution, tahapan ini digunakan untuk

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sumber sparker digunakan untuk
menampilkan stratigrafi sedimen terkonsolidasi dalam rangka untuk memberikan
data informasi tentang struktur sedimen
dasar laut dangkal. Data yang terekam
oleh streamer merupakan kumpulan
banyak trace hasil tembakan dari sumber
seismik. Data tersebut menghasilkan
penampang seismic single channel, yang
kemudian dilakukan pengolahan dengan
beberapa metode untuk menghasilkan
penampang seismik dengan resolusi tinggi
agar dapat diinterpresikan.

RAW
Data

Processing
Data

Filtering

Deconvolusi

Akuisis data

Geometri

menekan wavelet dasar dalam perekaman


seismogram dan melemahkan reverbrasi
dan short path multiple. Oleh karena itu,
dekonvolusi meningkatkan resolusi dan
menghasilkan penampang seismik yang
lebih diinterpretasi. Keempat AGC
(Autocorelation Gain Control) digunakan
untuk menguatkan sinyal yang melemah
akibat dekonvolusi sehingga penampang
seismik dapat diinterpretasikan (Gambar
5).

AGC

Interpretasi Data

Geologi

Akustik

Gambar 5. Diagram pengolahan data.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

447

Deteksi dan Karakterisasi Akustik...

Sinyal seismik yang merambat dalam


medium air laut akan mengalami beberapa
pengurangan energi yang di akibatkan
atenuasi dan absorbsi yang terjadi di
medium air dan perambatan di sedimen
dasar , dimana energi gelombang seismik
yang paling besar ketika ditembakkan
oleh sumber seismik dan mengenai suatu
objek dasar laut (Gambar 6a). Semakin
dalam perambatan gelombang seismik ke
suatu sedimen maka energinya semakin
kecil yang diakibatkan adanya absorbsi
dan atenuasi oleh sedimen, penggunaaan
frekuensi tinggi juga mempengaruhi
energi
gelombang
seismik
saat
perambatan ke suatu sedimen, semakin
besar frekuensi maka penetrasi dan energi
gelombang seismik semakin kecil.
Sedangkan penggunaan frekuensi kecil

maka penetrasi dan energi gelombang


seismik akan semakin besar (Gambar 6b).
Dari hasil FFT bisa terlihat bahwa
gelombang seismik memiliki frekuensi
dominan yaitu 50 Hz 150 Hz.
Data rekaman seismik menunjukkan
(Gambar 7a) profil dasar laut yang
merupakan kumpulan sinyal suara yang
ditembakkan oleh sparker dan diterima
oleh streamer yang menghasilkan
penampang seismik. Data hasil rekaman
merupakan data mentah yang belum
melalui processing data. Dari hasil
rekaman pada line CRMBT 11
menunjukkan penampang belum bisa
diintterprestasi karena data rekaman
seismik masih menyatu dengan noise dan
banyaknya multiple yang dihasilkan oleh
rekaman (Gambar 7a).

a)

b)

Gambar 6. Grafik perambatan gelombang seismik (a) perbandingan waktu gelombang


seismik dengan amplitudo (b) FFT dari perambatan gelombang seismik yang
mengenai suatu objek.

448

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramdhani et al.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 7. Penampang seismik dangkal sebelum pemrosesan data (a), penampang


seismik setelah menggunakan metode band pass filter (100-200-4000-4600)
(b), penampang seismik setelah menggunakan metode predictive
deconvolution (c), dan penampang sesimik setelah menggunakan AGC (d).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

449

Deteksi dan Karakterisasi Akustik...

Sinyal seismik yang terekam oleh


streamer tidak semuanya hasil pantulan
dari dasar laut maupun sub bottom profile.
Pada saat gelombang suara merambat
pada medium air, adanya proses atenuasi
yang disebabkan oleh jarak ke objek dan
absorbsi oleh partikel-partikel terlarut
yang terdapat pada medium air. Partikel
tersebut
bisa
juga
memantulkan
gelombang suara karena adanya Hukum
Huygen. Hukum Huygen menyatakan
bahwa setiap titik-titik pengganggu yang
berada didepan muka gelombang utama
akan menjadi sumber bagi terbentuknya
deretan gelombang yang baru, sehingga
akan mengasilkan pantulan yang tidak
diinginkan (noise). Tahap awal, untuk
meminimalisir noise dan multiple pada
data rekaman seismik perlu melalui proses
filtering, hal ini untuk memisahkan sinyal
data yang diinginkan dengan sinyal noise.
Metode filtering yang tepat adalah band
pass filter karena metode ini membuang
sinyal yang tidak terdapat pada ambang
batas sinyal yang diinginkan (gambar 4).
Sinyal frekuensi 100-200-4000-4700 Hz
merupakan ambang batas frekuensi yang
digunakan pada band pass filter. Hasil
proses band pass filter menghasilkan
penampang yang lebih bagus dari
penampang hasil perekaman awal
(Gambar 7b). Hal ini disebabkan sinyal
noise telah berkurang akibat proses band
pass filter karena proses filtering ini
menekan energi sisa ground-roll dan
ambien noise frekuensi tinggi yang tidak
akan mengganggu autokorelasi sinyal.
Pengurangan noise penting dalam
pengolahan data seismik sejak noise
membahayakan
kita
dalam
menggambarkan interior bumi, noise
dibagi menjadi noise coherent dan
incoherent (Wang and Sacchi, 2009).
Metode band pass filter ada kekurangan
yaitu penampang hasil proses filtering
masih menunjukkan adanya multipe.
Untuk mengurangi multiple diperlukannya
proses dekonvolusi.

450

Tahap kedua, salah satu metode untuk


meminimalisir multiple yang terdapat
pada penampang seismik yaitu predictive
deconvolution. Multiple pada data seismik
terjadi akibat pengulangan refleksi akibat
terperangkapnya gelombang seismik
dalam air laut atau terperangkap dalam
lapisan batuan lunak. Gelombang yang
merambat melalui bagian bawah laut juga
dapat bereverbrasi antara reflektor yang
lebih dalam, Energi multiple lapisan
sedimen dan reverbrasi lapisan air dapat
menjadi begitu kuat sehingga kedatangan
refleksi utama dari reflektor target yang
lebih dalam menjadi benar-benar tak
terlihat (Essenreiter et al., 1998).
Sehingga multiple harus dihilangkan
karena dapat mengganggu dalam proses
interpretasi karena menghalangi reflector
utama.
Untuk seismic single-channel
metode predictive deconvolution sangat
diperlukan dikarena menekan wavelet
dasar dalam perekaman seismogram dan
melemahkan reverbrasi dan short path
multiple, tujuan dari metode ini untuk
mengembalikan bentuk gelombang dari
gelombang menurun sebelum dipengaruhi
oleh dampak earth-filter. Proses ini
mengubah tidak hanya bentuk gelombang
tetapi juga isi frekuensi asli wavelet,
dalam rangka meningkatkan resolusi dan
memudahkan identifikasi kejadian seismic
(Duchesne et al., 2007). Pada penampang
seismik hasil predictive deconvolution
adanya perbedaan gambar dengan hasil
band pass filter, multiple pada penampang
seismik berkurang (Gambar 7c). Akan
tetapi diperlukannya AGC (Auto Gain
Control) untuk meningkatkan resolusi
gambar
pada
penampang
akibat
pelemahan
sinyal
oleh
metode
dekonvolusi
(Gambar
7d).
Pada
penampang seismik yang telah melewati
processing data adanya heterogenitas
sedimen yang terdapat di dasar laut.
Heterogenitas sedimen ini terjadi akibat
faktor alam dan faktor manusia. Faktor

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Ramdhani et al.

alam yang menyebabkan heterogenitas


sedimen seperti abrasi, arus permukaan
dan gelombang yang membawa sedimen
dari daratan, sedangkan factor manusia
seperti pengeboran tambang secara illegal
maupu legal. Selain itu faktor-faktor
tersebut merupakan penyebab dari proses
sedimentasi yang terdapat di daerah
Bangka Barat, Bangka Belitung.
Gelombang suara yang merambat
di medium air laut dari sumber seismik
dan mengenai suatu objek dapat terlihat
fluktuasi amplitudonya (lihat Gambar 6a).
waktu tempuh antara 0 15 ms
merupakan gelombang suara yang berasal
dari
sparker
saat
penembakan.
Sedangkana waktu tempuh dari 17 125
ms merupakan waktu tempuh gelombang
suara yang mmerambat di dasar laut
hingga sub bottom profile. Dari fluktuasi
gelombang suara yang merambat dari
medium air hingga mengenai suatu objek
hingga sub bottom profile terjadi
pelemahan nilai amplitudo. Hal ini disebabkan adanya sudut datang gelombang
suara pada bidang pantul, pengurangan
(attenuation) dari gelom-bang suara oleh
sedimen, kehilangan energi akustik yang
disebabkan oleh penyebarannya ke segala
arah, serta kehilangan energi suara yang
disebabkan karena penyebarannya oleh
bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur. Dari hasil FFT terlihat grafik fre-kuensi gelombang seismic
yang dominan, frekuensi gelombang seismic yang ampli-tudo dominan antara
70Hz-150Hz, sedangkan frekuensi yang
lebih dari 150Hz amplitude semakin kecil.
Hal ini diakibatkan adanya proses atenuasi
energi gelombang seismik saat proses
perambatan gelombang suara (lihat
Gambar 6b).
IV. KESIMPULAN
Penampang seismik yang terdapat
pada line CRMBT 11 terlihat adanya
proses sedimentasi yang menutupi dasar

laut bersubstrat batuan dimana proses sedimentasi ini telah lama terjadi yang
diakibatkan oleh faktor alam dan kegiatan
penambangan secara legal maupun illegal
didearah tersebut. Dalam pengolahan data
seismic single channel metode band pass
filter merupakan jenis filter yang sesuai
untuk processing data karena band pass
filter dapat menapis noise. Sedangkan
predictive deconvolution untuk meminimalisir multiple permukaan sehingga
dapat mempermudah dalam interpretasi
data seismic single channel.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 2008. Ensiklopedia seismik.
http://www. Ensiklopediaseismicblogspot.com.htm.
Diunduh
tanggal 28 September 2010.
Duchesne, M.J., B. Gilles, M. Galbraith,
R. Kolesar, and R. Kuzmiski.
2007. Strategies for waveform
processing in sparker data.
Springer Science+Business Media
B.V. Publication approved by GSC
Qubec; Geological Survey of
Canada.13p.
Essenreiter, R., M. Karrenbach, and S.
Treitel. 1998. Multiple reflection
attenuation in seismic data using
backpropagation. IEEE Transactions on Signal Processing, 46:
2001-2011.
Hasanudin, M. 2005. Teknologi seismik
refleksi untuk eksplorasi minyak
dan gas. Bidang Dinamika Laut,
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,
Jakarta. Oceana, 30:1-11.
Huuse, M. and D.A. Feary. 2005. Seismic
inversion for acoustic impedance
and porosity of cenozoic coolwater carbonates on the upper
continental slope of the Great
Australian Bight. Marine Geology,
215: 123134.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

451

Deteksi dan Karakterisasi Akustik...

Lurton, X. 2002. An Introduction to


underwater acoustic. Springer,
Praxis. Chichester, UK. 347p.
Shenoi, B.A. 2006. Introduction to digital
signal processing and filter Design.
John Wiley and Sons, Inc, New
Jersey. 440p.
Sun, Y., Y. Gao, P. Yan, J. Wang, W.
Yuan, H. Wub, Y. Wang, P. Wan,
and G Zhao. 2009. Development
of a 20 kJ sparker for high
resolution ocean seismic survey.
Acta Physica Polonica, 115:10591061.
Susilawati. 2004. Seismik refraksi (dasar
teori dan akuisisi data). Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Jurusan Fisika, Universitas
Sumatera Utara. Medan. 50hlm.

452

Sylwester, R.E. 1983. Handbook of


geophysical exploration single
channel, high resolution, seismic
reflection profiling: a review of the
fundamentals
and
instrumentation. CRC Press, Boca Raton,
122p.
Wang, J. and Sacchi, M. 2009. Noise
reduction by structure and amplitude preserving multichannel
deconvolution. CSEG recorder.
127p.
Yilmaz, O. 2001. Seismic data analysis
processing, inversion, and interpretasion seismic data. Society of
Exploration Geophysicists, USA.
227p.
Diterima : 5 Desember 2013
Direview : 18 Desember 2013
Disetujui : 30 Desember 2013

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 453-463, Desember 2013

PEMETAAN HABITAT DASAR DAN ESTIMASI STOK IKAN TERUMBU


DENGAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI
SHALLOW WATER HABITAT MAPPING AND REEF FISH STOCK
ESTIMATION USING HIGH RESOLUTION SATELLITE DATA
Vincentius P. Siregar1*, Sam Wouthuyzen2, Adriani Sunuddin1,
Ari Anggoro1, dan Ade Ayu Mustika1
1
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
*
e-mail: vingar56@yahoo.com, vincents@biotrop.org
2
Pusat Penelitian Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
ABSTRACT
Shallow marine waters comprise diverse benthic types forming habitats for reef fish community,
which important for the livelihood of coastal and small island inhabitants. Satellite imagery
provide synoptic map of benthic habitat and further utilized to estimate reef fish stock. The
objective of this research was to estimate reef fish stock in complex coral reef of Pulau Pari, by
utilizing high resolution satellite imagery of the WorldView-2 in combination with field data
such as visual census of reef fish. Field survey was conducted between May-August 2013 with
160 sampling points representing four sites (north, south, west, and east). The image was analyzed and grouped into five classes of benthic habitats i.e., live coral (LC), dead coral (DC), sand
(Sa), seagrass (Sg), and mix (Mx) (combination seagrass+coral and seagrass+sand). The
overall accuracy of benthic habitat map was 78%. Field survey revealed that the highest live
coral cover (58%) was found at the north site with fish density 3.69 and 1.50 ind/m2at 3 and 10
m depth, respectively. Meanwhile, the lowest live coral cover (18%) was found at the south site
with fish density 2.79 and 2.18 ind/m2 at 3 and 10 m depth, respectively. Interpolation on fish
density data in each habitat class resulted in standing stock reef fish estimation: LC (5,340,698
ind), DC (56,254,356 ind), Sa (13,370,154 ind), Sg (1,776,195 ind) and Mx (14,557,680 ind).
Keywords: mapping, satellite imagery, benthic habitat, reef fish, stock estimation
ABSTRAK
Perairan laut dangkal memiliki beragam tipe dasar yang membentuk habitat bagi komunitas
ikan. Kompleksitas habitat menentukan kelimpahan, keanekaragaman, dan sebaran ikan. Citra
satelit digunakan untuk memetakan secara sinoptik habitat dasar perairan laut dangkal dan
selanjutnya digunakan untuk menduga stok ikan yang hidupnya berasosiasi erat dengan kondisi
terumbu karang. Tujuan penelitian ini adalah menduga stok ikan di gugusan Pulau Pari melalui
analisis citra satelit resolusi tinggi WorldView-2 dengan mengkombinasikan data hasil
pengamatan habitat dasar dan sensus visual ikan. Pengamatan lapang dilaksanakan pada bulan
MeiAugust 2013. Diperoleh 160 titik pengamatan yang mewakili empat stasiun penelitian
(Utara, Selatan, Barat, dan Timur). Kelasifikasi citra Worldview-2 menghasilkan lima kelas
habitat dasar: karang hidup (KH), karang mati (KM), pasir (Pr), lamun (Ln), dan campuran (Cn)
yang merupakan kombinasi antara lamun+karang dan lamun+pasir. Akurasi keseluruhan hasil
klasifikasi citra satelit terhadap data lapang adalah 78%. Berdasarkan survei lapang diketahui
bahwa penutupan karang hidup tertinggi (58%) ditemukan di sisi utara dengan kelimpahan 3,69
ind/m2 pada kedalaman 3 m dan 1,50 ind/m2 pada kedalaman 10 m. Penutupan karang hidup
terendah ditemukan di sisi selatan dengan kelimpahan 2,79 ind/m2 pada kedalaman 3 m dan
2,18 ind/m2 pada kedalaman 10 m. Interpolasi data kelimpahan ikan terhadap luas kelas habitat
menunjukkan hasil estimasi standing stock ikan sebagai berikut: KH (5.340.698 ind), KM
(56.254.356 ind), Pr (13.370.154 ind), Ln (1.776.195 ind), dan Cn (14.557.680 ind).
Kata kunci: pemetaan, citra satelit, habitat dasar, ikan terumbu, estimasi stok
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

453

Pemetaan Habitat Dasar...

