Kisah lain tentang Bani Tamim dan dimuat dalam Alquran, yaitu kedatangan
delegasi bani tersebut ke Madinah menemui Nabi Muhammad. Delegasi Bani Tamim
terdiri dari Utharid bin Hajib bin Zurarah bin Udus At-Tamimi, Az-Zibriqan bin Badr
At-Tamimi, Nuaim bin Yazid, Qais bin Al-Harits, Qais bin Ashim, Al-Aqra bin Habis AtTamimi, dan Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr Al-Fazari. Ikut dalam
rombongan itu Amru bin Al-Ahtam dan Al-Habhab bin Yazid dari Bani Saad. Semua
orang masuk menemui Nabi Muhammad, kecuali Amru bin Al-Ahtam yang bertugas
menjadi onta-onta para delegasi Bani Tamim.
Sebagian besar delegasi Bani Tamim itu berteriak keras memanggil Nabi
Muhammad dari luar bilik rumah Nabi Muhammad. Teriakan keras orang-orang Bani
Tamim itu sangat tidak sopan. Menurut sejarawan Ibnu Ishaq, tingkah delegasi Bani
Tamim dengan memanggil Nabi Muhammad itu, yang melatari turunnya ayat 4
surat Al-Hujurat.
Inti kedatangan delegasi Bani Tamim yang diwakili Utharid bin Hajib, berupa
penegasan posisi sosial mereka: pangkat kedudukan, kekayaan, kekuatan
persenjataan dan pasukan. Penegasan Uthraid, lalu ditegaskan Az-Zibriqan bin Badr
At-Tamimi. Kami adalah orang-orang mulia dan tidak ada orang hidup yang setara
dengan kami. Raja-raja berasal dari kami dan gereja dibangun di tempat kami, kata
Az-Zibirqan.
Kecuali saat dipanggil dari luar bilik, hampir tak terjadi dialog antara delegasi Bani
Tamim dengan Nabi Muhammad. Setiap usai delegasi Bani Tamim berbicara dengan
nada bersyair, Nabi Muhammad memerintahkan sahabat yang sedang bersama
beliau, untuk menjawab syair-syair delegasi Bani Tamim itu. Syair Utharid bin Hajib
dijawab Tsabit bin Qais bin As-Syammas. Sedang syair Az-Zibirqan dijawab Hassan
bin Tsabit dengan syair pula. Setelah usai, delegasi Bani Tamim berikrar masuk
Islam. Nabi Muhammad lalu memberi mereka hadiah.
Di masa Khalifah Abu Bakar, salah seorang anggota delegasi Bani Tamim, Utharid
bin Hajib, ikut mendukung gerakan Sajah binti al-Harits bin Suwaid bin Aqfan atTamimiyah, seorang wanita yang mengaku sebagai nabi. Dengan keahlian meramal
apa yang belum terjadi, wanita keturunan Bani Yarbu (salah satu klan Bani Tamim)
ini mampu memobilisasi dukungan ribuan orang dari Bani Tamim, yang terpecah
menjadi dua bagian: mendukung Sajah dengan kelompok yang tetap beragama
Islam.
Semula Sajah bermusuhan dengan Musailamah bin Habib Al-Kadzdzab. Namun
keduanya bisa berdamai guna sama-sama memperluas wilayah pengakuan
kenabian mereka. Perdamaian di antara keduanya, ditandai dengan pernikahan
Sajah dengan Musailamah dengan mahar berupa penghapusan shalat Subuh dan
Isya oleh Musailamah pada Bani Tamim, serta penyerahan sebagian hasil kekayaan
penduduk Yamamah pada Bani Tamim.
Pasukan koalisi pendukung Sajah dan Musailamah itu dipimpin Malik bin Nuwairah
dari Bani Tamim. Koalisi pendukung dua nabi palsu ini bisa dikalahkan pasukan
Islam yang dipimpin Khalid bin Walid di kawasan Lembah Wadi Al-Buthah.
Sebenarnya, Bani Tamim merupakan salah satu kabilah yang dicintai Rasulullah
Muhammad. Banyak hadits Nabi yang menjelaskan tentang kecintaan Nabi
Muhammad pada Bani Tamim. Karena itu, menisbatkan semua hal negatif yang
pernah dilakukan beberapa orang dari Bani Tamim untuk semua orang dari Bani
Tamim, tentu tidak adil. Sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Ramadhan AlButhiy tentang ketidakadilan sebagian besar ahli sejarah terhadap sejarah Bangsa
Arab pra Islam. Oleh sebagian besar ahli sejarah, Bangsa Arab pra-Islam
diidentikkan dengan berbagai tindak amoral.
Padahal selain perilaku buruk, masyarakat Arab pra-Islam juga memiliki adatistiadat, sikap, perilaku yang baik dan masih tetap disyariatkan setelah agama Islam
datang. Dari Bani Tamim pula terlahir khalifah pertama Sayyid Abu Bakar, yang
terlahir dengan nama Abdullah Abi Quhafah (572-634 Masehi). Ayah dari Sayyidah
Aisyah, salah seorang isteri Nabi Muhammad itu bernasab Abdullah bin Utsman bin
Amir bi Amru bin Kaab bin Saad bin Tamim bin Murr bin Kaab bin Luay bin Ghalib
bin Fihr Al-Quraisyi. Nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad pada
kakeknya, Murr bin Kaab bin Luay. Begitulah, watak dan kebaikan atau hal-hal
negatif seseorang, tak bisa dinilai dari suku bangsa mana dia berasal. []