2, Desember 2013
ISSN Cetak
: 2087-9423
ISSN Electronik: 2085-6695
JURNAL
ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN TROPIS
Akreditasi LIPI
No.: 742/E/2012 Tanggal 7 Agustus 2012
Diterbitkan Oleh:
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
KATA PENGANTAR
Selamat datang terhadap Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Volume 5
Nomor 2 Desember 2013 yang terbit secara online dan cetak. Jurnal ini merupakan
media informasi hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan teknologi kelautan tropis
khususnya pada perairan Indonesia.
Pemimpin redaksi mengucapkan selamat kepada penulis dari 20 paper yang
diterbitkan dalam edisi ini setelah melalui seleksi dan review oleh tim reviewer (mitra
bebestari), dari sejumlah paper yang masuk.
Edisi ini dilengkapi dengan indeks yang dimuat pada halaman akhir jurnal untuk
memudahkan pembaca dalam menemukan halaman atau lokasi akan topik dan penulis
yang diinginkan. Semoga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis ini dapat
meningkatkan diseminasi dan ketersediaan informasi akan hasil-hasil penelitian di
bidang ilmu dan teknologi kelautan serta perikanan tropis.
Pemimpin Redaksi
ISSN Cetak
ISSN Elektronik
: 2087-9423
: 2085-6695
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 243-259, Desember 2013
ABSTRACT
The purposes of this study were to determine the variability of temperature and its relation to
regional processes in the Senunu Bay. The result showed clear vertical stratifications i.e., mixed
layer thickness about 39-119 m with isotherm of 27C, thermocline layer thickness about 83204 m with isotherm of 1426C, and the deeper layer from the thermocline lower limit to the
sea bottom with isotherm <13C. Temperature and the thickness of each layers varied with
season in which during the Northwest Monsoon the temperature was warmer and the mixed
layer was thicker than those during Southeast Monsoon. During Southeast Monsoon, the
thermocline layer rose about 24 m. The 2001, 2006, and 2009 (weak La Nina years), the
Indonesia Throughflow (ITF) carried warmer water, deepening thermocline depth and reducing
upwelling strength. In 2003 and 2008 thickening of mixed layer occurred in transition season
was believed associated with the arrival of Kelvin Wave from the west. In 2002 and 2004
(weak El Nino period,) ITF carries colder water shallowing thermocline depth and enhancing
upwelling strength. In 2007 was believed to be related with positive IODM where the sea
surface temperature were decreasing due to intensification of southeast wind which induced
strong upwelling. The temperature spectral density of mixed layer and thermocline was
influenced by annual, semi-annual, intra-annual and inter-annual period fluctuations. The
cross-correlation between wind and temperature showed significant value in the annual period.
Keywords: temperature, thermocline, variability, ENSO, IODM.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabilitas suhu dan kaitannya dengan proses-proses
lokal dan regional. Hasil penelitian menunjukkan stratififikasi vertikal yang jelas yaitu lapisan
tercampur dengan ketebalan 39-119 m dan isoterm di atas 27C, lapisan termoklin dengan
ketebalan 83-204 m dan isoterm 14-26C, dan lapisan dalam dari batas bawah termoklin sampai
dasar perairan dengan isoterm kurang dari 13C. Suhu dan ketebalan setiap lapisan bervariasi
berdasarkan musim dimana pada Musim Barat suhu lebih hangat dan lapisan tercampur lebih
tebal dibandingkan Musim Timur. Pada Musim Timur lapisan termoklin terangkat sekitar 24 m.
Pada tahun 2001, 2006, dan 2009 (periode La Nina lemah) suhu dilapisan permukaan lebih
hangat, lapisan termoklin lebih tebal dan intensitas upwelling melemahdiduga disebabkan oleh
Arlindo membawa massa air hangat yang menyebabkan lapisan termoklin bertambah dalam dan
intensitas upwelling melemah. Pada tahun 2003 dan 2008 penebalan lapisan tercampur terjadi
pada Musim Peralihan I dan diduga berkaitan dengan tibanya Gelombang Kelvin. Pada tahun
2002 dan 2004 (periode El Nino lemah) menyebabkan suhu lapisan permukaan lebih dingin,
lapisan termoklin lebih dangkal dan intensitas upwelling menguat. Tahun 2007 diduga
berkaitan dengan IODM positif dimana SPL menurun akibat terjadinya intensifikasi angin yang
lebih kuat di atas perairan Samudera Hindia tropis bagian timur dan selatan Jawa Sumbawa
yang mengakibatkan upwelling yang kuat di wilayah ini. Spektrum densitas suhu pada lapisan
tercampur dan termoklin dipengaruhi fluktuasi tahunan, setengah tahunan, intra-tahunan dan
antar-tahunan. Korelasi silang angin dan suhu menunjukkan korelasi erat pada periode tahunan.
Kata kunci: suhu, termoklin, variabilitas, ENSO, IODM
243
I. PENDAHULUAN
Sirkulasi dan karakter massa air di
perairan selatan Sumbawa yang terletak di
timur laut S. India dipengaruhi oleh
fenomena loka dan non-lokal. Sistem
angin muson yang berubah arah sesuai
musim merupakan fenomena lokal yang
mengakibatkan variabilitas musiman dan
tahunan (Wyrtki, 1961; Fieux et al., 1993;
Clark et al., 1999). Fenomena non-lokal
yang berinteraksi dengan sistem angin
selain mempengaruhi variabilitas semi
tahuan
dan
tahunan
juga
akan
menimbulkan varibilitas antar tahunan.
Berbagai peran dari fenomena ini akan
terekam terutama dalam variabiliats suhu
baik secara spasial dan temporal serta
variabilitas lapisan permukaan tercampur
dan termoklin.
Pada saat bertiup Angin Muson
Tenggara (Juni September) di wilayah
ini poros Arus Katuliswa Selatan (AKS)
bergeser ke dekat panta Jawa Sumbawa
dan proses upwelling dapat terjadi
sehingga lapiasan permukaan tercampur
lebih tipis dan suhunya menurun serta
termokiln terangkat (Wyrtki, 1962; Purba,
2007). Pada musim ini intensias Arus
Lintas Indonesia (ARLINDO) yang masuk
dari sisi timur menaik. Variabilitas
ARLINDO dipengaruhi oleh fenomena El
Nino dan La Nina. Selama El Nino (La
Nina) Arlindo membawa massa air yang
lebih
dingin
(hangat)
sehingga
menyebabkan pendangkalan (pendalaman)
lapisan termoklin dan menguatkan
(mengurangi) intensitas upwelling di
sepanjang pantai barat Sumatera hingga
selatan Jawa Hautala et al., 1996; Ffield et
al., 2000; Gordon et al., 2003; Susanto et
al., 2005; McClean et al., 2005). Menurut
Susanto et al. (2001), pada saat periode El
Nino, wilayah upwelling di sepanjang
pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa
meluas hingga mendekati ekuator dan
berlangsung lebih lama hingga November
244
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
memberi
indikasi
meningkatnya
kesuburan perairan sehingga dapat
digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya hayatinya. Variabilitas ketebalan
lapisan permukaan tercampur dan
kenaikan suhu laut dapat digunakan untuk
mempelajari tren pemenasan global dan
kaitannya dengan pengelolaan sumber.
Tujuan penelitian ini adalah
menentukan menelaah variabilitas sebaran
vertikal suhu air laut secara temporal
dengan analisis spektrum dan kaitannya
terhadap
proses regional di perairan
Senunu.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perairan
barat daya Sumbawa yang merupakan
bagian dari perairan timur laut Samudera
Hindia. Lokasi penelitian berada pada
posisi koordinat stasiun 116.8091 BT dan
9.0723 LS (Gambar 1).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
245
246
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
247
Tabel 1. Kisaran suhu dan ketebalan lapisan tercampur, termoklin, dan dalam di
perairan Senunu tahun 2000-2009 pada Musim Barat dan Musim Peralihan I.
Lapisan
tercampur (surface mixed
layer)
termoklin
dalam (deep mixed layer)
Musim barat
Suhu (C) Tebal (m)
Musim peralihan I
Suhu (C) Tebal (m)
25.7-28.8
0-83
26.2-28.2
0-54
13.3-25.6
<13.3
84-232
13.8-26.1
<13.8
55-192
Tabel 2. Kisaran suhu dan ketebalan lapisan tercampur, termoklin dan dalam di
perairan Senunu tahun 2000-2009 pada Musim Timur dan Musim
Peralihan II
Lapisan
tercampur (surface mixed
layer)
termoklin
dalam (deep mixed layer)
248
Musim timur
Suhu (C) Tebal (m)
Musim peralihan II
Suhu (C) Tebal (m)
24.4-26.1
0-57
24.5-27.0
0-55
14.5-24.3
<14.5
58-182
14.2-24.4
<14.2
56-183
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
suhu (0C)
suhu (0C)
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
12
14
16
20
22
24
26
28
30
100
100
Kedalaman (m)
200
200
300
300
400
400
500
500
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7 0.8
dT/dZ
0.9
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
0.1
0.2
0.3
(a)
10
12
14
16
0.4
dT/dZ
0.5
0.6
0.7
0.8
(b)
suhu (0C)
suhu (0C)
8
18
20
22
24
10
26
100
100
200
200
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
18
Kedalaman (m)
10
300
12
14
16
18
20
22
24
26
28
300
400
400
500
500
0
0.1
0.2
0.3
0.4
dT/dZ
0.5
0.6
0.7
0.8
0.1
0.2
0.3
dT/dZ
0.4
0.5
0.6
(c)
(d)
Gambar 2. Profil suhu menegak di stasiun S16 tahun 2008: (a) Januari (musim barat);
(b) April (musim peralihan I); (c) Juli (musim timur); (d) Oktober (musim
peralihan II). Warna merah menunjukkan nilai suhu pada setiap kedalaman,
warna biru menunjukkan perubahan nilai suhu terhadap kedalaman (dT/dZ).
tersebut merupakan massa air perairan
dalam dari bagian timur yang bersuhu
rendah (Wyrtki, 1961; Susanto et al.,
2001).
Sebaran temporal suhu di perairan
Senunu periode tahun 2000-2009, anomali
suhu bulanan dan keterkaitannya dengan
angin, ENSO dan IODM disajikan pada
Gambar 3.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
249
SOI
20
10
0
-10
-20
-30
d
2
SOI
DMI
1
20
10
0
0
-1
-10
-2
-20
-30 Jan-00
Jan-01
Jan-02
Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Jan-10
Tahun
2
DMI
1
0
Gambar
3. Sebaran temporal suhu bulanan perairan Senunu di Stasiun S16 (a); anomali
-1
suhu bulanan terhadap suhu bulanan rata-rata sepuluh tahun (b); Stickplot
-2
angin hasil reanalisis; (c) SOI bulanan 2000-2009 (d); DMI bulanan 2000Jan-00
Jan-01
Jan-02
Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Jan-09
Jan-10
2007 (e).
Tahun
250
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
251
Tabel 3. Periode fluktuasi suhu air laut dengan spektrum energi yang signifikan pada
kedalaman 5 m, 75 m, 125 m, dan 200 m di stasiun S16 tahun 2000-2009.
Kedalaman
(meter)
Periode
(bulan)
11.60
59.28
75
11.60
68.60
11.60
99.83
19.33
39.14
5.80
8.29
11.60
29
9.39
11.01
23.50
9.88
200
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
variasi tahunan
variasi tahunan
variasi tahunan
variasi tahunan
100
125
0
120
80
60
40
20
0
0
10
20
30
40
Periode (Bulan)
50
60
70
80
90
100
110
120
80
90
100
110
120
Periode (Bulan)
(a)
(b)
100
100
Keterangan
80
60
40
20
80
60
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
Periode (Bulan)
(c)
80
90
100
110
120
10
20
30
40
50
60
70
Periode (Bulan)
(d)
Gambar 4. Spektrum densitas energi suhu air laut di stasiun S16 tahun 2000- 2009. (a)
kedalaman 5 m; (b) kedalaman 75 m; (c) kedalaman 125 m; (d)
kedalaman 200 m.
252
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
Tabel 4. Periode fluktuasi angin dengan spektrum energi yang signifikan di perairan
Senunu tahun 2000-2009.
Periode
(bulan)
11.60
11.60
Keterangan
variasi tahunan
variasi tahunan
700
700
700
700
600
600
600
600
500
500
500
500
400
400
400
400
300
300
300
300
200
200
200
200
100
100
100
100
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
0
120
Komponen
angin
zonal
meridional
0
0
10
Periode (Bulan)
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
0
120
Periode (Bulan)
(a)
(b)
Gambar 5. Spektrum densitas energi angin hasil reanalisis di perairan Senunu tahun
2000-2009. zonal (a); meridional (b).
Fluktuasi dengan periode tahunan
(12 bulan) menggambarkan pola suhu
yang berulang setiap tahun. Dalam satu
tahun terdapat satu periode dimana suhu
permukaan laut menjadi lebih hangat dan
lapisan tercampur menebal (Musim Barat)
dan satu periode lainnya dimana suhu
permukaan laut lebih dingin dan lapisan
tercampur menjadi lebih tipis (Musim
Timur). Interval antara dua kondisi yang
sama adalah satu tahun. Suhu permukaan
laut yang lebih hangat dan menebalnya
lapisan tercampur dibawa oleh Arus
Pantai Jawa yang didorong Angin Muson
Barat Laut (Purba, 2009; Wyrtki, 1962).
Suhu permukaan laut yang lebih dingin
dan menipisnya lapisan tercampur
disebabkan penaikan massa air di
perairan Senunu yang dibangkitkan oleh
Angin
Muson
Tenggara.
Dengan
demikian fluktuasi tahunan diduga
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
253
254
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
200
200
200
200
150
150
150
150
100
100
100
100
50
50
50
50
-50
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Hidayat et al.
-50
120
-50
0
10
20
30
40
Periode (Bulan)
70
80
90
100
110
-50
120
(A2)
1.0
1.0
1.0
1.0
0.8
0.8
0.8
0.8
0.6
0.6
0.6
0.6
0.4
0.4
0.4
0.4
0.2
0.2
0.2
0.2
0.0
120
0.0
0.0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Koherensi Kuadrat
Koherensi Kuadrat
60
Periode (Bulan)
(A1)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
0.0
120
Periode (Bulan)
Periode (Bulan)
(B1)
(B2)
-1
-1
-2
-2
-1
-1
-3
-3
-2
-2
-4
120
-3
-4
0
10
20
30
40
50
60
70
Periode (Bulan)
80
90
100
110
Beda Fase
Beda Fase
50
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
-3
120
Periode (Bulan)
(C1)
(C2)
Gambar 6. Korelasi silang antara angin zonal hasil reanalisis dengan suhu kedalaman 5
m (A1,, B1, C1), 75 m (A2, B2, C2) di stasiun S16 tahun 2000-2009. A.
Kospektrum densitas energi; B. Koherensi kuadrat; C. Beda fase.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
255
250
250
100
100
200
200
80
80
150
150
60
60
100
100
40
40
50
50
20
20
-50
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
-20
-50
120
10
20
30
40
50
(A3)
80
90
100
110
-20
120
(A4)
1.0
1.0
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Koherensi Kuadrat
0.8
Koherensi Kuadrat
70
Periode (Bulan)
Periode (Bulan)
0.0
0.0
120
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
0.0
120
Periode (Bulan)
Periode (Bulan)
(B3)
(B4)
-1
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-2
-3
-3
-3
-3
-4
120
-4
-4
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Beda Fase
Beda Fase
60
10
20
30
40
50
60
70
Periode (Bulan)
Periode (Bulan)
(C3)
(C4)
80
90
100
110
-4
120
Gambar 7. Korelasi silang antara angin zonal hasil reanalisis dengan suhu kedalaman
125 m (A3, B3, C3), 200 m (A4, B4, C4) di stasiun S16 tahun 2000-2009.
A. Kospektrum densitas energi; B. Koherensi kuadrat; C. Beda fase.
256
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
Tabel 5. Hasil korelasi silang angin dengan suhu di stasiun S16 tahun 2000-2009.
komponen kedalaman
angin
(Meter)
zonal
meridional
5
75
125
5
75
125
200
periode
fluktuasi
(Bulan)
12
12
12
12
12
12
12
kospektrum
energi
signifikan
((m/s)2/spb).
((C2)/spb)
158.94
174.59
215.90
64.29
67.60
77.60
22.01
beda fase
koherensi
(tan-1)
hari
0.98
0.97
0.92
0.97
0.94
0.90
0.69
0.56
0.51
0.40
2.98
2.94
2.84
2.26
30
27
22
72
71
71
66
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
257
258
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hidayat et al.
: 20 Oktober 2013
: 11 Februari 2013
: 3 September 2013
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
259
260
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 261-271, Desember 2013
ABSTRACT
Research on the seasonal geostrophic surface current during 2002-2011 in Arafura-Timor
waters was conducted using satellite altimetry data. Those data were absolute dynamic
topography and absolute geostrophic velocity data taken from Archiving Validation and
Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO). The dynamics of geostrophic surface
current varied in every monsoon due to the difference in absolute dynamic topography. During
northwest (NW) season, the absolut dynamic topography in Arafura Sea was higher than in
Timor Sea by an average difference of 0.10.2 m and the geostrophic surface current moved
from Arafura Sea toward Timor Sea. During southeast (SE) season, the absolute dynamic
topography in Arafura Sea lower than Timor Sea with an average difference of 0.03-0.04 m.
In this season, upwelling occurs in Banda Sea and sea surface water in this region becomes
lower and the current moved from Arafura Sea to Banda Sea. The absolut dynamic
topography difference between Arafura Sea and Timor Sea in NW and SE monsoons was
0.050.06 m and so the geostrophic surface current moved from Arafura Sea toward Timor
Sea. In Timor Sea, the current moved southwest towards the Indian Ocean. In NW and SE
Monsoons the the velocity of surface geostrophic current in Timor Sea (0,3 m/sec) was
higher compare in Arafura Sea (0.2 m/sec) due to the configuration of island surround the
Timor Sea and its topography.
Keywords: Geostrophic surface current, altimetrysatellite, Arafura-Timor Sea
ABSTRAK
Penelitian arus geostropik permukaan musiman selama tahun 2002-2011 di perairan ArafuraTimor dilakukan menggunakan data satelit altimetri. Data yang digunakan berupa data topografi
dinamik absolut dan data kecepatan geostropik absolut dari Archiving Validation and
Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO). Dinamika arus geostropik permukaan
bervariasi tiap musim akibat perbedaan arah dan kecepatan angin yang menyebabkan
perubahan topografi dinamik absolut. Saat Musim Barat Laut, topografi dinamik absolut di Laut
Arafura lebih tinggi dibanding di Laut Timor dengan rata-rata perbedaan antara 0,1 - 0,2 m dan
menyebabkan arus geostropik-permukaan bergerak dari Laut Arafura menuju LautTimor. Saat
Musim Tenggara, topografi dinamik absolut di Laut Arafura lebih rendah dibanding di Laut
Timor dengan rata-rata perbedaan antara 0,03 - 0,04 m. Pada musim Tenggara terbentuk daerah
upwelling di Laut Banda dan menyebabkan tinggi muka air laut perairan ini rendah sehingga
arus dari Laut Arafura bergerak ke arah Laut Banda. Perbedaan ketinggian topografi dinamik
absolut antara Laut Arafura dan Laut Timor saat Musim Barat Laut dan Musim Tenggara antara
0,05 0,06 m sehingga arus dari Laut Arafura bergerak menuju Laut Timor. Di Laut Timor,
arus bergerak ke arah barat daya menuju Samudra Hindia. Saat Musim Barat Laut dan Musim
Tenggara, arus geostropik permukaan di Laut Timor lebih cepat (0,3 m/detik) dibanding di Laut
Arafura (0,2 m/detik) akibat konfigurasi pulau-pulau sekitar Laut Timor dan topografi
perairanya.
Kata kunci: arus Geostropik-permukaan, satelit altimetri, Laut Arafura-Timor.
261
I. PENDAHULUAN
Laut Arafura dan Laut Timor
terletak di bagian timur Indonesia. Kedua
laut ini merupakan bagian dari Paparan
Sahul yang berbentuk semi tertutp dengan
kedalaman rata-rata sekitar 30-90 m di
Laut Arafura dan 50-120 m di Laut Timor
dan sebagian kecil memiliki kedalaman
>3000 m (Alongi et al., 2011). Laut
Arafura berbatasan dengan Laut Banda di
sebelah utara, di sebelah timur berbatasan
dengan Selat Torres, di sebelah selatan
berbatasan dengan perairan utara Australia, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Laut Banda dan Laut Timor.
Sementara itu, Laut Timor berbatasan
dengan Laut Banda di sebelah utara, di
sebelah timur berbatasan dengan Laut
Arafura, di sebelah barat berbatasan
dengan Samudra Hindia, dan di sebelah
selatan berbatasan dengan pantai utaraAustralia. Bentuk topografi di Laut
Arafura cenderung datar, tidak banyak
262
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
............... (1)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
263
Jarak antar satelit dengan permukaan laut sesaat yang diukur oleh satelit
altimetri belum bisa dimanfaatkan
langsung untuk keperluan geodesi maupun
oseanografi, sebab untuk mendapatkan
informasi tinggi muka laut terlebih dahulu
kita harus mengkonversi jarak yang
dihasilkan dari pengukuran satelit altimetri menjadi tinggi muka laut terhadap
bidang referensi tertentu. Oleh karena itu
264
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Us= -
...........