I. PENDAHULUAN
Ekosistem
terumbu
karang
merupakan salah satu ekosistem di
wilayah
pesisir
yang
memiliki
keanekaragaman hayati laut sangat tinggi.
Ekosistem ini dapat memberikan produk
dan jasa lingkungan bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya, salah satunya adalah
ikan karang. Hingga kini, pengelolaan
sumberdaya ikan karang masih sulit
dilakukan karena sediaan cadang atau
stoknya belum diketahui secara pasti,
karena belum tersedianya metoda baku,
seperti halnya pada ikan pelagis dan
demersal. Stok ikan sangat dipengaruhi
oleh
aktifitas
manusia,
sehingga
keberhasilan usaha perikanan sangat
tergantung pada stok ikan itu sendiri
(Gulland, 1983). Usaha-usaha untuk
mendapatkan dan memperbaharui data
potensi/stok ikan, termasuk ikan karang
masih jarang dilakukan. Oleh sebab itu,
pendugaan stok ikan karang secara efektif
dan efisien perlu dilakukan untuk
kepentingan pengelolaan berkelanjutan.
Habitat dasar perairan dangkal
merupakan faktor utama keberadaan ikan
di terumbu. Kelimpahan, keanekaragaman
dan sebaran ikan sangat tergantung
kompleksitas habitat dasarnya (Nybakken,
1982; Sale, 1991). Informasi tentang
habitat dasar perairan pada umumnya
diperoleh melalui pengamatan langsung
(survei lapang) dan juga dengan teknologi
penginderaan jauh berupa citra satelit
(Green et al., 2000; Nadaoka et al., 2004).
Pemetaan habitat dasar perairan dengan
citra satelit menggunakan berbagai sensor
satelit telah banyak dilakukan (Hochberg
and Atkinson, 2000; Green et al., 2000;
Andrews, 2003; Isoun et al., 2003;
Mumby et al., 2002; Nurlidiasari, 2004;
Siregar et al., 2006; Chris et al., 2012.
Kemampuan berbagai sensor penginderaan jauh tersebut untuk pengkajian
ekosistem terumbu karang dan perairan
dangkal juga telah banyak dibahas oleh

454

beberapa peneliti (Phinn, 2013; Yamano,


2013; Hedley, 2013) yang dirangkum
oleh Goodman et al. (2013). Sementara itu
studi yang berkaitan dengan pendugaan
potensi ikan menggunakan citra satelit dan
mengkombinasikannya dengan hasil pengamatan lapang masih terbatas (Wouthuyzen, 2001; Purkis et al., 2008; Siregar et
al., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk
menduga potensi ikan karang melalui
analisa citra satelit dan sensus visual ikan
pada waktu dan lokasi yang berbeda dari
yang telah dilakukan sebelumnya (Siregar
et al., 2010) untuk mengetahui validitas
metode yang digunakan.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di
P.Pari Kepulauan Seribu. Pengamatan
lapang dilakukan dua kali, yaitu tanggal
29 Juni hingga 2 Juli dan tanggal 22
hingga 24 Agustus 2014(Gambar 1). Citra
satelit yang digunakan adalah citra satelit
resolusi tinggi World-View 2 (WV-2)
yang direkam tanggal 21 Agustus 2012
(Todd et al., 2010). Pendekatan yang
digunakan untuk menduga stok ikan
karang terdiri dari 2 tahapan utama yaitu:
Tahap (1). Memetakan habitat dasar perairan dangkal dengan skema klasifikasi :
Karang hidup, Karang mati, Lamun, Pasir,
Pasir+karang, dan Pasir+lamun (Siregar et
al., 2010).
Pengolahan citra satelit untuk
mendapatkan peta habitat dasar perairan
dangkal dilakukan dengan langkah-langkah berikut: masking wilayah kajian, koreksi geometrik, koreksi atmosferik, dan
koreksi kolom perairan menggunakan
algoritma depth invariant index Y= Ln
Kanal 1-ki/kj Kanal 2 (Green et al., 2000;
Yamano, 2013). Kanal yang digunakan
untuk koreksi ini adalah kanal biru (band
2) dan kanal hijau (band 3). Selanjutnya,
citra tersebut diklasifikasi secara terbimbing (supervised) mengacu pada data
pengamatan lapangan dengan algoritma

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siregar et al.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di P. Pari, Kepulauan Seribu.


maximum likelihood. Kelasifikasi citra
satelit dengan cara ini telah banyak
digunakan untuk menghasilkan peta
habitat dasar perairan dangkal (coral reef
area) (Andrefouet et al., 2003).
Terhadap peta ini selanjutnya
dilakukan pengujian akurasi. Uji ini
sangat penting dilakukan untuk mendapatkan peta yang dapat dipercaya (Chris et
al., 2006). Uji akurasi yang digunakan
menggunakan matrik kesalahan (error
matrix). Hal ini dilakukan dengan
membandingkan kelas-kelas dalam peta
terhadap kelas yang sebenarnya dari hasil
pengamatan lapang (Congalton et al.,
1999).
Untuk keperluan pendugaan stok
ikan, dari enam kelas habitat dasar
perairan, dilakukan pengelompokan ulang
kelas habitat, sehingga menjadi lima kelas
saja, mengingat dua kelas campuran
Pasir+karang dan Pasir+Lamun sulit untuk
dipisahkan secara spektral, sehingga
keduanya dijadikan satu kelas. Ke lima
kelas habitat menjadi: karang hidup (KH),
karang mati (KM), lamun (Ln), pasir (Pr)
dan habitat campuran (Cn) yang merupakan gabungan kelas habitat Pasir
+karang dan Pasir+lamun. Luasan (A)

dari masing-masing kelas habitat dapat


tersebut dihitung dari hasil klasifikasi (2).
Tahap (2). Mengetahui penutupan habitat
dasar perairan dan distribusi serta
kelimpahan ikan karang dengan menggunakan Metode transek garis (Line
Intercept Transect-LIT) dan transek
kuadrat (Rapid Reef Assessment-RRA).
Ikan karang disensus berdasarkan kelompok-kelompok ikan karang (Adrim,
1993) , yaitu ikan Target( ikan yang menjadi target penangkapan oleh nelayan, ikan
Indikator (ikan yang merupakan indikator
biologis dari kondisi terumbu karang dan
ikan Mayor (ikan-ikan yang tidak termasuk ke dalam kedua kelompok sebelumnya, namun sejumlah jenis ikan dari
kelompok Mayor telah dijadikan target
penangkapan oleh nelayan) pada area
dengan luasan 40x5 m2 (LIT) dan 2x2 m2
(RRA). Sensus visual dilakukan pada 2
kedalaman (3 dan 10 m) dan dilakukan
sedikitnya 2 kali ulangan untuk setiap
kelas habitatnya. Dari sensus visual ikan
diperoleh data keaneka-ragaman jenis
(jumlah spesies dan famili), kelimpahan
(jumlah individu ikan), dan Kepadatan
atau densitas (D=individu ikan/m2) ikan
karang (Kuiter,1993). Selanjutnya,stok

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

455

Pemetaan Habitat Dasar...

ikan karang (S) dapat diestimasi, yaitu


S=AxD (Amesbury et al., 1982).
Disamping stok ikan karang, kondisi
terumbu karang di lokasi kajian juga
ditentukan berdasarkan persentasi tutupan
karang hidup (buruk: tutupan karang
hidup < 25%, Sedang: 25-50%, Baik: 5075%, dan sangat baik >75%) (English et
al., 1997).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pemetaan Habitat Dasar Perairan
Dangkal
Dari hasil analisa citra satelit WV2 berdasarkan skema kelasifikasi yang
digunakan diperoleh bahwa luas area dari
enam kelas habitat tersebut masingmasing adalah: karang hidup, 57,5 ha
(6%); Karang mati, 197,5 ha (21%);
Lamun, 34,2 ha (4%); Pasir, 232,5 ha
(25%); Pasir+karang, 305,0 ha (33%);

dan Pasir+lamun, 99,4 ha (11%).


Diketahui bahwa kelas Pasir+karang
mendominasi habitat dasar gugusan Pulau
Pari, sedangkan kelas habiat lamun
mempunyai luasan
yang terendah
(Gambar 2).
Uji akurasi terhadap peta hasil
kelasifikasi dengan menggunakan matrix
confusion
menghasilkan
akurasi
keseluruhan
(overall
accuracy-OA),
producer dan user akurasi masing-masing
kelas, seperti ditampilkan pada Tabel 1
dan 2.
Nilai OA sebesar 78%
menunjukkan bahwa secara keseluruhan
klasifikasi yang dilakukan cukup baik.
Berdasarkan referensi diketahui bahwa
akurasi (OA) pemetaan habitat dasar
perairan dangkal menggunakan sensor
resolusi tinggi (Ikonos, QuickBird,
Geoeye-1, Worldview-2) dengan enam
kelas berkisar antara 70-90 % (Yamano,
2013).

Gambar 2. Peta Tematik Habitat Dasar Perairan.

456

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siregar et al.

Tabel 1. Matriks Uji Akurasi Klasifikasi Dasar Perairan.


Citra

No

Karang
hidup
1

Karang
mati
2

Lapangan
Karang
1 hidup
21
2 Karang mati
3
3 Lamun
4 Pasir
0
5 Pasir+karang
0
6 Pasir+lamun
1
Total Kolom
25
Total sampel diagonal
Total sampel keseluruhan
Total akurasi

Lamun
3

Pasir+ Pasir+ Total


karang lamun Baris
4
5
6

Pasir

6
0
0
2
0
15
2
1
17
0
0
25
1
0
2
1
0
0
25
19
28
= 125
= 160
= 125/160*100%= 78%

2
2
1
1
32
6
44

0
0
2
0
2
15
19

29
22
23
26
37
23
160

Tabel 2. Akurasi untuk sisi producer dan user


producer accuracy

user accuracy

Lapangan

akurasi

Citra Akurasi

21/25 =

0.84

21/29= 0.72

15/25=

0.60

15/22= 0.68

17/19=

0.89

17/23= 0.74

25/28 =

0.89

25/26= 0.96

32/44 =

0.73

32/37= 0.86

15/19 =

0.79

15/23= 0.65

Semua jenis kelas habitat dasar


perairan dapat dipetakan dengan baik. Hal
ini menunjukkan bahwa kelasifikasi
habitat dasar perairan dengan skema enam
kelas tersebut dengan pendekatan
maximum likelihood memberikan hasil
yang cukup baik (60-96%). Tipe habitat
karang mati dan pasir +lamun mempunyai
akurasi yang lebih rendah dibandingkan
tipe habitat lainnya (Tabel 2). Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
akurasi pada saat pengamatan dilapangan
adalah tingkat kekeruhan perairan yang
cukup
tinggi,
penggunaan
Global
Positioning System yang kurang sepadan
dengan spasial resolusi citra yang
digunakan
dan konsistensi pengamat

dalam menentukan kelas-kelas objek yang


diamati.
3.2. Kondisi Habitat Bentik Perairan di
Gugusan Pulau Pari
3.2.1. Pengamatan dengan Metode
Rapid Reef Assessment (RRA)
Komposisi
penutupan
bentik
karang berdasarkan teknik RRA (Tabel 3)
terdiri atas penutupan karang hidup dan
penutupan
karang
mati
yang
dikelompokkan dalam empat sektor.
Penutupan karang mati
mempunyai
luasan yang lebih besar dibandingkan
penutupan karang hidup. Di Utara P. Pari
ditemukan penutupan karang hidup yang

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

457

Pemetaan Habitat Dasar...

Tabel 3. Komposisi Penutupan Bentik Terumbu Karang Berdasarkan Teknik


RRA.
Sektor
1 (Utara)
2 (Selatan)
3 (Barat)
4 (Timur)
Rata-rata

Karang Hidup
(Acropora dan Non-Acropora) (%)
58
18
49
32
39,25

lebih luas dibandingkan lokasi lainnya,


sedangkan penutupan karang mati
ditemukan lebih luas dibagian selatan.
Perairan di utara P.Pari merupakan
perairan yang lebih dinamis, dimana arus
dan gelombang relative lebih besar
dibandingkan di Selatan. Hal ini
menyebabkan perairan Utara lebih tinggi
tingkat oksigenasinya sehingga karang
yang ada menjadi lebih sehat dan tinggi
keragamannya. Di bagian selatan pulau,
banyak ditemukan karang yang mati, hal
ini disebabkan bahwa di lokasi tersebut
terdapat aktifitas wisata bahari yang tinggi
dan pada musim tertentu (barat)
gelombang laut sangat besar.
3.2.2. Pengamatan dengan Metode Line
Intercept Transect (LIT)
Persen penutupan substrat dasar
pada kedalaman 3 m dan 10 m dari empat
sektor penyelaman diperoleh bahwa
penutupan HC (karang keras) pada
kedalaman 3 m paling tinggi ditemukan
pada bagian Timur gugusan Pulau Pari
dengan nilai 60.6% dan paling rendah
pada bagian Selatan dengan nilai 29.78% .
Sementara itu, pecahan karang (R) banyak
ditemukan di bagian Selatan Pulau
(Gambar 2a). Selain itu, pada kedalaman
10 m, penutupan karang keras (HC)
terbanyak ditemukan lebih dari 45% di
bagian Timur dan paling rendah
ditemukan juga di bagian selatan. Pecahan
karang pada kedalaman tersebut banyak

458

Karang Mati
(%)
42
82
51
36
52,75

ditemukan di bagian Barat (Gambar 2b).


Berdasarkan sensus visual ikan
dengan menggunakan metode LIT
diketahui bahwa pada kedalaman 3 m
kelimpahan ikan yang paling tinggi
ditemukan di sektor Utara, yaitu 3.69
ind/m2 dengan jumlah 636 individu dari
43 spesies yang ditemukan. Sedangkan
untuk kelimpahan terendah ditemukan
pada bagian selatan,yaitu 2,79 ind/m2 dari
39 spesies , sementara itu pada kedalaman
10 m kelimpahan ikan tertinggi terdapat di
sektor selatan yaitu 2,18 ind/m2 dengan
jumlah individu 300 dari 24 spesies, dan
terendah di sektor barat, yaitu 1,34
ind/m2 dengan individu 267 dari 17
spesies
(Tabel
4).
Hal
tersebut
menunjukkan adanya hubungan antara
persen penutupan karang (HC) dengan
kelimpahan ikan karang di P. Pari.
Sensus visual untuk mencacah
kelimpahan ikan dilakukan dengan teknik
Rapid Reef Assessment (RRA), menggunakan transek kuadrat berukuran 2m x
2m, yang meliputi seluruh tipe kelas
habitat perairan laut dangkal. Diperoleh
28 stasiun RRA untuk pengamatan ikan
yang dijadikan acuan untuk pendugaan
stok. Hasil pencacahan kelimpahan ikan
tersebut disajikan pada Tabel 5. Dari tabel
tersebut terlihat bahwa di Karang Hidup
kelimpahan ikan tinggi, kecuali ikan
indikator yang pada umumnya sangat
sedikit ditemukan disemua habitat.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siregar et al.

(a)

(b)
Gambar 2. Persen penutupan terumbu karang pada kedalaman 3 m (a) dan 10 m
(b).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

459

Pemetaan Habitat Dasar...

Tabel 4. Total Kelimpahan ikan pada kedalaman 3 dan 10 m.


Kelimpahan (ind/m2)
(3 m)
(10 m)
1,34
2,82
1,50
3,69
1,44
3,18
2, 18
2,79

Sektor
Barat
Utara
Timur
Selatan

Tabel 5. Kelimpahan ikan karang berdasarkan kelas habitat perairan dengan


sensus RRA.
Kelimpahan ikan karang (individu/m2)
Kategori
ikan

Karang
Hidup

Karang
Mati

Campuran

Pasir

Lamun

Mayor

32,59

19,06

3,30

4,13

4,10

Indikator

0,67

1,13

0,00

0,08

0,00

Target

59,79

9,19

0,30

1,54

1,10

3.3. Pendugaan Stok Ikan


Berdasarkan hasil sensus visual
ikan karang didapat informasi kelimpahan
ikan berdasarkan tipe habitatnya dan
kategori ikan per m2. Selanjutnya
pendugaan stok ikan karang dilakukan
berdasarkan perhitungan kelimpahan ikan
dan luas masing-masing kelas habitat.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
stok ikan karang di terumbu Pulau Pari
pada saat penelitian adalah sebanyak
91.299.083
individu.
Ikan
mayor
merupakan ikan dengan stok yang
tertinggi, diikuti dengan ikan target dan
ikan indikator. Bila ditinjau berdasarkan
kelas habitatnya, maka kelas habitat
Karang Mati menyimpan stok yang paling
melimpah dengan nilai 56.254.356
individu, sedangkan kelas habitat Lamun
memiliki stok paling sedikit dengan
1.776.195 individu (Tabel 6).
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa teknik penginderaan jauh dengan

460

kombinasi data lapangan (sensus visual)


dapat digunakan untuk menduga stok ikan
karang yang selama ini tidak diketahui
potensinya secara cukup efektif dan
efisien. Namun, beberapa hal yang harus
dilakukan ke depan untuk menyempurnakan metode ini adalah : mengkaji
pengaruh musim terhadap stok ikan
karang dan melakukan validasi hasil
sensus.
Agar data Stok ikan ini dapat
dipakai dalam pengelolaan sumberdaya
ikan karang secara berkelanjutan, maka
berbagai penelitian lanjutan seperti
penelitian aspek biologi ikan karang,
terutama morfometrik ikan dan tingkat
kematangan gonad ikan karang harus
dilakukan, begitu pula penelitian terhadap
aspek sosial-ekonomi masyarakat pesisir,
seperti jenis dan alat tangkap apa saja
yang dapat digunakan oleh masyarakat
nelayan.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siregar et al.

Tabel 6. Stok ikan berdasarkan kelas habitat.

Kelas Habitat
Karang Hidup

Stok ikan karang (individu)


Ikan mayor

Ikan indikator

Total

Ikan target

38.455

Karang Mati

36.494.487

2.163.629

Campuran

13.344.540

Pasir

9.603.258

186.020

Lamun

1.400.462

3.580.876 13.370.154
375.733 1.776.195

62.713.283

2.388.104

26.197.696 91.299.083

Total

IV. KESIMPULAN
Di rataan terumbu (reef flat)
terdapat tiga substrat dasar dominan yaitu
pasir, pasir campuran karang, dan pasir
campuran lamun. Karang hidup lebih
banyak ditemukan dibagian utara,
sementara di bagian selatan pulau , karang
hidup hanya ditemukan di sekitar tubir,
sedangkan sebaran lamun ditemukan di
wilayah dekat lagon dan berada pada
rataan terumbu karang dekat pulau.
Akurasi
(overall
accuracy)
dari
kelasifikasi
(pemetaan) habitat dasar
perairan di perairan dangkal P.Pari
mencapai 78%.
Luasan tutupan karang hidup
berkisar antara 32% - 58%, sehingga
dapat disimpulkan bahwa terumbu karang
Pulau Pari berada dalam kondisi sedang.
Karang hidup merupakan kelas habitat
yang memiliki kepadatan ikan tertinggi
dengan kelompok ikan target sebagai ikan
yang mendominasi di karang tersebut
diikuti Ikan mayor. Ikan indikator hanya
sedikit ditemukan diseluruh tipe habitat.
Di terumbu karang P. Pari diduga
terdapat ikan sebanyak 91.299.083
individu dengan ikan mayor utama
merupakan ikan dengan stok tertinggi
diikuti dengan ikan target dan ikan
indikator. Habitat karang mati merupakan

3.431.707

5.340.698

1.870.536

17.596.240 56.254.356
1.213.140 14.557.680

tempat ditemukan stok ikan yang


terbanyak, sedangkan di habitat lamun
ditemukan hanya sedikit stok ikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Institut Pertanian Bogor
melalui DIPA IPB No. 31/IT3.41.2/
L1/SPK/2013, tanggal 2 Mei 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Andrefouet, S., P. Kramer, D. TorresPulliza, K. E. Joyce,
E. J.
Hochberg, R. Garza-Perez, P. J.
Mumby, B. Riegl,H. Yamano, W.
H. White, M. Zubia, J. C. Brock,S.
R. Phinn, A. Naseer, B.G. Hatcher,
F. E. Muller-Karger. 2003. Multisite evaluation of IKONOS data
for classification of tropical coral
reef environments. Remote Sensing
of Environment, 88:128143.
Adrim, M. 1993. Komunitas ikan di
ekosistem terumbu karang. Modul
pelatihan pengamatan ekosistem
terumu karang. P2O-LIPI. 34hlm.
Amesbury, S.S. and R.F. Myers. 1982.
Guide to the coastal resources of
Guam, Vol. I. The Fishes.Uni-

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

461

Pemetaan Habitat Dasar...

versity of Guam, Marine Laboratory, 141p.


Congalton, R.G. and K. Green. 1999.
Assessing
the
accuracy of
remotely sensed data. Principles
and practices. 2th Edition. CRC
Press Taylor and Francis Group.
New York. 130p.
Chris, M.R., S.R. Phinn, and K.E. Joice.
2006. Evaluating benthic survey
technique for validating maps of
coral reef derived from remotely
sensed images. Proceeding of 10th
International
Coral
reef
Symposium. 1771-1780pp.
English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker.
1997. Survey manual for tropical
marine resources (2nd edition).
Australian Institute of Marine
Science. Australia. x+ 390p.
Goodman, J.A., J.P. Samuel, and R.P.
Stuart (eds). 2013. Coral reef
remote sensing. A guide for
mapping, monitoring and management. 436p.
Green, E.P., P.J. Mumby, A.J. Edwards,
C.D. Clark. 2000. Remote sensing
handbook for tropical coastal
management. UNESCO, Paris.
316p.
Gulland, J.A. 1991. Fish stock assessment: A manual of basic methods.
John Willey & Sons. New York.
223p.
Hedley, J.D. 2013. Hyperspectral application: In Goodman, J.A., S.J.
Purkis, S.R. Phinn (eds.) 2013.
Coral reef remote sensing: A guide
for mapping, monitoring and
management. Springer. 51-78pp.
Hochberg, E.J. and M.J. Atkinson. 2000.
Spectral discrimination of coral
reef benthic communities. Coral
Reefs, 19:164171.
Isoun, E., C. Fletcher, N. Frazer, and J.
Gradie.
2003
Multi-spectral
mapping of reef bathymetry and

462

coral cover; Kailua Bay, Hawaii.


Coral Reefs, 22:6882.
Kuiter, R.H. 1993. The complete divers
and fishermans guide to coastal
fishes of the south-eastern
Australia.
Crawfoed House
Publishing, Bathurst, 437p.
Mumby, J.P. and A.J. Edwards. 2002.
Mapping marine environments
with IKONOS imagery: enhanced
spatial resolution can deliver
greater thematic accuracy. Remote
Sensing of Environment, 82:248257
Nadaoka, K., E.C.Paringit, and H.
Yamano.2004. Remote sensing of
coral reef in Japan. 89-102pp.
Nurlidiasari, M. and S.Budiman. 2005.
Mapping coral reef habitat with
and without water column
correction using QuichBird image.
J. of Remote Sensing and Earth
Science, 2:45-56.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut: suatu
pendekatan ekologi, M. Eidman,
Koessoebiono, D. G. Bengen, H.
Malikusworo dan Sukristijono
(penterjemah). PT. Gramedia.
Jakarta. 459hlm.
Phinn, S.R. 2013. In Goodman ,J.A., S.J.
Purkis, S.R. Phinn (eds) 2013.
Coral reef remote sensing: A guide
for mapping, monitoring and
Management. Springer. 51-78pp.
Purkis, S.J., N.A.J. Graham, and B.M.
Riegl. 2008. Predictability of reef
fish diversity and abundance using
remote sensing data in Diego
Garcia (Chagos Archipelago).
Coral Reef, 27:167-178.
Sale, P.F. 1991. The ecology on coral reef
fishes. Academic Press, Inc. New
York. xviii+754p.
Siregar, V. dan S. Wouthuyzen. 2006.
Pendugaan stok ikan karang
menggunakan citra satelit resolusi
tinggi:
suatu
kajian
awal.
Kumpulan riset kelautan jalan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Siregar et al.

menuju kejayaan bahari. Bakosurtanal. Hlm.:275-290


Siregar, V., S. Wouthuyzen, S. Sukimin,
S.B. Agus, M.B. Selamat, Adriani,
Sriati, dan A.A. Muzaki. 2010.
Informasi spasial habitat perairan
dangkal dan pendugaan stok ikan
terumbu menggunakan citra satelit.
SEAMEO BIOTROP. 88hlm.
Todd, U. and C. Comp. 2010. Radiometric use of worldview-2
imagery. Technical note. Digital
Globe. 17p
Wouthuyzen, S. 2001. Pemetaan perairan
dangkal dengan menggunakan
citra satelit Landsat-5 TM guna
dipakai dalam pendugaan potensi

ikan karang: suatu studi di Pulaupulau


Padaido,
Irian
Jaya.
Dibawakan
dalam
seminar
diseminasi pusat survei sumberdaya alam, Bakosurtanal, Jakarta.
15hlm.
Yamano, H. 2013. Multispectral application: In Goodman, J.A., S.J.
Purkis, and S.R. Phinn (eds.) 2013.
Coral reef remote sensing: a guide
for mapping, monitoring and
management. Springer. 51-78pp.
Diterima : 26 Desember 2013
Direview : 29 Desember 2013
Disetujui : 31 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

463

464

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 465-477, Desember 2013

PRODUKTIVITAS BIOMASA MAKROALGA DI PERAIRAN PULAU


AMBALAU, KABUPATEN BURU SELATAN
MACROALGAE BIOMASS PRODUCTIVITY IN AMBALAU ISLAND WATERS,
SOUTH BURU DISTRICT
1

Saleh Papalia1* dan Hairati Arfah


UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon, P2O-LIPI
*
E-mail: sale001@lipi.go.id