(2)
dimana,
Us=kecepatan arus geostropik permukaan
arah x (m/detik)
Vs=kecepatan arus geostropik permukaan
arah y (m/detik)
= topografi dinamik absolut (m)
g = gravitasi (m/detik2)
f = parameter Coriolis
2.1. Pengorganisasian Data
Data yang diperoleh dari satelit
altimetri bersifat 10-harian sesuai dengan
lintasan satelit yang orbitnya dalam
interval waktu 10 hari. Data angin bersifat
harian. Data topografi dinamik absolut
dan perhitungan kecepatan geostropik
absolut serta data kecepatan angin yang
diperoleh dihitung berdasarkan peratarataan bulan dan musim mengikuti
pembagian musim yang berlaku di
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
265
c
Gambar 4. Dinamika musim barat laut 2002-2011 (a) arah angin permukaan dinyatakan
dengan garis sedangkan panah merah merupakan rerata arah angin (b)
topografi dinamik absolut, L merupakan daerah dengan slope muka air laut
rendah dan H merupkan daerah slope muka air laut tinggi (c) arus
geostropik permukaan dinyatakan dengan panah hitam sedangkan arah
reratanya dinyatakan dengan panah merah. Catatan panah merah tidak
menunjukkan skala tertentu.
266
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
267
L
H
c
Gambar 5. Seperti Gambar 4 untuk dinamika musim tenggara 2002-2011 (a) arah angin
permukaan (b) topografi dinamik absolut (c) arus Geostropik permukaan.
268
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Arus geostropik permukaan bergerak dari slope tinggi (H) ke slope lebih
rendah (L) dan dibelokkan berlawanan
jarum jam. Pada musim ini arus
geostropik permukaan bergerak dengan
arah yang bervariasi (Gambar 5c). Di Laut
Arafura, arus geostropik permukaan
bergerak ke arah barat menuju Laut
Banda, ke arah barat daya menuju Laut
Timor dengan rata-rata kecepatan 0,2-0,3
m/detik. Selain itu terdeteksi ada arus
yang bergerak dari perairan Australia
menuju Laut Arafura. Di daerah muara
Sungai Digul kecepatan arus berkurang
dibanding Musim Barat Laut. Arus ini
berasal dari arah selatan lalu bergerak ke
arah utara menuju Laut Banda.
Arus geostropik permukaan dari
Laut Banda bergerak ke arah barat menuju
Pulau Alor (Laut Flores). Namun,
sebagian arus ini ada yang bergerak
menuju Pulau Alor lalu berbelok menuju
Pulau Timor.Saat musim ini arus dari
percabangan Arlindo yang menuju Laut
Banda tidak sekuat saat Musim Barat
Laut. Arus geostropik permukaan di Laut
Timor selama Musim Tenggara bergerak
lebih cepat dibanding saat Musim Barat
Laut. Arus ini bergerak menyusuri pantai
Timor ke arah barat daya menuju Samudra
Hindia dengan rata-rata kecepatan 0,3
m/detik 0,4 m/detik. Arus di Laut Timor
didominasi dari Laut Banda, dimana arus
dibelokkan di utara Pulau Timor dan arus
yang bergerak ke arah selatan langsung
menuju Laut Timor.
Pada Gambar 5c, saat Musim
Tenggara arus di Laut Timor didominasi
arus berkecepatan tinggi dari Laut Banda
karena ketinggian muka laut di Laut
Banda dan sekitarnya lebih rendah akibat
upwelling dan semakin rendah ke arah
barat. Akibatnya arus geostropik permukaan di Laut Banda dan sekitarnya
akan dibelokkan ke arah selatan menuju
Laut Timor. Selain itu, pada musim ini
terdeteksi eddies di antara Laut Arafura
dan Laut Timor, yaitu di selatan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
269
270
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
271
272
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 273-285, Desember 2013
1)
ABSTRACT
Bangka water is well known as the best tin producer in which there are many off-shore tinmining activities conducted by both local people and tin companies. Such condition apparently
brings negative impacts to marine life. Stony corals are considered as the major component of
coral reef ecosystems whose condition is influenced by environmental condition. The aim of this
study is to observe the general condition of coral reefs and the distribution of stony corals in
Bangka Water. The study was carried out between September and November 2010 by taking 10
stations. The method used was LIT as long as 70 meters installed parallel to the coast line. The
result indicates that generally the condition of coral reef was categorized as fair condition, the
coral cover averaging at 47, 82 %. There were 89 species of stony corals found, divided into 13
genera. The most dominant species was Porites lutea , particularly at Station 6 by 33,3%. The
prolonged turbidity mainly caused by tin-mining activities is thought to lead the coral reefs to
critical condition particularly in some areas.
Keywords: stony corals, coral cover, distribution, Bangka Water.
ABSTRAK
Perairan Bangka terkenal sebagai penghasil timah dimana banyak aktivitas penambangan timah
lepas pantai yang dilakukan oleh penduduk lokal maupun perusahaan-perusahan timah. Hal ini
membawa dampak negatif bagi kehidupan biota-biota laut. Karang batu merupakan komponen
utama penyusun ekosistem terumbu karang yang kondisinya banyak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum terumbu karang di
Perairan Bangka dan distribusi dari karang batu yang ada. Penelitian dilakukan bulan September
dan November 2010 dengan mengambil lokasi sebanyak 10 stasiun. Metode yang digunakan
adalah LIT sepanjang 70 meter sejajar garis pantai. Hasil menunjukan bahwa secara umum
kondisi terumbu karang di Perairan Bangka dikategorikan sedang yaitu dengan rata-rata
persentase tutupan karang mencapai 47,82%. Ditemukan sebanyak 89 jenis karang batu yang
terbagi kedalam 13 suku. Jenis Porites lutea merupakan jenis yang paling dominan terutama di
Stasiun 6 yaitu mencapai 33,3 %. Kekeruhan yang berkelanjutan yang utamanya dikarenakan
penambangan timah diduga menyebabkan kondisi terumbu karang menjadi kritis di beberapa
wilayah.
Kata kunci: karang batu, persentase tutupan karang, distribusi, Pulau Bangka.
I. PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan suatu
ekosistem yang mempunyai tingkat
produktifitas paling tinggi di bumi yang
didukung oleh kumpulan biota-biota yang
sangat beragam (Wu and Zhang, 2012).
Namun, kondisi terumbu karang akhirakhir ini sangat rentan terhadap gangguan
perubahan
lingkungan
perairan.
Perubahan
kualitas
perairan
akan
mempengaruhi kondisi terumbu karang
disekitarnya. Aktivitas manusia yang
berlangsung di darat akan mempengaruhi
273
ekosistem
perairan
disekitarnya
khususnya ekosistem terumbu karang.
Menurut (Burke et al., 2002), tekanan
lingkungan akibat aktivitas di daratan
tersebut, dapat menurunkan keanekaragaman hayati di wilayah terumbu
karang sebesar 30 60%.
Demikian juga dengan kondisi
terumbu karang di perariran Pulau Bangka
yang tidak luput dari pengaruh aktifitas
manusia. Perubahan sekecil apapun yang
terjadi di darat dapat mempengaruhi
perairan
disekitarnya.
Aktifitas
penambangan timah baik yang dilakukan
di darat maupun di laut telah
mengakibatkan kekeruhan. Sedimentasi
terlihat baik di dasar perairan dan di
kolom air. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap terumbu karang serta biota lain
yang berasosiasi dengannya.
Beberapa
penelitian
terumbu
karang di Perairan Pulau Bangka sudah
pernah dilakukan sebelumnya. Zulkifli et
al. (2000), mendapati persentase tutupan
karang hidup di Kepulauan Bangka
berkisar antara 8-60% dimana rendahnya
kondisi di beberap lokasi disebabkan oleh
benturan fisik, sedimentasi dan bahan
kimia. Sedangkan Siringoringo et al.
(2006) mendapatikondisi terumbu karang
yang berada di sisi bagian selatan Pulau
Bangka yang diwakili Pulau Lepar
Pongok kondisinya cukup baik bahkan
masuk kategori sangat baik. Seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk
berikut dengan aktivitasnya di daerah
pesisir maupun laut, seperti aktivitas
penangkapan ikan dan penambangan
timah, maka kondisi terumbu karang perlu
dimonitor kembali untuk mengetahui
kondisi terkini yang merupakan hasil dari
perubahan dari kondisi lingkungan yang
terjadi
selama
beberapa
tahun
terakhir.Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi umum mengenai
kondisi terumbu karang dan distribusinya
di perairan Bangka. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi dasar untuk
274
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
275
Gambar 3. A) kapal penghisap pasir, B) Favites sp. yang sebagian koloninya tertimbun
sedimen, C) Mycedium elephantotusyang sebagian permukaannya tertutup
oleh sedimen.
Hasil transek persentase kategori
karang dan biota lainnya juga dapat
diperoleh. Komposisi karang hidup terdiri
dari karang Non Acropora dan Acropora,
Persentase tutupan karang Acropora
tertinggi dijumpai di ST 3 hanya sebesar
4,13%. Jenis Acropora merupakan karang
yang rapuh dan sangat sensitif terhadap
kondisi lingkungan. Sebaliknya karang
dengan bentuk massif dan berpolip besar
lebih tahan bahkan bisa mendominasi
pada perairan.Pada tingkat sedimentasi
dan turbiditas yang tinggi, umumnya
karang masif (Porites, Favia, Favites,
276
Galaxea)
mengalami
penurunan
produktivitas, produksi mucus dan
berkurangnya
akumulasi
karbon.
Sedangkan pada karang bercabang
(Acropora), keadaan tersebut dapat
mengakibatkan
penarikan
polip,
meningkatnya produksi mucus dan
pemutihan (Erftemeijer et. al., 2012).
Kategori Si (Lumpur) terlihat hampir
dijumpai bahkan pada stasiun 1 dan 2
tutupannya sangat tinggi yaitu mencapai
100% dan 74,27%. Demikian juga dengan
tutupan TA (Turf Algae) yang hampir
ditemukan di semua lokasi dan paling
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Tabel 2. Jumlah jenis (S), jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman(H) dan
kemerataan (J).
Lokasi
J'
H'
ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7
25
22
20
23
20
88
65
34
66
48
0.79
0.87
0.94
0.82
0.88
2.53
2.69
2.81
2.56
2.63
ST.8
36
90
0.87
3.11
ST.9
ST.10
34
29
77
103
0.88
0.86
3.10
2.90
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
277
278
beroperasi
di
Pantai
Penganak.
Diperkirakan dengan adanya aktivitas
tambang yang terus menerus, ekosistem
terumbu karang di sekitar Tanjung
pengana akan rusak terkubur oleh
sedimentasi. Wolanski and Gibbs (1992)
menyebutkan pada banyak kasus, adanya
aktivitas penambangan atau pengerukan
lepas pantai berkontribusi pada hilangnya
habitat dari terumbu karang, terutama
mengakibatkan penimbunan sedimen yang
melebihi kecepatan tumbuh karang atau
mengakibatkan stress karena banyaknya
kontaminan yang terlarut dalam air. Lebih
lanjut Brown (1997), sedimentasiakan
menghalangi proses fotosintesis sehingga
menurunkan produktivitas zooxanthellae
dan pada akhirnya akan berujung pada
defisit cadangan makanan. Apabila
berlangsung terlalu lama maka akan
berakibat pemutihan.
3.2. Distribusi Jenis Karang
Dari hasil transek maupun koleksi
bebas, diperoleh 89 jenis spesies karang
yang masuk dalam 13 suku. Distribusi
jenis karang pada masing-masing lokasi
disajikan pada Tabel 3.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Suku
Jenis
POCILLOPORIDAE
Pocillopora damicornis
ACROPORIDAE
Acropora millepora
Acropora nobilis
Acropora sp1
Acropora sp2
Acropora sp3
Astreopora
myriophthalma
Montipora informis
Montipora undata
Montipora spumosa
Montipora sp1
Montipora sp2
PORITIDAE
Porites cylindrica
Porites lobata
Porites lutea
Porites nigrescens
Porites rus
Porites solida
Goniopora columna
Goniastrea retiformis
Goniastrea sp
Goniopora lobata
Goniopora sp
Goniopora minor
SIDERASTREIDAE
Psammocora contiqua
AGARICIIDAE
Pachyseris speciosa
Pchyseris rugosa
Pavona cactus
Pavona decussata
Pavona frondivera
Pavona varian
Pavona sp.
ST
ST.3 ST.4 ST.5 6
Bangka Barat
ST ST
7
8
ST9 ST 10
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
+
+
+
279
VI
33
34
35
36
37
38
VII
39
40
41
VIII
42
43
44
45
IX
46
47
48
49
50
51
52
X
53
54
55
XI
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
280
FUNGIIDAE
Fungia horrida
Fungia repanda
Fungia sp1
Fungia sp2
Lithopilon undulatum
Ctenacntis echinata
OCULINIDAE
Galaxea astreata
Galaxea fascicularis
Galaxea longisepta
PECTINIIDAE
Mycedium elephantotus
Pectinia paeonia
Pectinia alcicornis
Pectinia lactuca
MUSSIDAE
Acanthastrea echinata
Lobophyllia corimbosa
Lobophyllia hemprichii
Lobophyllia hattai
Lobophyllia sp
Symphyllia radian
Symphyllia sp
MERULINIDAE
Hydnopora rigida
Merulina ampliata
Merulina scabricula
FAVIIDAE
Caulastrea curfata
Favia favus
Favia mathai
Favia sp1
Favia sp2
Favia sp3
Favia sp4
Favites halicora
Favites flexuosa
Favites pentagona
favites sp1
favites sp2
Cyphastrea serailia
Cyphastrea sp
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
Diploastrea heliopora
Echinopora lamellosa
Leptastrea transversa
Leptastrea purpurea
Oulophyllia sp1
Oulophyllia sp2
Montastrea curta
Montastrea sp
Platygyra daedalea
Platygyra lamellina
Platygira sp.1
Platygira sp.2
Plesiastrea versipora
XIV CARYOPHYLLIIDAE
83 Euphyllia ancora
84 Physogyra lichstentaini
XII
85
86
87
88
XIII
89
DENDROPHYLLIIDAE
Turbinaria frondens
Turbinaria reniformis
Turbinaria sp1
Turbinaria sp.2
HELIOPORIDAE
Heliopora coerulea
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
A
B
Gambar 4. Beberapa karang masif yang resistan terhadap kondisi lingkungan dengan
turbiditas tinggi a. Porites lobata; b. Favia mathai.
Terlihat dari Tabel 3 bahwa yang
paling sering dijumpai pada tiap lokasi
adalah kelompok Faviid kemudian
kelompok Poritid (Gambar 4). Kedua
kelompok karang tersebut dikategorikan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
281
282
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Amdal kapal isap di
Bangka tidak jelas. http://ahok.org/
berita/amdal-kapal-isap-timah-dibangka-tidak-jelas/. [Diakses pada
tanggal 30 Agustus 2013].
Ambalika, I., K. Muslih, H. Sodikin,
Hanafi, J. Aqobah, S. Jurana, R.
Kurnia, E. Chandra, D. Septiawan
dan Herpin. 2010. Eksplorasi
terumbu karang (laporan tahunan
2010).
Universitas
Bangka
Belitung, Bangka. 14hlm.
Burke, L., E. Selig, and M. Spalding.
2002. Reefs at risk in southeast
Asia. World Resources Institute.
72p.
Brown, B.E. 1997. Coral bleaching:
causes and consequences. Coral
Reef, 16:129-138.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker
(ed.). 1994. Survei Manual for
tropical marine research. SEANAustralia marine science project.
Australian Institute of Marine
Science.Townsville. 390p.
Erftemeijer, P. L.A., B. Riegl, B.W.
Hoeksema and P.A. Todd. 2012.
Environmental
impacts
of
dredging and other sediment
disturbances on corals: a review.
Marine
Pollution
Bulletin,
64:1737-1765.
Firdaus, F. R., R. Hardika, D. Syahputra,
R. Oktavian dan Helfinalis. 2010.
Karakteristik endapan sedimen
laut total suspended solid (TSS) di
perairan Bangka. Dalam: R.
Nuchsin (ed.). Perairan Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung
sumber daya laut dan osenaografi.
LIPI Press, Jakarta. 125-135pp.
Hodgson, G. 1990. Tetraclyne reduces
sedimentation damage to corals.
Mar Biol., 104:493-496.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
283
284
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Live coral
Acropora
Non
Acropora
DC
DCA
HA
MA
OT
R
S
SC
SI
SP
TA
Bangka Selatan
Bangka Barat
ST.1 ST.2 ST.3 ST.4 ST.5 ST.6 ST.7 ST.8 ST.9 ST.10
0
0 64.66 76.46 27.4 53.67 39.13 44.40 21.33 55.47
0
0 4.13 2.03
0 0.00 0.00 0.00 1.17
3.83
0
0 60.53 74.43 27.4 53.67 39.13 44.40 20.17
0
0 0.00 0.00 0.40 0.00 0.00 0.17 0.00
0
0 1.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0
0 0.00 0.00 1.10 0.33 0.00 0.00 0.00
0
0 0.00 7.07 1.77 0.00 3.57 3.93 0.77
0 10.40 0.40 2.13 4.80 3.13 0.67 0.67 0.00
0 0.00 0.50 0.00 0.00 4.33 0.00 0.00 0.60
0 2.00 0.00 4.53 24.20 6.17 2.43 0.67 3.20
0 0.00 0.00 0.00 1.47 0.00 0.00 0.00 0.00
100 74.27 15.57 1.93 7.30 1.70 17.83 0.00 6.63
0 4.93 5.90 0.40 2.33 0.00 0.53 3.57 0.20
0 8.40 11.93 7.47 29.23 30.67 35.83 46.60 67.27
51.63
0.00
0.00
6.53
0.00
0.33
0.00
0.00
0.00
0.00
0.50
37.17
Lampiran 2. Status mutu air laut di perairan Bangka (Prasetyaet. al., 2010)
No
Unsur
Min
Max
Rerata
Pb (Selatan)
Pb (Timur)
Pb (Utara)
Cd (Selatan)
Cd (Timur)
Cd (Utara)
Cu (Selatan)
Cu (Timur)
Cu (Utara)
Ni (Selatan)
Ni (Timur)
Ni (Utara)
Zn (Selatan)
Zn (Timur)
Zn (Utara)
Total skor
0.001
0.001
0.001
<0.001
0.001
<0.001
0.001
0.001
<0.001
0.001
0.001
<0.001
<0.001
<0.001
<0.001
0.003
0.003
0.002
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
<0.001
<0.001
<0.001
0.0018
0.002
0.0019
0.0005
0.001
0.0009
0.001
0.001
0.0009
0.001
0.001
0.0009
<0.001
<0.001
<0.001
NAB*(KMBLH, Skor
04)
0.008
0
0.001
0.008
0.050
0.050
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
285
286
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 287-297, Desember 2013
Abstract
The proximate composition, dietary fiber, and total phenol contents as well as
antioxidant activity of tropical brown alga Padina australis collected from the Pramuka
Island, District of Seribu Island, Indonesia during the rainy season of 2011 were
determined in order to evaluate their potential nutritional value and activity of natural
antioxidant compound. The content of ash, protein, and fat were 22.26, 10.76, and 4.17
g/100 g dry matter, respectively; whereas the amounts of soluble, insoluble, and total
dietary fibers were 8.4, 5.4, and 13.8 g/100 g, respectively. Methanol extract of P.
australis contained the highest total phenol of 246.1 mg GAE/1000 g dry sample. The
extract also had the highest activity on DPPH radical scavenging, measured by IC50 of
267.1 ppm. Both the total phenol and IC50 value extracts decreased in the following
order: methanol > ethyl acetate > n-hexane.
Keywords: antioxidant, dietary fiber, DPPH-scavenging, Padina australis, proximate
composition
I. INTRODUCTION
Seaweeds or marine macroalgae
are potential renewable resource in the
marine environment.
Approximately
6000 species of seaweeds in the world
have been identified and are grouped into
different classes i.e. green (Chlorophytes),
brown
(Phaeophytes)
and
red
(Rhodophytes) algae (Devi et al., 2011).
Indonesia as an archipelagic country has a
large number of seaweeds.
Siboga
expedition (1899-1900) succeeded to
collect 555 species of seaweeds from
Indonesian territorial waters, and among
them, around 20-30 have been utilized by
local people as foodstuff or traditional
medicine (Mubarak et al., 1991).
From foodstuff viewpoint, seaweeds become an important part of the
diet of many Asian countries, such as
Japan, China, and Korea. Japan particularly, is the most important seaweed
287
288
II. METHODS
2.1. Location and Sampling
Preparation
Fresh tropical brown alga P.
australis samples were collected in
February 2011 from the intertidal region
of Pramuka Island, Seribu Island District,
Indonesia (Figure 1). Immediately the
samples were placed in plastic bags
containing sea water in order to prevent
evaporation and transported to the
laboratory under refrigerated condition.
Then, the plant was washed thoroughly
with tap water to remove all sand
particles, epiphytes and other impurities.
The samples were divided into two
groups, specifically fresh and dried
samples for the analysis of the proximate
composition and the content of dietary
fibers, and for extraction of antioxidant
compound, respectively. Dried sample
forms were obtained after being dried
using sun rays for two days and grounded
in an electric mixer. The powder sample
was then stored in refrigerator for further
use.
2.2. P. australis Extracts
The procedure of extraction was
conducted according to the previous
research conducted by Santoso et al.
(2010) with slightly modification. The
powder of P. australis was macerated in
each solvent i.e., methanol, ethyl acetate,
or n-hexane at a ratio of 1:16 (w/v) for 48
h under dark condition.
Then the
extraction was filtered through glass
funnel and Whatman no. 42 filter paper.
Each filtrate was concentrated to dryness
under reduced pressure at temperature of
40 oC using a rotary flash evaporator until
become paste. Each crude extract in paste
form was filled up by nitrogen gas to
prevent
decomposition
of
active
compound inside, then was kept at -20 oC
until analysis.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Santoso et al.