ABSTRACT
Studies on the diversity and density of macroalga have been carried out in Ambalau island
waters, south Buru district since 2010. The purposes of this study were to determine the
diversity, density, frequency, and the dominance of macroalga in the coastal waters of the
Ambalau island. Data collection with squares transect line method were conducted in OctoberNovember 2009. The results showed that the coastal areas of Masawoy showed the highest
values in diversity, density, frequency, and the dominance of macroalga in the study area with
33 species from 20 genera consisting of 14 species of green alga, 10 species of red alga, and 9
species of brown alga. Caulerpa, Halimeda, Gracilaria, Acanthophora, Sargassum, and Padina
were the most dominance in the region. The highest diversity, density, frequency, and
dominance of macroalga on the Masawoy coastal waters were due to its habitat conditions in
relatively good condition consisting of dead coral rubble, sand, coral live with seagrass
vegetation dominated by Thalasia hemprizii and Enhalus acuroides. Meanwhile, habitat
conditions at other locations have suffered a severe damage and dominated by dead coral.
Environmental conditions in the study region were within the limits of decent support for the
growth of macro alga.
Keywords: macroalga, biodiversity, density, frequency, dominance, Ambalau
ABSTRAK
Studi tentang keragaman dan kepadatan makro alga telah dilaksanakan di perairan
perairan pesisir pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan semenjak tahun 2010. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keragaman, kepadatan, frekuensi kehadiran, dan nilai dominasi
makro alga di perairan pesisir pulau Ambalau. Pengumpulan data dengan metode transek
kuadrat dan koleksi dilakukan pada bulan Oktober-November 2009. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daerah pantai Masawoy memiliki keragaman jenis, kepadatan, Frekuensi
kehadiran, dan nilai dominasi makro alga tertinggi dengan 33 jenis dari 20 marga yang terdiri
dari 14 jenis makro alga hijau, 10 jenis makro alga merah, dan 9 jenis makro alga coklat. Marga
makro alga yang dominan adalah Caulerpa, Halimeda, Gracilaria, Acanthophora, Sargassum
dan Padina. Tingginya keragaman, kepadatan, frekuensi, dan dominansi makro alga di pantai
Masawoy disebabkan oleh kondisi habitat di perairan ini masih dalam kondisi yang relatif lebih
baik yang terdiri dari pecahan karang mati, pasir, karang hidup dengan vegetasi tumbuhan
lamun yang didominasi oleh jenis Thalasia hemprizii dan Enhalus acuroides. Sedangkan
kondisi habitat pada lokasi lainnya telah mengalami kerusakan yang cukup parah yang
didominasi oleh bongkahan dan pecahan karang mati. Kondisi lingkungan dalam lokasi
penelitian masih berada dalam batas yang layak mendukung pertumbuhan makro alga.
Kata kunci: makro alga, keragaman, kepadatan, frekuensi, dominansi, Ambalau

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

465

Produktivitas Biomasa Makroalga

I. PENDAHULUAN
Perairan Pulau Ambalau adalah
merupakan suatu perairan yang berada di
wilayah Kabupaten Buru Selatan, Propinsi
Maluku. Di Perairan ini telah ditemukan
berbagai jenis biota laut satu diantaranya
adalah rumput laut. Rumput laut atau
ganggang adalah salah satu tumbuhan laut
yang hidup di Perairan pantai yang
dangkal dengan subtract dasar berupa
pasir, pasir bercampur Lumpur, karang
mati maupun pecahan karang mati.
Umumnya jenis-jenis rumput laut yang
dijumpai terdiri dari kelompok rumput
laut
merah
(Rhodophyta),
hijau
(Chlorophyta) dan cokelat (Phaeophyta).
Kehadiaran berbagai jenis rumput laut dan
dijumpai pada paparan terumbu karang
dengan kedalaman perairan yang dangkal
berkisar antara 15 meter. Penelitian
tentang potensi sumberdaya rumput laut di
Indonesia merupakan salah satu program
Pusat
Penelitian
OseanografiLIPI
sebagai bagian dari inventarisasi Biota
Laut.
Kehadiran komunitas makro alga
disuatu perairan memiliki peran yang
cukup besar terhadap kehidupan biota laut
sebagai tempat berlindung dan sebagai
tempat mencari makan (Magruder, 1979;
Kadi, 2004). Selain itu komunitas makro
alga juga dapat berperan sebagai habitat
bagi organisme laut lainnya, baik yang
berukuran besar maupun kecil seperti
Ampiphoda, kepiting dan biota laut
lainnya.Perbedaan kondisi habitat maupun
faktor musim dapat menentukan keragaman dan kepadatan makro alga. Hal ini
terbukti dengan perolehan jenis maupun
kepadatannya pada setiap stsion penelitian
Pemanfaatan makro alga dewasa
ini telah dikembangkan secara luas dalam
berbagai bidang industri yakni sebagai
bahan baku makanan, minuman, obatobatan, farmasi, kosmetik dan sebagai
bahan tambahan (additive) pada proses
industri plastic, baja, film, tekstil serta

466

kertas (Kadi, 2004; Sulistijo, 1985). Selain


itu, juga dapat dimanfaatkan secara luas
dalam bidang bioteknologi maupun
mikrobiologi (Atmadja et al., 1990,
Gumay et al., 2002).
Perkiraan potensi sumberdaya pada
suatu perairan adalah merupakan penelitian
dasar yang sangat diperlukan dalam
mengeksploitasi potensi sumberdaya yang
ada. Telah diketahui bahwa keberadaan
dan pertumbuhan makro alga sangat
dipenga-ruhi
oleh
berbagai
faktor
diantaranya adalah musim dan kondisi
perairan. Untuk dapat mengetahui faktorfaktor tersebut diperlu-kan waktu yang
relative cukup lama serta dapat dikerjakan
dalam periode yang teratur (Soegiarto,
1978; Atmadja et al., 1990). Dengan cara
kerja tersebut dapat diperoleh masukan
yang lebih teliti tentang standing stock,
keragaman jenis, dan karakteristik ekologis
lainnya yang sangat diperlukan dalam
penentuan kebijaksanaan eksploitasi.
Informasi tentang keragaman jenis
maupun kepadatan suatu sumberdaya serta
kondisi lingkungan merupakan informasi
dasar yang sangat diperlukan dalam
penerapan budidaya perairan, dimana
kehidupan dan pertumbuhan suatu sumberdaya laut mempunyai syarat hidup yang
berbeda-beda. Hal ini terbukti dengan
gagalnya penerapan budidaya makro alga
(jenis Eucheuma cottonii) di kawasan
perairan pantai Kabupaten Buru oleh
manyarakat (perairan Teluk Kayeli dan
sekitarnya).
Perubahan garis pantai akibat
faktor alamiah, seperti angin, ombak, dan
arus yang sekaligus menjadi faktor
pemicu perubahan hbitat, khususnya di
kawasan pesisir. Kondisi ini turut
diperburuk dengan lajunya pembangunan
di kawasan pesisir, seperti penambangan
pasir, pembangunan dermaga, pariwisata,
dan kegiatan transportasi yang dapat
mengakibatkan fungsi ekosistem wilayah
pesisir menjadi menurun dan daya dukung
terhadap keberadaan dan kehidupan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Papalia dan Arfah

potensi sumberdaya laut juga semakin


tertekan. Hal ini lebih banyak dialami di
perairan pantai Ulima, Lumoy, dan
Kampung Baru yang telah terjadi
perubahan ekosistem pesisir perairan,
seperti abrasi pantai, rusaknya ekosistem
mangrove maupun lamun (seagrass).
Kondisi ini tentunya turut mempengaruhi
kehidupan dan keberadaan sumberdaya
laut yang ada di alam, terutama makro
alga.
Hasil penelitian ini sangat
diperlukan untuk mengetahui status terkini
potensi sumberdaya laut dan lingkungan
di perairan Pulau Ambalau, Kabupaten
Buru Selatan dan sekitarnya. Data dan
informasi ini sangat diperlukan bagi
kepentingan
dalam
melaksanakan
perencanaan pengembangan wilayah ke
depan yang terkait dengan pengelolaan
dan pemanfaatan potensi sumberdaya laut
di wilayah pesisir.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui: (1) keragaman jenis dan

kepadatan makro alga pada setiap stasiun


penelitian, (2) frekuensi kehadiran dan
nilai dominasi makro alga pada setiap
stasiun penelitian, dan (3) sebaran
parameter kualitas di perairan pantai Pulau
Ambalau.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Waktu dan Tempat
Penelitian keragaman jenis dan
kepadatan makro alga dilaksanakan di
perairan pantai Ulima, Masawoy, Lumoy
dan Kampung Baru, Pulau Ambalau,
Kabupaten Buru Selatan pada bulan
Oktober sampai Nopember tahun 2009.
Pada setiap lokasi penelitian terdapat tiga
stasiun transek dengan jarak antar stasiun
transek masing-masing 100 meter,
sehingga jumlah stasiun transek dari 4
lokasi penelitian adalah sebanyak 12
stasiun (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian makro alga di perairan pulau Ambalau.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

467

Produktivitas Biomasa Makroalga

2.2. Pengambilan Data Lapang


Pengumpulan data dengan metode
transek kuadrat yang dibuat tegak lurus
garis pantai ke arah tubir (slope) dengan
selang 100 meter. Pada setiap interval 10
meter dari garis pantai dilakukan sampling
biomassa rumput laut pada bingkai (plot)
berbentuk empat persegi (bahan paralon)
dengan ukuran 1 x 1 meter (artinya pada
setiap interval 10 meter diletakkan bingkai
tersebut, kemudian dilakukan pengambilan sampel makro alga yang berada
dalam bingkai empat persegi), dan sampel
tersebut dimasukan dalam kantung plastik
dan diberi lebel. Selanjutnya sampel
makro alga diseleksi dan dipisahkan
menurut jenis dan marga serta ditimbang
berat basahnya. Semua sample hasil
transek diawetkan dengan larutan formalin
7% dan analisis selanjutnya dilakukan di
Laboratorium UPT Blalai Konservasi
Biota Laut Ambon. Identifikasi dalakukan
menurut Bhavanath et al. (2009), dan
Cordero (1980).
2.3. Analisis Data
Data makro alga dianalisa berdasarkan indeks-indeks ekologi yaitu indeks
keragaman jenis Shannon (H), indeks
kepadatan (e), menurut Odum (1983),
Frekuensi kehadiran (Takandare, 2005)
dan Indeks dominansi (Odum, 1975)
seperti terlihat pada rumus dibawah ini.
2.3.1. Keragaman Jenis
Keragaman jenis dapat dihitung
dengan menggunakan rumus Indeks
Diversitas ShannonWienner (H) (Krebs,
1985) seperti rumus berikut:
H = - pi ln Pi ........................(1)
dimana: H=iIndeks diversitas Shannon
Wienner, pi= proporsi spesies ke-i, Pi=
ni/N (perbandingan jumlah individu suatu
jenis dengan keseluruhan jenis. Dengan
nilai: H: 0 < H< 2,302 = keragaman
rendah; 2,302<H<6,907 = keragaman

468

sedang; dan H>6,907=keragaman tinggi.


2.3.2. Kepadatan Total (gram/m)
Kepadatan adalah jumlah individu
per satuan luas area (Brower and Zar,
dalam
Alfitriatussulus, 1989) seperti
rumus berikut:
Di = ni/A ..................................(2)
Dimana:
Di=kepadatan spesies untuk
spesies ke-i, ni=jumlah total individu
spesies ke-i, dan A=luas total daerah yang
disampling.
2.3.3. Frekuensi Kehadiran (ind)
Frekuensi kehadiran menunjukan
banyaknya petak pengamatan dimana
suatu spesies ditemukan dalam luasan
tertentu (Takandare, 2005) seperti rumus
berikut:
Fi = Ji/K ..................................(3)
Dimana: Fi=frekuensi relatif untuk spesies
ke-i, Ji=jumlah plot yang terdapat spesies
ke-i, dan K=jumlah total plot yang dibuat.
2.3.4. Indeks Dominansi (Indeks
Simpson)
Indeks dominansi spesies menunjukkan spesies tertentu yang paling
banyak terdapat dalam komunitas.
Dominansi spesies ditentukan berdasarkan
indeks Simpson dengan merujuk pada
rumus yang diterapkan oleh (Odum, 1975)
dalam (Melati, 2007) dengan rumus:
D=

) ..................................(4)

Dimana: D=nilai indeks dominan spesies,


pi=kelimpahan relatif dari spesies ke-i
(ni/N).
Nilai indeks dominansi berkisar
antara 01, bilamana D=1 maka dominansi tinggi (ada spesies yang dominan) dan
bilamana 0<D<1 maka dominansi rendah.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Papalia dan Arfah

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Komposisi Jenis
Hasil penelitian yang diperoleh
pada perairan pantai Masawoy terlihat
bahwa jumlah kelompok jenis makro alga
hijau (Chlorophyceae) lebih tinggi dari
makro alga merah (Rhodophyceae) dan
alga coklat (Phaeophyceae). Tingginya
komposisi makro alga hijau karena alga
ini umumnya lebih cenderung tumbuh
menempel pada pecahan karang pada
vegetasi tumbuhan lamun dari jenis
Enhalus
acuroides
dan
Thalasia
hemprizii. Perbedaan tersebut juga karena
kondisi habitat yang berbeda serta
pengaruh faktor musim. Beberapa marga
makro alga yang bersifat musiman seperti
Laurencia, Halimenia, Acanthophora,
Amphiroa,
Gracilaria,
Eucheuma,
Codium, Gelidiella, Turbinaria dan
Sargassum. Komposisi jenis alga pada
masing-masing
lokasi
penelitian
menunjukkan bahwa perairan pantai
Masawoy memiliki komposisi jenis makro
alga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi penelitian lainnya yakni 33
jenis dari 20 marga yang terdiri dari 14

jenis makro alga hijau, 10 jenis makro


alga merah dan 9 jenis makro alga coklat
(Gambar 2 dan 3). Perbedaan tersebut
diduga disebabkan oleh pengaruh faktor
musim maupun kondisi habitat. Kondisi
habitat di perairan pantai Masawoy terdiri
dari pecahan karang, pasir dengan
vegetasi tumbuhan lamun yang cukup
padat dan didominasi oleh jenis Enhalus
acuroides dan Thalasia hemprizii dan
dapat dikatakan masih baik dari lokasi
penelitian lainnya yang telah mengalami
kerusakan.
Soegiarto dan Sulistijo (1985) dan
Kadi (2004) mengatakkan bahwa jenisjenis
makro alga ada yang bersifat
musiman dan tergantung dari kondisi
habitat. Jenis-jenis makro alga dari marga
Acantho-phora,
Codium,
Gelidiella,
Galaxaura, Jania, Amphiroa, Gracilaria,
Sargassum
dan
Turbinaria
lebih
cenderung hidup menempel pada habitat
karang mati maupun pecahan karang mati.
Pada musim-musim tertentu muncul dan
meletakkan thalus
pada habitnya,
kemudian
pada
saat-saat
tertentu
menghilang karena telah dewasa.

Gambar 2. Komposisi makroalga berdasarkan jumlah jenis setiap lokasi penelitian.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

469

Produktivitas Biomasa Makroalga

Gambar 3. Komposisi makroalga berdasarkan jumlah marga setiap lokasi penelitian.


Hasil pengamatan makro alga di
perairan pantai Teluk Ambon (pantai
Hative Besar, Halong, Tantui, Air
Salobar, Lateri, Waiheru dan Poka) dan
beberapa perairan pantai seperti Rutong,
Hutumury (Pulau Ambon Bagian Selatan,
Jasirah Leitimur)), Suli, Waai dan Liang
(Tanjung Metiela) dapat dijelaskan bahwa
makro alga jenis Gracilaria, Hypnea,
Gelidiella,
Halimenia,
Amphiroa,
Acanthophora, Galaxaura, Trioleokarpa
fragilis
(alga
merah),
Turbinaria,
Sargassum, Padina australis (alga coklat),
Codium intricatum, Caulerpa racemosa
dan Caulerpa serrulata (alga hijau)
ternyata mulai muncul/hadir pada bulan
Desember (awal musim peralihan I) dan
mulai menghilang pada akhir bulan
Oktober (musim Barat). Dapat dikatakan
bahwa kepadatan dan keragaman jenis
makro alga pada musim Timur (bulan
Aprill Juli) lebih tinggi dari musimmusim lainnya.

470

3.2. Keragaman Jenis


Nilai
keragaman
jenis
yang
diperoleh pada setiap lokasi penelitian
terlihat bervariasi dengan nilai masingmasing adalah 1,45 (Caulerpa), dan 1,32
(Halimeda), 2,85 (Gracilaria), 1,64
(Acanthophora), 1,54 (Sargassum), dan
1,38 (Padina), disajikan pada Gambar 4.
Keragaman jenis makro alga yang
diperoleh diperairan ini lebih kecil bila
dibandingkan dengan hasil penelitian di
perairan Maluku Tenggara (Hatta et al.,
1991; Papalia dan Pramudji, 1998). Hasil
penelitian di perairan pantai Ulima,
Masawoy, Wailua dan Kampung Baru,
Pulau Ambalau perbandingan antara:
Chlorophyceae : Rhodophyceae : Phaeophyceae adalah 14:10:9. Sedangkan di
perairan Maluku Tenggara adalah
32:17:22. Hasil penelitian ini terlihat
bahwa keragaman jenis makro alga hijau
(Chlorophyceae) lebih tinggi dari makro
alga merah (Rhodophyceae) dan coklat
(Phaeophy-ceae).
Selanjutnya
hasil
penelitian yang diperoleh di perairan

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Papalia dan Arfah

pulau Ambalau lebih kecil bila


dibandingkan dengan hasil penelitian di
perairan Teluk Ambon. Perairan pulau
Ambalau dengan perbandingan antara
Rhodophyceae : Phaeophyceae : Chlorophyceae adalah 14:10:9. Sedangkan di
perairan Teluk Ambon dengan perbandingan Rhodo-phyceae : Phaeophyceae :
Chlorophyceae adalah 23:13:10 (Papalia,
2009). Hasil penelitian Pulau Ambalau
hamper sama bila dibandingkan dengan
perairan Teluk Kotania, Seram Bagian
Barat yakni sebanyak 37 jenis yang terdiri
dari 15 Rhodophyceae, 12 Phaeophyceae
dan 10 Chlorophyceae (Supriyadi, 2011).
Perbedaan keragaman jenis pada
setiap lokasi penelitian diduga disebabkan
oleh perbedaan habitat dan musim.
Umumnya makro alga yang didapatkan
tumbuh pada habitat berupa karang mati,
pecahan karang mati,dan pasir dengan

vegetasi berupa lamun (seagrass) dari


jenis Thalasia hemprizii.
Hasil analisis keragaman dari seluruh
jenis makro alga pada setiap lokasi
penelitian terlihat bahwa indeks keragaman
jenis makro alga yang diperoleh adalah
rendah sesuai dengan kriteria Indeks
Diversita Shannon-Winner (Krebs, 1985).
3.3. Biomassa
Hasil analisis biomassa makro
alga pada setiap lokasi penelitian terlihat
bahwa perairan pantai Masawoy memiliki
nilai tertinggi dari perairan lainya untuk
semua marga. Rata-rata nilai biomassa di
setiap lokasi penelitian masing-masing
adalah 1,50 gram/m (Caulerpa), 0,71
gram/m (Halimeda), 0,67 gram/m (Gracilaria), 0,66 gram/m (Acanthophora),
0,38 gram/m (Sargassum), dan 0,34
(Padina), disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4. Keragaman jenis makro alga yang di peroleh setiap stasion penelitian.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

471

Produktivitas Biomasa Makroalga

Gambar 5. Biomasa makro alga yang di peroleh setiap stasion penelitian


Perbedaaan biomassa makro alga
pada setiap lokasi penelitian karena ada
perbedaan habitat dan faktor musim serta
rusaknya ekosistem perairan. Perairan
pantai Ulima, Masawoy, Wailua dan
Kampung Baru, Pulau Ambalau memiliki
struktur substrat yang bervariasi dan
beragam yakni berupa karang mati,
pecahan karang mati, karang hidup,
lumpur dan pasir dengan vegetasi berupa
tumbuhan
lamun
(seagrass)
yang
didominasi oleh Thalasia hemprizii. Hasil
pengamatan dapat dikatakan bahwa
perairan pantai Kampung Baru mengalami
kerusakan ekosistem yang lebih parah dari
lokasi penelitian lainnya. Hal ini
tentunnya dapat mempengaruhi kehidupan
biota laut, terutama makro alga.
3.4. Frekuensi Kehadiran
Hasil analisis frekuensi kehadiran
makro alga di perairan pantai Ulima,
Masawoy, Wailua dan Kampung Baru,
Pulau Ambalau pada setiap lokasi
penelitian terlihat bahwa nilai frekuensi
kehadiran tertinggi terdapat di perairan

472

pantai Masawoy dan terendah terdapat di


perairan pantai Kampung Baru, dengan
nilai rata-rata masing-masing adalah
22,21% (Caulerpa), 18,49% (Halimeda),
20,70% (Gracilaria), 20,43% (Acanthophora),17,58% (Sargassum), dan 17,50%
(Padina), disajikan pada Gambar 6.
Kehadiran makro alga disuatu
tempat bervariasi dan sangat tergantung
dari kondisi habitat dan musim. Pada
gambar tersebut terlihat frekuensi
kehadiran makro alga pada setiap lokasi
penelitian menunjukan bahwa perairan
pantai Masawoy memiliki nilai tertinggi
dari lokasi penelitian lainnya yang
diduduki oleh marga alga hijau
(Chlorophyceae), yang diikuti oleh alga
merah (Rhodophyceae), dan coklat
(Phaeophyceae).
Perbedaan nilai frekuensi kehadiran
makro alga pada setiap lokasi penelitian
disebabkan oleh perbedaan keragaman
jenis maupun nilai biomassa makro alga
pada setiap lokasi penelitian di perairan
pantai Pulau Ambalau.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Papalia dan Arfah

3.5. Nilai Dominansi


Hasil analisis terhadap nilai
dominasi makro alga di perairan pantai
Ulima, Masawoy, Wailua dan Kampung
Baru, pulau Ambalau terlihat bahwa nilai
dominasi tertinggi terdapat di perairan
pantai Masawoy dan terendah terdapat di
perairan pantai Kampung Baru, dengan
nilai rata-rata masing-masing adalah
1,01% (Caulerpa), 0,70% (Halimeda),
0,57% (Gracilaria), 0,58% (Acanthophora), 0,54% (Sargassum), dan 0,53%
(Padina) (Gambar 7).
Pada Gambar 7 terlihat bahwa
nilai dominasi makro alga dari marga alga
hijau (Caulerpa & Halimeda) lebih tinggi
dari marga alga merah (Gracilaria &
Acanthophora), dan marga alga coklat
(Sargassum & Padina). Perbedaan nilai
ini terkait dengan nilai keragaman jenis

makro alga, kepadatan maupun perbedaan


kondisi habitat pada setiap lokasi
penelitian.
Berdasarkan nilai dominasi jenis
makro alga yang diperoleh dapat
dikatakan rendah. Hal ini sesuai indeks
dominasi Simpson (Odum, 1975), maka
dapat digolongkan dengan kriteria
rendah.
3.6. Kondisi Hidrologi
Kondisi hidrologi yang dibahas
dalam makalah ini adalah parameter
kualitas air. Hasil pengamatan beberapa
parameter kualitas air dalam penelitian ini
adalah salinitas (ppt), pH air suhu air (c),
DO (ml/l), P-PO4 (ppm), N-NO3 (ppm)
dan keceraha Air (m), disajikan pada
Table 1.

Gambar 6. Frekuensi kehadiran makroalga yang diperoleh pada setiap stasion


penelitian.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

473

Produktivitas Biomasa Makroalga

Gambar 7. Nilai dominasi makro alga yang diperoleh pada setiap stasion penelitian.
Tabel 1. Parameter kualitas air yang tercatat pada setiap stasion penelitian di perairan
pantai Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan tahun 2009.

Parameter

Lokasi penelitian
Masawoy
Wailua

Ulima

Salinitas
27,5-28,6
pH air
7,0-8,2
Suhu (C)
27,0-28,0
Oksigen Terlarut (ml/l) 3,0-3,5
P-PO4 (ppm)
2,4-3,5
N-NO3 (ppm)
2,4-2,7
Kecerahan air (m)
10,5-12,5

28,0-29,0
7,0-8,5
27,0-28,4
3,0-3,7
2,3-3,4
2,5-3,7
12,5-13,0

Nilai salinitas yang tercatat selama


penelitian berkisar antara 32,3533,56.
Berdasarkan data tersebut secara umum
kondisi perairan dikatakan masih cukup
baik dan subur mendukung pertumbuhan
makro alga. Dikatakan oleh Hadiwigeno
(1990) bahwa kisaran nilai salinitas untuk
pertumbuhan
makro
alga
marga
Eucheuma berkisar antara 2834.
Sedangkan Afrianto dan Liviawati (1989)
mengatakan pula bahwa makro alga
marga Eucheuma hidup dan tumbuh pada

474

26,0-28,5
7,0-7,2
26,5-27,0
3,2-4,0
2,4-3,5
2,5-3,6
10,4-11,5

Kampung
Baru
27,0-28,0
6,5-7,0
26,3-27,5
3,0-3,5
2,3-2,6
2,3-3,5
11,0-12,5

perairan dengan kisaran salinitas antara


3334 dengan nilai optimumnya 33.
Hasil pengamatan pH air selama
penelitian pada setiap lokasi penelitian
terlihat bervariasi dengan nilai tertinggi
terdapat di perairan Masawoy yakni
berkisar antara 7.0 8.5. Sedangkan nilai
terendah terdapat di perairan Kampung
Baru yakni 6.5 7.0 dan setiap spesies
makro alga memiliki kisaran toleransi
yang berbeda terhadap pH.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Papalia dan Arfah

Tingkat keasaman air (pH air) yang


ideal bagi kehidupan organisme akuatik
termasuk makrozoobentos pada umumnya
berkisar antara 7 sampai 8,5 (Barus,1996).
Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat
basa akan
membahayakan kelangsungan hidup
organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi. Bila pH yang sangat rendah
akan menyebabkan mobilitas berbagai
senyawa logam berat yang bersifat toksik
semakin tinggi yang tentunya akan
mengancam
kelangsungan
hidup
organisme akuatik. Sementara pH yang
tinggi akan menyebabkan keseimbangan
antara amonium dan amoniak dalam air
akan terganggu, dimana kenaikan pH
diatas akan meningkatkan konsentrasi
amoniak yang juga bersifat sangat toksik
bagi organisme.
Suhu air yang tercatat selama
penelitian pada setiap lokasi penelitian
terlihat bervariasi. Rata-rata Suhu air
tertinggi terdapat pada perairan Masawoy
(29,5c) dan terendah terdapat di
Kampung Baru (27,4c). Nilai suhu air
yang tercatat selama penelitian terlihat
bahwa suhu air berkisar antara 28,36
30,26 C .Perbedaan suhu air ini di
lapisan dasar di duga disebabkan oleh
faktor musim. Berdasarkan data tersebut
secara umum kondisi perairan dikatakan
berjalan secara baik dan lancar
mendukung pertumbuhan makro alga.
Afrianto dan Liviawati (1989)
mengatakan bahwa makro alga marga
Eucheuma dapat tumbuh baik pada
perairan dengan kisaran suhu air anatar 27
33oC. Dikatakan pula oleh Thana dkk,
(1993) bahwa suhu air sangat penting
peranannya bagi metabolism makro alga,
karena kecepatan metabolism meningkat
dengan meningkatnya suhu air.
Kadar DO di perairan pantai Pulau
Ambalau, yang diperoleh berkisar antara
4.24 7.09 ppm. Pada tabel diatas terlihat
bahwa konsentrasi DO cukup tinggi yakni

rata-rata adalah 3.7 ppm. Kondisi ini


merupakan kondisi yang normal untuk
suatu
perairan
pantai.
Tingginya
kandungan oksigen terlarut diduga
disebabkan oleh pengurain zat-zat organic
yang berasal dari darat ke laut, karena
proses penguraian zat-zat tersebut
membutuhkan oksigen yang terkandung
dalam air laut. Dikatakan oleh ZOTTOLI
(1972) bahwa konsentrasi DO air laut
bervariasi, di laut lepas bisa mencapai 9,9
mg/l, sedangkan di wilayah pesisir
konsentrasi DO akan semakin berkurang
tergantung kepada kondisi lingkungan
sekitar. Konsentrasi DO di permukaan air
laut dipengaruhi oleh suhu, semakin
tinggi suhu maka kelarutan gas akan
semakin rendah.
Kecerahan air yang tercatat selama
penelitian pada setiap lokasi penelitian
bervariasi dan berkisar antara 12,2 14,4
meter. Rata-rata nilai kecerahan air
tertinggi terdapat di perairan Masawoy
(13,5 meter). Sedangkan nilai terendah
terdapat di perairan Kampung Baru (12,4
meter). Nilai kecerahan air yang rendah
ini disebabkan karena adanya butiran
partikel renik yang berasal dari sungai
maupun
dari
lokasi
pemukiman.
Dikatakan pula oleh Baku Mutu Laut
KLH (1988) bahwa nilai parameter
kualitas air untuk kepentingan perikanan
adalah: pH air laut berkisar antara 6,0
9,0; Nilai oksigen adalah > 4 ml/l; dan
nilai kecerahan air adalah 3 meter.
Dengan demikian nilai parameter kualitas
air yang tercatat selama penelitian masih
berada dalam batas yang layak
mendukung pertumbuhan makro alga.
IV. KESIMPULAN
Komposisi jenis makro alga yang
diperoleh di perairan pantai Masawoy,
Pulau Ambalau lebih tinggi dari lokasi
penelitian lainnya yakni sebanyak 33 jenis
dari 20 marga yang terdiri dari 14 jenis
alga hijau (Chlorophyceae), 10 jenis