Figure 1. The map of research site in Pramuka Island, Seribu Island District
2.3. Proximate Analysis
The proximate analysis consisted of
moisture, ash, fat and protein were
carried out according to the procedures of
the Association of Official Analytical
Chemists (AOAC, 1995). The content of
carbohydrate
was
calculated
by
subtracting the weights of moisture, ash,
fat and protein from 100 g sample.
2.4. Determination of Dietary Fiber
Contents
Insoluble and soluble dietary fibers
were determined according to an
enzymatic-gravimetric method referred to
the research conducted by Suzuki et al.
(1996) and Santoso (2003).
Water
insoluble dietary fiber was obtained after
boiling in water with pancreatin enzyme
and phosphate buffer, filtered off by a
glass fiber filter with ethanol and acetone.
Water soluble dietary fiber was
precipitated from the filtrate using
ethanol. The final corrected amounts of
both dietary fibers were calculated by
subtracting the weights of ash and protein
from the each fiber precipitate; while the
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
289
290
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Santoso et al.
Values (g/100 g)
Fresh weight
Dry matter
90.56 0.16
2.11 0.17
22.26 1.98
1.02 0.04
10.76 0.54
0.40 0.01
4.17 0.04
5.90 0.37
62.21 3.34
Figure 2. The contents of soluble, insoluble and total dietary fiber of P. australis
The ratio of soluble dietary fiber
and insoluble dietary fiber of P. australis
was 1.6. This value was higher in
compared to red algae G. fisheri (0.39 0.42) and G. tenuisipitata (0.35 0.45)
(Benjama and Masniyom 2012), since the
genus Gracilaria has high content of
soluble dietary fiber as sulphated
galactants (Wong and Cheung 2000).
Different with dietary fiber from
terrestrial plants, dietary fibers in
seaweeds contain some acidic group such
as sulphuric group; therefore they have
different
characteristics
in
physicochemical
and
physiological
effects, such as water holding capacity
(Suzuki et al., 1996; Wong and Cheung,
2000), oil holding capacity (Wong and
Cheung, 2000), swelling capacity (Wong
and Cheung, 2000), binding of vitamins
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
291
Figure 3. Total phenol content of each extract of P. australis. Letters over each
column in the graph not sharing the same are significantly different (p<0.05)
Compared to ethanol extract of
brown alga Sargassum pallidum, the total
phenol content was higher than P.
australis in spite of different standard and
extraction method. Fractionated ethanol
extract of S. pallidum with chloroform,
ethyl acetate and n-buthanol contained the
total phenol of 1.80, 11.54 and 12.12 mg
CHA/g extract (CHA = chlorogenic acid)
(Ye et al., 2009). The levels of phenols in
the methanol extract of brown algae
ranged from 1.5 mg GAE/g dry weight in
Laminaria hyperborea to 4.5 mg
GAE/gdry weight in Ascophyllum
nodosum (OSullivan et al., 2011).
Ganesan et al. (2008) observed methanol
extract of red seaweeds Eucheuma
cottonii and Gracilaria edulis contained
total phenol of 1.5 and 4.1 mg GAE/g dry
weight, respectively. Chandini et al.
(2008) on the other hand observed lower
levels of phenols in the aqueous fractions
of Sargassum marginatum and Turbinaria
conoides which contained of 0.29 and
0.86 mg GAE/g on a dry weight basis,
respectively.
Furthermore,
methanol
extract of T. conoides contained total
phenol of 1.23 mg GAE/g (Devi et al.,
2011). Chew et al. (2008) reported that
292
phenol
content
can
vary
quite
considerably depending on the variety of
seaweed.
3.3. DPPH Radical-Scavenging Activity
Methanol extracts of P. australis
had stronger ability to scavenge DPPH
radical in compared to others (Figure 4).
IC50 value is defined as the concentration
of substrate that can reduce 50% activity
of DPPH radical. The IC50 value results
decreased in the following order:
methanol > ethyl acetate > n-hexane; with
values were 267.1, 1160.2 and 1629.5
ppm, respectively.
The effects of antioxidants on
DPPH radical scavenging is thought to be
due to hydrogen donating ability. When a
DPPH solution is mixed with a substrate
as hydrogen atom donor, a stable nonradical form of DPPH is obtained with
simultaneous change of the violet color to
pale yellow (Molyneux, 2004). Hence,
DPPH has been used extensively as a free
radical to evaluate reducing substances
and is a useful reagent for investigating
the free radical scavenging activities of
compound (Duan et al., 2006).
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Santoso et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
293
294
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Santoso et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
295
296
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Santoso et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
297
298
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 299-309, Desember 2013
299
I. PENDAHULUAN
Industri perikanan berbasis pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah
satu industri tertua dan masih sangat
tradisional dalam proses pengolahannya.
Setiap proses pengolahan ikan cakalang
asap akan menghasilkan hasil samping
berupa kepala, insang, telur dan isi perut.
Pires et al. (2012) menyatakan bahwa
hasil samping berbasis protein dari
industri pengolahan dapat dijadikan
pangan dan pakan serta memiliki potensi
suplemen bioaktif dan pangan fungsional.
Pemanfaatan hasil samping berbasis
protein terus dikembangkan,salah satunya
adalah konsentrat protein ikan (KPI).
Menurut Ibrahim (2009), konsentrat
protein ikan merupakan produk yang
dihasilkan dengan cara menghilangkan
lemak dan air, sehingga menghasilkan
konsentrat protein yang tinggi. Kebanyakan produk ini diaplikasikan ke dalam
makanan yang berkarbohidrat tinggi.
Pembuatan konsentrat protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk
protein yang mudah untuk diaplikasikan
kedalam produk pangan berprotein
rendah.
FAO (1976) mengklasifikasikan
KPI menjadi tiga tipe, yaitu (1) Tipe A,
merupakan tepung yang tidak berasa ikan,
tidak berwarna serta tidak berbau, dengan
kadar protein minimal 67,7% dan
kandungan lemak maksimal 0,75%. KPI
dapat dicampurkan pada hampir semua
produk makanan dengan konsentrasi 510%, tanpa mengurangi daya terima
konsumen terhadap produk tersebut; (2)
KPI Tipe B, yaitu yang diperoleh dengan
cara menghilangkan lemaknya melalui
proses ekstraksi, sampai diperoleh produk
dengan kandungan lemak kurang dari 3%.
Flavor ikan masih tampak dalam sebagian
besar makanan yang ditambahkan KPI;
(3) KPI Tipe C, merupakan tepung ikan
yang biasa diproduksi secara higienis,
dengan kan-dungan lemak lebih besar dari
300
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
301
302
Persentase (%bb)
19,81 0,54
3,41 0,22
71,32 + 0,16
2,04 + 0,70
1,53 + 0,53
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
303
304
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa et al.
urnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
305
Nilai
1,570,01
1,820,01
81,650,24
0,510,00
1,900,21
0,221,06
306
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa et al.
mg/g
Protein
Treonin
44,30
Metionin
22,29
Valin
48,47
Asam amino Phenilalanin 38,31
esensial
Isoleusin
36,63
Tirosin
37,05
Lisin
70,76
--------------------------------Total
362,72
Asam aspartat 77,59
Asam glutamat 118,54
Asam amino Serin
51,26
Non esensial Glisin
41,79
Alanin
54,88
--------------------------------Total
344,06
Asam amino Histidin
30,06
Semi esensial Arginin
112,27
--------------------------------Total
142,92
Total asam amino
849,70
amino
yang
memiliki
kelebihan
diantaranya perbaikan otot, penyerapan
kalsium, sebagai antibodi, enzim dan
hormon. Asam glutamat merupakan asam
amino esensial dengan jumlah tertinggi
yaitu 118,54 mg/g protein. Penelitian
Galla et al. (2012) juga menemukan asam
glutamat dalam jumlah tinggi pada KPTI
Channa striatus dan Lates carcarifer
masing-masing 113,4 mg/g protein dan
153,8 mg/g protein. Selain asam amino
esensial dan non-esensial, asam amino lain
yang terdapat pada KPTI cakalang adalah
asam amino semi-esensial yang terdiri dari
arginin (112,27 mg/g protein) dan histidin
(30,64 mg/g protein).
IV. KESIMPULAN
Penggunaan
isopropil
alkohol
sebagai pelarut dengan lama ekstraksi 3
jam pada proses deffating menghasilkan
KPTI cakalang dengan kadar protein
71,79%, lemak 2,78%, nilai bau yang
mendekati netral dan derajat putih yang
baik. KPTI yang dihasilkan tergolong KPI
tipe B. Secara fungsional KPTI yang
dihasilkan memiliki kemampuan daya
serap minyak, daya serap air, kapasitas
emulsi dan densitas kamba yang baik
untuk
dijadikan
bahan
tambahan,
substitusi dan bahan pengikat untuk
aplikasi produk berbasis protein tinggi.
KPTI memiliki 8 asam amino esensial, 5
asam amino non esensial dan 2 asam
amino semi esensial yang sangat
Komposisi asam amino menentukan dibutuhkan oleh tubuh manusia.
kualitas protein terutama asam amino
esensial. Lisin merupakan asam amino DAFTAR PUSTAKA
esensial dengan jumlah tertinggi yaitu
70,76 mg/g protein dibandingkan dengan [AOAC] Association of Official Analitical
asam amino lain. Hussain et al. (2007)
Chemist. 2005. Official methods of
menyatakan bahwa ikan mengandung
analysis of the association of
asam amino lisin dalam jumlah yang
official analytical chemist 18th
tinggi tetapi memiliki asam amino
edition. Gaithersburg, AOAC
metionin yang rendah jika dibandingkan
International, USA.
dengan beras dan bahan pangan sereal
lainnya. Lisin merupakan salah satu asam
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
307
308
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
309
310
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 311-323, Desember 2013
311
I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu pasir (Epinephelus
corallicola) merupakan salah satu jenis
ikan laut yang memiliki nilai ekonomis
penting, karena mempunyai harga jual
cukup tinggi. Keberhasilan produksi
benih ikan kerapu ini akan mendorong
berkembangnya usaha pembesaran baik di
tambak maupun keramba jaring apung.
Pada budidaya ikan kerapu, ketersediaan
pakan merupakan faktor penting yang
dapat mendukung keberhasilan dan
keberlanjutan
usaha.
Biaya
yang
dikeluarkan untuk penyediaan pakan
cukup tinggi mencapai 35-60% dari total
biaya operasional usaha. Kendala yang
terjadi di lapangan adalah harga pakan
ikan yang tinggi terutama disebabkan
sebagian besar bahan baku penyusun
pakan ikan khususnya sumber protein
diperoleh dari impor.
Pakan
diperlukan
untuk
pertumbuhan, kesehatan ikan dan untuk
peningkatan mutu produksi. Untuk
keperluan tersebut ikan memerlukan
nutrien
berupa
protein,
lemak,
karbohidrat, vitamin, dan mineral yang
kebutuhannya berbeda sesuai dengan
umur dan jenis ikan (Suwirya et al.,
2001). Kandungan nutrisi pakan yang
lengkap selalu dikaitkan dengan bahan
yang digunakan dalam menyusun
formulasi pakan. Salah satu nutrien pakan
yang penting yang dibutuhkan ikan yaitu
protein dan lemak. Protein merupakan
sumber energi selain karbohidrat bagi
kelangsungan hidup dan pertumbuhan,
sedangkan lemak merupakan sumber
energi yang terbesar bagi tubuh ikan. Ikan
kerapu sebagai ikan karnivora cenderung
membutuhkan pakan dengan konsentrasi
protein yang tinggi yaitu 45-55% (Ellis et
al., 1996; Giri et al., 1999; Rahmansyah
et al., 2001; Laining et el., 2003;
Kabangga et al., 2004) Beberapa
penelitian terhadap ikan
ukuran
pendederan (juvenil) pada
kerapu
312
Epinephelus
akaara
membutuhkan
protein dalam pakan 49,5% (Chen and
Tsai, 1994), Epinephelus striatus lebih
dari 55% (Ellis et al., 1996), juvenil
kerapu bebek (Cromileptes altivelis)
ukuran 5,5 g adalah 54,2% dan ukuran 17
g dibutuhkan 50,1% (Giri et al., 1999;
Rahmansyah et al., 2001), juvenil kerapu
batik (E. polyphekadion) 48% (Marzuqi et
al., 2004) dan juvenil
kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) sebesar 48%
(Marzuqi et al., 2007)
Disamping kebutuhan protein
diatas
untuk
mengoptimalkan
pertumbuhan ikan, maka pada pakan perlu
ditambahkan lemak sebagai pengganti
sumber energi yang disumbangkan oleh
protein,
sehingga
protein
dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk
pertumbuhan. Kebutuhan lemak bagi ikan
berbeda-beda dan sangat tergantung dari
stadia ikan, jenis ikan dan lingkungan.
Pada
fase
pendederan,
ikan
membutuhkan lemak berkisar 8-14%
(Cho dan Watanabe, 1985 dalam
Watanabe, 1988), juvenil ikan kerapu
bebek (Cromileptes altivelis) berkisar 910% (Giri et al., 1999), ikan Labeo rahita
ukuran 7,5 g membutuhkan lemak 6%
(Gangadhara et al., 1997).
Pemanfaatan
nutrien
berupa
protein dan lemak sangat erat hubungannya dengan proses pencernaan.
Kemampuan ikan untuk mencerna sangat
dipengaruhi oleh kandungan nutrien yang
terdapat dalam pakan. Menurut Anggordi
(1990), daya cerna pakan dari suatu
organisme dipengaruhi oleh beberapa
faktor, di antaranya adalah: komposisi
pakan, pemberian pakan dan jumlah
konsumsi pakan. Proses fisika dan kimia
dalam tubuh mempunyai peranan penting
pada proses pencernaan (Zonneveld et al.,
1991). Untuk itu, agar protein dan lemak
pakan dapat dimanfaatkan dengan baik
dan maksimal, maka diperlukan adanya
informasi yang jelas tentang daya cerna,
sehingga diketahui komposisi pakan yang
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
313
A
(36, 9)
28,55
28,78
0
31,60
4,74
1,30
1,70
2,0
B
(42, 9)
33,31
33,57
0
22,82
4,04
1,30
1,70
2,0
C
D
E
(48, 9) (36, 18) (42, 18)
38,07
28,55
33,31
38,37
28,78
33,57
0
0
0
14,06
10,85
2,07
3,33
13,74
13,04
1,30
1,30
1,30
1,70
1,70
1,70
2,0
2,0
2,0
F
(48, 18)
38,07
30,70
5,96
0,08
12,68
1,30
1,70
2,0
Tepung ikan
Tepung rebon
Kasein
Dekstrin
Minyak cumi
Campuran vitamin1
Campuran mineral2
Carboxy methyl
cellulose /CMC
Astaxantin
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
Cr2O3
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
Afisel
0,23
0,16
0,08
11,98
11,91
6,42
Jumlah
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Analisis proksimat (%)
Protein
37,56
43,62
46,87
37,35
43,34
48,93
Lemak
9,38
9,01
9,09
18,66
18,95
17,30
Abu
16,26
18,75
20,26
28,19
29,49
25,56
Serat
1,85
2,15
2,48
1,85
2,16
1,54
Energi (kkal)3
4,57
4,55
4,72
4,52
4,58
4,77
E-P Ratio
12,57
10,29
9,56
12,10
10,57
9,69
Karbohidrat/BETN4
36,76
28,62
23,79
15,80
8,23
8,21
1
Campuran vitamin (mg/100 g pakan): Thiamin-HCl 5.0; riboflavin 5.0; Capantothenate 10.0;
niacin 2.0; pyridoxin-HCl 4.0; biotin 0.6; folic acid 1.5;
cyanocobalamin 0.01; inositol 200; -aminobenzoic acid 5.0; menadion 4.0; vit A
palmitat 15.0; chole-calciferol 1.9; -tocopherol 20.0; cholin chloride 900.0
2
Campuran mineral (mg/100g pakan): KH2PO4 412; CaCO3 282; Ca(H2PO4) 618;
FeCl3.4H2O 166; ZnSO4 9.99; MnSO4 6.3; CuSO4 2; CoSO4.7H2O) 0.05; KJ
0.15; Dekstrin 450; Selulosa 553.51.
3
Energi={(protein x 5,65 kkal/gr)+(lemak x 9,45 kkal/gr)+(karbohidrat x 4,10
kkal/gr)}/100 (NRC, 1993)
4
Karbohidrat=((100-(protein+lemak+abu))
c. Daya cerna karbohidrat
DK =
menggunakan
program
SPSS
15
d. Daya cerna energi
(Statistical Product and Solve Solution
DE =
15), selanjutnya data yang tidak normal
314
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Tabel 2. Data nilai rata-rata kecernaan nutrien pada juvenil ikan kerapu pasir
(Epinephelus corallicola).
Pakan uji (protein
%, lemak %)
Parameter uji
Protein
Lemak
Karbohidrat
Energi
b
bc
d
A (36, 9)
94,98 0,24
95,75 0,19
89,89 0,42
93,51c0,20
b
a
c
B (42, 9)
94,88 0,13
94,80 0,84
84,59 1,42
92,28a0,68
C (48, 9)
93,69a0,06
93,44a0,42
77,25b1,57
90,56a0,38
D(36,18)
95,16bc0,36
96,10bc0,78
71,47b1,75
92,13a0,81
c
c
a
E(42,18)
96,00 0,33
97,17 0,49
43,41 5,30
92,59a1,03
F(48,18)
95,67bc0,13
96,44bc0,29
38,47a0,05
91,93a0,05
*) Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata (P>0,05).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
315
Daya Cerna L
(%)
97
96
95
94
93
92
Lemak 9
42
48
Protein (%)
96,5
Lemak 18
96
95,5
95
94,5
P36L9
P42L9
P48L9
P36L18
P42L18
P48L18
Lemak 9
Lemak 18
94
y = -0,175x + 101,87
93,5
Lemak 9
93
30
36
42
Protein (%)
48
54
Gambar 1. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
protein pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola)
Sedangakan Hasan (2000) dalam
Amalia et al., (2013) yang menyatakan
bahwa kehadiran enzim dalam pakan
buatan dapat membantu dan mempercepat
proses pencernaan sehingga nutrien dapat
cukup tersedia untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan. Semakin
banyak enzim yang ditambahkan ke
dalam pakan, maka akan menghasilkan
lebih banyak protein yang dihidrolisis
menjadi asam amino, sehingga akan
meningkatkan daya cerna ikan terhadap
pakan.
Selanjutnya
Fujaya
(2004)
melaporkan bahwa aktivitas enzim
dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan
substrat, suhu, pH, serta inhibitor Dalam
penelitian ini digunakan jumlah substrat
yang berupa nutrien dengan jumlah
berbeda, oleh karena itu nilai kecernaan
yang menurun diduga disebabkan oleh
jumlah nilai kadar nutrien pada komposisi
pakan. Menurut Mudjiman (2004),
aktivitas enzim amilase, lipase, dan
protease
sangat
dipengaruhi
oleh
komposisi makanan. Aktivitas enzim
pencernakan secara umum bervariasi
menurut umur ikan, faktor fisiologis dan
musim (Hepher, 1988) Pada prinsipnya
kerja enzim sebagian besar bekerja secara
khas, yang artinya setiap jenis enzim
hanya dapat bekerja pada satu macam
senyawa atau pada reaksi kimia yang
tertentu saja (Copeland, 1996; Enger and
316
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
54
Menurut
Hardy
(1991)
bahwa
perbandingan antara karbohidrat dan
protein
dalam
pakan
sangat
mempengaruhi pemanfaatan protein untuk
pembentukan
jaringan.
Apabila
karbohidrat dalam pakan tidak mencukupi
sebagai sumber energi maka ikan
terutama ikan buas seperti ikan kerapu,
akan memanfaatkan protein tidak hanya
untuk pembentukan jaringan tetapi juga
sebagai sumber energi untuk gerak.
Persentase karbohidrat yang diberikan
pada perlakuan lemak 9% lebih tinggi
daripada perlakuan lemak 18%, tetapi
kadarnya menurun seiring dengan
penambahan persentase protein yang
diberikan. Dapat dilihat pula bahwa pada
perlakuan pakan dengan persentase
protein yang lebih rendah, maka
persentase karbohidrat lebih tinggi.
Karbohidrat yang diberikan menggantikan
peran protein sebagai sumber energi
dalam pemeliharaan tubuh, sehingga
protein dimanfaatkan sepenuhnya untuk
pertumbuhan. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai kecernaan protein pada
perlakuan lemak 9% dengan persentase
protein tinggi memiliki nilai yang lebih
rendah daripada perlakuan dengan
pemberian persentase protein yang lebih
rendah dikarenakan pencernaan ikan
terhadap protein sebagai energi digantikan
dengan pencernaan karbohidrat sehingga
nilai kecernaan karbohidrat juga tinggi
(Tabel 2).
Jika dilihat dari nilai konversi
kecernaan terhadap persentase protein
yang diberikan, asupan protein yang
terkonsumsi
oleh ikan cenderung
meningkat pada setiap perlakuan. Dari
nilai asupan protein tersebut diperoleh
nilai kebutuhan protein juvenil ikan
kerapu pasir yang berkisar antara 34,1945,92%. Menurut Marzuqi et al. (2004),
nilai kebutuhan protein dari tiap ikan
berbeda-beda menurut umur dan spesies
ikan tersebut. Teng et al. (1978)
melaporkan bahwa juvenil Epinephelus
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
317
98
97,5
97
96,5
96
95,5
95
94,5
94
93,5
93
92,5
P36L9
y = -0,025x2 + 2,1283x + 51,88
Lemak 18
Lemak 9
30
36
P42L9
P48L9
P36L18
P42L18
P48L18
Lemak 9
Lemak 18
y = -0,19x + 102,64
42
48
54
Protein (%)
Gambar 2. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
lemak pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola).