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

475

Produktivitas Biomasa Makroalga

alga merah (Rhodophyceae) dan 9 jenis


alga coklat (Phaeophyceae).
Nilai rata-rata keragaman jenis
tertinggi diperoleh di perairan pantai
Masawoy lebih tinggi dari lokasi
penelitian lainnya dan masing-masing
adalah 1,45 (Caulerpa), dan 1,32 (Halimeda), 2,85 (Gracilaria), 1,64 (Acanthophora), 1,54 (Sargassum), dan 1,38
(Padina).
Biomassa makroalga yang diperoleh di perairan pantai Masawoy lebih
tinggi dari lokasi penelitian lainnya
dengan nilai rata-rata adalah 1,50 gram/m
(Caulerpa), 0,71 gram/m (Halimeda),
0,67 gram/m (Gracilaria), 0,66 gram/m
(Acanthophora),
0,38
gram/m
(Sargassum), dan 0,34 (Padina).
Makroalga yang dominan adalah
Caulerpa,
Halimeda,
Gracilaria,
Acanthophora, Sargassum dan Padina,
dengan nilai rata-rata adalah 1,01%
(Caulerpa), 0,70% (Halimeda), 0,57%
(Gracilaria),
0,58%
(Acanthophora),0,54% (Sargassum), dan
0,53% (Padina).
Parameter kualitas air yang tercatat
selama penelitian masih berada pada
kisaran
yang
layak
mendukung
pertumbuhan makro alga.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, W.S. Sulistijo, dan H. Mubarak.
1990. Potensi pemanfaatan dan
prospek pengembangan budidaya
rumput laut di Indonesia. Badan
Pengembangan Ekspor Nasional.
Dep. Perdagangan dan Koperasi,
Jakarta. 13hlm.
Baku Mutu Laut KLH. 1988. Keputusan
Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup RI No.
02/MENKLH/I/1988,
tentang
pedoman dan penetapan baku
mutu lingkungan. 67hlm.
Barus, T.A. 1996. Pengantar limnologi
studi tentang ekosistem air

476

daratan. USU Press. Medan.


hlm:33-35.
Bhavanath, J., C.R.K. Reddy, and C.T.
Mukund. 2009. Seaweed of India.
The diversity and distribution of
seaweed of the Gujarat Coast.
232p.
Brower, J.E.H.Z. 1990. Field and
laboratory methods for general
ecology.
Win.
C.
Brown
Publisher. New York. 52p.
Chapman, V.J. and D.J. Chapman. 1980.
Seaweeds and their uses. Third
edition, New York. London.
334p.
Codero, P.A.J. 1980. Taxonomy and
distribution of Philiphine useful
seaweed. National Research
Council of the Philipines. Bictun,
Tagig, Metro Manila Philipines.
73p.
Gumay, M.H., Suhartono, dan R.
Aryawati. 2002. Distribusi dan
kelimpahan rumput laut di pulau
Karimunjawa Jawa Tengah. J.
Aseafo, 2:1-7.
Hadiwigeno, S. 1990. Petunjuk teknis
budidaya rumput laut. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Perikanan. Dirjen Perikanan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Hatta, A.M., S. Papalia, dan K.Yulianto,
1991. Potensi jenis dan biomassa
alamiah rumput laut di Pulau Kai
Kecil, Maluku Tenggara dan
sekitarnya. Balai Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut,
Puslit Oseanografi-LIPI Ambon
Jakarta. 51hlm.
Kadi, A. 2004. Rumput laut di beberapa
perairan pantai Indonesia. J.
Oseanologi di Indonesia, 4:2536.
Kadi, A. 2005. Beberapa catatan
kehadiran marga sargassum di
perairan Indonesia. J. Oseanologi
di Indonesia, 4:19-29.

http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52

Papalia dan Arfah

Magruder, W.H. 1979. Seaweed of


Hawai. The Oriental Puslishing
Company, Honolulu. 116p.
Papalia, S., dan L.F.Wenno. 1991.
Komunitas rumput laut di
perairan pantai pulau Kasim Raja
dan Masigi. Balai Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut,
Puslit Oseanografi-LIPI Ambon
Jakarta. 9hlm.
Papalia, S. 1992. Sebaran jenis dan
komunitas rumput laut di perairan
Yamdena. Laporan penelitian
inventarisasi potensi laut dangkal,
Kepulauan Tanimbar, Maluku
Tenggara tahun 1992. Kerjasama
Badan Koordinasi Survey dan
Perencanaan Nasional dengan
Fak.Perikanan Univ. Pattimura,
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan
SDL
LIPI
Ambon. 69hlm.
Papalia, S. 2009. Sebaran jenis dan
produktivitas makro alga di
perairan Teluk Ambon. Laporan
penelitian monitoring Teluk
Ambon. Proyek Penelitian UPT
Balai Konservasi Biota Laut-LIPI
Tahun 2009. 256hlm.

Rasjid, A. 2004. Berbagai manfaat alga. J.


Oseanologi di Indonesia. 3:915.
Soegiarto, A. 1978. Rumput laut (alga):
manfaat, potensi, dan usaha budidayanya. LON-LIPI, Jakarta.
114hlm.
Soegiarto, A. dan Sulistijo. 1985.
Produksi dan budidaya rumput
laut di Indonesia. LON-LIPI
Jakarta.
Sulistijo. 1985. Upaya pengembangan
budidaya runiput laut Eucheuma
dan Gracilaria. workshop budidaya laut" di Bandar lampung
tanggal 28 Oktober - 1 November
1985. Hlm.:1-11.
Sulistyowati, H. 2003. Struktur komunitas
seaweed (rumput laut) di pantai
Pasir Putih Kabupaten Situbondo.
J. Ilmu Dasar, 1:58-61.
Supriyadi, I.H. 2011. Penataan lamun:
identifikasi daerah perlindungan
lamun dan biota asosiasinya di
kepulauan Kai Kecil, Maluku
Tenggara. J. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia, 37(3):
363-372.
Diterima : 10 Desember 2013
Direvisi : 22 Desember 2013
Disetujui : 31 Desember 2013

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013

477

478

Pedoman Penulisan Paper


1. Ketentuan Umum
Artikel merupakan hasil penelitian ilmiah di bidang ilmu dan teknologi kelautan
tropis dan belum pernah dimuat maupun dalam proses pengajuan dalam publikasi ilmiah
lain. Artikel yang diusulkan dapat berasal dari bidang ilmu dan teknologi kelautan tropis
sebagai berikut: biologi laut, ekologi laut, biologi oseanografi, kimia oseanografi, fisika
oseanografi, geologi oseanografi, dinamika oseanografi, coral reef ecology, akustik
kelautan, remote sensing kelautan, sistem informasi geografis kelautan, mikrobiologi
kelautan, pencemaran laut, akuakultur kelautan, teknologi hasil perikanan, bioteknologi
kelautan, air-sea interaction, dan ocean engineering.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris diketik dengan MSWord, font Times New Roman ukuran 12 pada kertas kuarto atau A4 termasuk Gambar
dan Tabel dengan margin top and bottom 3 cm serta left and right 3 cm. Untuk artikel
dalam bahasa Indonesia, tulisan dilengkapi dengan judul dalam bahasa Indonesia dan
Inggris, abstract (bahasa Inggris) diikuti keywords dan abstrak (bahasa Indonesia)
diikuti kata kunci. Sedangkan artikel dalam bahasa Inggris, tulisan hanya menyertakan
abstract (bahasa Inggris).
Semua komunikasi dengan penerbit dilakukan secara electronic (email). Naskah
artikel harap dikirim ke Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
dengan email address: jurnal_itkt@yahoo.com. Semua naskah yang masuk akan
mendapat balasan penerimaan. Hasil review dari reviewers (mitra bebestari) juga akan
dikirim via email.
2. Sistematika Susunan Artikel
2.1. Sistematika susunan artikel hasil penelitian umumnya sebagai berikut:

Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris yang
diketik secara miring (italic).
Nama penulis, nama dan kota lokasi instansi, dan e-mail corresponding author.
Abstract dalam Bahasa Inggris (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode,
dan hasil penelitian serta tidak lebih dari 225 kata. Semua ditulis dalam Bahasa
Inggris dengan cetak miring)
Keywords maximum 8 words (English). Kata Keywords: ditulis cetak tebal (bold)
Abstrak dalam bahasa Indonesia (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode, dan
hasil penelitian serta tidak lebih dari 225 kata).
Kata kunci maksimal 8 kata (Bahasa Indonesia). Kata kunci: ditulis dengan cetak
tebal (bold)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang, masalah, rumusan
masalah, rangkuman kajian teoretik, ulasan ilmiah terkait judul berdasarkan rujukan
(pustaka) terkini, dan tujuan penelitian). Dalam pendahuluan ini juga disajikan
pertanyaan ilmiah (scientific question) yang akan dijawab dalam penelitian tersebut.
Metode penelitian (ditulis dengan jelas waktu, lokasi, bahan (data), dan analisis data
penelitian sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi percobaan yang

479

terkait). Bagian ini dapat dibuat dalam beberapa sub-bab.


Hasil dan pembahasan (sajikan hasil terlebih dahulu kemudian diikuti dengan penjelasan
atau pembahasan. Pembahasan harus menggunakan rujukan atau dibandingkan (diulas)
dengan rujukan (pustaka) terkini).
Kesimpulan (ditulis dalam bentuk essay (paragraph) secara ringkas dan jelas dan
harus bisa menjawab (menjelaskan) judul dan tujuan penelitian). Saran
dimasukkan dalam pembahasan bila dianggap perlu.
Ucapan terima kasih (ditulis dengan jelas dan ringkas kepada siapa ucapan terima
kasih itu diberikan. Penelitian yang dibiayai DIPA, hibah, atau sejenisnya agar
mencantumkan nomor kontraknya).
Daftar pustaka (lihat ketentuan berikutnya)
Lampiran (jika ada)

3. Teknik Penulisan
3.1. Judul
Judul ditulis dengan huruf kapital, dicetak tebal, di tengah (center), font Times
New Roman 12, hitam. Di bawah judul naskah dalam bahasa Indonesia, diberikan
terjemahan judul dalam bahasa Inggris dengan huruf miring (italic).
Contoh:
INTERAKSI PADA HUMIN UNTUK ADSORPSI Mg (II) DAN Cd (II)
DALAM MEDIUM AIR LAUT

INTERACTION ON HUMIN FOR Mg (II) AND Cd (II)


IN THE SEA WATER MEDIUM
3.2. Nama Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar dengan huruf kapital pada awal nama,
dicetak tebal, di tengah, font Times New Roman 12, hitam. Dilengkapi dengan nama
dan kota lokasi instansi dan e-mail untuk corresponding author dengan font Times New
Roman 12, hitam dengan spasi 1.
Contoh:
Tuti Wahyuni
Pusat Riset Teknologi Kelautan, Balitbang KP-KKP, Jakarta
e-mail: tuti@dkp.go.id
Jika artikel ditulis lebih dari satu orang dan alamat instansinya berbeda maka
disetiap nama penulis diikuti dengan nomor yang ditulis secara superscript
Email address yang dicantumkan hanya utk corresponding author saja.
Contoh 1:

480

Tuti Wahyuni1* dan Dendy Mahabror2


1
Pusat Riset Teknologi Kelautan, Balitbang KP-KKP, Jakarta
*
e-mail: tuti@dkp.go.id
2
Balai Riset Observasi dan Kelautan, Balitbang KP-KKP, Jakarta

Contoh 2:

Tuti Wahyuni1*, Dendy Mahabror2, dan Rani Ulawi3


Pusat Riset Teknologi Kelautan, Balitbang KP-KKP, Jakarta
*
e-mail: tuti@dkp.go.id
2
Balai Riset Observasi dan Kelautan, Balitbang KP-KKP, Jakarta
3
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB, Bogor
1

3.3. Abstrak Berbahasa Inggris dan Keywords


Tulisan Abstract ditulis dengan huruf kapital, tengah (center) dicetak tebalmiring (italic), font Times New Roman 11, hitam, spasi 1. Isinya tidak dicetak tebal.
Penulisan rata kiri dan kanan, tanpa alinea (abstract keseluruhan merupakan satu alinea).
Tulisan Keywords ditulis dengan huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, font
Times New Roman 11, hitam, diberi titik dua, selanjutnya tidak dicetak tebal. Penulisannya
rata kiri.
Contoh:
ABSTRACT
A study of interaction on humin for Mg(II) and Cd(II) in the sea water medium was
investigated... ... and so on.
Keywords: absorption, humin, magnesium, cadmium
3.4. Abstrak Berbahasa Indonesia dan Kata Kunci
Tulisan Abstrak ditulis dengan huruf kapital, tengah (center) dicetak tebal, font
Times New Roman 11, hitam, spasi 1. Isinya tidak dicetak tebal. Penulisan rata kiri dan
kanan, tanpa alinea (abstrak keseluruhan merupakan satu alinea).
Tulisan Kata kunci ditulis dengan huruf kapital di awal kata, dicetak tebal,
font Times New Roman 11, hitam, diberi titikdua, selanjutnya tidak dicetak tebal.
Penulisannya rata kiri.
Contoh:
ABSTRAK
Penelitian tentang studi interkasi pada humin untuk absorpsi Mg(II) dan Cd(II) dalam
medium air laut .... dan seterusnya.
Kata kunci: absorpsi, humin, magnesium, kadmium
3.6. Bab (Chapter) dan Sub-Bab (Sub-Chapter)
Bab (Chapter) ditulis dengan urutan angka romawi, huruf kapital, dicetak tebal,
rata tepi kiri, font Times New Roman 12, hitam sedangkan sub-bab (sub-chapter) ditulis
dengan urutan angka biasa, huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, rata tepi kiri, font
Times New Roman 12, hitam. Apabila di bagian sub-bab masih ada subnya lagi, maka
penulisannya diberi nomor paralel dengan sub-bab sebelumnya diikuti titik, judul
dengan huruf kapital di awal kata, cetak tebal, rata tepi kiri, font Times New Roman 12,
hitam.
Contohnya berikut ini:

481

--------------------------------------------------------------I. PENDAHULUAN
II.
2.1.
2.2.
2.3.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Data
Analisis Data

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Hasil
3.1.1. Suhu Permukaan
3.1.2. Konsentrasi Klorofil-a
3.2. Pembahasan
(Note: sub chapter hasil dan pembahasan dapat disatukan)
IV. KESIMPULAN
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
----------------------------------------------------------------3.8. Catatan Kaki (Footnote)
Catatan kaki diberi simbol angka setelah frase/istilah(1) yang akan diterangkan.
Catatan kaki yang merupakan keterangan kata/frase ditulis dengan font Times New Roman
8, hitam.
3.9. Tabel
Judul tabel diletakkan di atas tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan di rata kiri (left), font Times New Roman 12. Tabel diberi
nomor, diikuti titik, kemudian judul tabel (misalnya Tabel 1. Judul, Tabel 2.
Judul). Jarak peletakan table dari kalimat diatasnya sebanyak 2 spasi dan jarak tabel ke
kalimat baru dibawahnya sebanyak 2 spasi. Jarak dari judul tabel terhadap tabel itu sendiri
sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk tabel tersebut maka jaraknya dari table
dalah 1 spasi. Bila lebih dari satu baris menggunakan spasi 1.
Contoh:
Tabel 1. Kandungan humin dan asam humat hasil isolasi tanah gambut
_______________________________________________
Content (cmol/kg)
Group
__________________________________
Humin1
Humin2
________________________________________________
Total acidity
677
543
-COOH
115
199
-OH Phenolic
562
344
________________________________________________
1
Isolated peat soil from Siantan Hulu, West Kalimantan
2
Isolated peat soil from Siantan Hulu, West Kalimanta (Saleh, 2004)

482

3.10. Gambar
Gambar dapat berupa diagram, grafik, peta, foto (yang mengemukakan data) dan
lain-lain. Judul gambar diletakkan di bawah gambar, ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan rata kiri (left), font Times New Roman 12. Jarak dari judul
gambar terhadap gambar itu sendiri sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk gambar
tersebut maka jaraknya dari table dalah 1 spasi. Gambar diberi nomor diikuti titik,
kemudian judul gambar (misal Gambar 1. Judul..., Gambar 2. Judul ...). Bila judul lebih
dari dua baris menggunakan spasi 1.
Contoh penulisan sebagai berikut:
[Tampilkan gambar disini tanpa garis kotak]
Gambar 1. Dermaga tetap pada daerah penelitian.
3.11. Rujukan dan Daftar Pustaka
Teknik penulisan rujukan dalam teks dan daftar pustaka, menggunakan gaya
yang umum dipakai dalam pedoman penulisan ilmiah khususnya dalam International
Journal. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam teks saja.
Sebaliknya, referensi yang dirujuk dalam teks harus dicantumkan dalam daftar pustaka.
Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis, menggunakan font Times New Roman 12,
hitam. Bilamana referensinya lebih dari satu maka diurutkan berdasarkan tahun terbit
yang paling baru. Cara menuliskan sumber pustaka (rujukan) adalah sebagai berikut.
Menulis Rujukan dalam Teks
Untuk penulisan rujukan, tulis nama keluarga dari pengarang diikuti koma atau titik
dan tahun terbit artikel/paper/laporan/prosiding/dll. Untuk pengarang lebih dari 2
orang dituliskan dengan menggunakan et al. (ditulis miring).
Penulisan dan atau and sebelum nama terakhir ditulis sesuai dengan judul tulisan
tersebut yaitu dan untuk Indonesia dan and untuk Inggris.
Contoh:
Anastasi (1997) menyatakan ..... atau .....(Anastasi, 1997).
Kiswara dan Winardi (1994) menyimpulkan ..... atau ..... (Kiswara dan Winardi,
1994).
Berk and Romly (1984) meneliti .... atau ...... (Berk and Romly, 1984).
Ali et al. (2008) menjelaskan....atau...... (Ali et al., 2008).
Menulis Daftar Pustaka
Tulis nama keluarga diikuti koma, satu spasi jarak, singkatan nama pertama atau
kedua (bila ada) diikuti titik, dua spasi jarak, tahun terbit diikuti dengan titik, dua
spasi jarak, Judul artikel/paper, nama jurnal (ditulis dengan miring) diikuti titik,
volume(edisi), titik dua, nomor halaman paper/artikel dalam jurnal.
Bila lebih dari satu baris, maka baris selanjutnya masuk dengan 9 ketukan (1,25 cm
hanging left).
Contoh:
Kiswara, W. dan L. Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk

483

Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. J. Teknologi Kelautan


Nasional, 3(1):23-36.
Mardi, L.M., T.M. Nathan, R.A. Raman, and W.L. Joran. 2008. Fish stock
assessment in Java Sea. J. Marine Science, 3(2):123-145.
Buku dengan seorang penulis atau lebih
Anastasi, A. 1997. Psychological testing. 4th ed. MacMillan Press. New York. 234p.
Berk, R.A., B.A. Romly, and N.N. Siogu. 1984. A guide criterion referenced test
construction. The John Hopkins University Press. Baltimore. 389p.
Artikel dalam sebuah buku/prosiding
Artikel yang terdapat dalam sebuah buku atau prosiding, ditulis dengan menulis
artikel itu terlebih dahulu lalu diikuti dengan buku atau prosiding tersebut.
Contoh:
Berk, R.A.1988. Selecting index or realibility. In: Berk, R.A. (ed.). A guide to
post construction. The John Hopkins University Press. Baltimore. 200-217pp.
Ramdi, N.S., B.K. Roland, dan D. Torres. 2010. Variabilitas konsentrasi klorofil-a di
Laut Jawa. Dalam: Nababan et al. (eds.). Prosiding pertemuan ilmiah tahunan
VI ISOI 2009, International Convention Center, Botani Square, Bogor, 16-17
November 2009. Hlm.:223-247.
Dua artikel dengan author yang sama dalam sebuah buku
Ditulis dengan cara seperti yang telah diuraikan, dengan tambahan huruf a, b,
c, dan seterusnya, yang ditempatkan dibelakang tahun terbit.
Contoh:
Berk, R. A. 1984a. Selecting index or realibility. In: Berk, R.A. (ed.). A guide to post
construction. The John Hopkins University Press. Baltimore, 234-345pp.
Berk, R. A 1984b. Conducting the item analysis. In: Berk, R.A. (ed.). A guide to
post construction. The John Hopkins University Press. Baltimore. 123-134pp.
Terjemahan
Cara penulisannya sama dengan cara menulis pustaka lain, kecuali judul buku
diganti dengan judul yang sudah diterjemahkan.
Di belakang judul tersebut dituliskan nama penerjemah, yang diawali dengan
nama kecilnya, yang di belakang dituliskan kata penterjemah.

Contoh:
Gagne, R.M., L.J. Briggs, and W.W. Wage. 1988. Prinsip-prinsip desain instruksional,
(3rd Ed.). Soeparman, K. (penterjemah). Holt, Rineahart, and Winston press.
Chicago. 236p.
Artikel dari Internet
Artikel yang diambil dari internet (website) maka cara menulisakannya sebagai
berikut: nama pengarang artikel, tahun terbitan, judul artikel, nama majalah/
artikel/jurnal/yang lain, alamat website, tanggal akses.

484

Contoh:
Lynch, T. 1996. DS9 trials and tribble actions review. From Psi Phi:Bradleys Science
Fiction Club, http://www.bradley.edu/compusorg/psiphi/DS9/ep/SO3r.htm.
[Retrieved on 23 March 2007].
Artikel pada surat kabar
Surat kabar atau artikel dalam surat kabar, pada umumnya dicantumkan dalam
daftar pustaka dengan menulis nama penulis, tahun terbit, judul artikel, nama
surat kabar dan tanggal terbit.
Contoh:
Nababan, B. 2009. Laut bukan lagi penyerap carbon. Antara, 12 Mei 2009.
Artikel yang tidak dipublikasikan
Skripsi, tesis, dan disertasi dapat digolongkan ke dalam materi yang tidak
dipublikasikan.
Contoh:
Nababan, B. 2005. Bio-optical variability of surface waters in the Northeastern Gulf of
Mexico. Dissertation. College of Marine Science. University of South Florida.
158p.
Buku/Laporan Hasil Penelitian Tanpa Pengarang
Buku atau laporan hasil penelitian yang merupakan hasil penelitian dari institusi
atau lembaga ditulis dengan menyebutkan nama institusi atau lembaga yang
menerbitkan buku atau laporan hasil penelitian tersebut, diikuti tahun penerbitan, judul
buku, penerbit (institusi penerbit), dan diikuti jumlah halaman.
Contoh:
Kementerian Pendidikan Nasional. 1985. Kurikulum sekolah menegah pertama (SMP).
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 219hlm.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). 2008.
Prospek perikanan Indonesia. P2O-LIPI, Jakarta. 234hlm.

485

486

Indeks
Abrasi, 417, 423, 426, 427
Acanthophora, 465, 469, 470, 471, 473,
476
Acanthuridae, 380, 383
Acropora, 276, 279, 282, 285
Acropora millepora, 279
Acropora nobilis, 279
Acropora sp1, 279
Acropora sp2, 279
Acropora sp3, 279
Akresi, 417, 425
Akustik, 441, 442, 443, 444, 445, 451
Alga, 287, 288, 290, 291, 292, 294, 295
Alit, 401, 402, 407
Ambarsari, 343
Amphiprion Percula, 355, 356, 360, 363
Anggoro, 453
Angin, 261, 263, 265, 266, 267, 268, 270
Anjusary, 311
Antioxidant, 287, 288, 290, 296, 297
Apogonidae, 381
Arfah, 465
Arlindo, 243, 244, 251
Arus, 244, 248, 249, 253, 258, 259, 261, 262,
263, 265, 266, 267
Arus Geostropik, 261, 263, 265, 266, 267,
268, 269, 270
Asam Amino, 299, 302, 306, 307, 308
Asih, 333, 334,340, 341
Aulostomidae, 381
AVISO, 261, 263, 264, 270
Balistidae, 380, 381
Bangka Belitung, 441, 442, 451
Basit, 365
Benih, 401, 402, 403, 404, 405, 406,407
Bio-optik, 429, 430
Biomassa, 377, 378, 379, 385, 387
Biota, 273, 274, 276, 409, 410, 411, 412, 413,
414, 415, 416
Bleniidae, 381
Brown Alga, 287, 288, 291, 292, 294
Budidaya, 391, 392, 398, 399
Buru Selatan, 465, 466, 467, 474
Caesionidae, 381
Carangidae, 381
Cathfish roe, 300
Caulastrea curfata, 280
Caulerpa, 465, 470, 471, 472, 473, 476
Coral Triangle, 262
Chaetodontidae, 380, 381

Channa striatus, 300, 308, 309


Chromis, 378, 380, 381, 383
Cirrhinus mrigala, 300, 307, 309
Cirrhitidae, 382
Citra, 453, 454, 455, 456, 457, 463
Cromileptes Altivelis, 334, 340, 341
Cyphastrea serailia, 280
Cyphastrea sp, 280
Dascyllus, 378, 380, 382, 383
Deconvolution, 441, 449, 450, 451, 452
Densitas, 243, 246, 247, 251, 252, 253, 254,
255, 256, 263
Dietary Fiber, 287, 288, 289, 290, 291, 296,
297
Dinamik, 261, 263, 264, 265, 266, 267, 268,
270
Diploastrea heliopora, 281
Diodontidae, 382
Distribusi, 273, 278, 429, 430, 433, 434, 435,
436, 437, 438
Dominansi, 465, 468
DPPH Radical Scavenging, 287, 293
Echinopora lamellosa, 281
Ecoreef, 377, 378, 379, 380, 383, 385, 386,
387, 389
Ekhinodermata, 409, 414, 415, 416
Ekstraksi, 299, 300, 301, 303, 304, 305, 306,
308
Ekosistem, 273, 274, 278
El Nino, 243, 244, 251, 257, 258
Embriogenesis, 391, 393, 394, 395, 397
Enhalus acuroides, 465, 469
Enso, 243, 249, 251, 254, 258, 259
Enzim, 343, 344, 345, 346, 347, 348
Epinephelus corallicola, 311, 312, 313, 315,
316, 318, 319, 321, 322
Epinephelus fuscoguttatus, 333, 334, 341
Epinephelus microdon, 333, 334, 340, 341
Estimasi, 453
Estradivari, 377, 387
Euphyllia ancora, 281
Favia favus, 280
Favia mathai, 280
Favia sp1, 280
Favia sp2, 280
Favia sp3, 280
Favia sp4, 280
Favites flexuosa, 280
Favites halicora, 280
Favites pentagona, 280
favites sp1, 280
favites sp2, 280

487

Figure, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 366,


367, 368, 369, 370, 371, 372, 373, 374
Filter, 441, 446, 447, 449, 450, 451, 452
Fistulariidae, 382
Fluktuasi, 243, 244, 246, 247, 251, 252, 253,
254, 257
Frekuensi, 465, 467, 468, 472, 473
Gambar, 245, 247, 249, 250, 251, 252, 253,
254, 255, 256, 262, 263, 264, 265, 266,
267, 268, 269, 270, 274, 275, 276, 277,
278, 281, 303, 304, 305, 306, 315, 316,
318, 319, 320, 321, 329, 336, 337, 338,
346, 347, 348, 349, 350, 351, 356, 357,
358, 359, 360, 361, 379, 383, 384, 385,
386, 387, 394, 396, 397, 398, 403, 405,
410, 411, 412, 413, 414, 418, 419, 420,
421, 422, 423, 425, 426, 431, 433, 434,
435, 436, 437, 454, 455, 456, 458, 459,
442, 443, 444, 445, 446, 447, 448, 449,
450, 451, 467, 469, 470, 471, 472, 473,
474
Gelombang, 243, 244, 249, 251, 253, 257, 258
Gen Tyr, 355, 356, 357, 358, 359, 361
Geometry, 441
Gnathannodon specious forsskal, 401, 402,
406, 407
Gracilaria, 465, 469, 470, 472, 473, 476
Golden trevally, 401, 407
Goniopora lobata, 277, 279
Habitat, 453, 454, 455, 456, 457, 458, 460,
461, 462, 463
Hadi, 273
Haemulidae, 378, 382
Halimeda, 465, 470, 471, 472, 473, 476
Halmahera Sea, 365, 366, 369, 370, 373, 374,
375
Hamburan, 429, 430, 431, 432, 433, 434, 435,
436, 437, 438
Hamzah, 391, 392, 395, 396, 397, 399
Hibridisasi, 333, 334, 337, 340
Hidayat, 243
Holocentridae, 382
Hormon LHRH-a, 325, 326, 327, 328, 329,
330, 331
Hutapea, 355, 363
Idris, 377, 387
Ikan
Cakalang, 299, 300, 301, 302, 303
Haemulidae, 378, 382
Ikan Karang, 377, 378, 379, 380, 383,
385, 386, 387, 388
Ikan Terumbu, 453, 463