318
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
54
100
Protein (%)
y = -1,05x + 128,01
Lemak 9
90
80
70
60
50
y = -2,75x + 166,62
40
P36L9
P42L9
P48L9
P36L18
P42L18
P48L18
Lemak 9
Lemak 18
Lemak 18
30
20
10
0
30
36
42
Protein (%)
48
54
Gambar 3. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
karbohidrat pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
319
54
320
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
98
97
96
95
94
93
92
Lemak 18
Lemak 9
36
42
48
54
Protein (%)
95
y = -0,43x + 110,18
Lemak 9
94
93
92
Lemak 18
P36L9
P42L9
P48L9
P36L18
P42L18
P48L18
Lemak 9
Lemak 18
91
90
89
30
36
42
Protein (% )
48
54
Gambar 4. Hubungan antara persentase protein dan lemak terhadap nilai kecernaan
energi pada juvenil ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola).
sel tunggal) yaitu berkisar antara 85,8092,08%.
Pada penelitian ini, secara umum
nilai kecernaan energi pada ikan tinggi
yaitu sekitar 90,56%-93,51%. Hal ini
dikarenakan,
perlakuan
pakan
menggunakan penambahan protein dan
lemak yang merupakan sumber energi
selain karbohidrat yang dibutuhkan oleh
ikan. Menurut Palinggi et al. (2002),
lemak merupakan sumber energi yang
potensial dan mudah dicerna, sebagai
pembawa
vitamin
yang
terlarut,
komponen membran sel yang menguatkan
ketahanan membran, dan meningkatkan
absorbsi nutrien.
IV. KESIMPULAN
Interaksi persentase protein dan
lemak yang berbada dalam pakan
memberikan pengaruh nyata terhadap
nilai kecernaan protein, nilai kecernaan
lemak, nilai kecernaan karbohidrat dan
nilai kecernaan energi pada juvenil ikan
kerapu pasir. Secara umum penggunaan
pakan dengan kandungan protein 36%
dan lemak 9% menghasilkan nilai
kecernaan yang baik. Nilai kecernaan
protein yaitu sebesar 94,98%, nilai
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
321
322
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
323
324
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 325-332, Desember 2013
I. PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang menjadi
kendala dalam usaha pembenihan ikan
kerapu khususnya ikan kerapu bebek
adalah ketersediaan induk. Selama ini
induk ikan kerapu bebek yang dipijahkan
berasal dari alam yang biasa ditangkap
oleh para nelayan. Untuk memperoleh
325
326
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
327
Tabel 1. Hasil pengamatan diameter oosit ikan kerapu bebek generasi ke-2 (F-2).
Perlakuan
Diameter oosit (m )
Nomor kode
sampel
Maret
Mei
Juli
September
2A76
60
150
225
350
8900
50
140
220
360
C432
60
125
220
375
9A42
60
175
225
400
751F
55
150
220
375
433C
65
180
250
400
556E
60
190
250
425
326B
65
180
240
400
67G1
65
185
245
375
6560
70
185
250
400
1458
75
200
270
475
2916
70
190
275
450
45D7
80
195
275
460
2235
75
200
280
480
B495
75
195
280
470
TK
50
125
220
375
TK
50
125
220
350
TK
50
175
210
325
TK
50
150
215
300
TK
50
125
215
325
328
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Tridjoko
Perlakuan
A
B
C
D
372 18.90 b
400 17.67 b
467 12.04 c
335 28.50 a
Keterangan: Nilai pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama adalah tidak
berbeda nyata (P>0,05).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
329
330
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
331
Yashiro,
N.,
V.
Vatanakul,
J.
Kongkumnerd, and N. Ruangpanit.
1993. Variation of sex steroids
levels in maturing grouper. The
Proceeding of Grouper Culture,
Songkhla, Thailand. 8-15pp.
Diterima : 25 Oktober 2013
Direvisi : 6 Desember 2013
Disetujui : 10 Desember 2013
332
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 333-342, Desember 2013
ABSTRACT
Several types of grouper hybrid seeds can now be massively produced in a hatchery.
Hybrid seeds can increase diversification of aquaculture species and potential to increase fish
production. Therefore, an improvement in hybrid seed production both in high quantity and
quality is very important. This research was conducted to produce massively cantik grouper
hybrid seeds i.e.,a crossbreed between female tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) and
male marbled grouper (Epinephelus microdon). This research examined the cantik grouper
seed production compared with the production of tiger grouper and marbled grouper
fingerlings. The research results showed that cantik hybrid grouper seeds production had
higher survival rate (24.59%) than tiger grouper (17.44%) and marbled grouper (4.63%). The
total length of the seed at the age of 45 days for cantik grouper was 3.59 0.21 cm, tiger 3.24
0.55 cm, and batik 2.61 0.42 cm, respectively. Seed abnormality for cantik grouper was
4.13%, tiger grouper 30.21%, and marled tiger 0.57%, respectively. Based on genetic variation
analyses, the cantik grouper had a closer genetic relationship with the marbled grouper
compared with the tiger grouper.
Keywords: Marbled grouper, hybridization program, seeds production, quality
ABSTRAK
Beberapa jenis benih ikan kerapu hibrida saat ini sudah dapat diproduksi secara masal
di hatchery. Benih hibrida selain menambah diversifikasi spesies juga mempunyai prospek
budidaya yang berpeluang untuk meningkatkan produksi perikanan di masa datang. Oleh karena
itu perlu adanya pemantapan produksi benih ikan kerapu hibrida agar dapat menghasilkan benih
yang mempunyai kuantitas dan kualitas yang baik, dan pada akhirnya diharapkan dapat
membantu pemenuhan kebutuhan benih pada perikanan budidaya dan pembenihannya dapat
diterapkan di masyarakat sebagai usaha yang menguntungkan. Dalam penelitian ini diproduksi
secara masal benih ikan kerapu cantik, yaitu hasil persilangan antara ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) betina dan ikan kerapu batik (Epinehelusmicrodon) jantan. Pada
penelitian ini dikaji hasil produksi benih ikan kerapu cantik dibandingkan dengan produksi
benih ikan kerapu macan dan ikan kerapu batik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelangsungan hidup benih ikan kerapu cantik (24,59%) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan
kerapu macan (17,44%) dan ikan kerapu batik (4,63%). Panjang total benih pada umur 45 hari
masing-masing ikan kerapu cantik 3,59 0,21 cm; ikan kerapu macan 3,24 0,55 cm dan batik
2,61 0,42 cm. Abnormalitas benih ikan kerapu cantik 4,13%, ikan kerapu macan 30,21% dan
ikan kerapu batik 0,57%. Hasil analisis variasi genetik ikan kerapu cantik mempunyai
kekerabatan lebih dekat dengan ikan kerapu batik dibandingkan dengan ikan kerapu macan.
Kata kunci: ikan Kerapu cantik, kualitas, program hibridisasi, pembenihan kerapu
I.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu adalah komoditas
perikanan Indonesia yang diunggulkan
333
334
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ismi et al.
Tabel 1. Pola pemberian pakan pada pemeliharaan larva ikan kerapu selama penelitian.
Pakan
2
Nannochloropsis sp.
Rotifer
Artemia
Pakan buatan/
3 6
40
45
50
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Table 2. Manajemen air, pembersihan dasar tangki dan pemberian minyak ikan pada
pemeliharaan larva ikan kerapu.
Perlakuan
Minyak ikan
Pergantian air
Pembersihan dasar
tangki
10
40 45
50
xxxxxxxx
10% xxxxxx20% xxxxxx50% xxxxxx100%xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
335
Tabel 3. Hasil rata-rata produksi massal benih ikan kerapu macan, batik dan cantik dari
3 kali siklus produksi.
Jenis ikan
kerapu
Kerapu macan
Kerapu batik
Kerapu cantik
336
Kelangsungan
hidup (%)
Panjang total
(cm)
Abnormalitas
(%)
81,30
83,50
82,90
17,47
4,63
24,59
3,240,55
2,610,42
3,590,21
30,21
0,57
4,13
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ismi et al.
7
6
5
4
3
2
1
0
-1
K. Macan
K. Batik
K. Cantik
1
10
15
20
25
30
35
40
45
Hari
Gambar 1. Panjang total benih ikan kerapu macan, ikan kerapu batik dan ikan kerapu
cantik.
Harianto et al., 2005). Dari penelitian ini
kelangsungan hidup produksi ikan kerapu
batik juga masih rendah yaitu hanya
mencapai 4,63%, jauh lebih kecil dari
produksi ikan kerapu macan 17,47% dan
batik 24,59%.
Jika dilihat dari hasil produksi
benih ikan kerapu cantik dan ikan kerapu
macan hasilnya lebih baik dari ikan
kerapu batik, maka bisa dikatakan
pemeliharaannya
lebih
mudah,
dibandingkan dengan ikan kerapu batik.
Secara performa (Gambar 2) dan
pertumbuhannya mendekapi/hampir sama
dengan ikan kerapu macan (Gambar 1).
Tetapi dari hasil analisa variasi genetik
untuk melihat jarak kekerabatan antara
ikan kerapu hibrid dengan tetuanya (wild
type) diuji dengan RAPD menggunakan
1 set primer OPA1 OPA20 ikan kerapu
cantik
mempunyai kekerabatan lebih
dekat dengan ikan kerapu batik
dibandingkan dengan ikan kerapu macan
(Gambar 3).
Gambar 2. Performa ikan kerapu macan (A), ikan kerapu cantik (B) dan ikan kerapu
batik (C).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
337
Gambar 3. Dendogram tingkat similaritas ikan kerapu macan (A), ikan kerapu hibrida
cantik (B) dan ikan kerapu batik (C).
Gambar 4. Kepadatan rotifer di dalam air pemeliharaan larva kerapu macan, kerapu
batik dan kerapu cantik.
Gambar 5. Jumlah rotifer dalam isi perut larva ikan kerapu macan, kerapu batik dan
kerapu cantik.
338
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ismi et al.
Parameter
Perlakuan
Ikan Kerapu Batik
28,20 -29,70
8,12 - 8,17
33,00 - 34,00
4,30 - 6,30
28,40 - 30,10
8,14 - 8,19
33,00 - 34,00
4,80 - 6,50
Suhu (oC)
pH
Salinitas (g/L)
DO (mg/L)
Ikan Kerapu
Cantik
28,30 - 29,80
8,15 - 8,19
33,00 - 34,00
4,70 - 6,40
Tabel 5. Analisa ekonomi pemeliharaan larva kerapu macan, batik dan cantik selama
pemeliharaan.
Uraian Bahan
Harga
(Rp)
Biaya Produksi
Telur ikan kerapu:
- Macan
2
- Batik
2
- Cantik
2
Pakan buatan (1 siklus)
Artemia
450000,0
(kaleng)
Bahan pengkaya dan vitamin
Minyak ikan
40000,0
Listrik (bln)
200000,0
Pupuk plankton (1 siklus)
Kaporit, klorin, Tiosulfat
100000
btr
100000
btr
100000
btr
2900,0
6 bh
JUMLAH
1000,0
2700,0
0,5
3,0
9912,0
HASIL KOTOR
Teknisi hasil kotor x 20%
HASIL BERSIH
20,0
600,0
500,0
100,0
200,0
7470,0
9912,0
2442,0
488,4
1953,6
200,0
1000,0
2 bh
250,0
Lain-lain
Panen 3 cm*
200,0
900,0
4000,0
8 bh
250,0
0,5
3,0
3844
20,0
600,0
500,0
100,0
200,0
3778,0
3844,0
500,0
3600,0
250,0
0,5
3,0
19543
660,0
132,0
528,0
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
20,0
600,0
500,0
100,0
200,0
9770,0
19543,0
9773,0
1954,6
7818,4
339
340
keragaman
larva.
Prosiding
Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol. 127hlm.
Hickling, C. 1968. Fish hybridization.
Proc. of world symp. On warm
water pond fish culture. FAO Fish
Rep., 44:1-10.
Ismi, S. 2005. Pemeliharaan larva kerapu.
Bahan kuliah pada desiminasi
budidaya laut berkelanjutan. Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut Gondol bekerja sama dengan
Japan International Cooperation
Agency) dan Dirjen Perikanan
Budidaya Departemen Kelautan
dan Perikanan. 8hlm.
Ismi, S. 2006a. Beberapa macam cacat
tubuh (abnormalitas) kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dari hasil
hatcheri. Prosiding Konferensi
Nasional Akuakultur Makasar 2325 Nov. 2005. Masyarakat
Akuakultur Indonesia 2006.
Ismi, S. 2006b. Usaha pendederan benih
kerapu
macan
(Epinephelus
fuscoguttatus). Media Akuakultur,
1(3):97-10.
Ismi, S. 2008. Pendederan benih kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) di tambak merupakan salah
satu alternatif usaha perikanan.
Prosiding
Seminar
Nasional
Perikanan 2008. Sekolah Tinggi
Perikanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Jakarta, 4-5
Desember 2008. Hlm.:378-381.
Ismi, S. 2010a. Pendederan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) sebagai
salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani pada
pembenihan ikan laut. Pros.
Simposium Nasional Pembangunan Sektor Kelautan Dan Perikanan
kawasan Timur Indonesia 2010.
Ambon, 1-2 Agustus 2010.
Hlm.:224 -2306.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ismi et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
341
342
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 343-351, Desember 2013
343
I. PENDAHULUAN
Ikan klon Biak atau klon hitam
(Amphiprion percula) adalah ikan hias air
laut yang memiliki daya tarik pada
warnanya. Warna merupakan salah satu
parameter dalam penentuan nilai ikan
hias. Semakin cerah warna suatu jenis
ikan, maka semakin tinggi nilainya. Ikan
dengan nama dagang true clown fish ini
memiliki warna kuning oranye dengan 3
ban putih pada bagian kepala, badan dan
pangkal ekor dengan ciri khusus terdapat
warna hitam di sepanjang bagian sisi
badan (Allen, 2000; Poernomo et al.,
2003). Namun perkembangan pola warna
hingga muncul 3 ban putih secara lengkap
dengan warna hitam di sepanjang sisi
badan masih tidak stabil.
Pembenihan ikan klon Biak atau
klon hitam telah dilakukan pada tahun
2010. Permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan budidaya ikan klon biak
ini adalah sulitnya memperoleh benih
dengan kualitas yang memenuhi kriteria
ekspor dengan warna benih yang oranye
cerah dan setrip hitam yang tebal. Di
samping itu benih yang dihasilkan dari 1
pasang induk masih sangat bervariasi.
Sebagaimana
telah
diketahui
bahwa pola pigmen merupakan karakter
fenotipe yang selalu diturunkan dari induk
pada turunannya. Selain faktor gen
sebagai
pengontrol
pola
pigmen,
lingkungan juga mempengaruhi fisiologi
sel pigmen yang mendorong perubahan
formasi pola pigmen yang muncul. Salah
satu gen yang diketahui bertanggung
jawab dalam mengkode pola pigmen dari
ikan adalah gen tyrosinase (Tyr) (Haffter
et al., 1996; Inagaki et al., 1998;
Kusumawati, 2011). Secara spesifik gen
tyrosinase bertanggung jawab terhadap
sintesis enzim tirosinase yang merupakan
kunci
utama
untuk
mensintesis
melanocyte dan mutasi pada gen
tyrosinase memberikan dampak defisiensi
344
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Sembiring et al.
Gambar 2. Performawarna benih klas I (hitam tebal melebar terutama diantara strip
putih di kepala dan badan dan atau antara strip putih di badan dan ekor) (A),
klas II (hanya bergaris hitam tebal) (B) dan klas III (bergaris hitam tipis)
(C).
2.2. Isolasi DNA
DNA ikan diisolasi dari bagian
sirip
dan
atau
daging
dengan
menggunakan Nucleospin tissue kit
(Macherey-Nagel). Tahapan isolasi DNA
sesuai dengan standar protokol dari
produk tersebut.
2.3. Amplifikasi PCR Menggunakan
Primer Gen Tyrosinase (Tyr)
DNA
ikan
diamplifikasi
menggunakan primer gen Tyr yang
mengkode pola pigmen (Sugie et al.,
2004). Hasil produk PCR (amplikon)
dielektroforesis menggunakan gel agarosa
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
345
2.5. Sekuensing
Sekuensing fragmen DNA hasil
amplifikasi PCR dilakukan di Lembaga
UIN, Jogjkarta menggunakan prinsip
chain terminator ddNTPs secara otomatis
dengan mesin ABI Prism Sequencer.
2.6. Analis Data
Data hasil sequencing terlebih
dahulu dilakukan alligment menggunakan
program ClustalW dari situs EBI:
hhtp://www.ebi.ac.uk/egi-in/CLUSTALW
(Higgins et al., 1994). Selanjutnya hasil
alligment
dianalisis
menggunakan
beberapa software yaitu: Phydit untuk
analisis
similarity
dan
perbedaan
nukelotida, Phylip untuk mengkonstruksi
filogenetik tree dan treeview32 program
untuk visualisasi filogenetik tree.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Benih yang dihasilkan dari 3
pasang induk yang dipijahkan, ternyata
semua mempunyai pola warna yang
berbeda (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1
Tabel 1. Persentase benih berdasarkan performan warna klas (I, II, III) dari hasil
pemijahan 3 pasang induk ikan klon Biak (A. percula).
Persentase benih (%)
Induk
II
III
1A1
4.5
62.2
33.3
1A3
37.3
39,0
23.7
1A7
14.3
71.4
14.3
Keterangan: klas I : hitam tebal melebar terutama diantara strip putih di kepala dan
badan dan atau antara strip putih di badan dan ekor; klas II hanya bergaris
hitam tebal dan klas III bergaris hitam tipis (lihat Gambar 2).
346
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Sembiring et al.
Tabel 2. Hasil analisis similarity gen Tyr antara induk dengan benih ikan klon biak, A.
percula menggunakan software Phydit.
Keterangan: 133 nukleotida yang dianalisis, segitiga bawah ke kiri merupakan nilai %
similarity/kemiripan, dan segitiga atas ke kanan merupakan nilai
perbedaan jumlah nukleotida
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
347
4 5
6 7
50 bp
70 bp
10 bp
Gambar 4. Dendrogram kemiripan genetic populasi induk IA1 dan benih ikan hias klon
biak (Amphiprion percula).
348
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Sembiring et al.
Tabel 3. Persentase kemiripan performan warna antara benih dan induk ikan klon biak
(A. percula) dari hasil analisa sequencing.
Kode
induk
IA1
Pola
warna
I
II
III
IA3
II
III
IA7
II
III
Kode
sampel
D-1
E-1
C-2
B-3
D-4
E-4
A-5
B-5
D-5
A-6
B-6
C-6
A-7
D-7
E-7
2-8
4-8
5-8
2-9
3-9
4-9
1-10
2-10
3-10
Jantan
0.420
0.333
0.234
0.641
0.412
0.587
-
Betina
0.504
0.639
0.359
0.600
0.500
0.500
0.432
0.500
0.500
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
349
350
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Sembiring et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
351
352
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 353-364, Desember 2013
ABSTRACT
Shrimp is a very important export commodity with high market value world wide. However, it
is still facing problem related to the waste and deterioration quality as main issues for the
shrimp industry. In this experiment, polyphenoloxidase from the carapace of Penaeus monodon
was extracted and characterized. The research was carried out to obtain the optimum
extraction condition and to evaluate the properties of enzyme i.e., pH, optimum temperature for
activating enzyme, kinetic enzyme, and chelating on metal ion. The best method for PPO enzyme
extraction used buffer with 1:3 proportion. The optimum activity of enzyme was at pH 7 and
temperature of 35C. The kinematic enzyme (Km) value and the maximum substrate
concentration were 5.42 mM and 7.5 mM, respectively. Na+, Ca2+, Zn2+, and EDTA with
concentration 5 and 10 mM inhibited enzyme activity. Cu2+at concentration of 10 mM and
Mn2+ at concentration 5 mM also inhibited enzyme activity
Keywords: carapace, characterization, polyphenoloxidase, shrimp
ABSTRAK
Udang merupakan komoditas ekspor yang penting, namun tidak luput dari permasalahan limbah
dan kemunduran mutu yang dihadapi oleh hasil perikanan lainnya. Pada penelitian ini enzim
polyphenoloxidase diekstraksi dan dikarakterisasi dari karapas Penaeus monodon. Penelitian
dilakukan dengan menentukan optimasi ekstraksi, pH optimum dan suhu optimum aktivitas
enzim, kinetika enzim, dan pengaruh pemberian ion logam. Metode terbaik untuk ekstaksi
enzim PPO menggunakan perbandingan buffer 1:3 secara bertingkat. pH optimum kerja enzim
PPO adalah 7 dengan suhu optimum 35 C. Konsentrasi substrat untuk memperoleh aktivitas
optimum enzim adalah 7,5 mM. Penghitungan kinetika enzim menunjukkan Km enzim PPO
sebesar 5,42 mM. Na+, Ca2+, Zn2+, serta EDTA dengan konsentrasi 5 dan 10 mM menghambat
kerja enzim PPO, demikian juga dengan. Cu2+ 10 mM dan Mn2+ 5 mM menghambat kerja enzim
PPO.
Kata kunci: karapas, karakterisasi, polyphenoloxidase, udang
I. PENDAHULUAN
Udang merupakan komoditas
ekspor yang menjanjikan bagi Indonesia.
Tingkat ekspor udang ke luar negeri yang
tinggi menjadi sumber pendapatan yang
tinggi pula bagi Indonesia. Ekspor udang
Indonesia pada tahun 2010 mencapai
volume 145.092 ton dengan nilai
353
354
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Suhandana et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
355
356
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Suhandana et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
357
Suhu
inkubasi
berpengaruh
terhadap peningkatan absorbansi sampel.
Suhu 35 C memberikan laju peningkatan
yang lebih besar dibandingkan suhu 30
C. Laju peningkatan absorbansi di dua
menit pertama untuk suhu 35 C adalah
0,004 sedangkan pada suhu 30 C sebesar
0,003. Suhu yang lebih tinggi akan
meningkatkan gerakan rotasi, vibrasi,
translasi ataupun bentuk gerakan lain,
sehingga
terjadi
transfer
elektron
(Suhartono, 1989). Hal ini yang
menyebabkan inkubasi menggunakan
suhu 35 C memberikan laju perubahan
substrat yang lebih besar. Montero et al.
(2001) menyebutkan polyphenoloxidase
menunjukkan aktivitas tertinggi antara 40
dan 60 oC, tetapi stabil pada suhu 35 oC.
Semakin lama waktu inkubasi laju
peningkatan absorbansi akan semakin
kecil. Hal ini terjadi karena laju perubahan
substrat akan menurun seiring dengan
penambahan waktu inkubasi. Kecepatan
pembentukan kompleks enzim substrat
sama dengan kecepatan penguraiannya.
Kecepatan ini sama dengan kecepatan
maksimum reaksi enzim yang dicapai
pada
konsentrasi
substrat
tertentu
(Suhartono, 1989). Ketika jumlah substrat
mengalami penurunan selama waktu
358
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Suhandana et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
359
360
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Suhandana et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
361
362
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Suhandana et al.
IV. KESIMPULAN
Metode terbaik untuk mengekstraksi enzim adalah menggunakan
perbandingan buffer 1:3 secara bertingkat.
Suhu untuk pengujian enzim adalah 35
C. pH optimum kerja enzim PPO adalah
7 dengan suhu optimum 35 C.
Konsentrasi L-DOPA yang digunakan
untuk memperoleh aktivitas optimum
enzim adalah 7,5 mM. Penghitungan
kinetika enzim menunjukkan bahwa nilai
Km enzim PPO sebesar 5,42 mM.
Beberapa ion logam digunakan untuk
melihat pengaruh enzim terhadap ion
logam. Na+, Ca2+, Cu2+, Zn2+, dan EDTA
dengan konsentrasi 10 mM menghambat
aktivitas enzim PPO. Selain itu Na+, Ca2+,
Mn2+, Zn2+, dan EDTA dengan
konsentrasi 5 mM juga menghambat kerja
enzim PPO.
DAFTAR PUSTAKA
Benjakul, S., W. Visessanguan, and M.
Tanaka. 2005. Properties of
phenoloxidase
isolated
from
theCephalothorax
of
kuruma
prawn (Penaeus japonicus). J. of
Food Biochem., 29:470485
Benjakul, S. W. Visessanguan, and M.
Tanaka. 2006. Inhibitory effect of
cysteine and glutathione on
phenoloxidasefrom kuruma prawn
(Penaeus japonicus). Food Chem.,
98:158163.
Bono, G., C. Badalucco, A. Corrao, S.
Cusumano, L. Mammina, and G.B.
Palmegiano. 2010. Effect of
temporal variation, gender and size
on cuticle polyphenol oxidase
activity in deep-water rose shrimp
(Parapenaeus longirostris). Food
Chem., 123:489493.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
363
[KKP]
364
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 365-376, Desember 2013
ABSTRACT
The water quality parameters at 23 observation points in Weda Bay were collected using the
Sea-Bird's Conductivity Temperature and Depth (CTD) 911 and Dissolved Oxygen (DO) meter
ARO-USB 66 during Weda Expedition in 13 23 March 2013 (transition monsoon) with
research vessel Baruna Jaya VII. The main goal of this research was to identify characteristics
of water masses in Weda Bay. The results showed that the thickness of mixed layer in Weda
Bay was about 40 m with the average levels of temperature, salinity, and oxygen at about 29.2
C, 34.0, and 7.0 mg/L, respectively. Within thermocline layers, it was observed that there was
the water type of Southern Subtropical Lower Water (SSLW) identified by the presence of
salinity maximum above 35.0 occupied between 25.7 and 24.5 sigma-theta (16,2 C < < 20,5
C). Furthermore, there were oxygen homogenous layers at 5.1 mg/L situated at between 26
and 24.7 sigma-theta (15C < < 20C). In addition, oxygen inversion was found at 0.15 mg/L
in the layer of between 26.8 and 26.0 sigma-theta (10C < < 15C). In the intermediate layer
(>500 m), the temperature and salinity tended to be constant at 7.8 C and 34.7, controlled by
the sill separating Halmahera sea and Western North Pacific Ocean (WNPO). These water mass
characteristics revealed the strong influences from WNPO to Weda Bay. The water, driven by
Indonesian throughflow (ITF), flowed into Halmahera Sea before turned into Weda Bay.
Keywords: temperature, salinity, oxygen, SSLW, Weda bay
I. INTRODUCTION
Halmahera sea is one of
Indonesian Throughflow (ITF) eastern
pathways bringing water masses from
Western North Pacific Ocean (WNPO)
waters. It is about 30 % of total ITF
transport
flowing
through
eastern
pathways while the rest is through western
pathways (Ffield dan Gordon, 1992;
Gordon, 2005; Gordon et al., 2010).
Itensity of ITF transport is seasonally
influenced by monsoon winds, which
reach a maximum during southeast
monsoon (from southeast winds) and a
minimum during northwest monsoon
(from northwest winds, Wyrtki, 1961;
Gordon, 2005; Gordon et al., 2010). The
ITF water masses from the two pathways
meet in Banda sea before exiting to Indian
365
366
II. METHODS
2.1. Field Sites
The observation were conducted in
23 stations in which 18 stations designated
for hydrology (open circle) and 5 stations
designated for biology (shaded blue box)
located close to the shore (Figure 1). The
water depth around the biology stations
(B1, B2, B3, B4, and B5) were only
between 35 m and 70 m, while the depth
for hidrology stations were between 300
m and 1700 m.
The morphology of Weda Bay
formed a deep and steep basin with the
depth of between 500 m and 1700 m in
the middle of this bay(Figure 2). This
condition could lead to the water masses
in Weda Bay had uniform physical
conditions in horizontal distribution.
Furthermore, the depth was decreasing
toward the Southern and Eastern
Halmahera coasts while the depth was
increasing toward Halmahera Sea.
2.2. Conductivity Temperature Depth
(CTD)
The
Conductivity-TemperatureDepth (CTD) Sea Bird Electronics SBE 911 (CTD-911) was vertically cast down
in 18 stations to measure temperature,
depth pressure, and conductivity. The
maximum depth of CTD measurement
was up to 6800 m. The accuracy and
resolution of temperature sensor was
0.001 oC and 0.0002 oC. The accuracy
and resolution of conductivity sensor was
0.0003
Siemens/meter
(S/m)
and
0.00004 S/m. The accuracy and
resolution of pressure sensor was 0.015%
of full scale and 0.001% of full scale. The
data collected from measurements were
processed by SBE Data Processing 5.37e
before analysing them.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Figure 1. Twenty three observation stations; 18 hydrology stations (in open circle) and 5
biology stations (in shaded blue box), in Weda Bay, North Maluku.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
367
depth (meter)
temperature (C)
salinity
density (kg/m3)
Figure 3. Vertical profile of temperature and salinity to the at biology stations in Weda
Bay.
368
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
369
depth (meter)
temperature (C)
salinity
density (kg/m3)
Figure 5. Vertical profile of temperature (left), salinity (middle) and density to the depth
at 18 hydrology stations in Weda Bay.
370
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
371
372
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Tabel 1. Properties of subsurface water masses in the Western North Pacific Ocean
(WNPO) (Wyrtki 1961; Kashino et al. 1996) and Weda Bay.
Water type
Charac- Southern subtropical lower water Antarctic intermediate waters
Water mass
(SSLW)
(AAIW)
teristics
T
S
O2
T
S
O2
3.2 WNPO by Smax 19 - 27 35.0 - 35.6
3.5
Wyrtki
Smin
5 - 7 34.45 - 34.6 1.9 - 3.0
(1961)
Omin
3.5 - 5 34.5 - 34.6 2.0 - 2.4
WNPO
by
Smax
20
35.2
4.5
Kashino et Ohom 10 - 20 34.55 - 35.45
4
al (1996)
5.1 Smax 18 - 20 35.0 - 35.2
Weda Bay
5.2
Ohom 15 - 20 34.98 - 35.2
4.1
The influence of SSLW was also
identified from Temperature-Oxygen (TO) diagram. In general, the concentration
of oxygen in Weda Bay decreased
significantly from 7.0 mg/L at the surface
to 5.2 mg/L at 20 C. After that, the
concentration decreased sligthly and
tended to be constant at about 5.1 mg/L in
between 20 C and 15 C. This oxygen
homogenous (Ohom) layer is one of the
characteristics from SSLW that cannot be
found in NSLW (Tsuchiya et al.1989,
Kashino et al., 1996). The oxygen
homogenous layer around Halmahera sea
was also found by Kashino et al. (1996)
that confirmed the presence of SSLW
influence to the water mass conditions of
Weda bay waters (Table 1).
In addition, the water type of SSLW
in Weda bay waters was also indicated by
the existence of oxygen inversion found
between 15 C and 10 C (Figure 10).
The oxygen content in this layer was
higher by 0.15 mg/L compared to the
upper layer (20 C < < 15 C). The
oxygen concentration increased from 5.1
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
373
374
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
ACKNOWLEDGMENTS
Weda Bay Expedition was conducted
by Technical Implementation Unit for
Marine Life Conservation, Indonesian
Institut of Science. We thank Dr. Augy
Syahailatua, Chairman of by Technical
Implementation Unit for Marine Life
Conservation for his support to conduct
this expedition. We are also very grateful
to Willem M. Tatipatta and Johanis
Dominggus Lekalette for their help in
collecting data during expedition.
REFERENCES
Atmadipoera, A., Y. Kuroda, J.I.
Pariwono, and A. Purwandani.
2004. Water mass variation in the
upper layer of the Halmahera eddy
region observed from a TRITON
buoy. MTS/IEEE Techno Ocean,
3:14961503.
Cresswell, G. R. and J.L. Luick. 2001.
Current measurement in the
Halmahera Sea. J. of Geophysical
Research, 106(C7):13945-13951.
Emery, W. J. 2013. Water types and water
masses. Science, 1556-1567
Ffield, A. and A.L. Gordon. 1992.
Vertical mixing in the Indonesian
Thermocline. J. of Physical
Oceanography, 22(2):184-195.
Gordon, A.L., J. Sprintall, H.M. Van
Aken, D. Susanto, S. Wijffels, R.
Molcard, A. Ffield, W. Pranowo,
and S. Wirasantosa. 2010. The
Indonesian throughflow during
20042006 as observed by the
INSTANT program. Dynamics of
Atmospheres and Oceans, 50:115128.
Gordon, A.L. 2005. The Indonesian seas
and their throughflow. Oceanography, 18(4): 1427.
Ilahude, A.G. and A.L. Gordon. 1994.
Thermocline stratification within
the Indonesian Seas. J. of
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
375
376
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 377-390, Desember 2013
ABSTRACT
The study conducted from 2006 to 2012 with an interval of every two years in the ecoreef
area of Manado Tua island found 2,936 individual reef fishes of 181 species that include into
32 families. Species composition value of the 10 dominant species of reef fishes was 55.48% of
the total species. The highest number of species was Plotosus lineatus with schooling behavior
which only discovered in 2010 at a depth of 3 meters. Ecoreef area of Manado Tua island, when
analyzed from the abundance and biomass of reef fishes exhibited a succession of reef fish that
have been stable, with peak abundance and higher biomass in 2008 and 2010. Reef fish found in
ecoreef seemed to start a new living and become a new habitat for them. These were indicated
by the highest biomass during the previous year but the number of individuals and spesies were
decline. There was no change in the structure of reef fish communities in the ecoreef area of
Manado Tua Island, which characterized by non significant different ecological index between
the years. Cluster analyses grouped reef fish species into 2 groups i.e., the group of 2006 and
the group of 2008, 2010, and 2012. Early survey in 2006 showed lower abundance of reef fish
species for allegedly associated with low ecoreef organisms.
Keywords: ecoreef, spesies composition, community structure, reef fish.
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan sejak tahun 2006 hingga 2012 dengan selang waktu tiap dua
tahun di area ecoreef Pulau Manado Tua mendapatkan ikan karang sebanyak 2.936 individu
dalam 181 spesies yang masuk dalam 32 famili. Nilai komposisi spesies dari 10 spesies
dominan ikan karang mencapai 55,48% dari total keseluruhan spesies yang ditemukan dengan
jumlah terbesar dari jenis Plotosus lineatus dikarenakan sifatnya yang schooling meskipun
hanya diketemukan di tahun 2010 pada kedalaman 3 meter tetapi jumlahnya mengalahkan
spesies lain yang ditemukan tiap tahun. Daerah ecoreef Pulau Manado Tua, jika dilihat dari
kelimpahan dan biomassa ikan karangnya memperlihatkan suksesi ikan karang yang sudah
stabil, dimana puncak kelimpahan dan biomasaa ikan karang tertinggi di tahun 2008 hingga
2010. Namun demikian ikan karang yang terdapat di ecoreef mulai menempati habitat baru bagi
mereka, ini diindikasikan dengan biomassa tertinggi dari tahun sebelumnya namun jumlah
individu dan spesiesnya turun. Tidak ada perubahan struktur komunitas ikan karang yang berarti
di area ecoreef Pulau Manado Tua, dengan dicirikan data indeks ekologi yang tidak jauh
perubahannya antar tahun. Hasil kluster analisis untuk melihat kesamaan spesies secara
temporal mengelompokkan ikan karang kedalam 2 group yaitu group tahun 2006 dan group
tahun 2008, 2010, dan 2012, hal ini karena proses suksesi ikan karang yang menempati area
ecoreef. Awal survei di tahun 2006 memperlihatkan kelimpahan spesies ikan karang rendah
karena diduga organisme yang berasosiasi dengan ecoreef.
Kata kunci: ecoreef, komposisi spesies, struktur komunitas, ikan karang
377
I. PENDAHULUAN
Taman
Nasional
Bunaken
merupakan kawasan pelestarian alam
berbasis lautan yang dikelola oleh
pemerintah dan ditetapkan berdasarkan
SK. Menteri Kehutanan No.730/KptsII/1991 dengan luas 89.065 Ha. Namun
30-40 tahun yang lalu aktifitas menangkap
ikan yang merusak mengakibatkan
kerusakan terumbu karang. Berdasarkan
Razak (2006), setelah tiga dekade berlalu,
area yang rusak juga tidak menunjukkan
proses pemulihan yang nyata sehingga
Tahun 2003 sebanyak 620 modul ecoreef
ditenggelamkan di site Muka Gereja di
depan Desa Negeri di Pulau Manado Tua
(N 1o 37,388 E 124o 42,819).
Ecoreef merupakan salah satu
metode terumbu buatan yang dapat
digunakan dalam merehabilitasi terumbu
karang. Salah satu fungsi ekologis
terumbu buatan menurut (Miller dan
Falace, 2000) yaitu menciptakan habitat
baru dan dapat meningkatkan kelimpahan
ikan karena ketersediaan shelter (tempat
berlindung). Serta fungsi lainnya adalah
meningkatkan biomassa ikan (Manembu
et al., 2012). Area yang dijadikan lokasi
rehabilitasi ini adalah bekas hamparan
karang tepi yang saat ini berupa hamparan
rubble dan pasir yang konturnya miring
hingga terjal sampai kedalaman 12-13 m
serta kedalaman selanjutnya berupa pasir.
Menurut Razak (2006), luas area
rehabilitasi sebesar 1200 m2 (lebar 16 m
dan panjang 75 m) dengan empat baris
penyusunan modul ecoreef. Baris A (2,54m), baris B (4-6m), baris C (6-8m) dan
baris D (8-10m).
Proses
rehabilitasi
ekosistem
terumbu karang dengan terumbu buatan
banyak dilakukan saat ini dan umumnya
penelitian tersebut banyak melihat aspek
dari sisi karangnya seperti penempelan
larva karang di reef ball (Bachtiar dan
Prayogo, 2010) atau di rock pile (Fox et
al., 2005) dan laju pertumbuhan karang
378
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Setiawan et al.
H pi ln pi ...................(3)
i 1
indeks kesamaan:
E = H/ H maks .......................(4)
dan indeks dominansi:
S
D=
pi2 ..........................(5)
i 1
....................(6)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
379
380
reticulates
5,72
%,
Pomacentrus
auriventris 5,35 %, Aeoliscus strigatus
4,46 %, Pomacentrus amboinensis 4,29
%, Cirrhilabrus exquisitous 3,64 %,
Chromis ternatensis 3,61 % dan
Pomacentrus adelus 2,25 %. Tingginya
spesies Plotosus lineatus dikarenakan ikan
ini memiliki sifat bergerombol dalam
jumlah besar dalam dua kelompok
meskipun hanya diketemukan di tahun
2010 pada kedalaman 3 meter tetapi
jumlahnya mengalahkan spesies lain yang
ditemukan tiap tahun. Ditambahkan pula
ikan ini bersifat omnivora pemakan
zoobenthos, cacing, alga, moluska dan
krustacea kecil yang berada didasar dan
terkubur di dalam pasir dan substrat dasar
di area ecoreef mendukung itu semua.
Spesies Ctenochaetus striatus yang cukup
banyak dijumpai dikarenakan banyak alga
yang menyelimuti rubble dan struktur
ecoreef yang menjadi makanan ikan ini.
Sedangkan untuk spesies dari famili
Pomacentridae (Pomacentrus brachialis,
Dascyllus
reticu-lates,
Pomacentrus
auriventris, dan Poma-centrus amboinensis) yang juga banyak ditemukan
dikarenakan mereka pemakan zooplankton di kolom air dan struktur ecoreef yang
memberikan ruang untuk sembunyi sangat
cocok untuk ikan Pomacentridae karena
saat menangkap zooplankton ikan
Pomacentridae sangat rentan menjadi
mangsa ikan carnivora besar.
Total komposisi dari 10 spesies ikan
karang di area ecoreef Pulau Manado Tua
ini mencapai 55,48% dari total
keseluruhan spesies yang ditemukan. Hal
ini cukup menarik karena total 10 spesies
dominan ini sudah separuh lebih dari
keseluruhan spesies yang di temukan di
areal ecoreef Pulau Manado Tua.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Setiawan et al.
Tabel 1. Komposisi spesies ikan karang di area ecoreef pulau Manado Tua.
Family/Spesies
Acanthuridae
Acanthurus achilles
Acanthurus bariene
Acanthurus
grammoptilus
Acanthurus marginatus
Acanthurus nigricans
Acanthurus nigrofuscus
Acanthurus nigroris
Acanthurus pyroferus
Acanthurus tristis
Ctenochaetus binotatus
Ctenochaetus
marginatus
Ctenochaetus striatus
Naso caeruleacauda
Naso lituratus
Naso minor
Zebrasoma scopas
Zebrasoma veliferum
Apogonidae
Apogon compressus
Aulostomidae
Aulostomus chinensis
Balistidae
Balistapus undulatus
Pseudobalistes
flavimarginatus
Sufflamen chrysopterus
Bleniidae
Meiacanthus
grammistes
Caesionidae
Caesio lunaris
Pterocaesio tile
Carangidae
Caranx melampygus
Aeoliscus strigatus
Chaetodontidae
Chaetodon adiergastos
Chaetodon auriga
chaetodon citrinellus
Chaetodon collare
ind/
ekor
Komposi
si spesies
(%)
1
1
0.03
0.03
Chaetodon ephippium
Chaetodon kleinii
Chaetodon lunulatus
1
65
5
0.03
2.21
0.17
3
9
2
3
1
21
5
42
0.1
0.31
0.07
0.1
0.03
0.72
0.17
1.43
Chaetodon myeri
Chaetodon ornatissimus
Chaetodon rafflesi
Chaetodon reticulatus
Chaetodon speculum
Chaetodon trifascialis
Chaetodon vagabundus
Forcipiger longirostris
3
1
6
3
5
3
17
23
0.1
0.03
0.2
0.1
0.17
0.1
0.58
0.78
6
221
25
6
9
40
3
0.2
7.53
0.85
0.2
0.31
1.36
0.1
36
2
1.23
0.07
8
4
0.27
0.14
0.17
0.03
0.2
7
1
1
0.24
0.03
0.03
0.24
Hemitaurichthys polylepis
Heniochus acuminatus
Lethrinidae
Lethrinus sp.