488

Kerapu Pasir, 311, 312, 313, 315,


316, 317, 318, 319, 320, 321
Kerapu Bebek, 325, 326, 327, 328,
329, 330, 331
Kerapu, 333, 334, 335, 336, 337, 338,
339, 340, 341
Klon, 355, 356, 357, 358, 359, 360,
361, 362, 363
Kue, 401, 402, 403, 404, 405, 406, 407
Scaridae, 378, 380, 382
Implantasi, 325, 326, 327, 328, 329, 330, 331
Intertidal, 409, 410, 411, 412, 413, 414, 415,
416
IODM, 243, 244, 249, 251, 254, 257, 258
Ismi, 333, 334, 336, 337, 340, 341
Karakterisasi, 343, 350
Karang Batu, 273, 274, 275, 277, 278, 282,
283
Karapas, 343, 344, 349
Katsuwonus Pelamis, 299, 302
Kecernaan, 311, 313, 315, 316, 317, 318, 319,
320, 321, 322
Kelimpahan, 377, 378, 379, 383, 385,
387, 453, 454, 455, 458, 460
Kepadatan, 409, 410, 413, 414, 415, 465, 466,
467, 468, 470, 473
Keragaman, 465, 466, 467, 468, 470, 471,
472, 473, 476
Kerang Mutiara, 391, 392, 393, 394, 395, 396,
397, 399
Komposisi Spesies, 377, 378, 379, 380, 383,
385, 386, 387, 389
Konsentrat, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305,
306, 307, 310
Kualitas, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339,
340
Kusumawati, 333
La Nina, 243, 244, 251, 257
Labeo rohita, 300, 309
Labridae, 380, 382, 383
Larva, 391, 392, 393, 394, 395, 396, 397, 398,
399, 402, 407
Lemak, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317,
318, 319, 320, 321, 322, 323
Leptastrea purpurea, 281
Leptastrea transversa, 281
Lethrinidae, 381
Limbah, 343, 344
LIT, 273, 274, 275
Lujanidae, 381
Makroalgae, 465, 469, 473, 476
Manik, 441
Marzuqi, 311, 312, 317, 322, 323

Moluska, 409, 412, 414, 415, 416


Monacanthidae, 381
Montastrea curta, 281
Montastrea sp, 281
Montipora informis, 279
Montipora undata, 279
Montipora spumosa, 279
Montipora sp1, 279
Montipora sp2, 279
Mullidae, 380, 381
Musim Barat, 261, 265, 266, 267, 268, 269,
270
Musim Tenggara, 261, 265, 267, 268,
269, 270
Mustika, 453
Myriophthalma, 279
Nababan, 429, 430, 433, 434, 436, 437,
439, 440
NEGOM, 429, 430, 431, 433, 434, 435,
436, 438, 439
Nemipteridae, 381
Noise, 441, 446, 447, 448, 450, 451, 452
Nurhayati, 343
Nutrien, 311, 312, 313, 315, 316, 321, 322,
323
Oosit, 325, 326, 327, 328, 329, 330
Ostraciidae, 381
Oulophyllia sp1, 281
Oulophyllia sp2, 281
Oxygen, 365, 368, 373, 374
Pachyseris speciosa, 279
Padina, 465, 470, 471, 472, 473, 476
Padina Australis, 287
Pakan, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317,
318, 319, 320, 321, 322, 323
Pantai, 417, 418, 420, 421, 422, 423, 424,
425, 426, 427
Pasang surut, 409, 410, 411
Papalia, 465, 470, 471, 476, 477
Pavona cactus, 279
Pavona decussata, 279
Pchyseris rugosa, 279
Pembenihan, 333, 334, 336, 340, 341
Pemetaan, 453, 454, 456, 461, 463
Penaeus Monodon, 343, 350
Perairan
Arafura-Timor, 261, 262, 263, 269, 270
Bangka, 273, 274, 279, 282, 285
Laut Timor, 261, 262, 263, 266, 267,
269, 270
Laut Arafura, 261, 262, 263, 266, 267,
269, 270
Rambat, 441, 442, 444

Senunu, 243, 245, 247, 248, 249, 250,


253, 254
Pulau Ambalau, 465, 466, 467, 471
Perkembangan Gonad, 325, 326, 327, 328,
330, 331
Persen tutupan, 409, 412, 413, 414
Pertumbuhan, 401, 402, 403, 404, 405, 406
Pesisir, 409, 410, 411, 412, 413, 414, 415,
416, 417, 418
Physogyra lichstentaini, 277, 281
Pinctada Maxima, 391, 392, 393, 394, 396,
397, 398, 399
Pinguipedidae, 381
Platygyra daedalea, 281
Platygyra lamellina, 281
Platygira sp.1, 281
Platygira sp.2, 281
Plesiastrea versipora, 281
Plotosidae, 381, 383
Plotosus lineatus, 377, 380, 381, 383,
386
Pocillopora damicornis, 279
Podungge, 287
Pola Warna, 355, 356, 357, 358, 361, 362
Polyphenoloxidase, 343, 344, 345, 346, 347,
348, 349, 350, 351, 352, 354
Pomacanthidae, 380, 381
Pomacentridae, 380, 381, 383, 384
Porites lutea, 273, 277, 282
Pramuka Island,287, 288, 289
Produksi, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339,
340, 341
Produktivitas, 402, 465, 477
Proksimat, 300, 301, 302, 303
Protein, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305,
306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313,
314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321,
322, 323, 346, 347, 348, 353
Psammocora contiqua, 279
Ptereleotridae, 382
Pulau, 261, 267, 269, 270
Pulau Bangka, 273, 274, 283, 284
Pulau Manado Tua, 377, 378, 379, 380, 383,
385, 386
Purba, 243, 244, 253, 254, 258
Putri, 365
Prayogo, 409
Radjawane, 261, 263, 270
Ramadyan, 261
Ramdhan, 417
Ramdhani, 441
Razak, 377, 378, 387, 389
Rieuwpassa, 299, 310
489

Salinity, 365, 368, 369, 370, 372, 374


Santoso, 287, 288, 289, 290, 296, 297, 299,
307, 310
Sargassum, 465, 469, 470, 471, 472, 473, 476,
477
Satelit, 261, 263, 264, 265, 417, 418, 425,
426, 427, 453, 454, 544, 456, 463
Satelit Altimetri, 261, 263, 264, 265
Scaridae, 378, 380, 382
Scleractinia Coral, 273
Seagrass, 410, 412, 414, 416
Seaweeds, 287, 288, 291, 292, 294, 295, 296,
297, 410
Sedimen, 441, 442, 443, 444, 445, 447, 448,
450, 451
Seismik, 441, 442, 443, 444, 445, 446, 447,
448, 449, 450, 451, 452
Sembiring, 355
Seribu Island, 287, 288, 289
Serranidae, 380, 382
Setiawan, 377
Setiawati, 355, 362, 363
Siganidae, 380, 382
Sintasan, 401, 402, 403, 404, 405, 406
Siregar, 429, 453, 454, 463
Siringoringo, 273, 274, 283
Sirkulasi, 262, 263
Slope, 263, 266, 267, 269
Spasial, 429, 430, 433, 435, 438
SSLW, 365, 370, 373, 374
Struktur Komunitas, 377, 379, 383, 385, 386,
388
Subamia, 355
Suhandana, 343
Suhu, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250,
251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258
Sumaryanto, 287
Sumbawa, 409, 410, 416
Sunuddin, 453
Susilohadi, 441
Synodonthidae, 383
Tabel, 247, 248, 251, 252, 253, 254, 257,
277, 278, 279, 281, 302, 303, 306,
307, 308, 313, 314, 315, 317, 318,
319, 320, 327, 328, 329, 334, 335,
336, 337, 338, 339, 358, 359, 360,
361, 380, 393, 394, 395, 396, 403,
404, 405, 406, 424, 425, 426, 431,
433, 456, 457, 458, 460, 461, 474,
475
Table, 290, 291, 370, 373, 374
Taman Nasional Bunaken, 377, 378, 387

490

Teluk bungus : 417, 418, 420, 423, 424, 425,


426, 427
Temperature, 365, 366, 368, 369, 370, 373,
374
Termoklin, 243, 244, 246, 247, 248, 250, 251,
252, 254, 257
Terumbu Karang, 273, 274, 278, 282, 283,
284, 378, 384, 387
Tetraodontidae, 383
Thalasia hemprizii, 465, 469, 471, 472
Topografi, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 267,
268, 269, 270
Trilaksani, 299
Tridjoko, 325, 326, 331
Turbinaria frondens, 281
Turbinaria reniformis, 281
Turbinaria sp1, 281
Turbinaria sp.2, 281
Tutupan Karang, 273, 274, 275, 276, 282, 283
Udang, 343, 344
Udang Windu, 343, 344
Untung, 429
Upwelling, 243, 244, 245, 247, 259, 261, 268,
269
Variabilitas, 243, 244, 245, 246, 253, 258,
259, 429, 430, 431, 433, 436, 437, 438
Wouthuyzen, 453, 463
Waworuntu, 243
Weda Bay, 365, 366, 367, 369, 370, 371, 372,
373, 374, 375
Yulianda, 409, 410, 416
Yulius, 417, 418, 425, 426, 427
Yusuf, 409
Zonasi, 409, 410
Zooxanthellae, 278

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BEBESTARI TIDAK TETAP


JURNAL ITKT VOLUME 5 NOMOR 2, DESEMBER 2013
Redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada para mitra bebestari di bawah ini
atas bantuannya dalam mereview paper pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013.
1. Dr. Vincentius Siregar
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Majariana Krisanti
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
3. Dr. Mia Setiawati
Departemen Budidaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
4. Dr. Tatag Budiarti
Departemen Budidaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

491

PEMETAAN HABITAT DASAR DAN ESTIMASI STOK IKAN TERUMBU DENGAN


CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI
(SHALLOW WATER HABITAT MAPPING AND REEF FISH STOCK ESTIMATION
USING HIGH RESOLUTION SATELLITE DATA)
Vincentius P. Siregar, Sam Wouthuyzen, Adriani Sunuddin, Ari Anggoro, dan Ade Ayu
Mustika .................................................................................................................................... 453
PRODUKTIVITAS BIOMASA MAKROALGAE DI PERAIRAN PULAU AMBALAU,
KABUPATEN BURU SELATAN
(MACROALGAE BIOMASS PRODUCTIVITY IN AMBALAU ISLAND WATERS, SOUTH
BURU DISTRICT)
Saleh Papalia dan Hairati Arfah ............................................................................................... 465
Pedoman Penulisan Paper ....................................................................................................... 479
Indeks ...................................................................................................................................... 487
Ucapan Terima Kasih Kepada Mitra Bebestari ........................................................................ 491

KARAKTERISASI EKSTRAK KASAR ENZIM POLYPHENOLOXIDASE DARI


UDANG WINDU (Penaeus monodon)
(CHARACTERIZATION OF CRUDE EXTRACT POLYPHENOLOXIDASE ENZYME
FROM BLACK TIGER SHRIMP (Penaeus monodon))
Made Suhandana, Tati Nurhayati, dan Laksmi Ambarsari ..................................................... 353
WATER MASS CHARACTERISTICS OF WEDA BAY, HALMAHERA ISLAND, NORTH
MALUKU
Abdul Basit and M.R. Putri ..................................................................................................... 365
KOMPOSISI SPESIES DAN PERUBAHAN KOMUNITAS IKAN KARANG DI
WILAYAH REHABILITASI ECOREEF PULAU MANADO TUA, TAMAN NASIONAL
BUNAKEN
(THE COMPOSITION OF SPESIES AND CHANGES IN REEF FISHES COMMUNITY AT
ECOREEF REHABILITATION SITE, MANADO TUA ISLAND, BUNAKEN NATIONAL
PARK)
Fakhrizal Setiawan, Tries B. Razak, Idris, dan Estradivari .................................................... 377
INTENSITAS CAHAYA LAMPU PIJAR TERHADAP PERKEMBANGAN
EMBRIOGENESIS DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA KERANG MUTIARA
(Pinctada maxima)
(FLUORESCENT LAMP LIGHT INTENSITY ON THE EMBRYOGENESIS DEVELOPMENT AND THE SURVIVAL OF PEARL OYSTER (Pinctada maxima) LARVAE)
Mat Sardi Hamzah ................................................................................................................... 391
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN KUE,GOLDEN
TREVALLY, Gnathannodon speciosus Forsskal DENGAN UKURAN PANJANG YANG
BERBEDA
(GROWTH AND SURVIVAL RATE OF GOLDEN TREVALLY, Gnathannodon speciosus
Forsskal WITH DIFFERENT LENGTH SIZE)
Anak Agung Alit ..................................................................................................................... 401
ZONASI DAN KEPADATAN KOMUNITAS INTERTIDAL DI DAERAH
PASANG SURUT, PESISIR BATUHIJAU, SUMBAWA
(ZONATION AND DENSITY OF INTERTIDAL COMMUNITIES AT COASTAL AREA OF
BATU HIJAU, SUMBAWA)
Fredinan Yulianda, Muhamad Salamuddin Yusuf, dan Windy Prayogo ................................ 409
PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI
SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT
(COASTLINE CHANGES AT BUNGUS BAY PADANG CITY, WEST SUMATERA
PROVINCE BASED ON SATELLITE IMAGERY ANALYSES)
Yulius dan M. Ramdhan .......................................................................................................... 417
VARIABILITAS DAN DISTRIBUSI SPASIAL KOEFISIEN TOTAL HAMBURAN DI
PERMUKAAN PERAIRAN PADA BERBAGAI MUSIM
(VARIABILITY AND SPATIAL DISTRIBUTION OF TOTAL SCATTERING COEFFICIENTS
OF SURFACE WATER IN VARIOUS SEASONS)
Murjat Hi. Untung, Bisman Nababan, dan Vincentus P. Siregar ............................................ 429
DETEKSI DAN KARAKTERISASI AKUSTIK SEDIMEN DASAR LAUT DENGAN
TEKNOLOGI SEISMIK DANGKAL DI PERAIRAN RAMBAT, BANGKA BELITUNG
(ACOUSTIC DETECTION AND CHARACTERIZATION OF MARINE SEDIMENT WITH
SHALLOW SEISMIC TECHNOLOGY IN RAMBAT WATERS, BANGKA BELITUNG)
Haqqu Ramdhani, Henry M. Manik, dan Susilohadi .............................................................. 441

Anda mungkin juga menyukai