Monotaxis grandoculis
Lujanidae
Macolor niger
Monacanthidae
Amanses scopas
Paraluteres prionurus
Pervagor janthinosoma
Mullidae
Mulloidichthys flavolineatus
2
8
0.07
0.27
Parupeneus barberinus
Parupeneus macronemus
Parupeneus multifasciatus
8
7
7
0.27
0.24
0.24
0.03
1
31
0.03
1.06
4
1
0.14
0.03
1
131
0.03
4.46
Nemipteridae
Scolopsis bilineata
Scolopsis lineatus
Ostraciidae
Ostracion cubicus
Ostracion meleagris
Pinguipedidae
Parapercis clathrata
Parapercis hexophthalma
Plotosidae
Plotosus lineatus
1
5
0.03
0.17
5
5
0.17
0.17
365
12.43
1
4
1
2
0.03
0.14
0.03
0.07
Family/Spesies
ind/
ekor
Komposi
si spesies
(%)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
0.03
381
Tabel 1 (lanjutan)
Family/Spesies
Pomacanthidae
Centropyge bicolor
Centropyge bispinosus
Centropyge tibicen
Centropyge vroliki
Pygoplites diacanthus
Pomacentridae
Abudefduf vaigiensis
Acanthochromis
polyacanthus
Amblyglyphidodon
leucogaster
Amphiprion clarkii
Amphiprion
sandaracinos
Chromis amboinensis
Chromis atripes
Chromis caudalis
Chromis dimidiata
Chromis margaritifera
Chromis ternatensis
Chromis weberi
Chromis xanthura
Chrysiptera parasema
Heniochus chrysostomus
Heniochus varius
Cirrhitidae
ind/
ekor
7
1
7
4
3
12
Komposi
si
spesies
(%)
0.24
0.03
0.24
0.14
0.1
0.41
Family/Spesies
ind/
ekor
Komposisi
spesies
(%)
Cheilinus oxycephalis
Cheilinus trilobatus
Cheilio inermis
Cirrhilabrus exquisitous
Cirrhilabrus solorensis
Coris gaimard
Epibulus insidiator
Gomphosus varius
1
12
2
107
15
4
8
6
0.03
0.41
0.07
3.64
0.51
0.14
0.27
0.2
20
0.68
Halichoeres chrysus
0.2
5
14
0.17
0.48
Halichoeres hortulanus
Halichoeres leucurus
28
4
0.95
0.14
2
1
4
23
5
50
106
55
5
28
2
7
0.07
0.03
0.14
0.78
0.17
1.7
3.61
1.87
0.17
0.95
0.07
0.24
1
1
3
4
1
17
3
2
1
1
4
23
2
0.03
0.03
0.1
0.14
0.03
0.58
0.1
0.07
0.03
0.03
0.14
0.78
0.07
Cirrhitichthys falco
Paracirrhites arcatus
Paracirrhites forsteri
Diodontidae
Holocentridae
Myripristis murdjan
Labridae
1
9
4
0.03
0.31
0.14
0.1
12
8
8
1
168
22
4
0.41
0.27
0.27
0.03
5.72
0.75
0.14
Anampses geographicus
Anampses lineatus
Anampses melanurus
Anampses meleagrides
Cheilinus chlorurus
Cheilinus fasciatus
3
3
1
3
2
9
0.1
0.1
0.03
0.1
0.07
0.31
Halichoeres melanurus
Halichoeres nebulosus
Halichoeres prosopeion
Halichoeres purpurescens
Halichoeres richmondi
Halichoeres scapularis
Hemigymnus fasciatus
Hemigymnus melapterus
Hologymnosus annulatus
Labrichthys unimaculatus
Labroides bicolor
Labroides dimidiatus
Labroides pectoralis
Macropharyngodon
meleagris
Novaculichthys taeniourus
Oxycheilinus digramma
Dascyllus melanurus
Dascyllus reticulatus
Dascyllus trimaculatus
Neoglyphidodon nigroris
Plectroglyphidodon
lacrymatus
Oxycheilinus digramma
Pomacentrus adelus
Pomacentrus amboinensis
Pomacentrus brachialis
Pomacentrus chrysurus
6
8
66
126
182
21
0.2
0.27
2.25
4.29
6.2
0.72
382
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Setiawan et al.
Tabel 1 (lanjutan)
Family/Spesies
Pomacentrus lepidogenys
Pomacentrus
molluccensis
Pomacentrus vaiuli
Ptereleotridae
Nemateleotris magnifica
Scaridae
Chlorurus bleekeri
Chlorurus bowersi
Chlorurus sordidus
Scarus dimidiatus
Scarus forsteni
Scarus globiceps
Scarus hypselopterus
Scarus niger
scarus oviceps
Scarus prasiognathus
Scarus psittacus
Scarus quoyi
Scarus sp.
Serranidae
Cephalopholis boenak
Cephalopholis leopardus
Cephalopholis urodeta
Epinephelus fasciatus
Pseudanthias huchti
ind/
ekor
Komposi
si
spesies
(%)
0.07
13
11
0.44
0.37
0.17
3
2
11
2
1
1
3
16
1
3
1
1
1
0.1
0.07
0.37
0.07
0.03
0.03
0.1
0.54
0.03
0.1
0.03
0.03
0.03
2
7
9
4
9
0.07
0.24
0.31
0.14
0.31
Family/Spesies
Pseudanthias squamipinnis
Siganidae
Siganus argenteus
siganus doliatus
Siganus guttatus
Siganus punctatus
Siganus sp.
Siganus unimaculatus
Siganus vulpinus
Synodonthidae
Synodus jaculum
Tetraodontidae
Arothron nigropunctatus
Oxycheilinus rhodochrous
Oxycheilinus unifasciatus
Pseudocheilinus hexataenia
Pseudodax mollucanus
Stethojulis strigiventer
Stethojulis trilineata
Canthigaster compressa
Canthigaster valentini
Zanclidae
Zanclus cornutus
Jumlah
ind/
ekor
14
Kompo
sisi
spesies
(%)
0.48
3
1
2
2
2
1
1
0.1
0.03
0.07
0.07
0.07
0.03
0.03
0.03
3
1
2
10
2
3
5
1
11
0.1
0.03
0.07
0.34
0.07
0.1
0.17
0.03
0.37
33
1.12
2936
100
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
383
Gambar 2. Histogram komposisi jumlah individu dan spesies dari tahun 2006 hingga
2012.
384
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Setiawan et al.
Gambar 3. Kelimpahan ikan karang berdasarkan tipe pemakan dari tahun 2006-2012.
3.2.2. Biomassa Ikan Karang
Biomaasa ikan karang di areal
ecoreef selama kurun waktu 6 tahun
tertinggi terdapat di tahun 2012 pada
kedalaman 3 meter sebesar 19,09 Kg/250
m2 dan terendah di tahun 2010 pada
kedalaman 3 meter sebesar 7,22
Kg/250m2
(Gambar
4).
Secara
keseluruhan tren biomassa ikan karang di
area ecoreef Pulau Manado Tua untuk
kedalaman 3 meter dan 9-10 meter
menurun hingga tahun 2010 dan
meningkat lagi di tahun 2012, sedangkan
kedalaman 6 meter meingkat di tahun
2008 kemudian menurun ditahun 2010
namun meningkat lagi ditahun 2012
sehingga secara keseluruhan biomassa
ikan karang meningkat di tahun 2012.
Dilihat dari data kelimpahan dan
biomassanya, memperlihatkan di tahun
2012 ukuran ikannya relatif lebih besar
karena rata-rata biomassa ikannya tinggi
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
385
Gambar 4. Biomassa rata-rata (SE) ikan karang dari tahun 2006-2012 di area
ecoreef Pulau Manado Tua.
3.2.3. Indeks Ekologi
Struktur komunitas yang diolah
meliputi indeks keanekaragaman (H),
Indeks kemerataan (E) dan indeks
dominansi (C). Indeks keanekaragaman
mulai tahun 2006 hingga 2012 antara 1,78
3,40 dimana ini masuk dalam kisaran
rendah hingga tinggi dengan nilai rata-rata
sedang. Indeks kemerataan antara 0,28
0,65 dan masuk dalam kategori tertekan
hingga labil. Sedangkan indeks dominansi
berada antara 0,05 0,44 dan kesemuanya
masuk dalam katori rendah (Gambar 5).
Nilai indeks keanekaragaman terendah
pada kedalaman 3 meter pada tahun 2010,
hal ini dikarenakan diketemukannya
spesies Plotosus lineatus dalam jumlah
besar sehingga mempengaruhi komunitas
ikan karang disana. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Odum, 1971 bahwa perubahan
nilai indeks struktur komunitas dalam
suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh
adanya kelompok spesies yang dominan.
386
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Setiawan et al.
Gambar 5. Indeks H, C, dan E di tiga kedalaman dari tahun 2006 hingga 2012.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
387
388
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G, R. Steene., P. Hulmann, and N.
Deloach. 2003. Reef fish tropical
Pacific identification. New World
Publication, Inc. Jacksonville.
Florida. USA. 457p.
Bachtiar, I dan W. Prayogo. 2010. Coral
recruitment on reef ball modules at
the Benete Bay, Sumbawa island,
Indonesia. J. of Coastal Development, 13(2):119-129.
Bowden and A. Kerby. 1997. Coral
transplantation in sheltered habitats using unattached fragments
and cultured colonies. Proceedings
of the 8th International Coral Reef
Symposium, Vol. 2. Australia.
Hlm:2063-2068.
Dhahiyat, Y., D. Sinuhaji, dan H.
Hamdani. 2003. Struktur komunitas ikan karang di daerah
transplantasi karang Pulau Pari,
Kepulauan Seribu. J. Iktiologi
Indonesia, 3(2):87-94.
Fadli, N. 2009. Growth rate of acropora
formosa fragments that transplanted on artificial substrate made
form coral rubble. J. Biodiversitas,
10(4):181-186.
Fox H., P.J. Mous, J.S. Pet, A.H. Muljadi,
and R.L. Caldwell. 2005. Experimental assessment of coral reef
rehabilitation
following
blast
fishing. J. Conservation Biology,
19:98-107.
Froese, R. and D. Pauly. 2010. FishBase.
world wide web electronic publiccation. www.fishbase.org, version
(11/2010). [Diakses pada tanggal
15 Juli 2013].
Goreau, T.J. 1996. Biorock/mineral
accreation technology for reef
restoration, mariculture and shore
protection. http://globalcoral.org.
html. [Diakses pada tanggal 9
Desember 2013].
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Setiawan et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
389
390
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 391-400, Desember 2013
I. PENDAHULUAN
Teknologi pengembangan budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai
oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk
hatchery dan operasi penyuntikan. Namun
391
392
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hamzah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
393
394
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hamzah
Fase
Keterangan
Sel Sperma
Induk Jantan
Sel Telur
Induk Betina
Telur
Embriogenesis
(Planktonik)
Proses
Pembelahan Sel
5watt 10watt
15watt
(65Lux) (90Lux) (117Lux)
Trocophore
9j
8j
7j
D-veliger
24j
22j
20j
Umbo-veliger
14h
13h 12h
Eye spot
17h
16h
Pedi-veliger
(umbo akhir)
20h
19h
18h
Metamorfisis
(Bentik)
Plantigrade
20h
20h
Post-larva
Spot (juvenil)
Spat
30h
22h
29h
36h
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
15h
22h
29h
33h
395
DB
JK
KT
F_hitung
F.tabel
0,05
0,01
______________________________________________________________________
Perlakuan cahaya
3
2.491.200
830,40 21,82**
3,49 5,95
Galat
12
456,600
38,05
Total
15
2.949.656,6
______________________________________________________________________
Keterangan: ** = berpengaru sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Tabel 3. Hasil uji beda nyata jujur kelangsungan hidup larva kerang mutiara
berdasarkan perlakuan intensitas cahaya lampu pijar yang berbeda.
______________________________________________________________________
Intensitas cahaya
Rerata perlakuan
Beda intensitas cahaya
______________________________________________________________________
15watt (117 Lux)
140
5watt (65Lux)
920
780**
10watt (90Lux)
1040
800**
120tn
0watt (Ruang gelap)
1140
1000**
220tn
100tn
______________________________________________________________________
BNJ0,05 = 335,058; BNJ 0,01 = 489,765
Keterangan : **= berbeda sangat nyata; tn = berbeda tidak nyata
396
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hamzah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
397
398
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Hamzah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
399
400
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 401-408, Desember 2013
I. PENDAHULUAN
Ikan kue dari jenis Golden trevally, Gnathanodon speciosus Forsskal
merupakan jenis ikan yang bisa hidup
401
402
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Alit
Protein
Lemak
Serat kasar
Abu
48.0
12.0
2.0
12.0
ln Wt ln Wo
=
t
100 %
Dimana :
SGR = laju pertumbuhan bobot harian
(%/hari)
Wo = bobot rata-rata ikan pada awal
penelitian (g)
Wt = bobot rata-rata ikan pada akhir
penelitian (g), dan
t = lama pemeliharaan (hari).
2. Rasio konversi pakan ikan (Takeuchi,
1988)
(FCR ) = jumlah konsumsi pakan
pertambahan bobot
3. Sintasan ikan (Effendie, 1978)
Nt
S = x 100%
No
dimana: S = sintasan ikan (%),
Nt = jumlah ikan pada akhir penelitian
(ekor),
No = jumlah ikan pada awal penelitian
(ekor)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
403
Tabel 2. Pertumbuhan, konversi pakan, dan sintasan benih ikan kue selama 42 hari.
Perlakuan (ukuran panjang yang berbeda)
Variabel
A
(1,5-2,0 cm/ekor)
Waktu pemeliharaan (hari)
42
Bobot awal (g)
0,450,28
Pertambahan bobot akhir (g)
2,250,62
Panjang total awal (cm)
2,75 0,85
Panjang total akhir (cm)
4,85 1,05
Pertambahan panjang (cm)
2,10 0,78
Laju pertumbuhan harian (%)
5,36
Konversi pakan
1,75
Sintasan (%)
65 0,80
Hasil pengamatan pertumbuhan
selama 42 hari pada perlakauan A mencapai laju pertumbuhan harian sebesar
5,36%, B = 7,00%, dan C 6,42 (Tabel 2.).
Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil uji
sidik ragam perlakuan A berbeda nyata
(P<0,05) dengan perlakuan B, dan C.
Selama pemeliharaan benih ikan
kue sampai akhir penelitian perlakuan B
laju pertumbuhan harian lebih baik mencapai 7,00% per hari, dan juga kelulusan
hidup lebih tinggi dibanding perlakuan A,
serta C dapat dilihat pada Tabel 2. Hal ini
diduga bahwa perlakuan B, lebih cepat
untuk mendapatkan pakan buatan dan
selalu lincah dibanding dengan perlakuan
A, dan C. Menurut Wedemeyer (1996),
padat penebaran dan pergantian air
mempunyai pengaruh yang mendasar
terhadap pertumbuhan serta konversi
pakan. Rasio konversi pakan benih ikan
kue selama penelitian 42 hari adalah
sekitar 1,85 1,95 (Tabel 2), dan berdasarkan analisis ragam tidak menunjukkan perbedaaan yang berarti
(P>0,05). Nilai lebih rendah dibanding
dengan hasil penelitian Sugama et al.
(1986b) yang menyatakan ikan kerapu
lumpur, Epinephelus etauvina tumbuh
paling cepat dengan konversi pakannya
paling rendah (pakan timbang) 5,1 8,5.
Makin rendah nilai konversi pakan suatu
404
B
( 2,5-3,0 cm/ekor)
42
0,550,25
2,950,75
3,55 0,78
5,80 1,10
2,25 0,98
7,00b
1,95
920,76b
C
(3,5-4,0 cm/ekor)
42
0,600,20
2,700,63
4,50 0,82
6,35 1,15
1,85 0,77
6,42ab
1,82
740,70b
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Alit
Gambar 1. Pertumbuhan panjang total benih ikan kue selama pemeliharaan 42 hari.
Setelah pemeliharaan 14 hari
sampai 42 hari pertumbuhan perlakuan B
lebih cepat, hal ini mungkin disebabkan
ukuran panjang lebih sedang dibanding
perlakuan A, dan B, dan juga
mendapatkan pakan buatan yang dapat
dimanfaatkan secara efektif, serta secara
keseluruhan mendapatkan pakan sehingga
pertumbuhannya
hampir
merata,
sedangkan
perlakuan
A untuk
mendapatkan pakan pellet benih ikan kue
kurang lincah
sehingga pertumbuhan
bobot agak lambat (Gambar 1).
Selama pemeliharaan di hatcheri
dari panjang awal yang berbeda sekitar
1,50 4,0 cm sampai akhir penelitian
mencapai ukuran 4,85 5,98 cm,
perlakuan A (panjang 1,5 - 2,0 cm/ekor)
benih agak banyak mengalami kematian
pada minggu pertama penelitian, diduga
pada ukuran panjang benih kurang dari 2
cm, jadi ikan gerakan masih lemah setelah
10 hari baru secara bertahap ikan sehat
untuk mencari makan. Sedangkan per-
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
405
Tabel 3. Nilai kualitas air benih ikan kue, Gnathannodon speciosus Forsskal selama
memeliharaan 42 hari dengan ukuran panjang yang berbeda.
Perlakuan (ukuran panjang yang berbeda)
Parameter
Suhu /temperature C
pH
Salinitas (ppt)
DO (mg/l)
Amoniak/ ppm NH3
Fosfat/phosphate (ppm)
N02/nitrite (ppm)
A
(1,5 2,0 cm/ekor/)
29.20 29.82
7.25 7.95
33.00- 35.30
6.15 7.18
0.247 - 0. 625
0.024-0.615
0.020-0.685
406
B
(2,5- 3,0 cm/ekor)
29.22 - 29.92
7.00 7.90
33.20 - 35.20
6.20 7.23
0.265 - 0.665
0.027 0.626
0.022 0.726
C
(3,5- 4,0 cm/ekor)
29.20 30,10
7.15 7.98
33.10 35.25
6.10 7.25
0.267- 0.865
0.038 0.768
0.030 0.827
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Alit
DAFTAR PUSTAKA
Alit, A.A. 2012. Increased productivity of
fish seed Golden Trevally,
Gnathannodon speciosus Forsskal
with
different
densities
in
hatchery.
Prosiding Seminar
Nasional Biodiversitas IV. Surabaya, 15 Sepember 2012. Hlm.: 433439.
Basyari. A. dan D.N. Purba. 1991.
Pengaruh
perbedaan
sumber
protein utama dalam makanan
buatan terhadap pertumbuhan
benih ikan kerapu lumpur,
Epinepheluse etauvina (Forskal).
J. Penelitian Budidaya Pantai,
7(2):102109.
Changboo, Z., D. Shuanglin, W. Fang,
dan H. Guoqiang. 2004. Effects of
Na/K ratio in seawater on growth
and energy budget of juvenile
Litopenaeus vannamei. Aquaculture, 234:485-496.
Effendi M.I. 1978. Biologi perikanan,
bagian 1, study natural history,
Fakultas Perikanan. IPB, Bogor.
105hlm.
Gushiken, S. 1983. Revision of the
Carangid fish of Japan. Galaxea. 2.
135-264.
Kordi, K.M.G.H. 2005. Early life history
of fishes: an energetics approach.
Chapmen and Half. London. 276p.
Mayunar, S. Redjeki, dan S. Mutiningsih.
1991. Pemeliharaan larva kerapu
macan Epinephelus fuscoguttatus
dengan
berbagai
frekuensi
pemberian ransum rotifer. J.
Penelitian
Budidaya
Pantai,
7(2):3541.
Lamidi., Asmanelli, dan Z. Syafara. 1994.
Pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan lemak, Cheilinus
undulatus
dengan
frekuensi
pemberian pakan yang berbeda. J.
Penelitian
Budidaya
Pantai,
10(5):81-87.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
407
408
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 409-416, Desember 2013
409
I. PENDAHULUAN
Daerah pasang surut (intertidal)
Batu Hijau yang terdiri Maluk, Mangkun,
Madasanger,
Sejorong
dan
Puna
mempunyai habitat datar dan cukup luas
kecuali Puna. Daerah intertidal ini akan
terlihat pada saat air surut dan akan
terbenam saat air pasang. Lokasi ke lima
daerah intertidal terletak di bagian Barat
Sumbawa yang dipengaruhi oleh Selat
Alas dan Lautan Hindia. Maluk dan
Mangkun terletak terlindung di Teluk,
Madasanger dan Sejorong agak terbuka,
dan Puna yang terletak di Tanjung
merupakan daerah intertidal yang terbuka
(Yulianda, 2008).
Daerah intertidal terletak paling
pinggir dari bagian ekosistem pesisir dan
laut dan berbatasan dengan ekosistem
darat. Intertidal merupakan daerah pasang
surut (intertidal) yang dipengaruhi oleh
kegiatan pantai dan laut. Kondisi
komunitas pasang surut tidak banyak
perubahan kecuali pada kondisi ekstrim
tertentu dapat merubah komposisi dan
kelimpahan organisme intertidal. Daerah
ini merupakan daerah yang paling sempit
namun
memiliki
keragaman
dan
kelimpahan organisme yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan habitathabitat laut lainnya. Daerah intertidal Batu
Hijau terletak di kawasan yang paling
mudah di jangkau oleh manusia sehingga
rentan perubahan komunitas.
Kelompok organisme intertidal
umumnya terdiri dari lamun (sea grass),
rumput laut (seaweed), komunitas karang
(coral community), dan biota yang
berasosiasi dengan karang dan lamun.
Keragaman dan sebaran organisme sangat
berkaitan dengan keragaman karakteristik
habitat dan sangat dipengaruhi oleh
ketergenangan air laut. Keragaman habitat
akan menentukan komunitas dan biota
yang berasosiasi dengan sistem ekologi di
daerah pasang surut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkarakterisasi zonasi
410
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Yulianda et al.
Gambar 1. Lokasi pengamatan di lima stasiun (lingkaran tertutup warna hijau) daerah
pasang surut di pesisir Batu Hijau.
Pantai intertidal Sejorong cukup lebar
(300 meter) dengan substrat pasir padat
dan pasir berkarang. Sub stasiun pertama
di zona atas (dekat pantai) memiliki
substrat berpasir, sedangkan di zona
tengah ber-substrat pasir campur karang,
dan di zona bawah (ke arah laut) substrat
berkarang. Pantai Madasanger cukup lebar
hingga mencapai 350 meter dengan tipe
substrat pasir, batu karang dan campuran.
Tipologi pantai Madasanger tidak merata,
rataan substrat pada daerah pasang tinggi
agak tinggi, kemudian agak menurun pada
stasiun tengah dan naik kembali pada
stasiun bawah. Pada sebagian zona atas
dan zona tengah memiliki kedalaman
yang reltif lebih tinggi (sekitar 70 cm
pada saat surut) sehingga selalu terendam.
Pantai Puna bersubstrat berbatu, lebar
dataran lebih sempit (100-200 meter),
dan curam. Stasiun intertidal Puna
mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan stasiun lainnya. Karena komunitas
intertidal didominasi oleh biota yang berasosiasi dengan pantai berbatu yang
dicirikan dengan alga dan herbivora. Kepadatan dan keragaman fauna umumnya
lebih tinggi ditemukan pantai intertidal
berbatu (Diaz-Tapia et al., 2013).
Kondisi biota dan komunitas
intertidal secara umum tidak banyak perubahan selama pengamatan September
2011 dan April 2012 meskipun ada kecenderungan perubahan komposisi yang
dominan dan populasi biota hamper di
semua lokasi. Perubahan dan dinamika
lingkungan intertidal terjadi secara
bertahap mulai dari topografi rataan, tipe
substrat dan kedalaman. Perbedaan
lingkungan yang agak terlihat di daerah
intertidal adalah pengaruh gelombang
yang menghantam pantai yang sedikit
mempengaruhi komposisi biota intertidal.
Sebaran lamun (sea grass) umumnya
terdapat di daerah pasang tinggi terutama
di Maluk, Madasanger, Mangkun dan
Sejorong. Komunitas rumput laut dan
karang lebih banyak di daerah pasang
yang lebih rendah. Karang di beberapa
tempat seperti di Mangkun dan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
411
Gambar 2. Persen tutupan komunitas intertidal di pesisir Batu Hijau bulan September
2011.
412
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Yulianda et al.
Gambar 3. Persen tutupan komunitas intertidal di pesisir Batu Hijau bulan April 2012.
Gambar 4. Kepadatan biota intertidal di pesisir Batu Hijau bulan September 2011.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
413
Gambar 5. Kepadatan biota intertidal di pesisir Batu Hijau bulan April 2012.
3.2. Pembahasan
Karakteristik daerah intertidal di
lima stasiun cukup beragam berdasarkan
tipe susbstrat, rataan atau morfologi
pantai, luas atau lebar area, dan
kemiringan pantai. Hal ini menyebabkan
keragaman kepadatan biota dan persen
tutupan komunitas intertidal realtiff tinggi
yang ditunjukkan oleh simpangan baku
yang tinggi. Meskipun demikian komposisi biota dan komunitas intertidal
relatif sama di lima lokasi pengamatan,
tertutama di stasiun Maluk, Mangkun,
Madasanger dan Sejorong. Sedangkan di
stasiun Puna agak berbeda sedikit karena
tipologi substrat yang didominasi pantai
berbatu. Komunitas intertidal di Puna
lebih dominan kelompok grazer dan
populasi biota seperti kelompok moluska
(Littorina, Nerita dan Crassostrea) dan
kelompok ekhinodermata (bulu babi dan
bintang laut) sangat dominan. Umumnya
hewan-hewan grazer akan sangat tergantung dengan keberadaan produser
(rumput laut atau lamun) (Lesser, 2011).
Pola sebaran komunitas intertidal
di Pesisir Batu Hijau berdasarkan ke-
414
beradaannya
dapat
dikelompokkan
menjadi dua, yaitu komunitas darat (zona
atas) dan komunitas laut (zona bawah).
Komunitas darat adalah komunitas yang
banyak ditemukan di dekat pantai dan
akan berkurang sebarannya ke arah laut.
Komunitas ini adalah komunitas lamun
(sea grass) yang mensyaratkan substrat
pasir dengan sedikit substrat agak halus
dan cenderung hidup pada di area yang
terbenam air meskipun pada saat air surut.
Lamun membutuhkan nutrien yang
konsentrasinya akan lebih tinggi ditemukan di substrat yang agak halus
(Hemminga and Duarte, 2000). Substrat
ke arah laut makin kasar dan dominasi
karang semakin meningkat menyebabkan
sebaran lamun ke arah laut terbatas hanya
pada zona tengah. Zona tengah ini
merupakan daerah transisi dimana faktor
lingkungan lebih beragam sehingga semua
komunitas yang
terdiri dari lamun,
komunitas karang dan rumput laut masih
ditemukan meskipun tidak menonjol.
Komunitas laut adalah komunitas yang
cenderung lebih banyak ditemukan di
zona tengah dan bawah (ke arah laut).
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Yulianda et al.
arah laut kepadatannya berkurang. Moluska lebih menyukai daerah yang agak
datar dan terbuka yang merupakan
karakteristik zona atas. Selain itu populasi
moluska memiliki pola hidup yang mengelompok yang ditunjukkan dengan
ditemukan moluska dengan jumlah yang
tinggi pada habitat yang sesuai. Hal ini
juga menyebabkan simpangan baku kepadatan moluska paling tinggi dibandingkan dengan kelompok biota
lainnya. Moluska memiliki asosiasi yang
lebih kuat dengan sistem ekologi zona atas
yang dibentuk oleh lamun dan pantai
berbatu dibandingkan dengan sistem
komunitas karang atau rumput laut
lainnya.
Komunitas ekhinodermata yang
didominasi oleh bintang laut mengular
(brittle star) dan bulu babi (sea urchin)
memiliki sebaran yang terbalik dengan
moluska, yaitu lebih banyak ditemukan di
zona bawah. Kelompok biota ekhinodermata lebih menyukai daerah yang
terlindung dan tertututup oleh kerangka
karang. Sementara komunitas karang
tumbuh lebih baik di zona ke arah laut
(zona tengah dan bawah). Selain itu bulu
babi yang memiliki kebiasaan makan
grazer memiliki ketergantungan yang
tinggi dengan keberadaan alga. Alga
(rumput laut) hidup lebih berlimpah di
zona bawah. Meskipun bulu babi juga
memakan lamun, namun bulu babi lebih
banyak di habitat karang dan rumput laut.
Hal ini memperlihatkan asosiasi ekhinodermata lebih kuat dengan rumput laut
dan karang dibandingkan dengan lamun.
IV. KESIMPULAN
Komunitas dan biota intertidal di
pesisir Batu Hijau secara umum tidak
berbeda pada bulan September 2011 dan
April 2012. Zona intertidal pesisir Batu
Hijau terdiri dari (1) zona atas yang terdiri
dari komunitas lamun dan biota asosiasi
moluska, (2) zona bawah yang terdiri dari
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
415
416
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 417-427, Desember 2013
I. PENDAHULUAN
Teluk Bungus memiliki panjang
garis pantai 21.050 meter dan luas
permukaan 1.383,86 ha mempunyai
bentuk permukaan yang cenderung
membulat (Kusumah, 2008). Teluk ini
termasuk dalam Kecamatan Bungus Teluk
Kabung dan merupakan salah satu
417
418
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
419
420
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Gambar 3. Hasil digitasi garis pantai dari citra SPOT tahun 2011.
Gambar 4. Hasil digitasi garis pantai dari citra ALOS tahun 2010.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
421
Gambar 5. Hasil digitasi garis pantai dari citra IKONOS tahun 2006.
Gambar 6. Hasil digitasi garis pantai dari citra LANDSAT tahun 2000.
422
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Gambar 8. Peta hasil analisis perubahan garis pantai dengan perbandingan jarak pantai
hasil digitasi citra satelit dengan garis pantai RBI di Teluk Bungus
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
423
Tabel 1. Analisis perbandingan jarak pantai hasil digitasi citra satelit dengan garis
pantai RBI.
Perbedaan dengan garis pantai RBI
(tahun 2008)
Lokasi
Titik
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Keterangan: jarak
ukuran 30 m
SPOT
2011
-14
13
-2
16
-36
10
-40
32
-10
dalam meter, (-) ke
ALOS
IKONOS
LANDSAT
2010
2006
2000
-7
2
70
4
11
345
-1
18
118
11
31
55
-28
-6
228
7
11
442
-31
-40
-2
57
14
31
16
-17
-16
arah darat, (+) ke arah laut, tingkat ketelitian
Tabel 2. Analisis perhitungan laju perubahan garis pantai pertahun di Teluk Bungus.
Lokasi
SPOT
(2011)
ALOS
(2010)
A
B
C
D
E
F
G
H
I
-14
13
-2
16
-36
10
-40
32
-10
-7
4
-1
11
-28
7
-31
57
16
424
Perubahan Garis
Keterangan
Pantai (m/thn)
-7
9
-1
5
-8
3
-9
-25
-26
Abrasi
Akresi
Abrasi
Akresi
Abrasi
Akresi
Abrasi
Abrasi
Abrasi
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Gambar 9. Grafik perbandingan jarak pantai hasil digitasi citra satelit dengan garis
pantai RBI.
Gambar 10. Mangrove yang tumbuh di sekitar Teluk Bungus (Yulius et al., 2009)
Dari perubahan garis pantai
tersebut, dapat disimpulkan bahwa titik B,
D, dan F terjadi akresi dengan nilai 9, 5
dan 3 m/thn (Tabel 1, 2 dan Gambar 9).
Akresi atau sedimentasi di perairan Teluk
Bungus disebabkan oleh limpasan
sedimen dari daratan. Hal ini ditunjukan
dengan banyaknya terumbu karang yang
ditutupi oleh sedimen dan juga munculnya
tumbuhan mangrove Rhizophora sebagai
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
425
Gambar 11. Pantai bertebing Teluk Bungus yang rentan terkena abrasi.
Pada titik A, C, E, G, H dan I
terjadi abrasi dengan nilai tertinggi 26
m/thn di titik I dan terendah 1 m/thn di
titik C (Tabel 2, 3 dan Gambar 9). Abrasi
yang terjadi pada daerah kajian Teluk
Bungus
disebabkan
oleh
karena
gelombang pada dinding batuan penyusun
pantai sehingga membentuk daratan pantai
yang curam dan sempit sepanjang pantai
(Gambar 11), yang mengakibatkan
bentukan tanjung di daerah yang
berhadapan dengan lautan lepas berupa
tanjung yang vertikal atau tegak lurus dan
kasar (Yulius et al., 2009).
IV. KESIMPULAN
426
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
427
428
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 429-440, Desember 2013
ABSTRACT
Variability and spatial distribution data of the total scattering coefficients ares useful in the
development of bio-optical algorithms of ocean color satellite. The purpose of this study was to
determine the variability and spatial distribution of the total scattering coefficient at 9
wavelengths () in different seasons. Field data collection were conducted in the Northeastern
Gulf of Mexico (NEGOM) of the spring , summer, and fall in 1999-2000 by using the ac-9 insitu Spectrophotometer and restricted to coastal waters of 10 m isobath and offshore of 1000 m
isobath. The data were filtered using the moving average method and tested with the KruskalWallis. The results showed that the average value of the total scattering coefficients were
significantly different among spring, summer, and fall. In general, the total scattering
coefficients were relatively high, especially in the coastal waters near the mouth of the river
each season and relatively low in offshore waters except during the summer that the total
scattering coefficients were also relatively high in offshore watersdue to the intrusion of the
Mississippi river flow toward offshore containing high nutrients that can promote the growth of
phytoplankton in the offshore, suspended material and lower salinity jointly to increase the total
scattering coefficients.
Keywords: variability, spatial distribution, total scattering coefficient, bio-optic, NEGOM.
ABSTRACT
Nilai variabilitas dan distribusi spasial koefisien total hamburan bermanfaat dalam
pengembangan algoritma bio-optik satelit ocean color. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan variabilitas dan distribusi spasial koefisien total hamburan pada 9 panjang
gelombang () dalam berbagai musim. Pengumpulan data lapangan dilakukan di perairan
Northeastern Gulf of Mexico (NEGOM) pada musim semi, panas, dan gugur tahun 1999-2000
dengan menggunakan ac-9 in-situ Spectrophotometer yang dibatasi pada perairan pesisir dengan
isobaths 10 m dan laut lepas dengan isobaths 1000 m. Data difilter menggunakan metode
moving average dan diuji menggunakan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai rata-rata koefisien total hamburan secara signifikan berbeda antar musim semi, panas, dan
gugur. Secara umum, koefisien total hamburan relatif tinggi ditemui di perairan pesisir
khususnya dekat muara sungai setiap musim dan relatif rendah di perairan offshore kecuali pada
musim panas koefisien total hamburan yang relatif tinggi juga ditemui pada perairan offshore.
Koefisien total hamburan yang relatif tinggi pada musim panas di perairan offshore disebabkan
oleh adanya intrusi aliran sungai Mississippi ke arah offshore yang mengandung banyak nutrient
yang dapat meningkatkan pertumbuhan fitoplankton di perairan offshore dan materi tersuspensi
serta menurunkan salinitas yang secara bersama-sama meningkatkan koefisien total hamburan.
Kata kunci: variabilitas, distribusi spasial, koefisien total hamburan, bio-optik, NEGOM.
429
I. PENDAHULUAN
Sifat optik perairan dipengaruhi
oleh intensitas dan sudut datang cahaya
serta materi yang terkandung di dalam
kolom perairan. Intensitas cahaya setelah
mengenai perairan akan mengalami proses
absorpsi dan hamburan yang mengakibatkan jumlah intensitas cahaya mengalami penurunan secara exponensial
dengan kedalaman kolom perairan
tersebut. Sifat optik perairan ini dibagi
dalam dua kategori yaitu apparent optical
properties (AOP) yaitu sifat optik yang
dipengaruhi oleh intensitas dan sudut
ruang cahaya datang serta kandungan
materi dalam air dan inherent optical
properties (IOP) yaitu sifat optik yang
hanya dipengaruhi oleh kandungan materi
dalam kolom air seperti fitoplankton,
padatan tersuspensi, bahan organik,
(Mobley, 1994; Kirk, 1994).
Absorpsi merupakan proses penyerapan energi oleh kolom air dan materi
yang terkandung di dalamnya sedangkan
hamburan adalah proses penghamburan
energi oleh kolom air maupun materi yang
terkandung dalam kolom air tersebut.
Hamburan disini dapat berupa hamburan
balik (backward scattering) maupun
hamburan maju (forward scattering).
Total hamburan merupakan gabungan dari
hamburan balik dan hamburan maju.
Peristiwa hilangnya energi (cahaya)
melalaui proses absorpsi dan hamburan
disebut proses atenuasi. Secara umum,
atenuasi (c) adalah hasil penjumlahan
absorpsi (a) dengan hamburan (b) (Boss et
al., 2001; Miller et al., 2003, Kirk, 1994;
Mobley, 1994).
Spektrum cahaya merah lebih
cepat diserap oleh kolom perairan
dibandingkan dengan spektrum cahaya
biru dan hijau karena gelombang ini
mempunyai frekuensi yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan spektrum biru dan
hijau yang mempunyai frekuensi yang
lebih besar (Mobley, 1994). Materi
430
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Untung et al.
Tanggal mulai
15 Mei 1999
15 Agustus 1999
13 November 1999
15 April 2000
28 Juli 2000
Tanggal selesai
28 Mei 1999
28 Agustus 1999
23 November 1999
26 April 2000
8 Agustus 2000
CruiseID
Sp-99
Su-99
Fa-99
Sp-00
Su-00
Musim
Semi
Panas
Gugur
Semi
Panas
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
431
432
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Untung et al.
440
488
Semi_99
0,43(0,42)
412
0,48(0,42)
0,50(0,43)
0,52(0,48)
510
0,50(0,47)
532
0,48(0,45)
555
0,47(0,41)
650
0,45(0,.35)
676
0,35(0,31)
Panas_99
0,58(0.44)
0,65(0.42)
0,69(0,41)
0,73(0,41)
0,69(0,40)
0,68(0,39)
0,65(0,36)
0,63(0.,35)
0,50(0,31)
Gugur_99
0,18(0,13)
0,29(0,28)
0,36(0,24)
0,43(0,23)
0,39(0,23)
0,37(0,30)
0,37(0,23)
0,36(0,31)
0,28(0,10)
Semi_00
0,35(0,10)
0,34(0,10)
0,32(0,04)
0,32(0,02)
0,31(0,21)
0,31(0,30)
0,28(0,25)
0,27(0,23)
0,24(0,20)
Panas_00
0,42(0,36)
0,39(0,32)
0,44(0,38)
0,44(0,26)
0,34(0,32)
0,33(0,32)
0,29(0,26)
0,27(0,24)
0,27(0,22)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
715
433
Gambar 2. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim semi 1999 di wilayah perairan NEGOM.
Gambar 3. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim semi 2000 di wilayah perairan NEGOM.
434
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Untung et al.
Gambar 4. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim panas 1999 di wilayah perairan NEGOM.
Gambar 5. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim panas 2000 di wilayah perairan NEGOM.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
435
Gambar 6. Distribusi koefisien total hamburan (scattering) pada gelombang biru, hijau,
dan merah saat musim gugur 1999 di wilayah perairan NEGOM.
436
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Untung et al.
Gambar 8. Variabilitas koefisien total hamburan antar musim tiap wilayah pengamatan.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
437
IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
438
Guo,
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Untung et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
439
440
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 441-452, Desember 2013
ABSTRACT
High resolution of marine seismic reflection seismic were used to detect the layers of
seafloor sediment and to interpret the seismic data geologically. The objectives of this
study weres to detect and to characterize the seafloor sediment in the Rambat area,
West Bangka, Bangka Belitung. Acquisition data was held on 10-24 August 2012
located between 105.100'00" - 105.500'00 " N and 1.700'00"-1.9 00'00" W. Several
methods used to process the data were geometry processing, band pass filter, predictive
deconvolution, and Autocoralation Gain Control (AGC) in order to reduce the
multiple noise and to ease the data interpretation. Seismic cross section found in Cross
Rambat (CRMBT) line 11 exhibited sedimentation process of the sea floor which rocky
substrates. The process was assumed to be occurred due to legal and illegal mining
activities for long period of time.
Keywords: seismic, acoustic, sediment, band pass filter, deconvolution, noise
ABSTRAK
Seismik refleksi dasar yang beresolusi tinggi digunakan untuk mendeteksi lapisanlapisan sedimen dasar laut dan memudahkan dalam menginterpretasi data seismik
secara geologi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi
sedimen dasar laut di daerah Rambat, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung.
Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 - 24 Agustus 2012 pada koordinat
105.10000 105.50000 LU dan 1.700001.90000 BB. Pemrosesan data
menggunakan beberapa metode seperti Geometry processing, Band pass filter,
Predictive deconvolution, dan Autocoralation Gain Control (AGC) untuk mengurangi
noise dan multiple untuk memudahkan interpretasi data. Penampang seismik yang
terdapat pada Cross Rambat (CRMBT) line 11 menunjukan adanya proses sedimentasi
yang menutupi dasar laut yang bersubstrat batuan, proses sedimentasi ini telah lama
terjadi yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan secara legal maupun illegal.
Kata kunci: seismik, akustik, sedimen, band pass filter, deconvolution, noise
441
I. PENDAHULUAN
Untuk mengetahui sumber daya
mineral dan energi dibutuhkan suatu ilmu
dan teknologi atau instrumen yang dapat
mengekplorasi sumber daya mineral dan
energi yang ada di dasar laut, yaitu
metode
seismik.
Metode
seismik
merupakan salah satu metode eksplorasi
yang didasarkan pada pengukuran respon
gelombang suara yang menjalar pada
suatu
medium
dan
kemudian
didirefleksikan
dan
direfraksikan
sepanjang perbedaan lapisan sedimen atau
batas-batas batuan. Metode seismik
refleksi dibagi menjadi dua yaitu metode
seismik dangkal dan metode seismik
dalam. Seismik dangkal (shallow seismik
reflection) biasanya diaplikasikan untuk
eksplorasi batubara dan bahan tambang
lainnya. Sedangkan seismik dalam
digunakan untuk eksplorasi daerah
prospek hidrokarbon (minyak dan gas
bumi). Kedua kelompok ini menuntut
resolusi dan akurasi yang berbeda dan
teknik lapangan yang berbeda (Hasanudin,
2005).
Kebutuhan data geofisika kelautan
memperlihatkan kecenderungan yang
meningkat akibat semakin maraknya
kegiatan eksplorasi sumber daya mineral
dan energi di laut. Salah satu metode yang
cukup handal untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah metode seismik refleksi.
Metode ini memiliki keakuratan yang
tinggi untuk mengetahui karakteristik
dasar laut, seperti ketebalan dan volume
endapan sedimen permukaan laut, struktur
dasar laut, dan kedalaman suatu perairan
(Susilawati, 2004). Kemampuan dasar dari
metode ini menyajikan informasi resolusi
tinggi dengan pengoperasian yang relatif
sederhana, sehingga metode ini sering
digunakan pada penelitian geologi
kelautan.
Aktivitas penambangan timah di
Indonesia telah berlangsung lebih dari 200
tahun, dengan jumlah cadangan yang
cukup besar terutama di daerah Bangka
442
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ramdhani et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
443
MARINE RADIO
POWER
SUPPLY
BOAT GROUND
GARMIN
ECHOSOUNDER
C-NAV ANTENA
12 meter
ECHOSOUNDER
C-NAV
ANTENA
GROUND
AC SOURCE
BOAT OFFSET
TO SPARKER
AC
DATA FLOW
LEGEND
0.95 meter
GENSET
10.000 kVA
GENSET
1000 kVA
BOAT
TERMINAL
AC
KEMUDI
KAPAL
Garmin 420s
GPS
DATA LOGGER
LAPTOP
C-NAV
RECEIVER UNIT
TO SPARKER
THERMAL
PRINTER
BAND PASS
FILTER
CAPACITOR
BANK
FROM HIDROPHONE
444
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ramdhani et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
445
446
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ramdhani et al.
RAW
Data
Processing
Data
Filtering
Deconvolusi
Akuisis data
Geometri
AGC
Interpretasi Data
Geologi
Akustik
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
447
a)
b)
448
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ramdhani et al.
(a)
(b)
(c)
(d)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
449
450
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Ramdhani et al.
laut bersubstrat batuan dimana proses sedimentasi ini telah lama terjadi yang
diakibatkan oleh faktor alam dan kegiatan
penambangan secara legal maupun illegal
didearah tersebut. Dalam pengolahan data
seismic single channel metode band pass
filter merupakan jenis filter yang sesuai
untuk processing data karena band pass
filter dapat menapis noise. Sedangkan
predictive deconvolution untuk meminimalisir multiple permukaan sehingga
dapat mempermudah dalam interpretasi
data seismic single channel.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 2008. Ensiklopedia seismik.
http://www. Ensiklopediaseismicblogspot.com.htm.
Diunduh
tanggal 28 September 2010.
Duchesne, M.J., B. Gilles, M. Galbraith,
R. Kolesar, and R. Kuzmiski.
2007. Strategies for waveform
processing in sparker data.
Springer Science+Business Media
B.V. Publication approved by GSC
Qubec; Geological Survey of
Canada.13p.
Essenreiter, R., M. Karrenbach, and S.
Treitel. 1998. Multiple reflection
attenuation in seismic data using
backpropagation. IEEE Transactions on Signal Processing, 46:
2001-2011.
Hasanudin, M. 2005. Teknologi seismik
refleksi untuk eksplorasi minyak
dan gas. Bidang Dinamika Laut,
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,
Jakarta. Oceana, 30:1-11.
Huuse, M. and D.A. Feary. 2005. Seismic
inversion for acoustic impedance
and porosity of cenozoic coolwater carbonates on the upper
continental slope of the Great
Australian Bight. Marine Geology,
215: 123134.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
451
452
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 453-463, Desember 2013
453
I. PENDAHULUAN
Ekosistem
terumbu
karang
merupakan salah satu ekosistem di
wilayah
pesisir
yang
memiliki
keanekaragaman hayati laut sangat tinggi.
Ekosistem ini dapat memberikan produk
dan jasa lingkungan bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya, salah satunya adalah
ikan karang. Hingga kini, pengelolaan
sumberdaya ikan karang masih sulit
dilakukan karena sediaan cadang atau
stoknya belum diketahui secara pasti,
karena belum tersedianya metoda baku,
seperti halnya pada ikan pelagis dan
demersal. Stok ikan sangat dipengaruhi
oleh
aktifitas
manusia,
sehingga
keberhasilan usaha perikanan sangat
tergantung pada stok ikan itu sendiri
(Gulland, 1983). Usaha-usaha untuk
mendapatkan dan memperbaharui data
potensi/stok ikan, termasuk ikan karang
masih jarang dilakukan. Oleh sebab itu,
pendugaan stok ikan karang secara efektif
dan efisien perlu dilakukan untuk
kepentingan pengelolaan berkelanjutan.
Habitat dasar perairan dangkal
merupakan faktor utama keberadaan ikan
di terumbu. Kelimpahan, keanekaragaman
dan sebaran ikan sangat tergantung
kompleksitas habitat dasarnya (Nybakken,
1982; Sale, 1991). Informasi tentang
habitat dasar perairan pada umumnya
diperoleh melalui pengamatan langsung
(survei lapang) dan juga dengan teknologi
penginderaan jauh berupa citra satelit
(Green et al., 2000; Nadaoka et al., 2004).
Pemetaan habitat dasar perairan dengan
citra satelit menggunakan berbagai sensor
satelit telah banyak dilakukan (Hochberg
and Atkinson, 2000; Green et al., 2000;
Andrews, 2003; Isoun et al., 2003;
Mumby et al., 2002; Nurlidiasari, 2004;
Siregar et al., 2006; Chris et al., 2012.
Kemampuan berbagai sensor penginderaan jauh tersebut untuk pengkajian
ekosistem terumbu karang dan perairan
dangkal juga telah banyak dibahas oleh
454
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Siregar et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
455
456
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Siregar et al.
No
Karang
hidup
1
Karang
mati
2
Lapangan
Karang
1 hidup
21
2 Karang mati
3
3 Lamun
4 Pasir
0
5 Pasir+karang
0
6 Pasir+lamun
1
Total Kolom
25
Total sampel diagonal
Total sampel keseluruhan
Total akurasi
Lamun
3
Pasir
6
0
0
2
0
15
2
1
17
0
0
25
1
0
2
1
0
0
25
19
28
= 125
= 160
= 125/160*100%= 78%
2
2
1
1
32
6
44
0
0
2
0
2
15
19
29
22
23
26
37
23
160
user accuracy
Lapangan
akurasi
Citra Akurasi
21/25 =
0.84
21/29= 0.72
15/25=
0.60
15/22= 0.68
17/19=
0.89
17/23= 0.74
25/28 =
0.89
25/26= 0.96
32/44 =
0.73
32/37= 0.86
15/19 =
0.79
15/23= 0.65
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
457
Karang Hidup
(Acropora dan Non-Acropora) (%)
58
18
49
32
39,25
458
Karang Mati
(%)
42
82
51
36
52,75
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Siregar et al.
(a)
(b)
Gambar 2. Persen penutupan terumbu karang pada kedalaman 3 m (a) dan 10 m
(b).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
459
Sektor
Barat
Utara
Timur
Selatan
Karang
Hidup
Karang
Mati
Campuran
Pasir
Lamun
Mayor
32,59
19,06
3,30
4,13
4,10
Indikator
0,67
1,13
0,00
0,08
0,00
Target
59,79
9,19
0,30
1,54
1,10
460
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Siregar et al.
Kelas Habitat
Karang Hidup
Ikan indikator
Total
Ikan target
38.455
Karang Mati
36.494.487
2.163.629
Campuran
13.344.540
Pasir
9.603.258
186.020
Lamun
1.400.462
3.580.876 13.370.154
375.733 1.776.195
62.713.283
2.388.104
26.197.696 91.299.083
Total
IV. KESIMPULAN
Di rataan terumbu (reef flat)
terdapat tiga substrat dasar dominan yaitu
pasir, pasir campuran karang, dan pasir
campuran lamun. Karang hidup lebih
banyak ditemukan dibagian utara,
sementara di bagian selatan pulau , karang
hidup hanya ditemukan di sekitar tubir,
sedangkan sebaran lamun ditemukan di
wilayah dekat lagon dan berada pada
rataan terumbu karang dekat pulau.
Akurasi
(overall
accuracy)
dari
kelasifikasi
(pemetaan) habitat dasar
perairan di perairan dangkal P.Pari
mencapai 78%.
Luasan tutupan karang hidup
berkisar antara 32% - 58%, sehingga
dapat disimpulkan bahwa terumbu karang
Pulau Pari berada dalam kondisi sedang.
Karang hidup merupakan kelas habitat
yang memiliki kepadatan ikan tertinggi
dengan kelompok ikan target sebagai ikan
yang mendominasi di karang tersebut
diikuti Ikan mayor. Ikan indikator hanya
sedikit ditemukan diseluruh tipe habitat.
Di terumbu karang P. Pari diduga
terdapat ikan sebanyak 91.299.083
individu dengan ikan mayor utama
merupakan ikan dengan stok tertinggi
diikuti dengan ikan target dan ikan
indikator. Habitat karang mati merupakan
3.431.707
5.340.698
1.870.536
17.596.240 56.254.356
1.213.140 14.557.680
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
461
462
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Siregar et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
463
464
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 465-477, Desember 2013
ABSTRACT
Studies on the diversity and density of macroalga have been carried out in Ambalau island
waters, south Buru district since 2010. The purposes of this study were to determine the
diversity, density, frequency, and the dominance of macroalga in the coastal waters of the
Ambalau island. Data collection with squares transect line method were conducted in OctoberNovember 2009. The results showed that the coastal areas of Masawoy showed the highest
values in diversity, density, frequency, and the dominance of macroalga in the study area with
33 species from 20 genera consisting of 14 species of green alga, 10 species of red alga, and 9
species of brown alga. Caulerpa, Halimeda, Gracilaria, Acanthophora, Sargassum, and Padina
were the most dominance in the region. The highest diversity, density, frequency, and
dominance of macroalga on the Masawoy coastal waters were due to its habitat conditions in
relatively good condition consisting of dead coral rubble, sand, coral live with seagrass
vegetation dominated by Thalasia hemprizii and Enhalus acuroides. Meanwhile, habitat
conditions at other locations have suffered a severe damage and dominated by dead coral.
Environmental conditions in the study region were within the limits of decent support for the
growth of macro alga.
Keywords: macroalga, biodiversity, density, frequency, dominance, Ambalau
ABSTRAK
Studi tentang keragaman dan kepadatan makro alga telah dilaksanakan di perairan
perairan pesisir pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan semenjak tahun 2010. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keragaman, kepadatan, frekuensi kehadiran, dan nilai dominasi
makro alga di perairan pesisir pulau Ambalau. Pengumpulan data dengan metode transek
kuadrat dan koleksi dilakukan pada bulan Oktober-November 2009. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daerah pantai Masawoy memiliki keragaman jenis, kepadatan, Frekuensi
kehadiran, dan nilai dominasi makro alga tertinggi dengan 33 jenis dari 20 marga yang terdiri
dari 14 jenis makro alga hijau, 10 jenis makro alga merah, dan 9 jenis makro alga coklat. Marga
makro alga yang dominan adalah Caulerpa, Halimeda, Gracilaria, Acanthophora, Sargassum
dan Padina. Tingginya keragaman, kepadatan, frekuensi, dan dominansi makro alga di pantai
Masawoy disebabkan oleh kondisi habitat di perairan ini masih dalam kondisi yang relatif lebih
baik yang terdiri dari pecahan karang mati, pasir, karang hidup dengan vegetasi tumbuhan
lamun yang didominasi oleh jenis Thalasia hemprizii dan Enhalus acuroides. Sedangkan
kondisi habitat pada lokasi lainnya telah mengalami kerusakan yang cukup parah yang
didominasi oleh bongkahan dan pecahan karang mati. Kondisi lingkungan dalam lokasi
penelitian masih berada dalam batas yang layak mendukung pertumbuhan makro alga.
Kata kunci: makro alga, keragaman, kepadatan, frekuensi, dominansi, Ambalau
465
I. PENDAHULUAN
Perairan Pulau Ambalau adalah
merupakan suatu perairan yang berada di
wilayah Kabupaten Buru Selatan, Propinsi
Maluku. Di Perairan ini telah ditemukan
berbagai jenis biota laut satu diantaranya
adalah rumput laut. Rumput laut atau
ganggang adalah salah satu tumbuhan laut
yang hidup di Perairan pantai yang
dangkal dengan subtract dasar berupa
pasir, pasir bercampur Lumpur, karang
mati maupun pecahan karang mati.
Umumnya jenis-jenis rumput laut yang
dijumpai terdiri dari kelompok rumput
laut
merah
(Rhodophyta),
hijau
(Chlorophyta) dan cokelat (Phaeophyta).
Kehadiaran berbagai jenis rumput laut dan
dijumpai pada paparan terumbu karang
dengan kedalaman perairan yang dangkal
berkisar antara 15 meter. Penelitian
tentang potensi sumberdaya rumput laut di
Indonesia merupakan salah satu program
Pusat
Penelitian
OseanografiLIPI
sebagai bagian dari inventarisasi Biota
Laut.
Kehadiran komunitas makro alga
disuatu perairan memiliki peran yang
cukup besar terhadap kehidupan biota laut
sebagai tempat berlindung dan sebagai
tempat mencari makan (Magruder, 1979;
Kadi, 2004). Selain itu komunitas makro
alga juga dapat berperan sebagai habitat
bagi organisme laut lainnya, baik yang
berukuran besar maupun kecil seperti
Ampiphoda, kepiting dan biota laut
lainnya.Perbedaan kondisi habitat maupun
faktor musim dapat menentukan keragaman dan kepadatan makro alga. Hal ini
terbukti dengan perolehan jenis maupun
kepadatannya pada setiap stsion penelitian
Pemanfaatan makro alga dewasa
ini telah dikembangkan secara luas dalam
berbagai bidang industri yakni sebagai
bahan baku makanan, minuman, obatobatan, farmasi, kosmetik dan sebagai
bahan tambahan (additive) pada proses
industri plastic, baja, film, tekstil serta
466
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
467
468
) ..................................(4)
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
469
470
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Gambar 4. Keragaman jenis makro alga yang di peroleh setiap stasion penelitian.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
471
472
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
473
Gambar 7. Nilai dominasi makro alga yang diperoleh pada setiap stasion penelitian.
Tabel 1. Parameter kualitas air yang tercatat pada setiap stasion penelitian di perairan
pantai Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan tahun 2009.
Parameter
Lokasi penelitian
Masawoy
Wailua
Ulima
Salinitas
27,5-28,6
pH air
7,0-8,2
Suhu (C)
27,0-28,0
Oksigen Terlarut (ml/l) 3,0-3,5
P-PO4 (ppm)
2,4-3,5
N-NO3 (ppm)
2,4-2,7
Kecerahan air (m)
10,5-12,5
28,0-29,0
7,0-8,5
27,0-28,4
3,0-3,7
2,3-3,4
2,5-3,7
12,5-13,0
474
26,0-28,5
7,0-7,2
26,5-27,0
3,2-4,0
2,4-3,5
2,5-3,6
10,4-11,5
Kampung
Baru
27,0-28,0
6,5-7,0
26,3-27,5
3,0-3,5
2,3-2,6
2,3-3,5
11,0-12,5
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
475
476
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Desember 2013
477
478
Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris yang
diketik secara miring (italic).
Nama penulis, nama dan kota lokasi instansi, dan e-mail corresponding author.
Abstract dalam Bahasa Inggris (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode,
dan hasil penelitian serta tidak lebih dari 225 kata. Semua ditulis dalam Bahasa
Inggris dengan cetak miring)
Keywords maximum 8 words (English). Kata Keywords: ditulis cetak tebal (bold)
Abstrak dalam bahasa Indonesia (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode, dan
hasil penelitian serta tidak lebih dari 225 kata).
Kata kunci maksimal 8 kata (Bahasa Indonesia). Kata kunci: ditulis dengan cetak
tebal (bold)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang, masalah, rumusan
masalah, rangkuman kajian teoretik, ulasan ilmiah terkait judul berdasarkan rujukan
(pustaka) terkini, dan tujuan penelitian). Dalam pendahuluan ini juga disajikan
pertanyaan ilmiah (scientific question) yang akan dijawab dalam penelitian tersebut.
Metode penelitian (ditulis dengan jelas waktu, lokasi, bahan (data), dan analisis data
penelitian sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi percobaan yang
479
3. Teknik Penulisan
3.1. Judul
Judul ditulis dengan huruf kapital, dicetak tebal, di tengah (center), font Times
New Roman 12, hitam. Di bawah judul naskah dalam bahasa Indonesia, diberikan
terjemahan judul dalam bahasa Inggris dengan huruf miring (italic).
Contoh:
INTERAKSI PADA HUMIN UNTUK ADSORPSI Mg (II) DAN Cd (II)
DALAM MEDIUM AIR LAUT
480
Contoh 2:
481
--------------------------------------------------------------I. PENDAHULUAN
II.
2.1.
2.2.
2.3.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Data
Analisis Data
482
3.10. Gambar
Gambar dapat berupa diagram, grafik, peta, foto (yang mengemukakan data) dan
lain-lain. Judul gambar diletakkan di bawah gambar, ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan rata kiri (left), font Times New Roman 12. Jarak dari judul
gambar terhadap gambar itu sendiri sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk gambar
tersebut maka jaraknya dari table dalah 1 spasi. Gambar diberi nomor diikuti titik,
kemudian judul gambar (misal Gambar 1. Judul..., Gambar 2. Judul ...). Bila judul lebih
dari dua baris menggunakan spasi 1.
Contoh penulisan sebagai berikut:
[Tampilkan gambar disini tanpa garis kotak]
Gambar 1. Dermaga tetap pada daerah penelitian.
3.11. Rujukan dan Daftar Pustaka
Teknik penulisan rujukan dalam teks dan daftar pustaka, menggunakan gaya
yang umum dipakai dalam pedoman penulisan ilmiah khususnya dalam International
Journal. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam teks saja.
Sebaliknya, referensi yang dirujuk dalam teks harus dicantumkan dalam daftar pustaka.
Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis, menggunakan font Times New Roman 12,
hitam. Bilamana referensinya lebih dari satu maka diurutkan berdasarkan tahun terbit
yang paling baru. Cara menuliskan sumber pustaka (rujukan) adalah sebagai berikut.
Menulis Rujukan dalam Teks
Untuk penulisan rujukan, tulis nama keluarga dari pengarang diikuti koma atau titik
dan tahun terbit artikel/paper/laporan/prosiding/dll. Untuk pengarang lebih dari 2
orang dituliskan dengan menggunakan et al. (ditulis miring).
Penulisan dan atau and sebelum nama terakhir ditulis sesuai dengan judul tulisan
tersebut yaitu dan untuk Indonesia dan and untuk Inggris.
Contoh:
Anastasi (1997) menyatakan ..... atau .....(Anastasi, 1997).
Kiswara dan Winardi (1994) menyimpulkan ..... atau ..... (Kiswara dan Winardi,
1994).
Berk and Romly (1984) meneliti .... atau ...... (Berk and Romly, 1984).
Ali et al. (2008) menjelaskan....atau...... (Ali et al., 2008).
Menulis Daftar Pustaka
Tulis nama keluarga diikuti koma, satu spasi jarak, singkatan nama pertama atau
kedua (bila ada) diikuti titik, dua spasi jarak, tahun terbit diikuti dengan titik, dua
spasi jarak, Judul artikel/paper, nama jurnal (ditulis dengan miring) diikuti titik,
volume(edisi), titik dua, nomor halaman paper/artikel dalam jurnal.
Bila lebih dari satu baris, maka baris selanjutnya masuk dengan 9 ketukan (1,25 cm
hanging left).
Contoh:
Kiswara, W. dan L. Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk
483
Contoh:
Gagne, R.M., L.J. Briggs, and W.W. Wage. 1988. Prinsip-prinsip desain instruksional,
(3rd Ed.). Soeparman, K. (penterjemah). Holt, Rineahart, and Winston press.
Chicago. 236p.
Artikel dari Internet
Artikel yang diambil dari internet (website) maka cara menulisakannya sebagai
berikut: nama pengarang artikel, tahun terbitan, judul artikel, nama majalah/
artikel/jurnal/yang lain, alamat website, tanggal akses.
484
Contoh:
Lynch, T. 1996. DS9 trials and tribble actions review. From Psi Phi:Bradleys Science
Fiction Club, http://www.bradley.edu/compusorg/psiphi/DS9/ep/SO3r.htm.
[Retrieved on 23 March 2007].
Artikel pada surat kabar
Surat kabar atau artikel dalam surat kabar, pada umumnya dicantumkan dalam
daftar pustaka dengan menulis nama penulis, tahun terbit, judul artikel, nama
surat kabar dan tanggal terbit.
Contoh:
Nababan, B. 2009. Laut bukan lagi penyerap carbon. Antara, 12 Mei 2009.
Artikel yang tidak dipublikasikan
Skripsi, tesis, dan disertasi dapat digolongkan ke dalam materi yang tidak
dipublikasikan.
Contoh:
Nababan, B. 2005. Bio-optical variability of surface waters in the Northeastern Gulf of
Mexico. Dissertation. College of Marine Science. University of South Florida.
158p.
Buku/Laporan Hasil Penelitian Tanpa Pengarang
Buku atau laporan hasil penelitian yang merupakan hasil penelitian dari institusi
atau lembaga ditulis dengan menyebutkan nama institusi atau lembaga yang
menerbitkan buku atau laporan hasil penelitian tersebut, diikuti tahun penerbitan, judul
buku, penerbit (institusi penerbit), dan diikuti jumlah halaman.
Contoh:
Kementerian Pendidikan Nasional. 1985. Kurikulum sekolah menegah pertama (SMP).
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 219hlm.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). 2008.
Prospek perikanan Indonesia. P2O-LIPI, Jakarta. 234hlm.
485
486
Indeks
Abrasi, 417, 423, 426, 427
Acanthophora, 465, 469, 470, 471, 473,
476
Acanthuridae, 380, 383
Acropora, 276, 279, 282, 285
Acropora millepora, 279
Acropora nobilis, 279
Acropora sp1, 279
Acropora sp2, 279
Acropora sp3, 279
Akresi, 417, 425
Akustik, 441, 442, 443, 444, 445, 451
Alga, 287, 288, 290, 291, 292, 294, 295
Alit, 401, 402, 407
Ambarsari, 343
Amphiprion Percula, 355, 356, 360, 363
Anggoro, 453
Angin, 261, 263, 265, 266, 267, 268, 270
Anjusary, 311
Antioxidant, 287, 288, 290, 296, 297
Apogonidae, 381
Arfah, 465
Arlindo, 243, 244, 251
Arus, 244, 248, 249, 253, 258, 259, 261, 262,
263, 265, 266, 267
Arus Geostropik, 261, 263, 265, 266, 267,
268, 269, 270
Asam Amino, 299, 302, 306, 307, 308
Asih, 333, 334,340, 341
Aulostomidae, 381
AVISO, 261, 263, 264, 270
Balistidae, 380, 381
Bangka Belitung, 441, 442, 451
Basit, 365
Benih, 401, 402, 403, 404, 405, 406,407
Bio-optik, 429, 430
Biomassa, 377, 378, 379, 385, 387
Biota, 273, 274, 276, 409, 410, 411, 412, 413,
414, 415, 416
Bleniidae, 381
Brown Alga, 287, 288, 291, 292, 294
Budidaya, 391, 392, 398, 399
Buru Selatan, 465, 466, 467, 474
Caesionidae, 381
Carangidae, 381
Cathfish roe, 300
Caulastrea curfata, 280
Caulerpa, 465, 470, 471, 472, 473, 476
Coral Triangle, 262
Chaetodontidae, 380, 381
487
488
490
491